Anda di halaman 1dari 16

TUGAS ANTROPOLOGI KESEHATAN

ADAT BAJAWA
RITUAL “MATA GOLO”

NAMA ANGGOTA KELOMPOK 16 :

1. ODETE MAIA
NIM : PO.530320117123
2. ANGGRIANI K.M. OLA
NIM : PO.530320117082
3. MARIA YASINTHA WAKE
NIM : PO.530320117115

TINGKAT I REGULER D-III

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES KUPANG


JURUSAN KEPERAWATAN
2017
PEMBAHASAN

A. Ritual Keo Rado pada Mata Golo


1. Ritual Keo Rado
Ritual sebagai bagian dari peristiwa wicara merupakan suatu tata cara berbahasa lisan
formal dalam konteks seremoni ritual. Bahasa yang digunakan dalam konteks sosial budaya
tertentu, misalnya dalam ritual keadatan, mengemban tujuan tertentu dan merupakan sumber
budaya. Sumber budaya itu digunakan dan dimaknai secara kontekstual oleh guyub tutur dan
guyub kultur itu di dalam kehidupan bersama, antara lain demi penerusan budaya antargene-
rasi.
Ritual Keo Rado merupakan ritual keselamatan bagi jiwa orang yang mati tidak wajar
yang dalam bahasa setempat disebut mata golo dan keselamatan bagi anggota keluarga yang
ditinggalkan agar mereka tidak mengalami musibah yang sama. Selain itu ritual ini
diciptakan untuk membasmi setan yang dalam bahasa setempat disebut polo.
Keo rado berasal dari bahasa Bajawa, keo ‘bunuh’ dan rado ‘tikam’. Dalam upacara adat arti
keo rado yang biasa digunakan adalah keo mona zezo, pasa bhago sala yang artinya tikam
setan tepat sasarannya berkaitan dengan mata golo. Kata rado merujuk pada tindakan
membuang semua yang jahat atau buruk yang menyebabkan seseorang mati tidak wajar (mata
golo).
Dengan demikian ritual Keo rado adalah upacara keagamaan yang dilaksanakan oleh
masyarakat etnik Bajawa bertujuan untuk keselamatan arwah orang yang mati tidak wajar
dan keselamatan bagi anggota keluarga yang ditinggalkan. Keselamatan ini ditandai dengan
penikaman atau pembunuhan terhadap setan yang terungkap dalam simbol yaitu batang
pisang. Masyarakat etnik Bajawa yakin dan percaya bahwa dengan melakukan ritual
tersebut, maka bencana atau kematian yang tidak wajar (mata golo) tidak akan terjadi lagi
atau menimpah keluarga tersebut.

2. Mata Golo
Mata Golo atau kematian tak wajar yang disebabkan akibat jatuh dari pohon,
kecelakaan lalu lintas, tenggelam, dibunuh dan bunuh diri. Menurut etnik Bajawa, orang yang
mati tidak wajar tidak di panggil oleh wujud tertinggi (Tuhan), melainkan mati disebabkan
oleh setan (polo). Istilah ini dikenakan kepadanya, karena dia yang mengganggu anggota
keluarga. Arwah orang yang mati tidak wajar akan mengganggu anggota keluarga, karena
arwahnya masih merana dan akan terus mengganggu anggota keluarga yang masih hidup.
Untuk mengembalikannya ke tempat yang layak harus diadakan ritual keo rado.
Menurut kepercayaan etnik Bajawa, orang yang meninggal tidak wajar mayatnya tidak
boleh berada atau ditempatkan di dalam rumah. Jenazah tidak dimasukkan pada peti seperti
mayat lainnya tetapi, dibuat dari pelupu dan mayatnya dimakamkan pada tempat tersendiri di
luar pemakaman umum. Contoh ini hanya menegaskan bahwa kematian seseorang yang tidak
wajar diyakini akan membawa bencana bagi orang lain. Maka untuk mengatasi hal itu, harus
dilakukan ritual keo rado (tolak bala/ pembersihan).
Upacara penguburan melalui beberapa proses : Pai api (menjaga mayat), tau tibo
(upacara mencari penyebab kematian), keo rado (upacara pembersihan), tane (menguburkan
mayat) dan e lau kora (membuang seluruh peralatan yang dipakai kearah matahari terbenam).
Berdasarkan tiga proses ritual tersebut, yang akan dibahas secara khusus adalah ritual
keo rado (upacara pembersihan).

