MAKALAH Perbaikan Agraria
MAKALAH Perbaikan Agraria
Tanah Terlantar
Dosen Pembimbing
Zaidar. SH., M.Hum
Disusun Oleh :
Fathurwanysah 150200150
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2019
BAB I
PENDAHULUAN
Tanah merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang diberikan kepada manusia
untuk dikelola, digunakan dan dipelihara sebaik-baiknya sebagai sumber kehidupan dan
kegunaan tanah sebab manusia diciptakan sebagai makhluk yang sempurna yang memiliki
akal pikiran, sehingga Tuhan Yang Maha Esa menundukkan alam semesta ini termasuk tanah
Kehidupan ekonomi masyarakat dewasa ini telah membuat tanah menjadi komoditas
dan faktor produksi yang dicari oleh manusia. Peningkatan jumlah penduduk di setiap negara
yang sangat pesat telah meningkatkan permintaan akan tanah guna keperluan tempat tinggal
dan tempat usaha. Peningkatan permintaan tanah ini tidak diikuti oleh penyediaan tanah. Hal
ini dapat dimengerti karena tanah bukan sumber daya yang dapat diperbaharui dengan
mudah.
tentang Peraturan Dasar Pokok –Pokok Agraria, LNRI Tahun 1960 No. 104-TLNRI No.
2034. Undang-Undang ini lebih dikenal dengan sebutan Undang-Undang Pokok Agraria
(UUPA). UUPA melaksanakan ketentuan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia (UUDNRI) Tahun 1945, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 ayat (1)
UUPA, yaitu: “Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar dan hal-
hal sebagai yang dimaksud dalam Pasal 1, bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara, sebagai organisasi kekuasaan
seluruh rakyat”. Pasal 33 ayat (3) UUDNRI Tahun 1945 merupakan landasan konstitusional
bagi pembentukan politik hukum dan Hukum Tanah Nasional yang berisi perintah kepada
negara agar bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya diletakkan dalam
rakyat Indonesia. Dengan diundangkan UUPA, bangsa Indonesia mempunyai hukum tanah
yang sifatnya nasional, baik ditinjau dari segi formal maupun materielnya.
Berdasarkan hak menguasai dari negara seperti ditegaskan dalam Pasal 2 UUPA,
maka menurut ketentuan dalam Pasal 4 UUPA yang selanjutnya dirinci dalam Pasal 16 ayat
(1) UUPA, kepada perseorangan atau badan hukum diberikan beberapa macam hak atas
tanah. Pembagian hak atas tanah menurut UUPA ke dalam Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak
Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Sewa, Hak Membuka Tanah dan Hak Memungut Hasil
Hutan serta hak-hak lainya yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas dan hak-hak
yang sifatnya sementara, dimaksudkan untuk memberikan hak atas tanah berdasarkan
pembentukannya dan subyek yang memohon hak atas tanah tersebut. Hak-hak tersebut diatas
dapat dimiliki atau dikuasai oleh warga negara Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama
dengan orang-orang lain serta badan-badan hukum. Pada dasarnya hanya warga negara
Indonesia yang dapat mempunyai hubungan yang sepenuhnya dengan bumi, air, dan ruang
angkasa dan setiap warga negara memiliki kesempatan yang sama untuk memperoleh hak
atas tanah untuk mendapat manfaat dan hasilnya. Hukum agraria yang berlaku di atas bumi,
air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan
keperluan sebagaimana tersebut di atas, tidak selalu diikuti dengan kegiatan fisik penggunaan
tanah tersebut sesuai dengan sifat dan tujuan haknya atau rencana tata ruang dari penggunaan
dan peruntukkan tanah, hak karena pemegang hak belum merasa perlu menggunakan tanah
tersebut atau pemegang hak belum memiliki dana yang cukup melaksanakan pembangunan
dengan peruntukannya, maka tanah yang bersangkutan dapat dianggap sebagai tanah yang
Dalam uraian latar belakang masalah yang dikemukakan tersebut diatas, maka yang
1
Maria S.W. Sumardjono. Kebijakan Tanah: Antara Regulasi dan Implementasi, cetakan 1, (Jakarta : Kompas,
2001), hlm. 50.
