Anda di halaman 1dari 31

TUGAS MANDIRI

Mata Kuliah : Bahasa Indonesia

MERESUME ISI BUKU

Nama : Novita
NPM : 180810024
Dosen : Sutiyono, S.Pd.,M.Pd.
Kode Kelas : 182-MN012-N2
Jurusan : Akuntansi

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN HUMANIORA


UNIVERSITAS PUTERA BATAM
2019
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan
segala rahmat dan karuniaNya, Sehingga penyusun dapat menyelesaikan tugas
makalah yang merupakan persyaratan dalam memperoleh nilai yang lebih baik
pada mata kuliah Komunikasi Bisnis di Universitas Putera Batam.

Tugas Mandiri (TM) ini disusun menurut kaidah keilmuan dan ditulis
berdasarkan kaidah Bahasa Indonesia di bawah pengawasan atau pengarahan
dosen pengampu untuk memenuhi kriteria-kriteria kualitas yang telah ditetapkan
sesuai keilmuannya masing-masing. Tugas Mandiri dibuat sebagai salah satu
persyaratan untuk menyelesaikan suatu mata kuliah di Universitas Putera Batam
(UPB). Untuk itu penulis ingin menyampaikan terima kasih banyak kepada semua
pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan Tugas Mandiri ini terutama
dosen pengampu kami yaitu Bapak Sutiyono, S.Pd., M.Pd.

Terlepas dari semua itu, Penulis menyadari bahwa sepenuhnya masih ada
kekurangan baik dari segi penyusunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh
karena itu dengan tangan terbuka penulis menerima segala saran dan kritik dari
pembaca agar dapat memperbaiki Tugas Mandiri ini.

Akhir kata kami berharap semoga Tugas Mandiri tentang Meresume isi
buku ini dapat memberikan manfaat maupun inspirasi terhadap pembaca.

Batam, 16 Juli 2019

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ i


DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
BAB II RESUME ISI BUKU ............................................................................... 1
2.1 UNSUR-UNSUR PENGAIT PARAGRAF ........................................................ 1
2.2 PRINSIP KEPADUAN BENTUK DAN MAKNA PARAGRAF ...................... 6
2.3 JENIS DAN CARA PENGEMBANGAN PARAGRAF .................................... 7
2.4 IHWAL KARYA ILMIAH AKADEMIK .......................................................... 9
2.5 IHWAL RESENSI ............................................................................................ 26
2.6 IHWAL TEKNIK EJAAN ................................................................................ 26
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... iv

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1
BAB II
RESUME ISI BUKU

2.1 UNSUR-UNSUR PENGAIT PARAGRAF


Selain kalimat, di dalam sebuah paragraf itu dipersyaratkan untuk selalu
berhubungan secara rasional antara yang satu dengan yang lainnya, sehinga
kalimat-kalimat yang di dalam paragraf itu akan dapat dibangun secara satu
dan padu, kalimat-kalimat di dalam sebuah paragraf juga masih harus
didukung penataannya dengan peranti konjungsi atau dikenal dengan kata
penghubung. Apa yang dimaksud dengan konjungsi atau kata penghubung?
Konjungsi atau kata penghubung merupakan kata yang bertugas
menghubungkan atau menyambungkan idea tau pikiran yang ada dalam
sebuah kalimat dengan ide atau pikiran pada kalimat yang lainnya.

Konjungsi atau kata penghubung itu dapat dibedakna menjadi


bermacam-macam, ada yang letaknya di antarkalimat, ada juga yang
letaknya di dalam intrakalimat. Dalam pencermatan saya mengenai buku ini,
ternyata konjungsi yang dapat diperankan sebagai kata-kata pengait paragraf
itu jumlah dan jenisnya sangat banyak dan dapat dibedakan sebagai berikut:

1. Pengait berupa Konjungsi Intrakalimat


Kata “Intra” yang artinya di dalam, maka yang dimaksud dengan
konjungsi intrakalimat yaitu kata penghubung yang berada di dalam
kalimat. Konjungsi intrakalimat beriperasi di dalam tataran kalimat.
Untuk lebih rinci dan jelas, konjungsi intrakalimat pada kalimat-kalimat
sebuah paragraf dapat menandai atau mengaitkan hubungan-hubungan
berikut ini:
a. Hubungan aditif (penjumlahan): dan, bersama, serta
b. Hubungan adversative (pertentangan): tetapi, tapi, melainkan
c. Hubungan alternative (pemilihan): atau, ataukah
d. Hubungan sebab : sebab, karena, lantaran, gara-gara
e. Hubungan akibat : hasilnya, akibatnya, akibat

1
f. Hubungan tujuan : untuk, demi, agar, biar, supaya
g. Hubungan syarat : asalkan, jika, kalau, jikalau
h. Hubungan waktu : sejak, sedari, ketika, sewaktu, waktu, saat, tatkala,
selagi, selama, seraya, setelah, sesudah, seusai, begitu, hingga
i. Hubungan konsesif : sungguhpun, biarpun, meskipun, walaupun,
sekalipun, kendatipun, betapapun.
j. Hubungan cara : tanpa, dengan
k. Hubungan kenyataan : bahwa
l. Hubungan alat : dengan, tidak dengan, memakaim menggunakan,
mengenakan, memerantikan
m. Hubungan ekuatif (perbandingan positif, perbandingan
menyamakan) : sebanyak, seluas, selebar, sekaya
n. Hubungan komparatif (perbandingan negative, perbandingan
membedakan) : lebih dari, kurang dari, lebih sedikit daripada, lebih
banyak daripada
o. Hubungan hasil : sampai, sehingga, maka, sampai-sampai Hubungan
astributif (hubungan menerangkan yang mewatasi) : yang
p. Hubungan atributif tak restriktif (hubungan menerangkan tidak
mewatasi) : yang (biasanya diawali dengan tanda koma)
q. Hubungan andaian : andaikata, seandainya, andaikan, kalau saja, jika
saja, jikalau, jika, bilamana, dalam hal, jangan-jangan, kalau-kalau
r. Hubungan optatif (harapan) : mudah-mudahan, moga-moga, semoga,
agar.

