Anda di halaman 1dari 55

REFLEKSI KASUS

SEORANG BAYI DENGAN ASFIKSIA BERAT, NEONATUS


PRETERM, BBLSR, SGNN, NEONATUS INFEKSI dan
HIPERBILIRUBINEMIA
Diajukan Guna Melengkapi Tugas Kepaniteraan Klinik
Bagian Ilmu Kesehatan Anak
Rumah Sakit Umum Daerah Sunan Kalijaga Demak

Disusun Oleh:
Desti Cahyanti
30101407161

Pembimbing:
dr. Ariawan S, Sp.A

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG
SEMARANG
2018
HALAMAN PENGESAHAN

Nama : Desti Cahyanti


NIM : 30101407161
Fakultas : Kedokteran
Universitas : Universitas Islam Sultan Agung ( UNISSULA )
Tingkat : Program Pendidikan Profesi Dokter
Bagian : Ilmu Kesehatan Anak
Judul : Seorang Bayi Dengan Asfiksia Berat, Neonatus Preterm,
SGNN, BBLSR, Neonatus Infeksi, dan Hiperbilirubinemia

Demak, Oktober 2018


Mengetahui dan Menyetujui
Pembimbing Kepaniteraan Klinik
Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUD Sunan Kalijaga Kab. Demak

Pembimbing,

dr. Ariawan S, Sp.A


STATUS PASIEN

A. IDENTITAS
1. IDENTITAS PASIEN
a. Nama : By. Ny. U F
b. Umur : 1 hari
c. Jenis Kelamin : Perempuan
d. Tanggal dan Jam Masuk : 13 September 2018, 02.57 WIB
e. Ruang : Perinatologi
f. No. RM : KLJG01200xxxxxx
g. No. Reg : RG00xxxxxx
h. Status Pasien : BPJS

2. IDENTITAS ORANG TUA


i. Ayah
a. Nama : Tn. A
b. Umur : 35 tahun
c. Pekerjaan : Nelayan
ii. Ibu
a. Nama : Ny. U.F
b. Umur : 32 tahun
c. Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

B. ANAMNESIS
Dilakukan secara Alloanamnesis dengan ibu pasien pada tanggal 14
September 2018 jam 10.00 WIB yang dilakukan di ruang Bougenvile RSUD
Sunan Kalijaga Demak serta didukung catatan medik.
1. Keluhan Utama : Tidak menangis saat setelah lahir
2. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien perempuan By. Ny. UF, 0 hari, dengan keluhan bayi kecil
dengan Asfiksia berat dan berat lahir sangat rendah yaitu 1300 gram dan
panjang badan 37 cm. Bayi lahir spontan dari ibu G2P1A0 Hamil 32
minggu dengan KPD, pada tanggal 13 September 2018 jam 02.57 WIB
di RSUD Sunan Kalijaga Demak. APGAR score 1-3-5, berat badan lahir
1300 gram, panjang badan 37 cm lingkar kepala 27 cm, dan lingkar dada
24 cm, Plasenta Lengkap, terdapat meconium, BAK (+). Tidak ada
kelainan bawaan dan anus (+). Riwayat ibu mempunyai penyakit berat
(DM, jantung, penyakit kuning, tekanan darah tinggi, kelainan darah)
tidak ada.

Keadaan bayi yang tidak baik (APGAR Score 1-3-5) maka


diharuskan dirawat di ruang perawatan bayi dengan risiko tinggi.

3. Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat penyakit jantung, diabetes mellitus, pneumonia,

gagal napas, hipotensi/hipertensi dan alergi pada ibu disangkal.

4. Riwayat Sosial Ekonomi

Pasien merupakan anak kedua, tinggal bersama kedua

orangtua, ayah pasien bekerja sebagai nelayan, dan ibu pasien

sebagai ibu rumah tangga. Ibu dan Pasien merupakan pasien BPJS.

Kesan: ekonomi cukup.

5. Riwayat Pemeliharaan Prenatal


Penderita lahir dari seorang ibu yang pernah melahirkan

(G2P1A0) yang merasa hamil 32 minggu. Ibu memeriksakan

kandungannya secara teratur sejak usia kehamilan 10 minggu. Mulai

usia kehamilan 10 minggu hingga mendekati persalinan,

pemeriksaan dilakukan 1 kali tiap bulan di dokter spesialis


kandungan, mendapatkan tablet besi dan calk 95 tetapi belum

mendapatkan imunisasi TT. Pada minggu ke-30 dilakukan USG

dengan hasil janin tunggal intrauterine, usia kehamilan, letak

plasenta normal, Berat badan ibu penderita sebelum hamil 45 kg

dengan tinggi badan 152 cm. Kenaikan berat badan selama hamil 10

kg. Ibu makan dengan nasi, lauk dan pauk cukup, serta minum

kurang lebih 1500 ml air/hari.

Selama hamil ibu tidak mengalami anemia ataupun

perdarahan saat hami. Saat usia kehamilan 30 minggu mengalami

ketuban pecah dini tanggal 23 Agustus 2018, sehingga ibu

mendapatkan terapi konservatif berupa antibiotik, kortikosteroid dan

tokolitik. Setelah keadaan membaik ibu diperbolehkan untuk pulang.

Ibu penderita menyangkal telah di pijat atau melakukan coitus

sehingga terjadi KPD kembali pada tanggal 13 Agustus 2018.

6. Riwayat Pemeliharaan Postnatal


Pemeliharaan postnatal dilakukan di ruang Perinatologi RSUD
Sunan Kalijaga Demak.

7. Riwayat Pertumbuhan Bayi


Penilaian berat badan dan usia kehamilan dengan kurva Fenton
Kesan:
Kehamilan (32 minggu) dan berat badan bayi (1300 gram) =
Sesuai Masa Kehamilan.
Kehamilan (32 minggu) dan panjang badan bayi (37 cm) =
Kecil Masa Kehamilan
Kehamilan kurang bulan (32 minggu) dan lingkar kepala
bayi (27 cm) = Sesuai Masa Kehamilan

8. Riwayat Perkembangan Bayi


Penilaian perkembangan bayi dengan Ballard & Dubowitz Score
Skor : 20 kehamilan 32 minggu

9. Riwayat Imunisasi :
Hepatitis B : Belum dilakukan
BCG : Belum dilakukan
Polio : Belum dilakukan
DPT : Belum dilakukan
Campak : Belum dilakukan
Kesan : Imunisasi dasar belum lengkap

C. PEMERIKSAAN FISIK
Tanggal 13 September 2018 jam 09.00 WIB di ruang Perinatologi
Status Present
JenisKelamin : Perempuan
Usia : 0 hari
BeratBadan : 1300 gram
Panjang Badan : 37 cm
Lingkar kepala : 27 cm
Lingkar dada : 24 cm

o Tanda Vital
Nadi : 164 x/menit, irama regular, tegangan kuat
Suhu : 37,7ºC (aksilla)
Pernapasan : 44 x / menit, reguler, kedalaman cukup
Saturasi : 80-90% dengan CPAP Peep 7 FiO2 60%

o Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum
Gerakan kurang aktif, tangisan kurang aktif, warna tanpak sianosis,
bayi tampak kecil dan sesak nafas
Kepala
Sutura tidak lebar, ubun-ubun teraba, ukuran fontanela tidak lebar
dan datar, rambut hitam dan distribusi merata, caput (-), sefal hematoma (-
).

Wajah
Simetris, tampak kuning (-), penampakan sindrom down (-).

Mata
Jumlah 2 ditengah, strabismus (-/-), glaukoma kongenital (-/-) katarak
kongenital (-/-), koloboma (-/-), sekret (-/-), epichantus tidak melebar.

Telinga
Jumlah 2, bentuk normal, aurikel (-/-)

Hidung
Bentuk normal, pernafasan hidung (+), nafas cuping hidung (+), sekret (-/-
)

Mulut
Sianosis sentral (+), Simetris, ukuran normal, labiopalatoskisis (-), ranula
(-),

Leher
Simetris, gerakan tak terbatas, leher pendek (-), pembesaran kelenjar
tyroid dan vena jugularis (-)

Thorax
Simetris, retraksi suprasternal (+) intercostal (+) subcostal (+),
 Paru-paru
Inspeksi : Simetris, dalam keadaan statis dan dinamis,
retraksi suprasternal (+) intercostal (+) subcostal
(+),
Palpasi : Stem fremitus kanan dan kiri sama.
Perkusi : Tidak dilakukan
Auskultasi : Suara dasar : Bronkovesikuler (+), Suara tambahan
: wheezing (-), ronkhi(-)
 Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tak tampak
Palpasi : Iktus kordis teraba di sela iga ke V, tidak kuat
angkat, tidak melebar.
Perkusi : Tidak dilakukan
Auskultasi : Reguler, Bunyi jantung I-II reguler , gallop (-),
bising (-)

Abdomen
Inspeksi : Datar,simetris
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Perkusi : Timpani
Palpasi : Supel, turgor kembali cepat, massa (-), hepar dan
lien tidak teraba.
Genitalia
Perempuan, labia mayor (+), labia minor (+), klitoris (+), ostium
vagina (+), OUE (+) labia mayor menutup klitoris dan labia minor.

Anus (+)

Ekstremitas
Pemeriksaan Superior Inferior
Jari lengkap +/+ +/+
Kelainan kongenital -/- -/-
Akral Dingin -/- -/-
Capillary refill <2 <2
Sianosis -/- -/-
Lanugo Tipis Tipis
Ikterik -/- -/-
Reflek Primitif
 Reflek moro : (+)
 Tonic neck : (+)
 Sucking reflek : (-)
 Rooting reflek : (-)
 Palmar reflek : (+)
 Plantar reflek : (-)

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Gula Darah Sewaktu Tanggal 13 September 2018
Parameter Hasil Nilai normal
Gula Sewaktu Stik 275 mg/dl/dL 45-120 mg/dL

Parameter Hasil Nilai Normal


Darah Rutin
Hb 15,5 gr% 14 – 24 g/dL
Ht 42,3 35 - 47 %
Leukosit 19,7 3,6 – 11 103/ul
Trombosit 193 150 – 400 103/ul

Kesan : Leukositosis

E. DIAGNOSA KERJA
o Diagnosis utama : Asfiksia Berat
o Diagnosis komorbid : Neonatus Preterm, BBLSR,
Neonatus Infeksi, Hiperbilirubinemia
o Diagnosis komplikasi : SGNN
o Diagnosis sosial ekonomi : Cukup
o Diagnosis Imunisasi : Imunisasi belum lengkap
o Diagnosis Pertumbuhan : Sesuai Masa Kehamilan
o Diagnosis Perkembangan : Sesuai Masa Kehamilan
F. TERAPI
- CPAP Peep 7 FiO2 60%
- Inf. D10% 6 tpm mikro
- Inj. Cefotaxim 2x60 mg iv
- Inj. Gentamicin 2x3 mg iv
- Inj. Ca Gluconas 1x1 cc iv

G. EDUKASI
 Memberitahukan kepada ibu pasien bahwa pasien mengalami sesak
jadi perlu diberikan alat bantu.
 Memberitahukan kepada ibu pasien bahwa pasien akan dilakukan
observasi untuk menilai sesak dan komplikasinya
 Meminta kepada ibu pasien bahwa untuk sementara bayinya tidak
boleh disusui dahulu .

