Anda di halaman 1dari 3

Judul Buku : Buku dan Penulis

Penulis buku : Amal Hamzah

Peresensi : Bandung Mawardi

Pembaca sering mengenal sastra modern di Indonesia bermula di masa 1920-an. Novel-novel
produksi Balai Pustaka dianggap sebagai representasi kemunculan bentuk sastra modern. Para
pengarang di lingkaran Balai Pustaka menjadi ikon kesusastraan di arus kemodernan. Mereka
menulis novel dengan suguhan tema-tema “baru” dan menggunakan bahasa Indonesia sebagai
bahasa “baru”. Anggapan ini terbakukan di buku pelajaran dan buku-buku tentang sejarah
sastra. Aku ingin membantah meski harus mengumpulkan referensi-referensi tandingan agar
“terang” kesejarahan sastra di Indonesia.

Ikhtiar itu bisa diwujudkan meski perlahan. Aku memang ingin menata ulang penulisan sejarah
sastra untuk tak terlalu menempatkan Balai Pustaka sebagai “permulaan” dan “pusat”.
Keterlanjuran pengakuan Balai Pustaka seolah sulit diralat meski sastra Indonesia telah
bermula sejak lama. Aku sekadar menulis kalimat-kalimat ini untuk merangsang “gugatan” di
jalan literasi. Aku tak berpamrih sebagai ahli sejarah sastra. Ingatan sastra modern di Indonesia
adalah ingatan buku, pengarang, penerbit, sekolah, pembaca.

Aku mirip guru di depan kelas: cerewet dan genit. Aduh! Aku berminat mengurusi sejarah
sastra disebabkan buku Amal Hamzah berjudul Buku dan Penulis: Kumpulan Uraian Beberapa
Buku Roman Indonesia (Balai Pustaka, 1950). Buku ini pernah terkenal di masa 1950-an dan
1960-an. Buku dan Penulis adalah rujukan pembaca untuk menemukan sinopsis dan komentar
kecil mengenai sekian roman atau novel di masa lalu. Amal Hamzah eksplisit menempatkan
novel-novel Balai Pustaka sebagai permulaan selebrasi sastra modern.

Amal Hamzah menulis: “Hampir semua buku-buku jang dibitjarakan itu adalah keluaran Balai
Pustaka, Djakarta. Jang lain: Kertadjaja dan Belenggu keluaran Pustaka Rakjat, Djakarta;
sedang Surabaja keluaran Merdeka Press, Djakarta.” Buku-buku sastra di masa 1920-an dan
1930-an memang sering dikeluarkan oleh Balai Pustaka. Institusi bentukan kolonial ini
mendominasi penerbitan buku, pembakuan bahasa, sebaran diskursus. Balai Pustaka adalah
representasi gairah sastra di persimpangan kolonialisme dan nasionalisme.
Faruk (2002) pernah memberi komentar atas Buku dan Penulis di deretan ulasan sejarah sastra
Indonesia. Faruk menulis: “…. Merupakan deskripsi sejarah sastra yang berupa kesan-kesan
mengenai karya-karya sastra yang disusun semata-mata secara kronologis, tanpa kontinuitas
antara yang satu dengan yang lainnya.” Komentar kritis ini muncul setelah puluhan tahun Buku
dan Penulis menjadi bacaan publik. Faruk memberi tanpa menaruh buku itu di latar literasi
masa 1950-an dan 1960-an. Lho! Aku tak bermaksud mengomentari Faruk.

Aku beranggapan bahwa Buku dan Penulis memiliki arti penting di masa lalu. Arti itu perlahan
surut oleh kemunculan buku-buku ulasan novel dan buku sejarah sastra Indonesia. Amal
Hamzah terlupakan tanpa pelafalan oleh guru, murid, dosen, mahasiswa, novelis, kritikus
sastra. Buku dan Penulis hilang dari perbincangan sastra. Oh! Aku berjanji tak melupakan!

Amal Hamzah menulis: “Kitab ketjil Buku dan Penulis ini tiada lain maksudnja daripada
memperkenalkan penulis-penulis Indonesia kepada umum. Sungguhpun kalau dibandingkan
dengan tigapuluh tahun jang lamapu, minat kepada kesusasteraan sendiri sudah duakali lipat,
tetapi menurut perasaan kami, minat ini mesti lebih dibesar-besarkan lagi, kalau kita ingin
tjabang kebudajaan jang dinamakan kesusasteraan itu, tidak kerdil tumbuhnja.”

Maksud mulia! Amal Hamzah adalah pengarang di masa 1930-an. Amal Hamzah juga terkenal
sebagai penerjemah puisi-puisi Rabindranath Tagore. Peran itu digenanpi sebagai pengulas
novel-novel Indonesia. Pekerjaan hebat! Aku mesti memberi pujian. Aku ragu umat sastra di
abad XXI masih mengenal nama Amal Hamzah. Mereka mungkin cuma bisa mengenang dan
melafalkan Amir Hamzah. Nama Amal Hamzah mulai jarang tercantum di tulisan dan
dilafalkan saat obrolan.

Amal Hamzah dalam Buku dan Penulis memberi ulasan untuk puluhan roman atau novel
garapan Merari Siregar, Marah Rusli, Adinegoro, Tulis Sutan Sati, Abdul Muis, Suman
Hasibuan, Aman Dt. Madjoindo, Muhammad Yamin, Sanusi Pane, Nur Sutan Iskandar, M.R.
Dajoh, Sutan Takdir Alisjahbana, Armijn Pane, Hamka, Idrus. Aku merasa Amal Hamzah
adalah pembaca tekun: membuka ribuan halaman novel Indonesia. Pembacaan dilanjutkan
membuat sinopsis dan ulasan.
Aku memiliki keinginan “meniru” pekerjaan Amal Hamzah. Ratusan novel telah terbit di
Indonesia tapi tak dibarengi dengan penerbitan ulasan-ulasan novel. Pekerjaan ini memerlukan
modal dan waktu. Aku harus membaca dan menulis. Ikhtiar membuat sinopsis-ulasan juga
pernah dilakukan oleh Maman S. Mahayana tapi tak berlanjut ke ratusan novel baru di masa
1990-an dan 2000-an. Novel terbit tanpa resensi, ulasan, kritik. Merana? Novel merana di
Indonesia.

Aku terpikat oleh model ulasan Amal Hamzah untuk novel Lajar Terkembang gubahan Sutan
Takdir Alisjahbana: “Lajar Terkembang dapat djuga diganti dengan nama ‘Perempuan
Indonesia Modern’, karena apa jang ditjeritakan dalam roman ini ialah perdjuangan seorang
perempuan Indonesia dan tjita-tjitanja tentang kedudukan perempuan bangsanja itu. Inilah
buku jang pertama jang mengupas soal itu agak dalam sedikit.” Novel Lajar Terkembang
memang wajib ada di buku pelajaran dan perkuliahan. Amal Hamzah semakin menguatkan
pengakuan atas kebermaknaan Lajar Terkembang bagi kesusastraan dan gerakan feminisme di
Indonesia.

Amal Hamzah dengan Buku dan Penulis telah mewariskan rintisan mengulas novel untuk
pembelajaran publik. Amal Hamzah mengingatkan bahwa membuat sinopsi-ulasan adalah
ikhtiar agar kesusastraan Indonesia “tidak kerdil tumbuhnja.” Amal Hamzah ada dalam
ingatankau dan perangsang janjiku untuk menulis sejarah ulasan sastra di Indonesia. Begitu.

Anda mungkin juga menyukai