2. Pengait berupa Konjungsi Antarkalimat


Konjungsi antarkalimat di dalam sebuah paragraf bertugas untuk
menyambungkan atau menguhubungkan ide antara kalimat yang satu
dengan lainnya. Jadi dapat dikatakan bahwa konjungsi antarkalimat
berbeda dengan konjungsi intra kalimat, konjungsi antarklaimat
beroperasi pada tataran yang berada di luar kalimat itu sendiri. Lebih
lanjut dapat ditegaskan bahwa konjungsi-konjungsi yang disebutkan di
depan itu dapat menandai hubungan-hubungan majna berikut ini:

2
a. Hubungan makna pertentangan dengan yang dinyatakan pada
kalimat sebelumnya: biarpun begitu, biarpun demikian, sekalipun
demikian, sekalipun begitu, walaupun demikian, walaupun begitu,
meskipun demikian, meskipun begitu, sungguhpun demikian,
sungguhpun begitu, namun, akan tetapi
b. Hubungan makna kelanjutan dari kalimat yang dinyatakan pada
kalimat sebelumnya: kemudian, sesudah itu, setelah itu, selanjutnya.
c. Hubungan makna bahwa terdapat peristiwa, hal, keadaan di luar dari
yang dinyatakan sebelumnya: tambahan pula, lagi pula, selain itu
d. Hubungan makna kebalikan dari yang dinyatakan pada kalimat
sebelumnya: sebaliknya, berbeda dari itu, kebalikannya.
e. Hubungan makna kenyataan yang sesungguhnya: sesungguhnya,
bahwasanya, sebenarnya
f. Hubungan makna yang menguatkan keadaan yang disampaikan
sebelumnya: malah, malahan, bahkan
g. Hubungan makna yang menyatakan keeksklusifan dan keinklusifan :
kecuali itu
h. Hubungan makna yang menyatakan konsekuensi: dengan demikian
i. Hubungan makna yang menyatakan kejadian yang mendahului hal
yang dinyatakan sebelumnya: sebelum itu.

3. Pengait berupa Konjungsi Korelatif


Konjungsi korelatif terdiri atas dua unsur yang dipakai berpasangan.
Bentuk berpasangan bersifat idiomatic, jadi tidak bisa dimodifikasi
dengan begitu saja.
Contoh konjungsi korelatif
a. Antara…dan
b. Dari…hingga
c. Dari…sampai dengan
d. Dari…sampai ke
e. Dari…sampai
f. Dari…ke

3
g. Baik…maupun
h. Tidak hanya…tetapi juga
i. Bukan hanya…melainkan juga
j. Demikian…sehingga
k. Sedemikian rupa…sehingga
l. Apakah…atau
m. Entah…entah
n. Jangankan…pun

4. Pengait berupa Preposisi


Preposisi atau dikenal dengan kata depan dapat dikatakan dalam sebuah
bahasa yang sifatnya tertutup. Dikatakan tertutup karena jumlahnya
terbatas dan berkembang seperti kelas-kelas kata yang lainnya. Berbeda
dengan konjungsi yang lazimnya diikuti dengan klausa, preposisi atau
kata depan selalu diikuti oleh kata atau frasa.
Dengan demikian, hubungan makna demikian itu perlu pula dicermati
dan diperhatikan dalam kerangka penyusunan paragraf yang efekti ini.
Berikut merupakan hubungan-hubungan makna yang dinyatakan oleh
preposisi atau kata depan:
a. Hubungan makna keberadaan : di, pada, di dalam, di atas, di tengah,
di bawa, di luar, di sebelah, di samping
b. Hubungan makna asal: dari, dari dalam, dari luar, dari atas, dari
dalam, dari samping, dari belakang, dari muka
c. Hubungan makna arah: ke, menuju, ke dalam, ke luar, ke samping,
ke atas muka, kepada
d. Hubungan makna alat: dengan, tanpa dengan
e. Hubungan makna kepesertaan: dengan, bersama
f. Hubungan makna cara: secara, dengan
g. Hubungan makna peruntukan: untuk, bagi, demi
h. Hubungan makna sebab atau alasan: karena, sebab
i. Hubungan makna perbandingan: daripada, ketimbang
j. Hubungan makna pelaku perbuatan atau agentif: oleh

4
k. Hubungan makna batas: hingga, sampai
l. Hubungan makna perihwalan: tentang, mengenai, perihal, ihwal

5. Pengait dengan Teknik Pengacuan


Selain konjungsi intrakalimat dan konjungsi antarkalimat serta preposisi
atau kata depan, teknik pengacuan juga dapat digunakan sebagai peranti
pengait. Pengacuan-pengacuan termaksud dapat bersifat endoforis
(bentuk yang berada di luar kalimat), tetapi juga dapat bersifat eksoforis
(bentuk yang berada di luar kebahasaan).
Jadi, yang disebut terakhir ini harus dikaitkan dengan konteks luar
kebahasaan. Berikut pengacuan-pengacuan yang bersifat endoforis itu
disampaikan satu demi satu.
a. Hubungan pengacuan dengan kata ‘itu’.
b. Hubungan pengacuan dengan kata ‘begitu’
c. Hubungan pengacuan dengan ‘begitu itu’
d. Hubungan pengacuan dengan ‘demikian’
e. Hubungan pengacuan dengan ‘tersebut’.
f. Hubungan pengacuan dengan ‘tersebut itu’
g. Hubungan pengacuan dengan pronominal ‘-nya’.

6. Pengait yang Memerantikan Kalimat


Unsur-unsur pengait di dalam paragraf ternyata tidak hanya berupa kata
dan frasa seperti yang sebagian besar telah disampaikan di bagian depan.
Adakalnya pula, unsur pengait itu berupa kalimat. Nah, kalimat
demikian itu lazimnya terdapat di awal paragraf yang di dalam karangan
berfungsi untuk menuntun kalimat-kalimat yang akan hadir selanjutnya.
Kalimat yang menuntun itu juga berkaitan dengan kalimat-kalimat yang
ada pada paragraf sebelumnya.

5
2.2 PRINSIP KEPADUAN BENTUK DAN MAKNA PARAGRAF
Paragraf yang baik adalah paragraf yang semua unsur kebahasaannya
menjamin kepaduan bentuk bagi keberadaan paragraf itu. Kemudian
kepaduan makna di dalam sebuah paragraf ditunjukkan dengan adanya
kehadiran ide atau pikiran yang satu dan yang tidak terpecah-pecah di dalam
paragraf itu. Kalau di dalam kepaduan bentuk paragraf dipersyaratkan tidak
adanya kalimat dan unsur kebahasaan yang sumbang atau janggal, yang
tidak mendukung keberadaan paragraf itu. Sebaliknya di dalam kepaduan
makna paragraf tidak boleh adanya ide atau pikiran yang terpecah atau
terbelah.

