Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN PENDAHULUAN PADA PASIEN DENGAN CHOLECYSTITIS

di Ruang 24B RSUD dr.Saiful Anwar Malang

NAMA : Agung Tri Widodo


NIM : 1520004

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KEPANJEN
MALANG
2019
LEMBAR PENGESAHAN

Asuhan Keperawatan Pada Ny. S dengan CHOLECYSTITIS di Ruang 24B


Rumah Sakit dr. Saiful Anwar Malang yang Dilakukan Oleh :
Nama : Agung Tri Widodo
NIM : 15.20.004
Prodi : Pendidikan Profesi Ners
Sebagai salah satu syarat dalam pemenuhan tugas praktik Profesi Ners
Departemen Keperawatan Dasar, yang dilaksanaka pada 26 Agustus 2019 - 31
Agustus 2019, yang telah disetujui dan disahkan pada :
Hari :
Tanggal :

Malang, Agustus 2019

Mengetahui,

Pembimbing Institusi Pembimbing Klinik

(.............................................) (.............................................)

(.............................................)
(.....
Kepala Ruang
.............
.............
.............
.) BAB 1
(.............................................)

(.............................................)
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Cholecystitis merupakan inflamasi pada kandung empedu yang dapat berupa

akut, kronik, atau kronik eksaserbasi akut. Cholecystitis sangat erat kaitannya

dengan pembentukan batu empedu (cholecystolithiasis). Sekitar 90% kasus

cholecystitis disertai dengan batu empedu (calculous cholecystitis) dan 10% tidak

disertai dengan batu empedu (acalculous cholecystitis) (Kumar, Abbas, & Aster,

2013; Bloom & Katz, 2016).

Acute calculous cholecystitis merupakan komplikasi dari cholecystolithiasis dan

indikasi dilakukannya emergency cholecystectomy, sedangkan acute acalculous

cholecystitis hanya ditemukan pada 5 12% kasus pada pengangkatan kandung

empedu. Sama seperti acute cholecystitis, chronic cholecystitis juga erat kaitannya

dengan batu empedu, tetapi chronic cholecystitis juga dapat disebabkan oleh

mikroorganisme. Kultur mikroorganisme E. coli dan Enterococcus didapatkan

pada sepertiga kasus (Kumar, Abbas, & Aster, 2013). Cholecystitis dapat dipicu

oleh tiga faktor: (1) inflamasi mekanik yang disebabkan peningkatan tekanan

intraluminal dan distensi yang menyebabkan iskemik mukosa dan dinding

kandung empedu, (2) Inflamasi kimia disebabkan pengeluaran lysolecithin, (3)

inflamasi akibat bakteri (Greenberger & Gustav Paumgartner, 2015).

Di negara maju diperkirakan prevalensi batu empedu sekitar 10 15%,

dengan lebih dari 85% batu empedu adalah batu kolesterol sedangkan sisanya batu

pigmen hitam contohnya calcium bilirubinate. Sebanyak 20 25 juta kasus

terdiagnosis batu empedu dan 750.000 cholecystectomy dilakukan tiap tahunnya


di Amerika (Stinton & Shaffer, 2012; Jean Marc Regimbeau, et al., 2014; Zhu,

Aili, & Abudureyimu, 2014).

Di Indonesia angka kejadian cholecystitis belum diketahui secara pasti,

namun penelitian di Laboratorium Patologi Anatomi Rumah Sakit Al-Islam

Bandung tahun 2003 2007 menunjukkan angka kejadian cholecystitis sebesar 174

kasus (Elber,2008).
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi

Kolelitiasis adalah penyakit batu empedu yang dapat ditemukan di dalam

kandung empedu atau di dalam saluran empedu, atau pada kedua-duanya.

Sebagian besar batu empedu, terutama batu kolesterol, terbentuk di dalam

kandung empedu.

Hati terletak di kuadran kanan atas abdomen di atas ginjal kanan, kolon,

lambung, pankreas, dan usus serta tepat di bawah diafragma. Hati dibagi menjadi

lobus kiri dan kanan, yang berawal di sebelah anterior di daerah kandung

empedu dan meluas ke belakang vena kava.15 Kuadran kanan atas abdomen

didominasi oleh hati serta saluran empedu dan kandung empedu.1 Pembentukan

dan ekskresi empedu merupakan fungsi utama hati.