2
Ibid. hlm.52
BAB II
PEMBAHASAN
Tanah terlantar, terdiri dari dua (2) kata yaitu tanah dan terlantar. Tanah dalam pengertian
yuridis adalah permukaan bumi. Sedangkan terlantar adalah tidak terpelihara, tidak terawat,
dan tidak terurus. Maria S.W. Sumardjono mengatakan tidak mudah menetapkan tanah
sebagai tanah terlantar, hal tersebut dikarenakan untuk menetapkan tanah sebagai tanah
4. Jangka waktu yang harus dilewati untuk dapat disebut sebagai tanah terlantar.
Tanah terlantar menurut Affan Mukti terbagi dalam dua arti yaitu dalam arti sempit dan
arti luas. Tanah terlantar dalam arti sempit yaitu tanah yang tidak dimanfaatkan baik
disengaja atau tidak. Sedangkan dalam arti luas, tanah terlantar bukan hanya tanah saja tetapi
A.P. Parlindungan menyatakan tanah terlantar adalah tanah yang tidak dipergunakan
secara optimal sesuai dengan kemampuan tanah tersebut. Masalah tanah terlantar juga
merupakan suatu hal yang sangat mengganggu dalam penguasaan atas tanah. Tanah yang
diberikan dasar penguasaan haknya telah berubah bentuk fisiknya akibat ditelantarkan dalam
3
Affan Mukti, Pokok-Pokok Bahasan Hukum Agraria, Medan : USUPress, 2006, hlm. 155.
waktu tertentu, sehingga haknya gugur dan tanah tersebut kembali kepada penguasaan hak
Tanah terlantar menurut Badan Pertanahan Nasional adalah tanah yang sudah
diberikan hak oleh negara berupa Hak Milik, HGU, HGB, Hak Pakai, Hak Pengelolaan, atau
dasar penguasaan atas tanah yang tidak diusahakan, tidak dipergunakan, atau tidak
dimanfaatkan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan pemberian hak atau dasar
penguasaannya.5
peristiwa hukum karena perbuatan sehingga hak atas tanah menjadi hapus. Boedi Harsono
memberikan contoh untuk perusahaan diberikan HGU untuk perkebunan oleh pemerintah,
namun hak atas tanah tersebut tidak dipergunakan dengan baik, maka hal tersebut dapat
dijadikan alasan untuk membatalkan hak yang bersangkutan oleh pejabat yang berwenang.
dan oleh siapa status tanah dinyatakan terlantar. Pengertian tanah terlantar menurut Gouw
Giok Siong yaitu keadaan tanah yang tidak dipakai sesuai dengan keadaan, sifat, dan tujuan
pemberian haknya.
Dari beberapa definisi tanah terlantar yang telah dikemukakan diatas, dapat
disimpulkan bahwa tanah terlantar adalah tanah ataupun bangunan yang telah memiliki hak
atas penguasaannya oleh negara namun hak tersebut tidak dipergunakan atau dikelola dengan
baik
4
A.P. Parlindungan, Landreform Di Indonesia Strategi Dan Sasarannya, Bandung : Mandar Maju, 1991, hlm. 85.
5
Laporan Akuntabilitas Kinerja Badan Pertanahan Nasional 2012,
(http://www.bpn.go.id/Portals/0/perencanaan/dokumen-publik/lakip2012.pdf) diakses pada tanggal 15 Mei
2019.
B. Dasar Hukum Tanah Terlantar
Ada perubahan paradigma dari Hukum Agraria kolonial yang berciri tanah dikelola atau
diusahakan untuk menghasilkan produk yang dapat diperdagangkan dan mendapat untung
tanah untuk kesejahteraan rakyat. Alasan filosofisnya ialah bahwa tanah itu adalah karunia
Tuhan kepada umat manusia (rakyat Indonesia) untuk diusahakan, dikelola guna memenuhi
Jadi, ada kewajiban dari individu atau masyarakat untuk mengerjakan atau mengusahakan
tanah sebaik-baiknya sesuai dengan apa yang telah ditentukan atau sesuai dengan tujuannya
(kemakmuran) itu.
Berdasarkan hakikat yang ada pada Hukum Agraria Nasional (UUPA) tersebut, semua
pihak terutama para pemegang hak atas tanah, perlu mengerti dan menjaga agar tidak terjadi
tanah terlantar. Beberapa ketentuan dalam UUPA yang berkaitan dengan tanah terlantar
1. Pasal 2 ayat (2) huruf b, menyatakan bahwa negara sebagai organisasi kekuasaan
manusia yang mempunyai hak atas tanah apabila manusia tersebut menelantarkan
tanahnya.
Dalam Penjelasan Umum pasal tersebut dinyatakan bahwa hak atas tanah apapun
yang ada pada seseorang tidaklah dapat dibenarkan bahwa tanahnya itu akan
apalagi kalau hal itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Penggunaan tanah harus
disesuaikan dengan keadaannya dan sifat daripada haknya, hingga bermanfaat baik
bahwa hak-hak atas tanah bukan hanya berisikan wewenang melainkan juga sekaligus
membiarkan tanah tersebut terlantar artinya tanah tersebut dalam keadaan tidak
3. Pasal 10 ayat (1) menyatakan bahwa setiap orang atau badan hukum yang mempunyai
suatu hak atas tanah pertanian pada asasnya diwajibkan mengerjakan atau
ini memberi pengertian bahwa seseorang yang mempunyai suatu hak atas tanah pada
asasnya wajib mengerjakan sendiri tanahnya secara aktif dan tidak diperkenankan
sama sekali untuk tidak mengusahakan atau menelantarkan tanah sesuai dengan
peruntukkannya.
