Anda di halaman 1dari 14

GAMBARAN UMUM WILAYAH/DAERAH SULAWESI BARAT

PETA WILAYAH SULAWESI BARAT

Sulawesi Barat (disingkat Sulbar) adalah sebuah provinsi di Indonesia yang terletak di bagian
barat Sulawesi. Pembentukan Provinsi Sulawesi Barat telah diperjuangkan sejak tahun 1960.
Pada masa itu pulau Sulawesi terdapat 3 (tiga) Provinsi yakni Provinsi Sulawesi Selatan,
Provinsi Sulawesi Tengah dan Provinsi Sulawesi Utara. Namun, pada tahun 1963 Pemekaran
Provinsi di pulau Sulawesi oleh pemerintah pusat adalah pembentukan Provinsi Sulawesi
Tenggara. Usulan pembentukan Provinsi Sulawesi Barat tidak disetujui oleh Pemerintah Pusat.

Perjuangan pembentukan Provinsi Sulawesi Barat kembali menemukan momentumnya pada


tahun 1999 pasca gerakan reformasi. Pembentukan Provinsi Baru di Indonesia seperti
Terbentuknya Provinsi Banten, Provinsi Bangka Belitung dan Provinsi Gorontalo menjadi
semangat gerakan perjuangan pembentukan provinsi Sulawesi Barat. Perjuangan panjang
pembentukan Provinsi Sulawesi Barat akhirnya terwujud melalui upaya massif rakyat Mandar
dengan didukung oleh Anggota DPR RI melalui usulan Hak Inisiatif Anggota DPR RI tentang
Undang-Undang Pembentukan Daerah Otonom Baru. Tanggal 5 Oktober 2004 Provinsi
Sulawesi Barat Resmi terbentuk berdasarkan UU No. 26 Tahun 2004.

Ibu kotanya ialah Mamuju. Luas wilayahnya sekitar 16,796.19 km². Suku-suku yang ada di
provinsi ini terdiri dari Suku Mandar (49,15%), Toraja (13,95%), Bugis (10,79%), Jawa
(5,38%), Makassar (1,59%) dan suku lainnya (19,15%).
KONDISI ALAM DAN IKLIM

TOFOGRAFI

Wilayah Provinsi Sulawesi Barat terdiri atas dataran tinggi dan rendah. Di Sulawesi Barat
terdapat 193 buah gunung dan yang tertinggi adalah Gunung Ganda Dewata dengan ketinggian
3.037 meter diatas permukaan laut. Gunung ini berdiri tegak di Kabupaten Mamuju. Umumnya
ditiap Kabupaten memiliki beberapa perbukitan dan pegunungan yang berpotensi dijadikan
cadangan untuk ekosistem guna mendukung pembangunan berwawasan lingkungan, juga
memiliki garis pantai yang merupakan daerah dataran rendah yang berpotensi untuk
pengembangan pertanian, perkebunan dan perikanan darat dan laut seperti di Kabupaten
Mamuju, Kabupaten Polewali Mandar dan Kabupaten Majene.
Jumlah sungai yang mengalir di Wilayah Sulawesi Barat tercatat sekitar 8 aliran sungai, dengan
jumlah aliran yang terbesar di Kabupaten polewali Mandar, yakni 5 aliran sungai. Sungai
terpanjang tercatat ada dua yaitu sungai yakni Sungai Saddang yang mengalir meliputi
Kabupaten Tana Toraja, Enrekang, Pinrang dan polewali Mandar serta Sungai Karama di
Kabupaten Mamuju. Panjang kedua sungai tersebut masing-masing 150 km.

IKLIM/CLIMATE

Suhu udara di suatu tempat antara lain ditentukan oleh tinggi rendahnya tempat tersebut dari
permukaan air laut dan jaraknya dari pantai. Pada tahun 2008 suhu udara maksimum terjadi di
Stasiun Meteorologi Kabupaten Majene, yaitu sebesar 34,2°C , sedangkan suhu udara
minimum yaitu sebesar 22,4°C.
Provinsi Sulawesi Barat mempunyai kelembaban udara relative tinggi, dimana pada tahun 2008
rata-rata berkisar antara 76,5 persen sampai 82,8 persen. Sedangkan kecepatan angin hampir
diseluruh wilayah kabupaten di Sulawesi Barat umumnya merata setiap bulannya, yaitu
berkisar 5 km/jam hingga 14 km/jam. Data suhu minimum dan maksimum serta posisi Stasiun.

Dengan Kelembaban udara yang relative tinggi dan adanya 2 musim yaitu musim hujan dan
musim kemarau menjadikan daerah ini masih sering terjadi penyakit-penyakit yang berbasis
lingkungan seperti DBD, Malaria, TBC, ISPA, diare dan peyakit lainnya.