Jadi, ide pokok di dalam sebuah paragraf itu tidak boleh lebih dari satu
dan ide pokoknya yang hanya satu tersebut harus dijabarkan secara
terperinci hingga menjadi benar-benar tuntas dalam satu paragraf. Berikut
ini merupakan prinsip-prinsip yang perlu dicermati dan diperhatikan untuk
membangun konstruksi paragraf yang padu baik bentuk maupun maknanya
adalah sebagai berikut:

1. Prinsip Kesatuan Pikiran -


Di depan sudah disampaikan bahwa di dalam sebuah paragraf harus
terdapat kesatuan idea tau pikiran. Pikiran atau ide yang hanya ada satu
tersebut selanjutnya harus dijabarkan dengan secara terperinci, dengan
secara jelas, dengan secara tuntas lewat kalimat-kalimat penjelas di
dalam paragraf itu.
Jadi, prinsip kepaduan idea tau kesatuan pikiran ini menjadi sangat
penting untuk menjadikan konstruksi paragraf yang benar-benar efektif
dan padu makna.

2. Prinsip Ketuntasan Pemaparan -


Paragraf yang baik adalah paragraf yang benar-benar, tuntas dari
dimensi penjabaran atau pemaparan ide pokoknya.
Kalimat utama sudah dijabarkan secara terperinci dalam kalimat-
kalimat penjelas mayor dan kalimat penjelas mayor sudah diperinci lebih

6
lanjut ke dalam kalimat-kalimat penjelas minor. Pada akhirnya, kalimat
penegas masih dinyatakan diakhir paragraf untuk menjamin bahwa
pemaparan yang baik dan terurai itu ditutup dengan kalimat penegas.

3. Prinsip Keruntutan -
Dengan prinsip keruntutan dimaksudkan, kalimat-kalimat di dalam
sebuah paragraf itu disusun secara urut. Jadi prinsip keruntutan
dimaksud adalah bahwa jabaran idea tau pikiran pokok dalam sebuah
paragraf itu tidak melompat-lompat.

2.3 JENIS DAN CARA PENGEMBANGAN PARAGRAF


Bahasa sendiri?

1. Jenis Paragraf
a. Paragraf Pembuka
Tugas pokoknya adalah untuk membuka dan mengantarkan pembaca
agar dapat memasuki paragraf-paragraf pengembang yang akan
dihadirkan kemudian.
b. Paragraf Pengembang
Paragraf pengembang atau paragraf isi sesungguhnya berisi inti atau
eseseni pokok beserta seluruh jabarannya dari sebuah karya tulis itu
sendiri.
c. Paragraf Penutup
Tugasnya adalah mengakhiri sebuah tulisan atau karangan. Jadi, isi
paragraf penutup itu dapat berupa simpulan atau penegasan kembali
pemaparan yang telah disajikan sebelumnya.

2. Pengembangan Paragraf
Paragraf harus diuraikan dan dikembangkan oleh para penulis atau
pengarang dengan variatif atau bermacam-macam. Sebuah karangan
ilmiah dapat mengambil salah satu model pengembangan seperti yang
akan dijelaskan dibawah ini ataupun bisa juga dengan

7
mengombinasikan beberapa model sekaligus. Berikut ini setiap
pengembangan paragraf itu akan dipaparkan maksudnya:
a. Pengembangan Alamiah
Pengembangan paragraf yang berciri alamiah didasarkan pada fakta
spasial dan kronologi. Deskripsi objek tertentu, deskripsi data, dongeng,
atau narasi yang lainnya, mengadopsi model pengembangan alamiah
yang sedemikian ini.

b. Pengembangan Deduksi-Induksi
Pengembangan paragraf dengan model deduksi dimulai dari sesuatu
gagasan yang sifatnya umum dan diikuti dengan perincian-perincian
yang sifatnya khusus dan terperinci.
Pengembangan paragraf dengan model induksi adalah pengembangan
yang dimulai dari hal-hal yang sifatnya umum.

c. Pengembangan Analogi
Pengembangan paragraf secara analogis lazimnya dimulai dari sesuatu
yang sifatnya umum, sesuatu yang banyak dikenal oleh publik sesuatu
yang banyak dipahami kebenarannya oleh orang dengan sesuatu yang
masih baru, sesuatu yang belum banyak dipahami publik.
Tujuan dari analogi ini sesungguhnya adalah untuk memudahkan
pemahaman pembaca, sehingga sesuatu yang masih kabur, masih
samar-samar, bahkan mungkin sesuatu yang sangat sulit, bisa menjadi
lebih mudah ditangkap dan gampang dipahami.

d. Pengembangan Klasifikasi
Paragraf yang dikembangkan dengan cara yang demikian ini akan
sangat memudahkan pembaca karena kelas-kelasnya jelas, tipe-tipenya
juga sangat jelas.
Pengkelasan dan penipean itu dapat dilakukan dengan bermacam-
macam cara, mungkin berdasarkan kesamaan karakternya, kesamaan
bentuknya, kesamaan ciri dan sifatnya, dan selanjutnya.

8
e. Pengembangan Komparatif dan Kontrasif
Pengembangan Komparatif adalah pembandingan yang dilakukan
dengan cara mencermati dimensi-dimensi kesamaannya untuk
mengembangkan paragraf yang demikian.
Pengembangan Kontrasif adalah perbandingan yang dilakukan
dengan cara mencermati dimensi-dimensi perbedaannya.

f. Pengembangan Sebab-Akibat
Pengembangan paragraf dengan cara demikian ini lazim disebut sebagai
pengembangan yang sifatnya rasional. Dikatakan bersifat rasional
karena lazimnya orang berpikir berawal dari sebab-sebab dan bermuara
pada akibat-akibat. Atau bisa terjadi sebaliknya.

g. Pengembangan Klimaks-Antiklimaks
Paragraf dapat dikembangkan pula dari puncak-puncak peristiwa yang
sifatnya kecil-kecil dan beranjak terus maju ke dalam puncak peristiwa
yang paling besar atau paling optimal, kemudian berhenti di puncak
peristiwa yang paling besar atau paling optimal, kemudian berhenti di
puncak yang paling optimal tersebut.

2.4 IHWAL KARYA ILMIAH AKADEMIK


A. Ihwal Karangan Ilmiah
Menulis bagi saya ataupun banyak orang memang sangat tidak
mudah. Bagi sebagian orang lain lagi justru terjadi sebaliknya, menulis
adalah sesuatu yang mudah dan sangat menyenangkan. Berkaitan dengan
hal ini, sesungguhnya ihwal kebiasaan membaca memiliki peran dan
pengaruh yang besar dalam menjadikan orang merasakan mudah ataukah
merasakan sulit di dalam aktivitas menulis itu.
Selain dipengaruhi oleh banyak atau sedikitnya sumber bacaan yang
dicerna oleh seseorang, menulis terutama yang bersifat ilmiah, sangat
dikendalai oleh aturan-aturan penulisan baku yang sifatnya cenderung

9
konvensional dan berlaku universal. Berlaku konvensional yang
dimaksud yaitu aturan-aturan yang tertera mau tidak mau harus diikuti
oleh seseorang.
Di sisi yang berbeda, menulis ilmiah juga dapat dikatakan
berdimensi universal karena bentuk format maupun esensinya diterima
dan dipahami secara saksama oleh masyarakat ilmiah yang berada di
seluruh dunia.
Ketentuan-ketentuan baku tersebut lazimnya tekah dirumuskan pula
oleh setiap institusi pendidikan, apa pun bentuknya, dalam bentuk
panduan penulisan karya ilmiah. Dengan begitu, setiap orang terikat
untuk mengikuti dan menepati ketentuan baku tersebut.

