Anda di halaman 1dari 100

CASE REPORT

BBLR (BAYI BERAT LAHIR RENDAH)

Perceptor : 
dr. Leni Ervina, Sp.A (K) Neo
dr. Elvi Suryati, Sp. A

Oleh :

Adilla Kamilia, S.Ked


Benny Syahputra Gumay, S.Ked
Clarisa Rahmah, S.Ked
Inocentia Gita, S.Ked
Putu Devie Sri Astari , S.Ked

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN 
UNIVERSITAS LAMPUNG
2021
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.


Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT karena atas berkat dan rahmat-Nyalah
penulis dapat menyelesaikan Case Report dengan “BBLR (Bayi Berat Lahir Rendah)”.
Adapun penulisan Case Report ini merupakan bagian dari tugas Kepaniteraan Klinik di
Bagian Ilmu Kesehatan Anak dan Perinatologi di RSUD Dr. H. Abdoel Moeloek Provinsi
Lampung.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Leni Ervina, Sp.A (K) Neo dan dr. Elvi
Suryati, Sp.A selaku pembimbing yang telah meluangkan waktunya dalam menyelesaikan
tugas ini. Penulis menyadari banyak sekali kekurangan dalam penulisan Case Report ini.
Oleh karena itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan demi
kesempurnaan Case Report ini dan semoga dapat bermanfaat bagi pembaca.

WassalamualaikumWr. Wb.

Bandar Lampung, 26 September 2021

Penulis
STATUS PASIEN

No.Rekam Medik : 00.66.14.40


Masuk RSAM : 07 September 2021, 13.30 WIB

Anamnesis

Alloanamnesis

Identitas

Nama Pasien : By Ny Marsela Andriyani


Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 13 Hari (29 Agustus 2021)
Panjang Badan : 49 cm
Panjang Badan Lahir : 49 cm
Berat Badan Sekarang : 1700 g
Berat Badan Lahir : 1900 g
Agama : Islam
Suku : Lampung
Alamat : Desa Banjarmasin, Penengahan, Lampung Selatan
Nama Ayah : Tn. Arisia Kesuma
Umur : 24 Tahun
Pekerjaan : Wiraswasta
Pendidikan : SMA
Nama Ibu : Ny. Marsela Andriyani
Umur : 27 Tahun
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Pendidikan : SMA
Riwayat Penyakit

Keluhan Utama

Pasien sesak

Keluhan Tambahan
Pasien tampak lemah, tidak bisa menyusu, dan terdapat retraksi ringan pada dinding
dada.

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien merupakan bayi cukup bulan rujukan dari Rumah Sakit Umum Daerah Dr. H.
Bob Bazar, dikirim ke RSAM dengan keluhan utama sesak napas. Selain itu pada
pasien didapatkan keluhan tambahan yaitu bayi tampak lemah, tidak bisa menyusu, dan
terdapat retraksi ringan pada dinding dada. Ibu pasien mengatakan saat usia kandungan
6 bulan didiagnosis oleh dokter dengan plasenta previa dan disarankan untuk
melakukan persalinan secara sectio caesarea. Namun saat usia kandungan mencapai 37
minggu, ibu mengeluhkan perut kencang dan tak lama setelah itu ketuban pecah
sehingga langsung dibawa ke bidan dan telah bukaan 5. Pasien lahir tanggal 29 Agustus
2021, pukul 20.30 WIB di klinik bidan. Pasien lahir secara spontan dibantu oleh bidan
dengan BB lahir 1700, PB lahir 49 cm, langsung menangis, gerak aktif, dan kemerahan.
Tidak terdapat kelainan bawaan dan anus (+). Setelah persalinan, pasien dan ibu pulang
pada keesokan harinya. Tiga hari kemudian, pasien datang ke rumah sakit rujukan
RSUD Dr.H. Bob Bazar dengan keluhan tangis merintih dan tidak mau menyusu sejak
lahir, setelah 6 hari mendapatkan perawatan, pasien dirujuk ke RSAM untuk dirawat di
ruang perinatologi dan mendapatkan perawatan lebih lanjut. Kondisi bayi saat dirujuk
nadi 140x/m, suhu 36,7ͦC, frekuensi napas 40x/m. Tindakan yang telah dilakukan yaitu
pemasangan O2 nasal canule. Terapi yang telah diberikan IVFD D5 ¼ NS, injeksi
cefotaxime dan injeksi gentamicin. Saat ini bayi berusia 13 hari dan dilakukan
perawatan di ruang perinatologi dengan keadaan sesak, tampak lemah, tidak bisa
menyusu dan terdapat retraksi ringan pada dinding dada.
Riwayat Penyakit Dahulu
Tidak ada keluhan

Riwayat Penyakit Keluarga dan Lingkungan


Riwayat penyakit darah tinggi, diabete s, jantung, kelainan darah, melahirkan bayi kecil
premature disangkal.

Riwayat Makanan
0 – Sekarang : ASI dan susu formula

Riwayat Imunisasi (Di Bidan)


BCG :-
DPT :-
Campak :-
Hepatitis :-
Polio :-

Booster
Campak :-
DT :-
TD :-
Belum pernah diimunisasi

Riwayat Kehamilan dan Persalinan


 Riwayat Kehamilan: Ibu pasien tidak mengalami keluhan apapun selama kehamilan
namun ibu pasien mengatakan didiagnosis plasenta previa oleh dokter saat usia
kandungan 6 bulan. Ibu pasien rutin melakukan pemeriksaan ANC ke dokter setiap
bulan, sempat melakukan USG saat memeriksakan kandungannya dan rutin
mengkonsumsi tablet besi dan vitamin dari dokter. HPHT ibu 13 Desember 2020
dengan HPL 20 September 2021. Pada usia kehamilan 37 minggu, ibu pasien
mengalami pecah ketuban dan dibawa ke bidan.
 Riwayat Persalinan: G1P0A0, Ibu melahirkan pasien pada usia kehamilan 37
minggu dengan persalinan normal, pasien lahir dibantu oleh bidan dengan jenis
kelamin laki-laki, BBL = 1900 gram, PBL = 49 cm, warna kulit merah, bayi
langsung menangis dan bergerak aktif. Bayi tidak memiliki kelainan bawaan, anus
(+)

PEMERIKSAAN FISIK

Status Present
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis
Suhu : 32,5 oC
SpO2 : 97 %
Frekuensi nadi : 145 x/menit
Frekuensi napas : 50 x/menit
Tinggi badan : 49 cm
Berat badan : 1700 g
Lingkar Kepala : 31 cm
Lingkar Lengan : 10 cm

Status Generalis
Pucat : Tidak ada
Sianosis : Tidak ada
Ikterus : Tidak ada
Oedem : Ada
Turgor : Baik, kembali cepat
Kelenjar Getah Bening : Tidak ada pembesaran
Kepala
Rambut : Hitam lebat, tidak mudah dicabut
Ubun-ubun besar : Datar
Mata : Edema palpebra (- /- ), konjungtiva anemis (- /- ), sklera
ikterik (- /-)
Telinga : Sekret (-/- )
Hidung : Deviasi (- ), sekret (- /- ), napas cuping hidung (- )
Mulut : Sianosis (-), candidiasis (- ), bibir kering (-)

Leher
Bentuk : Simetris
Trakea : Ditengah, tidak ada deviasi
Kelenjar Getah Bening : Tidak ada perbesaran
Jugular Vein Pressure : Tidak ada peningkatan

Thoraks
Bentuk : Normochest, simetris
Retraksi suprasternal : Tidak ada
Retraksi substernal : Tidak ada
Retraksi intercostal : Ada
Retraksi subcostal : Ada

Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak thrill
Palpasi : Iktus kordis teraba di ICS V linea
midclavicula sinistra
Perkusi : Batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : Bunyi jantung I – II reguler, murmur (-),
gallop (-)
Paru-paru

Anterior Posterior

Sinistra Dextra Sinistra Dextra

Pergerakan dan Pergerakan dan


pengembangan dada pengembangan dada
I
sinistra = dextra sinistra = dextra
Retraksi (+) Retraksi (+)

Nyeri (-) Nyeri (-) Nyeri (-) Nyeri (-)


P

P - - - -

Vesikuler +/+ Vesikuler +/+ Vesikuler +/+ Vesikuler +/+


A Wheezing -/- Wheezing -/- Wheezing -/- Wheezing -/-
Ronkhi -/- Ronkhi -/- Ronkhi -/- Ronkhi -/-

Abdomen
Inspeksi : Datar
Auskultasi : Bising usus (+) 6x/menit
Perkusi :-
Palpasi : Nyeri tekan di seluruh lapang abdomen (-), massa (-),
hepatomegali (-), splenomegali (-)

Genitaliaeksterna : Tidak ada kelainan genitalia


Ekstermitas
Superior : Akral dingin, sianosis (-/-), edema (-/-), pucat (-/-),
Capillary Refill Time >3 detik
Inferior : Akral dingin, sianosis (-/-), edema (-/-), pucat (-/-),
Capillary Refill Time >3 detik

Status Neurologis
Motorik
Kekuatan : 5 5
5 5

Gerakan
Dekstra : Dalam batas normal
Sinistra : Dalam batas normal

Refleks Fisiologis : Positif/Positif

Refleks Patologis
Babinski : Positif/Positif
Chaddock : Negatif/Negatif
Gordon : Negatif/Negatif
Gonda : Negatif/Negatif
Schafer : Negatif/Negatif

Reflek moro : (+)


Reflek isap :(+) lemah
Reflek rooting : (+)
Reflek genggam plantar dan palmar : (+)
Total Score : 1 (Tidak ada gawat napas)

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Tanggal 07/09/2021

Hematologi Nilai Rujukan 07/09/2021


Hemoglobin 15 -24,6 g/dL 20,7
Leukosit 5000-21000 /ul 6200
Eritrosit 4,0 -6,8 juta/ul 5,7
Hematokrit 50-82 % 59
Trombosit 217.000 -497.000/µL 155.000
MCV 94-150 fL 104
MCH 29-45 pg 36
MCHC 24-36 g/dL 35
Hitung Jenis

Basofil 0-1 % 0

Eosinofil 0-1 % 0

Batang 0-8 % 0

Segmen 17-60 % 33

Limfosit 20-70 % 54

Monosit 1-11 % 13

07/09/2021
Gula Darah
< 140 mg/dL 13
Sewaktu

Kimia Nilai Rujukan 07/09/2021


Bilirubin Total < 12,6 mg/dL 10
Bilirubin Direk 0,0-0,2 mg/dL 1,3
Bilirubin Indirek 0,1-1,0 mg/dL 8,7
Albumin 3,5-5,2 g/dL 2,6
Natrium 132-142 mmol/L 136
Kalium 3,4-6,0 mmol/L 2,9
Calsium 7,6-10,4 mg/dL 8,6
Chlorida 97-108 mmol/L 107

Expertise dokter spesialis radiologi


Tanggal 08/09/2021
Kesan:
Infiltrat reticuler di perihiler kanan ec DD/ pneumonia
Tidak tampak kardiomegali, adanya CHD belum dapat disingkirkan

DIAGNOSIS KERJA
Berat Badan Lahir Rendah (BBLR)
Bronkopneumonia
Hipotermia
Hiperbilirubinemia
Hipoalbuminemia
Hipokalemia
Trombositopenia

PENATALAKSANAAN
1. IVFD D10% 12,6
2. Cefosulbac 95 mg/8 jam (iv)
3. Amikasin 14 mg/8 jam (iv)
4. Pemberian cairan enteral (susu 10 cc/3jam)
5. Albumin 3x8 cc selama 3 hari
6. KCl dalam NaCl 0,9% dalam 6 jam 0,55 cc/jam
PROGNOSIS
Quo ad Vitam : Dubia ad bonam
Quo adFunctionam : Dubia ad bonam
Quo adSanationam : Dubia ad bonam

TGL HASIL PEMERIKSAAN INSTRUKSI DOKTER


07/09/ S/ Pasien tidak mau menyusui P/
2021 • Terpasang O2 nasal canul
RPS : Pasien bayi rujukan dari Rumah
Sakit Umum Daerah Dr. H. Bob Bazar dan OGT

datang dengan keluhan tidak mau • IVFD D10% 12,6/jam


menyusui sejak 3 hari yang lalu. • Amikasin 14 mg/8jam
Keluhan disertai sesak, retraksi ringan • Cefosulbac 50 mg/8jam
pada dinding dada, dan ikterik pada • Puasa
pasien. asien bayi datang dengan • Atasi hipotermi dengan
bungkus pelastik dan
RPD : tidak ada keluhan. selimut
• Tunggu hasil lab dan baca
RPK dan Lingkungan : tidak ada rontgen

O/
Keadaan umum : Tampak sakit
sedang
Kesadaran: Compos Mentis
Suhu: 32,5 oC
SpO2: 97 %
Frekuensi nadi: 145 x/menit
Frekuensi napas: 50 x/menit
GDS : 13mg/dL
Tinggi badan: 49 cm
Berat badan: 1700 g
Lingkar Kepala : 31 cm
Lingkar Lengan: 10 cm

Kepala : Normocephal
Mata : Edema palpebra (-/-),
CA (-/-), SI (+/+)
Telinga : Sekret (-)
Hidung : Deviasi (-), sekret (-/-),
NCH (-)
Mulut : Sianosis (-), bibir
kering (-)
Leher : Simetris, Perbesaran
KGB (-)

Thorax
I: Pergerakan dan pengembangan
dada simetris, retraksi (+)
P : Fremitus taktil simetris, massa
(-)
P:-
A: Vesikuler (+/+), BJ I/II regular

Abdomen
I : Datar
A : BU (+)
P:-
P : Nyeri tekan (-)

Ekstremitas
Superior : Akral dingin, sianosis
(-/-), edema (-/-), CRT >3 detik,
anemis(-/-),
Inferior : Akral dingin, sianosis
(-/-), edema (-/-), CRT > 3 detik,
anemis(-/-)

A/ BBLR, Hiperbilirubinemia

08/09/ S/ sudah tidak hipotermi P/


2021 O/ • Pantau pola TTV dan pola
Keadaan umum : Tampak sakit suhu
sedang • PG2 11,8 /jam
Kesadaran: Compos Mentis • Memulai minum 10
Suhu: 36,5 oC cc/3jam
SpO2: 97 % • Koreksi KCl dalam NaCl
Frekuensi nadi: 145 x/menit 0,9% dalam 6 jam
Frekuensi napas: 50 x/menit 0,55cc/jam
GDS : 169 mg/dL • Koreksi albumin 3x8cc
Tinggi badan: 49 cm
Berat badan: 1700 g
Lingkar Kepala : 31 cm
Lingkar Lengan: 10 cm

Kepala : Normocephal
Mata : Edema palpebra (-/-),
CA (-/-), SI (+/+)
Telinga : Sekret (-)
Hidung : Deviasi (-), sekret (-/-),
NCH (-)
Mulut : Sianosis (-), bibir
kering (-)
Leher : Simetris, Perbesaran
KGB (-)
Thorax
I: Pergerakan dan pengembangan
dada simetris, retraksi (-)
P : Fremitus taktil simetris, massa
(-)
P:-
A: Vesikuler (+/+), BJ I/II regular