PEMERINTAHAN/GOVERNMENT

Pemerintah Provinsi Sulawesi Barat menaungi 5 daerah tingkat II dengan wilayah berstatus
Kabupaten. Dari 5 Kabupaten tersebut, didalamnya terdapat 66 wilayah kecamatan dan 602
desa/kelurahan pada tahun 2008. Kabupaten yang paling banyak kecamatan adalah Kabupaten
Mamuju dengan 15 kecamatan, sedangkan Kabupaten yang mempunyai jumlah kecamatan
paling sedikit adalah Kabupaten Majene yang hanya hanya memiliki 8 kecamatan.
Kabupaten Mamuju adalah ibu kota Provinsi Sulawesi Barat. Diantara Kabupaten, yang paling
jauh jaraknya dari Ibu Kota Provinsi adalah Kabupaten Mamuju Utara dengan jarak 276 Km
dan yang terdekat adalah Kabupaten Majene dengan jarak 143 Km
SULAWESI BARAT

Provinsi Sulawesi Barat memiliki semboyan Mellete Diatonganan yang artinya Meniti Pada
Kebenaran. Provinsi Sulawesi Barat berdiri pada tanggal 5 Oktober 2004 berdasarkan UU
No.26 Tahun 2004 dengan beribukota di kota Mamuju. Sulawesi Barat memiliki 5 kabupaten,
69 kecamatan, 63 kelurahan, dan 507 desa.

Berikut ini tabel Kabupaten/Kota di Provinsi Sulawesi Barat

No Kabupaten/Kota Ibu Kota


1 Kabupaten Mamuju Utara Pasangkayu
2 Kabupaten Mamuju Mamuju
3 Kabupaten Mamasa Mamasa
4 Kabupaten Polewali Mandar Polewali
5 Kabupaten Majene Majene

 Letak geografis Provinsi Sulawesi Barat sangat Strategis karena berada pada sekitar
garis khatulistiwa, terletak antara 0o 45’59” Lintang Selatan, 03o 34’0” Lintang
Selatan, serta 118o 48’59”Bujur Timur hingga 119o 55’06”Bujur Timur. Memiliki Laut
sepanjang Selat Makassar yang merupakan lintas pelayaran Internasional. Berada pada
titk tengah dalam hubungannya dengan Provinsi Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah
dan Provinsi Kalimantan Timur. Luas Wilayah daratan Provinsi Sulawesi Barat adalah
16.787,18 Km2.
 Provinsi Sulawesi Barat memliki batas administrasi daerah antara lain dibagian Barat
berbatasan dengan Kabupaten Paser Propinsi Kalimantan Timur. Dibagian Utara
berbatasan dengan Kabupaten Donggala Propinsi Sulawesi Tengah. Dibagian Selatan
berbatasan dengan Kabupaten Pinrang Propinsi Sulawesi Selatan. Dibagian Timur
berbatasan dengan Kabupaten Tana Toraja dan Luwu Utara Propinsi Sulawesi Selatan.
 Provinsi Sulawesi Barat yang terdiri atas 5 (lima) Kabupaten memiliki jumlah
penduduk berdasarkan hasil Sensus Penduduk BPS pada tahun 2010 berjumlah
1.158.336 jiwa.
 Suku yang mendiami Provinsi Sulawesi Barat yaitu Suku Mandar, Suku Toraja, Suku
Bugis, Suku Jawa, dan Suku Makassar.
 Bahasa yang digunakan masyarakat Sulawesi Barat adalah Bahasa Mandar, Bahasa
Bugis, Bahasa Toraja, dan Bahasa Makassar.
 Senjata Tradisional dari Sulawesi Barat yang terkenal adalah Badik.
 Tari Daerah Sulawesi Barat diantaranya Tari Kipas, Tari Pattudu, Tari Bamba
Manurung, Tari Ma Bundu, Tari Motaro, Tari Bulu Londong, Tari Tuduq Mandar
Pembolongatta, Tari Tuduq Kumba, Tari Dego Pallaga, dan Tari Pa Jinang.
 Alat Musik yang sering dimainkan di Sulawesi Barat adalah Puwi-puwi, Kecapi
Mandar, Keke, Rebana, Gongga, dan Calong.
 Rumah adat tradisional Sulawesi Barat adalah Rumah Banua Layuk yang bentuknya
mirip rumah adat Suku Toraja.
 Banyak cerita daerah dari Provinsi Sulawesi Barat diantaranya Asal Mula Tari Patuddu,
Samba Paria, dan Panglima To Dilaling.
 Pahlawan dari Provinsi Sulawesi Barat diantaranya Robert Wolter Monginsidi.
 Pakaian adat Sulawesi Barat, para lelakinya memakai celana panjang, baju lengan
panjang, dan kain bermotif melilit di pinggang. Di bagian diselipkan badik. Kaum
perempuanya memakai baju lengan pendek, kain sarung bermotif, ikat pinggang, dan
dihias beberapa aksesoris rambut.
 Makanan khas di Sulawesi Barat adalah Pupu dan Ikan Terbang Asap, Golla Kambu,
Loka Anjoroi, dan Gogos.
 Hasil alam Sulawesi Barat diantaranya kakao, kopi robusta atau kopi arabika, jagung,
kelapa, dan cengkih.
 Provinsi Sulawesi Barat terletak di jazirah Sulawesi bagian barat, persis berhadapan
langsung dengan Selat Makassar, dengan panjang garis pantai kurang lebih 752
Km.Kondisi tersebut sangat menguntungkan bagi perikanan laut (tangkap) dari
berbagai jenis ikan nelayan dan ikan domersal serta ikan-ikan karang. Disamping itu,
juga sangat potensial untuk budidaya perikanan pantai seperti udang, bandeng, taripang
dan berbagai jenis komoditas ikan karal. Salah satu kendala dalam eksploitasi
perikanan adalah penggunaan alat tangkap yang masih sederhana. Potensi perikanan
laut di Provinsi Sulawesi Barat dapat dijadikan salah satu alternatif untuk menggali
potensi yang ada, melalui budidaya laut, industri tepung ikan dan pengalengan ikan.
Potensi perikanan air payau cukup besar daya ketersediaan lahan seluas 13.584,6 Ha
tersebar di Kabupaten Polman, Majene, dan Mamuju belum sepenuhnya tergarap.
Sementara ini, luas lahan yang sudah berproduksi adalah 10.043,2 Ha dengan produksi
untuk tahun 2009 adalah bandeng dan udang, 842 ton.
 Dan terakhir obyek wisata Provinsi Sulawesi Barat diantaranya Pasir Putih, Air Terjun
Mata Sapi, Taman Laut Pulau Karampuang dan Kepulauan Bala-balakang, Pemandian
Air Panas, Tapandalu dan Aralle, Rumah Adat Mamuju, Padi Tammanurung
Kalumpang, Kayu Ebodi Raksasa, Anjoro Pitu, Air Panas Sumur Jodoh, Pantai
Manakara, Pantai Palippis, Pantai Wisata Lombang-lombang, Air Terjun Indo
Ranoang, Pemandian Limbong, Air Terjun Limbong Miala, Limbong Kamandan, dan
Bendungan Sekka-sekka.
Suku-Suku yang ada di Sulawesi Barat