B. Lebih mengenali Karangan Ilmiah


Secara khusus dapat dijelaskna lebih lanjut bahwa yang dimaksud
dengan ilmiah itu berkaitan sangat erat dengan dimensi-dimensi yang
berikut ini:
1. Fakta/Data sebagai Dasar
Sebuah tulisan akan dapat dianggap sebagai hal yang sifatnya
ilmiah karena dasar pokoknya adalah data atau fakta. Jadi, setiap
tulisan ilmiah itu bahan pokoknya adalah data atau fakta. Data bagi
sebuah penulisan karya ilmiah itu harus berkualifikasi sempurna.
Data yang berkualifikasi sempurna itu lazimnya juga didapatkan
dengan cara-cara yang baik dan tepat pula. Data yang dikumpulkan
itu tidak cukup apabila hanya dikumpul akan tetapi perlu juga
diidentifikasi, harus diolah, harus diseleksi, dan harus diklasifikasi
dengan baik, sehingga kelas-kelas atau tipe-tipe datanya menjadi
jelas.
Selain itu, perlu dikatakan bahwa data di dalam karangan
ilmuah itu harus didapatkan dari sumber data yang jelas,
penyampelannnya juga harus tepat, objek datanya juga harus jelas
identitas atau kejatiannya. Nah, jika semua ketentuan dan syarat-
syarat yang berkenaan dsengan data seperti disebutkan di depan itu

10
terperinci dengan baik, maka dapat dikatakan bahwa telah
terpemuhilah dimensi kata-kata ilmiah yang pertama, yakni dasarnya
adalah data atau fakta (factually based)

2. Pemikiran, Analisis, dan Konklusi Logis


Sebuah karangan ilmiah juga harus memenuhi ketiga dimensi
kelogisan di dalam tiga hal, yakni pemikiran atau penalarannya,
analisis atau pembahasannya, dan penarikan kesimpulan yang masuk
akal atau konklusi logis. Secara umum, dapat pula dikatakan bahwa
karangan ilmiah itu harus memenuhi kriteria berpikir logis. Harus
jelas pula apakah sebuah karya ilmiah menganut alur piker deduktif,
induktif, atau abduktif. Demikian pula, harus jelas penggunaan
premis-premis dalam berpikir yang tepat di dalam menulis ilmiah.
Urutan-urutan pemaparan di dalam penulisan karya ilmiah, apakah
harus memakai urutan waktu, urutan alur nalar, urutan kepentingan,
urutan spasialm dan seterusnya, semua harus ditentukan dengan jelas
dan tegas dalam menulis sebuah karya ilmiah.
Demikian pula, segala sesuatu yang berkaitan dengan analogi,
klasifikasi, generalisasi, perbandingan, pertentangan, sebab, akibat,
dan seterusnya, semuanya harus diterapkan dengan benar-benar baik
dan tepat. Dimensi-simensi yang disebut di depan itulah yang
dimaksud dengan berpikir logis di dalam penulisan karya ilmiah.
Nah, pada akhirnya data yang telah disajikan dengan benar dan
sempurna kemudian dianalisis atau dibahas dengan benar dan
sempurna pula, yang pada akhirnya menghasilkan simpulan-
simpulan yang sempurna pula. Jadi, akar-akar masalah yang
lazimnya dirumuskan pada bvagian pendahuluan dalam bentuk
rumusan masalah, yang bentuknya tidak harus berupa kalimat Tanya,
harus dapat dianalisis sengan sempurna dengan memerantikan alat-
alat analisis yang jelas. Dalam kerangka karangan atau tulisan ilmiah
ini pula, analisis atau pembahasan data yang benar ini harus
didasarkan pada teorisasi yang benar, selain juga digunakan alat-alat

11
analisis yang juga harus tepat benar. Agar teori-teori dan kajian-
kajian pustaka itu tidak dapat hanya semata-mata ditampilkan
sebagai deskripsi, tetapi lebih dari semua itu di dalamnya harus
terdapat interpretasi-interpretasi.
Nah, apabila berbagai dimensi ilmiah di depan itu sudah
semuanya dilakukan jadilah karangan ilmiah ini tulisan yang
berkualifikasi baik, bahkan dapat pual dikatakan berkualifikasi
sempurna.

3. Objektif dan Tidak Berpihak


Salah satu yang harus diperhatikan ternyata sangat penting di
dalam sebuah karangan ilmiah adalah bahwa pembahasan atau
analisis yang dilakukan harus benar-benar objektif. Dimensi
objektivitas ini sama sekali tidak dapat ditawar karena sesungguhnya
alasan pokok sebuah penelitian yang hasilnya disajikan dalam bentuk
karangan ilmiah atau karya ilmiah itu adalah pencarian kebenaran.
Dalam hal ini, yang dimaksud adalah kebenaran ilmiah. Maka,
analisis yang harus dilakukan tidak boleh bersifat subjektif
(interested), melainkan harus bersifat objektif (disinterested).
Analisis yang demikian ini hanya dapat dilakukan kalau dasarnya
adalah theoretical ground yang benar, yang tidak hanya merupakan
deskripsi, atau bahkan malahan berupa tempelan-tempelan hasil
karya potong dan temple, alias ‘cut and glue’. Jika kerangka teori itu
tidak benar, maka hasil analisisnya juga tidak benar alias ‘false’.
Analisis dengan hasil yang tidak benar alias ‘false’tidak akan
berguna bagi masyarakat, bahkan bisa sangat menyesatkan.
Dengan perkataan lain, gagallah misi dari sebuah karya ilmiah
itu karena sama sekali tidak dapat disajikan hasil penelitian dalam
kualifikasi benar, tidak kredibel, tidak reliable, tidak sahih, alias
tidak dapat menyajikan kebenaran itu sendiri.