H. INITIAL PLAN
a. IP. Dx
IP. Dx. Objektif : Foto Rontgen Thorax AP dan Analisis Gas Darah
b. IP. Tx
 O2 Headbox 7 lpm
 Inf. D10% 8 tpm mikro
 Inj. Cefotaxim 2 x 80 mg
 Inj. Gentamicin 3 x 4 mg iv
 Diit : OGT 8 x 2-5 cc
c. IP. Mx
 Awasi KU, tanda vital, dan saturasi
 Awasi tanda-tanda komplikasi
 Jaga kehangatan
d. IP. EDUKASI
o Memberitahukan kepada ibu pasien bahwa pasien mengalami sesak jadi
perlu diberikan bantuan dengan menggunakan oksigen.
o Memberitahukan kepada ibu pasien bahwa pasien akan dilakukan
observasi untuk menilai sesak dan komplikasinya
o Meminta ibu pasien untuk cuci tangan sebelum dan setelah memegang
bayinya

I. PROGNOSIS
 Quo ad vitam : dubia ad bonam
 Quo ad fungtionam : dubia ad bonam
 Quo ad sanationam : dubia ad bonam
Nama : Usia Usia Usia Usia Usia
Perawatan H + Perawatan H Perawatan Perawatan Perawatan
P+ + P+ H + P+ H + P+ H + P+

I. Progres Note
Nama : Usia 0 Usia 1 hari Usia 2 hari Usia 3 hari Usia 4 hari Usia 5 hari
By. Ny. U Perawatan H + 1 Perawatan H Perawatan Perawatan Perawatan Perawatan
+2 H +3 H+ 4 H+ 5 H+ 6
Keluhan Sesak nafas (+) + + + + +
Kuning + Kuning + Kuning +
TTV
Nadi 157 x/menit 132 x/m 130 x/m 132 x/m 132 x/m 160 x/m
Suhu 37,3 C 38,5 C 36,9 C 37,3 C 36,9 C 36,8 C
RR 44 x/menit 52 x/m 58 x/m 48 x/m 40 x/m 40 x/m
Kesan Kurang aktif (+) + + Cukup Cukup Cukup
Umum Tangisan kurang Kuat (+) + + Cukup Cukup Cukup
Tampak kecil (+) + + + + +
Hidung Napas Cuping (+) + + + - -
Mulut Sianosis (+) + + + + +
Thorax Simetris + + + + +
Retraksi suprasternal (+) + + + + +
Retraksi intercostal (+) + + + + +
Retraksi subcostal (+) + + + + +
SDV (dbn) dbn dbn dbn dbn dbn
Cor dbn dbn dbn dbn dbn dbn
Abdomen dbn dbn dbn dbn dbn dbn

Ekstremitas AD dbn dbn dbn dbn dbn dbn


OE dbn dbn dbn dbn dbn dbn
Sianosis +/+ + dbn dbn dbn dbn

Skore Downe RR : 0 0 0 0 0 0
Retraksi : 1 1 1 1 1 1
Merintih : 2 2 1 0 0 0
Sianosis :1 1 1 1 1 1
Air entry : 1 1 1 1 0 0
Skore : 5 5 4 3 2 2
Laborat Hb : 15,5 GDS : 381 g/dl Bilirubin
Ht : 42,3 T : 22.15
Lk : 19.700 GDS : D : 0,49
Tr : 193.000 120 g/dl I : 21.66
GDS : 275

Diagnosis Asfiksia Berat Asfiksia Berat, Asfiksia Berat, + + +


BBLSR BBLSR, NI, BBLSR, NI, Hiperbilirubin Hiperbilirubin Hiperbilirubin
NI N.Preterm N.Preterm emia emia emia
N.Preterm

Terapi Inf. D 10% 6 tpm Inf. D 5% 6 tpm + + + +


O2 CPAP FiO2 60 % peep O2 CPAP FiO2 O2 CPAP FiO2 + + +
7 40 % peep 5 40 % peep 4
Inj. Cefotaxime 2x60 mg + + + + +
Inj. Gentamicin 2x3 mg + + + + +
Inj. Ca Glukonas 1x1 cc + + + + +
Dopamin Syrpam + + + +
3 mg/kgbb Fototerapi Fototerapi Fototerapi

Diit OGT 12x2-5 cc OGT 12x2-5 cc + + +


Naik bertahap
Nama : Usia 0 Usia 1 hari Usia 2 hari Usia 3 hari
By. Ny. U Perawatan H + 1 Perawatan H +2 Perawatan H +3 Perawatan H + 4
Usia 6 hari Usia 7 hari Usia 8 hari Usia 9 hari
Nama : Perawatan H + 7 Perawatan H +8 Perawatan H +9 Perawatan H +
By. Ny. U 10
Keluhan Sesak nafas (+), Kuning (+) Sesak (-), Kuning (+) Sesak (-), Kuning (-) Sesak (-), Kuning (-)
TTV
Nadi 144 x/menit 138 x/m 140 x/m 132 x/m
Suhu 36,7 C 36 C 35,5 C 37,3 C
RR 45 x/menit 44 x/m 44 x/m 48 x/m
Kesan Cukup aktif (+) + Aktif Cukup
Umum Tangisan Cukup Kuat (+) + Kuat Cukup
Tampak kecil (+) + + +
Hidung Napas Cuping dbn dbn dbn dbn
Mulut Sianosis (-) - - -
Thorax Simetris + + +
Retraksi suprasternal (-) - - -
Retraksi intercostal (+) + - -
Retraksi subcostal (-) - - -
SDV dbn dbn dbn dbn
Cor dbn dbn dbn dbn
Abdomen dbn dbn dbn dbn

Ekstremitas AD dbn dbn dbn dbn


OE dbn dbn dbn dbn
Sianosis dbn dbn dbn dbn

Skore RR : 0 0 0 0
Downe Retraksi : 1 1 0 0
Merintih : 0 0 0 0
Sianosis :0 0 0 0
Air entry : 0 0 0 0
Skore : 1 1 0 0
Laborat Hb : 16,2 Bilirubin
Ht : 42 T : 17,74
Lt : 10,4 D : 0,73
T : 176 I : 17,01

Diagnosis Asfiksia Berat, BBLSR, NI, Asfiksia Berat, BBLSR, Asfiksia Berat, BBLSR, Asfiksia Berat, BBLSR,
N.Preterm, NI, N.Preterm, NI, N.Preterm, NI, N.Preterm,
Hiperbilirubinemia Hiperbilirubinemia Hiperbilirubinemia Hiperbilirubinemia

Terapi Inf. D 5% 6 tpm + + +


O2 Headbox 7 lpm O2 nasal 2 lpm -
Inj. Cefotaxime 2x60 mg + +
Inj. Gentamicin 2x3 mg + +
Inj. Ca Glukonas 1x1 cc + -
Dopamin Syrpam 3 + -
mg/kgbb
Fototerapi + -

Diit Oral dan minimal kan + Latihan Menetek +


OGT

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ASFIKSIA NEONATORUM


Definisi
Asfiksia pada bayi baru lahir (BBL) menurut IDAI (Ikatatan Dokter Anak Indonesia)
adalah kegagalan nafas secara spontan dan teratur pada saat lahir atau beberapa saat setelah
lahir (Prambudi, 2013).
Bayi dengan riwayat gawat janin sebelum lahir, umumnya akan mengalami asfiksia
pada saat dilahirkan. Masalah ini erat hubungannya dengan gangguan kesehatan ibu hamil,
kelainan tali pusat, atau masalah yang mempengarui kesejahteraan bayi selama atau sesudah
persalinan.

Patofisiologi

Pernapasan spontan bayi baru lahir tergantung pada keadaan janin pada masa hamil
dan persalinan. Proses kelahiran sendiri selalu menimbulkan asfiksia ringan yang bersifat
sementara. Proses ini sangat perlu untuk merangsang hemoreseptor pusat pernapasan untuk
terjadinya usaha pernapasan yang pertama yang kemudian akan berlanjut menjadi pernapasan
yang teratur. Pada penderita asfiksia berat usaha napas ini tidak tampak dan bayi selanjutnya
dalam periode apneu.Pada tingkat ini disamping penurunan frekuensi denyut jantung
(bradikardi) ditemukan pula penurunan tekanan darah dan bayi nampak lemas (flasid).Pada
asfiksia berat bayi tidak bereaksi terhadap rangsangan dan tidak menunjukan upaya bernapas
secara spontan. Pada tingkat pertama gangguan pertukaran gas/transport O2 (menurunnya
tekanan O2 darah) mungkin hanya menimbulkan asidosis respiratorik, tetapi bila gangguan
berlanjut maka akan terjadi metabolisme anaerob dalam tubuh bayi sehingga terjadi asidosis
metabolik, selanjutnya akan terjadi perubahan kardiovaskuler. Asidosis dan gangguan
kardiovaskuler dalam tubuh berakibat buruk terhadap sel-sel otak, dimana kerusakan sel-sel
otak ini dapat menimbulkan kematian atau gejala sisa (squele) (Depkes RI, 2005).

Etiologi
Faktor-faktor yang dapat menimbulkan gawat janin (asfiksia) antara lain :
a. Faktor ibu
1) Preeklampsia dan eklampsia

2) Pendarahan abnormal (plasenta previa atau solusio plasenta)

3) Partus lama atau partus macet

4) Demam selama persalinan Infeksi berat (malaria, sifilis, TBC, HIV)

5) Kehamilan Lewat Waktu (sesudah 42 minggu kehamilan)

b. Faktor Tali Pusat


1) Lilitan tali pusat

2) Tali pusat pendek

3) Simpul tali pusat

4) Prolapsus tali pusat.

c. Faktor bayi

1) Bayi prematur (sebelum 37 minggu kehamilan)


2) Persalinan dengan tindakan (sungsang, bayi kembar, distosia bahu, ekstraksi
vakum, ekstraksi forsep)
3) Kelainan bawaan (kongenital)
4) Air ketuban bercampur mekonium (warna kehijauan)
(DepKes RI, 2009).

Manifestasi klinik
Asfiksia biasanya merupakan akibat hipoksia janin yang menimbulkan tanda-tanda
klinis pada janin atau bayi berikut ini :
1. DJJ lebih dari 160x/menit atau kurang dari 120x/menit tidak teratur
2. Mekonium dalam air ketuban pada janin letak kepala
3. Tonus otot buruk karena kekurangan oksigen pada otak, otot, dan organ lain
4. Depresi pernafasan karena otak kekurangan oksigen
5. Bradikardi (penurunan frekuensi jantung) karena kekurangan oksigen pada
otot-otot jantung atau sel-sel otak
6. Tekanan darah rendah karena kekurangan oksigen pada otot jantung,
kehilangan darah atau kekurangan aliran darah yang kembali ke plasenta
sebelum dan selama proses persalinan
7. Takipnu (pernafasan cepat) karena kegagalan absorbsi cairan paru-paru atau
nafas tidak teratur/megap-megap
8. Sianosis (warna kebiruan) karena kekurangan oksigen didalam darah
9. Penurunan terhadap spinkters
10. Pucat

Klasifikasi asfiksia

Menurut Mochtar (2008) setiap bayi baru lahir dievaluasi dengan nilai APGAR, tabel
tersebut di atas dapat digunakan untuk menentukan tingkat atau derajat asfiksia, apakah
ringan, sedang, atau asfiksia berat dengan klasifikasi sebagai berikut:

o Asfiksia berat (nilai Apgar 0-3): Memerlukan resusitasi segera secara aktif, dan
pemberian oksigen terkendali. Pada pemeriksaan fisik ditemukan frekuensi jantung
100x/menit, tonus otot buruk, sianosis berat, dan terkadang pucat, refleks iritabilitas
tidak ada.
o Asfiksia sedang (nilai Apgar 4-6):
Memerlukan resusitasi dan pemberian oksigen
sampai bayi dapat bernapas kembali. Pada pemeriksaan fisik ditemukan frekuensi
jantung lebih dari 100x/menit, tonus otot kurang baik atau baik, sianosis,
reflexiritabilitas tidak ada.


o Asfiksia ringan (nilai Apgar 7-9): Bayi dianggap sehat dan tidak memerlukan tindakan
istimewa.

Diagnosis

Untuk dapat menegakkan gawat janin dapat ditetapkan dengan melakukan


pemeriksaan sebagai berikut :

1. Denyut jantung janin.


Frekeunsi denyut jantung janin normal antara 120 – 160 kali per menit; selama his
frekeunsi ini bisa turun, tetapi di luar his kembali lagi kepada keadaan semula.
Peningkatan kecepatan denyut jantung umumnya tidak banyak artinya, akan tetapi
apabila frekeunsi turun sampai di bawah 100 per menit di luar his, dan lebih-lebih jika
tidak teratur, hal itu merupakan tanda bahaya. Di beberapa klinik elektrokardiograf
janin digunakan untuk terus-menerus mengawasi keadaan denyut jantung dalam
persalinan.
2. Mekonium di dalam air ketuban.
Mekonium pada presentasi-sunsang tidak ada artinya, akan tetapi pada presentasi –
kepala mungkin menunjukkan gangguan oksigenisasi dan harus menimbulkan
kewaspadaan. Adanya mekonium dalam air ketuban pada presentasi-kepala dapat
merupakan indikasi untuk mengakhiri persalinan bila hal itu dapat dilakukan dengan
mudah.
3. Pemeriksaan pH darah janin.
Dengan menggunakan amnioskop yang dimasukan lewat servik dibuat sayatan kecil
pada kulit kepala janin, dan diambil contoh darah janin.Darah ini diperiksa pH-nya.
Adanya asidosis menyebabkan turunnya pH. Apabila pH itu turun sampai di bawah
7,2 hal itu dianggap sebagai tanda bahaya oleh beberapa penulis.