 Suku Mandar

Suku Mandar adalah suku bangsa yang menempati wilayah Sulawesi Barat, serta
sebagian Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tengah Populasi Suku Mandar dengan jumlah
Signifikan juga dapat ditemui di luar Sulawesi seperti Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur,
Jawa dan Sumatra bahkan sampai ke Malaysia. Pada sensus penduduk tahun 1980 didapati
bahwa terdapat 300.000 orang Mandar di Sulawesi Selatan, tetapi ini lebih menunjukkan
jumlah penutur bahasa Mandar pada tahun itu kabupaten Majene, Mamasa, dan Mamuju
penutur bahasa Mandar juga banyak, maka angkanya akan lebih dari 300.000 jiwa di tiga
kabupaten, Majene, Mamasa dan Mamuju pada waktu itu, karena sensus tahun 1980
menunjukkan jumlah penduduk Majene 120.830, Polewali Mamasa 360.384, Mamuju 99.796.

Mandar ialah suatu kesatuan etnis yang berada di Sulawesi Barat. Dulunya, sebelum terjadi
pemekaran wilayah, Mandar bersama dengan etnis Bugis, Makassar, dan Toraja mewarnai
keberagaman di Sulawesi Selatan. Meskipun secara politis Sulawesi Barat dan Sulawesi
Selatan diberi sekat, secara historis dan kultural Mandar tetap terikat dengan “sepupu-sepupu”
serumpunnya di Sulawesi Selatan. Istilah Mandar merupakan ikatan persatuan antara tujuh
kerajaan di pesisir (Pitu Ba’ba’na Binanga) dan tujuh kerajaan di gunung (Pitu Ulunna Salu).
Keempat belas kekuatan ini saling melengkapi, “Sipamandar” (menguatkan) sebagai satu
bangsa melalui perjanjian yang disumpahkan oleh leluhur mereka di Allewuang Batu di Luyo.

Rumah adat suku Mandar disebut Boyang. Perayaan-perayaan adat diantaranya Sayyang
Pattu'du (Kuda Menari), Passandeq (Mengarungi lautan dengan cadik sandeq), Upacara adat
suku Mandar, yaitu "mappandoe' sasi" (bermandi laut). Makanan khas diantaranya Jepa,
Pandeangang Peapi, Banggulung Tapa, dll.

Mandar dapat berarti tanah Mandar dapat juga berarti penduduk tanah Mandar atau suku
Mandar

pada akhir abad 16 atau awal abad 17 negeri negeri Mandar menyatukan diri menjadi sebuah
negeri yang lebih besar, yaitu tanah Mandar yang terdiri dari Pitu Ulunna Salu dan Pitu Babana
Binanga, Pitu Babana Binanga lah yang terkenal dengan armada laut Mandar dalam perang
Gowa-Bone diabad ke17.