4. Akurat dan Sistematis

12
Ciri lain yang juga harus sangat diperhatikan di dalam
penyusunan karya ilmiah adalah bahwa semua yang disajikan di
dalam karya ilmiah itu harus bersifat sistemik dan sistematik. Apa itu
dimensi sistemik? Dimensi sistemik itu adalah bahwa karya ilmiah
harus sepenuhnya mengacu kepada sistem dan/atau tata cara ilmiah
tertentu yang sifatnya konvensional dan sekaligus universal seperti
yang disebutkan di bagian terdahulu.
Selanjutnya dikatakan sistematis apabila pengaturan dan
penataannya runtut sesuai dengan urutan yang berlaku umum atau
universal sebagai karya ilmiah. Sebagai contoh, sebuah karya ilmiah
mustahil dimulai dari kesimpulan dan saran di bagian awal,
kemudian baru diikuti dengan pendahuluan dan pembahasan di
bagian selanjutnya.
Ciri lain yang harus juga sangat diperhatikan adalah bahwa
karya ilmiah harus disusun atau dikonstruksi secara akurat.
Ketidakakuratan di dalam setiap langkah yang harus dilakukan dan
dipenuhi di dalam karya ilmiah itu akan menyebabkan kesalahan
fatal dan mendasar di dalam semua konstruksi karangan ilmiah itu.
Demikian pula dalam hal pemakaian bahasanya, karangan ilmiah
harus benar-benar memerantikan bahasa yang baku dan benar, bukan
bahasa yang hanya lazim digunakan dalam konteks tidak formal.
Kegagalan atas semuanya itu akan menjadikan sebuah karangan
ilmiah kehilangan dimensi-dimensi keilmiahannya.

5. Tidak Emosional
Karangan ilmiah tidak boleh bernuansa emosional. Maka,
bahasa yang digunakan juga tidak boleh penuh dengan nuansa dan
perasaan yang penuh dengan keharuan dan sarat dengan permohonan
maaf. Lazimnya pula, bahasa yang emosional itu disajikan dengan
nuansa kata yang berbelit-belit, tidak langsung pada persoalan
dan/atau sasarannya.

13
Bahasa yang demikian ini biasanya juga banyak dipenuhi
dengan kelewahan atau kemubaziran, tidak lugas, dan lazimnya juga
tidak tepat sasaran. Singkat kata, sesungguhnya hendak dikatakan
bahwa bahasa yang harus digunakan di dalam karangan ilmiah itu
haruslah bahasa yang tidak emosional tetapi harus merupakan bahasa
yang intepretatif, yang intelek, dan penuh dengan ketepatatan atau
keakurasian.
Nah, setelah Anda banyak mengenali ciri-ciri karangan ilmiah,
berikut bahasa yang lazim digunakan di dalam karangan ilmiah yaitu
bahasa yang baku dan formal.

C. Asas-asas Menulis Karangan Ilmiah


1. Kejelasan (clarity)
Karangan ilmiah harus konkret dan jelas. Kejelasan itu tidak saja
berarti mudah dipahami, mudah dibaca, tetapi juga harus tidak
memberi ruang untuk disalahtafsirkan, tidak boleh bersifat sama-
samar, tidak boleh kabur, tidak boleh ada di wilayah abu-abu.
Kejelasan di dalam karangan ilmiah itu ditopang oleh hal-hal berikut:
(1) Pemakaian bentuk kebahasaan yang lebih dikenal daripada
bentuk kebahasaan yang masih harus dicari-cari dulu maknanya,
bahkan oleh penulisnya.
(2) Pemakaian kata-kata yang pendek, ringkas, tajam, lugas,
daripada kata-kata yang berbelit, yang panjang, yang rancu, yang
boros (verbose)
(3) Pemakaian kata-kata dalam bahasa sendiri daripada kata-kata
dalam bahasa asing.

Kata-kata asing dapat digunakan hanya kalau memang istilah itu


sangat teknis sifatnya sehingga tidak (belum) ada istilah/kata yang pas
dalam bahasa Indonesia. Jadi, jangan sampai verbalistis!

2. Ketepatan (accuracy)

14
Karangan ilmiah menjunjung tinggi keakuratan. Hasil penelitian
ilmiah dan cara penyajian hasil penelitian itu haruslah tepat/akurat.
Supaya karangan ilmiah menjadi sungguh-sungguh akurat,
penulis/peneliti harus sangat cermat, sangat teliti, tidak boleh
sembrono, atau ‘main-main dengan ilmu’.
Dalam cara penyampaiannya di dalam karangan ilmiah itu harus
terwadai butir-butir gagasan dengan kecocokan sepenuhnya seperti
yang dimaksudkan oleh peneliti/penulisnya. Kualifikasi demikian
itulah yang dimaksud dengan istilah ‘efektif’’-‘sangkit’.

3. Keringkasan (brevity)
Karangan ilmiah haruslah ringkas. Ringkas tidak sama dengan
pendek. Karangan yang tebalnya 500 halaman dapat dikatakan
ringkas sejauh di dalamnya tidak terdapat bentuk-bentuk kebahasaan
yang bertele-tele, kalimat-kalimat yang bertumpukan (running-on
sentences), dan sarat dengan kemubaziran dan kerancuan.
Jadi, karangan ilmiah itu tidak boleh menghamburkan kata-kata,
tidak boleh mengulang-ulang ide yang telah diungkapkan, dan tidak
berputar-putar dalam mengungkapkan maksud atau gagasan.
Karangan ilmiah harus dibangun dari ide yang kaya dengan bahasa
yang hemat dan sederhana serta mudah dipahami. Jadi, karangan
ilmiah itu terjadi tidak sebaliknya, seperti dengan ide yang miskin
ditambah dengan bahasa yang berbunga-bunga.
Karangan ilmiah harus ditulis dengan hati dan diteliti kembali,
dibenahi kembali, diedit kembali dengan pikiran. Jadi, peganglah
prinsip ‘writing with heart, editing with brain’di dalam praktik
menulis karangan ilmiah!