Abdomen
I : Datar
A : BU (+)
P:-
P : Nyeri tekan (-)

Ekstremitas
Superior : Akral hangat, sianosis
(-/-), edema (-/-), CRT < a3 detik,
anemis(-/-),
Inferior : Akral hangat, sianosis
(-/-), edema (-/-), CRT < 3 detik,
anemis(-/-)

A/ BBLR, Hiperbilirubinemia

09/09/ S/ - P/
2021 O/ • Pantau pola TTV
Keadaan umum : Tampak sakit • Pantau toleransi minum
sedang • PG2 7,4cc /jam
Kesadaran: Compos Mentis • Minum naik 15 cc/3jam
Suhu: 37,2 oC • Koreksi albumin ke-2
SpO2: 95 % 3x8cc
Frekuensi nadi: 144 x/menit
Frekuensi napas: 58 x/menit

Kepala : Normocephal
Mata : Edema palpebra (-/-),
CA (-/-), SI (-/-)
Telinga : Sekret (-)
Hidung : Deviasi (-), sekret (-/-),
NCH (-)
Mulut : Sianosis (-), bibir
kering (-)
Leher : Simetris, Perbesaran
KGB (-)

Thorax
I: Pergerakan dan pengembangan
dada simetris, retraksi (-)
P : Fremitus taktil simetris, massa
(-)
P:-
A: Vesikuler (+/+), BJ I/II regular

Abdomen
I : Datar
A : BU (+)
P:-
P : Nyeri tekan (-)

Ekstremitas
Superior : Akral hangat, sianosis
(-/-), edema (-/-), CRT < 3 detik,
anemis(-/-),
Inferior : Akral hangat, sianosis
(-/-), edema (-/-), CRT < 3 detik,
anemis(-/-)

A/ BBLR, Hiperbilirubinemia

10/9/ S/ - P/
2021 O/ Keadaan umum : Tampak sakit • Pantau pola TTV
sedang • Pantau toleransi minum
Kesadaran: Compos Mentis • PG2 5,2cc /jam
Suhu: 37,5 oC • Minum naik 20 cc/3jam
2
SpO : 97 % • Koreksi albumin ke-3
Frekuensi nadi: 146 x/menit 3x8cc
Frekuensi napas: 52 x/menit

Kepala : Normocephal
Mata : Edema palpebra (-/-),
CA (-/-), SI (-/-)
Telinga : Sekret (-)
Hidung : Deviasi (-), sekret (-/-),
NCH (-)
Mulut : Sianosis (-), bibir
kering (-)
Leher : Simetris, Perbesaran
KGB (-)

Thorax
I: Pergerakan dan pengembangan
dada simetris, retraksi (-)
P : Fremitus taktil simetris, massa
(-)
P:-
A: Vesikuler (+/+), BJ I/II regular

Abdomen
I : Datar
A : BU (+)
P:-
P : Nyeri tekan (-)

Ekstremitas
Superior : Akral hangat, sianosis
(-/-), edema (-/-), CRT < 3 detik,
anemis(-/-),
Inferior : Akral hangat, sianosis
(-/-), edema (-/-), CRT < 3 detik,
anemis(-/-)

11/9/ S/ - P/
2021 O/ Keadaan umum : Tampak sakit • Pantau pola TTV
sedang • Pantau toleransi minum
Kesadaran: Compos Mentis • Cek Lab darah
Suhu: 37,3 oC • PG2 3.8 cc /jam
SpO2: 99 % • Minum naik 25 cc/3jam
Frekuensi nadi: 142 x/menit • Pindah SCN
Frekuensi napas: 48 x/menit

Kepala : Normocephal
Mata : Edema palpebra (-/-),
CA (-/-), SI (-/-)
Telinga : Sekret (-)
Hidung : Deviasi (-), sekret (-/-),
NCH (-)
Mulut : Sianosis (-), bibir
kering (-)
Leher : Simetris, Perbesaran
KGB (-)

Thorax
I: Pergerakan dan pengembangan
dada simetris, retraksi (-)
P : Fremitus taktil simetris, massa
(-)
P:-
A: Vesikuler (+/+), BJ I/II regular

Abdomen
I : Datar
A : BU (+)
P:-
P : Nyeri tekan (-)

Ekstremitas
Superior : Akral hangat, sianosis
(-/-), edema (-/-), CRT < 3 detik,
anemis(-/-),
Inferior : Akral hangat, sianosis
(-/-), edema (-/-), CRT < 3 detik,
anemis(-/-)
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 BBLR

2.1.1 Definisi

Menurut World Health Organization (WHO) Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR)

didefinisikan sebagai bayi yang lahir dengan berat < 2500 gram (WHO, 2011).

BBLR dapat terjadi pada bayi kurang bulan/prematur atau disebut BBLR Sesuai

Masa Kehamilan (SMK)/Appropriate for Gestational Age (AGA), bayi cukup

bulan yang mengalami hambatan pertumbuhan selama kehamilan/Intra Uterine

Growth Restriction (IUGR) disebut BBLR Kecil Masa Kehamilan (KMK)/Small

for Gestational Age (SGA) dan besar masa kehamilan/Large for Gestational Age

(LGA) (Lee, 2008).

WHO juga mengatakan bahwa sebesar 60–80% dari Angka Kematian Bayi (AKB)

yang terjadi, disebabkan karena BBLR. BBLR memiliki risiko lebih besar untuk

mengalami morbiditas dan mortalitas dari pada bayi lahir yang memiliki berat

badan normal. Masa kehamilan yang kurang dari 37 minggu dapat menyebabkan

terjadinya komplikasi pada bayi karena pertumbuhan organ-organ yang berada

dalam tubuhnya kurang sempurna (Hartiningrum, 2018). BBLR disebabkan oleh

usia kehamilan yang pendek (prematuritas), IUGR (Intra Uterine Growth

Restriction) yang dalam bahasa Indonesia disebut Pertumbuhan Janin Terhambat

(PJT) atau keduanya. Kedua penyebab ini dipengaruhi oleh faktor risiko, seperti

faktor ibu, plasenta, janin dan lingkungan. Faktor risiko tersebut menyebabkan
kurangnya pemenuhan nutrisi pada janin selama masa kehamilan (Mahayana,

2015).

Klasifikasi BBLR menurut American Academy of Pediatrics (AAP):

1. Berdasarkan Masa Kehamilan/ Gestational Age yaitu:

a. Preterm/bayi kurang bulan, yaitu masa kehamilan <37 minggu (≤259

hari)

b. Late preterm, yaitu usia kehamilan 34-36 minggu (239-259 hari)

c. Early preterm, yaitu usia kehamilan 22-34 minggu

d. Term/bayi cukup bulan, yaitu usia kehamilan 37-41 minggu (260-294

hari)

e. Post term/bayi lebih bulan, yaitu usia kehamilan 42 minggu atau lebih

(≥295 hari).

2. Berdasarkan berat lahir/Birthweight


a. Berat lahir amat sangat rendah/Extremely low birthweight (ELBW), yaitu

bayi dengan berat lahir <1000 gram

b. Berat lahir sangat rendah/Very Low birthweigt (VLBW), yaitu bayi

dengan berat lahir <1500 gram

c. Berat lahir rendah/Low birthweight (LBW), yaitu bayi dengan berat lahir

<2500 gram

d. Berat Lahir Normal/Normal Brith Weight, yaitu 2500-3999 gram

3. Berdasarkan berat lahir dan masa kehamilan


a. Sesuai masa kehamilan/Appropriate for gestational age (AGA) adalah

berat lahir antara 10 persentil dan 90 persentil untuk usia kehamilan.

b. Kecil masa kehamilan/Small for gestational age (SGA)/IUGR adalah berat

lahir 2 standar deviasi dibawah berat badan rata-rata untuk masa kehamilan

atau dibawah 10 persentil untuk masa kehamilan. IUGR (Intrauterine

Growth Restriction)/pertumbuhan janin yang terhambat/terganggu adalah

kondisi janin yang mengalami gangguan pertumbuhan dalam rahim

(intrauterine). Kegagalan dalam pertumbuhan rahim yang optimal

disebabkan oleh suatu in utero.

4. Besar masa kehamilan/Large for Gestational Age (LGA)

LGA didefenisikan sebagai berat lahir 2 standar deviasi diatas rata-rata berat

untuk masa kehamilan atau di atas 90 persentil untuk masa kehamilan. LGA

dapat di lihat pada bayi yang ibunya mengalami diabetes, bayi dengan

sindrom Beckwith-Wiedeman dan sindrom lainya, bayi lebih bulan (usia

kehamilan > 42 minggu), dan bayi dengan hydrops fetalis. Bayi LGA juga

berhubungan dengan peningkatan berat badan ibu saat hamil, multiparitas,

jenis kelamin bayi laki-laki, penyakit jantung bawaan, khusunya perubahan

pada arteri besar, displasia sel, dan etnik tertentu (hispanik) (Gomella, 2013).

2.1.2 Patofisiologi

Secara umum bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) ini berhubungan

dengan usia kehamilan yang belum cukup bulan (prematur), padahal hampir

semua lemak, glikogen, dan mineral, contohnya zat besi, kalsium, fosfor dan seng
dideposit selama 8 minggu terakhir untuk bayi, BBLR disamping itu juga

disebabkan terjadinya dismaturitas, yang berarti bayi lahir cukup bulan (usia

kehamilan >37 minggu), tapi berat badan lahirnya lebih kecil disbanding masa

kehamilannya, yaitu kurang dari 2.500 gram. Masalah ini dapat terjadi karena

adanya gangguan pertumbuhan bayi pada saat dalam kandungan yang disebabkan

oleh penyakit-penyakit ibu contohnya apabila ada kelainan plasenta, infeksi,

hipertensi dan keadaan-keadaan lain yang dapat mengakibatkan nutrisi yang

diperoleh bayi jadi tidak adekuat.

Gizi yang adekuat dan tercukupi sangat diperlukan ibu hamil agar janin tidak

mengalami hambatan pada pertumbuhannya sehingga ibu dapat melahirkan bayi

dengan berat badan lahir normal. Kondisi ibu hamil yang baik, sistem reproduksi

ibu hamil normal, tidak sedang sakit, dan juga tidak ada gangguan gizi sebelum

maupun ketika hamil, maka ibu akan melahirkan bayi lebih besar dan sehat

dibanding ibu hamil dengan kondisi kehamilan sebaliknya. Ibu hamil dengan

kondisi kurang giziyang cukup kronis ketika hamil dikatakan lebih berisiko

melahirkan bayi BBLR, vitalitas renda, serta prevalensi kematian meningkat,

terlebih lagi apabila si ibu mengalami kadar hemoglobin rendah atau anemia. Ibu

hamil umumnya mengalami penyusutan besi maka hanya akan memberi sedikit

besi kepada janin yang dibutuhkan untuk metabolisme besi yang normal. Zat besi

yang inadekuat dapat menimbulkan hambatan pada pertumbuhan janin baik sel

tubuh maupun otak. Anemia gizi juga dapat berujung kematian janin didalam

kandungan, kelainan bawaan, terjadi aborsi dan lahirnya bayi dengan BBLR oleh

sebab itu dapat menyebabkan morbiditas dan mortalitas ibu, kematian perinatal
secara bermakna lebih tinggi, dan melahirkan bayi BBLR dan premature juga

akan lebi besar (Abdul, 2009).

2.1.3 Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis BBLR secara umum adalah:

-   Berat kurang dari 2500 gram

-   Panjang kurang dari 45 cm

-  Lingkar dada kurang dari 30 cm

-  Lingkar kepala kurang dari 33 cm

-  Umur kehamilan kurang dari 37 minggu

-  Kepala lebih besar

-  Kulit tipis, transparan, rambut lanugo banyak, lemak kurang

-  Otot hipotonik lemah

-  Pernapasan tak teratur dapat terjadi apnea

-  Eksremitas: paha abduksi, sendi lutut / kaki fleksi-lurus

-  Kepala tidak mampu tegak

 -  Pernapasan 40 – 50 kali / menit

-  Nadi 100 – 140 kali / menit

Gambaran klinis BBLR secara khusus


1.      BB kurang dari 2500 gr, PB kurang dari 45 cm, lingkar kepala

kurang dari 33 cm, lingkar dada kurang 30 cm.

2.      Umur kehamilan kurang dari 37 mg.

3.      Kepala relatif lebih besar dari pada badannya.

4.      Rambut tipis dan halus, ubun-ubun dan sutura lebar.

5.      Kepala mengarah ke satu sisi.

6.      Kulit tipis dan transparan, lanugo banyak, lemak subkutan kurang,

sering tampak peristaltik usus.

7.      Tulang rawan dan daun telinga imatur.

8.       Puting susu belum terbentuk dengan baik.

9.       Pergerakan kurang dan lemah.

10.   Reflek menghisap dan menelan belum sempurna.

11.   Tangisnya lemah dan jarang, pernapasan masih belum teratur.

12.   Otot-otot masih hipotonis sehingga sikap selalu dalam keadaan

kedua paha abduksi, sendi lutut dan pergelangan kaki fleksi atau lurus.

13.   Genetalia belum sempurna, labia minora belum tertutup oleh labia

mayor (pada wanita), dan testis belum turun (pada laki laki).

2.1.4 Faktor Resiko

Menurut Manuaba (2006), faktor-faktor yang dapat menyebabkan terjadinya


Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) adalah:

1. Faktor Ibu

Faktor-faktor dari ibu seperti umur, jumlah paritas, gizi yang kurang/malnutrisi,

penyakit yang menyertai kehamilan (hipertensi, jantung, gangguan pembuluh

darah), trauma, kelelahan, ibu yang perokok atau pengguna obat terlarang dan

mengkonsumsi alkohol bisa menyebabkan terjadinya kelahiran BBLR. Umur ibu

waktu hamil dan jarak kehamilan yang terlalu dekat dapat meyebabkan seorang

ibu melahirkan BBLR yaitu usia <16 tahun atau >36 tahun serta jarak < 1 tahun

(Kemenkes RI, 2011).

a. Umur Ibu

Menurut Sitanggang et. al (2003), umur adalah lama waktu hidup atau ada

(sejak dilahirkan atau diadakan). Prawirohardjo (1999) dalam kaitannya

dengan hamil dan melahirkan mengelompokkan umur menjadi 2 yaitu

umur yang aman untuk kehamilan dan persalinan adalah 20-30 tahun dan

umur yang tidak aman yaitu <20 tahun dan >30 tahun. Berdasarkan ciri-ciri

setiap masa periode perencanaan keluarga usia reproduksi menurut

Saifuddin (2001), terbagi 3 macam yaitu:

1) Masa menunda kesuburan (kehamilan) dibawah 20 tahun.

2) Masa mengatur kesuburan (menjarangkan kehamilan) 20-30 tahun.

3) Masa mengakhiri kesuburan (tidak hamil lagi) diatas 30 tahun.