Suku Mandar terdiri atas 17 (kerajaan) kerajaan, 7 (tujuh) kerajaan (lebih mirip republik
konstitusional dimana pusat musyawarah ada di Mambi) hulu yang disebut "Pitu Ulunna Salu",
7 (tujuh) kerajaan muara yang disebut "Pitu ba'bana binanga" dan 3 (tiga) kerajaan yang
bergelar "Kakaruanna Tiparittiqna Uhai".
Tujuh kerajaan yang tergabung dalam wilayah Persekutuan Pitu Ulunna Salu adalah:

1. Kerajaan Rante Bulahang


2. Kerajaan Aralle
3. Kerajaan Tabulahan
4. Kerajaan Mambi
5. Kerajaan Matangnga
6. Kerajaan Tabang
7. Kerajaan Bambang

Tujuh kerajaan yang tergabung dalam wilayah Persekutuan Pitu Baqbana Binanga adalah:

1. Kerajaan Balanipa
2. Kerajaan Sendana
3. Kerajaan Banggae
4. Kerajaan Pamboang
5. Kerajaan Tapalang
6. Kerajaan Mamuju
7. Kerajaan Benuang

Kerajaan yang bergelar Kakaruanna Tiparittiqna Uhai atau wilayah Lembang Mappi namun
sekarang adalah bagian dari kerajaan Balanipa, adalah sebagai berikut:

1. Kerajaan Allu
2. Kerajaan Tuqbi
3. Kerajaan Taramanuq

Di kerajaan-kerajaan Hulu pandai akan kondisi pegunungan sedangkan kerajaan-kerajaan


Muara pandai akan kondisi lautan. Dengan batas-batas sebelah selatan berbatasan dengan Kab.
Pinrang, Sulawesi Selatan, sebelah timur berbatasan dengan Kab. Toraja, Sulawesi Selatan,
sebelah utara berbatasan dengan Kota Palu, Sulawesi Tengah dan sebelah barat dengan selat
Makassar.

Sepanjang sejarah kerajaan-kerajaan di Mandar, telah banyak melahirkan tokoh-tokoh pejuang


dalam mempertahankan tanah melawan penjajahan VOC,Belanda seperti: Imaga Daeng Rioso,
Puatta i sa'adawang, Maradia Banggae, Ammana iwewang, Andi Depu, meskipun pada
akhirnya wilayah Mandar berhasil direbut oleh Belanda.

Dari semangat suku Mandar yang disebut semangat "Assimandarang" sehingga pada tahun
2004 wilayah Mandar menjadi salah satu provinsi yang ada di Indonesia yaitu provinsi
Sulawesi Barat.
 Suku Pattae
Suku Pattae, adalah nama suatu suku yang bermukim di kabupaten Polewali Mandar
provinsi Sulawesi Barat. Suku Pattae sebagian besar mendiami wilayah kecamatan Matakali
hingga perbatasan kabupaten Pinrang.

Menurut cerita turun temurun yang tersimpan di kalangan suku Pattae bahwa nenek moyang
orang Pattae pertama kali hidup di daerah Pattae adalah “To Millo’ Ko”, dan mereka
menyebutnya sebagai “Mula Tau”. Dari “Mula Tau” ini lah yang menurunkan orang-orang
Pattae sekarang ini,

Secara mayoritas masyarakat suku Pattae memeluk agama Islam. Mereka adalah muslim yang
taat. Terlihat dari beberapa tradisi adat suku Pattae banyak dipengaruhi oleh budaya Islam.
Mereka telah lama memeluk agama Islam sejak beberapa abad yang lalu, kemungkinan
disebarkan oleh orang-orang Bugis yang juga banyak bermukim di wilayah suku Pattae ini.

Salah satu tradisi budaya suku Pattae, yang sekarang mulai jarang dilaksanakan adalah tradisi
loncat batu tinggi. Tradisi ini mengingatkan akan tradisi salah satu rumpun Batak, yaitu suku
Nias di kepulauan Nias, yang juga memiliki tradisi loncat batu seperti ini. Tradisi loncat batu
ini berasal dari masa lalu pada saat di wilayah ini pernah berdiri sebuah kerajaan yang bernama
Kerajaan Binuang. Salah satu peninggalan kerajaan ini adalah terdapatnya situs bersejarah
bernama batu pekkambuangan.

Dilihat dari struktur fisik dan karakter orang Pattae ini, berkerabat dengan suku Toraja, selain
itu bahasa yang diucapkan oleh suku Pattae ini juga sangat mirip dengan bahasa Toraja.

Karakter suku Pattae yang paling menonjol adalah kebiasaan gotong-royong dan memiliki sifat
tolong menolong kepada siapapun yang memerlukan pertolongan. Mereka juga sangat ramah
terhadap siapapun, termasuk kepada pendatang baru di daerah mereka.

Suku Pattae pada umumnya hidup pada bidang pertanian, padi dan jagung. Termasuk tanaman
keras seperti kakao dan kopi arabica.
contoh bahasa Pattae:

 cakaruduk : ngantuk
 kumande : makan
 mitindo : tidur
 lau : pergi.
 Suku Pattinjo

Suku Pattinjo, adalah etnis yang menghuni daerah kelurahan Tadokkong kecamatan
Lembang di kabupaten Pinrang provinsi Sulawesi Selatan.

