Sap 5 Kelompok 4 Struktur Kepemilikan
Sap 5 Kelompok 4 Struktur Kepemilikan
“STRUKTUR KEPEMILIKAN”
KELOMPOK :
2017
1
BAB I
PENDAHULUAN
2
agency cost adalah biaya untuk mengawasi para eksekutif oleh para pemilik modal,
termasuk di dalamnya biaya residual, muncul akibat hilangnya kesempatan (opportunity
cost).
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui masalah-masalah dalam model manajerial.
2. Untuk mengetahui struktur kepemilikan perusahaan.
3. Untuk mengetahui struktur kepemilikan perusahaan di Asia.
3
BAB II
PEMBAHASAN
Untuk mengatakan model ini lebih menguntungkan atau tidak dan apakah
model ini bisa dikatakan lebih baik dari model lain, ini sangat bergantung pada skala
usaha yang dikembangkan. Untuk perusahaan berskala kecil, atau perusahaan yang
masuk dalam kategori perusahaan kecil dan menengah (small and medium
enterprises), tentu saja model kewirausahaan ini akan menguntungkan. Begitu pula
dengan unit usaha yang baru mulai berkembang (start-up business).
Ada dua kesulitan utama bagi perusahaan berskala besar atau perusahaan
yang sedang berkembang. Pertama, perusahaan jenis ini membutuhkan dana
operasional yang besar yang sulit dipenuhi dengan modal sendiri. Bagi perusahaan
yang ingin mengembangkan usaha, kendala finansial menjadi hal yang penting
karena bagaimana mungkin bisa mengembangkan usaha jika pasokan finansialnya
terbatas. Kesulitan kedua, bila memiliki skala usaha besar, perusahaan tidak mungkin
lagi dikelola secara pribadi. Dalam kondisi tertentu, dibutuhkan tenaga-tenaga
professional yang memiliki tingkat kompetensi memadai untuk mengelola
perusahaan.
4
Dengan demikian, ada dua kondisi-kondisi tertentu, terutama berkaitan
dengan skala usaha dan rencana pengembangan usaha, dimana perusahaan model
kewirausahaan tidak lagi bisa dipertahankan sehingga harus beralih ke perusahaan
model manajerial.
2.1.2 Masalah dalam Model Manajerial
Model manajerial ditandai dengan terpisahnya pengelolaan perusahaan dari
kepemilikan. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, proses pemisahan tersebut
merupakan ciri pengembangan kapitalisme industrial pada awal abad ke-19,
sebagaimana dijelaskan oleh Berle dan Means (1932).
Dengan pemisahan tersebut, masalah yang segera muncul adalah tidak
sinkronnya kepentingan pemilik dan pengelola. Dengan makin modernnya sistem
korporasi, yang salah satunya ditandai dengan makin besarnya skala usaha
perusahaan, pola pembiayaan pun makin kompleks. Seiring dengan makin
berkembangnya pasar finansial, pemilik perusahaan pun makin anonim. Dalam kasus
perusahaan yang menjual kepemilikan di bursa saham, para pemegang saham
menjadi tidak saling kenal.
Dalam kasus perusahaan memiliki pemegang saham yang manjemuk,
masalah keagenan (agency problem) akan muncul bukan saja antara pemilik modal
dan pengelola, melainkan juga antara pemegang saham mayoritas dan pemegang
saham minoritas. Untuk memudahkan pembahasan, kita bisa mengatakan ketegangan
antara pemegang saham dan pengelola perusahaan sebagai masalah keagenan tipe I,
sedangkan ketegangan antara pemegang saham mayoritas dan pemegang saham
minoritas sebagai masalah keagenan tipe II.
Dalam kasus perusahaan di berbagai Negara di kawasan Asia, sebagaimana
terjadi pula di Negara berkembang lain, masalahnya tidak lagi terletak pada masalah
keagenan tipe pertama, melainkan tipe kedua. Selain itu, tipe kepemilikan di tangan
keluarga dan Negara akan menimbulkan berbagai penyimpangan kebijakan yang
berlawanan dengan standar etis serta moral (moral hazard).
Ada beberapa cara atau mekanisme untuk menekan masalah keagenan tipe I,
seperti:
5
1. Sistem penggajian (remuneration system): diyakini, sistem penggajian yang baik
akan menekan sidat oportunis para pengelola perusahaan, sebagaimana
dijelaskan dalam teori biaya transaksi (transaction cost theory). Akhir-akhir ini,
diterapkan pemberian kepemilikan perusahaan dalam persentasi tertentu kepada
para pengelola perusahaan sebagai salah satu cara menekan masalah keagenan
tipe pertama ini. Sistem tersebut dikenal sebagai stock option.
2. Sistem pengawasan internal: untuk mengawasi jalannya perusahaan yang
dilakukan oleh pihak lain, para pemilik modal menugaskan dengan pengawas
yang membawahi para pengelola perusahaan di bawah CEO (chief executive
officer). Dalam sistem Anglo-Saxon yang menggunakan tata kelola sistem
tunggal (single-tiered system), dewan pengawas tersebut dinamakan dewan
direktur (board of directors), sementara dalam sistem ganda (dual-tiered system)
seperti di Indonesia, dewan pengawas disebut dewan komiasaris (commissioner).
