Anda di halaman 1dari 36

KASUS PENGELOLAAN LIMBAH B3 DI PT FREEPORT

INDONESIA

Diajukan guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Toksikologi Industri

Pengampu : dr. Anik Setyowati, M.Kes

Oleh :

Ajeng Karima Damanik (6411416042)

PEMINATAN KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA (K3)


PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
JURUSAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU KEOLAHRAGAAN
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2019

1
2
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................................... 5
1.1 LATAR BELAKANG........................................................................................................... 5
1.2 RUMUSAN MASALAH ...................................................................................................... 6
1.3 TUJUAN ............................................................................................................................... 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................................... 8
2.1 DEFINISI B3......................................................................................................................... 8
2.2 DEFINISI LIMBAH B3 ........................................................................................................ 8
2.3 JENIS-JENIS LIMBAH B3 .................................................................................................. 8
2.4 KARAKTERISTIK LIMBAH B3 ........................................................................................ 9
2.5 PENGELOLAAN LIMBAH B3 ........................................................................................... 9
2.6 DEFINISI PERTAMBANGAN .......................................................................................... 10
2.6 PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PERTAMBANGAN .................................... 11
2.7 PENGERTIAN TAILING................................................................................................... 13
2.8 PT FREEPORT INDONESIA ............................................................................................ 20
2.9 OPERATIONAL PERUSAHAAN ..................................................................................... 21
2.9.1 Operasional Tambang Terbuka Grasberg ..................................................................... 21
2.9.2 Operasional Tambang Bawah Tanah ............................................................................ 22
2.10 DAMPAK PENCEMARAN LIMBAH PT FREEPORT INDONESIA ........................... 22
BAB III METODE PEMECAHAN MASALAH ......................................................................... 25
3.1 ANALISIS LIMBAH PT. FREEPORT INDONESIA ....................................................... 25
3.2 PEMANFAATAN TAILING ............................................................................................. 26
3.3 OVERBURDEN DAN AIR ASAM TAMBANG .............................................................. 28
3.3.1 Cara Mengatasi Overbuden .......................................................................................... 28
BAB IV REKOMENDASI ........................................................................................................... 30
4.1 STRATEGI PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP .................................................. 30
4.1.1 Tata Letak Lokasi ......................................................................................................... 30
4.1.2 Penerapan Teknologi Bersih ......................................................................................... 30
4.1.3 Sistem Pengelolaan Limbah ......................................................................................... 31
4.1.4 Pengelolaan Media Lingkungan ................................................................................... 32
4.1.5 Perubahan Baku Mutu .................................................................................................. 32
4.2 PENGELOLAAN DAN DAUR ULANG LIMBAH .......................................................... 33
4.3 PENUTUPAN TAMBANG ................................................................................................ 34

3
4.4 REKLAMASI DAN PENGHIJAUAN KEMBALI ............................................................ 34
4.4.1 Daerah Dataran Tinggi ................................................................................................. 34
4.4.2 Daerah Dataran Rendah ................................................................................................ 35
4.5 PEMANTAUAN LINGKUNGAN ..................................................................................... 35
4.6 AUDIT LINGKUNGAN..................................................................................................... 35
REFERENCES ............................................................................................................................. 36

4
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Investasi asing melalui perusahaan multinasional ternyata tidak hanya memberikan dampak positif
tetapi juga dampak negatif bagi negara tempat perusahaan beroperasi, khususnya kontribusi
terhadap pencemaran dan kerusakan lingkungan yang berdampak pada ancaman keamanan
manusia. Beberapa perusahaan multinasional yang tercatat pernah melakukan pencemaran dan
kerusakan lingkungan antara lain, kasus Teluk Buyat oleh PT. Newmont Minahasa Raya tahun
2004, kasus limbah merkuri di Nangroe Aceh Darussalam oleh PT. Exxon Mobil Oil Indonesia
tahun 2005, dan kasus minyak montara di Laut Timor oleh PT. TEP Australia (Ashomre Cartier)
di tahun 2009.
Perusahaan multinasional lain yang ada di Indonesia yaitu PT. Freeport Indonesia. PT. Freeport
merupakan anak perusahaan Freeport-McMoran Copper & Gold Inc. yaitu perusahaan tambang
internasional utama dengan pusat di Phoenix, Arizona, Amerika Serikat. PT. Freeport beroperasi
di Indonesia berdasarkan Kontrak Karya yang ditandatangani pada tahun 1967 berdasarkan UU
11/1967 mengenai PMA. Berdasarkan KK ini, Freeport memperoleh konsesi penambangan di
wilayah seluas kurang lebih 1,000 hektar. Masa berlaku KK pertama ini adalah 30 tahun.
Kemudian pada tahun 1991 KK Freeport di perpanjang menjadi 30 tahun dengan opsi
perpanjangan 2 kali masing-masing 10 tahun.
Situs tambang PT. Freeport berada di puncak gunung pada ketinggian 4.270 meter dengan suhu
terendah mencapai 2 derajat Celcius. Dengan kondisi alam seperti ini, kawasan di bawah areal
pertambangan PT. Freeport mempunyai tingkat kerawanan tinggi terhadap bencana tanah longsor.
Bencana tanah longsor di wilayah pertambangan PT. Freeport pernah terjadi beberapa kali
sepanjang tahun 2004-2017 (Wu, 2001). PT. Freeport Indonesia selalu mengklaim bahwa berbagai
bencana yang terjadi di wilayah operasinya adalah kejadian tidak sengaja dari bencana alam. PT.
Freeport harusnya menyadari resiko operasi didaerah dengan curah hujan dan aktivitas seismik
yang tinggi, namun hal ini tidak menghalangi perusahaan meningkatkan kapasitas produksi dalam
meningkatkan keuntungan.

5
Dampak lingkungan terhadap kesehatan masyarakat dan penghidupan telah menjadi masalah yang
terus-menerus di wilayah tambang PT. Freeport dan telah banyak didokumentasikan di media
nasional dan internasional, diantaranya yaitu: deforestasi dan polusi dimana tailing dibuang
langsung ke Sungai Agabagong lalu menyusut ke Sungai Aikwa dan kemudian ke Laut Arafura.
Deposisi tailing tambang langsung ke Sungai Aikwa menyebabkan banjir yang menghancurkan
sebagian besar hutan dataran rendah dan mengancam kota Timika. Adanya banjir atau dumping
limbah tambang ke Danau Wanagong telah mengakibatkan kematian pekerja perusahaan dan
adanya kekhawatiran tentang kelangsungan hidup permukiman jangka panjang di bawah danau.
Pencemaran drainase batu asam juga mengancam kehidupan karena mencemari pasokan air lokal.
Pasokan air berasal dari daerah aliran sungai yang berdekatan dengan operasi PT. Freeport dan
telah terjadi peningkatan kadar tembaga pada fauna laut (Ballard, 2001). Pencemaran ini
berdampak pada ancaman keamanan manusia masyarakat di sekitar tambang.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar mengatakan PT Freeport
Indonesia harus memperbaiki pengelolaan Limbah Bahan Beracun Berbahaya (Limbah B3) berupa
tailing miliknya di daerah penimbunan Ajkwa atau Modified Ajkwa Deposition Area (ModADA)
di Kabupaten Mimika, Papua. Hal itu telah tercantum dalam Keputusan Menteri LHK Nomor
175/2018. Laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga menyatakan potensi kerugian negara
akibat pembuangan limbah Freeport mencapai Rp185,01 triliun. Berdasarkan Kepmen LHK
175/2018 bahwa kegiatan pengelolaan Limbah B3 berupa tailing oleh Freeport berdasarkan
Kepmen LHK 431/2008 sudah tidak sesuai dengan situasi saat ini. Diketahui, Kepmen LHK
431/2008 membolehkan perusahaan membuang tailing dengan total suspended solid (TSS) hingga
45 kali ambang baku mutu yang diperkenankan. Untuk itu, penulis ingin megetahui lebih lanjut
terkait perbaikan pengelolaan Limbah Bahan Beracun Berbahaya (Limbah B3) PT Freeport
Indonesia.

1.2 RUMUSAN MASALAH

Bagaimana kasus terkait pengelolaan Limbah Bahan Beracun Berbahaya (Limbah B3) di PT
Freeport Indonesia?

6
1.3 TUJUAN

Mengetahui kasus terkait pengelolaan Limbah Bahan Beracun Berbahaya (Limbah B3) di PT
Freeport Indonesia.

7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI B3
Bahan Berbahaya dan Beracun yang selanjutnya disingkat B3 adalah zat, energi, dan/atau
komponen lain yang karena sifat, konsentrasi, dan/atau jumlahnya, baik secara langsung maupun
tidak langsung, dapat mencemarkan dan/atau merusak lingkungan hidup, dan/atau membahayakan
lingkungan hidup, kesehatan, serta kelangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lain.
2.2 DEFINISI LIMBAH B3
Limbah adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan. Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun yang
selanjutnya disebut Limbah B3 adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan yang mengandung B3.
Definisi Limbah B3 berdasarkan BAPEDAL (1995) ialah setiap bahan sisa (limbah) suatu kegiatan
proses produksi yang mengandung bahan berbahaya dan beracun (B3) karena sifat (toxicity,
flammability, reactivity, dan corrosivity) serta konsentrasi atau jumlahnya yang baik secara
langsung maupun tidak langsung dapat merusak, mencemarkan lingkungan, atau membahayakan
kesehatan manusia .
Menurut PP No. 18 tahun 1999 yang dimaksud dengan limbah B3 adalah sisa suatu usaha dan atau
kegiatan yang mengandung bahan berbahaya dan atau beracun yang karena sifat dan atau
konsentrasinya dan atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat
mencemarkan dan atau merusakan lingkungan hidup dan atau membahayakan lingkungan hidup,
kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta mahluk hidup lain.
2.3 JENIS-JENIS LIMBAH B3
Limbah B3 berdasarkan kategori bahayanya terdiri atas:
a. Limbah B3 kategori 1
b. Limbah B3 kategori 2
Limbah B3 berdasarkan sumbernya terdiri atas:
a. Limbah B3 dari sumber tidak spesifik
b. Limbah B3 dari B3 kedaluwarsa, B3 yang tumpah, B3 yang tidak memenuhi spesifikasi
produk yang akan dibuang, dan bekas kemasan B3
c. Limbah B3 dari sumber spesifik. Limbah B3 dari sumber spesifik meliputi:
1) Limbah B3 dari sumber spesifik umum

8
2) Limbah B3 dari sumber spesifik khusus.