Kandung empedu adalah sebuah kantung terletak di bawah hati yang

mengonsentrasikan dan menyimpan empedu sampai ia dilepaskan ke dalam

usus.16,17 Kebanyakan batu duktus koledokus berasal dari batu kandung empedu,

tetapi ada juga yang terbentuk primer di dalam saluran empedu.

Batu empedu bisa terbentuk di dalam saluran empedu jika empedu

mengalami aliran balik karena adanya penyempitan saluran.3,18 Batu empedu di

dalam saluran empedu bisa mengakibatkan infeksi hebat saluran empedu

(kolangitis). Jika saluran empedu tersumbat, maka bakteri akan tumbuh dan

dengan segera menimbulkan infeksi di dalam saluran. Bakteri bisa menyebar

melalui aliran darah dan menyebabkan infeksi di bagian tubuh lainnya.


Adanya infeksi dapat menyebabkan kerusakan dinding kandung empedu,

sehingga menyebabkan terjadinya statis dan dengan demikian menaikkan batu

empedu. Infeksi dapat disebabkan kuman yang berasal dari makanan. Infeksi

bisa merambat ke saluran empedu sampai ke kantong empedu.3,4 Penyebab

paling utama adalah infeksi di usus. Infeksi ini menjalar tanpa terasa

menyebabkan peradangan pada saluran dan kantong empedu sehingga cairan

yang berada di kantong empedu mengendap dan menimbulkan batu. Infeksi

tersebut misalnya tifoid atau tifus. Kuman tifus apabila bermuara di kantong

empedu dapat menyebabkan peradangan lokal yang tidak dirasakan pasien, tanpa

gejala sakit ataupun demam. Namun, infeksi lebih sering timbul akibat dari

terbentuknya batu dibanding penyebab terbentuknya batu.

2.2 Etiologi

Empedu normal terdiri dari 70% garam empedu (terutama kolik dan asam

chenodeoxycholic), 22% fosfolipid (lesitin), 4% kolesterol, 3% protein dan 0,3%

bilirubin.2 Etiologi batu empedu masih belum diketahui dengan sempurna namun

yang paling penting adalah gangguan metabolisme yang disebabkan oleh

perubahan susunan empedu, stasis empedu dan infeksi kandung empedu.3

Sementara itu, komponen utama dari batu empedu adalah kolesterol yang

biasanya tetap berbentuk cairan. Jika cairan empedu menjadi jenuh karena

kolesterol, maka kolesterol bisa menjadi tidak larut dan membentuk endapan di

luar empedu (Denis, 2005) Menurut Lesmana (2000), Kolelitiasis dapat terjadi

dengan atau tanpa faktor resiko dibawah ini. Namun, semakin banyak faktor

resiko yang dimiliki seseorang, semakin besar kemungkinan untuk terjadinya

kolelitiasis.
Faktor resiko tersebut antara lain :

1. Wanita (beresiko dua jadi lebih besar dibanding laki-laki)

2. Usia lebih dari 40 tahun

3. Kegemukan (obesitas)

4. Faktor keturunan

5. Aktivitas fisik

6. Kehamilan (resiko meningkat pada kehamilan)

7. Hiperlipidemia

8. Diet tinggi lemak dan rendah serat

9. Pengosongan lambung yang memanjang

10. Nutrisi intravena jangka lama

11. Dismotilitas kandung empedu

12. Obat-obatan antihiperlipedmia (clofibrate)


2.3 Manifestasi Klinis

Penderita batu empedu sering mempunyai gejala-gejala kolestitis akut atau

kronik. Bentuk akut ditandai dengan nyeri hebat mendadak pada abdomen bagian

atas, terutama ditengah epigastrium. Lalu nyeri menjalar ke punggung dan bahu

kanan (Murphy sign). Pasien dapat berkeringat banyak dan berguling ke kanan-

kiri saat tidur. Nausea dan muntah sering terjadi. Nyeri dapat berlangsung selama

berjam-jam atau dapat kembali terulang. 3 Gejala-gejala kolesistitis kronik mirip

dengan fase akut, tetapi beratnya nyeri dan tanda-tanda fisik kurang nyata.

Seringkali terdapat riwayat dispepsia, intoleransi lemak, nyeri ulu hati atau

flatulen yang berlangsung lama. Setelah terbentuk, batu empedu dapat berdiam

dengan tenang dalam kandung empedu dan tidak menimbulkan masalah, atau

dapat menimbulkan komplikasi. Komplikasi yang paling sering adalah infeksi

kandung empedu (kolesistitis) dan obstruksi pada duktus sistikus atau duktus

koledokus. Obstruksi ini dapat bersifat sementara, intermitten dan permanent.