B. Tuturan Ritual Keo Rado


Ritual Keo Rado terdiri dari tiga tahap yakni : tahap Pa’i tibo (membuat ramalan);
tahap Ema Tana Ine (bapak menanyai ibu); dan Ike pebha dan Wela polo (potong setan).
Setiap tahap mempunyai tuturan yang dituturkan oleh tua adat (mosalaki).
1. Tahap Pa’i Tibo ‘Membuat Ramalan’
Tahap pa’i tibo merupakan tahap awal ritual keo rado. Pada tahap ini, tua adat akan
mencari tahu penyebab dari kematian tersebut dengan mengucapkan tuturan sebagai berikut :
Kami Dia we tana
‘Sekarang kami bertanya’
Miu ma’e da dela
pada para leluhur’
Punu mumu
‘Ungkaplah dengan mulut’
Poza lema
‘Nyatakan dengan lidah’
Wi punu da kedhi banga
“‘Ungkapkan kepada anak-anak’
Ano zuwu
‘Yang tetap mencari’
Ano kede ano denge
‘Yang tetap setia mendengar’
Selain tuturan yang dituturkan yang ditujukan pada leluhur, kepada setan (polo) juga
ditanyakan sebagai berikut :
Polo punu kau go lobo apa
‘Setan, katakanlah apa penyebabnya’
Maksud atau arti dari tuturan tersebut yakni, kami datang untuk bertanya kepada para
leluhur yang akan diungkapkan dengan mulut dan lidah, katakan kepada kami apa yang kami
cari agar kami dapat mengetahui dan mendengar dan kepada setan tentang penyebab
kematian.
Berdasarkan tuturan adat pada tahap pa’i tibo (membuat ramalan) terdapat nilai-nilai
yang terkandung dalam tuturan tersebut. Nilai-nilai yang terkandung dalam tuturan pa’i tibo
antara lain :
a. Nilai Kudus /Nilai Religius
Nilai kudus / nilai religius : yang berhubungan dengan Tuhan yang kudus dan memiliki
sifat absolut, sehingga dilakukan pemujaan atau penghormatan kepada-Nya. Dalam
perspektif kebudayaan nilai ini secara lebih spesifik dikaitkan dengan agama sebagai
tindakan simbolik. Agama berhubungan erat dengan ritual karena ritual itu sesungguhnya
merupakan bagian dari perilaku beragama. Nilai religius merupakan hal pokok atau inti dari
kehidupan beragama.
Nilai religius secara terperinci dapat dipaparkan sebagai berikut :
 Nilai pemujaan
Nilai pemujaan pada konteks membuat ramalan yaitu memuja para leluhur yang telah
meninggal. Hal ini diketahui bahwa para leluhur walaupun telah meninggal namun, masih
tetap berada di sekitar/sekeliling kita menurut kepercayaan etnik ini. Para leluhur yang telah
mengetahui segala sesuatu yang sedang terjadi dalam hidup ini. Hal ini dapat terlihat pada
tuturan berikut ini :
Kami Dia we tana
Miu ma’e da dela
Punu mumu
Poza lema
Wi punu
da kedhi banga
Ano zuwu Ano kede ano denge
Sekarang kami bertanya’
Kamu para leluhur’‘
Ungkapan dengan mulut’
Ungkapkan kepada anak-anak’
Nyatakan dengan lidah’‘
Yang tetap mencari’
Yang tetap setia mendengar’