Diagnosis gawat janin sangat penting untuk dapat menyelamatkaan dan dengan demikian
membatasi morbiditas dan mortalitas perinatal.Selain itu kelahiran bayi yang telah
menunjukkan tanda-tanda gawat janin mungkin disertai dengan asfiksia neonatorum, sehingga
perlu diadakan persiapan untuk menghadapi keadaan tersebut (Aminullah, 2002).

Penatalaksanaan
Bayi baru lahir dalam apnu primer dapat memulai pola pernapasan biasa, walaupun
mungkin tidak teratur dan mungkin tidak efektif, tanpa intervensi khusus. Bayi baru lahir
dalam apnu sekunder tidak akan bernapas sendiri. Pernapasan buatan atau tindakan ventilasi
dengan tekanan positif (VTP) dan oksigen diperlukan untuk membantu bayi memulai
pernapasan pada bayi baru lahir dengan apnu sekunder.
Menganggap bahwa seorang bayi menderita apnu primer dan memberikan stimulasi
yang kurang efektif hanya akan memperlambat pemberian oksigen dan meningkatkan resiko
kerusakan otak. Sangat penting untuk disadari bahwa pada bayi yang mengalami apnu
sekunder, semakin lama kita menunda upaya pernapasan buatan, semakin lama bayi memulai
pernapasan spontan.Penundaan dalam melakukan upaya pernapasan buatan, walaupun
singkat, dapat berakibat keterlambatan pernapasan yang spontan dan teratur.Perhatikanlah
bahwa semakin lama bayi berada dalam apnu sekunder, semakin besar kemungkinan
terjadinya kerusakan otak.
Penyebab apa pun yang merupakan latar belakang depresi ini, segera sesudah tali
pusat dijepit, bayi yang mengalami depresi dan tidak mampu melalui pernapasan spontan
yang memadai akan mengalami hipoksia yang semakin berat dan secara progresif menjadi
asfiksia. Resusitasi yang efektif dapat merangsang pernapasan awal dan mencegah asfiksia
progresif. Resusitasi bertujuan memberikan ventilasi yang adekuat, pemberian oksigen dan
curah jantung yang cukup untuk menyalurkan oksigen kepada otak, jantung dan alat – alat
vital lainnya (Saifuddin,2009).

Antisipasi, persiapan adekuat, evaluasi akurat dan inisiasi bantuan sangatlah penting
dalam kesuksesan resusitasi neonatus. Pada setiap kelahiran harus ada setidaknya satu orang
yang bertanggung jawab pada bayi baru lahir.Orang tersebut harus mampu untuk memulai
resusitasi, termasuk pemberian ventilasi tekanan positif dan kompresi dada. Orang ini atau
orang lain yang datang harus memiliki kemampuan melakukan resusitasi neonatus secara
komplit, termasuk melakukan intubasi endotrakheal dan memberikan obat-obatan. Bila
dengan mempertimbangkan faktor risiko, sebelum bayi lahir diidentifikasi bahwa akan
membutuhkan resusitasi maka diperlukan tenaga terampil tambahan dan persiapan alat
resusitasi. Bayi prematur (usia gestasi < 37 minggu) membutuhkan persiapan khusus. Bayi
prematur memiliki paru imatur yang kemungkinan lebih sulit diventilasi dan mudah
mengalami kerusakan karena ventilasi tekanan positif serta memiliki pembuluh darah imatur
dalam otak yang mudah mengalami perdarahan Selain itu, bayi prematur memiliki volume
darah sedikit yang meningkatkan risiko syok hipovolemik dan kulit tipis serta area permukaan
tubuh yang luas sehingga mempercepat kehilangan panas dan rentan terhadap infeksi. Apabila
diperkirakan bayi akan memerlukan tindakan resusitasi, sebaiknya sebelumnya dimintakan
informed consent. Definisi informed consent adalah persetujuan tertulis dari penderita atau
orangtua/wali nya tentang suatu tindakan medis setelah mendapatkan penjelasan dari petugas
kesehatan yang berwenang. Tindakan resusitasi dasar pada bayi dengan depresi pernapasan
adalah tindakan gawat darurat. Dalam hal gawat darurat mungkin informed consent dapat
ditunda setelah tindakan. Setelah kondisi bayi stabil namun memerlukan perawatan lanjutan,
dokter perlu melakukan informed consent. Lebih baik lagi apabila informed consent
dimintakan sebelumnya apabila diperkirakan akan memerlukan tindakan.

Oleh karena itu untuk menentukan butuh resusitasi atau tidak, semua bayi perlu
penilaian awal dan harus dipastikan bahwa setiap langkah dilakukan dengan benar dan efektif
sebelum ke langkah berikutnya.
Secara garis besar pelaksanaan resusitasi mengikuti
algoritma resusitasi neonatal.
Berikut ini akan ditampilkan diagram alur untuk menentukan apakah terhadap bayi
yang lahir diperlukan resusitasi atau tidak.

Algoritma Resusitasi Neonatal

Sumber: New algorithm for 6th.edition (Prambudi, 2013)

2.2 NEONATUS PRETERM


Definisi
Bayi preterm atau bayi prematur atau BKB adalah bayi yang dilahirkan ibu pada usia
kehamilan kurang dari 37 minggu dengan variasi berat lahir, dapat di golongkan kecil untuk
masa kehamilan, sesuai untuk masa kehamilan atau besar untuk masa kehamilan. Tetapi pada
umumnya BKB lahir sebagai bayi berat lahir rendah (BBLR) (Campbell, 2003).
Terdapat 3 subkategori usia kelahiran prematur berdasarkan kategori World Health
Organization (WHO), yaitu:
1) Extremely preterm (< 28 minggu)

2) Very preterm (28 hingga < 32 minggu)

3) Moderate to late preterm (32 hingga < 37 minggu).

Etiologi dan Faktor Risiko


Hal hal lain yang sering dihubungkan dengan persalinan preterm yang berkaitan dengan
kesehatan ibu adalah (Smith, 2005) :
a. Riwayat persalinan preterm sebelumnya
b. Kadar alfafetoprotein yang tinggi yang tidak diketahui sebabnya pada trimester ke dua
c. Penyakit atau infeksi yang tidak diobati dengan baik ( misalnya Infeksi Saluran Kemih
infeksi kulit ketuban / amnionitis )
d. Abnormalitas uterus dan serviks
e. Ketuban pecah dini
f. Plasenta previa atau antepartum hemoragik (Chan & To, 1999)
g. Persalinan Preterm iatrogenik (Goldenberget al., 2008)
h. Abnormalitas volume amnion (Bundgaard, et al., 2007)
i. Multipara ((Blickstein, 2006)
j. Usia Maternal (Shrim, 2011)

Faktor risiko terjadinya persalinan preterm antara lain perawatan antenatal yang tidak baik,
status nutrisi ibu yang buruk, ibu muda ( umur kurang dari 18 tahun) dan penyalahgunaan
obat (Smith, 2005).

Patofisiologi
Secara umum, penyebab persalinan prematur dapat dikelompokan dalam 4 golongan yaitu
(Iams, 2003) :
1) Aktivasi prematur dari pencetus terjadinya persalinan

2) Inflamasi/infeksi

3) Perdarahan plasenta

4) Peregangan yang berlebihan pada uterus

Mekanisme pertama ditandai dengan stres dan anxietas yang biasa terjadi pada
primipara muda yang mempunyai predisposisi genetik. Adanya stres fisik maupun psikologi
menyebabkan aktivasi prematur dari aksis Hypothalamus-Pituitary-Adrenal (HPA) ibu dan
menyebabkan terjadinya persalinan prematur. Aksis HPA ini menyebabkan timbulnya
insufisiensi uteroplasenta dan mengakibatkan kondisi stres pada janin. Stres pada ibu maupun
janin akan mengakibatkan peningkatan pelepasan hormon Corticotropin Releasing Hormone
(CRH), perubahan pada Adrenocorticotropic Hormone (ACTH), prostaglandin, reseptor
oksitosin, matrix metaloproteinase (MMP), interleukin-8, cyclooksigenase-2,
dehydroepiandrosteron sulfate (DHEAS), estrogen plasenta dan pembesaran kelenjar adrenal.
Mekanisme kedua adalah decidua-chorio-amnionitis, yaitu infeksi bakteri yang
menyebar ke uterus dan cairan amnion. Keadaan ini merupakan penyebab potensial terjadinya
persalinan prematur. Infeksi intraamnion akan terjadi pelepasan mediator inflamasi seperti
pro-inflamatory sitokin (IL-1β, IL-6, IL-8, dan TNF-α ). Sitokin akan merangsang pelepasan
CRH, yang akan merangsang aksis HPA janin dan menghasilkan kortisol dan DHEAS.
Hormon-hormon ini bertanggung jawab untuk sintesis uterotonin (prostaglandin dan
endotelin) yang akan menimbulkan kontraksi. Sitokin juga berperan dalam meningkatkan
pelepasan protease (MMP) yang mengakibatkan perubahan pada serviks dan pecahnya kulit
ketuban (Snegovskikh, 2006).
Mekanisme ketiga yaitu mekanisme yang berhubungan dengan perdarahan plasenta
dengan ditemukannya peningkatan hemosistein yang akan mengakibatkan kontraksi
miometrium. Perdarahan pada plasenta dan desidua menyebabkan aktivasi dari faktor
pembekuan Xa (protombinase). Protombinase akan mengubah protrombin menjadi trombin
dan pada beberapa penelitian trombin mampu menstimulasi kontraksi miometrium.
Mekanisme keempat adalah peregangan berlebihan dari uterus yang bisa disebabkan
oleh kehamilan kembar, polyhydramnion atau distensi berlebih yang disebabkan oleh kelainan
uterus atau proses operasi pada serviks. Mekanisme ini dipengaruhi oleh IL-8, prostaglandin,
dan COX-2.

Masalah Bayi Kurang Bulan


Masalah yang ditemukan pada BKB adalah akibat imaturitas sistem organ. Berikut adalah
masalah bayi kurang bulan pada berbagai organ (Smith, 2005):
1. Pernapasan: bayi kurang bulan kurang dapat beradaptasi dengan pergantian gas dan terjadi
depresi perinatal di ruang bersalin. Respiratory Distress Syndrome (RDS) dapat
disebabkan karena defisiensi surfaktan dan apne dapat disebabkan karena kurang
matangnya mekanisme pengaturan napas. Salah satu penyulit pada BBLR adalah asfiksia
karena faktor paru yang belum matang pada bayi BBLR yang prematur, atau karena distres
respirasi (gangguan napas ) pada BBLR yang kecil untuk masa kehamilannya; sehingga
BBLR mempunyai dua risiko yang mengancam kehidupannya yaitu berat lahir rendah dan
asfiksia.
2. Neurologik: bayi kurang bulan (BKB) berisiko mempunyai masalah neurologi akut, seperti
perdarahan intra kranial, dan depresi perinatal. Penyebab utama kelainan atau gangguan
neurologis pada bayi baru lahir adalah ensefalopati iskemik hipoksik (EIH), di samping
perdarahan periventrikular dan intraventrikular yang menyebabkan kelainan neurologis
terutama pada bayi kurang bulan.
3. Kardiovaskular: gangguan yang sering mengalami adalah hipotensi akibat hipovolemia,
misalnya kehilangan volume karena memang volumenya yang relatip kecil atau gangguan
fungsi jantung dan vasodilatasi akibat sepsis. Kejadian PDA ( patent ductus arteriosus)
sering terjadi dan dapat mengakibatkan terjadi nya gagal jantung Kongestif.
4. Hematologik: khususnya anemia akibat berbagai macam penyebab dan hiperbilirubinemia.
5. Metabolik: sering terjadi gangguan metabolisme glukosa dan kalsium, terutama pada BKB
dengan gangguan nutrisi, sakit berat atau gangguan intrauterin.
6. Nutrisi: bayi kurang bulan memerlukan perhatian khusus tentang jenis, jumlah dan cara
pemberiannya.
7. Gastrointestinal: prematuritas merupakan risiko terbesar untuk enterokolitis nekrotikans.
8. Ginjal: imaturitas ginjal ditandai dengan kecepatan filtrasi glomerulus yang rendah dan
ketidak mampuan untuk mengatasi beban air, kepekatan dan keasaman. Dapat terjadi
kesulitan dalam manajemen cairan dan elektrolit.
9. Pengaturan suhu: BKB cenderung untuk terjadi hipotermi dan hipertermi.
10. Imunologik: akibat defisiensi respons imun seluler dan humoral, BKB mempunyai risiko
terjadi nya infeksi lebih besar dibanding bayi cukup bulan.
11. Oftalmologik: ROP = retinopathy of prematurity (retinopati akibat prematuritas ) dapat
terjadi akibat retina imatur.