2.4 KARAKTERISTIK LIMBAH B3


Karakteristik Limbah B3 meliputi:
1. Limbah mudah meledak adalah limbah yang melalui reaksi kimia dapat menghasilkan gas
dengan suhu dan tekanan tinggi yang dengan cepat dapat merusak lingkungan.
2. Limbah mudah terbakar adalah limbah yang bila berdekatan dengan api, percikan api, gesekan
atau sumber nyala lain akan mudah menyala atau terbakar dan bila telah menyala akan terus
terbakar hebat dalam waktu lama.
3. Limbah reaktif adalah limbah yang menyebabkan kebakaran karena melepaskan atau
menerima oksigen atau limbah organik peroksida yang tidak stabil dalam suhu tinggi.
4. Limbah beracun adalah limbah yang mengandung racun yang berbahaya bagi manusia dan
lingkungan. Limbah B3 dapat menimbulkan kematian atau sakit bila masuk ke dalam tubuh
melalui pernapasan, kulit atau mulut.
5. Limbah penyebab infeksi adalah limbah laboratorium yang terinfeksi penyakit atau limbah
yang mengandung kuman penyakit, seperti bagian tubuh manusia yang diamputasi dan cairan
tubuh manusia yang terkena infeksi.
6. Limbah yang bersifat korosif adalah limbah yang menyebabkan iritasi pada kulit atau
mengkorosikan baja, yaitu memiliki pH sama atau kurang dari 2,0 untuk limbah yang bersifat
asam dan lebih besar dari 12,5 untuk yang bersifat basa.
2.5 PENGELOLAAN LIMBAH B3
Pengelolaan Limbah B3 adalah kegiatan yang meliputi :
1. Pengurangan. Pengurangan Limbah B3 adalah kegiatan Penghasil Limbah B3 untuk
mengurangi jumlah dan/atau mengurangi sifat bahaya dan/atau racun dari Limbah B3
sebelum dihasilkan dari suatu usaha dan/atau kegiatan.
2. Penyimpanan. Penyimpanan Limbah B3 adalah kegiatan menyimpan Limbah B3 yang
dilakukan oleh Penghasil Limbah B3 dengan maksud menyimpan sementara Limbah B3
yang dihasilkannya.
3. Pengumpulan. Pengumpulan Limbah B3 adalah kegiatan mengumpulkan Limbah B3 dari
Penghasil Limbah B3 sebelum diserahkan kepada Pemanfaat Limbah B3, Pengolah
Limbah B3, dan/atau Penimbun Limbah B3.

9
4. Pengangkutan. Pengangkutan bias juga dikatakan Dumping (Pembuangan) adalah kegiatan
membuang, menempatkan, dan/atau memasukkan Limbah dan/atau bahan dalam jumlah,
konsentrasi, waktu, dan lokasi tertentu dengan persyaratan tertentu ke media lingkungan
hidup tertentu.
5. Pemanfaatan. Pemanfaatan Limbah B3 adalah kegiatan penggunaan kembali, daur ulang,
dan/atau perolehan kembali yang bertujuan untuk mengubah Limbah B3 menjadi produk
yang dapat digunakan sebagai substitusi bahan baku, bahan penolong, dan/atau bahan
bakar yang aman bagi kesehatan manusia dan lingkungan hidup.
6. Pengolahan. Pengolahan Limbah B3 adalah proses untuk mengurangi dan/atau
menghilangkan sifat bahaya dan/atau sifat racun.
7. Penimbunan. Penimbunan Limbah B3 adalah kegiatan menempatkan Limbah B3 pada
fasilitas penimbunan dengan maksud tidak membahayakan kesehatan manusia dan
lingkungan hidup.
2.6 DEFINISI PERTAMBANGAN
Pertambangan merupakan suatu aktivitas penggalian, pembongkaran, serta pengangkutan suatu
endapan mineral yang terkandung dalam suatu area berdasarkan beberapa tahapan kegiatan secara
efektif dan ekonomis, dengan menggunakan peralatan mekanis serta beberapa peralatan sesuai
dengan perkembangan teknologi saat ini.
Hakikatnya pembangunan sektor tambang dan energi mengupayakan suatu proses pengembangan
sumber daya mineral dan energi yang potensial untuk dimanfaatkan secara hemat dan optimal bagi
sebesar-besar kemakmuran rakyat. Sumber daya mineral merupakan suatu sumber daya yang
bersifat tidak terbaharui (unrenewable). Oleh karena itu, penerapannya diharapkan mampu
menjaga keseimbangan serta keselamatan kinerja dan kelestarian lingkunga hidup maupun
masyarakat sekitar.
Salim (dalam Sulton 2011) menyatakan bahwa paradigma baru kegiatan industry pertambangan
ialah mengacu pada konsep pertambangan yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan, yang
meliputi; 1) Penyelidikan Umum (prospecting), 2) Eksplorasi: eksplorasi pendahuluan, eksplorasi
rinci, 3) Studi Kelayakan : teknik, ekonomik, lingkungan (termasuk studi amdal), 4) Persiapan
produksi (development, construction), 5) Penambangan (pembongkaran, pemuatan, pengangkutan,
penimbunan), 6) Reklamasi dan Pengelolaan Lingkungan, 7) Pengolahan (mineral dressing), 8)

10
Pemurnian/metalurgi ekstraksi, 9) Pemasaran, 10) Corporate Social Responsibility (CSR), 11)
Pengakhiran tambang.
2.6 PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PERTAMBANGAN
Sebagai kegiatan usaha, industri pertambangan mineral dan batubara merupakan industri yang
padat modal (high capital), padat resiko (high risk), dan padat teknologi (high technology). Selain
itu, usaha pertambangan juga tergantung pada faktor alam yang akan mempengaruhi lokasi dimana
cadangan bahan galian. Dengan karakteristik kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara
tersebut maka diperlukan kepastian berusaha dan kepastian hukum di dunia pertambangan mineral
dan batubara.
Tahun 2009 merupakan babak baru bagi pertambangan mineral dan batubara di Indonesia dengan
disahkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
(UU Minerba). Perubahan mendasar yang terjadi adalah perubahan dari sistem kontrak karya dan
perjanjian menjadi sistem perijinan, sehingga Pemerintah tidak lagi berada dalam posisi yang
sejajar dengan pelaku usaha dan menjadi pihak yang memberi ijin kepada pelaku usaha di industri
pertambangan mineral dan batubara. Kehadiran UU Minerba tersebut menuai pro dan kontra. Ada
sementara kalangan yang berpendapat bahwa beberapa kebijakan dalam UU Minerba tersebut
tidak memberikan kepastian hukum terkait dengan kegiatan usaha di bidang pertambangan mineral
dan batubara dan memberikan hambatan masuk bagi pelaku usaha tertentu. Industri mineral dan
batubara menyangkut kepentingan banyak orang, oleh karena itu kondisi di industri tersebut harus
berada di dalam persaingan usaha yang sehat. Salah satu syarat terciptanya persaingan yang sehat
tersebut adalah tidak adanya hambatan masuk yang berlebihan ke dalam industry tersebut,
termasuk hambatan yang berasal dari kebijakan Pemerintah.
Undang-undang Mineral dan batu bara mengandung pokok-pokok pikiran sebagai berikut:
1) Mineral dan batubara sebagai sumber daya yang tak terbarukan dikuasai oleh negara dan
pengembangan serta pendayagunaannya dilaksanakan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah
bersama dengan pelaku usaha.
2) Pemerintah selanjutnya memberikan kesempatan kepada badan usaha yang berbadan hukum
Indonesia, koperasi, perseorangan, maupun masyarakat setempat untuk melakukan pengusahaan
mineral dan batu bara berdasarkan izin, yang sejalan dengan otonomi daerah, diberikan oleh
Pemerintah dan atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya masing-masing.