 Nilai Penghormatan
Nilai penghormatan adalah mengormati para leluhur yang telah meninggal. Budaya
masyarakat setempat tetap percaya pada para leluhur walaupun sudah menganut agama,
karena hal tersebut merupakan suatu budaya atau warisan dari para leluhur. Nilai
penghormatan dapat dilihat dalam tuturan berikut :
Kami Dia we tana
Miu ma’e da dela
Punu mumu
Poza lema
Sekarang kami bertanya
Kamu para leluhur
Ungkapan dengan mulut
Nyatakan dengan lidah

2. Tahap Ema Tana Ine “Bapak Menanyai Ibu”


Ritual ema tana ine dilaksanakan berikutnya, sebelum matahari. Apabila para leluhur
menyetujui, maka setiap hari akan diawali dengan suatu dramatisasi yang merupakan suatu
demonstrasi dari beberapa gabungan struktur perkawinan. Ritual ini disebut ema tana ine
(bapak menanyai ibu) yang juga berarti mengucapkan selamat datang kepada setiap pasangan
perkawinan yang sudah meninggal dari berbagai kelompok suku, yang sebetulnya sudah
berdiam dalam rumah adat, tetapi telah meninggal karena mata golo. Mereka diundang untuk
hadir kembali secara ritual.
Dalam ritual ine tana ema tuturannya dapat dipaparkan sebagai berikut :
Ine…Ine
‘Ibu…Ibu’
Miu ulu nga tutu toro
‘Kepalamu terikat kain merah’
Ine miu da gesso apa?
‘Ibu apa penyebabnya
Ine…ine
‘Ibu…Ibu’
Go bhara da ike beke
‘Yang putih membelenggu dada’
Da moe de da moe de
‘Apa sebab
Ine…ine miu punu si
ibu katakanlah’
Miu po si
‘Berbicaralah’
Kami wenga to’o
‘Kami akan mulai’
Miu posa si
‘Bicaralah’
Miu punu si
‘Katakanlah’
Kami nenga dhuju puru pu’u
‘Kami hendak mengakhiri semuanya’
Arti tuturan tersebut adalah : Ibu.... kepalamu terikat kain merah, apa alasanya? Apa
sebabnya kain putih membelenggu dada, katakanlah, sehingga kami dapat memulainya dan
dengan cepat untuk mengakhiri semuanya.
Dalam ritual tersebut tua adat tidak hanya bertanya pada para leluhur wanita tetapi juga
ditujukan pada leluhur laki-laki untuk menanyakan penyebab kejadian tersebut. Tuturannya
dapat dipaparkan sebagai berikut.
Ema…Ema
‘Bapak…bapak’
Kami ta da toro
‘Kami berselempang merah’
Kami wenga keo wenga rado
‘Kami hendak membuat pembersihan
Ema…ema
‘Bapak…bapak’
Le bhara da ike beke
‘Yang putih membelenggu dada’
Da wa’i da lau
‘Seorang yangberbaring di sana dengan kaki terulur’
Dia da tuka lenga zeta
Dengan perut yang menghadap ke atas’
Mai si
‘Datanglah’
Kita wenga penga peo
‘Kita hendak membuat pembersihan
‘Ikutlah membuang’
Kita nga penga podhu
‘duduklah bersama-sama
We ulu mogo
“Jadi kepala sama”
Kita wenga dhoro
‘Kita akan keluar’
Kita wenga keo wenga rado
‘Kita hendak membuat keo rado’
Mai si
‘Datanglah’
Maksud dari tuturan tersebut adalah : bapak yang berselempang merah dan memakai
kain putih yang membelenggu dada, sekarang kami akan membuat pembersihan untuk orang
yang terbaring dengan kaki terulur dan perut yang menghadap ke atas. Datanglah, duduk
bersama-sama dalam satu keluarga dan kita akan keluar untuk membuat keo
rado’pembersihan’.
Seluruh anggota keluarga yang masih mempunyai hubungan perkawinan berkumpul
bersama, maka sebuah solusi harus segera ditemukan agar jiwa orang yang telah meninggal
itu pun dapat dipanggil untuk berpartisipasi dalam ritual tersebut. Hal ini dilakukan dengan
membuat tobo muku yang digantungkan pada sebatang bambu yang berdiri (taga tobo muku)
di luar rumah.