Manajemen
Hal yang paling penting adalah mencegah persalinan preterm dengan upaya semaksimal atau
optimal mungkin dengan cara (Smith, 2005) :
• Melaksanakan pengawasan antenatal yang baik dan teratur
• Meningkatkan status gizi ibu
• Menganjurkan menikah pada usia matang (tidak terlalu muda)
• Mencegah dan mengobati secara tuntas infeksi intrauterin

Bila bayi sudah lahir atau hampir lahir, maka dilakukan manajemen sebagai berikut:
1. Manajemen intrapartum, dengan menerapkan prinsip Pelayanan Neonatal Esensial yaitu,
a. Pertolongan persalinan yang bersih dan aman, kemudian sesuai dengan berat badan
bayi dirawat di bangsal bayi risiko tinggi (BBRT).
b. Tindakan resusitasi dan stabilisasi : dilakukan resusitasi segera dengan baik dan benar.
Tindakan resusitasi sebaiknya dilakukan oleh tenaga yang mempunyai kualifikasi, di
tempat fasilitas yang memadai. Oksigen yang adekuat dan suhu yang stabil merupakan
salah satu tujuan perawatan pasca natal
2. Manajemen bayi baru lahir
a. Stabilisasi suhu
b. Terapi oksigen dan bantuan ventilasi mekanik
c. Bila terjadi patent ductus arteriosus,: diperlukan terapi konservatif yaitu,
• Oksigenasi yang cukup, restriksi cairan, diuresis intermitten.
• Pada kasus yang bergejala, pemberian obat antagonis prostaglandin seperti
indometasin mungkin diperlukan
• Pada beberapa kasus memerlukan terapi pembedahan berupa ligasi.
3. Terapi cairan dan elektrolit: harus diperhatikan kemungkinan terjadinya kehilangan
insensible water loss yang tinggi dan harus memperhatikan dengan benar hidrasi, kadar
glukosa darah, kadar elektrolit plasma.
4. Asupan gizi: pada BKB kemampuan menghisap dan menelan sangat terbatas, di samping
adanya intoleransi beberapa minuman, mungkin diperlukan pemberian minum melalui pipa
lambung atau bahkan pemberian nutrisi parenteral.
5. Hiperbilirubinemia: sangat sering terjadi pada bayi yang sangat kecil. Biasanya dapat
dikelola dengan efektip dengan cara memantau kadar bilirubin dan terapi sinar /fototerapi.
Pada beberapa kasus mungkin diperlukan transfusi tukar.
6. Infeksi dan sepsis: BKB sangat rentan untuk terjadinya infeksi dan sepsis. Pada BKB
dengan BBLR yang dicurigai mengalami sepsis perlu diberikan antibiotik dengan spektrum
yang luas. Bagi bayi yang sering mengalami beberapa prosedur klinik, cara asepsis perlu
ditingkatkan.
7. Manajemen mencegah gejala sisa
A. Pengelolaan yang utama adalah pencegahan.
Tujuan utama adalah mengidentifikasi janin yang mudah atau cenderung mengalami
iskemik-hipoksik oleh karena proses persalinan dan kelahiran.
B. Resusitasi segera. Semua bayi baru lahir yang mengalami apne saat lahir harus
diresusitasi segera karena tidak dapat ditentukan apakah bayi mengalami apne primer
atau sekunder.

Rekomendasi manajemen dan intervensi pada neonatus preterm (WHO, 2015) :


1. Manajemen kangaroo mother care (KMC) pada bayi 2000 gram atau kurang yang
secara klinis stabil. Bayi dengan berat 2000 gram atau kurang dengan kondisi tak
stabil atau bayi baru lahir dengan kondisi stabil dengan berat kurang dari 2000 gram
yang tidak bisa menjalankan KMC, harus dirawat di lingkungan dengan suhu stabil
dibawah penghangat atau inkubator. Meskipun penggunaan plastik termasuk tidak
efektif, nemum penggunaannya selama transfer menuju bangsal merupakan suatu
alternatif.
2. Penggunaan Continuous positive airway pressure (CPAP) pada bayi dengan respiratory
distress syndrome (RDS) segera setelah diagnosis ditegakkan.
3. Surfaktan untuk bayi prematur dengan RDS pada fasilitas yang memenuhi kriteria.
Penggunaan terapi pengganti surfaktan yang berasal dari hewan atau protein
direkomendasikan pada bayi yang diintubasi dan ventilasi dengan RDS. Tidak
direkomendasikan menggunakan surfaktan profilaksis sebelum terdiagnosis RDS.
Pada neonatus preterm dengan RDS, surfaktan harus diberikan dalam 2 jam pertama
setelah dilahirkan dan tidak menunggu gejala memburuk.
4. Mulai terapi oksigen dengan 30% oksigen atau udara (jika oksigen campuran tidak
tersedia) selama ventilasi pada bayi prematur yang lahir ≤32 minggu. Penggunaan
oksigen konsentrasi tinggi secara progresif harus dipertimbangkan pada neonatus yang
menjalani terapi oksigen jika HR <60 kali/menit setelah 30 detik ventilasi adekuat
dengan oksigen 30%. Tidak direkomendasikan memulai oksigen 100% selama
ventilasi pada neonatus preterm yang lahir usia ≤32 minggu

Komplikasi
Bayi kurang bulan sangat rentan untuk terjadi beberapa jenis kesakitan. Meskipun
beberapa gangguan pada suatu populasi terhitung kecil, akan tetapi prevalensinya belum
jelas. Beberapa penelitian multisenter yang komprehensip menyajikan beberapa data
sebagai berikut (Snyder, 1998),
 Gangguan perkembangan
o cacat mayor: palsi serebral, retardasi mental
o gangguan sensori: gangguan pendengaran dan gangguan penglihatan
o disfungsi otak minimal: gangguan bahasa, gangguan kemampuan belajar,
hiperaktivitas, kurangnya perhatian, gangguan perilaku.
 Retinopathy of prematurity
 Penyakit paru kronik
 Gangguan pertumbuhan
 Frekuensi hospitalisasi dan kesakitan pascanatal meningkat
 Frekuensi anomali kongenital meningkat
 Risiko anak terlantar dan ruda paksa pada anak meningkat

2.3 BAYI BERAT LAHIR RENDAH DAN SANGAT RENDAH


Definisi
Bayi berat lahir rendah (BBLR) adalah bayi dengan berat lahir kurang dari 2500 gram tanpa
memandang usia gestasi. BBLR dapat terjadi pada bayi kurang bulan (< 37 minggu) atau pada
bayi cukup bulan (intrauterine growth restriction) (Pudjiadi, dkk., 2010).
Klasifikasi
Ada beberapa cara dalam mengelompokkan BBLR (Proverawati dan Ismawati, 2010) :
a. Menurut harapan hidupnya
1) Bayi berat lahir rendah (BBLR) dengan berat lahir 1500-2500 gram.
2) Bayi berat lahir sangat rendah (BBLSR) dengan berat lahir 1000-1500 gram.
3) Bayi berat lahir ekstrim rendah (BBLER) dengan berat lahir kurang dari 1000 gram.
b. Menurut masa gestasinya
1) Prematuritas murni yaitu masa gestasinya kurang dari 37 minggu dan berat badannya
sesuai dengan berat badan untuk masa gestasi atau biasa disebut neonatus kurang bulan
sesuai untuk masa kehamilan (NKB-SMK).
2) Dismaturitas yaitu bayi lahir dengan berat badan kurang dari berat badan seharusnya
untuk masa gestasi itu. Bayi mengalami retardasi pertumbuhan intrauterin dan merupakan
bayi kecil untuk masa kehamilannya (KMK).

Faktor Penyebab
Beberapa penyebab dari bayi dengan berat badan lahir rendah (Proverawati dan Ismawati,
2010).
a. Faktor ibu
1) Penyakit
a) Mengalami komplikasi kehamilan, seperti anemia, perdarahan antepartum,
preekelamsi berat, eklamsia, infeksi kandung kemih.
b) Menderita penyakit seperti malaria, infeksi menular seksual, hipertensi, HIV/AIDS,
TORCH, penyakit jantung.
c) Penyalahgunaan obat, merokok, konsumsi alkohol.
2) Ibu
a) Angka kejadian prematitas tertinggi adalah kehamilan pada usia < 20 tahun atau lebih
dari 35 tahun.
b) Jarak kelahiran yang terlalu dekat atau pendek (kurang dari 1 tahun).
c) Mempunyai riwayat BBLR sebelumnya.
3) Keadaan sosial ekonomi
a) Kejadian tertinggi pada golongan sosial ekonomi rendah. Hal ini dikarenakan
keadaan gizi dan pengawasan antenatal yang kurang.
b) Aktivitas fisik yang berlebihan
c) Perkawinan yang tidak sah
b. Faktor janin
Faktor janin meliputi : kelainan kromosom, infeksi janin kronik (inklusi sitomegali,
rubella bawaan), gawat janin, dan kehamilan kembar.
c. Faktor plasenta
Faktor plasenta disebabkan oleh : hidramnion, plasenta previa, solutio plasenta, sindrom
tranfusi bayi kembar (sindrom parabiotik), ketuban pecah dini.
d. Faktor lingkungan
Lingkungan yang berpengaruh antara lain : tempat tinggal di dataran tinggi, terkena
radiasi, serta terpapar zat beracun.