Keberadaan suku Pattinjo sendiri selama ini diakui sebagai orang Bugis atau hanya dianggap
sebagai salah satu sub-suku Bugis. Sedangkan pemerintah setempat sering mengkategorikan
orang Pattinjo sebagai suku Bugis Pattinjo.

Sebenarnya daerah pemukiman suku Pattinjo berada di 4 kecamatan di kabupaten Pinrang


sebagai tempat asal mereka, tetapi penyebaran mereka justru terbanyak berada di wilayah
kabupaten Enrekang dan kabupaten Luwu, selain itu komunitas suku Pattinjo ini juga terdapat
di Tarakan provinsi Kalimantan Timur.

Keberadaan suku Pattinjo sudah mulai dikenal keberadaannya sebagai sebuah “suku”, yang
selama berada di bawah bayang-bayang nama suku yang lebih besar yaitu “suku Bugis”, dan
sejak dahulu suku Pattinjo lebih dikenal sebagai “suku Bugis-Pattinjo”. Selain itu orang Pattinjo
sendiri lebih suka menyebut diri mereka sebagai suku Pattinjo.

Suku Pattinjo sebenarnya layak disebut ‘suku”, karena sejak dahulu suku Pattinjo telah memiliki
struktur pemerintahan sendiri yang mereka patuhi dan berlaku turun temurun, seperti Maddika
(setingkat Kepala Desa), Tomakaka dan Pakkarungan (Arung).
Selain itu suku Pattinjo juga memiliki adat-istiadat, budaya serta bahasa sendiri. Beberapa
tradisi budaya suku Pattinjo yang sudah mulai dikenal adalah Marroddo yang ada di desa
Basseang kecamatan Lembang, Suling Bambu di desa Sali-sali, Pencak Silat dan Rebana.

Selama ini suku Pattinjo identik dengan suku Mandar, ketika wilayah Sulawesi Selatan dan
Sulawesi Barat masih bergabung, suku Pattinjo dikelompokkan dalam bagian suku Mandar atau
dengan kata lain suku Pattinjo satu kesatuan dengan suku Mandar. Saat ini wilayah suku Mandar
berada di Sulawesi Barat, sedangkan wilayah pemukiman suku Pattinjo tetap berada di wilayah
Sulawesi Selatan.

Suku Pattinjo secara kultur budaya sebenarnya lebih mendekati kultur budaya orang Toraja.
Dari segi bahasa juga, bahwa bahasa Pattinjo lebih banyak kemiripan dengan bahasa Toraja,
dibanding dengan suku Bugis dan Makasar. Bahkan menurut sebuah tulisan di web, mengatakan
bahwa secara struktur fisik, orang Pattinjo memiliki struktur fisik orang Toraja. Menurut dugaan
bahwa kemungkinan dahulunya orang Pattinjo memiliki sejarah asal usul yang sama dengan
orang Toraja.

Suku Pattinjo mayoritas adalah pemeluk agama Islam, yang dikembangkan oleh orang-orang
dari Tanah Bugis pada beberapa abad yang silam. Beberapa tradisi adat suku Pattinjo
mengandung unsur-unsur Islami yang dikombinasikan dengan adat asli suku Pattinjo.

Suku Pattinjo memiliki karakter yang terbuka dan cenderung spontan dalam menyikapi sesuatu,
atau dalam istilah lain “ceplas-ceplos”. Karakter lain orang Pattinjo adalah keras, dan tidak suka
diatur oleh orang lain. Beberapa cerita negatif tentang orang Pattinjo, yang menceritakan orang
Pattinjo adalah kasar, pengangguran dan suka mencari masalah. Benar atau tidaknya cerita
negatif tentang orang Pattinjo, tentunya masyarakat suku Pattinjo sendiri lah yang harus
menyikapinya secara bijaksana.

Dalam kehidupan sehari-hari, pada dasarnya masyarakat suku Pattinjo hidup pada bidang
pertanian. Tetapi saat ini sebagian masyarakat suku Pattinjo lebih suka berprofesi pada bidang-
bidang lain.

 Suku Pannai

Suku Pannei merupakan suku yang berada di Sulawesi Barat dan sebagian juga berada di
Sulawesi Selatan. Suku Pannei saat ini diperkirakan memiliki populasi sebesar 250.000 orang.
Kehidupan masyarakat suku Pannei ini pula pada umumnya berprofesi sebagai petani. Mereka
mengelola tanaman padi di sawah. Sebagian dari mereka juga ada yang memilih profesi sebagai
nelayan. Selain itu beberapa dari mereka menjadi perajin yang menghasilkan beragam jenis
kerajinan.
 Suku To Dakka/Dakko

Suku To Dakka yang banyak mendiami daerah Kabupaten Polman (Kecamatan Tapango,
Wonomulyo dan Kecamatan Matakali), Majene, mamasa, mamuju, mamuju utara sampai ke
negeri jiran Malaysia, Singapura, Brunai, Banlades, India, bahkan sampai Ketimur Tengah,
Benua Amerika dan Eropa. Kini sudah banyak bercampur baur dengan suku-suku lainnya di
nusantara ini, seperti suku mandar, Bugis, Makassar, Toraja, Jawa dan masih banyak suku
lainnya yang kawin – mawin dengan suku To Dakka.