11
3) Dalam rangka penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi daerah, pengelolaan pertambangan
mineral dan batubara dilaksanakan berdasarkan prinsip eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi
yang melibatkan pemerintah dan pemerintah daerah.
4) Usaha pertambangan harus memberi manfaat ekonomi dan sosial yang sebesarbesar bagi
kesejahteraan rakyat Indonesia.
5) Usaha pertambangan harus dapat mempercepat pengembangan wilayah dan mendorong
kegiatan ekonomi masyarakat/pengusaha kecil dan mencegah serta mendorong tumbuhnya
industri penunjang pertambangan.
6) Dalam rangka terciptanya pembangunan berkelanjutan, kegiatan usaha pertambangan harus
dilaksanakan dengan memperhatikan prinsip lingkungan hidup, transparansi, dan partisipasi
masyarakat.
7) Pertambangan mineral dan batubara dikelola dengan berazaskan manfaat, keadilan, dan
keseimbangan; keberpihakan pada kepentingan bangsa; partisipatif, transparasnsi dan
akuntabilitas; berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.
Dalam rangka mendukung pembangunan nasional yang berkesinambungan, maka tujuan
pengelolaan mineral dan batubara adalah :
1) Menjamin efektifitas pelaksanaan dan pengendalian kegiatan usaha pertambangan secara
berdaya guna, berhasil guna, dan baerdaya saing.
2) Menjamin manfaat pertambangan mineral dan batubara secara berkelanjutan dan berwawasan
lingkungan hidup.
3) Menjamin tersedianya mineral dan batubara sebagai bahan baku dan atau sebagai sumber energi
untuk kebutuhan dalam negeri.
4) Mendukung dan menumbuh kembangkan kemampuan nasional agar lebih mampu bersaing di
tingkat nasional, regional, dan internasional.
5) Meningkatkan pendapatan masyarakat lokal, daerah, dan Negara, serta menciptakan lapangan
kerja untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat.
6) Menjamin kepastian hukum dalam penyelenggaraan kegiatan usaha pertambangan mineral dan
batubara.
Prinsip desentralisasi yang dianut dalam UU No.4 Tahun 2009 (UU Minerba) dapat dikatakan
sebagai langkah maju, tetapi masih dipenuhi dengan tantangan. Sebagian ruang bagi peran daerah
(provinsi, kabupaten/kota) dapat teridentifikasi dalam undang-undang ini. Secara umum, aspek

12
pembagian kewenangan antar pemerintahan (pusat dan daerah) jika merujuk UUD 1945 dan UU
No.32 tahun 2004 yang menjadi landasan dalam penyusunan UU No.4 tahun 2009, maka substansi
yang terkandung dalam UU No.4 Tahun 2009 menggariskan kewenangan eksklusif pemerintah
(pusat) dalam hal sebagai berikut :
1) Penetapan kebijakan nasional;
2) Pembuatan peraturan perundang-undangan;
3) Penetapan standar, pedoman dan kriteria;
4) Penetapan sistem perijinan pertambangan minerba nasional;
5) Penetapan wilayah pertambangan setelah berkonsultasi dengan Pemda dan DPR.
2.7 PENGERTIAN TAILING
Tailing adalah satu jenis limbah yang dihasilkan oleh kegiatan tambang, dan kehadirannya dalam
dunia pertambangan tidak bisa dihindari. Sebagai limbah sisa pengolahan batuan-batuan yang
mengandung mineral, tailing umumnya masih mengandung mineralmineral berharga. Kandungan
mineral pada tailing tersebut tidak bisa dihindari, karena pengolahan bijih untuk memperoleh
mineral yang dapat dimanfaatkan pada industry pertambangan tidak akan mencapai perolehan
(recovery) 100%.
Hal ini dapat disebabkan oleh kekerasan batuan bijih yang menyebabkan hasil giling cenderung
lebih kasar dan mengakibatkan perolehan (recovery) menurun disertai semakin rendahnya
kandungan mineral didalam konsentrat. Kehalusan ukuran butiran mineral juga dapat
menyebabkan sulitnya tercapai liberasi (liberation).
Bahan tambang baik itu batuan, pasir maupun tanah setelah digali dan dikeruk, lalu estrak bumi
(mineral berbahaya) yang persentasenya sangat kecil dipisahkan lewat proses pengerusan, bahan
tambang yang begitu banyak disirami dengan zat-zat kimia (cianida, mercury, Arsenik dll) lalu
bijih emas tembaga atau perak disaring oleh Carbon Filter, proses pemisahan dan penyaringan
mineral ini menyisakan Lumpur dan air cucian bahan tambang yang disebut tailing , mineral
berharga diambil sedangkan tailing akan terbawa bersama zatzat kimia yang mengandung logam
berat/beracun.
1. Metode Submarine
Submarine tailing disposal atau submarine tailing placement adalah pembuangan limbah tambang
ke laut. Sistem pembuangan limbah tailing ke dasar laut, pertama-tama digunakan pada tahun 1971
oleh perusahaan tambang emas “Island Copper Mine” (ICM), Canada, dimana disitulah

13
merupakan basis dari sistem ini didesain dan dikembangkan untuk kegiatan pertambangan emas
di daerah pesisir. Pembuangan tailing ke laut kini semakin digemari. Penelitian dan kampanye
dilakukan pendukung STD agar publik memberi dukungan terhadap sistem itu. Semula
pembuangan tailing ke laut dikenal dengan sebutan Submarine Tailing Disposal (STD). Jika
diterjemahkan bebas menjadi pembuangan tailing bawah laut. Istilah STD kurang oleh perusahaan
pertambangan karena ada kata disposal berarti pembuangan. Mereka lebih suka menggunakan
Submarine Tailing Placement (STP), karena terdapat kata placement berarti penempatan. STP
bermakna seakan-akan perusahaan tidak membuang tailing ke laut akan tetapi menempatkannya
di laut.
Selain istilah STD dan STP masih terdapat istilah lain, yaitu DSTP (Deep Sea Tailings Placement)
atau penempatan tailing di Iaut dalam. Istilah itu pun dipopulerkan oleh perusahaan pertambang.
Terlepas dari politik penggunaan bahasa, ketiga istilah tersebut pada prinsipnya sama, yaitu
membuang tailing di laut. Katup pengaman STD yang diyakini perusahaan pertambangan adalah
lapisan termoklin. Lapisan dipandang mampu menghalangi munculnya tailing kepermukaan. Di
Indonesia, STD pertama kali digunakan oleh PT. Newmont Minahasa Raya (NMR) di Minahasa,
Sulawesi Utara. Kemudian diikuti oleh PT Newmont Nusa Tenggara (NNT) di Sumbawa Nusa
Tenggara Barat.
Dalam asumsi dasar, tailing yang dibuang ke laut berbentuk lumpur kental yang mengandung 45-
45% padatan. Berat jenis kurang lebih 1,336 kg/m. Berat jenis ini lebih besar dari densitas air laut,
yaitu kurang lebih 1,028 kg/m3. Oleh karenanya tailing akan mengalir sepanjang dasar laut.
Semakin lama kecepatannya semakin berkurang. Akhirnya padatan tailing akan mengendap di
dasar laut sebagai sedimen. Pergerakan tailing akan stabil karena ditahan oleh lapisan termoklin.
Untuk mendukung pembuangan tailing ke laut, perusahaan membangun tangki pengumpul tailing,
pompa lumpur sentrifugal, jalur pipa baja di darat, fasilitas stasiun katup pembuangan limbah
(choke station), instrumentasi dan utilitas di tepi pantai. Pipa pembuangan limbah terbuat dari
HDPE dan diberi cincin-cincin pemberat yang terbuat dari baja.
Mulanya, tailing akan melalui proses dekstruksi sianida dan detoksifikasi di pabrik pengolahan.
Hasilnya tailing menjadi lumpur kental. Lumpur ini bisa memiliki suhu antara 40°C sampai 50°C
Dalam padatan tailing terdapat partikel-partikel yang sangat halus. Lebih dari 93% partikel
tersebut berukuran lebih halus dari 74 mikron. Selanjutnya tailing ditampung pada tangki
pengumpul. Dengan bantuan pompa sentrifugal tailing dialirkan melalui pipa menuju bawah laut.

14
Stasiun pengatur yang terletak di tepi pantai bertugas mengatur aliran menurut berbagai laju
produksi dan berat jenis lumpur (slurry) . Secara teoritik asumsi dan teknologi yang digunakan
bisa saja benar. Tapi yang terjadi di lokasi NMR dan NNT menunjukkan tingkat ketepatan asumsi
dan teknologi diragukan. Beberapa kali pipa tailing kedua perusahaan itu pecah. Apalagi termoklin
yang diagungkan ternyata digugat banyak pihak. Faktor turbulance dan upwelling yang mampu
menyebarkan tailing semakin menguatkan keraguan bahwa STD tidak seaman yang didengungkan
perusahaan penggunanya.
a. Kelebihan
Keuntungan di laut adalah padatan tailing akan stabil di palung dasar laut yang tidak mudah
terpengaruh oleh bencana alam seperti gempa. Selain itu dampak lingkungannya lebih rendah dan
padatan tailing tidak akan beroksidasi di dalam laut.
b. Kekurangan
Kerugiannya, akan berdampak pada ekosistem fisik dan biologi di laut yang dapat menyebabkan
pencemaran laut. Dalam penerapannya harus memilih daerah sumber bio dengan nilai rendah bagi
penempatan tailing.
c. Faktor Pertimbangan
Pemilihan sistem ini didasarkan pada pertimbangan kondisi lingkungan disekitar pertambangan.
Pembuangan tailing ke laut yang paling aman karena tidak ada penghuni manusia selain biota laut.
Tapi pembuangannya harus zona aman di bawah zona euphotic yakni zona kehidupan laut yang
terkena sinar matahari langsung. Sementara pembuangan limbah di darat akan membutuhkan
tempat pembuangan yang luasnya bisa 2-3 kali lipat dari daerah pertambangan. Sedangkan
pembuangan limbah ke laut tidak memerlukan areal yang luas.
2. Riverine
Untuk mengatasi masalah tailling di kawasan pertambangan, perusahaan pertambangan
menempatkan pompa di dekat badan sungai untuk memompa dan mengalirkan tailling ke aliran
sungai. Hal ini dikenal dengan istilah Riverine Tailling Disposal, yang secara halus berarti
membuang limbah tambang ke sungai, hal ini mengakibatkan tercemarnya ekosistem perairan,
anak aliran sungai (DAS).
a. Kelebihan