Permasalahan pada BBLR


BBLR memerlukan perawatan khusus karena mempunyai permasalahan yang banyak sekali
pada sistem tubuhnya disebabkan kondisi tubuh yang belum stabil (Surasmi, dkk., 2002).
a. Ketidakstabilan suhu tubuh
Dalam kandungan ibu, bayi berada pada suhu lingkungan 36°C- 37°C dan segera setelah
lahir bayi dihadapkan pada suhu lingkungan yang umumnya lebih rendah. Perbedaan suhu
ini memberi pengaruh pada kehilangan panas tubuh bayi. Hipotermia juga terjadi karena
kemampuan untuk mempertahankan panas dan kesanggupan menambah produksi panas
sangat terbatas karena pertumbuhan otot-otot yang belum cukup memadai,
ketidakmampuan untuk menggigil, sedikitnya lemak subkutan, produksi panas berkurang
akibat lemak coklat yang tidak memadai, belum matangnya sistem saraf pengatur suhu
tubuh, rasio luas permukaan tubuh relatif lebih besar dibanding berat badan sehingga
mudah kehilangan panas.
b. Gangguan pernafasan
Akibat dari defisiensi surfaktan paru, toraks yang lunak dan otot respirasi yang lemah
sehingga mudah terjadi periodik apneu. Disamping itu lemahnya reflek batuk, hisap, dan
menelan dapat mengakibatkan resiko terjadinya aspirasi.
c. Imaturitas imunologis
Pada bayi kurang bulan tidak mengalami transfer IgG maternal melalui plasenta selama
trimester ketiga kehamilan karena pemindahan substansi kekebalan dari ibu ke janin
terjadi pada minggu terakhir masa kehamilan. Akibatnya, fagositosis dan pembentukan
antibodi menjadi terganggu. Selain itu kulit dan selaput lendir membran tidak memiliki
perlindungan seperti bayi cukup bulan sehingga bayi mudah menderita infeksi.
d. Masalah gastrointestinal dan nutrisi
Lemahnya reflek menghisap dan menelan, motilitas usus yang menurun, lambatnya
pengosongan lambung, absorbsi vitamin yang larut dalam lemak berkurang, defisiensi
enzim laktase pada jonjot usus, menurunnya cadangan kalsium, fosfor, protein, dan zat
besi dalam tubuh, meningkatnya resiko NEC (Necrotizing Enterocolitis). Hal ini
menyebabkan nutrisi yang tidak adekuat dan penurunan berat badan bayi.
e. Imaturitas hati
Adanya gangguan konjugasi dan ekskresi bilirubin menyebabkan timbulnya
hiperbilirubin, defisiensi vitamin K sehingga mudah terjadi perdarahan. Kurangnya enzim
glukoronil transferase sehingga konjugasi bilirubin direk belum sempurna dan kadar
albumin darah yang berperan dalam transportasi bilirubin dari jaringan ke hepar
berkurang.
f. Hipoglikemi
Kecepatan glukosa yang diambil janin tergantung dari kadar gula darah ibu karena
terputusnya hubungan plasenta dan janin menyebabkan terhentinya pemberian glukosa.
Bayi berat lahir rendah dapat mempertahankan kadar gula darah selama 72 jam pertama
dalam kadar 40 mg/dl. Hal ini disebabkan cadangan glikogen yang belum mencukupi.
Keadaan hipotermi juga dapat menyebabkan hipoglikemi karena stress dingin akan
direspon bayi dengan melepaskan noreepinefrin yang menyebabkan vasokonstriksi paru.
Efektifitas ventilasi paru menurun sehingga kadar oksigen darah berkurang. Hal ini
menghambat metabolisme glukosa dan menimbulkan glikolisis anaerob yang berakibat
pada penghilangan glikogen lebih banyak sehingga terjadi hipoglikemi. Nutrisi yang tak
adekuat dapat menyebabkan pemasukan kalori yang rendah juga dapat memicu timbulnya
hipoglikemi.
Diagnosis
Anamnesis
 Umur ibu
 Hari pertama haid terakhir
 Riwayat persalinan sebelumnya
 Paritas, jarak lahir sebelumnya
 Kenaikan berat badan selama hamil
 Aktivitas, penyakit yang diderita, dan obat yang diminum selama hamil
Pemeriksaan fisik
 Berat badan <2500 gram
 Tanda prematuritas (bila bayi kurang bulan)
 Tanda bayi cukup bulan atau lebih bulan (bila bayi kecil untuk masa kehamilan )
Pemeriksaan penunjang
 Pemeriksaan skor ballard
 Tes kocok dianjurkan untuk bayi kurang bulan
 Darah rutin, glukosa darah
 Bila perlu, dan fasilitas tersedia, diperiksa kadar elektrolit dan analisis gas darah
 Foto rontgen diperlukan pada bayi baru lahir dengan umur kehamilan kurang
bulan dan mengalami sindrom gangguan napas
 USG kepala terutama pada bayi dengan umur kehamilan <35 minggu dimulai pada
umur 3 hari dan dilanjutkan sesuai hasil yang didapat.

Tata Laksana
Pemberian vitamin K1
 Injeksi 1 mg IM sekali pemberian ; atau
 Per oral 2 mg 3 kali pemberian (saat lahir, umur 3-10 hari dan umur 4-6 minggu).
Mempertahankan suhu tubuh normal
 Gunakan salahs atu cara menghangatkan dan mempertahankan suhu tubuh bayi, seperti
kontak kulit ke kulit, kangaroo mother care, pemancar panas, inkubator atau ruangan
hangat yang tersedia di fasilitas kesehatan setempat sesuai petunjuk
 Jangan memandikan atau menyentuh bayi dengan tangan dingin
 Ukur suhu tubuh sesuai jadwal
Pemberian minum
 Asi merupakan pilihan utama
 Apabila bayimendapat asi, pastikan bayi menerima jumlah yang cukup dengan cara
apapun, perhatikan cara pemberian asi dan nilai kemampuan bayi menghisap paling
kurang sehari sekali
 Apabila bayi sudah tidak mendapatkan cairan IV dan beratnya naik 20g/hari selama 3
hari berturut turut, timbang bayi 2 kali seminggu
 Pemberian minum minimal 8x/hari. Apabila bayi masih menginginkan dapat diberikan
lagi (ad libitum)
 Indikasi nutrisi parenteral yaitu status kardiovaskular dan respirasi yang tidak stabil,
fungsi usus belum berfungsi/terdapat anomali mayor saluran cerna. NEC, IUGR berat,
dan berat lahir <1000g.
 Pada bayi sakit, pemberian minum tidak perlu dengan segera ditingkatkan selama tidak
ditemukan tanda dehidrasi dan kadar natrium serta glukosa normal.

Panduan pemberian minum berdasarkan BB :


a. Berat lahir <1000 g
 Minum melalui pipa lambung
 Pemberian minum awal <10 mL/kg/hari
 Asi perah
 Selanjutnya minum ditingkatkan jika memberikan toleransi yang baik : tambahan
0,5-1 mL, interval 1 jam setiap >24 jam
 Setelah 2 minggu : asi perah + HMF sampai berat badan mencapai 2000g

b. Berat lahir 1000-1500 g


 Pemberian minum melalui pipa lambung
 Pemberian minum awal < 10 mL/kg/hari
 Asi perah
 Selanjutnya minum ditingkatkan jika memberikan toleransi yang baik: tambahan
1-2ml, interval 2 jam setiap >24 jam
 Setelah 2 minggu : asi perah + HMF sampai berat badan mencapai 2000 g
c. Berat lahir 1500-2000 g
 Pemberian minum melalui pipa lambung
 Pemberian minum awal <10 mL/kg/hari
 Asi perah
 Selanjutnya minum ditingkatkan jika memberikan toleransi yang baik : tambahan
2-4 ml, interval 3 jam setiap 12-24 jam
 Setelah 2 minggu : asi perah + HMF sampai berat badan mencapai 2000 g
d. Berat lahir 2000-2500 g
 Apabila mampu sebaiknya diberikan minum per oral
 Asi perah
Bayi sakit :
Pemberian minum awal <10ml/kghari
Selanjutnya minum ditingkatkan jika memberikan toleransi yang baik, tambahan 3-5 mL,
interval 3 jam, setiap >8 jam

2.4 SINDROMA GAWAT NAPAS

PENGERTIAN
Sindrom gawat nafas ( respiratory distress syndroma, RDS ) adalah:
 Kumpulan gejala yang terdiri dari dispnea atau hiperpnea dengan frekuensi pernafasan
besar 60 x/i, sianosis, merintih waktu ekspirasi dan retraksi didaerah epigastrium,
suprosternal, interkostal pada saat inspirasi. ( Ngatisyah.2005 hal 23 )
 Kumpulan gejala yang terdiri dari frekuensi nafas bayi lebih dari 60x/menit atau
kurang dari 30x/menit dan mungkin menunjukan satu atau lebih dari gejala tambahan
gangguan nafas sebagai berikut:
1. Bayi dengan sianosis sentral ( biru pada lidah dan bibir )
2. Ada tarikan dinding dada
3. Merintih
4. Apnea ( nafas berhenti lebih dari 20 detik ) ( PONED,2004 )
 Istilah yang digunakan untuk disfungsi pernafasan pada neonatus. ( Surasmi,
asrining,dkk. 2003 hal 70 )
 Gangguan ini merupakan penyakit yang berhubungan dengan perkembangan maturitas
paru ( Whalley dan wong, 1995 )
ETIOLOGI
 Kelainan paru: pneumonia
 Kelainan jantung: penyakit jantung bawaan, disfungsi miokardium
 Kelainan susunan syaraf pusat akibat: Asfiksia, perdarahan otak
 Kelainan metabolik: hipoglikemia, asidosis metabolik
 Kelainan bedah: pneumotoraks, fistel trakheoesofageal, hernia diafragmatika
 Kelainan lain: sindrom Aspirasi mekonium, penyakit membran hialin
Bila menurut masa gestasi penyebab gangguan nafas adalah :
- Pada bayi kurang bulan
1. penyakit membran hialin
2. pneumonia
3. asfiksia
4. kelainan atau malformasi kongenital
- Pada bayi cukup bulan
1. Sindrom Aspirasi Mekonium
2. pneumonia
3. asidosis
4. kelainan atau malformasi kongenital
Gangguan traktus respiratorius:
 Hyaline Membrane Disease(HMD),
Berhubungan dengan kurangnya masa gestasi ( bayi prematur )
 Transient Tachypnoe of the Newborn(TTN),
Paru-paru terisi cairan, sering terjadi pada bayi caesar karena dadanya tidak mengalami
kompresi oleh jalan lahir sehingga menghambat pengeluaran cairan dari dalam paru.
 Infeksi(Pneumonia),
 Sindroma Aspirasi,
 Hipoplasia Paru,
 Hipertensi pulmonal,
 Kelainan kongenital(Choanal Atresia, Hernia Diafragmatika, Pierre- robin syndrome),
 Pleural Effusion,
 Kelumpuhan saraf frenikus,
 Luar traktus respiratoris:
 kelainan jantung kongenital, kelainan metabolik, darah dan SSP
PATOFISIOLOGI
Faktor-faktor yang memudahkan terjadinya RDS pada bayi prematur disebabkan oleh
alveoli masih kecil sehingga kesulitan berkembang, pengembangan kurang sempurna kerana
dinding thorax masih lemah, produksi surfaktan kurang sempurna. Kekurangan surfaktan
mengakibatkan kolaps pada alveolus sehingga paru-paru menjadi kaku. Hal tersebut
menyebabkan perubahan fisiologi paru sehingga daya pengembangan paru (compliance)
menurun 25% dari normal, pernafasan menjadi berat, shunting intrapulmonal meningkat dan
terjadi hipoksemia berat, hipoventilasi yang menyebabkan asidosis respiratorik. Telah
diketahui bahwa surfaktan mengandung 90% fosfolipid dan 10% protein , lipoprotein ini
berfungsi menurunkan tegangan permukaan dan menjaga agar alveoli tetap mengembang.
Secara makroskopik, paru-paru nampak tidak berisi udara dan berwarna kemerahan
seperti hati. Oleh sebab itu paru-paru memerlukan tekanan pembukaan yang tinggi untuk
mengembang. Secara histologi, adanya atelektasis yang luas dari rongga udara bahagian distal
menyebabkan edema interstisial dan kongesti dinding alveoli sehingga menyebabkan
desquamasi dari epithel sel alveoli type II. Dilatasi duktus alveoli, tetapi alveoli menjadi
tertarik karena adanya defisiensi surfaktan ini. Dengan adanya atelektasis yang progresif
dengan barotrauma atau volutrauma dan keracunan oksigen, menyebabkan kerosakan pada
endothelial dan epithelial sel jalan pernafasan bagian distal sehingga menyebabkan eksudasi
matriks fibrin yang berasal dari darah. Membran hyaline yang meliputi alveoli dibentuk dalam
satu setengah jam setelah lahir. Epithelium mulai membaik dan surfaktan mulai dibentuk pada
36- 72 jam setelah lahir. Proses penyembuhan ini adalah komplek; pada bayi yang immatur
dan mengalami sakit yang berat dan bayi yang dilahirkan dari ibu dengan chorioamnionitis
sering berlanjut menjadi Bronchopulmonal Displasia (BPD).