Dari perkawinan beda suku itulah, membuat suku To Dakka makin kehilangan jati diri. Anak
yang lahir dari perkawinan antar suku inilah yang banyak tidak kenal suku aslinya, yakni To
Dakka, yang mereka tahu selama ini adalah suku Mandar, Bugis dan suku lainnya yang selama
ini banyak muncul di masyarakat.

Kurangnya masyarakat To Dakka yang mengakui dirinya sebagai suku To Dakka, bukan berarti
suku To Dakka makin berkurang, tetap saja bertambah sama dengan perkembangan suku-suku
lainnya, hanya saja dalam perkembangan zaman, suku To Dakka makin tenggelam dengan
perkembangan suku-suku lainya. Orang To Dakka kawin dengan suku Mandar, maka yang
ditonjolkan adalah suku Mandar, demikian halnya dengan suku lainnya. Hal seperti itulah,
membuat suku To Dakka kehilangan jati diri.

Saat daerah di Sulawesi Barat masih menjadi daerah Sulawesi Selatan, di Sulawesi Selatan
hanya dikenal empat suku bangsa yang mendiaminya, yakni suku Makassar, Bugis, Mandar
dan Toraja, sedangkan suku lainnya yang penduduknya relative kecil mulai tenggelam dan
jarang disebut dipermukaan.

Tenggelamnya suku-suku kecil di permukaan di daerah Polewali mandar maupun di Sulawesi


Barat umumnya, membuat generasi yang lahir belakangan ini, tidak mengenal lagi suku
aslinya, yakni suku To Dakka, yang mereka tahu adalah suku Mandar. Demikian halnya bahasa
daerah sehari-harinya, mereka kebanyakan menggunakan bahasa Mandar, sedangkan bahasa
To Dakka terasa asing baginya, walaupun mereka tahu artinya, tapi tak mampu
mengucapkannya. Kondisi seperti inilah membuat budaya suku To Dakka dimasa datang akan
lenyap di permukaan.
Namun begitu, hingga kini masih banyak orang-orang tua di daerah Kecamatan Tapango,
Matakali, Wonomulyo, Mapilli, Anreapi, yang memelihara budaya To Dakka. Mereka tak mau
dikatakan suku Mandar, dan lebih bersemangat bila disebut suku To Dakka. Demikian halnya
dalam percakapan sehari-hari menggunakan bahasa To Dakka. Walaupun anak-anak mereka
dari suku To Dakka ini, lebih kental berbahasa mandar, Bugis, ketimbang bahasa To Dakka.
Inilah salah satu ancaman hilangnya budaya To Dakka dimasa datang.

Salamun, salah seorang tokoh suku To Dakka mengatakan, bahwa suku To Dakka sudah ada
sejak zaman nenek moyang dulu, bersamaan lahirnya suku-suku bangsa di nusantara ini,
namun dalam perkembangannya, suku To Dakka seakan tenggelam sebagai akibat dari
kebijakan Pemerintah yang hanya memperkenalkan 4 macam suku bangsa di Sulawesi selatan
dulu, yakni suku Makassar, Bugis , Mandar dan Toraja. Padahal, kata Salamun, suku kecil di
Sulawesi Selatan memiliki latar belakang bahasa dan budaya yang berbeda dengan suku
lainnya.

Pasca lepasnya Sulawesi barat dari Sulawesi Selatan memberikan ruang gerak suku-suku kecil
yang tidak diakui oleh pemerintah Sulawesi Selatan untuk bangkit dan mendeklarasikan dirinya
dengan cepat di Sulawesi Barat Inilah yang membuat, banyak suku di daerah Sulawesi Barat
tetap bertahan, seperti halnya dengan suku To Dakka.

Menelusuri beberapa daerah pedesaan di kecamatan Tapango, Wonomulyo dan Matakali,


Mapilli, Anreapia, nampaknya masih banyak warga, khususnya orang-orang tua yang masih
memelihara budaya To Dakka, khususnya menyangkut bahasa To Dakka. Sesama orang tua
To Dakka, mereka lebih cenderung berbahasa To Dakka, namun bagi anak-anak mereka yang
sudah terkontaminasi dengan budaya Mandar dan budaya lainnya, mereka merasa asing dengan
bahasa daerahnya sendiri.

Sebagian generasi To Dakka sekarang, mereka hanya tahu bahwa To Dakka adalah bagian dari
suku Mandar, sehingga bahasa daerah yang dikenalnya hanya bahasa Mandar, sedangkan
bahasa To Dakka yang merupakan bahasa asli nenek moyangnya, terlupakan begitu saja.
Mereka beranggapan, bahwa To Dakka bukanlah suku bangsa, dan hanya bagian dari sebuah
perkampungan kecil di daerah Mandar.