Selanjutnya tua adat memanggil arwah para leluhur dengan seruan sebagai berikut:
Ine…ine
‘Ibu…...
Sa susu mite
“Yang ayam hitam”
Kau ngodho…kau ngodho
‘Datanglah…datanglah’
Ema…ema
‘Bapak…....
Sa lalu toro
ayam jantan merah’
Kau ngodho…kau ngodho
‘datanglah…datanglah’
Arti atau maksud tuturan tersebut adalah : ibu...kamu seperti ayam betina hitam,
datanglah...datanglah. Bapak ....... kamu seperti ayam jantan merah, datanglah...
Berdasarkan tuturan data tahap ema tana ine, terkandung nilai-nilai sebagai berikut:
a. Nilai persaudaraan
Esensi dasar nilai persaudaraan ini merupakan refleksi dari kesadaran bahwa manusia
diciptakan sebagai satu saudara yang secara alamiah memerlukan manusia lain dalam
kebersamaan dan kekeluargaan sebagai perwujudan citra rasa kemanusiaan.
Nilai tersebut terdapat dalam kutipan tuturan berikut ini.
Ine…Ine
Miu ulu nga tutu toro
Ine miu da gesso apa?
Ine…ine
Go bhara da ike beke
Da moe de da moe de
Ine…ine miu punu si
Miu po si
Kami wenga to’o
Miu posa si
Miu punu si
Kami nenga dhuju puru pu’u
‘Ibu….....
‘Kepalamu terikat kain merah’
‘Ibu alasan apa?’
Ibu........
Yang putih membelenggu dada’
‘Apa penyebabnya
‘Ibu… katakanlah’
‘Berbicaralah
‘Kami akan mulai
Bicaralah’
‘Katakanlah
‘Kami hendak mengakhiri semuanya’
Tuturan yang telah dipaparkan disampaikan kepada arwah atau semua leluhur yang telah
meninggal. Menurut kepercayaan etnik ini adalah bahwa walaupun seseorang telah
meninggal namun rasa persaudaraan tetap ada.
b. Nilai Keselamatan
Nilai keselamatan adalah suatu nilai yang dilakukan untuk menyelamatkan arwah serta
keselamatan/pembersihan pada keluarga yang ditinggalkan agar dapat terhindar dari
malapetaka atau kematian yang tidak wajar.
Hal tersebut dapat terlihat pada tuturan sebagai berikut :
Kita wenga penga peo
‘Kita hendak membuat pembersihan
‘Ikutlah membuang’
Kita nga penga podhu
‘duduklah bersama-sama
We ulu mogo
“Jadi kepala sama”
Kita wenga dhoro
‘Kita akan keluar’
Kita wenga keo wenga rado
‘Kita hendak membuat pembersihan
Mai si
‘Datanglah’
Data tersebut menunjukkan tua adat dan keluarga akan mengadakan ritual keselamatan baik
bagi arwah yang meninggal maupun bagi keluarga yang ditinggalkan.
3. Tahap Ike Pebha ‘Mengikat Erat’ dan Wela Polo ‘Membunuh Setan’
Ritual ini merupakan ramalam tentang mata golo (kematian tidak wajar) dengan tuturan
sebagai berikut :
Dia go ike mu dhenga
‘Mari,ikat seerat-eratnya’
Pewa mu dhenga
‘Pukul sekuat-kuatnya’
Kami wenga tana
‘Kami hendak bertanya’
Dia kami wenga le kezu pu’u
‘Kami hendak mencungkil sampai akar’
We luli mema
‘Agar langsung terpulih’
Kami we gugu gazi
‘Kami hendak mengejarnya’
Bodha we mara pugu
‘Sampai dia terantuk’
Bodha we dhuju
‘Sampai ditemukan’
Ngi’i go tobo golo
‘Karena tubuh yang meninggal ini’
Kami bodha we luli
‘Kami harus memulihkannya’
We wela mata
‘Untuk dibunuh’
Kau gubhu sewidha
‘Kau tutup satu’
Lenga sewidha
‘Kami akan bicara sepatah kata di sini’
Wi la’a wela polo
‘untuk pergi membunuh setan’
Gazi bodha we mata golo
Dia harus mati tidak wajar
Sama ne’e
“Sama dengan dia”
‘Sama seperti dia’
Ma’e re Ma’e weje
“Jangan sembunyi jangan menipu’
Kami wenga wela
‘Kami akan membunuh’
Maksud atau arti dari tuturan tersebut yaitu : mari kita ikat seerat-eratnya dan memukul
sekuat-kuatnya dan kami akan bertanya dan mencari sampai akar permasalahan. Sebelum