15
Kelebihan dari riverine ini sebenarnya bisa dilihat dari segi biaya saja, tidak memerlukan biaya
banyak untuk melakukan metode ini. Namun dari segi teknologi, jelas metode ini sangat tidak
dianjurkan.
b. Kekurangan
Pembuangan tailling ke sungai merupakan kegiatan ilegal dalam dunia pertambangan. Sebagai
contoh di Ilo,Peru, terdapat dua perusahaan pertambangan dan peleburan yang dijalankan oleh
Southern Peru Cooper Corporation ( dikontrol oleh Mexican Firm Group Mexico) menjadi
penyebab menurunnya kualitas lingkungan sejak membuang berbagai limbah ke aliran sungai.
c. Faktor Pertimbangan
Jika ingin menggunakan metode ini lihat daya dukung lingkungan sekitar area tambang. Metode
ini sebenarnya sudah dilaran di beberapa negara termasuk Indonesia sendiri. Karena akibat yang
signifikan bagi lingkungan yang menyebabkan metode ini sudah dilarang.
3. Dry Stacking
Susun kering yang benar membutuhkan penyaringan tailing flokulasi, biasanya di bawah tekanan
atau mungkin di bawah vakum, untuk menghasilkan produk yang diangkut dan dapat disusun
menggunakan teknik transportasi bahan ‘kering’ dan pembuangan. Drum, piring horizontal atau
vertikal ditumpuk dan sabuk horizontal merupakan metode filtrasi tekanan paling umum. Kedua
gradasi tailing dan mineraloginya merupakan penentu penting dalam desain filtrasi. Secara khusus,
proporsi tinggi dari mineral tanah liat cenderung membatasi filtrasi efektif, seperti halnya beberapa
mineral sisa (residu), misalnya aspal di tailing pasir minyak. Hal ini penting untuk mengantisipasi
mineralogi dan perubahan penggilingan yang dapat terjadi selama LoM sebagai operasi
pertambangan bergerak melalui berbagai tubuh bijih. Tailing yang telah disaring diangkut dengan
truk atau konveyor, dan kemudian dapat ditempatkan, disebarkan dan dipadatkan untuk
membentuk tailing ‘dry stack’ jenuh, padat dan stabil.
a. Kelebihan
Tailing yang telah disaring diangkut dengan truk atau konveyor, dan kemudian dapat ditempatkan,
disebarkan dan dipadatkan untuk membentuk tailing ‘dry stack’ jenuh, padat dan stabil, dalam
beberapa kasus, seperti tailing geokimia jinak, tidak memerlukan bendungan untuk retensi dan
tidak ada tailing di kolam.
Susun kering juga dapat mengatasi lokasi topografi dan pondasi kondisi sulit, atau lokasi yang
sangat dibatasi, yang membuat bendungan tailing konvensional sangat sulit untuk dibangun. Susun

16
kering juga memfasilitasi rehabilitasi, termasuk rehabilitasi progresif, sehingga mengurangi risiko
dan kewajiban penutupan. Dua pendorong utama filtrasi dan susun kering tailing saat ini telah
menjadi pemulihan air hasil pengolahan yang langka dan kondisi topografi dan pondasi yang sulit.
b. Kekurangan
Dry stack tailing disposal memiliki biaya di muka yang jauh lebih tinggi daripada penyimpanan
basah. Dry stack tailing harus dikeringkan dan tailing padat harus diangkut dengan truk atau
conveyor dan bukan oleh pipa bubur, yang menambah kompleksitas logistik dan biaya. Lubang-
lubang untuk penyimpanan tumpukan kering, seperti sialan di sekitar danau artifisial, harus
dipertahankan selama-lamanya. Namun, perawatan jangka panjangnya jauh lebih sedikit daripada
pada adanya penyemprotan tailing yang besar dan basah dengan bendungan.
c. Faktor Pertimbangan
Filtrasi dan susunan tailing biasanya diperhitungkan di daerah-daerah yang sangat gersang di mana
konservasi air sangat penting, terutama di daerah gurun Chili dan Peru, tetapi juga di Western
Australia, barat daya Amerika Serikat, bagian gersang Amerika Selatan, beberapa bagian Afrika,
dan daerah Kutub Kanada dan Rusia, di mana penanganan tailing sangat sulit di musim dingin
yang beku. Filtrasi meningkatkan pemulihan reagen proses, dan susun kering memberikan metode
peningkatan stabilitas seismik penimbunan tailing basah.
4. Back Filling
Back filling adalah Tanah atau batuan yang dipakai untuk mengurangi (mengisi) bekas galian
tambang batubara atau galian sipil lainnya. Backfill dapat juga berasal dari tambang dalam yang
diangkut keluar hasil penggalian terowongan, jalan menuju kepermukaan kerja baru (pekerjaan
persiapan). Backfilling dilakukan dengan tujuan untuk menutup kembali bukaan tambang serta
memperpendek jarak angkut pembuangan overburden. Dengan demikian rona akhir tambang dapat
direncanakan dengan memperhitungkan timbunan backfilling serta batas pit limit.
Bukaan pit yang telah selesai ditambang dilakukan backfilling dimana dilakukan penimbunan
kembali dengan material overburden. Desain geometri timbunan dibuat sesuai dengan rencana
pascatambang. Geometri lereng timbunan di desain agar aman pada saat tambang ditutup dan
dijadikan danau wisata. Kapasitas desain dibuat sesuai dengan jumlah overburden yang masih
harus dikupas.
a. Kelebihan

17
Kelebihannya, kegiatan Backfilling lebih banyak aspek yang di perhatikan dalam penimbunan
lahan tambang. Backfilling (pengolahan dan penggantian tailing pada tambang tua yang tertutup)
tidak hanya mengurangi kandungan racun pada tailing, tapi juga bisa menstabilkan terowongan
bawah tanah yang berbahaya dan membantu proses rehabilitasi lubang galian yang besar, buruk
dan berbahaya sehingga cocok untuk penggunaan lain.
b. Kekurangan
Kekurangannya, ketidaktelitian dalam merancanakan penimbunan lahan bekas tambang dapat
menyebabkan merembesnya tanah dalam penimbunan tersebut. Apabila dalam metode ini tidak
sesuai dengan prosedur, bekas galian ini akan tidak stabil dan tidak aman terutama terkena air.
c. Faktor Pertimbangan
Dalam melaksanakan metode ini harus dilihat bagaimana struktur morfologi dan geologi tanah.
5. In Pit
In-pit adalah bukaan yang dibuat di permukaan tanah, bertujuan untuk mengambil bijih dan akan
dibiarkan tetap terbuka (tidak ditimbun kembali) selama pengambilan bijih masih berlangsung.
Penyimpanan tailing in-pit, seperti namanya, hanyalah proses menimbun kembali tambang
permukaan terbuka dengan tailing. Metode ini sangat menarik bagi operator tambang karena
rongga yang bekerja dapat diisi dengan biaya yang terkait dengan merancang, membangun dan
mengoperasikan fasilitas penumpukan konvensional, menebal, menempel atau mengering.
Keuntungan lain dari penyimpanan in-pit adalah tailing tidak memerlukan dinding penahan,
sehingga risiko yang terkait dengan ketidakstabilan timbunan dihilangkan.
Operasi penambangan jarak jauh di Australia telah menggunakan penyimpanan in-pit selama
beberapa dekade dimana air tanah mengandung garam atau tidak diminum. Selain itu, pemangku
kepentingan asli lebih memilih void untuk diisi setelah penambangan dihentikan dan memberikan
izin untuk mengisi kembali lubang yang sesuai.
a. Kelebihan
Metode ini sangat menarik bagi operator tambang karena rongga yang ada hasil penambangan
dapat diisi, dengan pengurangan biaya yang terkait dengan merancang, membangun dan
mengoperasikan fasilitas penumpukan konvensional, thickened, paste atau dry stacking.
Keuntungan lain dari penyimpanan in-pit adalah tailing tidak memerlukan dinding penahan,
sehingga resiko yang terkait dengan ketidstabilan timbulan dihilangkan.
b. Kekurangan

18
Kerugian dari sistem ini seperti bukaan atau sumur air tanah harus dipasang di sekitar pit untuk
memantau rembesan. Dalam beberapa kasus mungkin perlu untuk memantau setelah sebuah pit
telah terisi penuh dan bahkan memompa rembesan keluar untuk mencegah kkontaminasi air tanah.
c. Faktor Pertimbangan
Metode ini hanya bisa digunakan untuk pertambangan yang dilakukan dengan metode terbuka.
Jadi untuk tambang terbuka bisa menggunakan metode ini.
6. Surface Tailing Storage Facility
TSF adalah singkatan dari Tailings Storage Facility, atau Fasilitas Penyimpanan Tailing, biasanya
sebuah area penyimpanan di permukaan yang digunakan untuk menyimpan tailing yang biasanya
berbentuk lumpur (slurry). Tailing yang tersimpan di permukaan biasaya diendapkan dalam tujuan
membangun tanggul penahan. Penyimpanan impoundment konvensional adalah yang paling
umum dan biasanya memiliki tanggu lebih tinggi daripada fasilitas penyimpanan thickened, paste
dan dry stack. Tanggul untuk fasilitas penyimpanan konvensional dirancang untuk
mempertahankan tailing dan air, sedangkan fasilitas thickened dan dry stack memiliki tanggul
yang dirancang untuk menahan runoff, bleed water dan fines daripada berat massa tailing itu
sendiri. Prinsip desain dari surface thickened, paste dan dry stack adalah untuk menciptakan
gundukan tailing mandiri daripada mengandalkan kekuatan penahan tanggul untuk mencegah
mobilisasi.
a. Kelebihan
Di sini padatan tailing akan mencapai sedimentasi, konsolidasi dan desikasi, dan air supernatant
akan dipulihkan dan didaur ulang ke pabrik pengolahan atau akan disimpan tanpa berdampak pada
lingkungan. Istilah ini merujuk pada fasilitas keseluruhan, dan mungkin melibatkan satu atau lebih
penyimpan-penyimpan tailing dan fasilitas terkait.
b. Kekurangan
TSF perlu dirancang, dibangun dan dioperasikan dengan standar tertinggi, dengan
memperhitungkan kebutuhan akhirnya untuk penutupan dan rehabilitasi. Rencana penutupan dan
rehabilitasi semakin mempengaruhi lokasi TSF dan pemilihan metode pembuangan tailing,
sehingga dapat meminimalkan biaya penutupan, risiko masa depan untuk lingkungan dan warisan
budaya untuk generasi mendatang.
c. Faktor Pertimbangan