serta mencegah kerusakannya adalah kewajiban tiap-tiap orang, badan hukum atau
instansi yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah itu, dengan memperhatikan
pihak yang ekonomis lemah. Penelantaran tanah merupakan salah satu tindakan yang
hal tersebut bertentangan dengan amanat pasal 15 UUPA yang menyatakan bahwa
menjadi sebuah kewajiban bagi pihak yang mempunyai hubungan hukum dengan
5. Pasal 27 huruf a angka 3, menyatakan bahwa Hak Milik atas tanah hapus bila
6. Pasal 34 huruf e, menyatakan bahwa Hak Guna Usaha hapus karena ditelantarkan.
7. Pasal 40 huruf e, menyatakan bahwa Hak Guna Bangunan hapus karena ditelantarkan.
Ketentuan-ketentuan tersebut diatas menunjukkan bahwa setiap hak atas tanah yang
diberikan atau diperoleh dari negara (Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan)
hapus apabila ditelantarkan. Artinya, ada unsur kesengajaan melakukan perbuatan tidak
Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar yang
utama. Pertama, bahwa kondisi penelantaran tanah semakin menimbulkan kesenjangan sosial,
ekonomi, dan kesejahteraan rakyat serta menurunkan kualitas lingkungan. Kedua, instrumen
regulasi berupa peraturan perundang-undangan yang telah ada yaitu PP Nomor 36 Tahun
1998 beserta peraturan pelaksanaannya tidak dapat lagi dijadikan acuan penyelesaian
tanah-tanah terlantar.Terjadinya tanah terlantar dapat disebabkan antara lain sebagai berikut :
Pasal 10 UUPA menyebutkan bahwa setiap orang atau badan hukum yang mempunyai hak
atas tanah pertanian pada asasnya diwajibkan mengerjakan sendiri tanah pertaniannya. Di
dalam ketentuan ini terselip pengertian, bahwa tanah-tanah (pertanian) harus benar-benar
dimiliki oleh petani (land to the tiller). Agar pemanfaatan tanah tersebut efektif maka pemilik
harus berada (bertempat tinggal) di tempat letaknya tanah (minimum di kecamatan letak
tanah). Dilarang pemilikan tanah secara absentee, pemilikan tanah yang melampaui batas,
ditelantarkan.
1. Pemilikan tanah yang terlampau luas, atau pemilikan tanah secara absentee yang
tanahnya.
2. Adanya resesi ekonomi yang menimbulkan perubahan struktur pemasaran atau sebab-
sebab lain, sehingga pemegang hak merasa tidak akan memperoleh keuntungan untuk
3. Pemegang hak sulit mengusahakan tanahnya sesuai dengan sifat dan tujuannya,
Sedangkan, menurut Lutfi Ibrahim Nasution ada banyak variabel yang dapat menyebabkan
tanah menjadi terlantar. Ada 4 faktor yang menyebabkan tanah itu terlantar yaitu :
1. Faktor fisik alamiah yaitu dari segi tanah berlokasi pada daerah rawan banjir yang
2. Faktor kelembagaan masyarakat, hal ini berkaitan dengan sistem kepemilikan tanah
tersebut adalah:
a. tanah dalam kasus sengketa kepemilikan sehingga sulit untuk dimanfaatkan
secara optimal
e. penggunaan tanah tidak sesuai dengan tata ruang wilayah yang bersangkutan
f. tanah yang sudah memperoleh izin pemanfaatan ( izin lokasi ) tetapi oleh
b. kemiskinan
sebagai kekayaan yang aman pada saat inflasi tinggi dan bunga bank tidak
mendasar terhadap pemanfaatan lahan. Kurangnya kesadaran dari para pemegang hak atas
tanah untuk melakukan pengembangan usaha dan pemanfaatan terhadap lahan tersebut dapat
Kriteria tanah terlantar dapat ditemukan dengan cara mensistemasi unsur-unsur yang ada
dalam tanah terlantar. Adapun unsur-unsur yang ada pada tanah terlantar yaitu :
3. Adanya tanah yang teridentifikasi telah menjadi hutan kembali atau kesuburannya
tidak terjaga.