kami pergi membunuh setan, kami akan berbicara sepatah kata di sini dan dia harus mati
seperti dia yang mati tidak wajar ini. Katakan sejujurnya kepada kami agar kami bisa
membalaskan dendam kami agar semua terpulihkan. Kami akan mengejarnya sampai dia
terantuk dan dia juga harus mati. Oleh karena itu, Kami minta kau buka satu tutup juga satu.
Berdasarkan data tuturan tersebut terdapat nilai-nilai sebagai berikut.
a. Nilai Kesakitan
Nilai kesakitan merupakan suatu sifat emosional atau rasa dendam yang dialami oleh manusia
karena mengalami suatu sebab akibat perbuatan orang lain. Nilai kesakitan dalam ritual ini
yaitu ingin membalas dendam akibat suatu kematian tidak wajar. Hal tersebut dapat
dibuktikan dengan tuturan sebagai berikut :
We wela mata
Untuk dibunuh’
Kau gubhu sewidha
Kau tutup satu’
Lenga sewidha
Buka satu’
Wi la’a wela polo
untuk pergi membunuh setan’
Gazi bodha we mata golo
Dia harus mati tidak wajar
Sama ne’e
Sama seperti dia’
C. Makna Tuturan Ritual Keo Rado pada Mata Golo
Setiap tuturan memiliki makna tergantung pada setiap etnik. Dalam tuturan ritual kero
rado pada mata golo terkandung makna sebagai berikut.
1. Makna Sosial
Makna sosial menggambarkan keterjalinan hubungan sosial dan kekerabatan antara
masyarakat. Keterjalinan hubungan ini tercermin dalam upacara pembersihan. Makna ini
terungkap pada kutipan kalimat berikut.
a. Makna kebersamaan
Makna Makna kebersamaan merupakan suatu konsepsi cara pandang yang tidak dapat
dipisahkan dengan kehidupan individu atau kehidupan berkelompok dalam menjalani
aktivitas kehidupannya sehari-hari karena manusia adalah makhluk sosial. Makna
kebersamaan dapat diperhatikan dalam data teks SRJJ berikut ini :
Mai si
‘Datanglah’
Kita wenga penga peo
‘Kita hendak membuat pembersihan
‘Ikutlah membuang’
Kita nga penga podhu
‘duduklah bersama-sama
Di sini gambaran duduk bersama tanpa memandang stratifikasi atau tingkatan dalam adat,
dalam arti bahwa tua adat dan warga adalah satu untuk membuat upacara pembersihan.
b. Makna Budaya
Makna budaya menggambarkan bahwa etnik Bajawa Ngada masih mengingat sastra
lama yang secara tidak langsung menggambarkan eksistensi mereka pada zaman itu. Makna
budaya ini diwariskan secara turun temurun oleh para leluhur untuk membersihkan bencana
atau malapetaka yang telah menimpa masyarakat pemilik budaya tersebut. Makna budaya
terdapat dalam tuturan sebagai berikut :
Ine…ine
“Ibu......
Sa susu mite
‘Kamu ayam hitam’
Kau ngodho…kau ngodho
‘Datanglah…datanglah’
Ema…ema
“Bapa......
Sa lalu toro
ayam jantan merah’
Kau ngodho…kau ngodho
datanglah…datanglah’
Tuturan tersebut menggambarkan bahwa sebelum melaksanakan ritual keo rado, leluhur
diundang untuk hadir bersama. Ibu disimbolkan dengan ayam hitam karena kelembutan
seorang ibu melindungi dan menjaga anak-anaknya. Bapak disimbolkan dengan ayam jantan
merah melambangkan keberanian, simbol kain merah yang digunakan laki-laki sebagai
pelengkap pakaian adat dalam melakukan ritual.
Di samping itu juga terdapat tuturan sebagai makna budaya pada etnik tersebut adalah :
Go bhara da ike beke ‘Yang putih membelenggu dada’ juga sebagai makna budaya simbol
kain pengikat dada ‘go bhara ‘yang putih’ yang melambangkan kelembutan dan kesucian.
Sehingga dengan hati yang suci dan bersih penyebab kematian dapat terungkap.