Baik dalam sistem yang menggunakan dewan komisaris maupun dewan direktur,
biasanya dewan pengawas terdiri atas pihak dari dalam perusahaan yang
mewakili para eksekutif dan pihak luar yang bertugas mewakili kepentingan
pemegang saham. Dalam sistem dewan komisaris, wakil pemegang saham
minoritas biasanya disebut komisaris independen, sementara dalam kasus agak
unik yang terjadi di Jerman, para pekerja dalam pengertian buruh memiliki wakil
yang duduk di dewan pengawas dengan sebutan sistem co-determinasi (co-
determination).
3. Sistem pengawasan eksternal (pasar): pengawasan melalui sistem pasar bisa
terjadi karena dua sebab. Pertama, control yang dilakukan oleh para investor itu
sendiri dengan cara jual beli kepemilikan (saham). Pada dasarnya, baik buruknya
kinerja perusahaan akan tercermin dari tinggi rendahnya harga perdagangan di
bursa saham. Makin baik kinerja perusahaan, makin meningkat pula harga
sahamnya di bursa. Begitu pula sebaliknya, apabila kinerja perusahaan dinilai
buruk, para investor cenderung melepas kepemilikan saham tersebut sehingga
harga perdagangan sahamnya di bursa merosot. Kedua, kontrol bisa terjadi lewat
mekanisme akuisisi yang dilakukan atas alasan keterpaksaaan karena kinerja
perusahaan cenderung buruk dan sulit diselamatkan sehingga mengundang
6
perusahaan lain untuk mengakuisisi. Mekanisme ini dikenal dengan sebutan
hostile acquisition, karena pada dasarnya pemilik lama, sebenarnya, tidak
menginginkan perusahaannya dibeli orang lain. Namun, kondisi perusahaan
yang buruk membuat mereka tidak punya pilihan selain menjual perusahaan
tersebut ke pihak (pemilik/perusahaan) lain.
4. Pasar eksekutif: mekanisme pengawasan dan kontrol terhadap kinerja para
eksekutif dalam menjalankan perusahaan terjadi akibat ketatnya persaingan
pasar para eksekutif. Semakin tinggi penawaran tenaga kerja di tingkat eksekutif
tersebut, akan semakin kuat tekanan bagi para pengelola perusahaan untuk
membuktikan kinerja. Jika mereka dinilai tidak memenuhi, kinerja yang baik,
para pemilik modal bisa saja memecat dan mengganti mereka dengan pengelola
baru. Fenomena ini semakin lazim dengan munculnya jasa pencarian eksekutif
kelas tinggi atau perusahaan jasa head-hunter. Globalisasi dan mobilitas tenaga
kerja antar-negara juga meningkatkan persaingan pasar tenaga kerja eksekutif.
Misalnya, banyak perusahaan di Indonesia yang memperkerjakan eksekutif dari
Filipina, Malaysia, atau Singapura.
5. Konsentrasi kepemilikan: berbagai studi menunjukkan bahwa konsentrasi
kepemilikan diyakini akan meningkatkan kontrol terhadap manajer. Hal tersebut
sudah menjadi perhatian cukup lama dalam studi-studi klasik (Jensen dan
Meckling, 1976) hingga kontemporer (Grossman dan Hart, 1980 & 1998;
Shleifer danVishny, 1986). Pengawasan dan kontrol melalui konsentrasi
kepemilikan dinilai paling baik untuk mengendalikan sifat oportunisme para
pengelola perusahaan. Dengan kata lain, konsentrasi kepemilikan akan segera
memecahkan masalah keagenan tipe pertama. Namun, pada saat bersamaan
konsentrasi kepemilikan akan segera pula memunculkan konflik kepentingan
antara pemegang saham mayoritas dan pemegang saham minoritas. Atau dengan
kata lain, akan memunculkan masalah keagenan tipe kedua.
7
terutama muncul adalah tidak sinkronnya kepentingan pemilik dan pengelola perusahaan
sebagai akibat dari pemisahan pengelolaan perusahaan dari kepemilikannya.
Namun dalam perkembangan berikutnya, ternyata yang lebih menjadi masalah bukan
lagi masalah keagenan tipe pertama, melainkan tipe kedua atau konflik kepentingan antara
pemegang saham mayoritas dan pemegang saham minoritas. Dalam kasus di berbagai
negara di kawasan Asia Tenggara, seperti Thailand, Malaysia, Korea, dan Indonesia,
kepemilikan biasanya memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. Saham mayoritas umumnya dipegang di tangan keluarga dan negara. Dalam kasus
perusahaan keluarga, pemisahan antara kontrol dan kepemilikan sebenarnya tidak
terjadi karena biasanya para pengelola perusahaan adalah anggota keluarga dari pemilik
perusahaan.
2. Pemegang saham pengontrol memiliki hak suara yang melebihi kepemilikan karena
sistem kepemilikan yang bersifat pyramidal, atau karena mereka menempatkan para
manajer dari anggota keluarga di perusahaan-perusahaan yang dikontrolnya.
3. Kepemilikan bank secara signifikan tidak begitu lazim.
4. Terdapat hubungan antara struktur kepemilikan dengan pemilihan Dewan Pengawas.
8
prinsip-prinsip good corporate governance tersebut adalah untuk melindungi hak dan
kepentingan para pemegang saham.
9
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
10
DAFTAR PUSTAKA
Siswanto Sutojo, E. John Aldridge. 2008. Good Corporate Governance Tata Kelola
Perusahaan Yang Sehat. Jakarta: PT Damar Mulia Pustaka.
11