Dengan mengetahui unsur-unsur esensial terjadinya tanah terlantar maka kriteria atau
ukuran yang dapat dipakai untuk menetapkan sebidang tanah adalah terlantar dengan cara
dengan fokus terhadap tujuan pemberian hak atas tanah. Sehingga apabila dari kondisi fisik
tampak tanah tidak terawat atau tidak terpelihara itu berarti tidak sesuai dengan tujuan
pemberian haknya. Dalam pasal 1 ayat (5) Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 1998
dinyatakan bahwa tanah terlantar adalah tanah yang ditelantarkan oleh pemegang hak atas
tanah, pemegang hak pengelolaan atau pihak yang telah memperoleh dasar penguasaan atas
tanah, tetapi belum memperoleh hak atas tanah sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Ketentuan tersebut juga telah ditentukan dalam UUPA pasal 27, 34
dan 40 yaitu bahwa Hak milik, HGU, HGB dapat dinyatakan sebagai tanah terlantar dan jatuh
menjadi tanah negara apabila tanah tersebut dengan sengaja tidak dipergunakan oleh
pemegang haknya sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan haknya atau tidak
terjadi karena ada faktor kesengajaan dari pemegang hak atas tanah (hak milik, HGU, HGB
ataupun hak pakai) atau pemegang hak pengelolaan atau hakhak lain yang terbatas yang
diberikan Pemerintah tidak menggunakan atau berbuat sesuatu terhadap tanah yang
bersangkutan. Hal ini kemudian dipertegas lagi dengan ketentuan pasal 3 s/d pasal 8 PP No
36 Tahun 1998 kriteria tanah terlantar dengan status Hak Milik, HGU, HGB, Hak Pakai dan
haknya.
dari Negara atau tanah tersebut tidak dilaksanakan oleh pemegang hak
Pada dasarnya tanah terlantar yang dimaksud adalah tanah negara yang ada hak
penggunaannya, tapi tidak dimanfaatkan. Jadi dapat ditarik kesimpulan bahwa tanah terlantar
terjadi apabila pemegang atau yang menguasai hak atas tanah atau pemegang hak
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998 rumusan kriteria tanah terlantar
masih kabur karena dalam peraturan tersebut tidak ditentukan jangka waktu tanah dinyatakan
sebagai tanah terlantar. Kemudian hal yang masih belum jelas dari ketentuan pasal-pasal
tersebut adalah mengenai perumusan apa yang dimaksud dengan tanah yang tidak
dipergunakan sesuai dengan keadaannya atau sifatnya ataupun tanah tidak dipergunakan
menertibkan tanah terlantar karena PP No 36 Tahun 1998 tidak efektif di lapangan dan sulit
dalam implementasinya. Salah satu akibatnya, niat pemerintah untuk mulai menjalankan
reforma agraria menjadi terkendala, salah satunya karena objek tanah yang dapat
pihak yang menelantarkan tanah. Pendek kata, keberadaan tanah terlantar dalam skala yang
luas menjadi ganjalan penting bagi guliran reforma agraria. Menurut kalangan pecinta
pembaruan agraria, PP yang terdahulu (PP 36/1998) tidak cukup kuat menertibkan tanah
terlantar yang ada. Bahkan disinyalir sebagai peraturan yang melindungi tanah terlantar tidak
bisa ditertibkan.
Berkaitan dengan tanah-tanah yang tidak difungsikan, tidak diolah, tidak diusahakan,
tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan haknya atau dasar
Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar. Peraturan ini
diundangkan di Jakarta pada 22 Januari 2010 mulai berlaku pada tanggal diundangkannya.
Jadi pada dasarnya tanah terlantar yang dimaksud adalah tanah negara yang ada hak
tersebut maka kriteria untuk menentukan tanah sebagai tanah yang ditelantarkan menurut PP
2. Objek tanah terlantar meliputi hak atas tanah yaitu Hak Milik, Hak Guna Usaha,
Hak Guna Bangunan Hak Pakai dan Hak Pengelolaan dan tanah yang mempunyai
sertifikat Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak
Pengelolaan atau sejak berakhirnya izin keputusan atau surat dasar penguasaan
4. Adanya perbuatan yang mengakibatkan tanah terlantar seperti tanah yang tidak
keadaannya, atau sifat dan tujuan pemberian haknya atau dasar penguasaannya.
a. Tanah Hak Milik atau HGB atas nama perseorangan yang secara tidak
sengaja tidak dipergunakan sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan
pemberian haknya
Dalam penjelasan pasal 3 dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan “tidak sengaja
tidak dipergunakan sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan pemberian haknya” dalam
ketentuan ini adalah karena Pemegang Hak dimaksud tidak memiliki kemampuan dari segi
keadaannya atau sifat dan tujuan pemberian haknya. Dan juga karena keterbatasan anggaran
negara atau daerah untuk mengusahakan, mempergunakan, atau memanfaatkan sesuai dengan
Terlantar
Terdapat perbedaan jenis keterlantaran tanah yang diatur dalam Peraturan Kepala
BPN RI No. 4 Tahun 2010, yaitu tanah yang diindikasikan terlantar dan tanah terlantar.