19
Persyaratan dasar TSF adalah untuk memberikan tempat penyimpanan tailing yang aman, stabil,
non-polusi dan ekonomis, yang mengandung risiko kesehatan dan keselamatan publik serta
dampak sosial dan lingkungan yang cukup rendah dan dapat diabaikan selama operasi dan setelah
penutupan tambang.
2.8 PT FREEPORT INDONESIA
PT. Freeport Indonesia adalah sebuah perusahaan pertambangan yang mayoritas sahamnya
dimiliki Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc.. Perusahaan ini adalah pembayar pajak terbesar
kepada Indonesia dan merupakan perusahaan penghasil konstentrat emas dan tembaga terbesar di
dunia melaluitambang Grasberg. Freeport Indonesia telah melakukan eksplorasi di dua tempat di
Papua, masing-masingtambang Erstberg (dari 1967) dan tambang Grasberg (sejak 1988), di
kawasan Tembaga Pura, Kabupaten Mimika, Provinsi Papua.
Dalam melakukan eksplorasi di dua tempat tersebut PT. Freeport melakukan perjanjian kontrak
sebanyak dua kali dengan pemerintah Indonesia. Perbandingan kontrak karya I dan II adalah pada
kontrak karya I luas arena kawasan pertambangan adalah 27.000 acres (11 ribu Ha) dengan jangka
waktu 30 tahun, terhitung dari tahun 1967 sampai 1997. Fasilitas fiskalnya antara lain, pajak
hariannya selama 3 tahun setelah berproduksi dan tidak ada royalti sampai tahun 1986. Kewajiban
fiskalnya yaitu, pajak penghasilannya selama tahun 1976-1983 sebesar 35% dan pada tahun 1983-
kontrak berakhir sebesar 41,75%. Sedangkan kewajiban royaltinya sejak tahun 1986 untuk
tembaga sebesar 1,5-3,5% serta 1% untuk emas dan perak. Kepemilikannya sebesar 100% oleh
pihak asing sejak tahun 1967-1986 dan 0,5% oleh pihak pemerintah Indonesia serta 91,5 FCX
pada tahun 1986 sampai masa kontrak berakhir.
Sedangkan pada kontrak karya ke II luas arena kawasan pertambangan adalah 6,5 juta acres (26
juta Ha) dengan jangka waktu 30 tahun, terhitung dari tahun 1991 sampai 2021 dan kemudian
diperpanjang 20 tahun hingga tahun 2041. Dalam kontrak karya II tidak ada fasilitas fiskal, namun
kewajiban fiskalnya antara lain, pajak penghasilan 35%, pajak dividen dan interest 15%, iuran
tetap untuk wilayah KK, pajak penghasilan karyawan, PPn dan pajak barang mewah, Pajak Bumi
dan Bangunan, pungutan, pajak, beban dan bea pemda serta bea pungutan lainnya. Kewajiban
royaltinya sejak tahun 1986 untuk tembaga sebesar 1,5-3,5% serta 1% untuk emas dan perak.
Sedangkan kepemilikannya 81,28% oleh FCX, 9,36% oleh pemerintah Indonesia dan 9,36% oleh
PT. Indocopper Investama.

20
Dalam sejarah dan perkembangannya, PT. Freeport Indonesia (PTFI) memulai operasional
penambangannya setelah diresmikan melalui penanda tanganan Kontrak Karya dengan pemerintah
Indonesia, yang lalu berkembang hingga konstruksi skala besar yang lalu dilanjutkan hingga
ekspor perdana konsentrat emas dan tembaga yang pada saat itu operasional penambangan masih
dilakukan di areal bijih Ertsberg. Berkembangnya industri penambangan PTFI ini semakin melejit
setelah ditemukannya cadangan – cadangan bijih baru kelas dunia seperti Grasberg oleh para
geologist.
Namun PT. Freeport Indonesia secara langsung telah memberikan nilai plus dalam devisa Negara
Indonesia, dalam bentuk dividend dan royalty yang besar melalui pembayar pajaknya. PTFI juga
memberikan manfaat yang tidak langsung dalam bentuk upah, gaji, dan tunjanngan serta
reinvestasi dalam negeri, pembelian barang dan jasa, serta pembangunan daerah donasi. Berikut
adalahpemegang saham yang berada di PT. Freport:
1) Freeport-McMog Ran Copper & Gold Inc. (AS) - 81,28%
2) Pemerintah Indonesia - 9,36%
3) PT. Indocopper Investama - 9,36%
2.9 OPERATIONAL PERUSAHAAN
Dalam operasi pertambangan PT. Freeport Indonesia diterapkan 2 sistem motde
penambangan yaitu Penambangan Terbuka (Surface Mining) dan Pertambangan Bawah Tanah
(Undergroun Mining).
2.9.1 Operasional Tambang Terbuka Grasberg
Tubuh bijih Grasberg ditambang dengan menggunakan cara penambangan terbuka, yang
cocok untuk Grasberg karena keberadaannya yang dekat dengan permukaan. Dengan
penambangan terbuka, maka dimungkinkan pengerahan peralatan berat untuk pekerjaan tanah
yang sangat besar, yang mampu mencapai tingkat penambangan yang tinggi pada biaya satuan
yang paling rendah.
Pada tambang terbuka Grasberg digunakan peralatan shovel dan truk besar untuk
menambang bahan. Bahan tersebut termasuk klasifikasi bijih atau limbah, tergantung dari nilai
ekonomis bahan tersebut.
Alat shovel menggali bahan pada daerah-daerah berbeda di dalam tambang terbuka, dan
memuat bahan ke atas truk angkut untuk dibawa keluar tambang terbuka. Bijih ditempatkan ke
dalam alat penghancur bijih dan diangkut ke pabrik pengolahan (mill) untuk diproses. Batuan

21
limbah (overburden) dibuang dengan truk ke daerah-daerah penempatan yang telah ditentukan,
atau ke dalam alat penghancur OHS pada jalan HEAT untuk ditempatkan di Wanagon Bawah di
samping alat penimbun (stacker).
Sarana-sarana utama yang ada pada lokasi tambang terbuka termasuk operasional kereta
gantung, bengkel-bengkel perawatan, tambang batu gamping dan pabrik pemrosesan, serta fungsi
pendukung lainnya dan perkantoran.
2.9.2 Operasional Tambang Bawah Tanah
PTFI menggunakan teknik ambrukan pada sistem tambang bawah tanah (Underground
Mining) , metode ini biasa disebut dengan metode Block Caving. Block Caving adalah metode
penambangan yang bertujuan untuk memotong bagian bawah dari blok bijih pada level undercut
sehingga blok bijih tersebut mengalami keruntuhan. Metode ini diterapkan terutama pada blok
badan bijih yang besar karena tingkat produksinya yang lebih tinggi. Bidang pada massa batuan
dengan ukuran yang sudah di tentukan di ledakan pada tahap level Undercut sehingga massa
batuan yang berada diatasnya akan runtuh. Penarikan bijih hasil runtuhan pada bagian bawah
kolom bijih menyebabkan proses runtuhan akan berlanjut keatas sampai semua bijih diatas level
undercut hancur menjadi ukuran yang sesuai untuk proses selanjutnya dikirim ke pabrik pemroses
(mill). PTFI menerapkan Sistem Block Caving ini pada zona – zona tertentu antara lain Gunung
Bijih Timur (GBT), Intermediate Ore Zone (IOZ), Deep Ore Zone (DOZ), Mill Level Zone (MLZ),
East Stockwork Zone (ESZ).
2.10 DAMPAK PENCEMARAN LIMBAH PT FREEPORT INDONESIA
Tailing adalah bahan-bahan yang dibuang setelah proses pemisahan material berharga dari
material yang tidak berharga dari suatu bijih. Tailing yang merupakan limbah hasil pengolahan
bijih sudah dianggap tidak berpotensi lagi untuk di manfaatkan, akan tetapi dengan hasil penelitian
dan kemanjuan teknologi saat ini tailing tersebut masih dapat dimanfaatkan untuk bahan bangunan.
Keberadaan tailing dalam dunia pertambangan tidak bisa dihindari, dari penggalian atau
penambangan yang dilakukan hanya < 3% bijih menjadi produk utama, produk sampingan, sisanya
menjadi waste dan tailing. Secara fisik komposisi tailing terdiri dari 50% fraksi pasir halus dengan
diameter 0,075 – 0,4 mm, dan sisanya berupa fraksi lempung dengan diameter 0,075 mm.
Umumnya tailing hasil penambangan mengandung mineral yang secara langsung tergantung pada
komposisi bijih yang diusahakan.