D. Microperspektiv

Masyarakat Bajawa percaya bahwa setiap orang yang meninggal akibat jatuh dari
pohon, kecelakaan lalu lintas, tenggelam dan bunuh diri merupakan suatu kematian tidak
wajar atau tidak dikehendaki oleh Tuhan.

E. Midle Perspektiv

Masyarakat Bajawa percaya bahwa dengan melakukan ritual keo rado, maka mata golo
tidak akan terjadi lagi pada anggota keluarga tersebut.

F. Kasus yang Berhubungan dengan Mata Golo

Ada sebuah keluarga yang tinggal di kampung yang bernama Wogo Mataloko
kabupaten Ngada. Mereka hidup rukun dan melakukan aktivitas sehari-hari dengan
baik.kelurga tersebut terdiri dari Ayah,Ibu,dan kedua anaknya. Ayahnya yang bernama Anton
bekerja disebuah mebel. Di mebel tersebut pak Anton bekerja dengan beberapa karyawan.

Dalam mebel tersebut terdapat banyak peralatan yang menggunakan arus listrik,
sampai pada saat terjadinya kebakaran. Hubungan pendek arus listrik diduga sebagai pemicu
terjadinya kebakaran yang menghanguskan mebel beserta isi didalamnya. Tidak hanya mebel
dan isinya tetapi nyawa dari pak Anton juga ikut menjadi korban dari kebakaran tersebut
hingga meninggal dunia.

Menurut adat istiadat di kampung kami Ngada-Bajawa-Mataloko khususnya kampung


Wogo orang yang meninggal karena kecelakaan mayatnya tidak diperbolehkan untuk masuk
kedalam rumah khususnya didalam rumah adat. Walaupun mayat tersebut diberikan
pakaian,peti mati tetap diharamkan untuk masuk kedalam rumah adat. Mayat tersebut
diletakan dihalaman rumah adat yang sudah di siapkan secara khusus oleh keluarga.

Semua keluarga termaksud masyarakat yang datang melayat atau mete hanya boleh
datang dan melihat mayat di luar tidak diperbolehkan untuk masuk kedalam rumah adat
tersebut sampai hari penentuan penguburan.

Proses penguburan atau cara penguburannya berbeda dengan orang yang meninggal
secara normal. Orang yang meninggal dengan tidak wajar atau MATA GOLO mayatnya
dikubur secara terpisah dengan orang yang meninggal secara normal. Biasanya orang yang
meninggal secara wajar kepalanya mengarah kearah Barat sedangkan orang yang meninggal
secara tidak wajar kepalanya harus mengarah ke Timur. Dan kuburnya tidak diperbolehkan
untuk di cor hanya boleh menggunakan tanah.