Umur ditinjau dari faktor risiko menurut Manuaba (2006), umur pada ibu

hamil dibagi menjadi:

1) Umur ibu kurang dari 20 tahun

2) Umur ibu lebih dari 35 tahun.


b. Paritas

Paritas adalah jumlah anak yang telah dilahirkan oleh seorang ibu baik lahir

hidup maupun lahir mati (Prawirohardjo, 1999). Menurut (Prawirohardjo,

1999), paritas dapat dibedakan menjadi primipara, multipara, dan

grandemultipara.

 Primipara adalah wanita yang telah melahirkan seorang anak, yang

cukup besar untuk hidup di dunia luar.

 Multipara adalah wanita yang telah melahirkan seorang anak lebih dari

satu kali dan kurang dari empat kali.

 Grandemultipara adalah wanita yang telah melahirkan 4 orang anak atau

lebih dan biasanya mengalami penyulit dalam kehamilan dan persalinan.

Setiap kehamilan yang disusul dengan persalinan akan menyebabkan

perubahan-perubahan pada uterus. Kehamilan yang berulang akan

mengakibatkan kerusakan pada pembuluh darah dinding uterus yang

mempengaruhi sirkulasi nutrisi ke janin dimana jumlah nutrisi akan

berkurang bila dibandingkan dengan kehamilan sebelumnya. Keadaan ini

menyebabkan gangguan pertumbuhan janin (Prawirohardjo, 1999).

Kehamilan dan persalinan yang paling aman untuk bayi dan ibu adalah

persalinan yang kedua dan ketiga (Perinasia, 1994).

Resiko kesehatan ibu dan anak meningkat pada persalinan pertama,

keempat dan seterusnya. Kehamilan dan persalinan pertama meningkatkan


resiko kesehatan yang timbul karena ibu belum pernah mengalami

kehamilan sebelumnya, selain itu jalan lahir baru akan dicoba dilalui janin.

Sebaliknya bila terlalu sering melahirkan rahim akan menjadi semakin

melemah karena jaringan parut uterus akibat kehamilan berulang. Jaringan

parut ini menyebabkan tidak adekuatnnya persediaan darah ke plasenta

sehingga plasenta tidak mendapat aliran darah yang cukup untuk

menyalurkan nutrisi ke janin akibatnya pertumbuhan janin terganggu

(Depkes RI, 2011).

b. Jarak Melahirkan

Jarak kehamilan ialah periode waktu antara berakhirnya suatu kehamilan

terdahulu dengan kehamilan berikutnya (Utami, 2007). Menurut

Abdoerrachman et al. (2002), angka kejadian prematuritas tertinggi pada

multigravida yang jarak antar kelahirannya terlalu dekat. Jarak kehamilan

terlalu dekat maupun jauh bisa membahayakan ibu dan janin. Idealnya

tidak kurang dari 9 bulan hingga 24 bulan. Jarak kehamilan yang pendek

akan menyebabkan seorang ibu belum cukup waktu untuk memulihkan

kondisi tubuhnya setelah melahirkan sebelumnya. Ibu hamil dalam kondisi

tubuh kurang sehat inilah yang merupakan salah satu faktor penyebab

kematian ibu dan bayi yang dilahirkan serta risiko terganggunya sistem

reproduksi. Sistem reproduksi yang terganggu akan menghambat

pertumbuhan dan perkembangan janin yang dikandungnya sehingga

berpengaruh terhadap berat lahir (Trihardiani, 2011).


c. Status Gizi Ibu

Status gizi ibu pada waktu pembuahan dan selama hamil dapat

mempengaruhi pertumbuhan janin yang sedang dikandung. Selain itu gizi

ibu hamil menentukan berat badan bayi yang dilahirkan, maka pemantauan

gizi ibu hamil sangatlah penting dilakukan. Penilaian status gizi wanita

hamil meliputi evaluasi terhadap faktor resiko, diet, pengukuran

antropometri dan biokimiawi. Penilaian tentang asupan pangan dapat

diperoleh melalui recall 24 jam (Arisman, 2007). Pengukuran antropometri

merupakan salah satu cara untuk menilai status gizi ibu hamil. Ukuran

antropometri ibu hamil yang paling sering digunakan adalah kenaikan berat

badan ibu hamil dan ukuran lingkar lengan atas (LLA) selama kehamilan.

Pengukuran fisik ibu hamil secara spesifik dengan antropometri yaitu:

1) LILA

Antropometri yang dapat menggambarkan keadaan status gizi ibu hamil

dan untuk mengetahui resiko Kekurangan Energi Kalori (KEK) atau gizi

kurang. Ibu yang memiliki ukuran Lingkar Lengan Atas (LILA) di

bawah 23,5 cm berisiko melahirkan bayi BBLR. Pengukuran LILA

lebih praktis untuk mengetahui status gizi ibu hamil karena alat ukurnya

sederhana dan mudah di bawa ke mana saja, dan dapat dipakai untuk ibu

dengan kenaikan berat badan yang ekstrim. (Setianingrum, 2005).

Pengukuran LILA dengan menggunakan pita LILA dengan

ketelitian 0,1 cm dan ambang batas LILA WUS dengan resiko KEK

di Indonesia adalah 23,5 cm. Apabila kurang dari 23,5 cm, artinya

wanita tersebut mempunyai resiko KEK, dan diperkirakan akan


melahirkan bayi dengan BBLR. BBLR mempunyai resiko kematian, gizi

kurang, gangguan pertumbuhan dan gangguan perkembangan anak.

2) Indeks Masa Tubuh sebelum kehamilan

Indek masa tubuh merupakan salah satu metode pengukuran

antropometri yang digunakan berdasarkan rekomendasi

tubuh merupakan alat yang sederhana untuk memantau status gizi orang

dewasa (usia 18 tahun ke atas), khususnya yang berkaitan dengan

kekurangan dan kelebihan BB. IMT tidak dapat diterapkan pada bayi,

anak, remaja, ibu hamil dan olahragawan. Juga tidak dapat diterapkan

pada keadaan khusus (penyakit) seperti edema, asites dan hepatomegali.

Di Indonesia, IMT dimodifikasi berdasarkan pengalaman klinis dan

hasil penelitian di beberapa negara berkembang. Status gizi ibu hamil

sangat mempengaruhi pertumbuhan janin dalam kandungan, apabila

status gizi ibu buruk, baik sebelum kehamilan atau pada saat kehamilan

akan menyebabkan berat badan lahir rendah (BBLR). Disamping itu

akan mengakibatkan terlambatnya pertumbuhan otak janin, anemia pada

bayi baru lahir, bayi baru lahir mudah terinfeksi, abortus dan

sebagainya. Kondisi anak yang terlahir dari ibu yang kekurangan gizi

dan hidup dalam lingkungan yang miskin akan menghasilkan generasi

kekurangan gizi dan mudah terkena penyakit infeksi. Keadaan ini

biasanya ditandai dengan berat dan tinggi badan yang kurang optimal

(Supariasa, 2001).
3) Pertambahan berat badan selama kehamilan

Peningkatan berat badan sangat menentukan kelangsungan hasil akhir

kehamilan. Bila ibu hamil kurus atau gemuk sebelum hamil akan

menimbulkan resiko pada janin terutama apabila peningkatan atau

penurunan sangat menonjol. Bila sangat kurus maka akan melahirkan

bayi berat badan rendah (BBLR), namun berat badan bayi dari ibu hamil

dengan berat badan normal atau kurus, lebih dipengaruhi oleh

peningkatan atau penurunan berat badan selama hamil (Salmah dkk,

2006).

Tabel 1 Peningkatan Berat Badan Selama Kehamilan

IMT (kg/m2) Total kenaikan berat Selama trimester II

badan yang disarankan dan III


Kurus 12,7 – 18,1 kg 0,5 kg/minggu

(IMT < 18,5)


Normal 11,3 – 15, 9 kg 0,4 kg/minggu

(MT 18,5 – 22,9)


Overweight 6,8 – 11,3 kg 0,3 kg/minggu

(IMT 23 – 29,9)
Obesitas 0,2 kg/minggu

(IMT ≥ 30)
Bayi kembar 15,9 – 20,4 kg 0,7 kg/ minggu
Sumber : Proverawati, 2009

Berat ibu hamil harus bertambah sesuai umur kehamilannya.

Pertambahan berat yang normal akan menghasilkan anak yang normal

juga. Apabila pertambahan berat terlalu rendah akibat kekurangan zat


gizi, janin juga akan mengalami kekurangan gizi dan berisiko lebih

besar melahirkan bayi dengan berat lahir rendah (BBLR). Wanita

dengan berat yang kurang lebih sering melahirkan BBLR dibandingkan

wanita lainnya pada usia reproduksi yang aman. Penambahan berat

yang kurang dari normal berisiko keguguran, lahir prematur dan BBLR

(Paath, 2005). Menurut Prawirohardjo (1991) rata-rata kenaikan berat

ibu hamil adalah 6,5-16 kg. Adapun menurut WHO penambahan berat

ibu hamil yang normal yaitu 10 kg sampai dengan <15 kg. Defisiensi

mikronutrien selama kehamilan serta penambahan berat yang tidak

memadai memiliki dampak terhadap neonatal dan bayi yaitu berupa

kelahiran premature, bayi berat lahir rendah (BBLR), dan kelahiran

cacat (WHO, 2014). Sedangkan untuk kehamilan kembar penambahan

berat ibu antara 18-23 kg selama kehamilannya (Gopar, 2009).

d. Tingkat Pendidikan

Penelitian Dahlui et al. (2013) menyimpulkan bahwa ada hubungan

pendidikan dengan kejadian berat bayi lahir rendah dengan nilai p = 0,002.

Tingkat pendidikan merupakan faktor yang mendasari pengambilan

keputusan. Pendidikan menentukan kemampuan menerima dan

mengembangkan pengetahuan dan teknologi. Semakin tinggi pendidikan

ibu akan semakin mampu mengambil keputusan bahwa pelayanan

kesehatan selama hamil dapat mencegah gangguan sedini mungkin bagi ibu

dan janinnya. Pendidikan juga sangat erat kaitannya dengan tingkat

pengetahuan ibu tentang perawatan kehamilan.

e. Pelayanan Antenatal
Pelayanan antenatal (Antenatal care / ANC) adalah pelayanan kesehatan

yang diberikan kepada ibu selama masa kehamilannya. Walaupun

pelayanan antenatal selengkapnya mencakup banyak hal yang meliputi

anamnesis, pemeriksaan fisik (umum dan kebidanan), pemeriksaan

laboratorium atas indikasi, serta intervensi dasar khusus (sesuai resiko yang

ada). Namun dalam penerapan operasionalnya dikenal standar minimal

“7T” untuk pelayanan antenatal, yang meliputi timbang berat badan ukur

tinggi badan, (Ukur) Tekanan darah, (Pemberian imunisasi) Tetanus

toksoid (TT) lengkap, (Ukur) Tinggi fundus uteri, (Pemberian) Tablet zat

besi minimal 90 tablet selama kehamilan, Tes terhadap penyakit menular

seksual, dan temu wicara dalam rangka persiapan rujukan. Pelayanan

antenatal yang tidak memenuhi standar minimal “7T” tersebut belum

dianggap pelayanan antenatal. Selain itu, pelayanan antenatal ini hanya

dapat diberikan oleh tenaga profesional dan tidak dapat dilakukan oleh

dukun bayi. Ditetapkan pula bahwa frekuensi pelayanan antenatal adalah

minimal 4 kali selama kehamilan, dengan ketentuan waktu: minimal 1 kali

pada triwulan pertama, minimal 1 kali pada triwulan kedua serta minimal 2

kali pada triwulan ketiga. Standar waktu pelayanan antenatal tersebut

ditentukan untuk menjamin mutu pelayanan, khususnya dalam memberi

kesempatan yang cukup dalam menangani kasus resiko tinggi ditemukan

(Depkes RI, 2009).


Hasil penelitian Fonseca (2014) menunjukkan bahwa jumlah kunjungan

antenatal berhubungan dengan BBLR. Hal ini dikarenakan ibu yang

melakukan kunjungan antenatal secara rutin dapat memperoleh informasi

kesehatan, baik kesehatan ibu maupun kesehatan janindari petugas

kesehatan secara detail. Kunjungan ANC salah satunya dipengaruhi oleh

pendidikan yang rendah.

f. Tingkat Ekonomi

Secara tidak langsung tingkat ekonomi ibu hamil akan memengaruhi

kejadian BBLR, karena umumnya ibu-ibu dengan penghasilan keluarga

rendah akan mempunyai intake makanan yang lebih rendah baik secara

kualitas maupun secara kuantitas, yang akan berakibat terhadap rendahnya

status gizi ibu hamil tersebut. Keadaan status gizi ibu yang buruk berisiko

melahirkan bayi dengan BBLR dibandingkan dengan bayi yang dilahirkan

ibu dengan status gizi baik. Hal senada juga diungkapkan oleh Kardjati

(1985) dalam Suriani 2010 bahwa faktor penghasilan berperan dalam

meningkatkan risiko kejadian BBLR. Beberapa alasan diantaranya adalah

kesulitan dalam pemenuhan kebutuhan kalori, disamping juga karena ibu-

ibu yang miskin sebelumnya juga kurang gizi.

g. Anemia Ketika Hamil

Anemia dapat didefenisikan sebagai kondisi dengan kadar Hb berada

dibawah normal. Di Indonesia anemia umumnya disebabkan oleh

kekurangan zat besi, sehingga lebih dikenal dengan istilah Anemia Gizi

Besi. Anemia defisiensi besi merupakan salah satu gangguan yang paling

sering terjadi selama kehamilan. Ibu hamil umumnya mengalami deplesi


besi sehingga hanya memberi sedikit besi kepada janin yang dibutuhkan

untuk metabolisme besi yang normal. Selanjutnya mereka akan menjadi

anemia pada saat kadar hemoglobin ibu turun sampai dibawah 11 gr/dl

selama trimester III (Lubis,1999).

Anemia gizi dapat mengakibatkan kematian janin didalam kandungan,

abortus, cacat bawaan, BBLR, anemia pada bayi yang dilahirkan. Hal ini

menyebabkan morbiditas dan mortalitas ibu dan kematian perinatal secara

bermakna lebih tinggi. Karena selama hamil zat- zat gizi akan terbagi untuk

ibu dan untuk janin yang dikandungnya. Pada ibu hamil yang menderita

anemia berat dapat meningkatkan risiko morbiditas maupun mortalitas ibu

dan bayi, kemungkinan melahirkan bayi BBLR dan prematur juga lebih

besar (Lubis,1999).

Menurut Manuaba (1998), diagnosis anemia pada ibu hamil dapat

dilakukan dengan anamnesa. Pada anamnesa akan didapatkan keluhan

cepat lelah, sering pusing, mata berkunang-kunang, dan keluhan mual-

muntah lebuh hebat pada hamil muda. Pemeriksaan dan pengawasan

hemoglobin dapat dilakukan dengan menggunakan alay ahli. Pemeriksaan

darah dilakukan minimal dua kali selama kehamilan yaitu pada trimester I

dan trimester III. Dengan pertimbangan bahwa sebagian besar ibu hamil

mengalami anemia, maka dilakukan pemberian preparat Fe sebanyak 90

tablet pada ibu-ibu hamil di puskesmas.