D. Tema Karangan
Secara umum, tema karangan dapat dipahami sebagai sebuah ide
sentral di dalam karangan yang akan mampu mengikat keseluruhan

15
uraian, deskripsi, penjelasan, dan seluruh pembuktian di dalam
konstruksi karangan ilmiah yang bersangkutan.
Sebagai ide sentral, pasti sebuah teman karangan akan mengontrol
keseluruhan isi karangan. Keseluruhan konstruksi karangan pasti akan
dapat dikembalikan kepada ide sentral itu. Bagi seorang penulis, tema
karangan akan dapat menuntun dirinya agar dapat sampai pada akhir
tulisannya secara tuntas.
Bagi seorang pembaca, tema karangan akan berfungsi sebagai
penuntun untuk dapat memahami keseluruhan tulisan atau karangan itu
secara tepat. Dengan membaca keseluruhan tulisan atau jiwa dari
karangan itu.
Kemudian, untuk menentukan tema karangan yang baik bagi penulis
adalah sebagai berikut:
- Harus sesuai dengan bidang keahlian penulis
- Harus sesuai dengan bidang studi yang didalami penulis sesuai
dengan pengalaman penulis
- Harus sesuai dengan pengalaman penulis
- Harus sesuai dengan penelitian
- Harus sesuai dengan pekerjaan
- Harus sesuai dengan keterlibatan
- Harus sesuai dengan bidang kerja atau profesi penulis
- Harus sesuai dengan kompetensi penulis
- Harus sesuai dengan minat penulis

Adapun bagi pembaca, tema yang dianggap menarik adalah sebagai


berikut:

- Harus sesuai dengan tuntutan pembaca dalam mencapai target


tertentu
- Harus sesuai dengan latar belakang ilmu pengetahuan dan
teknologi yang ditekuni pembaca
- Harus sesuai dengan bidang pekerjaan dan profesi yang digeluti
pembaca

16
- Harus mampu memberikan kontribusi yang signifikan bagi
pembaca

Ada beberapa hal yang harus dicatat yang berkaitan dengan tema
adalah bahwa bila Anda hendak mengkaji tema tertentu untuk dituliskan
dalam sebuah karya tulis, pastikan bahwa tema itu memiliki data yang
melimpah. Kebanyakan penulis tidak dapat menyelesaikan tugas
penulisannya dengan baik karena data yang didapatkannya dari
penelitian tidak cukup memadai.

Satu hal lagi yang juga harus dicermati berkaitan dengan ini adalah
bahwa ketersediaan teori harus benar-benar dijamin oleh si penulis itu
sendiri. Bisa dibayangkan yang mencukupi untuk menganalisis untuk
menganalisis data yang telah dikumpulkannya itu. Bahkan penelitian-
penelitian dasar sekalipun, keberadaan sebuah teori sebagai penuntun
dan kerangka kerja mutlak harus disediakan dengan sebaik-baiknya.

E. Judul Karangan
Sangatlah tidak mudah bagi seseorang untuk dapat merumuskan
judul karangan atau tulisan yang sedang dibuatnya maupun yang akan
dibuat. Bukan hanya sulit bagi para penulis muda, tetapi bagi para
penulis yang sudah tidak lagi berstatus sebagai penulis muda sekalipun,
merumuskan judul yang baik dan tepat bukanlah persoalan yang
sederhana.
Adakalanya pula, perumusan judul itu harus dilakukan secara
berulang-ulang, hingga proses menulis itu selesai dilakukan. Bahkan
bisa jadi pula, setelah seseorang selesai menulis ataupun mengarang dan
siap untuk dipublikasikan, ternyata judul karangan harus diubah kembali
setelah melewati sejumlah perenungan.
Untuk mengantisipasi pengulangan untuk perumusan judul, ada
beberapa hal yang disampaikan oleh penulis dari buku ini untuk kita,
bahwa ada beberapa resep yang jitu untuk merumuskan judul karangan
yaitu sebagai berikut:

17
- Harus setali dengan tema karangan, maka harus kelihatan benang
merahnya
- Harus sesuai dengan isi karangan, maka dalam karangan ilmiah ini
mutlak, kecuali dalam karangan naratif tidak
- Harus dirumuskan dalam bentuk frasa, bukan kalimat melainkan
frasa yang menantang
- Harus dirumuskan dengan jelas sehingga akan dapat membantu
mengendalikan variabel dan membantu merumuskan ancangan
- Membantu pengukuran
- Harus dirumuskan dengan singkat, padat, dan jelas sehingga
mudah ditangkap oleh indra atau mudah dilihat (eye-catching),
tidak menggunakan kata kiasan (konotatif)

Akan tetapi, harus dicatat baik-baik bahwa perumusan judul yang


baik akan dapat dilakukan oleh seorang penulis atau pengarang setelah
dia melewati beberapa tahapan perumusan, bahkan setelah tahapan.
Pengendapan tertentu.

F. Kalimat Tesis
Karangan ilmiah membutuhkan kalimat tesis. Sesungguhnya, kalimat
tesis itu identik dengan tema karangan. Adapun bentuk yang secara
teknis dinyatakan adalah kalimat tesis. Jadi ibaratnya, kalimat tesis
dalam sebuah karangan atau tulisan itu adalah kalimat utama atau
kalimat pokok paragraf, sedangkan tema karangan tema karangan itu
lebih identik dengan ide pokok paragraf.
Berkaitan dengan hal-hal di atas, berikut ini akan saya contohkan
perumusan tema, tujuan penulisan, kalimat tesis, dan rumusan judul
yaitu antara lain:
a. Tema : Meningkatkan penjualan sepatu buatan dalam negeri.
b. Tujuan :iUntuk menunjukkan bahwa sepatu buatan dalam negeri
dapat diupayakan agar lebih diminati oleh konsumen.

18
c. Tesis :oSepatu buatan dalam negeri dapat ditingkatkan
penjualannya dengan menambah daya saing agar lebih
diminati para konsumen.
d. Judul : Sepatu Domestik Berkualitas

G. Kerangka Karangan
Dengan perumusan tema karangan yang baik, kalimat tesis yang
baik, judul karangan yang baik, tujuan karangan yang jelas, akan dapat
dijamin lahirnya karangan atau tulisan yang baik pula. Secara umum,
kerangka karangan dapat dianggap sebagai rencana penulisan yang
mengandung ketentuan bagaimana kita akan menyusun sebuah karangan.
Dengan kerangka karangan, tangkaian ide dapat disusun secara
sistematis, logis, jelas, terstruktur, dan teratur.
Adapun fungsi dari kerangka karangan itu adalah sebagai berikut:
- Memperlihatkan pokok bahasan, sub-bahasan, sub-sub-bahasan, dan
memberikat kemungkinan perluasan bahasa sehingga memungkinkan
penulis menciptakan suasana kreatif sesuai dengan variasi yang
diinginkan;
- Mencegah pembahasan keluar dari sasaran yang sudah dirumuskan
dalam topik, judul, kalimat tesis, dan tujuan karangan;
- Mencegah ketidaklengkapan bahasan;
- Mencegah pengulangan pembahasan;
- Memudahkan pengendalian variabel;
- Memperlihatkan kekurangan dan kelebihan materi pembahasan

Kemudian bentuk-bentuk kerangka karangan dapat dibedakan


sebagai berikut: Bentuk kerangka kalimat: mempergunakan kalimat
deklaratif yang lengkap untuk merumuska setiap topik, sub-topik,
maupun sub-sub-topik, misalnya:

I. Pendahuluan

1. Latar belakang membahas masalah yang akan dihadapi untuk diteliti


2. Masalah merumuskan,…

19
3. Tujuan berisi upaya…

Bentuk kerangka topik: menggunakan frasa-frasa untuk


menunjukkan topik, sub-topik, dan sub-sub-topik, misalnya

II. Masalah Remaja

1. Pergaulan bebas
2. Ketergantungan obat
3. …

H. Model-model Berpikir
Untuk melengkapi perbincangan dalam penyusunan karangan ilmiah
ini, perlu dijelaskan bahwa beberapa model berpikir ilmiah yang lazim
digunakan adalah sebagai berikut:
1. Model DAM-D: duduk perkara, alasan, misal, duduk perkara
Di dalam model ini, uraian dimaksudkan untuk menjelaskan
duduk perkara persoalan. Uraian duduk perkara persoalan harus
didukung oleh alasan-alasan yang kuat. Setelah disampaikan alasan-
alasan, segera disusul dengan contoh-contoh yang tepat, langkah
terakhir menjelaskan kembali duduk perkara persoalan itu supaya
menjadi jelas

2. Model DSD: dahulu, sekarang, depan


Sebuah topik diolah dengan memaparkan bagaiman hal itu
diterima, ditanggapi, dipahami, ditaati, dicermati, diteliti, pada masa
lampau, pada masa kini, dan pada masa mendatang.

3. Model PMHT: perhatian, minat, hasrat, tindakan


Model ini tepat dipakai untuk mengobarkan semangat,
membangkitkan minat, mengobarkan hasrat, dan yang terakhir
membangkitkan tindakan tertentu.

4. Model 5W1H: what, who, when, where, why, how

20
Model pemaparan ini lazim digunakan dalam koran, terutama
untuk menulis berita-berita lugas atau lembang (hard news),
sekalipun sekarang kecenderungan penulisan berita sudah bergeser
ke model penulisan feature (karkhas). Hampir semua feature
menggunakan model tulisan ekspositoris dan naratif.

5. Model TAS: tesis, antitesis, sintesis


Dalam model ini persoalan dikaji dari dimensi konttas atau
berlawanan: kebaikan-keburukan, keuntungan-kerugian, keunggulan-
kelemahan. Kemudian, penulis melanjutkan dengan membuat
sintesis atau perpaduan untuk merangkum tesis dan antitesis itu.

6. Model PIK: pendahuluan, isi, kesimpulan


Dalam model ini penulis mengawali uraiannya dengan
memaparkan pendahuluan yang menarik, yang jelas, yang mampu
membawa masuk ke dalam persoalan pokoknya, lalu di dalam bagian
isi penulis mencurahkan segalanya secara total untuk mengontraskan,
membandingkan, menguraikan, memaparkan, mengintepretasikan
persoalan yang sedang dikaji. Akhirnya, pekerjaan ditutup dengan
kesimpulan.

I. Ihwal Belakang Masalah, Rumusan Masalah


Ketentuan-ketentuan berikut ini yang perlu diikuti untuk membuat
latar belakang dan rumusan masalah, yaitu:
1. Diuraikan penalaran (alasan) yang menimbulkan masalah atau
pertanyaan yang akan diuraikan jawabannya.
2. Diuraikan kegunaan praktis hasil analisis.
3. Diungkapkan masalah utama secara jelas, lazimnya dalam bentuk
pertanyaan. Gunakanlah kata tanya yang menurut analisis (seperti;
bagaimana, mengapa). Kata tanya (apa) tidak menuntut analisis.

J. Ihwal Tujuan Penulisan

21
Adapun yang berkenaan dengan tujuan penulisan, silakan perhatikan
ketentuan-ketentuan berikut ini:
1.Diuraikan target, sasaran, atau upaya yang hendak dicapai, misalnya:
mendeskripsikan hubungan X terhadap Y; membuktikan bahwa
budaya tradisi dapat dilestarikan dengan kreativitas baru; menguraikan
pengaruh X terhadap Y.
2.Tujuan utama dapat dirinci menjadi beberapa tujuan sesuai dengan
masalah yang akan dibahas. Jika masalah utama dirinci menjadi dua,
tujuan juga dirinci menjadi dua.

K. Ihwal Hipotesis
Hipotesis di dalam sebuah karya ilmiah lazimnya berisi hal-hal berikut:
1. Antiseden: antisiden adalah bagian kalimat dalam hipotesis yang
diawali oleh kata-kata ‘jika’, ’seandainya’, atau ‘seandainya tidak’.
2. Konsekuen: konsekuen harus dibuat bertautan dengan antiseden.
Sebuah konsekuen harus dilakukan dengan pembuktian kebenaran
dalam pelaksanaan penelitian.
3. Dependen: hubungan antara antiseden dan konsekuen. Hubungan itu
harus merupakan hubungan sebab dan akibat yang benar.

Adapun beberapa macam hipotesis dapat disampaikan berikut ini:

1. Hipotesis deskriptif: hipotesis ini ditujukan untuk


mendemonstrasikan dugaan sementara tentang bagaimana benda-
benda, peristiwa-peristiwa dapat terjadi. Contohnya: Bagaimana
bumi terbentuk? Bagaimana sungai terbentuk? Bagaimana
manajemen terbentuk? Bagaimana proses manajemen bekerja?
2. Hipotesis argumentatif: hipotesis ini digunakan untuk menunjukkan
mengapa benda-benda atau peristiwa-peristiwa terjadi. Contohnya:
Mengapa bumi berbentuk bulat? Mengapa matahari itu panas?
Mengapa pendapatan masyarakat terus berkurang? Mengapa
masyarakat Indonesia kurang optimis?

22
3. Hipotesis kerja: hipotesis ini digunakan untuk menjelaskan akibat-
akibat dari suatu sebab. Hipotesis ini digunakan untuk menjelaskan
bahwa seandainya variabel lain akan berubah pula. Fungsi dari
hipotesis kerja ini adalah sebagai penuntun penelitian.
4. Hipotesis nol: hipotesis ini dirumuskan untuk memeriksa
ketidakbenaran suatu dalil atau teori yang kemudian akan ditolak
dengan pembuktian-pembuktian yang sah.

L. Ihwal Abstrak
Berkaitan dengan abstrak dalam sebuah karangan ilmiah, hal-hal
berikut ini mohon diperhatikan dengan baik, yaitu sebagai berikut:
1. Abstrak merupakan bentuk penyajian singkat sebuah laporan atau
dokumen yang ditulis secara teknis, teliti, tanpa kritik atau penafsiran
penulis abstrak.
2. Abstrak juga dapat didefiniskan sebagai pernyataan singkat tetapi
akurat dari isi laporan atau dokumen tanpa menambah tafsiran atau
kritik dan tanpa membedakan untuk siapa abstrak tersebut dibuat
(American National Standard Institute).
3. Abstrak juga dapat didefinisikan sebagai ‘uraian singkat tetapi akurat
yang mewakili isi dokumen, tanpa menambah interpretasi atau kritik
dan tanpa melihat siapa pembuat abstrak tersebut (ISO 214-1976).