MANIFESTASI KLINIS
Berat dan ringannya gejala klinis pada penyakit RDS ini sangat dipengaruhi oleh tingkat
maturitas paru. Semakin rendah berat badan dan usia kehamilan, semakin berat gejala klinis
yang ditujukan.
Menurut Surasmi, dkk (2003) tanda dan gejala yang muncul adalah sebagai berikut :
1. Takhipneu (> 60 kali/menit)
2. Pernafasan dangkal
3. Mendengkur
4. Sianosis
5. Pucat
6. Kelelahan
7. Apneu dan pernafasan tidak teratur
8. Penurunan suhu tubuh
9. Retraksi suprasternal dan substernal
10. Pernafasan cuping hidung

KLASIFIKASI
Secara klinis gangguan nafas dibedakan menjadi 3 kelompok, yaitu:
1. Gangguan nafas berat
2. Gangguan nafas sedang
3. Gangguan nafas ringan

PEMERIKSAAN
 Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik akan ditemukan takhipneu (> 60 kali/menit), pernafasan mendengkur,
retraksi subkostal/interkostal, pernafasan cuping hidung, sianosis dan pucat, hipotonus, apneu,
gerakan tubuh berirama, sulit bernafas dan sentakan dagu. Pada awalnya suara nafas mungkin
normal kemudian dengan menurunnya pertukaran udara, nafas menjadi parau dan pernapasan
dalam.
Pengkajian fisik pada bayi dan anak dengan kegawatan pernafasan dapat dilihat dari penilaian
fungsi respirasi dan penilaian fungsi kardiovaskuler.
Penilaian fungsi respirasi meliputi:
1. Frekuensi nafas
Takhipneu adalah manifestasi awal distress pernafasan pada bayi. Takhipneu tanpa tanda lain
berupa distress pernafasan merupakan usaha kompensasi terhadap terjadinya asidosis
metabolik seperti pada syok, diare, dehidrasi, ketoasidosis, diabetikum, keracunan salisilat,
dan insufisiensi ginjal kronik. Frekuensi nafas yang sangat lambat dan ireguler sering terjadi
pada hipotermi, kelelahan dan depresi SSP yang merupakan tanda memburuknya keadaan
klinik.
2. Mekanika usaha pernafasan
Meningkatnya usaha nafas ditandai dengan respirasi cuping hidung, retraksi dinding dada,
yang sering dijumpai pada obtruksi jalan nafas dan penyakit alveolar. Anggukan kepala ke
atas, merintih, stridor dan ekspansi memanjang menandakan terjadi gangguan mekanik usaha
pernafasan.
3. Warna kulit/membran mukosa
Pada keadaan perfusi dan hipoksemia, warna kulit tubuh terlihat berbercak (mottled), tangan
dan kaki terlihat kelabu, pucat dan teraba dingin.
Penilaian fungsi kardiovaskuler meliputi:
4. Frekuensi jantung dan tekanan darah
Adanya sinus tachikardi merupakan respon umum adanya stress, ansietas, nyeri, demam,
hiperkapnia, dan atau kelainan fungsi jantung.
5. Kualitas nadi
Pemeriksaan kualitas nadi sangat penting untuk mengetahui volume dan aliran sirkulasi
perifer nadi yang tidak adekwat dan tidak teraba pada satu sisi menandakan berkurangnya
aliran darah atau tersumbatnya aliran darah pada daerah tersebut. Perfusi kulit kulit yang
memburuk dapat dilihat dengan adanya bercak, pucat dan sianosis. Pemeriksaan pada
pengisian kapiler dapat dilakukan dengan cara:
1. Nail Bed Pressure( tekan pada kuku)
2. Blancing Skin Test,caranya yaitu dengan meninggikan sedikit ekstremitas
dibandingkan jantung kemudian tekan telapak tangan atau kaki tersebut selama 5
detik, biasanya tampak kepucatan. Selanjutnya tekanan dilepaskan pucat akan
menghilang 2-3 detik.
3. Perfusi pada otak dan respirasi
Gangguan fungsi serebral awalnya adalah gaduh gelisah diselingi agitasi dan letargi. Pada
iskemia otak mendadak selain terjadi penurunan kesadaran juga terjadi kelemahan otot,
kejang dan dilatasi pupil.
 Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan diagnostik meliputi pemeriksaan darah, urine, dan glukosa darah ( untuk
mengetahui hipoglikemia ). Kalsim serum ( untuk menentukan hipokalsemia ), analisis gas
darah arteri dengan PaO2 kurang dari 50 mmHg dan PCO2 diatas 60 mmHg, peningkatan
kadar kalium darah, pemeriksaan sinar-X menunjukkan adanya atelektasis,
lesitin/spingomielin rasio 2 :1 mengindikasikan bahwa paru sudah matur, pemeriksaan
dekstrostik dan fosfatidigliserol meningkat pada usia kehamilan 33 minggu.
PENATALAKSANAAN
Menurut Suriadi dan Yuliani (2001) dan Surasmi,dkk (2003) tindakan untuk mengatasi
masalah kegawatan pernafasan meliputi :
1. Mempertahankan ventilasi dan oksigenasi adekwat.
2. Mempertahankan keseimbangan asam basa.
3. Mempertahankan suhu lingkungan netral.
4. Mempertahankan perfusi jaringan adekwat.
5. Mencegah hipotermia.
6. Mempertahankan cairan dan elektrolit adekuat.

 Penatalaksanaan secara umum :


a. Pasang jalur infus intravena, sesuai dengan kondisi bayi, yang paling sering dan
bila bayi tidak dalam keadaan dehidrasi berikan infus dektrosa 5 %
 Pantau selalu tanda vital
 Jaga patensi jalan nafas
 Berikan Oksigen (2-3 liter/menit dengan kateter nasal)
b. Jika bayi mengalami apneu
 Lakukan tindakan resusitasi sesuai tahap yang diperlukan
 Lakukan penilaian lanjut
c. Bila terjadi kejang potong kejang
d. Segera periksa kadar gula darah
e. Pemberian nutrisi adekuat
Setelah menajemen umum, segera dilakukan menajemen lanjut sesuai dengan kemungkinan
penyebab dan jenis atau derajat gangguan nafas. Menajemen spesifik atau menajemen lanjut:

1. Gangguan nafas ringan


Beberapa bayi cukup bulan yang mengalami gangguan napas ringan pada waktu
lahir tanpa gejala-gejala lain disebut “Transient Tacypnea of the Newborn” (TTN).
Terutama terjadi setelah bedah sesar. Biasanya kondisi tersebut akan membaik dan
sembuh sendiri tanpa pengobatan. Meskipun demikian, pada beberapa kasus.
Gangguan napas ringan merupakan tanda awal dari infeksi sistemik.
2. Gangguan nafas sedang
 Lakukan pemberian O2 2-3 liter/ menit dengan kateter nasal, bila masih sesak
dapat diberikan O2 4-5 liter/menit dengan sungkup
 Bayi jangan diberi minukm
 Jika ada tanda berikut, berikan antibiotika (ampisilin dan gentamisin) untuk
terapi kemungkinan besar sepsis.
- Suhu aksiler > 39˚C
- Air ketuban bercampur mekonium
- Riwayat infeksi intrauterin, demam curiga infeksi berat atau ketuban
pecah dini (> 18 jam)
 Bila suhu aksiler 34- 36,5 ˚C atau 37,5-39˚C tangani untuk masalah suhu
abnormal dan nilai ulang setelah 2 jam:
- Bila suhu masih belum stabil atau gangguan nafas belum ada perbaikan,
berikan antibiotika untuk terapi kemungkinan besar sepsis
- Jika suhu normal, teruskan amati bayi. Apabila suhu kembali abnormal
ulangi tahapan tersebut diatas.
 Bila tidak ada tanda-tanda kearah sepsis, nilai kembali bayi setelah 2 jam
 Apabila bayi tidak menunjukan perbaikan atau tanda-tanda perburukan setelah
2 jam, terapi untuk kemungkinan besar sepsis
 Bila bayi mulai menunjukan tanda-tanda perbaikan kurangai terapi o2secara
bertahap . Pasang pipa lambung, berikan ASI peras setiap 2 jam. Jika tidak
dapat menyusu, berikan ASI peras dengan memakai salah satu cara pemberian
minum
 Amati bayi selama 24 jam setelah pemberian antibiotik dihentikan. Bila bayi
kembali tampak kemerahan tanpa pemberian O2 selama 3 hari, minumbaik dan
tak ada alasan bayi tatap tinggal di Rumah Sakit bayi dapat dipulangkan
 Amati pernafasan bayi setiap 2 jam selama 6 jam berikutnya.
 Bila dalam pengamatan ganguan nafas memburuk atau timbul gejala sepsis
lainnya. Terapi untuk kemungkinan besar sepsis dan tangani gangguan nafas
sedang dan dan segera dirujuk di rumah sakit rujukan.
 Berikan ASI bila bayi mampu mengisap. Bila tidak berikan ASI peras dengan
menggunakan salah satu cara alternatif pemberian minuman.
 Kurangi pemberian O2 secara bertahap bila ada perbaikan gangguan napas.
Hentikan pemberian O2 jika frekuensi napas antara 30-60 kali/menit.
Penatalaksanaan medis:
Gangguan nafas ringan
Pengobatan yang biasa diberikan selama fase akut penyakit RDS adalah:
 Antibiotika untuk mencegah infeksi sekunder
 Furosemid untuk memfasilitasi reduksi cairan ginjal dan menurunkan caiaran paru
 Fenobarbital
 Vitamin E menurunkan produksi radikalbebas oksigen
 Metil santin ( teofilin dan kafein ) untuk mengobati apnea dan untuk pemberhentian
dari pemakaian ventilasi mekanik. (cusson,1992)
 Salah satu pengobatan terbaru dan telah diterima penggunaan dalam pengobatan RDS
adalah pemberian surfaktan eksogen (derifat dari sumber alami misalnya manusia,
didapat dari cairan amnion atau paru sapi, tetapi bisa juga berbentuk surfaktan buatan)

2.5 HIPERBILIRUBINEMIA
Definisi
Hiperbilirubinemia adalah ikterus dengan konsentrasi bilirubin serum yang
menjurus ke arah terjadinya kern ikterus atau ensefalopati bilirubin bila kadar bilirubin
tidak dikendalikan (Mansjoer, 2008). Hiperbilirubinemia fisiologis yang memerlukan
terapi sinar, tetap tergolong non patologis sehingga disebut ‘Excess Physiological
Jaundice’. Digolongkan sebagai hiperbilirubinemia patologis (Non Physiological
Jaundice) apabila kadar serum bilirubin terhadap usia neonatus >95% menurut
Normogram Bhutani (Etika et al, 2006).
Gambar 1 Kadar serum bilirubin terhadap usia neonatus >95% menurut Normogram
Bhutani

Gambar 2 Kurva risiko ikterus berdasarkan American Academy of Pediatrics

Etiologi
Penyebab ikterus pada bayi baru lahir dapat berdiri sendiri ataupun dapat
disebabkan oleh beberapa faktor. Secara garis besar, ikterus neonatarum dapat dibagi:
1. Produksi yang berlebihan
Hal ini melebihi kemampuan bayi untuk mengeluarkannya, misalnya pada
hemolysis yang meningkat pada inkompatibilitas Rh, ABO, golongan darah lain,
defisiensi G6PD, piruvat kinase, perdarahan tertutup dan sepsis
2. Gangguan dalam proses uptake dan konjugasi hepar
Gangguan ini dapat disebabkan oleh imaturitas hepar, kurangnya substrat
untuk konjugasi bilirubin, gangguan fungsi hepar, akibat asidosis, hipoksia dan infeksi
atau tidak terdapatnya enzim glukorinil transferase (Sindrom Criggler-Najjar).
Penyebab lain adalah defisiensi protein Y dalam hepar yang berperanan penting dalam
uptake bilirubin ke sel hepar.
3. Gangguan transportasi
Bilirubin dalam darah terikat pada albumin kemudian diangkut ke hepar.
Ikatan bilirubin dengan albumin ini dapat dipengaruhi oleh obat misalnya salisilat,
sulfarazole. Defisiensi albumin menyebabkan lebih banyak terdapatnya bilirubin
indirek yang bebas dalam darah yang mudah melekat ke sel otak.
4. Gangguan dalam eksresi
Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar atau di luar hepar. Kelainan di
luar hepar biasanya diakibatkan oleh kelainan bawaan. Obstruksi dalam hepar
biasanya akibat infeksi atau kerusakan hepar oleh penyebab lain. (Hassan et al.2005)
Metabolisme bilirubin pada neonatus