22
Tailing hasil penambangan emas umumnya mengandung mineral inert (tidak aktif) seperti;
kuarsa, kalsit dan berbagai jenis aluminosilikat, serta biasanya masih mengandung emas.
Tailinghasil penambangan emas mengandung salah satu atau lebih bahan berbahaya beracun
seperti; Arsen (As), Kadmium (Cd), Timbal (pb), Merkuri (Hg) Sianida (Cn) dan lainnya. Logam-
logam yang berada dalam tailing sebagian adalah logam berat yang masuk dalam kategori limbah
bahan berbahaya dan beracun (B3) Mineral berkadar belerang tinggi dalam tailing sering menjadi
satu sumber potensial bagi timbulnya air asam tambang

23
24
BAB III
METODE PEMECAHAN MASALAH

3.1 ANALISIS LIMBAH PT. FREEPORT INDONESIA


Sumbangan Freeport terhadap bangkrutnya kondisi alam dan lingkungan sangatlah besar.
Menurut perhitungan WALHI pada tahun 2001, total limbah batuan yang dihasilkan PT. Freeport
Indonesia mencapai 1.4 milyar ton. Masih ditambah lagi, buangan limbah tambang (tailing) ke
sungai Ajkwa sebesar 536 juta ton. Total limbah batuan dan tailing PT Freeport mencapai hampir
2 milyar ton lebih.
Freeport tidak memenuhi perintah membangun bendungan penampungan tailing yang
sesuai dengan standar teknis legal untuk bendungan, namun masih menggunakan tanggul (levee)
yang tidak cukup kuat. Selain itu Freeport mengandalkan izin yang cacat hukum dari pegawai
pemerintah setempat untuk menggunakan sistem sungai dataran tinggi untuk memindahkan
tailing.
Berdasarkan analisis citra LANDSAT TM tahun 2002 yang dilakukan oleh tim WALHI,
limbah tambang (tailing) Freeport tersebar seluas 35,000 ha lebih di DAS Ajkwa. Limbah tambang
masih menyebar seluas 85,000 hektar di wilayah muara laut, yang jika keduanya dijumlahkan
setara dengan Jabodetabek. Total sebaran tailing bahkan lebih luas dari pada luas area Blok A
(Grasberg) yang saat ini sedang berproduksi. Peningkatan produksi selama 5 tahun hingga
250,000 ton bijih perhari dapat diduga memperluas sebaran tailing, baik di sungai maupun muara
sungai. Freeport tidak lagi menyebutkan Ajkwa sebagai sungai, tetapi sebagai wilayah tempatan
tailing yang “disetujui” oleh Pemerintah Republik Indonesia. Freeport bahkan menyebutkan
Sungai Ajkwa sebagai sarana transportasi dan pengolahan tailing hal mana sebetulnya
bertentangan dengan hukum di Indonesia.
Freeport mencemari sistem sungai dan lingkungan muara sungai, yang melanggar standar
baku mutu air sepanjang tahun 2004 hingga 2006. Dan yang tidak kalah parah adalah membuang
Air Asam Batuan (Acid Rock Drainage) tanpa memiliki surat izin limbah bahan berbahaya
beracun. Buangan Air Asam Batuan sudah sampai pada tingkatan yang melanggar standar limbah
cair industri, membahayakan air tanah, dan gagal membangun pos-pos pemantauan seperti yang
telah diperintahkan.

25
Kandungan logam berat tembaga (Cu) yang melampaui ambang batas yang diperkenankan.
Kandungan tembaga terlarut dalam efluent air limbah Freeport yang dilepaskan ke sungai maupun
ke Muara S. Ajkwa 2 kali lipat dari ambang yang diperkenankan. Sementara itu untuk kandungan
padatan tersuspensi (Total Suspended Solid) yang dibuang 25 kali lipat dari yang diperkenankan.
Sistem pembuangan limbah Freeport mengancam mata rantai makanan yang terindikasi kewat
kandungan logam berat yaitu selenium (Se), timbal (Pb), arsenik (As), seng (Zn), mangan (Mn),
dan tembaga (Cu) pada sejumlah spesies kunci yaitu: burung raja udang, maleo, dan kausari serta
sejumlah mamalia yang kadangkala dikonsumsi penduduk setempat. Sistem pembuangan limbah
Freeport menghancurkan habitat muara sungai Ajkwa secara signifikan. Hal ini diindikasikan oleh
peningkatan kekeruhan muara dan tersumbatnya aliran ke muara. Dalam jangka panjang wilayah
muara seluas 21 sampai 63 Km persegi akan rusak.
3.2 PEMANFAATAN TAILING
Dengan pertumbuhan jumlah penduduk yang pesat, dan untuk memenuhi tuntutan hidup
serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat, perlu diimbangi dengan peningkatan kebutuhan
akan perumahan, infratruktur, dan sarana penunjang kegiatan sehari-hari seperti perkantoran,
sekolah, pasar dan lainnya. Industri konstruksi ini membutuhkan sumber daya alam yang besar
seperti, pasir, gamping, alumunium, besi dan juga kayu. Eksploitasi sumber daya alam ini akan
menyebabkan rusaknya hutan, lahan pertanian, dan tentunya berkurangnya sumber daya alam.
Salah satu upaya untuk mengatasi hal tersebut adalah dengan cara meningkatkan pemanfaatan
tailing sebagai bahan bangunan.
Pengembangan bahan bangunan dari tailing ini selain dapat menunjang kebutuhan
pembangunan juga dapat memecahkan masalah lingkungan yang selanjutnya produk ini dapat
dikategorikan sebagai bahan bangunan ekologis. Pemanfaatan tailing untuk bahan bangunan atau
konstruksi, telah dilakukan oleh beberapa negara termasuk Indonesia melalui penelitian-
penelitian, diantaranya :
a. Tailing sebagai material konstruksi ringan
Tailing hasil tambang bijih porpiri di Negara Bagian Arizona, Amerika Serikat, telah
dimanfaatkan untuk membuat suatu material konstruksi kelas ringan, yang dikenal secara umum
sebagai autoclaved aerated cement , disingkatan AAC dengan bahan baku utama silika (SiO2).
Tambang porpiri di negara bagian ini umumnya batuan induknya berupa batuan silika, sehingga
jumlah pasir silika cukup berlimpah. Ukuran butir dari pasir silikanya bundar kecil yang pada

26
hakekatnya setara dengan ukuran bentuk butir silika yang di haruskan untuk menghasilkan
material bangunan ringan AAC.
Material bangunan ringan AAC dengan bahan baku pasir silika dari tailing tersebut,
mempunyai sifat sebagai isolator panas yang sangat baik, bahan kedap suara dan material dengan
kualitas yang diinginkan serta sebanding dengan material bahan bangunan AAC yang
menggunakan pasir silika yang bersumber dari bahan material bukan tailing.
b. Bahan bangunan dan keramik
Ahli geologi dan tambang dari tambang Idaho-Maryland, USA, menemukan suatu proses
penghalusan dari tailing atau batuan limbah dari tambang tersebut untuk dibuat material bahan
bangunan dan keramik, melalui proses CeramextTM. Poses ini dilakukan pada tekanan pada
ruangan hampa yang dipanaskan (Idaho-Maryland Mining Corp, 2008).
c. Tailing untuk pembuatan batu bata
Di daerah pedesaan negara Jamaica, pembangunan perumahan sangat kurang dikarenakan
mahalnya bahan bangunan. Jamaica Bauxite Institute, bekerjasama dengan Universitas Toronto,
mengembangkan bahan bangunan berupa batu bata yang murah dengan menggunakan tailing hasil
industri aluminium negeri itu (Dennis Morr and Wesley Harley).
d. Tailng untuk pembuatan semen kekuatan tinggi, keramik, batubata.
Pada tahun 1990, Akademi Ilmu Geologi Cina mendirikan Pusat Teknik untuk
pemanfaatan tailing, dan merupakan yang pertama di Negeri China, untuk melakukan penyelidikan
daerah tailing yang prospek untuk dimanfaatan kembali. Lembaga ini menganalisa sifat-sifat
sumber daya dan potensi dari berbagai jenis tailing, dan mengembangkan teknologi untuk
membuat sejumlah produk-produk yang berharga dari tailing. Produk-produk ini termasuk semen
kekuatan tinggi, bahan bangunan keramik, batu bata, dan bahan-bahan hiasan yang dibuat dari
granit.
e. Tailing sebagai campuran beton
PT Freeport Indonesia bekerja sama dengan Institut Teknologi Bandung telah berhasil
membuat beton dengan bahan dasar tailing dari pertambangan tembaga, dan emas, dan merupakan
hasil penelitian beberapa tahun. Penggunaan tailing sebagai bahan dasar pembuatan beton telah
dilakukan pada tahun 2001 untuk pembangunan jalan menuju tambang Gresberg di M.28 (foto 1),
pembangunan jembatan S. Kaoga (foto 2), dan beberapa konstruksi lainnya. Beton ini disebut
Beton Polimer dengan komposisi semen portland 29,4%, polimer 0,6 %, dan tailing 70%, dan telah

27
memperoleh sartifikat Pengujian dari Departemen KIMPRASWIL pada tahun 2004 (PT Freeport
Indonesia, 2006). Saat ini tailing juga telah digunakan untuk bahan bangunan untuk pembangunan
perumahan karyawan.
f. Tailing untuk membuat paving block
Penelitian yang dilakukan oleh Tim KPP Konservasi di P. Bintan, mengungkapkan bahwa
tailing hasil pencucian bauksit telah dicoba untuk dibuat bahan bangunan oleh ex karyawan PT
Aneka Tambang di P. Bintan, dan berhasil baik. Prosesnya sederhana, tailing hasil pencucian
bauksit, dicuci kembali untuk menghilangkan sisa air laut yang terdapat pada tailing, kemudian di
saring. Dengan tambahan semen, kemudian dengan alat sederhana (foto 3) dicetak menjadi batako
(foto 4), dan paving block (foto 5). Hasil inovatif tersebut telah digunakan untuk pembatas jalan,
dan tembok pagar masjid yang terletak di komplek perkantoran PT Aneka Tambang (foto 6). dan
banyak diminati oleh rakyat setempat karena murah.
3.3 OVERBURDEN DAN AIR ASAM TAMBANG
Overburden adalah batuan yang harus dikupas agar bijih yang ditambang dapat dijangkau
dan diolah untuk diambil logamnya untuk keperluan komersial. Banyak logam terdapat di alam
dalam bentuk mineral sulfida. Pada saat bijih ditambang dan overburden yang mengandung sulfida
terpapar, maka reaksi air,oksigen dan bakteri alami berpotensi membentuk asam belerang. Air
bersifat asam tersebut dapat melarutkan logam yang terkandung di dalam batuan overbuden dan
terbawa dalam sistem pembuangan air, dan apabila tidak dikelola dengan baik dapat menimbulkan
dampak negatif terhadap lingkungan. Proses tersebut dikenal dengan nama air asam tambang.
3.3.1 Cara Mengatasi Overbuden
Di dalam pengelolaan asam tambang diperlukan pengawasan agar tidak terjadi
penyelewengan di dalam pengelolaannya, karena di dalam pengelolaan pada tambang ditakutkan
terdapat penyelengan yang di lakukan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab apalagi
perusahaan sebesar PT.Freeport. cara yang laen yaitu dengan cara menempatkan overburden pada
daerah-daerah terkelola di sekitar tambang terbuka Grasberg. Atau dengan cara dilakukan
penampung dan pengolahan air asam tambang yang ada, bersamaan upaya proses pencampuran
dengan batu gamping dan penutupan daerah penempatan overburden dengan batu gamping guna
mengelola pembentukan air asam tambang di masa datang.