Setelah proses penguburan selesai semua keluarga yang berduka cita kembali
kerumah adat dan sudah diperbolehkan untuk masuk kedalam rumah adat tersebut. Setelah
semua keluarga berkumpul dalam rumah adat dilanjutkan dengan pembicaraan mengenai “
PAI TIBO’’ yang dibahas didalamnya mengenai persiapan upacara adat selama dua hari
berturut-turut. Yang harus dipersiapkan dalam upacara tersebut yaitu babi tiga ekor yang
berukuran kecil. Makanan yang sudah dimasak harus dihabiskan tidak boleh sisa sedikitpun.

Pada malam pertama bunuh 2 ekor babi lalu dibakar dengan menggunakan bambu
atau yang dikenal dengan istilah “ TIBO” dengan ucapan-ucapan adat untuk mengetahui apa
penyebab kematian atau kebakaran yang sebenarnya apakah ada yang sengaja membakar
ataukah karena adanya factor keturunan ataupun diri sendiri yang membakar (bunuh diri) itu
semua tergantung dari TUA ADAT yang diungkapkan pada proses “ PAI TIBO” apabila
dalam proses tersebut bambu tersebut berbunyi sebanyak tiga kali didalam arang api maka
orang tersebut meninggal karena sengaja dibakar oleh orang lain. Setelah mengetahui
penyebab yang sebenarnya maka dilanjutkan dengan upacara yang berikutnya pada malam
kedua.

Pada malam kedua dilanjutkan dengan upacara adat “ KEO RADO”. Dalam upacara
ini diwajibkan untuk membunuh babi dan kerbau satu ekor. Babi dan kerbau yang sudah
dibunuh lalu dimasak dan di konsumsi oleh semua orang yang ada dalam kampung tersebut.
Apabila makanan yang dimasak tidak dimakan habis maka makanan tersebut mulai tulang
belulang,sisa makanan,kotoran, abu dapur, dan semua barang yang digunakan untuk
memasak(piring,gelas,sendok,periuk,kuali dll) dari malam pertama sampai pada malam
kedua dibuang beserta dengan pakaian milik dari orang yang meninggal tersebut. Tempat
yang dipilih untuk membuang semua benda yang akan dibuang bukanlah tempat yang
sebarangan tetapi tempat yang sudah di tunjukan oleh TUA ADAT yang diketahui dari
upacara TIBO.

Sebelum proses pembuangan semua barang tersebut pada malam harinya dibuat
upacara adat dalam upacara ini ada yang memakai WULI ADAT (semacam kalung yang
terbuat dari kerang yang berukuran sedang) selain WULI ADAT adapun yang memakai
kalung yang terbuat dari terung ataupun bisa menggunakan tongkol jagung yang berfungsi
untuk SE DA ZE’E ( membuang yang buruk ). Pada pagi hari sebelum matahari terbit semua
anggota keluarga beserta dengan barang-barang yang akan dibuang berangkat menuju ke
tempat yang sudah ditunjukkan oleh TIBO melalui TUA ADAT.

Dalam proses SE DA ZE’E ( membuang yang buruk) kita balik belakang dengan kaki
kiri,disertai dengan buang ludah langsung jalan pulang menuju kerumah adat,selama
perjalanan pulang tidak diperbolehkan untuk menoleh kearah belakang atau ketempat yang
kita buang sial. Sesampainya kerumah adat langsung masuk kedalam rumah tersebut. Dan
dilanjutkan dengan aktifitas seperti biasanya.
PENUTUP

Kematian mengakibatkan orang merasa kehilangan dan dapat membawa kesedihan


pada setiap keluarga. Mata golo kematian tidak wajar membuat keluarga dapat terlarut dalam
kesedihan namun dapat mengakibatkan malapetaka. Menurut kepercayaan etnik Bajawa
kematian tersebut adalah akibat dari perbuatan nitu (roh halus) yang mencabut secara paksa
jiwa manusia. Untuk itu diadakan suatu ritual pembersihan atau keselamatan baik bagi yang
arwah yang telah meninggal maupun keluarga yang ditinggalkan agar tidak mendapat
malapetaka yang sama yang disebut dengan keo rado (buang sial).

Anda mungkin juga menyukai