Tanah yang diindikasi terlantar adalah tanah yang diduga tidak diusahakan, tidak
dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan
pemberian hak atau dasar penguasaannya yang belum dilakukan identifikasi dan penelitian.
Sedangkan tanah terlantar adalah tanah yang sudah diberikan hak oleh negara berupa Hak
Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, dan Hak Pengelolaan, atau dasar
penguasaan atas tanah yang tidak diusahakan, tidak dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan
sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan pemberian hak atau dasar penguasaannya.6
Dalam penjelasan PP No. 11 Tahun 2010 disebutkan bahwa tanah yang telah dikuasai
dan/atau dimiliki baik yang sudah ada hak atas tanahnya maupun yang baru berdasar
perolehan tanah di beberapa tempat masih banyak dalam keadaan terlantar. Akibatnya cita-
cita luhur untuk meningkatkan kemakmuran rakyat menjadi tidak optimal. Padahal tanah
merupakan salah satu perwujudan kesejahteraan rakyat, untuk kehidupan yang lebih
lingkungan hidup, mengurangi kemiskinan dan menciptakan lapangan kerja, serta untuk
6
Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010, BAB II Pasal 2.
Obyek penertiban tanah terlantar meliputi tanah yang sudah diberikan hak oleh negara
berupa Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, dan Hak Pengelolaan,
atau dasar penguasaan atas tanah yang tidak diusahakan, tidak dipergunakan, atau tidak
dimanfaatkan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan pemberian hak atau dasar
penguasaannya. Tanah yang sudah memiliki Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna
Bangunan, Hak Pakai, atau Hak Pengelolaan dinyatakan sebagai tanah terlantar apabila
tanahnya tidak diusahakan, tidak dipergunakan atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan
keadaan atau sifat dan tujuan haknya. Demikian pula tanah yang ada dasar penguasaannya
dinyatakan sebagai tanah terlantar apabila tanahnya tidak dimohon hak, tidak diusahakan,
tidak dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan persyaratan atau ketentuan yang
ditetapkan dalam izin lokasi, surat keputusan pemberian hak, surat keputusan pelepasan
kawasan hutan, dan/atau dalam izin/keputusan/surat lainnya dari pejabat yang berwenang.
Adapun Penetapan suatu tanah yang diindikasikan sebagai tanah terlantar untuk
ditetapkan menjadi Tanah Terlantar akan dilakukan melalui 4 tahapan (Pasal 3 Perka BPN
Tahap 1 : inventarisasi tanah hak atau dasar penguasaan atas tanah yang terindikasi
terlantar
Pada tahap ini Kepala Kantor Wilayah BPN akan melakukan Inventarisasi Tanah
terhadap tanah yang terindikasi sebagai Tanah Terlantar, dimana inventarisasi tersebut
dilakukan berdasarkan informasi mengenai adanya tanah terlantar yang dapat diperoleh dari
beberapa sumber yaitu:(Pasal 4 Perka BPN No.4 / 2010 Jo Perka BPN No.9/2011)
Adapun Inventarisasi tanah yang terindikasi sebagai tanah terlantar tersebut dilaksanakan
melalui 3 tahapan kegiatan, yaitu meliputi: (Pasal 6 Perka BPN No.4 / 2010 Jo Perka BPN
No.9/2011):
1. Pengumpulan data mengenai tanah yang terindikasi terlantar, dimana dalam tahap ini
Kantor Wilayah BPN akan mengumpulkan data-data tekstual atas tanah yang
diindikasikan terlantar yaitu meliputi nama dan alamat pemegang hak, tanggal
pemberian hak, letak dan luas tanah, penggunaan tanah, luas tanah yang diindikasikan
terlantar serta berakhirnya sertifikat tanah. Selain itu juga akan dikumpulkan data
yang bersifat spasial yaitu berupa peta yang dilengkapi dengan kooridnat posisi
2. Pengelompokan data tanah yang terindikasi terlantar, pada tahap ini Kepala Kantor
Pertanahan Wilayah akan menglompokan data tanah yang diindikasi sebagai tanah
hak/dasar penguasaanya;
Setelah didapatkan data-data tanah yang terindikasi sebagai tanah terlantar, maka
akan ditindaklanjuti dengan identifikasi dan penelitian aspek administrasi dan penelitian
lapangan. Pada tahap ini, Kepala Kantor Wilayah BPN akan menganalisis hasil inventarisasi