28
29
BAB IV
REKOMENDASI

4.1 STRATEGI PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP


Upaya Penanganan Limbah berdasarkan Strategi Pengelolaan Lingkungan Hidup Sesuai
dengan maksud dari strategi pengelolaan kualitas lingkungan adalah cara untuk menentukan
kualitas lingkungan yang lebih baik, maka ada 5 cara yang dapat dilakukan :
4.1.1 Tata Letak Lokasi
Pertama, tata letak lokasi ruang. Dilihat dari lokasi penambangan utama P.T. Freeport
Indonesia Blok A Grassberg yang berada di ketinggian 4200 m di permukaan laut. Lokasi
penambangan P.T. Freeport Indonesia adalah berupa gunung cadas yang kaya akan mineral
tambang. Tetapi, dilihat dari ketinggiannya yang berada 4200 meter di atas permukaan laut, lokasi
penambangan ini tentu saja merupakan kawasan yang ditopang oleh ekosistem di bawahnya. Jadi,
apabila kawasan ini terganggu maka akan merusak keseimbangan ekosistem yang berada di
bawahnya. Jadi seharusnya, apabila akan dilakukan penambangan di lokasi penambangan P.T.
Freeport Indonesia yang sekarang maka harus dilakukan studi mengenai dampak kerusakan
lingkungan yang akan terjadi yang dilakukan secara komprehensif dan mendalam. Jelas, hal ini
tidak dilakukan oleh P.T. Freeport maupun oleh Pemerintah Indonesia yang dalam hal ini sebagai
pemilik wilayah.
4.1.2 Penerapan Teknologi Bersih
Kedua, penerapan teknologi bersih dalam penambangan. Tentu sangat sulit menerapkan
teknologi bersih dalam kasus P.T. Freeport. Karena untuk menghasilkan 1 gram emas di
Grassberg, yang merupakan wilayah paling produktif, dihasilkan kurang lebih 1.73 ton limbah
batuan dan 650 kg tailing. Bisa dibayangkan, jika Grasberg mampu menghasilkan 234 kg emas
setiap hari, maka akan dihasilkan kurang lebih 15 ribu ton tailing per hari. Jika dihitung dalam
waktu satu tahun mencapai lebih dari 55 juta ton tailing dari satu lokasi saja. Sejak tahun 1995,
jumlah batuan limbah yang telah dibuang sebanyak 420 juta ton. Di akhir masa tambang, jumlah
total limbah batuan adalah 4 milyar ton. Di akhir masa tambang ketinggian tumpukan limbah
batuan adalah 500 meter. Diperkirakan, tambang Grasberg harus membuang 2,8 milyar ton batuan
penutup hingga penambangan berakhir tahun 2041.

30
Melakukan efisiensi konversi bahan dalam kegiatan pertambangan merupakan hal yang
hamper mustahil dilakukan karena pada dasarnya, kegiatan pertambangan adalah kegiatan
eksploitasi sumber daya alam besar-besaran. Dalam kasus P.T. Freeport, yang dapat dilakukan
hanyalah meyimpan lapisan tanah atas (top soil) hasil pengupasan yang dilakukan untuk
mendapatkan mineral tambang (ore) di bawahnya untuk menutup kembali dan penghijauan lokasi
pertambangan yang sudah tidak produktif lagi nantinya.
4.1.3 Sistem Pengelolaan Limbah
Sistem pengelolaan limbah yang dilakukan P.T. Freeport Indonesia saat ini adalah limbah
batuan akan disimpan pada ketinggian 4200 m di sekitar Grassberg. Total ketinggian limbah
batuan akan mencapai lebih dari 200 meter pada tahun 2025. Sementara limbah tambang secara
sengaja dan terbuka akan dibuang ke Sungai Ajkwa yang dengan tegas disebutkan sebagai wilayah
penempatan tailing sebelum mengalir ke laut Arafura.
Tempat penyimpanan limbah batuan dilakukan di Danau Wanagon. Danau Wanagon
bukanlah danau seperti dalam bayangan umum. Wanagon lebih tepat disebut basin (kubangan air
besar) yang terbentuk dari air hujan. Sejak PT Freeport Indonesia (FI) menambang mineral di
Grasberg tahun 1992, Wanagon dipilih sebagai lokasi pembuangan batuan penutup (overburden)
yang menutupi mineralnya.
Penggunaan Danau Wanagon menjadi tempat penimbunan limbah batuan telah merupakan
pencemaran air dan merubah fungsi danau yang menjadi sumber air bagi masyarakat sekitarnya,
seperti dari Desa Banti/Waa. P.T. Freeport dan pemerintah Indonesia telah melanggar peraturan
yang terkait dengan pembuangan limbah tersebut ke Danau Wanagon, diantaranya adalah :
1. UU no. 4 tahun 1982 yang telah dirubah menjadi UU no. 23 tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup
2. PP no. 20 tahun 1990 tentang Pengendalian Pencemaran Air.
3. PP no. 18 tahun 1994 jo PP no. 85 tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah B3. Dari
penjelasan di atas jelas dikatakan bahwa limbah batuan Grasberg merupakan limbah B3
karena mengandung logam berat. Dalam pasal 3 menyatakan "Setiap orang yang
melakukan usaha dan/atau kegiatan yang menghasilkan limbah B3 dilarang membuang
limbah B3 yang dihasilkannya itu secara langsung ke dalam media lingkungan bidup tanpa
pengolahan terlebih dahulu" dan pasal 29 ayat 2 menyatakan bahwa "Tempat penyimpanan
limbah B3 sebagaimana dimaksud paa ayat 1 wajib memenuhi syarat : a). lokasi tempat

31
penyimpanan yang bebas banjir, tidak rawan bencana, dan di luar kawasan lindung serta
sesuai dengan rencana tata ruang. B) .Rancangan bangunan disesuaikan dengan jumlah,
karakteristik limbah B3 dan upaya pengendalian pencemaran lingkungan".
4. Kemudian berdasarkan PP 18 tahun 1994 jo PP 85 tahun 1999 jelas pembuangan limbah
batuan yang merupakan limbah B3 secara langsung ke Danau Wanagon merupakan pelanggaran
hukum.
Selain itu, penggunaan Sungai Ajkwa sebagai wilayah penempatan tailing sebelum
mengalir ke laut Arafura adalah permasalahan lainnya. Freeport tidak lagi menyebutkan Ajkwa
sebagai sungai, tetapi sebagai wilayah tempatan tailing yang “disetujui” oleh Pemerintah Republik
Indonesia. Freeport bahkan menyebutkan Sungai Ajkwa sebagai sarana transportasi dan
pengolahan tailing hal mana sebetulnya bertentangan dengan hukum di Indonesia.
4.1.4 Pengelolaan Media Lingkungan
Pengelolaan media lingkungan agar media lingkungan mempunyai daya dukung lebih
tinggi tidak dilakukan oleh P.T. Freeport. Penggunaan Sungai Ajkwa sebagai ADA (Ajkwa
Deposition Area) untuk mengalirkan limbah tailing sebelum dialirkan ke Laut Arafura dan
menumpuk limbah batuan (overburden) di Danau Wanagon adalah contohnya. Tanpa melakukan
modifikasi media lingkungan dan bahkan tanpa pengolahan sedikitpun, P.T. Freeport membuang
begitu saja limbah-limbah tersebut.
Sekarang, sangat sulit dan hampir tidak mungkin untuk mengembalikan Sungai Ajkwa dan
Danau Wanagon ke fungsi ekologis seperti sediakala. Proses Sedimentasi yang terjadi di sepanjang
DAS Ajkwa dan tumpukan limbah batuan yang berada di Danau Wanagon suddah terlalu parah.
Bahkan, di Danau Wanagon saat ini yang tersisa hanyalah batuan dan pasir. Tidak tersisa
sedikitpun pemandangan yang menunjukkan kalau tadinya Wanagon adalah suatu tempat yang
mempunyai fungsi ekologis sebagai danau.
4.1.5 Perubahan Baku Mutu
Melakukan perubahan baku mutu yang dilakukan apabila daya dukung lingkungan yang
ada tidak dapat mencerna bahan-bahan luar atau limbah yang masuk ke dalam lingkungan tersebut.
Cara ini sudah tidak mungkin dilakukan pada kasus P.T. Freeport yang sudah sedimikian rupa.
Kandungan tembaga (Cu) serta TSS (Total Suspended Solids) yang ada sudah jauh melebihi batas
yang diperbolehkan. Di bawah ini terdapat tabel yang menggambarkan parameter pencemar di
Sungai Ajkwa.

