Anda di halaman 1dari 1

ANDAI AKU MENJADI DOKTER GIGI

Ada yang lucu yang seringterlintas di kepalaku saat melihat perubahan landskap jalan beserta
papan namanya.Pengacara, notaries pajak, dan lembaga hokum bertunbuhan sangat cepat. Sama
halnya mereka bergerak di bidang medis atau kesehatan, klinik bidan, yang dulunya hanya
segelintir, kini seolah semakin berhimpitan dengan jarak tak terlalu jauh.Klinik dokter umum
pun merambah pedesaan bak hujan keterlaluan banyaknya. Dan dokter gigi, sekarang memiliki
banyak nama di jalan-jalan. Dari sudut pedesaan yang modern hingga kota-kota besar.entah
kenapa tiba-tiba aku berpikir, yah, inflansi tenaga medis.Sama halnya dengan pedagang toko
yang jumlahnya susah dihitung. Para pekerja medis mengikuti jejak para penjual warung
kelontong. Sungguh sangat tak kreatif memang.Tapi mau gimana lagi?

Aku pernah memiliki banyak saudara yang hidup di dalam dunia kesehatan.Mereka bangga
disitu, mengingatini Indonesia.Tapi kalau dipikir-pikir,sekian banyak anak kesehatan, terlebih
kedokteran nasib ilmu pengetahuan di Indonesia pun, sedikit bias dibanggakan. Lebih banyak
calon dokter, dan setelah menjadi dokter itu sendiri, hanya sekedar mencari uang dan
kaya.Hanya seperti itulah profesi dokter kebanyakan.Kalau dipikir secara intelektual dan lainnya,
nyaris tak membanggakan memang. Sama halnya dengan profesi kesehatan lainnya. Apa boleh
buat. Sedikit yang mau berurusan dengan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan.

Lalu, apakah masalah jika kita mengalami inflansi dokter?

Di sekitar lingkunganku, banyak dokter menutup kliniknya karena tak laku.Mengapa tak laku?
Salah satu alasannya, terlalu banyak dokter dan kliniknya di suatu tempat yang sama dalam jarak
yang cukup dekat. Itu berarti, prinsip yang berlaku adalah persaingan bak pasar dan kapitalisme.
Siapa yang kuat mental, sabar, cerdik, pintar manajemen, dan cerdas mengiklankan diri, serta
lauyanan memuaskan, plus murah, dialah yang menang. Bagaimana yang lain? Gugur secara
mengenaskan. Aku telah melihat banyak klinik tutp karena beberapa alasan sekaligus. Itu berarti,
membuang percuma predikat dokter serta jerih payah, uang tak sedikit, nyaris gila dan tak tidur,
kebangaan yang menguap, serta segala yang dirinya capai untuk menjadi dokter. Semuanya tak
kembali, eh menganggur karena depresi dan kecewa.

Jika kelak inflansi dokter terus berlanjut. Orang semakin ramai menjadi dokter, lalu universitas
abal-abal membuka fakultas kedokteran jga demi menampung gairah sempit anak-anak remaja
dan ambisi orang tua. Kualitas dokter merosot dan dokter terlampau banyak di suatu tempat
hingga nyaris tak dibutuhkan. Kelak orang-orang akan berfikir, sangat bodoh dan konyol jika
hari ini masih ingin menjadi dokter.

Anda mungkin juga menyukai