Anda di halaman 1dari 4

Nama : Merari Puay

NIM : 0220170472
Tugas : Pastoral

Pendampingan Pastoral Untuk Warga Gereja Yang Mengalami


Pemutusan Hubungan Kerja

I. Pendahuluan

Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu
yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja dan perusahaan/majikan. Hal
ini dapat terjadi karena pengunduran diri, pemberhentian oleh perusahaan atau habis kontrak.
Menurut pasal 61 Undang – Undang No. 13 tahun 2003 mengenai tenaga kerja, perjanjian kerja
dapat berakhir apabila :

 Pekerja meninggal dunia


 Jangka waktu kontak kerja telah berakhir
 Adanya putusan pengadilan atau penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan
industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap
 Adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian kerja, peraturan
perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang dapat menyebabkan berakhirnya hubungan
kerja.

Pemutusan hubungan kerja seolah-olah menjadi momok bagi setiap pekerja di semua perusahaan
maupun semua bidang. Kehilangan pekerjaan secara tiba-tiba pasti menyebabkan kekecewaan
yang mendalam pada orang yang mengalaminya. Secara finansial pasti akan sangat berubah,
karena yang biasanya mendapatkan gaji kemudian tidak. Mungkin bagi beberapa orang tidak akan
terlalu kentara karena biasanya saat di-PHK, mereka akan mendapatkan pesangon, ataupun bagi
yang masih usia produktif dalam bekerja akan cepat mendapatkan pekerjaan yang lain. Tetapi
siapapun akan merasakan sedikit banyak tekanan mental saat mendapatkan PHK. Bila bisa diatasi
oleh diri sendiri maka tidak akan menjadi persoalan, tetapi biasanya seseorang membutuhkan
orang lain untuk membantu mengangkat mental yang sudah down. Disadari atau tidak, PHK juga
bisa menjadi efek domino bagi yang mengalaminya. Dampak dari PHK tidak hanya dirasakan
individu, tetapi juga orang di sekitarnya, misalnya bila yang terkena PHK adalah orang yang sudah
berkeluarga.

II. Kasus di lapangan

Tidak banyak terjadi kasus PHK yang dialami oleh warga gereja. Tetapi dari beberapa gereja yang
coba ditelusuri, penulis menemukan 2 kasus yang cukup menarik.

Gereja A di Jawa Tengah, terjadi satu kasus PHK yang cukup unik. Sebut saja Mr. X mengalami
PHK tetapi justru merasa bersyukur atas apa yang meinimpanya dan malah memberikan semua
pesangon yang diterimanya sebagai persembahan kepada gereja. Padahal secara kemampuan
finansial dan mental, Mr. X berkata bahwa dia akan sangat kekurangan dan down.

Gereja B di Yogyakarta, terjadi beberapa kasus PHK tetapi yang mendapatkan PHK itu tidak
meminta pendampingan dari gereja. Hal itu cukup menyulitkan gereja karena gereja tidak bisa
serta merta tiba-tiba melakukan pendampingan. Secara mental dan finansial, salah seorang pekerja
yan g mengalami PHK menjadi sangat terganggu.

III. Dasar Biblika

Dari dua kasus di atas, penulis mencoba mencari dasar biblika yang sekiranya mungkin bisa
dipakai sebagai dasar untuk pendampingan pastoral untuk warga gereja yang terkena PHK:

 Mazmur 37:7
 Mazmur 138:8
 Matius 11:28
 Roma 8:28
 Yesaya 40:31

IV. Aksi yang bisa dilakukan

Layaknya seorang pengacara, gereja juga perlu memetakan masalah yang bisa terjadi karena PHK.
Beberapa langkah yang bisa dilakukan oleh gereja yaitu: kunjungan rumah bisa dengan berdoa
bersama, percakapan pastoral yang berarti mencari jalan keluar bersama, dan menjadi pembimbing
agar tidak terjadi masalah lain yang mungkin terjadi. Berkaca pada dua kasus yang telah
dipaparkan oleh penulis, maka tindakan yang bisa dilakukan gereja selain memberikan
pendampingan pastoral selain penguatan secara spiritualitas adalah:

a. Diam saja, menjadikan konselor sebagai pendengar. Karena konseli membutuhkan orang
yang mau mendengarnya berkeluh kesah.
b. Bila harus memberikan jalan keluar, maka gereja bisa melakukan beberapa hal, antara lain:
b.1. mencarikan relasi yang bisa meberikan lapangan pekerjaan yang baru.
b.2. memberikan pandangan usaha apa yang bisa dilakukan selanjutnya, bila mendapatkan
modal dari pesangon.

Tetapi hal itu sangat tergantung kepada pribadi yang bersangkutan juga. Karena tidak semua orang
mau terbuka kepada gereja. Oleh karena itu gereja harus bisa membangun nilai kepercayaan
bersama jemaat yang dilayani. Apabila seorang pendeta atau konselor telah mendapatkan
kepercayaan, akan memudahkan ia sebagai konselor dan orang lain sebagai konseli untuk saling
membuka diri. Keterbukaan seorang konseliterhadap konselor dalam proses konseling tersebut
hanya mungkin terjadi jika si konseli :percaya kepada konselornya. Hal ini berarti seorang
konselor, dalam hal ini pendeta misalnya, haruslah :orang yang tepat, yang memilki kemampuan
dan kualitas sebagai seorang konselor. "ukan hanyakemampuan bicara saja atau ketrampilan
tertentu, seorang konselor dituntut memiliki suatukepribadian khusus.

Alistair V. Campbell, teolog dari (Inggris, menuliskan bahwa pelayanan pastoral bukan sekedar
melaksanakan pekerjaan-pekerjaan baik dengan tehnik-tehnik yang canggih. Pendampingan
pastoral menuntut para pendamping menjadi orang yang berkepribadian khusus, bukan sekedar
orang yang dilatih sangat profesional (yang penting bukan apa yang dilakukan, tetapi orangnya.)

.Hal ini memberikan penekanan tentang betapa pentingnya kualitas seorang konselor untuk dapat
memperoleh kepercayaan dari konselinya untuk kemudian berhasil sebagai konselor. Kepribadian
khususyang dimaksud di ataspun jika ditelaah lebih jauh cendrung abstrak dan sulit untuk
menemukan parameter tetap yang ideal. Namun menurut penulis, standart yang paling jelas adalah
standar tkitab suci tentang karakter seorang pelayan (1 Tim 3:1-13).
Sumber :

Abineno, J.L. Ch. 2010. Pedoman Praktis untuk Pelayanan Pastoral. Jakarta: BPK

Indonesia. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Tenaga Kerja.

Indonesia. Kepmen Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 78/2001 tentang Perubahan Kepmenaker
No. 150/2000 tentang PHK, Pesangon, dan lainnya.

Simanjuntak, Danny. 2012. PHK dan Pesangon Karyawan. Jakarta: Gramedia

Storm, M. Bond. 2008. Apakah Penggembalaan itu? Jakarta: BPK

REFERENSI HUKUM:

 UU KETENAGAKERJAAN NO. 13 TAHUN 2003, PASAL 161-172;


 PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO. 012/PUU-I/2003 TAHUN 2004
(MENGUBAH UU KETENAGAKERJAAN NO. 13 TAHUN 2003 TAHUN 2004,
PASAL 158-160, 170-171, 186);
 PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO. 37/PUU-IX/2011 TAHUN 2012
(MENGUBAH UU KETENAGAKERJAAN NO. 13 TAHUN 2003, PASAL 155(2));
 SURAT EDARAN MENAKERTRANS NO. SE-13/MEN/SJ-HK/I/2005.

Anda mungkin juga menyukai