Metabolisme Bilirubin digambarkan dalam beberapa tahap. Langkah oksidasi yang


pertama adalah biliverdin yang dibentuk dari heme dengan bantuan enzim heme
oksigenase yaitu suatu enzim yang sebagian besar terdapat dalam sel hati, dan organlain.
Pada reaksi tersebut juga terbentuk besi yang digunakan kembali untuk membentuk
hemoglobin dan karbon monoksida (CO) yang diekskresi kedalam paru. Biliverdin
kemudian akan direduksi menjadi bilirubin atau enzim biliverdin reduktase. Biliverdin
besifat larut dalam air dan secara cepat akan diubah menjadi bilirubin melalui reaksi
bilirubin reduktase. Berbeda dengan biliverdin, bilirubin bersifat lipofilik dan terikat
dengan hidrogen serta pada pH normal bersifat tidak larut. Jika tubuh akan
mengekskresikan , diperlukan mekanisme transpot dan eliminasi bilirubin. Pada masa
transisi setelah lahir , hepar belum berfungsi secara optimal, sehingga proses
glukuronidasi tidak terjadi secara optimal. Keadaan ini menyebabkan dominasi bilirubin
tak terkonjugasi dalam darah.
Pembentukan bilirubin yang terjadi di sistem retikuloendotelial, selanjutnya dilepaskan ke
sirkulasi yang akan berikatan dengan albumin. Neonatus mempunyai kapasitas ikatan
plasma yang rendah terhadap bilirubin karena konsentrasi albumin yang rendah dan
kapasitas ikatan molar yang kurang. Bilirubin yang terikat dengan albumin tidak dapat
memasuki susunan saraf pusat dan bersifat toksik.
Ikatan bilirubin-albumin menuju membran plasma hepatosit, albumin terikat dengan
reseptor permukaan sel. Kemudian bilirubin di transfer melalui sel membran yang
berikatan dengan ligandin. Bilirubin tak terkonjugasi dikonversi menjadi bilirubin yang
terkonjugasi yang larut dalam air di retikulum endoplasma dengan bantuan enzim uridine
diphosphate glucuronosyl transferase (UDPG-T) menjadi bilirubin monoglukoronidase
yang selanjutnya akan dikonjugasi menjadi bilirubin diglukoronida. Bilirubin ini
selanjutnya akan diekskresikan kedalam kanalikulus empedu. Sedangkan satu molekul
bilirubin tak terkonjugasi akan kembali ke retukulum endoplasmik untuk rekonjugasi
berikutnya. Bilirubin didalam kanalikulus empedu akan diekskresikan kedalam kantung
empedu yang kemudian memasuki saluran cerna dan diekskresikan melalui feses. Setelah
berada dalam usus halus, bilirubin yang tak terkojugasi tidak langsung dapat diresorbsi,
kecuali jika dikonversi kembali menjadi bentuk tidak terkonjugasi oleh enzim β-
gukoronidase yang berada dalam usus. Pada neonatus mukosa usus halus dan feses
neonatus mengandung enzim β-glukoronidase yang dapat menghidrolisa
monoglukoronida dan diglukoronida kembali menjadi bilirubin yang tak terkonjugasi
yang selanjutnya dapat diabsorbsi kembali dan lumen usus halus neonatus yang steril
menyebabkan bilirubin konjugasi tidak dapat diubah menjadi sterkobilin ( suatu produk
yang tidak dapat di absorbsi). Resorbsi kembali bilirubin dari saluran cerna akan kembali
ke hati untuk dikonjugasi kembali (sirkulasi enterohepatik ).

Klasifikasi
Terdapat 2 jenis ikterus yaitu yang fisiologis dan patologis.
1. Ikterus fisiologi
Ikterus fisiologi adalah ikterus yang timbul pada hari kedua dan hari ketiga
serta tidak mempunyai dasar patologi atau tidak mempunyai potensi menjadi karena
ikterus. Adapun tanda-tanda sebagai berikut :
a. Timbul pada hari kedua dan ketiga
b. Kadar bilirubin indirek tidak melebihi 10 mg% pada neonatus cukup bulan.
c. Kecepatan peningkatan kadar bilirubin tidak melebihi 5% per hari.
d. Kadar bilirubin direk tidak melebihi 1 mg%.
e. Ikterus menghilang pada 10 hari pertama.
f. Tidak terbukti mempunyai hubungan dengan keadaan patologis.
2. Ikterus Patologi
Ikterus patologis adalah ikterus yang mempunyai dasar patologis atau kadar
bilirubin mencapai suatu nilai yang disebut hiperbilirubinemia. Adapun tanda-
tandanya sebagai berikut :
a. Ikterus terjadi dalam 24 jam pertama.
b. Kadar bilirubin melebihi 10 mg% pada neonatus cukup bulan atau melebihi 12,5%
pada neonatus kurang bulan.
c. Pengangkatan bilirubin lebih dari 5 mg% per hari.
d. Ikterus menetap sesudah 2 minggu pertama.
e. Kadar bilirubin direk melebihi 1 mg%.
f. Mempunyai hubungan dengan proses hemolitik.
(Arief ZR, 2009. hlm. 29)
Manifestasi Klinis
Bayi baru lahir (neonatus) tampak kuning apabila kadar bilirubin serumnya kira-
kira 6mg/dl (Mansjoer at al, 2007). Ikterus sebagai akibat penimbunan bilirubin indirek
pada kulit mempunyai kecenderungan menimbulkan warna kuning muda atau jingga.
Sedangkan ikterus obstruksi (bilirubin direk) memperlihatkan warna kuningkehijauan atau
kuning kotor. Perbedaan ini hanya dapat ditemukan pada ikterus yang berat (Nelson,
2007).
Gambaran klinis ikterus fisiologis:
1. Tampak pada hari 3,4
2. Bayi tampak sehat (normal)
3. Kadar bilirubin total <12mg%
4. Menghilang paling lambat 10-14 hari
5. Tak ada faktor resiko
6. Sebab: proses fisiologis(berlangsung dalam kondisi fisiologis) (Sarwono et al, 1994)
Gambaran klinik ikterus patologis:
1. Timbul pada umur <36 jam
2. Cepat berkembang
3. Bisa disertai anemia
4. Menghilang lebih dari 2 minggu
5. Ada faktor resiko
6. Dasar: proses patologis (Sarwono et al, 1994)
Diagnosis
Anamnesis
a. Riwayat kehamilan dengan komplikasi(obat-obatan, ibu DM, gawat janin,
malnutrisi intrauterine, infeksi intranatal)
b. Riwayat persalinan dengan tindakan/komplikasi
c. Riwayat ikterus/terapi sinar/transfusi tukar pada bayi sebelumnya
d. Riwayat inkompatibilitas darah
e. Riwayat keluarga yang menderita anemia, pembesaran hepar dan limpa (Etika et
al, 2006).
Pemeriksaan fisik
Secara klinis, ikterus pada neonatus dapat dilihat segera setelah lahir atau
setelah beberapa hari. Amati ikterus pada siang hari dengan lampu sinar yang cukup.
Ikterus akan terlihat lebih jelas dengan sinar lampu dan bisa tidak terlihat dengan
penerangan yang kurang, terutama pada neonatus yang berkulit gelap. Penilaian
ikterus akan lebih sulit lagi apabila penderita sedang mendapatkan terapi sinar (Etika
et al, 2006).
Salah satu cara memeriksa derajat kuning pada neonatus secara klinis, mudah
dan sederhana adalah dengan penilaian menurut Kramer (1969). Caranya dengan jari
telunjuk ditekankan pada tempat-tempat yang tulangnya menonjol seperti tulang
hidung, dada, lutut dan lain-lain. Tempat yang ditekan akan tampak pucat atau kuning.
Penilaian kadar bilirubin pada masing-masing tempat tersebut disesuaikan dengan
tabel yang telah diperkirakan kadar bilirubinnya (Mansjoer et al, 2007).

Derajat Ikterus pada Neonatus menurut Kramer

Derajat Daerah Ikterus Perkiraan Kadar


Ikterus Bilirubin
I Kepala dan Leher 5 mg/dL
II Sampai badan Atas (diatas 9 mg/dL
umbilikus)
III Di bawah umbilikus dan 11,4 mg/dL
diatas lutut
IV Sampai pada lengan dan 12,4 mg/dL
tungkai bawah lutut
V Sampai telapak tangan dan 16 mg/dL
kaki
Waktu timbulnya ikterus mempunyai arti penting pula dalam diagnosis dan
penatalaksanaan penderita karena saat timbulnya ikterus mempunyai kaitan erat
dengan kemungkinan penyebab ikterus tersebut (Etika et al, 2006).

Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan serum bilirubin (direk dan indirek) harus dilakukan pada
neonatus yang mengalami ikterus. Terutama pada bayi yang tampak sakit atau bayi-
bayi yang tergolong resiko tingggi terserang hiperbilirubinemia berat.
Pemeriksaan tambahan yang sering dilakukan untuk evaluasi menentukan
penyebab ikterus antara lain adalah golongan darah dan ‘Coombs test’, darah lengkap
dan hapusan darah, hitung retikulosit, skrining G6PD dan bilirubin direk. Pemeriksaan
serum bilirubin total harus diulang setiap 4-24 jam tergantung usia bayi dan tingginya
kadar bilirubin. Kadar serum albumin juga harus diukur untuk menentukan pilihan
terapi sinar atau transfusi tukar (Etika et al, 2006).

Penegakan diagnosis ikterus neonatarum berdasarkan waktu kejadiannya:

Tabel Penegakan diagnosis ikterus neonatarum berdasarkan waktu kejadiannya


Penatalaksanaan
Pada dasarnya, pengendalian bilirubin adalah seperti berikut:
1. Stimulasi proses konjugasi bilirubin menggunakan fenobarbital. Obat ini kerjanya
lambat, sehingga hanya bermanfaat apabila kadar bilirubinnya rendah dan icterus yang
terjadi bukan disebabkan oleh proses hemolitik. Obat ini sudah jarang dipakai lagi.
2. Menambahkan bahan yang kurang pada proses metabolisme bilirubin (misalnya
menambahkan glukosa pada hipoglikemi) atau (menambahkan albumin untuk
memperbaiki transportasi bilirubin). Penambahan albumin bisa dilakukan tanpa
hipoalbuminemia. Penambahan albumin juga dapat mempermudah proses ekstraksi
bilirubin jaringan ke dalam plasma. Hal ini menyebabkan kadar bilirubin plasma
meningkat, tetapi tidak berbahaya karena bilirubin tersebut ada dalam ikatan dengan
albumin. Albumin diberikan dengan dosis tidak melebihi 1g/kgBB, sebelum maupun
sesudah terapi tukar.
3. Mengurangi peredaran enterohepatik dengan pemberian makanan oral dini
4. Memberi terapi sinar hingga bilirubin diubah menjadi isomer foto yang tidak toksik
dan mudah dikeluarkan dari tubuh karena mudah larut dalam air.
5. Mengeluarkan bilirubin secara mekanik melalui transfusi tukar (Mansjoer et al, 2007).
Pada umunya, transfusi tukar dilakukan dengan indikasi sebagai berikut:
 Pada semua keadaan dengan kadar bilirubin indirek ≤20mg%
 Kenaikan kadar bilirubin indirek yang cepat yaitu 0,3-1mg%/jam
 Anemia yang berat pada neonatus dengan gejala gagal jantung
 Bayi dengan kadar hemoglobin tali pusat <14mg% dan uji Coombs direct positif
(Hassan et al, 2005).
6. Menghambat produksi bilirubin. Metalloprotoporfirin merupakan competitor inhibitif
terhadap heme oksigenase. Ini masih dalam penelitian dan belum digunakan secara
rutin.
7. Menghambat hemolisis. Immunoglobulin dosis tinggi secara intravena (500-
1000mg/Kg IV>2) sampai 2 hingga 4 jam telah digunakan untuk mengurangi level
bilirubin pada janin dengan penyakit hemolitik isoimun. Mekanismenya belum
diketahui tetapi secara teori immunoglobulin menempati sel Fc reseptor pada sel
retikuloendotel dengan demikian dapat mencegah lisisnya sel darah merah yang
dilapisi oleh antibody (Cloherty et al, 2008).
Terapi sinar pada ikterus bayi baru lahir yang di rawat di rumah sakit. Dalam perawatan
bayi dengan terapi sinar, yang perlu diperhatikan sebagai berikut :
1. Diusahakan bagian tubuh bayi yang terkena sinar dapat seluas mungkin dengan
membuka pakaian bayi.
2. Kedua mata dan kemaluan harus ditutup dengan penutup yang dapat memantulkan
cahaya agar tidak membahayakan retina mata dan sel reproduksi bayi.
3. Bayi diletakkan 8 inci di bawah sinar lampu. Jarak ini dianggap jarak yang terbaik
untuk mendapatkan energi yang optimal.
4. Posisi bayi sebaiknya diubah-ubah setiap 18 jam agar bagian tubuh bayi yang terkena
cahaya dapat menyeluruh.
5. Suhu bayi diukur secara berkala setiap 4-6 jam.
6. Kadar bilirubin bayi diukur sekurang-kurangnya tiap 24 jam.
7. Hemoglobin harus diperiksa secara berkala terutama pada bayi dengan hemolisis.