tersebut di atas untuk menyusun dan menetapkan target yang akan dilakukan identifikasi dan
penelitian terhadap tanah terindikasi terlantar. Untuk menetapkan target yang bersangkutan,
Kepala Kantor Wilayah akan menyiapkan data dan informasi tanah terindikasi terlantar
(Pasal 8 ayat 1 Perka BPN No.4 / 2010 Jo Perka BPN No.9/2011). Adapun kegiatan
penyiapan data dan informasi tersebut akan meliputi beberapa kegiatan yaitu: (Pasal 8 ayat 2
1. verifikasi data fisik dan data yuridis meliputi jenis hak dan letak tanah;
2. mengecek buku tanah dan/atau warkah dan dokumen lainnya untuk mengetahui
3. meminta keterangan dari pemegang hak dan pihak lain yang terkait, apabila
pemegang hak/kuasa/wakil tidak memberikan data dan informasi atau tidak ditempat
atau tidak dapat dihubungi, maka identifikasi dan penelitian tetap dilaksanakan
5. melaksanakan ploting letak penggunaan dan pemanfaatan tanah pada peta pertanahan
Proses pelaksanaan kegiatan penyiapan data dan informasi di atas akan diberitahukan
secara tertulis kepada pemegang hak yang bersangkutan sesuai dengan alamat dan
domisilinya (Pasal 8 ayat 3 Perka BPN No.4/2010 Jo Perka BPN No.9/2011). Setelah data
hasil identifikasi dan penelitian di atas dinilai cukup sebagai bahan pengambilan keputusan
upaya penertiban, maka Kepala Kantor Wilayah akan membentuk Panitia C yang terdiri dari
unsur Kantor Wilayah, Kantor Pertanahan, Pemerintah Daerah, dan instansi yang berkaitan
dengan peruntukan tanah yang bersangkutan. (Pasal 9 Perka BPN No.4 / 2010 Jo Perka BPN
No.9/2011). Pantia C ini pada dasarnya adalah pihak yang akan secara langsung
berkomunikasi dengan pemegang hak untuk meneliti apakah tanahnya tersebut dapat
ditetapkan sebagai tanah terlantar, Adapun tugas dari Panitia C ini meliputi beberapa hal
terkait identifikasi dan penelitian terhadap tanah terlantar yaitu sebagai berikut (Pasal 11
2. mengecek buku tanah dan/atau warkah dan dokumen lainnya untuk mengetahui
3. meminta keterangan dari pemegang hak dan pihak lain yang terkait, dan Pemegang
Hak dan pihak lain harus memberi keterangan atau menyampaikan data yang
diperlukan;
5. melaksanakan ploting letak penggunaan dan pemanfaatan tanah pada peta pertanahan;
kepada Kepala Kantor Wilayah dalam rangka tindakan penertiban tanah terlantar; dan
9. membuat dan menandatangani Berita Acara atas identifkasi dan penelitian tersebut.
Kantor Wilayah BPN setempat. (Pasal 13 Perka BPN No.4/2010 Jo Perka BPN
No.9/2011)
Jika berdasarkan hasil identifikasi dan penelitian di atas ditemukan atau terbukti
adanya tanah yang diterlantarkan, maka Kepala Kantor Wilayah akan memberitahukan
kepada pemegang hak atas tanah tersebut dan sekaligus memberikan peringatan kepadanya .
Adapun Peringatan tersebut akan terdiri dari 3 Tahapan Peringatan yaitu meliputi:
1) Peringatan Pertama
Setelah ditemukan adanya tanah terlantar berdasarkan hasil identifikasi dan penelitian, maka
Kepala Kantor Wilayah akan segera mengirimkan peringatan pertama kepada pemegang hak
(Pasal 14 ayat 1 Perka BPN No.4/2010 Jo Perka BPN No.9/2011). Adapun isi peringatan
pertama tersebut memuat agar dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkan
memanfaatkan tanahnya sesuai keadaan atau sifat dan tujuan pemberian haknya atau dasar
penguasaannya (Pasal 14 ayat 2 Perka BPN No.4 / 2010 Jo Perka BPN No.9/2011) dan akan
diberikan peringatan kedua apabila tidak melaksanakan isi peringatan pertama ini. Dalam
surat peringatan pertama tersebut juga ditentukan hal-hal yang konret yang harus pemegang
hak lakukan, adapun tindakan-tindakan konret tersebut berdasarkan Pasal 15 ayat 2 Perka
haknya, pemegang hak harus mengajukan permohonan perubahan hak atas tanah
Disamping itu berdasarkan Lampiran 6 Perka BPN No.4 / 2010, pemegang hak juga
berkewajiban menyampaiakn laporan berkala setiap 2 (dua) mingguan kepada Kepala Kantor
2) Peringatan Kedua
Apabila dalam jangka 1 (satu) bulan yang ditentukan dalam Surat Peringatan Pertama
tanah tersebut dan/atau melakukan hal-hal konret lainnya sebagaimana ditentukan dalam