Menurut Depkes RI (2011), bahwa anemia berdasarkan hasil pemeriksaan

digolongkan menjadi:

1) Hb ≥ 11,0 gr/dl disebut tidak anemia.

2) Hb 9,0 gr/dl – 10,9 gr/dl disebut anemia sedang.

3) Hb ≤ 8,9 gr/dl disebut anemia berat.

h. Riwayat Kehamilan Terdahulu

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa ibu yang pernah melahirkan

BBLR mempunyai risiko 2-5 kali lebih tinggi untuk melahirkan BBLR

pada kelahirannya berikutnya dibandingkan ibu yang tidak pernah

melahirkan BBLR. Demikian halnya ibu dengan riwayat solusio plasenta

memiliki kemungkinan besar untuk melahirkan prematur (Institute of

Medicine, 1985).

i. Penyakit dan Infeksi

Menurut Kardjati (1985) penyakit dan infeksi selama masa kehamilan

dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan janin. Penyakit yang

disebabkan oleh virus seperti Rubella dan Cytamegalovirus dapat

mengurangi suplai darah ke janin yang berakibat pada berat bayi tidak

normal dan gangguan pertumbuhan organ tubuh (Prawirohardjo, 1991).

Demikian pula dengan penyakit seperti hipertensi, Diabetes Mellitus,

penyakit ginjal kronik diduga sangat erat kaitannya dengan kejadian

BBLR. Kelainan ketuban seperti hidramnion atau oligohydramnion juga

bisa menyebabkan kehariran premature (Prawirohardjo, 1991). Gangguan

sirkulasi oksigen dan makanan dari ibu ke janin seringkali


terganggu pada keadaan Eklampsia/Preeklampsia sehingga kelahiran

prematur dan BBLR lebih sering ditemukan (Taber, 1994).

Preeklamsia merupakan kelainan multi-sistemik yang terjadi pada

kehamilan yang ditandai dengan adanya hipertensi, edema dan dapat

disertai dengan proteinuria yang biasa terjadi di usia kehamilan 20 minggu

keatas atau dalam triwulan ketiga dari kehamilan, tersering pada usia

kehamilan 37 minggu, ataupun dapat juga terjadi segera setelah persalinan.

Preeklampsia merupakan sindroma spesifik kehamilan yang terutama

berkaitan dengan berkurangnya perfusi organ akibat vasispame dan

aktivasi endotel, yang bermanifestasi dengan adanya peningkatan tekanan

darah dan proteinuria (Lalenoh, 2018). Proteinuria dalam hal ini adalah

adanya 300mg atau lebih protein urine per 24 jam atau 30mg/dL(1+ pada

dipstick) dalam sampel urine acak (Leveno, 2009).

Klasifikasi preklampsia dibagi menjadi 2 kelompok yaitu:

1) Preeklampsia Ringan

Preeklampsia ringan adalah timbulnya hipertensi disertai proteinuria dan

atau odema setelah umur kehamilan 20 minggu atau segera setelah

kehamilan. Gejala klinis preeklampsia ringan yaitu:

a) Kenaikan tekanan darah sistol 30 mmHg / lebih, diastole 15 mmHg /

lebih dari tekanan darah sebelum hamil pada kehamilan 20 minggu /

lebih atau sistol 140 mmHg sampai kurang 160 mmHg, diastole 90

mmHg sampai kurang 110 mmHg


b) Proteinuria secara kuantitatif lebih 0,3gr/liter dalam 24 jam atau

secara kualitatif positif 2 (+2)

c) Edema pada pretibia, dinding abdomen, lumbosakral, wajah atau

tangan.

2) Preeklampsia Berat

Preeklampsia berat adalah suatu komplikasi kehamilan yang ditandai

dengan timbulnya hipertensi 160/110 mmHg atau lebih disertai

proteinuria dan / atau edema pada kehamilan 20 minggu atau lebih.

Gejala dan tanda preeklampsia berat yaitu :

a) Tekanan darah sistolik >160 mmHg; tekanan diastolik >110 mmHg

b) Peningkatan kadar enzim hati atau / ikterus ; trombosit <

100.000/mm3

c) Oliguria < 400 ml/24 jam

d) Proteinuria >3gr/liter

e) Nyeri epigastrium; skotom dan gangguan visus lain atau nyeri

frontal yang berat; perdarahan retina; edema pulmonum (Rukiyah

dan Yulianti, 2019).

Preeklampsia adalah suatu gangguan yang muncul pada kehamilan yang

umumnya terjadi pada usia kehamilan >20 minggu. Gejala umum adalah

tingginya tekanan darah, pembengkakan yang tak kunjung sembuh dan

tingginya protein dalam urine. Penyebab jelas preeklampsia masih belum

diketahui. Preeklampsia dapat mencegah plasenta mendapat asupan darah

yang cukup, sehingga janin dapat kekurangan oksigen dan nutrisi.


Dampak yang dapat terjadi pada janin yaitu menimbulkan rendahnya

berat badan bayi saat dilahirkan dan masalah lainnya seperti kelahiran

kurang bulan sampai kematian saat kelahiran (perinatal death)

(Kumalasari dkk, 2018).

j. Pekerjaan

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pekerjaan atau aktivitas bagi ibu

hamil adalah apakah aktivitasnya berisiko bagi kehamilan. Pekerjaan pada

ibu hamil dengan beban atau aktivitas yang terlalu berat dan berisiko akan

mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan janin dalam rahim karena

adanya hubungan aksis fetoplasenta dan sirkulasi retroplasenta yang

merupakan satu kesatuan. Bila terjadi gangguan atau kegagalan salah satu

akan menimbulkan risiko pada ibu (gizi kurang atau KEK dan anemia) atau

pada janin (BBLR). Contoh aktivitas yang berisiko bagi ibu hamil adalah

aktivitas yang meningkatkan stress, seorang wanita yang bekerja pabila

mengalami stress terutama pada saat hamil secara tidak langsung akan

mempengaruhi perilaku wanita tesebut terhadap kehamilannya. Misalnya

dalam melakukan perawatan kehamilannya, wanita hamil yang berada

dalam keadaan stress akan mempengaruhi perilakunya dalam intake nutrisi

untuk diri dan janin yang dikandungnya (Yuliva et al., 2009).

Benerjee (2009) dalam Sujoso (2011) mengemukakan bahwa wanita

bekerja yang sedang hamil membutuhkan perlindungan khusus.

Perlindungan khusus ini diperlukan karena beberapa alasan. Pertama, pada

fase terjadinya perkembangan embrio lebih rentan terhadap agen


toksik dibandingkan dengan ibu yang terpapar. Kedua, pada beberapa jenis

pekerjaan dirasa kurang sesuai dikerjakan oleh seorang wanita. Ketiga,

kehamilan mungkin menurunkan kapasitas kemampuan menangani

permasalahan kerja. Keempat, wanita cenderung kurang memperhatikan

dirinya dibandingkan pria.

Substansi bahaya di tempat kerja dapat masuk pada pekerja melalui tiga

cara yaitu pernapasan, kontak melalui kulit dan melalui pencernaan. Wanita

pekerja yang sedang hamil harus lebih berhati-hati mengenai bahaya pada

kesehatan reproduksi. Beberapa bahan kimia dapat beredar di dalam darah

ibu, melalui plasenta dan menjangkau perkembangan janin. Agen

berbahaya lainnya yaitu agen biologi seperti bakteri, virus, cacing yang

dapat mempengaruhi secara keseluruhan pada kesehatan wanita dan

mengurangi transport makanan ke janin sehingga menyebabkan bayi

dengan berat lahir rendah (Sujoso, 2011).

k. Merokok

Perilaku merokok berhubungan dengan berkurangnya berat bayi yang

dilahirkan dan dengan insiden persalinan preterm (Ladewig et al., 2005).

Selain berisiko mengalami penyakit kardiovaskuler, penyakit paru

obstruktif dan kangker paru, wanita yang merokok selama kehamilan juga

merisikokan janinnya mengalami penurunan perfusi uteroplasenta dan

penurunan oksigenasi. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh

Rasyid et al. (2012) menunjukkan bahwa keterpaparan asap rokok


selama hamil member pengaruh terhadap kejadian BBLR dengan besar

risiko 4,2 kali lebih besar dibandingkan dengan ibu yang tidak terpapar.

Nikotin pada rokok menimbulkan kontriksi pembuluh darah, akibatnya

aliran darah ke janin melalui tali pusat janin akan berkurang sehingga

mengurangi kemampuan distribusi zat makanan yang diperlukan oleh

janin. Ibu hamil yang merokok mulai trimester I memiliki risiko 30%

melahirkan bayi BBLR. Ibu hamil yang merokok sampai trimester ke II

memiliki risiko 70% melahirkan bayi BBLR, sedangkan yang merokok

selama kehamilannya memiliki risiko 90% melahirkan bayi BBLR

(Amiruddin, 2007).

l. Faktor plasenta

Faktor plasenta disebabkan oleh hidramnion, plasenta previa, solutio

plasenta, sindrom tranfusi bayi kembar (sindrom parabiotik), ketuban pecah

dini. Hubungan Plasenta Previa dengan BBLR pada ibu bersalin dengan

riwayat kehamilan mengalami plasenta previa memungkinkan terjadinya

perdarahan yang dapat berakibat anemia pada ibu akan menyebabkan

gangguan ke plasenta yang mengakibatkan suplai nutrisi dan O2 ke janin

terhambat sehingga pertumbuhan bayi juga terhambat, sehingga beresiko

bayi lahir dengan berat badan lahir rendah (BBLR). Plasenta previa masih

menjadi faktor risiko terpenting terjadinya BBLR. Hal ini disebabkan

karena dengan kurangnya suplai nutrisi dan O2 ke janin maka sistem

metabolisme pada janin mengalami gangguan dan tidak bekerja secara


optimal yang menyebabkan kebutuhan nutrisi dan O2 janin tidak terpenuhi.

Oleh karena itu pertumbuhan janin terhambat dan mengalami berat badan

lahir rendah (BBLR) (Proverawati, 2010).

2. Faktor Kehamilan

Hidramnion bisa menyebabkan BBLR. Kehamilan ganda, perdarahan antepartum

dan komplikasi kehamilan seperti pre eklampsi/eklampsia juga menyebabkan

terjadinya BBLR. Hal ini terjadi karena adanya gangguan sirkulasi yang

mengakibatkan kurangnya asupan nutrisi bagi janin (Kemenkes RI, 2011).

Kehamilan ganda yaitu kehamilan dimana jumlah janin yang dikandung lebih

dari satu (Maryunani, 2013). Laju morbiditas dan mortalitas meningkat secara

signifikan pada kehamilan dengan janin ganda. Laju mortalitas perinatal lebih

tinggi dan adanya peningkata risiko persalinan preterm dengan masalah yang

berhubungan dengan prematuritas. Kehamilan ganda meningkatkan insidensi

IUGR, kelainan congenital dan presentasi abnormal. Bagi ibu kehamilan ganda

dapat menyebabkan peningkatan rasa ketidaknyamanan fisik selama kehamilan,

seperti pernapasan pendek, sakit punggung, edema kaki juga terjadi peningkatan

insidensi PIH (Pregnancy Induced Hypertension), anemia serta plasenta previa

(Ladewig et al., 2005). Komplikasi kehamilan seperti perdarahan,

preeklampsia/eklampsia, ketuban pecah dini. Perdarahan dibedakan dalam dua

kelompok utama yaitu perdarahan antepartum dan perdarahan postpartum

(Maryunani, 2013).
3. Faktor Janin

Faktor dari janin sendiri seperti adanya kecacatan/kelainan bawaan

dan infeksi dalam rahim juga bisa menyebabkan terjadinya BBLR

(Manuaba, 2006). Cacat bawaan yaitu keadaan janin yang cacat

sebagai akibat pertumbuhan janin di dalam kandungan tiak sempurna

(Depkes, 2009). Adapun menurut Prawirohardjo (1991) menyatakan

ada banyak faktor yang mempengaruhi kelahiran prematur/BBLR,

antara lain :

a. Faktor ibu seperti riwayat kelahiran prematur sebelumnya,

perdarahan antepartum, malnutrisi, kelainan uterus, hidramnion,

penyakit kronik, hipertensi, umur ibu <20 tahun atau >35 tahun,

jarak kehamilan yang terlalu dekat, infeksi, trauma, dan lain-lain

b. Faktor janin antara lain kecacatan, kehamilan kembar, hidramnion,

ketuban pecah dini, infeksi;

c. Keadaan sosial ekonomi yang rendah.

d. Kebiasaan seperti pekerjaan yang melelahkan, merokok dan

minum-minuman keras.

2.1.5 Anamnesis

Penegakkan diagnosis BBLR adalah dengan mengukur berat lahir bayi

dalam jangka waktu 1 jam setelah lahir. Hal ini dapat diketahui dengan

melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.

Langkah pertama dalam menegakkan diagnosis BBLR diawali dengan

anamnesis dan pemeriksaan fisis yang teliti. Informasi anamnesis


meliputi riwayat kehamilan dan faktor-faktor apa saja yang berpengaruh

dengan kejadian BBLR. Riwayat yang perlu ditanyakan pada ibu dalam

anamnesa untuk menegakkan mencari etiologi dan faktor-faktor yang

berpengaruh terhadap terjadinya BBLR yaitu :

1) Umur ibu

2) Riwayat hari pertama haid terakhir

3) Riwayat persalinan sebelumnya

4) Kenaikan berat badan selama kehamilan

5) Aktifitas

6) Penyakit yang diderita selama kehamilan

7) Obat-obatan yang diminum selama hamil

8) Riwayat pernikahan dan lama menikah

9) Jarak kehamilan sebelumnya

10) Riwayat penggunaan alat kontrasepsi

11) Komplikasi obstetrik yang didapat

Bayi lahir dengan berat lahir rendah (BBLR) merupakan masalah

kesehatan yang sering dialami pada sebagian masyarakat yang ditandai

dengan berat lahir kurang dari 2500 gram. Kejadian BBLR pada

dasarnya berhubungan dengan kurangnya pemenuhan nutrisi pada masa

kehamilan ibu dan hal ini berhubungan dengan banyak faktor dan lebih

utama pada masalah perekonomian keluarga sehingga pemenuhan

kebutuhan konsumsi makanan pun kurang. Kejadian BBLR juga dapat

terjadi tidak hanya karena aspek perekonomian, kejadian BBLR dapat


saja tejadi pada mereka dengan status perekonomian yang cukup. Hal

ini dapat berkaitan dengan paritas, jarak kelahiran, kadar hemoglobin

dan pemanfaatan pelayanan antenatal.