Kadangkadang batu dapat menembus dinding kandung empedu dan menyebabkan

peradangan hebat, sering menimbulkan peritonitis, atau menyebakan ruptur

dinding kandung empedu (Lesmana, 2000).

2.4 Patofisiologi

Pembentukan batu empedu dibagi menjadi tiga tahap: (1) pembentukan

empedu yang supersaturasi, (2) nukleasi atau pembentukan inti batu, dan (3)

berkembang karena bertambahnya pengendapan. Kelarutan kolesterol merupakan

masalah yang terpenting dalam pembentukan semua batu, kecuali batu pigmen.

Supersaturasi empedu dengan kolesterol terjadi bila perbandingan asam empedu

dan fosfolipid (terutama lesitin) dengan kolesterol turun di bawah harga tertentu.
Secara normal kolesterol tidak larut dalam media yang mengandung air. Empedu

dipertahankan dalam bentuk cair oleh pembentukan koloid yang mempunyai inti

sentral kolesterol, dikelilingi oleh mantel yang hidrofilik dari garam empedu dan

lesitin. Jadi sekresi kolesterol yang berlebihan, atau kadar asam empedu rendah,

atau terjadi sekresi lesitin, merupakan keadaan yang litogenik (Schwartz, 2000).

Pembentukan batu dimulai hanya bila terdapat suatu nidus atau inti pengendapan

kolesterol. Pada tingkat supersaturasi kolesterol, kristal kolesterol keluar dari

larutan membentuk suatu nidus, dan membentuk suatu pengendapan. Pada tingkat

saturasi yang lebih rendah, mungkin bakteri, fragmen parasit, epitel sel yang

lepas, atau partikel debris yang lain diperlukan untuk dipakai sebagai benih

pengkristalan (Lesmana, 2000).


2.5 Klasifikasi

Menurut gambaran makroskopis dan komposisi kimianya, batu empedu di

golongkankan atas 2 (dua) golongan:

1. Batu kolesterol Berbentuk oval, multifokal atau mulberry dan

mengandung lebih dari 70% kolesterol. Lebih dari 90% batu empedu adalah

kolesterol (batu yang mengandung > 50% kolesterol). Untuk terbentuknya

batu kolesterol diperlukan 3 faktor utama : a. Supersaturasi kolesterol b.

Hipomotilitas kandung empedu c. Nukleasi/ pembentukan nidus cepat.

2. Batu pigmen Batu pigmen merupakan 10% dari total jenis baru

empedu yang mengandung <20% kolesterol. Jenisnya antara lain:

a. Batu pigmen kalsium bilirubinan (pigmen coklat) Berwarna coklat atau

coklat tua, lunak, mudah dihancurkan dan mengandung kalsium-bilirubinat

sebagai komponen utama. Batu pigmen cokelat terbentuk akibat adanya

faktor stasis dan infeksi saluran empedu. Stasis dapat disebabkan oleh

adanya disfungsi sfingter Oddi, striktur, operasi bilier, dan infeksi parasit.

Bila terjadi infeksi saluran empedu, khususnya E. Coli, kadar enzim

Bglukoronidase yang berasal dari bakteri akan dihidrolisasi menjadi

bilirubin bebas dan asam glukoronat. Kalsium mengikat bilirubin menjadi

kalsium bilirubinat yang tidak larut. Dari penelitian yang dilakukan

didapatkan adanya hubungan erat antara infeksi bakteri dan terbentuknya

batu pigmen cokelat.umumnya batu pigmen cokelat ini terbentuk di saluran

empedu dalam empedu yang terinfeksi.

b. Batu pigmen hitam. Berwarna hitam atau hitam kecoklatan, tidak

berbentuk, seperti bubuk dan kaya akan sisa zat hitam yang tak
terekstraksi.1 Batu pigmen hitam adalah tipe batu yang banyak ditemukan

pada pasien dengan hemolisis kronik atau sirosis hati. Batu pigmen hitam

ini terutama terdiri dari derivat polymerized bilirubin. Potogenesis

terbentuknya batu ini belum jelas. Umumnya batu pigmen hitam terbentuk

dalam kandung empedu dengan empedu yang steril.