surat Peringatan Pertama maka Kepala Kantor Pertanahan Wilayah akan mengirimkan Surat
Peringatan Kedua setelah berakhirnya jangka waktu surat Peringatan Pertama (Pasal 14 ayat
Berdasarkan Lampiran 7 Perka BPN No.4 / 2010 isi peringatan kedua ini pada dasarnya sama
dengan isi pada surat peringatan pertama yaitu pada dasarnya pemegang hak harus
mengusahakan, menggunakan dan memanfaatkan tanahnya sesuai keadaan atau sifat dan
tujuan pemberian haknya atau dasar penguasaannya dalam jangka 1 (satu) bulan sejak
diterbitkan surat peringatan tersebut serta hal-hal konret lainnya serta akan diberikan
peringatan ketiga apabila tidak mengindahkan peringatan ini. Disamping itu pemegang hak
juga berkewajiban menyampaiakn laporan berkala setiap 2 (dua) mingguan kepada Kepala
Apabila pemegang hak tidak juga melaksanakan peringatan kedua tersebut dalam jangka 1
(satu) bulan, setelah memperhatikan kemajuan peringatan kedua, Kepala Kantor Wilayah
akan memberikan peringatan tertulis ketiga yang merupakan peringatan terakhir kepada
pemegang hak setelah jangka waktu surat peringatan kedua berakhir (Pasal 14 ayat 5 Perka
BPN No.4 / 2010 Jo Perka BPN No.9/2011) . Berdasarkan Lampiran 3 Perka BPN No.4/2010
dan Pasal 15 Perka BPN No.4 / 2010 Isi peringatan Ketiga ini akan memuat antara lain:
1. Kewajiban mendayagunakan tanah, agar dalam jangka waktu 1 (satu) bulan telah
2. Sanksi, apabila tidak mengindahkan dan tidak melaksanakan Peringatan III (terakhir)
ini akan dijatuhkan sanksi dimana tanahnya ditetapkan sebagai tanah terlantar, yang
sekaligus memuat hapusnya hak, putusnya hubungan hukum, dan penegasan tanahnya
terhadap laporan pemegang hak pada akhir masa setiap peringatan, yang akan menjadi
Dalam hal setelah diberikan peringatan ketiga namun ternyata pemegang hak tidak
mematuhinya, maka Kepala Kantor Wilayah akan mengusulkan kepada Kepala BPN pusat
agar tanah yang bersangkutan ditetapkan sebagai tanah terlantar (Pasal 17 ayat 1 Perka BPN
No.4 / 2010). Adapun kriteria tidak mematuhi tersebut harus memenuhi kondisi sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 17 ayat 2 Perka BPN No.4 / 2010 Jo Perka BPN No.9/2011, yaitu
sebagai berikut:
1. tidak menggunakan tanahnya sesuai dengan sifat dan tujuan pemberian haknya;
2. masih ada tanah yang belum diusahakan sesuai dengan Surat Keputusan atau dasar
penguasaan tanah;
3. masih ada tanah yang penggunaannya tidak sesuai dengan Surat Keputusan atau dasar
penguasaan tanah;
5. penggunaan tanah tidak sesuai dengan Surat Keputusan atau dasar penguasaan tanah;
Apabila kondisi tersebut terpenuhi, maka tanah tersebut akan diusulkan sebagai tanah
terlantar kepada Kepala BPN pusat dan untuk sementara dinyatakan dalam keadaan status
quo sejak tanggal pengusulan sampai diterbitkan penetapan tanah terlantar oleh BPN Pusat
(Pasal 18 ayat 2 Perka BPN No.4 / 2010 Jo Perka BPN No.9/2011). Dan terhadap dari tanah
yang berstatus Quo tersebut, maka terhadapnya tidak dapat dilakukan perbuatan hukum
(Pasal 18 ayat 2 Perka BPN No.4 / 2010 Jo Perka BPN No.9/2011). Selanjutnya Kepala BPN
Pusat akan menetapkan Keputusan Penetapan Tanah Terlantar yang isinya memuat hapusnya
hak atas tanah, pemutusan hubungan hukumnya, dan sekaligus menegaskan bahwa tanah
dimaksud dikuasai langsung oleh negara. (Pasal 19 Perka BPN No.4 / 2010 Jo Perka BPN
No.9/2011).
Terlantar oleh Kepala BPN pusat adalah persentase tanah yang ditetapkan sebagai tanah
memberikan suatu kondisi dan hal yang harus dilakukan oleh pemegang hak dalam hal
seluruh atau sebagain tanah miliknya telah ditetapkan sebagai tanah terlantar, rinciannya
sebagai berikut:
Keputusan Penetapan Tanah Terlantar diberlakukan terhadap seluruh hamparan hak atas
tanah tersebut.(Pasal 20 ayat 1 Perka BPN No.4 / 2010 Jo Perka BPN No.9/2011), maka
akibatnya tanah tersebut akan dikuasai langsung oleh negara yang akan didayagunakan untuk
kepentingan umum dan negara (Pasal 21 Perka BPN No.4 / 2010 Jo Perka BPN No.9/2011).