BBLR termasuk faktor utama dalam peningkatan mortalitas, morbiditas

dan disabilitas neonatus, bayi dan anak serta memberikan dampak

jangka panjang terhadap kehidupannya di masa depan. BBLR yang

tidak ditangani dengan baik dapat mengakibatkan timbulnya masalah

pada semua sistem organ tubuh meliputi gangguan pada pernapasan

(aspirasi mekonium, asfiksia neonatorum), gangguan pada sistem

pencernaan (lambung kecil), gangguan sistem perkemihan (ginjal belum

sempurna), gangguan sistem persyarafan (respon rangsangan lambat).

Selain itu bayi berat lahir rendah dapat mengalami gangguan mental

dan fisik serta tumbuh kembang. BBLR berkaitan dengan tingginya

angka kematian bayi dan balita, juga dapat berdampak serius pada

kualitas generasi mendatang, yaitu akan memperlambat pertumbuhan

dan perkembangan anak, serta berpengaruh pada penurunan kecerdasan.

2.1.6 Pemeriksaan Fisik

Yang dapat dijumpai pada pemeriksaan fisik antara lain:

1) Berat badan kurang dari 2.500 gram, panjang badan kurang dari 45

cm, lingkar dada kurang dari 30 cm, lingkar kepala kurang dari 33

cm

2) Kulit tipis dan keriput, mengkilap dan lemak dibawah tubuh sedikit

3) Jaringan payudara belum terbentuk sempurna, hanya terlihat titik


4) Genutalia perempuan belum terbentuk sempurna sehingga labia

mayor belum menutupi labia minor

5) Genitalia laki-laki belum matang sehingga skrotum belum banyak

lipatan dan biasanya testis masih diatas belum masuk kedalam

skrotum

6) Tulang rawan telinga masih lunak karena belum terbentuk sempurna

7) Rajah pada 1/3 anterior telapak kaki

8) Pemeriksaan maturitas pada bayi baru lahir dinilai dengan Ballard

Score, biasanya ditemukan tanda imaturitas pada bayi

9) Tanda-tanda prematuritas (pada bayi kurang bulan)

 Tulang rawan telinga belum terbentuk

 Masih terdapat lanugo

 Refleks-refleks masih lemah

 Alat kelamin luar : pada perempuan labium mayus belum

menutup labium minus. Pada laki-laki belum terjadi penurunan

testis dan kulit testis rata (rugae testis belum terbentuk).

10) Tanda bayi cukup bulan atau lebih bulan (bila bayi kecil untuk masa

kehamilan janin tumbuh lambat)

 Tidak dijumpai tanda prematuritas seperti tersebut diatas

 Kulit keriput

 Kuku lebih panjang

2.1.7 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain :


1) Pemeriksaan skor ballard

2) Tes kocok (shake test), dianjurkan untuk bayi kurang bulan

3) Pemeriksaan darah rutin glukosa darah terhadap hipoglikemia,

kadar elektrolit dan analisa gas darah

4) Titer Torch sesuai indikasi

5) Pemeriksaan kromosom sesuai indikasi

6) Foto thorax ataupun babygram diperlukan pada BBL dengan umur

kehamilan kurang bulan dimulai pada umur 8 jam atau didapat atau

diperkirakan atau terjadi sindrom gawat napas.  

7) USG kepala terutama pada bayi dengan umur kehamilan 35 minggu

2.1.8 Pencegahan

Upaya-upaya yang dapat dilaksanakan untuk mencegah terjadinya BBLR

(Hassan, 2005) :

a. Upaya agar melaksanakan antenatal care yang baik, segera

melakukan konsultasi dan merujuk bila ibu terdapat kelainan.

b. Meningkatkan gizi masyarakat sehingga dapat mencegah terjadinya

persalinan dengan BBLR.

c. Tingkatkan penerimaan keluarga berencana.

d. Anjurkan lebih banyak istirahat, bila kehamilan mendekati aterm,

atau istirahat berbaring bila terjadi keadaan yang menyimpang dari

kehamilan normal.
e. Tingkatkan kerjasama dengan dukun beranak yang masih mendapat

kepercayaan masyarakat.

2.1.9 Penatalaksanaan

1. Indikasi rawat:

a. Semua bayi berat lahir kurang dari 1.500 gram

b. Usia gestasi ≤35 minggu

c. Bayi dengan komplikasi

d. Perawatan:

e. Dirawat dalam inkubator, jaga jangan sampai hipotermi, suhu bayi

36,5-37,5oC

f. Perawatan Metode Kangguru Intermitten

g. Bayi dengan distres pernapasan pengobatan lihat bab distres

pernapasan.

h. Tentukan usia gestasi

i. Bayi BB ≥1.500 gram tanpa asfiksia dan tak ada tanda-tanda distres

pernapasan dirawat gabung

j. Bila bayi <1.500 gram, pindah rawat bagian IKA dan beri ASI/LLM

k. Bayi-bayi KMK (Kecil Masa Kehamilan) diberi minum lebih dini (2

jam setelah lahir)

l. Periksa gula darah dengan dekstrostik bila ada tanda-tanda

hipoglikemia

Kebutuhan cairan setiap kgBB/24 jam


• Hari ke 1 : 80 cc
• Hari ke 2 : 100 cc

• Hari ke 3 : 120 cc

• Hari ke 4 : 130 cc

• Hari ke 5 : 135 cc

• Hari ke 6 : 140 cc

• Hari ke 7 : 150 cc

• Hari ke 8 : 160 cc

• Hari ke 9 : 165 cc

• Hari ke 10 : 170 cc

• Hari ke 11 : 175 cc

• Hari ke 12 : 180 cc

• Hari ke 13 : 190 cc

• Hari ke 14 : 200 cc

Jenis Cairan IVFD :

• BB ≥2.000 gram : dekstrose 10% 500 cc + Ca glukonas 10%

• BB <2.000 gram : dekstrose 7½% 500 cc + Ca glukonas 10%

Kebutuhan Ca glukonas/hari : 5 cc / kg BB

 Mulai hari ke-2 baru ditambahkan NaCl 15 % 6 cc/kolf dan KCl

sesuai kebutuhan.

 Hari kedua diberi protein 1 gram/kgBB/hari, dinaikkan perlahan-lahan

1½ gram, 2 gram, 2½ gram, 3 gram/kgBB/hari.

 Pada bayi tanpa distres pernapasan (RR <60 x/menit) dapat langsung

diberi minum per oral dengan menghisap sendiri atau dengan

nasogastrik drip. Bila bayi tidak mentolerir semua kebutuhan peroral,


maka diberikan sebanyak yang dapat ditoleransi lambungnya dan

sisanya diberikan dengan IVFD.

 Pemberian minum tiap 2-3 jam pada bayi dengan BB <1.500 gram

secara sonde lambung, kemudian dilanjutkan dengan menghisap

langsung ASI dari ibu, secara bertahap 1 x/hari dilanjutkan 2-3 x/hari

dan seterusnya akhirnya sampai penuh sampai bayi dipulangkan.

 Bayi dengan masa gestasi <32 minggu diberikan:

- Theophilin per oral dosis awal 6 mg dan dilanjutkan 1,5 mg/kgBB/kali

tiap 8 jam sampai masa gestasi 34 minggu atau kafein sitrat 5 mg

/kgBB/hari maksimal 10 mg/kg BB/hari

- Theophilin juga diberikan pada bayi dengan masa gestasi 33 -34

minggu bila bayi tersebut apnu yang disertai bradikardia dan sianosis.

- Bila bayi belum bisa makan per oral dapat juga diberikan aminophylin

IV dosis awal 7-8 mg/kgBB dilanjutkan dosis 2 mg/kgBB tiap 8 jam.

2. Pemantauan saat dirawat

a. Tumbuh kembang

1. Pantau berat badan bayi secara periodik

2. Bayi akan kehilangan berat badan selama 7-10 hari pertama (sampai

10 % untuk bayi dengan berat lahir ≥ 1500 gram dan 15% untuk bayi

dengan berat lahir.

3. Bila bayi sudah mendapatkan ASI secara penuh (ada semua kategori

berat lahir) dan telah berusia lebih dari 7 hari :

 Tingkatkan jumlah ASI dengan 20 ml/kgBB/hari sampai tercapai

jumlah 180ml/kgBB/hari
 Tingkatkan jumlah ASI sesuai dengan peningkatan berat badan bayi

agar jumlah pemberian ASI tetap 180 ml/kgBB/hari

 Apabila kenaikan berat badan tidak adekuat, tingkatkan jumlah

pemberian ASI hingga 200ml/kgBB/hari

 Ukur berat badan setiap hari, panjang badan dan lingkar kepala setiap

minggu

3. Pemantauan setelah pulang

Diperlukan setelah pulang untuk mengetahui perkembangan bayi dan

mencegah/mengurangi kemungkinan untuk terjadinya komplikasi

setelah pulang sebagai berikut :

a. Sesudah pulang hari ke-2, ke-10, ke-20, ke-30, dilanjutkan setiap

bulan

b. Hitung umur koreksi

c. Pertumbuhan, berat badan, panjang badan dan lingkar kepala

d. Tes perkembangan, denver development screening test (DDST)

e. Awasi kelainan bawaan

f. Mengajarkan ibu atau orangtua cara :

1. Membersihkan jalan napas

2. Mempertahankan suhu tubuh

3. Mencegah terjadinya infeksi

4. Perawatan bayi sehari-hari :

a) Memandikan

b) Perawatan tali pusat

c) Pemberian ASI
g). Menjelaskan pada ibu (orangtua)

1. Pemberian ASI

2. Makanan bergizi bagi ibu

3. Mengikuti program KB segera mungkin

h) Observasi keadaan umum bayi selama 3 hari, apabila tidak ada

perubahan atau keadaan umum semakin menurun bayi harus dirujuk

ke Rumah Sakit. Berikan penjelasan kepada keluarga bahwa anaknya

harus dirujuk ke Rumah Sakit.

3.Terapi Antibiotika:

 Cefosulbac (sefoperazon Sulbaktam) merupakan antibiotik

sefalosporin generasi ke tiga yang menghambat pembentukan

dinding sel bakteri, sedangkan sulbactam bekerja dengan cara

menghambat kerja enzim beta lactamase, yaitu enzim pertumbuhan

bakteri yang bisa menurunkan efek cefoperazone. Dengan kombinasi

kedua obat ini, efektivitasnya dalam mengatasi infeksi bakteri akan

meningkat. Cefosulbac digunakan untuk mengatasi infeksi saluran

napas atas dan bawah; Infeksi saluran urin atas dan bawah.Infeksi

peritonitis, kolesistisis, kolangitis, dan infeksi intra abdomen lainnya;

Infeksi kulit dan jaringan lunak. Pemakaian obat ini dapat

menyebabkan defisiensi vitamin K pada beberapa pasien. Pemakaian

pada bayi baru lahir: Pada minggu pertama kelahiran, obat diberikan

setiap 12 jam. Dosis maksimum perhari sulbaktam untuk bayi adalah

80 mg/kg bb per hari.

 Ampisilin sulbaktam merupakan obat yang paling sering dipakai oleh


pasien neonatus di NICU, sekaligus obat yang paling banyak

menimbulkan kejadian drug related problems (DRP) efek samping

potensial dan satu-satunya obat yang menimbulkan efek samping

aktual berupa rash. Obat ini paling banyak digunakan karena

ampisilin merupakan antibiotika broad spectrum yang digunakan

sebagai terapi profilaksis maupun terapi pemeliharaan pada neonatus

yang lahir dengan risiko infeksi. Penggunaan ampisilin sul-baktam

sebagai terapi terhadap risiko infeksi pada neonatus sebenarnya

belum tercantum dalam literatur maupun pedoman terapi, yang

disarankan adalah penggunaan ampisilin tunggal. Namun pada

beberapa jurnal dilaporkan bahwa mulai terjadi resistensi terhadap

antibiotika golongan betalaktam pada neonatus, karenanya kombinasi

betalaktam/ penghambat betalaktamase memegang peranan penting

untuk mempertahankan kegunaan agen betalaktam, salah satu yang

disarankan untuk digunakan adalah ampisilin sulbaktam. Sulbaktam

sebagai penghambat betalaktamase secara struktur mirip dengan

penisilin tetapi mempunyai rantai samping yang dimodifikasi yang

memungkinkannya untuk berperan sebagai penghambat, berikatan

secara ireversibel dengan betalaktamase dan membuatnya tidak aktif.

Oleh karena itu pemecahan antibiotik oleh betalaktamase dapat

dicegah dan aktivitas bakterisidal dapat dipertahankan.

 Penelitian yang dilakukan di Ilorin, Nigeria pada tahun 2002

mengenai bakteri patogen dan pola sensitivitas antibiotika, bakteri

gram negatif basili menunjukkan sensitivitas sebesar 69,2 % terhadap


ampisilin sulbaktam, organisme gram positif menunjukkan

sensitivitas 85% terhadap ampisilin sulbaktam. Organisme yang

paling sering berperan pada sepsis onset awal adalah bakteri gram

negatif basili.

 Gentamisin banyak diguna-kan karena obat ini diindikasikan

pemakaiannya sebagai terapi profilaksis pada neonatus yang lahir

dengan risiko infeksi. Pada neonatus prematur, klirens gentamisin

bergantung pada gestational age, dengan titik potong pada usia 30

minggu. Neonatus yang lebih muda memiliki klirens gentamisin

yang lebih rendah, volume distribusi yang sedikit lebih tinggi, dan

t1/2 yang lebih lama dibandingkan dengan neonatus yang lebih tua.

 Amikasin diindikasikan pada neonatus yang mengalami sepsis

dengan dosis 7,5 mg/kgBB/hari single dose IM atau IV. Amikasin

menjadi pilihan setelah pemberian gentamisin dikarenakan amikasin

efektif pada infeksi yang disebabkan kuman yang telah resisten

terhadap gentamisin. Amikasin memiliki t1/2 yang lebih panjang

pada neonatus daripada dewasa normal yaitu 4 – 5 jam pada neonatus

term berusia lebih atau sama dengan 7 hari dan 7 – 8 jam pada bayi

dengan berat badan lahir rendah, sehingga neonatus memiliki risiko

nefrotoksik yang lebih tinggi. Amikasin secara dominan diekskresi

melalui filtrasi glomerolus, amikasin diberikan umumnya secara IM

melalui syringe pump dikarenakan efeknya yang nefrotoksik.

 Ceftriaxone masuk dalam golongan sefalosforin generasi 3 yang

memiliki aktivitas yang lebih besar dibandingkan sepalosforin


generasi 2 dalam melawan sebagian besar bakteri gram (-). Dosis

yang umum digunakan adalah 50 – 100 mg/kg/hari terbagi tiap 12–

24 jam dengan pemberian secara intravena.