2.6 Pathway

Gangguan metabolik: Factor resiko: jenis kelamin,


perubahan susunan empedu, statis usia, keturunan, aktifitas fisik,
empedu da infeksi kandung kemih kehamilan, hiperlipidemia, diet tinggi
lemak, pengosongan lambung terlalu
lama, dismolitas kandung empedu,
obat-obatan, ras

Proses supersaturasi,
nukleasi, bertambahnya endapa

Pembentukan batu empedu Cholecystitis

Laparascopy

Pre operasi Intra operasi Post operasi

Ansietas Resiko pendarahan Resiko infeksi


2.7 Penatalaksanaan

Jika tidak ditemukan gejala, maka tidak perlu dilakukan pengobatan. Nyeri

yang hilang-timbul bisa dihindari atau dikurangi dengan menghindari atau

mengurangi makanan berlemak. Jika batu kandung empedu menyebabkan

serangan nyeri berulang meskipun telah dilakukan perubahan pola makan, maka

dianjurkan untuk menjalani pengangkatan kandung empedu (kolesistektomi).

Pengangkatan kandung empedu tidak menyebabkan kekurangan zat gizi dan

setelah pembedahan tidak perlu dilakukan pembatasan makanan. Pilihan

penatalaksanaan antara lain:

1. Kolesistektomi terbuka Operasi ini merupakan standar terbaik untuk

penanganan pasien denga kolelitiasis simtomatik. Komplikasi yang paling

bermakna yang dapat terjadi adalah cedera duktus biliaris yang terjadi pada 0,2%

pasien. Angka mortalitas yang dilaporkan untuk prosedur ini kurang dari 0,5%.

Indikasi yang paling umum untuk kolesistektomi adalah kolik biliaris rekuren,

diikuti oleh kolesistitis akut.

2. Kolesistektomi laparaskopi Kolesistektomi laparoskopik mulai

diperkenalkan pada tahun 1990 dan sekarang ini sekitar 90% kolesistektomi

dilakukan secara laparoskopi. 80-90% batu empedu di Inggris dibuang dengan

cara ini karena memperkecil resiko kematian dibanding operasi normal (0,1-0,5%

untuk operasi normal) dengan mengurangi komplikasi pada jantung dan paru.2

Kandung empedu diangkat melalui selang yang dimasukkan lewat sayatan kecil di

dinding perut. Indikasi awal hanya pasien dengan kolelitiasis simtomatik tanpa

adanya kolesistitis akut. Karena semakin bertambahnya pengalaman, banyak ahli

bedah mulai melakukan prosedur ini pada pasien dengan kolesistitis akut dan
pasien dengan batu duktus koledokus. Secara teoritis keuntungan tindakan ini

dibandingkan prosedur konvensional adalah dapat mengurangi perawatan di

rumah sakit dan biaya yang dikeluarkan, pasien dapat cepat kembali bekerja, nyeri

menurun dan perbaikan kosmetik. Masalah yang belum terpecahkan adalah

kemanan dari prosedur ini, berhubungan dengan insiden komplikasi 6r seperti

cedera duktus biliaris yang mungkin dapat terjadi lebih sering selama

kolesistektomi laparaskopi.

3. Disolusi medis Masalah umum yang mengganggu semua zat yang pernah

digunakan adalah angka kekambuhan yang tinggi dan biaya yang dikeluarkan. Zat

disolusi hanya memperlihatkan manfaatnya untuk batu empedu jenis kolesterol.

Penelitian prospektif acak dari asam xenodeoksikolat telah mengindikasikan

bahwa disolusi dan hilangnya batu secara lengkap terjadi sekitar 15%. Jika obat

ini dihentikan, kekambuhan batu tejadi pada 50% pasien.10 Kurang dari 10% batu

empedu dilakukan cara ini an sukses.2 Disolusi medis sebelumnya harus

memenuhi criteria terapi non operatif diantaranya batu kolesterol diameternya <

20 mm, batu kurang dari 4 batu, fungsi kandung empedu baik dan duktus sistik

paten.

4. Disolusi kontak Meskipun pengalaman masih terbatas, infus pelarut

kolesterol yang poten (Metil-Ter-Butil-Eter (MTBE)) ke dalam kandung empedu

melalui kateter yang diletakkan per kutan telah terlihat efektif dalam melarutkan

batu empedu pada pasien-pasien tertentu. Prosedur ini invasif dan kerugian

utamanya adalah angka kekambuhan yang tinggi (50% dalam 5 tahun).

5. Litotripsi Gelombang Elektrosyok (ESWL) Sangat populer digunakan

beberapa tahun yang lalu, analisis biayamanfaat pad saat ini memperlihatkan
bahwa prosedur ini hanya terbatas pada pasien yang telah benar-benar

dipertimbangkan untuk menjalani terapi ini.