Selanjutnya Kepala Kantor Pertanahan akan mencoret sertipikat hak atas tanah dan/atau
sertipikat hak tanggungan dari daftar umum dan daftar isian lainnya dalam tata usaha
pendaftaran tanah, serta mengumumkan di surat kabar 1 (satu) kali dalam waktu sebulan
setelah dikeluarkannya keputusan Kepala yang menyatakan bahwa sertipikat tersebut tidak
berlaku (Pasal 22 ayat 2 Perka BPN No.4 / 2010 Jo Perka BPN No.9/2011). Disamping itu,
Pemegang Hak atas tanah tersebut wajib mengosongkan tanah tersebut dari benda-benda
diatasnya dengan beban biaya yang bersangkutan.(Pasal 23 ayat1 Perka BPN No.4 / 2010 Jo
2. Dalam Hal Tanahnya ditetapkan lebih dari 25% s/d 100% Sebagai Tanah Terlantar
Apabila sebagian hamparan tanah yang diterlantarkan dengan persentase 25% s/d
100%, maka Keputusan Penetapan Tanah Terlantar diberlakukan terhadap seluruh hak atas
tanah tersebut, dan selanjutnya kepada bekas Pemegang Hak diberikan kembali sebagian
keputusan pemberian haknya, dengan melalui prosedur pengajuan permohonan hak atas tanah
atas biaya pemohon sesuai ketentuan peraturan perundangundangan.( Pasal 20 ayat 3 Perka
BPN No.4 / 2010 Jo Perka BPN No.9/2011). Adapun perhitungan persentase tersebut
ditentukan berdasarkan luas yang terdapat dalam ijin/keputusan/surat yang telah ditetapkan
oleh yang berwenang. Hal ini berarti untuk Lahan yang sudah diusahakan, digunakan,
dimanfaatkan Pemegang harus mengajukan permohonan hak atas tanah sesuai dengan
dan dimanfaatkan. (Pasal 20 ayat 5 Perka BPN No.4 / 2010 Jo Perka BPN No.9/2011)
3. Dalam Hal Tanahnya ditetapkan kurang sama dengan 25% Sebagai Tanah Terlantar
Apabila tanah hak yang diterlantarkan kurang dari atau sama dengan 25 (dua puluh
lima) persen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, maka Keputusan Penetapan Tanah
Terlantar diberlakukan hanya terhadap tanah yang diterlantarkan dan selanjutnya Pemegang
Hak mengajukan permohonan revisi luas bidang tanah hak tersebut dan biaya revisi menjadi
beban Pemegang Hak sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal 20 ayat 4 Perka
https://business-law.binus.ac.id/2017/01/30/tanah-terlantar-dan-tanah-absentee/ akses
16 Mei 2019
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/cl4448/akibat-hukum-tanah-
terlantar
https://www.hukumproperti.com/rangkuman-peraturan/rangkuman-peraturan-
pemerintah-nomor-11-tahun-2010-tentang-penertiban-dan-pendayagunaan-tanah-
terlantar-2/
http://widhiyuliawan.blogspot.com/2016/06/tanah-terlantar.html
PERATURAN KEPALA BPN RI NOMOR 9 TAHUN 2011 TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN KEPALA BADAN PERTANAHAN
NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG TATA
CARA PENERTIBAN TANAH TERLANTAR
PERATURAN KEPALA BPN RI NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG TATA
CARA PENERTIBAN TANAH TERLANTAR
PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 11 TAHUN 2010 TENTANG
PENERTIBAN DAN PENDAYAGUNAAN TANAH TERLANTAR
Anggono, Nicolas, 2015, Kedudukan Pemegang Hak Atas Tanah Dalam Kaitannya
Dengan Pengaturan Atas Tanah Terlantar, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia,
Salemba.
Chandra, Anastasia, 2013, Analisa Hukum Pada Hak Atas Tanah Dalam Kaitannya
Dengan Pengaturan Tanah Terlantar (Wilayah Gili Trawangan, Nusa Tenggara
Barat), Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara, Depok.
Supriyanto, Kriteria Tanah Terlantar Dalam Peraturan Perundangan Indonesia,
Jurnal Dinamika Hukum, Volume 10 Nomor 1 Januari 2010.
Mukti, Affan, 2006, Pokok-Pokok Bahasan Hukum Agraria, USUpress, Medan.
A. P. Parlindungan, 1990, landreform di Indonesia (Strategi dan Sasarannya), CV.
Mandar Maju, Bandung.
Dalimunthe, Chadijah, 2005, Pelaksanaan Landreform Di Indonesia Dan
Permasalahannya, Cetakan Ketiga, USUpress, Medan.