2.1.10 Komplikasi

Menurut (Hanifa, 2007), komplikasi dari BBLR seebagai berikut :

a. Hipotermia

Dalam kandungan, bayi berada dalam suhu lingkungan yang normal dan

stabil yaitu 36,5°C sampai dengan 37,5° C. Segera setelah lahir bayi

dihadapkan pada suhu lingkungan yang umumnya lebih rendah. Perbedaan

suhu ini memberi pengaruh pada kehilangan panas tubuh bayi. Selain itu,

Hiportermia dapat terjadi karena kemampuan untuk mempertahankan

panas dan kesanggupan menambah produksi panas sangat terbatas karena

pertumbuhan otot-otot yang belum cukup memadai, lemak subkutan yang

sedikit, belum matangnya sistem syaraf yang mengatur suhu tubuh relatif

lebih besar dibandingkan dengan berat badan sehingga mudah kehilangan

panas. Tanda klinis hipotermia:

1) Suhu tubuh di bawah normal (36,5-37,5°C)

2) Kulit dingin

3) Akral dingin

4) Sianosis (muka dan ekstremitas)

b. Hipoglikemia

Penyelidikan kadar gula darah pada 12 jam pertama menunjukkan bahwa

hipoglikemia dapat terjadi sebanyak 50% pada bayi matur. Glukosa


merupakan sumber utama energi selama masa janin. Kecepatan glukosa

yang diambil janin tergantung dari kadar gula darah ibu karena terputusnya

hubungan plasenta dan janin menyebabkan terhentinya pemberian glukosa.

Bayi aterm dapat mempertahankan kadar gula darah 50-60 mg/dL selama

72 jam pertama, sedangkan bayi berat badan lahir rendah dalam kadar 40

mg/dL. Hal ini disebabkan cadangan glikogen yang belum mencukupi.

Hipoglikemia bila kadar gula darah sama dengan atau kurang dari 20

mg/dL. Tanda klinis hipoglikemia :

1) Gemetar atau tremor

2) Sianosis (muka dan ektremitas)

3) Apatis

4) Kejang

5) Apnea intermiten

6) Tangisan melemah atau melengking

7) Kelumpuhan atau letargi

8) Kesulitan minum

9) Terdapat gerakan putar mata

10) Keringat dingin

11) Hipotermia

12) Gagal jantung dan henti jantung (sering berbagai gejala muncul

bersama-sama)

c. Perdarahan Intrakranial

Perdarahan intrakranial dapat terjadi karena trauma lahir, disseminated

intravascular coagulopathy atau trombositopenia idiopatik. Matriks


germinal epidimal yang kaya pembuluh darah merupakan wilayah yang

sangat rentan terhadap perdarahan selama minggu pertama kehidupan.

Tanda klinis perdarahan intrakranial :

1) Kegagalan umum untuk bergerak normal

2) Refleks moro menurun atau tidak ada

3) Tonus otot menurun

4) Letargi

5) Pucat dan sianosis

6) Apnea

7) Kegagalan menetek dengan baik

8) Muntah yang kuat

9) Tangisan bernada tinggi dan tajam

10) Kejang

11) Kelumpuhan

12) Fontanella mayor mungkin tegang dan cembung

13) Pada sebagian kecil penderita mungkin tidak ditemukan manifestasi klinik

satu pun.

d. Asfiksia

Suatu keadaan bayi baru lahir yang gagal bernapas secara spontan dan

teratur segera setelah lahir, sehingga dapat menurunkan O2 dan

meningkatkan CO2. Tanda dan gejalanya antara lain :

1) Pernapasan megap-megap dan dalam

2) Denyut jantung terus menerus

3) Bayi terlihat lemas


Penatalaksanaan asfiksia yaitu :

1) Bersihkan jalan napas

2) Rangsang reflek pernapasan

3) Mempertahankan suhu tubuh

e. Hiperbilirubinemia

Produksi berlebihan atau penurunan eksresi bilirubin pada bayi baru lahir.

Penurunan bilirubin dapat terjadi akibat dari kesalahan metabolisme

bawaan, hipotiroidisme, ikterus ASI, prematuritas. Penatalaksanaan :

1) Tempatkan bayi di dalam inkubator

2) Berikan cahaya foto terapi

3) Gunakan selimut serap optik (jika ada)

4) Pantau kondisi kulit dan ganti popok dengan sering

5) Pantau asupan dan pengeluaran serta amati adanya tanda-tanda

dehidrasi

6) Pantau suhu dan pertahankan lingkungan termal yang netral

7) Pantau intensitas cahaya dengan bilimeter

f. Infeksi atau sepsis

Infeksi prenatal adalah infeksi pada neonatus yang terjadi pada masa

antenatal, intranatal, dan postnatal. Gejala infeksi yang umumnya terjadi

pada bayi antara lain :

1) Bayi malas minum

2) Gelisah mungkin juga terjadi letargi

3) Berat badan menurun

4) Pergerakan kurang
5) Muntah

6) Diare

7) Kejang

Penatalaksanaan :

1) Mengatur posisi tidur/semi fowler

2) Apabila suhu tinggi lakukan kompres sedikit demi sedikit

3) Apabila bayi muntah, lakukan perawatan muntah yaitu posisi tidur

miring ke kiri atau ke kanan.

4) Apabila bayi diare perhatikan personal hygiene dan keadaan

lingkungan.

5) Rujuk segera ke rumah sakit. Jelaskan pada keluarga untuk inform

consent.

2.2 Prematuritas

2.2.1 Definisi

Prematuritas adalah kelahiran yang berlangsung pada umur kehamilan

20 minggu hingga 37 minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir.1

Terdapat 3 subkategori usia kelahiran prematur berdasarkan kategori

World Health Organization (WHO), yaitu:

1. Extremely preterm (< 28 minggu)

2. Very preterm (28 hingga < 32 minggu)

3. Moderate to late preterm (32 hingga < 37 minggu).

2.2.2 Patologi pada bayi prematur

1. Gangguan pernapasan hal ini disebabkan oleh kekurangan surfaktan


(rasio lesitin atau sfingomielin kurang dari 2), pertumbuhan dan

pengembangan paru yang belum sempurna, otot pernapasan yang

masih lemah dan tulang iga yang mudah melengkung (pliable

thorax) hal ini sering terjadi pada BBLR. Penyakit gangguan

pernapasan yang sering diderita bayi prematur adalah pernapasan

periodik (periodic breathing) dan apnea yang disebabkan oleh pusat

pernapasan di medulla belum matur.

2. Suhu tubuh yang tidak stabil oleh karena jumlah lemak di bawah

kulit yang sedikit mengakibatkan bertambahnya penguapan sehingga

tubuh bayi kesulitan mempertahankan suhu tubuhnya; permukaan

tubuh yang relatif lebih luas dibandingkan dengan berat badan, otot

yang belum aktif, berkurangnya produksi panas yang karena lemak

coklat (brown fat) yang belum cukup serta pusat pengaturan suhu

yang belum berfungsi sebagaimana mestinya.

3. Immature ginjal baik secara anatomis maupun fungsinya akibatnya

produksi urin yang sedikit, urea clearance yang rendah, tidak

sanggup mengurangi kelebihan air tubuh dan elektrolit dari badan

sehingga bayi prematur beresiko untuk terjadi edema dan asidosis

metabolik.

4. Immatur hati memudahkan terjadinya hiperbilirubinemia defisiensi

vitamin K.

5. Perdarahan, hal ini mudah terjadi karena pembuluh darah yang rapuh

(fragile), kekurangan faktor pembeku seperti protombin, faktor VII

dan faktor Christmas.


6. Gangguan imunologik : kadar igG gamma globulin rendah sehingga

tubuh rentan untuk mengalami infeksi. Pada bayi prematur daya

fagositosis dan reaksi terhadap peradangan masih belum baik karena

memang relatif belum mampu membentuk antibodi secara optimal.

7. Peradangan intraventrikuler : hal ini desebabkan karena bayi

prematur sering menderita apnea, asfiksia berat dan sindroma

gangguan pernapasan. Akibatnya bayi menjadi hipoksia, hipertensi

dan hiperkapnea. Keadaan ini menyebabkan aliran darah ke otak

akan lebih banyak karena tidak adanya otoregulasi serebral pada bayi

prematur, sehingga mudah terjadi perdarahan dari pembuluh darah

kapiler yang rapuh dan iskemia di lapisan germinal yang terletak di

dasar ventrikel lateralis antara nucleus kaudatus dan ependim.

Luasnya perdarahan intraventrikuler ini dapat didiagnosis dengan

ultrasonografi atau CT scan.

8. Retrolental fibroplasias : dengan menggunakan oksigen dengan

konsentrasi tinggi (PaO2 lebih dari 115 mmHg = 15 kPa) beresiko

besar untuk mengalami vasokonstriksi pembuluh darah retina yang

diikuti oleh proliferasi kapiler-kapiler baru ke daerah yang iskemia

berakibat terjadi perdarahan, distorsi, fibrosis dan parut diretina

menjadikan kebutaan. Untuk mencegah retrolental fibroplasias maka

oksigen yang diberikan pada bayi prematur kurang dari 40% atau

dengan cara memberikan oksigen dengan kecepatan dua liter per

menit.

2.2.3 Patologi pada bayi dismatur


1. Bayi dismatur (KMK) mempunyai hemoglobin yang tinggi yang

mungkin desebabkan oleh hipoksia kronik di dalam uterus.

2. Aspirasi mekonium yang sering diikuti pneumotoraks disebabkan

distres yang sering dialami bayi dalam persalinan. Insiden idiopathic

respiratory distress syndrome berkurang oleh karena IUGR

mempercepat maturnya jaringan paru.

3. Hipoglikemia terutama bila pemberian minum terlambat. Agaknya

hipoglikemia ini disebabkan oleh berkurangnya cadangan glikogen

hati dan meningginya metabolisme bayi.

4. Keadaan lain yang mungkin terjadi : asfiksia, perdarahan paru yang

massif, hipotermia cacat bawaan akibat kelainan kromosom

(sindrom Down’s Turner dan lain-lain), cacat bawaan oleh karena

infeksi intrauterin dan sebagainya (Ross, 2013)

2.2.4 Kelompok BBLR dengan Prematuritas

Bayi berat badan lahir rendah (BBLR) berdasar usia kehamilanya dapat

dikelompokkan menjadi dua yaitu:

1. Bayi prematuritas murni (prematur) atau bayi sesuai masa kehamilan

(SMK).

a) Prematuritas murni

Bayi dengan masa kehamilan kurang dari 37 minggu dan berat

badan bayi sesuai dengan berat badan untuk usia kehamilan (berat

badan terletak antara persentil ke-10 sampai persentil ke-90) pada


grafik pertumbuhan intrauterin. Klasifikasi bayi prematuritas

murni, yaitu:

1) Bayi yang sangat prematur (extremely premature): 24-30

minggu. Bayi dengan masa gestasi 24-27 minggu sangat sukar

hidup, sedangkan bayi dengan masa gestasi 28-30 minggu masih

mungkin dapat hidup dengan perawatan yang sangat intensif.

2) Bayi pada derajat prematur yang sedang (moderately

premature) : 31- 36 minggu. Bayi pada golongan ini harapan

untuk dapat hidup lebih tinggi dari pada golongan pertama dan

faktor terjadinya gejala sisa untuk kehidupan di kemudian hari

juga lebih ringan, namun dengan syarat pengelolaan terhadap bayi

derajat ini benar-benar intensif.

3) Borderline premature: masa gestasi 37-38 minggu. Bayi ini

mempunyai sifat-sifat prematur dan matur. Pada umumnya berat

dan pegelolaannya seperti bayi matur, akan tetapi sering timbul

masalah masalah seperti layaknya apayang dialami oleh bayi

prematur, misalnya hiperbilirunemia, sindrom gangguan

pernapasan, daya hisap yang lemah dan sebagainya, sehingga bayi

harus diawasi dengan seksama.

2. Bayi dismatur atau bayi kecil untuk masa kehamilan (KMK).

Dismaturitas didefinisikan sebagai yaitu bayi yang lahir dengan berat

badan kurang dari berat badan yang seharusnya untuk masa

kehamilannya, yaitu berat badan di bawah persentil ke- 10 pada

kurva pertumbuhan intrauterin. Pada saat ini banyak istilah yang


dipakai dalam menunjukkan bahwa bayi KMK ini menderita

gangguan pertumbuhan di dalam uterus (intrauterine growth

retardation = IUGR) seperti fetal malnutrition, pseudopremature,

dysmature, small for dates. Semua bayi yang berat lahirnya sama

dengan atau lebih rendah dari 10th persentil untuk masa kehamilan

pada Denver Intrauterine Growth Curve merupakan bayi SGA.

Kurva ini dapat pula dipakai untuk Standart Intrauterine Growth

Chart of Low Birth Weight Indonesian Infants. Reiko untuk terjadi

berat yang tidak sesuai dengan masa gestasi dimiliki setiap bayi baru

lahir baik itu prematur, matur ataupun postmatur. Manifestasi

kliniknya tergantung dari pada lamanya, intensitas dan timbulnya

gangguan pertumbuhan yang mempengaruhi bayi tersebut. IUGR

diklasifikasikan menjadi dua berdasarkan bentuknya, yaitu:

 Proportionate IUGR: merupakan janin yang mengalami distress

dalam waktu lama yang mana gangguan pertumbuhan dapat

terjadi mulai dari berminggu-minggu sampai berbulan- bulan

sebelum bayi lahir sehingga berat, panjang dan lingkaran kepala

dalam proporsi yang seimbang namun keseluruhannya masih di

bawah masa gestasi yang sebenarnya. Bayi ini tidak menunjukkan

adanya wasted oleh karena retardasi pada janin ini sebelum

terbentuknya adipose tissue.

 Disproportionate IUGR: merupakan janin yang mengalami

distres subakut. Gangguan dapat terjadi dari beberapa minggu

sampai beberapa hari sebelum janin lahir. Pada keadaan ini


panjang dan lingkaran kepala normal akan tetapi berat tidak

sesuai dengan masa gestasi. Bayi tampak wasted dengan ciri ciri

jaringan lemak di bawah kulit yang sedikit, kulit lebih kering

keriput dan mudah diangkat, bayi keliatan lebih panjang dan lebih

kurus. Pada bayi IUGR perubahan terjadi pada ukuran panjang

badan, berat badan dan lingkaran serta organ-organ di dalam

badan mengalami perubahan. Organ yang mengalami perubahan

misalnya, berat hati, limpa, kelenjar adrenal dan thymus

berkurang dibandingkan bayi prematur dengan berat yang sama.

Perkembangan dari otak, ginjal dan paru sesuai dengan masa

gestasinya. Adapun faktor faktor yang merupakan penyebab

terjadinya bayi dismatur, yaitu: Faktor ibu, faktor janin, faktor

uterus dan plasenta, keadaan ekonomi yang rendah, dan faktor

yang tidak diketahui (Sheridan, 2005).

2.2.5 Penatalaksanaan Prematuritas

Hal yang paling penting adalah mencegah persalinan preterm dengan

upaya maksimal atau optimal dengan cara :

1. Melaksanakan pengawasan antenatal yang baik dan teratur

2. Meningkatkan status gizi ibu

3. Menganjurkan menikah pada usia matang (tidak terlalu muda)

4. Mencegah dan mengobati secara tuntas infeksi intrauterin

Bila oleh karena satu dan lain hal, persalinan tetap harus berlangsung

atau terpaksa harus dilakukan terminasi kehamilan dengan lebih

memperhatikan keselamatan ibu, maka pada persalinan preterm dengan


kemungkinan bayi lahir sebagai BKB, maka harus dilakukan upaya

preventif dan promotif yaitu, pemberian obat tokolitik pada ibu dan

pemberian terapi antenatal kortikosteroid.