M. Cara Kerja Penyusunan Karya Ilmiah


Data yang telah dikumpulkan dan disajikan dalam kualifikasi
‘sempurna’ kemudian dianalisis (diinterpretasi, ditafsirkan, dibahas,
diuraikan, dijabarkan, dipaparkan, dideskripsikan) dengan alat-alat
analisis yang jelas. Alat-alat analisis itu bisa berupa teori-teori relevan
yang menjadi dasar ancangan analisis dan tolok ukur/parameter yang
dikenakan.
1. Data harus dianalisis dengan tetap cermat sambil mempertimbangkan
pelbagai persyaratan, pelbagai kendala, aneka asumsi, dan teori-teori
relevan yang menjadi dasar ancangan penelitiannya.

23
2. Dengan cara kerja demikian itu lalu akan dapat dimunculkan saran-
saran penelitian yang sungguh bermanfaat (jelas, relevan,
operasional). Jelas, maksudnya saran itu konkret, tidak samar-samar.
Relevan, maksudnya harus bisa dilaksanakan, tidak boleh
mengawang-awang, tidak boleh hanya merupakan utopia-utopia.
3. Terakhir, dapat juga dirumuskan implikasi penelitian yang tpat.
Dengan rumusan itu, maka ada semacam jaminan bahwa kelanjutan
penelitian serupa akan dilaksanakan. Bisa pula penelitian lain itu
mengambil dimensi berbeda, sekalipun objek sasaran penelitiannya
masih tetap sama.

N. Empat Langkah Penyediaan Data


1. Penentuan sumber data haruslah tepat: sumber data haruslah ‘genah’,
haruslah ditemukan secara purposive, dengan segala pertimbangan
dari risiko demi ‘data’ yang berkualifikasi sempurna untuk dianalisis.
2. Inventarisasi data: pengumpulan/penyediaan data dari sumber data
yang sungguh kredibel dan dari ‘khasanah data’ yang tepat. Data
juga harus dapat ditemukan dengan memadai atau bahkan melimpah,
sehingga ada kesempatan bagi peneliti untuk mengesampingkan data
yang nakal’.
3. Seleksi data: data yang telah ditemukan dan telah diinventarisaskan
dengan baik, langkah selanjutnya adalah seleksi data. Data
dipisahkan menjadi data yang baik dan data yang kurang baik, dan
data yang tidak baik alias ‘nakal’.
4. Klasifikasi data: setelah seleksi dilakukan, data itu diklasifikasi,
digolong-golongkan dengan sempurna inilah yang kemudian dapat
dikenai metode analisis data. Artinya pula, hanya setelah data
terklasifikasi dengan sempurna, analisis data dapat dilakukan.

O. Aspek-aspek dalam Analisis Data


1. Persyaratan: beberapa hal yang dipersyaratkan oleh pihak lain di luar
kekuasaan penulis/peneliti.

24
2. Kendala: beberapa kelemahan melekat atau ‘constraint’ yang terjadi
di luar kekuasaan penulis/peneliti.
3. Asumsi: anggapan-anggapan yang harus dibuat oleh penulis/peneliti
demi terwujudnya sebuah karya ilmiah. Sebuah karya ilmiah dapat
terwujud hanya karena ada asumsi-asumsi yang ‘diamini’ atau
‘diiyakan’ oleh si peneliti itu sendiri.
4. Tolak ukur/kriteria/parameter/pendekatan: ukuran-ukuran yang
digunakan dalam menilai data ketika data itu dianalisis. Lazimnya
ada dua kemungkinan, yakni kualitatif, kuantitatif, atau kualitatif-
kuantitatif.
5. Ancangan teori: hampiran/ancangan/kerangka dasar teori yang
dipakai sebagai ‘framework’ (kerangka kerja) dan sebagai ‘jendela’
di dalam mengkaji data. Dengan ancangan teori yang tepat
dimungkinkan terlahir hasil analisis yang juga tepat.
6. Simpulan: Suatu simpulan yang benar, yang mantap, dan lazimnya
bersifat deduktif, hanya akan diperoleh lewat proses analisis yang
benar dan mantap dari data yang disajikan secara benar. Jadi, kalau
data penelitian yang benar diolah berdasarkan logika pemikiran yang
benar dan mantap, pasti dapat menghasilkan simpulan yang benar.

P. Berpikir Linier dalam Karangan Ilmiah


Berpikir linier merupakan proses yang paling lazim di dalam
penyusunan karya ilmiah. Masukan penelitian yang berupa data
penelitian yang siap untuk dianalisis dengan segala pertimbangan
kendala dan asumsi yang ada lalu data itu dianalisis, diolah,
diinterpretasi, diuraikan, dipaparkan, dideskripsikan dengan memakai
ancangan analisis dan tolak ukur yang tepat. Jadi jelas sekali, alur
berpikir demikian ini bersifat lurus, berciri linier.
Adapun jenis dari berpikir linier dalam karangan ilmiah, yaitu
sebagai berikut:
1. Linier dengan tinjauan ke belakang

25
Proses berpikir linier dengan tinjauan ke belakang merupakan
pengembangan dari proses berpikir linier. Setiap persoalan penelitian
dipecahkan dengan ‘tinjauan ke belakang’, tetapi proses penelitia
terus dijaga agar bergerak maju. Umpan balik atau ‘tinjauan ke
belakang’ ini dilakukan setelah kesimpulan tahap akhir ditemukan.

2. Linier berulang

3. Linier melingkar
Pada proses berpikir linier melingkar ini terjadi umpan balik
terhadap tahapan pemikiran sebelumnya. Setelah penarikan
kesimpulan akhir, diadakan tinjauan kembali atau ‘feedback'
terhadap setiap tahap pemikiran yang telah dilewati. Pada setiap
tahap yang sedang berlangsungh diadakan tinjauan ke depan
terhadap pemikiran selanjutnya.

2.5 IHWAL RESENSI


A. Resensi
B. Pendalaman, Latihan, dan Refleksi

2.6 IHWAL TEKNIK EJAAN


A. Pedoman Teknik Ejaan dan Tata Tulis Baku
B. Pendalaman, Latihan, dan Refleksi

26
DAFTAR PUSTAKA

iv

Anda mungkin juga menyukai