Komplikasi
Terjadi kern ikterus yaitu kerusakan otak akibat perlengketan bilirubin indirek
pada otak. Pada kern ikterus, gejala klinis pada permulaan tidak jelas antara lain: bayi
tidak mau menghisap, letargi, mata berputar-putar, gerakan tidak menentu, kejang tonus
otot meninggi, leher kaku dan akhirnya opistotonus. Bayi yang selamat biasanya
menderita gejala sisa berupa paralysis serebral dengan atetosis, gangguan pendengaran,
paralysis sebagian otot mata dan dysplasia dentalis.

2.6. NEONATUS INFEKSIUS


Definisi
Infeksi Neonatus adalah infeksi pada bayi baru lahir selama periode neonatal (dari lahir
hingga hari ke 28 setelah lahir) (Patricia, 2013). Infeksi adalah invasi dan pembiakan
mikroorganisme di jaringan tubuh, yang secara klinis bisa tidak tampak, diikuti oleh respon
imun pejamu (host) berupa cedera seluler lokal akibat kompetisi metabolisme, toksin,
replikasi intrasel, dan respon antigen-antibodi.

Etiologi
a. Infeksi bakterial
Banyak bakteri dapat menyebabkan infeksi sistemik dengan infeksi dapat bersifat kongenital
maupun didapat seperti : Lysteria spp, Mycobacterium tuberkulosis, E coli, pneumokokus,
salmonela, enterokokus, streptokokus (sering Group β-Streptococcus/ GBS ) dan stafilokokus,
Pseudomonas spp dan Klebsiella. Selain menyebabkan infeksi sistemik, infeksipun dapat
bersifat lokal seperti terjadinya infeksi kulit, pneumoni, osteomielitis, artritis, otitis media,
infeksi pada saluran pencernaan dan urogenital.
b. Infeksi virus
Yang sering menyebabkan infeksi kongenital/transplasenta antara lain CMV/Cytomegalo
virus, Rubella, Parvo virus, HIV. Sedangkan yang sering menyebabkan infeksi yang didapat
antara lain Herpes simplex virus, Varicella-zoster virus, hepatitis, RSV/Respiratory syncial
virus.
c. Infeksi parasit / jamur
Sering disebabkan oleh kandida yang dapat bersifat infeksi lokal maupun sistemik, infeksi
biasanya adalah infeksi yang didapat. Infeksi kongenital yang sering ditemukan adalah
toxoplasma dan syphilis, keduanya sering menimbulkan kelainan/cacat kongenital.

Epidemiologi
Infeksi neonatus memiliki beragam insiden menurut definisinya, dari 1-4/1000 kelahiran
hidup di negara maju dengan fluktuasi yang besar sepanjang waktu dan tempat geografis.
Keragaman insidens dari rumah sakit ke rumah sakit lainnya dapat dihubungkan dengan
angka prematuritas, perawatan prenatal, pelakanaan persalinan dan kondisi lingkungan di
ruang perawatan. Angka kejadian infeksi neonatus meningkat secara bermakna pada bayi
dengan berat badan lahir rendah dan bila ada faktor resiko ibu atau tanda-tanda seperti
ketuban pecah lama (>18 jam), demam intrapartum ibu (>37,5oC), leukosit ibu (>18.000),
pelunakan uterus dan takikardia janin (>180 kali/menit).
Infeksi neonatus memiliki beragam faktor resiko diantaranya adalah faktor resiko dari host
meliputi jenis kelamin laki-laki, cacat imun didapat atau kongenital, galaktosemia, pemberian
zat besi intramuskuler, anomali kongenital, omfalitis dan kembar. Prematuritas merupakan
faktor resiko baik pada infeksi mulai-awal maupun mulai-akhir.

Patogenesis
Infeksi neonatus dapat terjadi segera atau lambat, kejadiannya sangat dipengaruhi oleh
paparan organisme pada saat lahir, walaupun dapat juga disebabkan oleh kualitas perawatan
bayi baru lahir atau keadaan lingkungan rumah. Onset infeksi neonatus sering dimulai dari
uterus dan biasanya disebabkan karena adanya infeksi bakteri pada traktus urogenitalia ibu.
Infeksi neonatus dapat terjadi akibat infeksi di daerah vagina. Demikian pula jika ibu
mengalami infeksi segera setelah melahirkan dengan suhu > 37,8 oC, maka sekitar 9,2 –
38,2% di antara bayi yang dilahirkan akan menderita infeksi neonatus.Bayi yang terinfeksi
akan menunjukkan gejala-gejala kardiorespirasi, seperti “ grunting “, takipneu dan sianosis
saat kelahiran.

Faktor- Faktor Predisposisi Infeksi Neonatus


1. Faktor neonatus
a. Maturitas
Maturitas adalah masa sejak terjadinya konsepsi sampai dengan saat kelahiran,
dihitung dari hari pertama haid terakhir. Bayi kurang bulan (preterm) memiliki
pertahanan imunitas yang lebih rendah dibanding bayi cukup bulan (aterm). Defisiensi
ini akan menurunkan aktivitas kemotaksis dan menurunkan kemampuan
mengopsonisasi mikroorganisme.
b. Jenis kelamin
Infeksi neonatus sering terjadi pada bayi laki-laki yaitu 4 kali lebih besar dibanding bayi
perempuan. Gen pada kromosom X mempengaruhi fungsi kelenjar timus dan sintesis Ig.
Perempuan mempunyai 2 kromosom X, hal ini menyebabkan lebih tahan terhadap
infeksi. Peneliti lain melaporkan bahwa rasio lecithin sphingomyelin dan konsentrasi
saturated phosphatidylcholine serta kortisol dalam cairan amnion pada kehamilan 28-40
minggu bayi perempuan lebih tinggi dibanding bayi laki-laki.
c. Berat lahir
Berat lahir berperan penting pada terjadinya infeksi neonatus. Studi Collaborative
Perinatal Research yang dilakukan oleh National Institute of Health Amerika Serikat
melaporkan bahwa Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) mempunyai resiko tinggi terjadi
infeksi dibanding bayi lahir lebih 2500 gram. Berat lahir merupakan faktor neonatus
terpenting yang memberi kecenderungan pada infeksi.
2. Faktor ibu/ maternal
a. Umur
Menurut Klaus dan Fanaroff, umur ibu < 20 tahun atau > 30 tahun merupakan faktor
predisposisi infeksi neonatus akibat komplikasi kehamilan dan persalinan.
b. Ras/ latar belakang etnis
Penelitian di New York menyatakan bahwa bayi kulit hitam lebih banyak mengalami
infeksi dibanding bayi kulit putih/ Hispanik.Meskipun status sosial ekonomi rendah
dihubungkan dengan kecenderungan peningkatan kolonisasi β -Streptococcus, wanita
keturunan Mexico-America dengan umur dan status sosial ekonomi sama lebih sedikit
mengalami pertumbuhan kolonisasi dibanding wanita kulit putih atau kulit hitam.
c. Cara persalinan
Prosedur yang dilaksanakan selama persalinan yaitu pemeriksaan vagina berlebihan,
partus tindakan, akan meningkatkan resiko infeksi pada neonatus. Penggunaan monitor
intra uteri bisa merupakan saluran masuk mikroorganisme dan dihubungkan dengan
resiko terinfeksi virus Herpes Simpleks.
3. Faktor lingkungan :
a. Alat-alat
Pemasangan respirator/ ventilator/ pemasangan pipa endotrakeal, pengambilan darah,
pungsi lumbal, dan cairan intravena memudahkan masuknya kuman/ flora bakteri
endogen, yang dapat menimbulkan pneumonia, sepsis.
b. Faktor geografi
Bakteri penyebab infeksi berbeda jenisnya antara satu rumah sakit dengan rumah sakit
lain atau antara satu negara dengan negara lain.6, Disebabkan perbedaan fasilitas
pelayanan kesehatan, budaya setempat, pelayanan perawatan, dan pola penggunaan
antibiotika. Faktor lain adalah jenis kolonisasi bakteri pada ibu hamil berbeda di setiap
negara.
c. Infeksi silang
Infeksi banyak terjadi di bangsal perawatan bayi baru lahir yang berasal dari orang
dewasa (termasuk ibu, perawat, dokter, mahasiswa, keluarga, atau pengunjung).12
Transmisi melalui droplet merupakan sumber infeksi terbanyak, baik berasal dari orang
dewasa maupun bayi lain.

Manifestasi Klinik
Manifestasi klinis dari infeksi neonatus di mulai tanpa gejala, tanda-tanda ringan, menggigit,
iritabel, letargi, gelisah, dan keinginan menyusu yang kurang dapat menjadi tanda-tanda
utama.Temperatur yang tidak stabil dapat meninggi atau kurang dari normal (biasanya
hipotermia terjadi pada bayi BBLR). Perubahan warna kulit, lambatnya waktu pengisian
kapiler, perubahan denyut jantung, frekuensi nafas, berat badan tiba-tiba turun, pergerakan
kurang, muntah dan diare menjadi nyata pada keadaan penyakit yang progresif. Selain itu,
dapat terjadi edema, salerema purpura atau perdarahan, ikterus, hepatosplenomegali, dan
kejang. Umumnya dapat dikatakan bila bayi itu “not doing well” kemungkinan besar ia
menderita infeksi.
Manifestasi lainnya adalah data laboratorium yang tidak stabil (khususnya hipoglikemia) dan
neptropenia. Diagnosis dapat dikonfirmasikasikan dengan kultur darah yang positif. Kultur ini
dapat memakan waktu 48 jam. Sedangkan perjalanan infeksi dapat mengakibatkan kematian
dalam beberapa jam.Oleh karena itu, kita harus memulai terapi antibiotik
secepatnya.Antibiotik dapat tidak dilanjutkan kultur darah negatif dan bayi tidak
menunjukkan gejala infeksi.
Neonatus terutama BBLR yang dapat tetap hidup selama 72 jam pertama dan bayi tersebut
menunjukkan gejala penyakit atau menderita penyakit kongenital tertentu. Namun tingkah
lakunya berubah dapat dicurigai terjadi infeksi.

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan untuk infeksi neonatus :
a. Pungsi lumbal
b. Preparat darah hapus, kultul darah, darah rutin, laju endap darah
c. Pemeriksaan sinar X

Diagnosis Infeksi Neonatus


Diagnosis infeksi pada neonatus ditegakkan atas dasar gejala klinis dan pemeriksaan
penunjang. Diagnosis ini tergantung pada isolasi agen etiologik dari darah, cairan spinal, air
kemih, atau cairan tubuh lain. Biakan dari bagian tubuh lainnya seperti aspirasi cairan selulitis
atau abses, usapan dari kotoran mata yang purulen, sekret di umbilikus dan luka sebaiknya
dilakukan pula, mengingat mikroorganisme pada bahan tersebut mungkin sesuai dengan
penyebab infeksi.
DAFTAR PUSTAKA

Aminullah, A. 2002.Asfiksia Neonatorum. Dalam; Ilmu Kebidanan, Yayasan Bina Pustaka


Sarwono Prawiroharjo, Jakarta, hal. 711.
Departemen Kesehatan R.I. 2005. Rencana Strategi Departemen Kesehatan. Jakarta: Depkes
RI
Departemen Kesehatan RI. 2009. Program kesehatan ibu, bayi baru lahir dan Anak HSP-
Health Service Program. Jakarta: Depkes RI
Ghai,O.P., Paul,V.K, Bagga, A., 2010. Essential Pediatrics. Seventh edition. 96-140.
Mochtar, R. 2008.Sinopsis Obstetri. Jakarta: EGC
Prambudi, R. 2013. Penyakit pada Neonatus. Dalam; Neonatologi Praktis. Anugrah Utama
Raharja. Cetakan Pertama. Bandar Lampung, hal. 57 - 62.
Prambudi, R. 2013.Prosedur Tindakan Neonatusi. Dalam; Neonatologi Praktis.Anugrah
Utama Raharja. Cetakan Pertama. Bandar Lampung, hal. 115 – 31.
Saifuddin, AB. 2009. Masalah Bayi Baru Lahir. Dalam; Buku Acuan Nasional Pelayanan
Kesehatan Maternal dan Neonatal.Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo. Cetakan
Kelima. Jakarta, hal. 347 – 54.

Anda mungkin juga menyukai