Menurut Dewi, Y (2011), Penatalaksanaan IUGR (Pertumbuhan Janin

Terhambat) yaitu:

1. Terapi kausal terhadap penyebab atau penyulit yang mendasari

2. Konservatif

 Tirah baring (tidur miring kekiri)

 Pemberian kalori >2600 kal/hari peroral atau parenteral

 Pemberian kortikosteroid (kehamilan 24-34 minggu)

- Dexametason, 5 mg tiap 12 jam (i.m) sampai 4 dosis

- Betametason, 12 mg (i.m) sampai 2 dosis dengan interval

24 jam

 Pertimbangkan pemberian aspirin bila tidak ada kontra

indikasi

Terminasi kehamilan:

Terminasi kehamilan dilakukan apabila ditemukan satu dari

hal-hal dibawah ini:

 Hamil aterm (>37 minggu)

 Sudah mendapat terapi kortikosteroid (kehamilan 24-34

minggu) yang disertai tanda-tanda dibawah ini:

- Skor biofisik <2 (terutama bila ditemukan oligohidramnion)

- Deselerasi lambat atau deselerasi berulang

- Kelainan gambaran dopler a.umbilikalis: RED (Reversed


End Diastolic- flow

 velocity blood flow), atau AED (Absent of End Diastolic-

flow velocity blood flow).

2.3 Bronkopneumonia

2.3.1 Definisi

Pneumonia adalah inflamasi yang mengenai parenkim paru; peradangan

pada paru dimana proses peradangannya ini menyebar membentuk

bercak-bercak infiltrat yang berlokasi di alveoli paru dan dapat pula

melibatkan bronkiolus terminal. Salah satu definisi klinis klasik

menyatakan pneumonia adalah penyakit respiratorik yang ditandai

dengan batuk, sesak napas, demam, ronki basah, dengan gambaran

infiltrat pada foto rontgen toraks.

2.3.2 Etiologi

Etiologi pneumonia dibedakan berdasarkan agen penyebab infeksi, baik

itu bakteri, virus ataupun parasit. Pada umumnya terjadi akibat aanya

infeksi bakteri pneumokokus (streptococcus pneumonia). Beberapa

penelitain menemukan bahwa kuman ini menyebabkan pneumonia

hamper pada semua kelompok umur dan paling banyak terjadi di negara

berkembang. Bakteri-bakteri lain seperti staphylococcus,

pneumococcus, dan haemophylus influenza, serta virus dan jamur juga

sering menyebabkan pneumonia. Salah satu penelitian yang dilakukan

Prof. Dr. dr. Cissy B Kartasasmita Sp. A (K), MSc pada sejumlah 2000

anak di Bandung ditemukan adanya 30% positif pneumonia


berdasarkan hasil pemeriksaan sediaan apus tenggorokan dengan 65%

diantaranya adalah kuman pneumokokus.

Akan tetapi dari pandangan yang berbeda didapatkan bahwa gambaran

etiologi pneumonia dapat diketahui berdasarkan umur penderita. Hal ini

terlihat dengan adanya perbedaan agen penyebab penyakit, baik pada

bayi maupun balita. Pada penelitian ditemukan bahwa kejadian

pneumonia pada neonatus lebih banyak disebabkan oleh bakteri

streptococcus dan E.coli. hal ini juga didukung oleh penelitian lain

bahwa bakteri streptococcus pneumonia sering menyerang neonatus

berumur 3 minggu hingga 3 bulan. Sementara pada anak-anak

pneumonia lebih sering disebabkan oleh virus yaitu Respiratory

sincitial virus.

2.3.3 Klasifikasi

Pembagian pneumonia sendiri pada dasarnya tidak ada yang

memuaskan, dan pada umumnya pembagian berdasarkan anatomi dan

etiologi. Beberapa ahli telah membuktikan bahwa pembagian

pneumonia berdasarkan etiologi terbukti secara klinis dan memberikan

terapi yang lebih relevan.

1. Berdasarkan lokasi lesi di paru

a. Pneumonia lobaris

b. Pneumonia lobularis

c. Pneumonia intersitialis

2. Berdasarkan asal infeksi


a. Pneumonia yang didapat dari masyarakat (community acquired

pneumonia)

b. Pneumonia yang didapat dari Rumah Sakit (hospital based

pneumonia)

3. Berdasarkan mikroorganisme penyebab

a. Pneumonia bakteri

b. Pneumonia virus

c. Pneumonia mikoplasma

d. Pneumonia jamur

4. Berdasarkan karakteristik penyakit pneumonia

a. Pneumonia tipikal

b. Pneumonia atipikal

5. Berdasarkan lama penyakit

a. Pneumonia akut

b. Pneumonia persisten

2.3.4 Patogenesis

Istilah pneumonia mencakup setiap keadaan radang paru dimana

beberapa atau seluruh alveoli terisi dengan cairan dan sel-sel darah.

Jenis pneumonia yang umum adalah pneumonia bakterialis yang paling

sering disebabkan oleh pneumokokus. Penyakit ini dimulai dengan


infeksi dalam alveoli, membran paru mengalami peradangan dan

berlubang-lubang sehingga cairan dan bahkan sel darah merah dan sel

darah putih keluar dari darah masuk kedalam alveoli. Dengan demikian,

alveoli yang terinfeksi secara progresif menjadi terisi dengan cairan dan

sel-sel, dan infeksi disebarkan oleh perpindahan bakteri dari alveolus ke

alveolus.

Dalam keadaan normal, saluran respiratorik mulai dari area sublaring

sampai parenkim paru adalah steril. Saluran napas bawah ini dijaga

tetap steril oleh mekanisme pertahanan bersihan mukosiliar, sekresi

imunoglobulin A, dan batuk. Mekanisme pertahanan imunologik yang

membatasi invasi mikroorganisme patogen adalah makrofag yang

terdapat di alveolus dan bronkiolus, IgA sekretori, dan imunoglobunlin

lain.

Umumnya mikroorganisme penyebab terhisap ke paru bagian perifer

melalui saluran respiratori. Mula-mula terjadi edema akibat reaksi

jaringan yang mempermudah proliferasi dan penyebaran kuman ke

jaringan sekitarnya. Bagian paru yang terkena mengalami konsolidasi,

yaitu terjadi serbukan sel PMN, fibrin, eritrosit, cairan edema, dan

ditemukannya kuman di alveoli. Stadium ini disebut stadium hepatisasi

merah. Selanjutnya, deposisi fibrin semakin bertambah, terdapat fibrin

dan leukosit PMN di alveoli dan terjadi proses fagositosis yang cepat.

Stadium ini disebut stadium hepatisasi kelabu. Berikutnya, jumlah

makrofag meningkat di alveoli, dimana sel akan mengalami degenerasi,

fibrin menipis, kuman dan debris menghilang. Stadium ini disebut


stadium resolusi. Sistem bronkopulmoner jaringan paru yang tidak

terkena akan tetap normal.

Pneumonia viral biasanya berasal dari penyebaran infeksi di sepanjang

jalan napas atas yang diikuti oleh kerusakan epitel respiratorius,

menyebabkan obstruksi jalan napas akibat bengkak, sekresi abnormal,

dan debris seluler. Diameter jalan napas yang kecil pada bayi

menyebabkan bayi rentan terhadap infeksi berat. Atelektasis, edema

intersitial, dan ventilation-perfusition mismatch menyebabkan

hipoksemia yang sering disertai obstruksi jalan napas. Infeksi viral pada

traktus respiratorius juga dapat meningkatkan risiko terhadap infeksi

bekteri sekunder dengan mengganggu mekanisme pertahanan normal

pejamu, mengubah sekresi normal, dan memodifikasi flora bakterial.

Ketika infeksi bakteri terjadi pada parenkim paru, proses patologik

bervariasi tergantung organisme yang menginvasi. M. penumoniae

menempel pada epitel respiratorius, menghambat kerja silier, dan

menyebabkan destruksi seluler dan memicu respons inflamasi di

submukosa. Ketika infeksi berlanjut, debris seluler yang terlepas, sel-sel

inflamasi, dan mukus menyebabkan onstruksi jalan napas, dengan

penyebaran infeksi terjadi di sepanjang cabang-cabang bronkial, seperti

pada pneumonia viral. S. pneumoniae menyebabkan edema lokal yang

membantu proliferasi mikroorganisme dan penyebarannya ke bagian

paru lain, biasanya menghasilkan karakteristik sebagai bercak-bercak

konsolidasi merata di seluruh lapangan paru.


Infeksi streptokokus grup A pada saluran napas bawah menyebabkan

infeksi yang lebih difus dengan pneumonia intersitial. Pneumonia lobar

tidak lazim. Lesi terdiri atas nekrosis mukosa trakeobronkial dengan

pembentukan ulkus yang compang-camping dan sejumlah besar

eksudat, edema, dan perdarahan terlokalisasi. Proses ini dapat meluas

ke sekat interalveolar dan melibatkan fasa limfatika. Pneumonia yang

disebabkan S.aureus adalah berat dan infeksi dengan cepat menjadi

jelek yang disertai dengan morbiditas yang lama dan mortalitas yang

tinggi, kecuali bila diobati lebih awal. Stafilokokus menyebabkan

penggabungan bronkopneumoni yang sering unilateral atau lebih

mencolok pada sati sisi ditandai adanya daerah nekrosis perdarahan

yang luas dan kaverna tidak teratur.

2.3.5 Manifestasi Klinis

Gejala dan tanda klinis pneumonia bervariasi tergantung dari kuman

penyebab, usia pasien, status imunologis pasien, dan beratnya penyakit.

Manifestasi klinis biasanya berat yaitu sesak, sianosis, tetapi dapat juga

gejalanya tidak terlihat jelas seperti pada neonatus. Gejala dan tanda

pneumonia dapat dibedakan menjadi gejala umum infeksi (nonspesifik),

gejala pulmonal, pleural, atau ekstrapulmonal. Gejala nonspesifik

meliputi demam, menggigil, sefalgia, resah dan gelisah. Beberapa

pasien mungkin mengalami gangguan gastrointestinal seperti muntah,

kembung, diare, atau sakit perut.


Gejala pada paru timbul setelah beberapa saat proses infeksi

berlangsung. Setelah gejala awal seperti demam dan batuk pilek, gejala

napas cuping hidung, takipnu, dispnu, dan timbul apnu. Otot bantu

napas interkostal dan abdominal mungkin digunakan. Batuk umumnya

dijumpai pada anak besar, tapi pada neonatus bisa tanpa batuk.

Frekuensi napas merupakan indeks paling sensitif untuk mengetahui

beratnya penyakit. Hal ini digunakan untuk mendukung diagnosis dan

memantau tata laksana pneumonia. Pengukuran frekuensi napas

dilakukan dalam keadaan anak tenang atau tidur. Tim WHO telah

merekomendasikan untuk menghitung frekuensi napas pada setiap anak

dengan batuk. Dengan adanya batuk, frekuensi napas yang lebih dari

normal serta adanya tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam (chest

indrawing), WHO menetapkan sebagai pneumonia (di lapangan), dan

harus memerlukan perawatan dengan pemberian antibiotik. Perkusi

toraks pada anak tidak mempunyai nilai diagnostik karena umumnya

kelainan patologinya menyebar; suara redup pada perkusi biasanya

karena adanya efusi pleura.

Suara napas yang melemah seringkali ditemukan pada auskultasi.

Ronkhi basah halus yang khas untuk pasien yang lebih besar, mungkin

tidak terdengar pada bayi. Pada bayi dan balita kecil karena kecilnya

volume toraks biasanya suara napas saling berbaur, dan sulit untuk

diidentifikasi.
Secara klinis pada anak sulit membedakan pneumonia bakterial dengan

pneumonia viral. Namun sebagai pedoman dapat disebutkan bahwa

pneumonia bakterial awitannya cepat, batuk produktif, pasien tampak

toksik, leukositosis, dan perubahan nyata pada pemeriksaan radiologis.

Namun keadaan seperti ini kadang-kadang sulit dijumpai pada seluruh

kasus.

1. Pneumonia pada neonatus dan bayi kecil

Pneumonia ini sering terjadi akibat transmisi vertikal ibu-anak yang

berhubungan dengan proses persalinan, misalnya melalui aspirasi

mekonium, cairan amnion, dari serviks ibu, atau berasal dari

kontaminasi dengan sumber infeksi dari RS. infeksi juga dapat terjadi

karena kontaminasi dari komunitasnya. Gambaran klinis pneumonia

pada neonatus dan bayi kecil tidak khas, mencakup serangan apnea,

sianosis, merintih, napas cuping hidung, takipnea, letargi, muntah,

tidak, mau minum, takikardi atau bradikardi, retraksi subkosta dan

demam. Pada bayi BBLR sering terjadi hipotermi. Keadaan ini

sering sulit dibedakan dengan keadaan sepsis dan meningitis.

2. Pneumonia pada balita dan anak yang lebih besar

Gejala klinis yang timbul pada pneumonia yang terjadi pada balita

dan anak yang lebih besar meliputi demam, menggigil, batuk, sakit

kepala, anoreksia, dan kadang-kadang keluhan gastrointestinal

(muntah dan diare). Secara klinis gejala respiratori seperti takipnea,

retraksi subkosta (chest indrwaing), napas cuping hidung, ronki, dan


sianosis. Penyakit ini sering ditemukan bersama konjungtivitis, otitis

media, faringitis, dan laringitis. Anak besar dengan pneumonia lebih

suka berbaring pada sisi yang sakit dengan lutut tertekuk karena

nyeri dada. Ronki hanya ditemukan bila ada infiltrat alveoler. Bila

terjadi efusi pleura atau empiema, gerakan ekskursi dada tertinggal

di daerah efusi. Gerakan dada juga terganggu bila terdapat nyeri

dada akibat iritasi pleura. Bila efusi bertambah, sesak napas akan

semakin bertambah, tetapi nyeri pleura akan semakin berkurang dan

berubah menjadi nyeri tumpul. Kadang timbul nyeri abdomen bila

terdapat pneumonia lobus kanan bawah yang menimbulkan iritasi

diafragma. Nyeri ini dapat menyebar ke kuadran kanan bawah dan

menyerupai appendisitis. Abdomen mengalami distensi akibat

dilatasi lambung yang disebabkan oleh aerografi atau ileus paralitik.

Hati akan teraba bila tertekan oleh diafragma, atau memang

membesar karena terjadi gagal jantung kongestif sebagai akibat

komplikasi pneumonia.