6. Kolesistotomi Kolesistotomi yang dapat dilakukan dengan anestesia lokal

bahkan di samping tempat tidur pasien terus berlanjut sebagai prosedur yang

bermanfaat, terutama untuk pasien yang sakitnya kritis.

7. Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography (ERCP) Pada ERCP,

suatu endoskop dimasukkan melalui mulut, kerongkongan, lambung dan ke dalam

usus halus. Zat kontras radioopak masuk ke dalam saluran empedu melalui sebuah

selang di dalam sfingter oddi. Pada sfingterotomi, otot sfingter dibuka agak lebar

sehingga batu empedu yang menyumbat saluran akan berpindah ke usus halus.

ERCP dan sfingterotomi telah berhasil dilakukan pada 90% kasus. Kurang dari 4

dari setiap 1.000 penderita yang meninggal dan 3-7% mengalami komplikasi,

sehingga prosedur ini lebih aman dibandingkan pembedahan perut. ERCP saja

biasanya efektif dilakukan pada penderita batu saluran empedu yang lebih tua,

yang kandung empedunya telah diangkat.


2.8 Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan laboratorium

Batu kandung empedu yang asimtomatik umumnya tidak

menunjukkan kelainan pada pemeriksaan laboratorium. Apabila terjadi

peradangan akut, dapat terjadi leukositosis. Apabila terjadi sindroma

mirizzi, akan ditemukan kenaikan ringan bilirubin serum akibat

penekanan duktus koledukus oleh batu. Kadar bilirubin serum yang

tinggi mungkin disebabkan oleh batu di dalam duktus koledukus. Kadar

fosfatase alkali serum dan mungkin juga kadar amilase serum biasanya

meningkat sedang setiap setiap kali terjadi serangan akut.

2. Pemeriksaan Radiologis

Foto polos abdomen biasanya tidak memberikan gambaran yang

khas karena hanya sekitar 10-15% batu kandung empedu yang bersifat

radioopak. Kadang kandung empedu yang mengandung cairan empedu

berkadar kalsium tinggi dapat dilihat dengan foto polos. Pada

peradangan akut dengan kandung empedu yang membesar atau hidrops,

kandung empedu kadang terlihat sebagai massa jaringan lunak di

kuadran kanan atas yang menekan gambaran udara dalam usus besar, di

fleksura hepatica.

3. Pemeriksaan Ultrosonografi (USG)

Ultrasonografi mempunyai derajat spesifisitas dan sensitifitas yang

tinggi untuk mendeteksi batu kandung empedu dan pelebaran saluran

empedu intrahepatik maupun ekstra hepatik. Dengan USG juga dapat


dilihat dinding kandung empedu yang menebal karena fibrosis atau

udem yang diakibatkan oleh peradangan maupun sebab lain. Batu yang

terdapat pada duktus koledukus distal kadang sulit dideteksi karena

terhalang oleh udara di dalam usus. Dengan USG punktum maksimum

rasa nyeri pada batu kandung empedu yang ganggren lebih jelas

daripada dengan palpasi biasa.

4. Kolesistografi

Untuk penderita tertentu, kolesistografi dengan kontras cukup baik

karena relatif murah, sederhana, dan cukup akurat untuk melihat batu

radiolusen sehingga dapat dihitung jumlah dan ukuran batu.

Kolesistografi oral akan gagal pada keadaan ileus paralitik, muntah,

kadar bilirubun serum diatas 2 mg/dl, okstruksi pilorus, dan hepatitis

karena pada keadaankeadaan tersebut kontras tidak dapat mencapai hati.

Pemeriksaan kolesitografi oral lebih bermakna pada penilaian fungsi

kandung empedu.
BAB III

KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian

1. Aktivitas dan istirahat:

- Subyektif : kelemahan

- Obyektif : kelelahan

2. Sirkulasi :

- Obyektif : Takikardia, Diaphoresis

3. Eliminasi :

- Subektif : Perubahan pada warna urine dan feces

- Obyektif : Distensi abdomen, teraba massa di abdomen atas/quadran kanan atas,

urine pekat .

4. Makan / minum (cairan) - Subyektif : Anoreksia, Nausea/vomit. Tidak ada

toleransi makanan lunak dan mengandung gas. Regurgitasi ulang, eruption,

flatunasi. Rasa seperti terbakar pada epigastrik (heart burn). Ada peristaltik,

kembung dan dyspepsia. 5. Kegemukan. - Kehilangan berat badan (kurus).