Untuk melestarikan budaya To Dakka kedepan, perlu kiranya dibentuk suatu lembaga
pengkajian bashas To Dakka. Dengan lembaga pengkajian bashas To Dakka ini, para orang tua
dengan mudah memperkenalkan budaya To Dakka pada generasi muda. Demikian halnya
bahasa To Dakka, jangan sampai hilang di permukaan. Orang tua harus membudayakan bahasa
To Dakka bagi anak-anaknya, khusnya dalam berkomunikasi setiap harinya. Bahasa To Dakka
harus bisa menjadi bahasa pengantar dalam pergaulan sehari-hari, baik antar anggota keluarga
maupun sesama anggota masyarakat.

Para orang tua suku To Dakka di daerah Tapango yang merupakan kolompok mayoritas suku
To Dakka, kini masih banyak yang memelihara adat dan budaya To Dakka, seperti halnya
dalam adat perkawinan, kematian, pesta panen, acara aqiqah dan kebiasaan lainnya. Dalam
acara kematian misalnya, suku To Dakka beranggapan, bahwa Almarhum/Almarhuma itu
selama 40 hari rohnya masih ada di rumah tempat tinggalnya. Keberadaan roh
Almarhum/Almarhuma itu disimbolkan dengan kain kafan yang ada dalam tempat tidur. Setiap
harinya diberi makanan nasi empat rupa juga ayam panggang, namun pada akhirnya sipemilik
rumahlah yang memakannya.
Walau masih banyak orang tua yang masih memegang teguh adat istiadat suku To Dakka,
namun generasi sekarang nampaknya sudah banyak yang tidak peduli dengan tradisi nenek
moyangnya. Mereka lebih cenderung larut dalam peradaban di abad modern ini.

Suku To Dakka selama ini memang dikenal sangat terbuka, mau menerima suku apa saja yang
masuk ke daerahnya. Seperti halnya masuknya orang jawa untuk bertransmigrasi di daerah itu,
membuat daerah itu kian maju. Namun dampaknya, orang Jawa yang telah lama bermukim di
daerah transmigrasi terus berkembang, hingga daerah yang ditempatinya diubah menjadi nama
yang berbau jawa, yakni Wonomulyo yang kini menjadi salah satu wilayah kecamatan di
Kabupaten Polewali Mandar (Polman).

Masuknya orang Jawa di daerah Polman, membuat suku To Dakka banyak berkulturasi dengan
budaya Jawa, Orang Jawa juga banyak yang kawin dengan suku To Dakka. Akulturasi dua
budaya yang berbeda inilah, membuat budaya daerah setempat semakin terkikis, akhirnya
menghilang. Begitu juga dengan suku-suku lainnya seperti, Pattae, Pannei, hingga budaya To
Dakka hampir mengalami kepunahan.

 Suku Mamasa

Suku Mamasa adalah suatu komunitas masyarakat asli yang berada di kabupaten Mamasa
di provinsi Sulawesi Barat. Masyarakat suku Mamasa tersebar di seluruh kecamatan di
kabupaten Mamasa. Selain itu populasi suku Mamasa juga terdapat di kabupaten Banggai
Sulawesi Tengah. Suku Mamasa merupakan bagian sub-suku Toraja. Secara adat istiadat dan
budaya, berkerabat dengan suku Toraja. Selain itu bahasa Mamasa juga mirip dengan bahasa
Toraja. Oleh karena itu suku Mamasa ini sering disebut juga sebagai suku Toraja Mamasa.
Tapi walaupun orang Mamasa mengaku berdarah Toraja, tapi mereka cenderung lebih suka
menyebut diri mereka sebagai suku To Mamasa. Selain itu masyarakat suku Mamasa tidak
memiliki upacara adat sebanyak sebagaimana upacara adat di Toraja.

Orang Mamasa sebagian masih ada yang mempraktekkan tradisi dari agama tradisional leluhur
mereka, yang disebut “Ada Mappurondo” atau “Aluk Tomatua”. Tradisi agama tradisional ini
tetap terpelihara dan terus terwariskan ke generasi berikutnya. Tradisi dari Ada ‘Mappurondo’
ini dilaksanakan terutama setelah panen padi berakhir, sebagai ucapan syukur atas hasil panen
mereka. Ada satu tradisi dari agama tradisional suku Mamasa yang unik dan mungkin tidak
ada di daerah lain, yaitu tradisi penguburan orang yang telah mati, tapi dengan membuat sang
jenazah berjalan dengan sendirinya menuju kuburan yang telah disiapkan. Mereka percaya
bahwa semua mayat dari sebuah keluarga atau kerabat akan berada di tempat yang sama dalam
kehidupan sesudahnya.