32
Sungai Ajkwa Bagian Bawah (Lower Ajkwa River) mengandung 28 hingga 42 mikrogram
per liter (µg/L) tembaga larut (dissolved copper), dua kali lipat melebihi batas legal untuk air tawar
si Indonesia yaitu 20 µg/L, dan jauh melampaui acuan untuk air tawar yang diterapkan pemerintah
Australia, yaitu 5,5 µg/L. Lebih jauh ke hilir, kandungan tembaga larut pada air tawar sebelum
Muara Ajkwa juga melanggar batas dengan 22 – 25 µg/L dan bisa mencapai 60 µg/L.
Untuk kondisi air laut di Muara Ajkwa Bagian Bawah, standar ASEAN dan Indonesia
untuk tembaga larut adalah 8 µg/L, dan acuan pemerintah Australia adalah 1,3 µg/L. Pencemaran
Freeport-Rio Tinto di daerah ini juga melebihi batas legal: kandungan tembaga larut mencapai
rata-rata 16 µg/L dengan rentang tertinggi 36 µg/L. Batas legal total padatan tersuspensi (total
suspended solids, TSS) dalam air tawar adalah 50 mg/L. Sedangkan tailing yang mencemari
sungai-sungai di dataran tinggi memiliki tingkat TSS mencapai ratusan ribu mg/L. Tigapuluh
kilometer masuk ke dataran rendah Daerah Pengendapan Ajkwa, tingkat TSS di Sungai Ajkwa
bagian Bawah mencapai seratus kali lipat dari batas legal. Lebih jauh ke hilir dari ADA, di Muara
Ajkwa bagian bawah, TSS mencapai 1.300 mg/L, 25 kali lipat melampaui batas. Mutu air di
perairan hutan bakau di Muara Ajkwa juga 10 kali lipat melampaui batas legal untuk TSS di
lingkungan air laut (80 mg/L), dengan TSS rata-rata 900 mg/L.
Demi mencegah kerusakan lingkungan yang lebih parah di masa datang, sekali lagi Walhi
meminta pemerintah untuk melaksanakan pengambilan sampel secara berkala dan cermat,
daripada mengandalkan laporan dari perusahaan. Pemerintah juga harus menerbitkan semua
informasi lingkungan pada masyarakat sesuai Undang-undang Lingkungan Hidup (1997).
Mengkaji ulang peraturan pajak dan royalti demi meningkatkan keuntungan bagi komunitas yang
terkena dampak, propinsi Papua, demi mengurangi beban kerusakan lingkngan sejauh ini.
Membentuk Panel Independen untuk memetakan sejumlah skenario bagi masa depan
Freeport, termasuk tanggal penutupan, pengolahan (processing) dan pengelolaan limbah.
Kemudian pemerintah harus menyewa konsultan independen untuk mengkaji setiap skenario dari
segi sosial dan teknis secara rinci dan independen. Kajian ini kemudian harus digunakan sebagai
dasar untuk pembahasan mengenai masa depan tambang oleh penduduk lokal dan pihak
berkepentingan lainnya.
4.2 PENGELOLAAN DAN DAUR ULANG LIMBAH
Limbah, termasuk limbah berbahaya (B3) dalam jumlah kecil, dipilah-pilah pada titik
pengumpulan asal. Pengumpulan, pengemasan, penyimpanan limbah B3 yang dihasilkan dari

33
pekerjaan ujicoba terhadap sampel bijih logam, laboratorium analitis, dan proses-proses lainnya
dikelola dengan menaati ketentuan Pemerintah Indonesia. Limbah B3 dipilah dan disimpan di
gudang-gudang khusus hingga pada saatnya dikirim ke instalasi pembuangan limbah berbahaya
lainnya di Indonesia yang telah disetujui. Limbah medis dipilah dari limbah lainnya dan
ditempatkan di dalam wadah khusus untuk pemusnahan akhir pada instalasi insinerator limbah
medis bersuhu tinggi yang sudah ada izinnya dan berada di lokasi.
4.3 PENUTUPAN TAMBANG
PT Freeport Indonesia mempunyai rencana penutupan tambang yang merupakan analisa
dan strategi terbaru untuk pengelolaan penutupan. Adapun strategi penutupan yang dianut PT
Freeport Indonesia secara keseluruhan adalah mengidentifikasi, memantau dan mengurangi
dampak, baik terhadap lingkungan maupun sosial, melalui program-program pengelolaan yang
tengah berjalan selama tahapan operasional. Hal ini guna menjamin agar proses decommissioning
(penutupan kegiatan dan sarana), reklamasi dan kegiatan pemantauan lingkungan yang diperlukan
pada saat penutupan dan bahwa selama tahapan pasca penutupan, seluruh kegiatan dapat dikelola
dengan efektif; dampak penutupan tambang terhadap ekonomi dan masyarakat setempat dapat
dikelola dengan baik, dan serah-terima setiap aset yang tersisa, berikut pengalihan tanggung jawab
atas kawasan tambang tersebut kepada pemerintah Indonesia dapat berjalan lancar dan efisien.
4.4 REKLAMASI DAN PENGHIJAUAN KEMBALI
4.4.1 Daerah Dataran Tinggi
Kajian-kajian intensif yang telah dilakukan berhasil mengidentifikasi jenis-jenis tanaman
dataran tinggi yang dapat tumbuh subur di atas lahan reklamasi, dan penelitian saat ini dilakukan
dirancang untuk menemukan cara meningkatkan daya tahan spesies-spesies tersebut pada kondisi
yang sulit. Titik berat penelitian yang dilakukan selama tahun 2005 adalah peran iklim setempat
dalam pembentukan lumut serta suksesi alami yang cepat pada daerah penempatan akhir
overburden. Adapun manfaat dari transplantasi diamati dari keberhasilan menumbuhkan tanaman
alami yang dihasilkan dan/atau diperkenalkan lewat transplantasi pada daerah uji coba. Spesies-
spesies asli Deschampsia klossii,Anaphalis helwigii dan berbagai herba asli terbukti dapat
diprediksi dan memilih daya tahan sangat tinggi terhadap kondisi di Grasberg, serta mampu
berkembang biak secara mandiri dan tumbuh dengan pesat di daerah tersebut.

34
4.4.2 Daerah Dataran Rendah
Di daerah dataran rendah, penelitian reklamasi telah berulangkali membuktikan
keberhasilan spesies tanaman asli untuk melakukan kolonisasi secara pesat dan alami di atas tanah
yang mengandung tailing. Tanah yang mengandung tailing sangat cocok untuk ditanami sejumlah
tanaman pertanian apabila tanah tersebut diperbaiki dengan menambahkan karbon organik. Tujuan
dari program reklamasi dan penghijauan kembali PT FI di daerah dataran rendah adalah untuk
mengubah endapan tailing pada daerah pengendapan menjadi lahan pertanian atau dimanfaatkan
sebagai lahan produktif lainnya, atau menumbuhkannya kembali dengan tanaman asli setelah
kegiatan tambang berakhir. Hingga akhir tahun 2005, 138 spesies tumbuhan berhasil ditanam di
atas tanah yang mengandung tailing. Beberapa spesies tanaman yang berhasil di uji coba hingga
saat ini termasuk tanaman kacang-kacangan penutup tanah untuk dijadikan pakan ternak; pohon-
pohon lokal seperti casuarina dan matoa; tanaman pertanian seperti nanas, melon, dan pisang; serta
sayur mayur dan bijih-bijihan seperti cabai, ketimun, tomat, padi, buncis dan labu. Sejumlah besar
spesies tanaman pangan dan buah-buahan tersebut berhasil dipanen pada tahun 2005.
4.5 PEMANTAUAN LINGKUNGAN
Program jangka panjang pemantauan lingkungan hidup PT FI mengevaluasi potensi
dampak yang ditimbulkan oleh kegiatan pertambangan, dengan secara rutin mengukur mutu air,
biologi, hidrologi, sedimen, mutu udara dan meteorologi di dalam wilayah kegiatan. Pada tahun
2005, program pemantauan secara keseluruhan tersebut mencakup pengumpulan hampir 7.500
sampel lingkungan hidup dan pelaksanaan lebih 52.000 analisa secara terpisah terhadap sampel-
sampel tersebut, termasuk biologi akuatik, jaringan akuatik, jaringan tumbuhan, air tambang, air
permukaan, air tanah, air limbah sanitasi, sedimen sungai, dan tailing.
4.6 AUDIT LINGKUNGAN
Sebuah audit independen eksternal tiga tahunan terhadap lingkungan telah dilakukan oleh
Montgomery Watson Harza dalam rangka memenuhi salah satu komitmen PT FI yang tertuang
dalam dokumen Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang telah disetujui
Pemerintah Indonesia pada tahun 1997. Audit tersebut menyimpulkan bahwa kegiatan
pertambangan PTFI “termasuk kegiatan terbesar di dunia dengan tingkat tantangan dan kerumitan
lingkungan yang terbesar pula” dan bahwa “praktik-praktik pengelolaan lingkungan yang
dilakukan oleh perusahaan tersebut masih tetap didasarkan atas (dan dalam beberapa hal mewakili)
praktik-praktik pengelolaan terbaik untuk industri internasional penambangan tembaga dan emas.”

35
REFERENCES
Adack, J. (2013). DAMPAK PENCEMARAN LIMBAH PABRIK TAHU TERHADAP
LINGKUNGAN HIDUP. Lex Administratum, 78-87.

Astuti, A. D. (2018). Implikasi Kebijakan Indonesia dalam Menangani Kasus Pencemaran


Lingkungan oleh PT. Freeportterhadap Keamanan Manusia di Mimika Papua. Journal of
International Relations, 547-555.

36

Anda mungkin juga menyukai