6. Nyeri/ Kenyamanan :

- Subyektif : Nyeri abdomen menjalar ke punggung sampai ke bahu. Nyeri

apigastrium setelah makan. Nyeri tiba-tiba dan mencapai puncak setelah 30

menit.

- Obyektif : Cenderung teraba lembut pada klelitiasis, teraba otot meregang /kaku

hal ini dilakukan pada pemeriksaan RUQ dan menunjukan tanda marfin (+).
7. Respirasi :

- Obyektif : Pernafasan panjang, pernafasan pendek, nafas dangkal, rasa tak

nyaman.

8. Keamanan :

- Obyektif : demam menggigil, Jundice, kulit kering dan pruritus , cenderung

perdarahan ( defisiensi Vit K ).

9. Belajar mengajar :

- Obyektif : Pada keluarga juga pada kehamilan cenderung mengalami batu

kandung empedu. Juga pada riwayat DM dan gangguan / peradangan pada saluran

cerna bagian bawah.

B. Diagnosa keperawatan

1. Ansietas berhubungan dengan krisis emosional

2. Risiko perdarahan berhubungan dengan proses invasif

3. Risiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif


C. Intervensi keperawatan

1. Pre operasi

Dx: ansietas berhubungan dengan krisis emosional Tujuan: Setelah dilakukan

tindakan keperawatan rasa cemas klien dapat berkurang

Kriteria hasil:

a. Klien mengatakan sudah tidak cemas.

b. Klien terlihat lebih rileks.

c. Klien tidak gelisah

Intervensi:

a. Ucapkan salam pada pasien

b. Perkenalkan nama dan identitas diri

c. Informasi tentang operasi dan prosedurnya

d. Dampingi klien dan berikan support mental pada pasien

e. Anjurkan pasien untuk berdoa

2. Intra operasi

Dx: risiko perdarahan berhubungan dengan proses invasif Tujuan : Setelah

dilakukan tindakan keperawatan risiko gangguan keseimbangan cairan tidak

terjadi Kriteria hasil: tidak mengalami perdarahan

Intervensi:

a. Melakukan scrubing, gowning, gloving

b. Mengkaji tanda-tanda perdarahan

c. Mengkaji keseimbangan cairan

d. Kolaborasi: menghentikan perdarahan jika terjadi perdarahan

e. Kolaborasi: terapi sesuai advice


3. Post operasi

Dx: risiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif Tujuan: Setelah

dilakukan tindakan asuhan keperawatan diharapkan risiko infeksi dapat

diminimalisir

Kriteria hasil:

a. Tidak terdapat tanda-tanda infeksi

b. Luka operasi bersih

Intervensi:

a. Mendesinfeksi area op’ dg povidon iodine 10%

b. Memasang drap sterile area operasi

c. Memonitor keadaan umum dan mengukur TTV

d. Mengkaji tanda-tanda infeksi

e. Kolaborasi: terapi sesuai advice


DAFTAR PUSTAKA
Afdhal HN. Acalculous cholecystitis. Uptodate.2009

Bilhartz LE. Acute acalculous cholecystitis. Dalam: Feldman M, Scharschmidt

BF, Sleisenger MH, Fordtran JS, Zorab R, editor. Sleisenger and Fordtran's

management.6th ed. Washington: WB Saunders; 1998

Barie PS, Eachempati SR. Acute acalculous cholecystitis. Curr Gastroenterol Rep

2003 Aug; 5(4):302-9

Diseases of the Gallbladder and Bile Ducts. Dalam: Fauci AS, Kasper DL, Longo

DL, Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL, et al., editor. Harrison's

Principles of internal medicine. New York: McGraw Hill Company; 2008

International Obesity Task Force. The Asia-Pacific perspective : redefining

obesity and its treatment. World Health Organization – Western Pacific

Region 2000

Lalisang TJM. Management of cholecystitis: cito or elective cholecystectomy.

Dalam: Hasan I, Loho IM, editor. Buku Proseding Simposium of Current

Treatment in Hepatobiliary Diseases and Workshops on Interventional

Hepatology 2009. Jakarta: Divisi Hepatologi Departemen Ilmu Penyakit

Dalam FKUI; 2009: 27

Pridady. Kolesistitis. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M,

Setiati S. Editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Jakarta: Pusat

Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2006. 477-8

Anda mungkin juga menyukai