Asal usul suku Mamasa menurut sebuah cerita rakyat yang terpelihara di kalangan suku
Mamasa, menceritakan bahwa “Nene Torije’ne” (nenek moyang nenek) datang dari laut dan
“Nenek Pongkapadang “ (nenek moyang kakek) datang dari sebelah timur pegunungan pulau
ini. Mereka bertemu satu sama lain kemudian pindah ke Bunto Bulo, di desa Tabulahan dekat
kabupaten Mamuju. Menurut para peneliti, suku Mamasa ini dahulunya adalah berasal dari
orang-orang Toraja Sa’dan yang bermigrasi ke wilayah ini. Tumbuh dan berkembang menjadi
suatu komunitas yang sekarang lebih umum dikenal suku Mamasa. Suku Mamasa, secara
mayoritas adalah pemeluk agama Kristen. Perkembangan agama Kristen diterima oleh
masyarakat suku Mamasa sekitar awal tahun1900, oleh misionaris dari Belanda. Suku Mamasa
berbicara dalam bahasa Mamasa. Bahasa Mamasa ini di kelompokkan ke dalam sub-dialek dari
bahasa Toraja, karena banyak terdapat kesamaan bahasa antara bahasa Mamasa dan bahasa
Toraja. Bahasa Mamasa diucapkan di daerah sepanjang sungai Mamasa kabupaten Polewali
Mamasa provinsi Sulawesi Barat.
PERMUKIMAN

PEMILIHAN LOKASI

Bagi orang Mandar, setiap akan membangun rumah senantiasa didahului dengan suatu
pertemuan antara seluruh keluarga atau kerabat. Dalam pertemuan tersebut dilakukan
musyawarah mengenai berbagai hal yang biasanya dipimpin oleh anggota keluarga yang lebih
tua dan mengetahui tentang nilai-nilai dan adat istiadat dalam masyarakat. Untuk mendapatkan
hasil yang optimal, pelaksanaan musyawarah sering dihadirkan pula pappapia boyang (tukang
ahli rumah). Fokus musyawarah lebih diutamakan pada status sosial yang akan menempati
rumah tersebut sebab dari status sosial orang bersangkutan akan dapat diketahui jenis dan
bentuk rumah yang akan dibangun. Kalau yang bersangkutan berstatus bangsawan, maka jenis
rumah yang akan dibangun adalah boyang adaq, bila yang bersangkutan berasal dari golongan
masyarakat biasa, maka rumah yang akan dibangun adalah boyang beasa.[5]

Pemilihan waktu juga sangat penting, karena terkait dengan sistem kepercayaan masyarakat
yang disebut putika, ada waktu yang baik dan ada waktu yang buruk. Waktu yang baik selalu
dihubungkan dengan keberuntungan dan keselamatan. Pemilihan waktu yang baik
dimaksudkan agar cita-cita yang diharapkan oleh penghuni rumah, seperti rezeki yang banyak,
kehidupan yang harmonis, dan keselamatan dapat terwujud secara nyata. Sedangkan waktu
yang buruk selalu dihubungkan dengan bala, bencana dan ketidakmujuran atau sial.[5] Hari-hari
baik adalah senin, kamis, dan jumat. Bulan-bulan tertentu dianggap kurang baik, seperti
Muharram, Safar, Jumadil Awal, dan Dzulkaidah. Orientasi rumah boyang yang paling baik
adalah pada arah yang mengandung makna positif, yaitu arah timur tempat matahari terbit.
Setelah agama Islam masuk di daerah Mandar, maka muncullah pandangan baru bahwa arah
barat juga baik. Arah barat dianggap menghadap ke kiblat.[7]

ORIENTASI BANGUNAN
Perkembangan Arsitektur Mandar sebelum tahun 1960 sampai tahun 1990 keatas, dilokasi
kelurahan Banggae Kabupaten Majene.

Sebelum tahun 1960 : orientasi umumnya menghadap ketimur (matahari) dan kebukit-bukit
sesuai usulan orang dulu agar rezeki pemilik rumah dimudahkan.
Tahun 1960-1990 : orientasi umumnya menghadap kebarat (kiblat) atau kearah timur sesuai
kepecayaan
Tahun 1990 keatas ; orientasi umumnya menghadap kejalan dan sebagian kecil menghadap
kearah timur (matahari)
Selain itu orientasi bangunan kearah Timur (matahari terbit) dipercayai bahwa arah bangunan
tersebut memiliki makna atau simbol sebagai keselarasan dan harmonisasi kehidupan.
POLA PEMUKIMAN
Berdasarkan letak geografis Sulawesi Barat, wilayah provinsi Sulawesi Barat terdiri atas
dataran tinggi dan rendah. Daerah dataran tinggi umumnya dihuni oleh suku Mamasa yang
berbatasan langsung dengan Tana Toraja, memiliki pola pemukiman tata massa yang menyebar
memanfaatkan bagian permukaaan tanah yang datar menyesuaikan dengan medan yang
berbukit-bukit dan ukuran bangunan yang cukup besar. Letak yang menyebar antar banua
dalam suatu perkampungan namun selalu kearah yang sama ke utara maupun arah melintang
sungai adalah cermin kesatuan pandangan dan mufakat dalam hidup bermasyarakat.
Sedangkan pada dataran rendah mayoritas dihuni oleh suku Mandar, wilayahnya sebagian
besar berada diseputar pinggir sungai Majene, yang merupakan jalur transportasi air dan tempat
berlabuhnya perahu-perahu nelayan. Rumah-rumah penduduk di ketiga lingkungan tersebut
berjejer menghadap ke jalan raya atau lorong-lorong. Kondisi pemukiman cukup padat
terutama diseputar pasar.

Anda mungkin juga menyukai