3. Pneumonia Atipik

Mikroorganisme penyebab adalah Mycoplasma pneumoniae,

Chlamydia spp, Legionnela pneumofilia, dan Ureaplasma

urealyticum. Mycoplasma pneumoniae, Chlamydia pneumoniae

merupakan penyebab potensial infeksi respiratori dan pneumonia

pada anak, terutama pada anak usia sekolah dan remaja. Chlamydia

trachomatis sering ditemukan sebagai penyebab infeksi akut

respiratori pada bayi melalui transmisi vertikal (proses kersalinan)


dan merupakan etiologi infeksi perinatal yang penting. Legionnela

pneumofilia, dan Ureaplasma urealyticum jarang dilaporkan

menyebabkan ifeksi pada anak.

a.Infeksi oleh Mycoplasma pneuoniae

Infeksi diperoleh melalui droplet dari kontak dekat (di asrama,

keluarga dengan jumlah anggota keluarga yang sangat banyak).

Masa inkubasi lebih kurang 3 minggu. Gambaran klinis pneumonia

atipik didahului dengan gejala menyerupai influenza (influenza like

flu syndrome) seperti demam (jarang lebih dari 380C), malaise, sakit

kepala, mialgia, tenggorokan gatal dan batuk. Kadang-kadang dapat

sembuh sendiri, tetapi kasus berat seperti severe necrotizing

pneumonitis dengan konsolidasi luas pada jaringan paru dan efusi

pleura pernah dilaporkan. Kadang dapat berlanjut menjadi bronkitis,

bronkiolitis, dan pneumonia. Batuk terjadi 3-5 hari setelah awitan

penyakit, awalnya tidak produktif tetapi kemudian menjadi

produktif. Sputum mungkin berbercak darah dan batuk dapat

menetap hingga berminggu-minggu. Mengi dapat ditemukan pada

30-40% kasus pneumonia mikoplasma dan lebih sering ditemukan

pada anak yang lebih besar. Kultur bakteri memerlukan waktu 2

minggu dan uji serolig hanya bermanfaat bila telah terjadi

pembentukan antibodi (ketika penyakit telah sangat berkembang).

Gambaran foto rontgennya sangat bervariasi, meliputi gambaran


infiltrat intersisial, retikuler, retikulonoduler, bercak konsolidasi,

pembesaran kelenjar hilus, dan kadang-kadang disertai efusi pleura.

b. Infeksi oleh Chlamydia penumoniae

Gejala klinis awalnya berupa gejala seperti flu, yaitu batuk kering,

mialgia, sakit kepala, malaise, pilek, dan demam yang tidak tinggi.

Pada pemeriksaan auskultasi dada tidak ditemukan kelainan. Gejala

respiratori umunya tidak mencolok. Leukosit darah tepi biasanya

normal. Gambaran foto rontgen toraks menunjukan infiltrat difus

atau gambaran peribronkial nonfokal yang jauh lebih berat daripada

gejala klinis. Pneumonia Klamidia lebih sering ditemukan di daerah

tropis, bersifat endemik, dan epidemik dengan interval 3-4 tahun.

Infeksi Klamidia juga dapat berperan dalam patogenesis asma.

2.3.6 Pemeriksaan Penunjang

1. Darah Perifer Lengkap

Pada pneumoia virus dan juga mikoplasma umumnya ditemukan

leukosit dalam batas normal atau sedikit meningkat. Akan tetapi

pada pneumonia bakteri didapatkan leukositosis ( 15.000 –

40.000/mm3 ). Dengan prdominan PMN. Leukopenia ( <

5000/mm3 ) menunjukkan prognosis yang buruk. Pada infeksi

Chlamydia kadang – kadang ditemukan eosinofilia. Pada efusi pleura

didapatkan sel PMN pada cairan eksudat berkisar 300-100.000/mm3,

protein > 2,5 g/dl, dan glukosa relatigf lebih rendah daripada glukosa

darah. Kadang – kadang terdapat anemia ringan dan LED yang

meningkat. Secara umum hasil peneriksaan darah perifer lengkap


tidak dapat membedakan antara infeksi virus dan bakteri secara

pasti.

2. C- Reaktif Protein ( CRP )

CRP adalah suatu protein fase akut yang disisntesis oleh hepatosit.

Sebagai respon infeksi atau inflamasi jaringan, produksi CRP secara

cepat distimulasi oleh sitokin, terutama IL-6, IL-1 da TNF.

Meskipun fungsi pastinya belum diketahui, CRP sangat mungkin

berperan dalam opsonisasi mikroorganisme atau sel rusak. Secara

klinis CRP digunakan sebagai alat diagnostik untuk membedakan

antara faktor infeksi dan noninfeksi, infeki virus dan bakteri, atau

infeksi superfisialis atau profunda. Kadar CRP biasanya lebih rendah

pada infeksi virus atau infeksi superfisialis daripada profunda.

3.Uji Serologis

Uji serologik untuk mendateksi antigen dan antibodi pada infeksi

bakteri tipik mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang rendah.

Secara umum, uji serologis tidak terlalu bermanfaat dalam

mendiagnosis infeksi bakteri tipik, namun bakteri atipik seperti

Mycoplasma dan chlamydia tampak peningkatan anibodi IgM dan

IgG.

4. Pemeriksaan mikrobiologis

Untuk pemeriksaan mikrobiologik, spesimen dapat diambil dari usap

tenggorok, sekret nasofaring, bilasan bronkus, darah, punksi pleura

atau aspirasi paru. Diagnosis dikatakan definitif apabila kuman


ditemukan dari darah, cairan pleura, atau aspirasi paru. Kultur darah

jarang positif pada infeksi Mycoplasma dan Chlamydia.

5. Pemeriksaan rontgen Thoraks

Secara umum gambaran foto thoraks terdiri dari:

a. Infiltrat interstisial, ditandai dengan peningkatan corakan

bronkovaskuler, peribronchial cuffing dan hiperaerasi.

b. Infiltrat alveoler, merupakan konsolidasi paru dengan air

bronchogram. Konsolidasi dapat mengenai satu lobus (pneumonia

lobaris), atau terlihat sebagai lei tunggal yang biasanya cukup besar,

berbentuk sferis, batas tidak terlalu tegas, menyerupai lesi tumor paru,

dikenal sebagai round pneumonia.

c. Bronkopneumonia, ditandai dengan gambaran difus merata pada

kedua paru, berupa bercak – bercak infiltrat yang meluas hingga ke

daerah perifer paru, disertai dengan peningkatan corakan peribronkial.

Gambaran radiologis pneumonia meliputi infiltrat ringan pada satu

paru hingga konsolidasi luas pada kedua paru. Pada satu penelitian,

ditemukan bahwa lesi pneumonia pada anak terbanyak berada di paru

kanan, terutama di lobus atas. Bila ditemukan di pru kiri dan

terbanyak di olbus bawah, hal itu merupakan prediktor perjalanan

penyakit yang lebih berat dengan resiko terjadinya pleuritis lebih

besar.

2.3.7 Diagnosis
Diagnosis etiologi berdasarkan pemeriksaan mikrobiologis dan / atau

serologis merupakan dasar terpi yang optimal. Akan tetapi penemuan

bakteri penyebab tidak selalu mudah karena memerlukan laboratorim

yang memadai. Prediktor paling kuat adanya pneumonia adalah demam,

sianosis, dan lebih dari satu gejala respiratori sebagai berikut : takipnea,

batuk, napas cuping hidung, rtraksi, ronki dan suara napas melemah serta

didukung oleh gambaran radiologis. Akibat tingginya angka morbiditas

dan mortalitas pneumonia pada balita, maka dalam upaya

peanggulangannya WHO mengembangkan pedoman diagnosis dan

tatalaksana pneumonia yang sederhana.

Berikut adalah klasifikasi pneumonia berdasarkan pedoman tersebut.

1. Bayi dan anak berusia 2 bulan – 5 tahun

a. Pneumonia sangat berat

- Tidak dapat minum/makan

- Kejang

- Letargis

- Malnutrisi

b. Pneumonia berat

- Bila ada sesak napas, ada retraksi

- Harus dirawat dan diberikan antibiotik

c. Pneumonia

- Bila tidak ada sesak napas . Ada napas cepat dengan laju napas

o > 50 x / menit untuk anak usia 2 bulan – 1 tahun

o > 40 x / menit untuk anak usia >1-5 tahun


- Tidak perlu dirawat, diberikan antibiotik oral

d. Bukan pneumonia

- Bila tidak ada napas cepat dan sesak napas

- Tidak perlu dirawat dan tidak perlu antibiotik, hanya diberikan

pengobatan simptomatis seperti penurun panas.

2. Bayi berusia dibawah 2 bulan

e. Pneumonia sangat berat

- Tidak mau menetek/minum

- Kejang

- Letargis

-Demam atau hipotermi

-Bradipnea atau pernapasan ireguler

f. Pneumonia harus dirawat dan diberikan antibiotik

- Bila ada napas cepat ( > 60 x / menit ) atau sesak napas

- Retraksi

- Harus dirawat dan diberikan antibiotik

g. Bukan pneumonia

- Tidak ada napas cepat atau sesak napas

-Tidak perlu dirawat, cukup diberikan pengobatan simptomatis

2.3.8 Penatalaksanaan

Sebagian pneumoni pada anak tidak perlu dirawat inap. Indikasi

perawatan trutama berdasarkan berat ringannya penyakit, misalnya

toksis, distress pernapasan, tidak mau makan atau minum, atau ada

penyakit dasaryang lain, komplikasi, dan terutama mempertimbangkan


usia pasien. Neonatus dan bayi kecil dengan kemungkinan klinis

pneumonia harus dirawat inap.

Dasar tatalaksana pneumonia rawat inap adalah pengobatan kausal

dengan antibiotik yang sesuai, serta tindakan suportif. Pengobatan

suportif meliputi pemeberin cairan intravena, oksigen, koreksi terhadap

gangguan asa basa, elektrolit, dan gula darah. Untuk nyeri dan demam

dapat diberikan analgetik /antipiretik. Suplementasi vitamin A tidak

terbukti efektif.

Penggunaan antibiotik yang tepat merupakan kunci utma keberhasilan

pengobatan. Terapi antibiotik harus segera diberikan pada anak dengan

pneumonia yang diduga disebabkan oleh bakteri.

1.Pneumonia Rawat Jalan

Pada pneumonia rawat jalan diberikan antibiotik lini pertama secara

oral, misalnya amoksisilin atau kotrimoksazol. Dosis amoksisilin yang

diberikan adalah 25 mg/kgBB, sedangkan kotrimoksazol adalah

4mg/kgBB TMP-20 mg/kgBB sulfametoksazol. Makrolid, baik

eritromisin maupun makrolid baru dapat digunakan sebagai terapi

alternatif beta laktam untuk pengobatan inisial pneumonia, dengan

pertimbangan adanya aktivitas ganda terhadap S.pneumonia dan

bakteri atipik. Dosis eritromisin 30-50 mg/kgBB/hari, diberikan setiap

6 jam selama 10-14 hari. Klaritromisin diberikan 2 kali sehari dengan

dosis 15 mg/kgBB. Azitromisin 1 kali sehari 10mg/kgBB 3-5 hari

(hari pertama) dilanjutkan dengan dosis 5mg/kgBB untuk hari

berikutnya.
2. Pneumonia Rawat Inap

Pada pneumonia rawat inap antibiotik yang diberikan adalah beta

laktam, ampisilin atau amoksisislin dikombinasikan degan

kloramfenikol. Antibiotik yang diberikan berupa : Penisilin G intrvena

( 25.000 U/kgBB setiap 4 jam ) dan kloramfenikol ( 15 mg/kgBB

setiap 6 jam ), dan seftriaxon intravena ( 50 mg/kgBB setiap 12 jam ).

Keduanya diberikan selama 10 hari.


ANALISIS KASUS

2.2 Resume

A. Anamnesis

Pasien merupakan bayi kurang bulan rujukan dari Rumah Sakit Bob

Bazar, dikirim ke RSAM dengan keluhan utama sesak napas. Selain

itu, pada pasien didapatkan keluhan tambahan berupa bayi tampak

lemah, tidak bisa menyusu, dan terdapat retraksi ringan. Pasien lahir

tanggal 29 Agustus 2021, pukul 20.30 WIB di klinik bidan. Pasien

lahir secara spontan dibantu oleh bidan dengan BB lahir 1700 gram,

PB lahir 49 cm, langsung menangis, gerak aktif, dan kemerahan.

Tidak terdapat kelainan bawaan dan anus (+). Setelah persalinan

pasien dan ibu pulang pada keesokan hari. Saat ini, bayi berusia 13

hari dan dilakukan perawatan di ruang perinatologi dengan keadaan

tampak sakit sedang, dan menangis ketika diberikan rangsangan.

Ibu pasien tidak mengalami keluhan apapun selama kehamilan,

namun ibu pasien didiagnosis plasenta previa oleh dokter saat usia

kehamilan 6 bulan. HPHT ibu 13 Desember 2020 dengan HPL 20

September 2021. Pada usia kehamilan 37 minggu, ibu pasien

mengalami pecah ketuban dan dibawa ke bidan. Pasien lahir dari ibu

G1P0A0. Bayi mendapatkan ASI setelah lahir dan belum pernah

diimunisasi.
B. Pemeriksaan Fisik

Status Present

Keadaan umum : Tampak sakit sedang


Kesadaran : Compos Mentis
Suhu : 32,5 oC
SpO2 : 97 %
Frekuensi nadi : 145 x/menit
Frekuensi napas : 50 x/menit
Tinggi badan : 49 cm
Berat badan : 1700 gram
Down Score :
Usia Gestasi : 37 minggu

Pengukuran

BB saat lahir :

BB saat ini :

PB :

Lingkar Kepala :

LILA :

Status Generalis

Suhu : 32,5ºC

Kepala :

Hidung menggunakan nasal kanul 0,5L/menit. Mulut

menggunakan OGT No. 5. Sekret (-).

Thorax :

Retraksi intercostal dan subcostal.


Neurologis :

Refleks hisap (+) lemah.

Pemeriksaan Penunjang

Trombosit : 155.000/µL

GDS : 13 mg/dL

Bilirubin direk : 1,3 mg/dL

Bilirubin indirek : 8,7 mg/dL

Albumin : 2,6 gram/dL

Kalium : 2,9 mmol/L

Kesan : Trombositopenia, Hipoglikemia, Hiperbilirubin,

Hipoalbumin, dan Hipokalemia.

Rontgen thorax

Kesan : infiltrat retikuler di perihiler kanan ec DD/ HMD,

pneumonia. Tidak tampak cardiomegali. CHD belum dapat

disimpulkan.

C. Diagnosis

1. Berat Badan Lahir Rendah (BBLR)


2. Bronkopneumonia
3. Hipotermia
4. Hiperbilirubinemia
5. Hipoalbuminemia
6. Hipokalemia
7. Trombositopenia
D. Penatalaksanaan

1. O2 nasal canul

2. IVFD D10% 12,6

3. Cefosulbac 95 mg/8 jam (iv)

4. Amikasin 14 mg/8 jam (iv)

E. Prognosis

Quo ad Vitam : Dubia ad bonam


Quo adFunctionam : Dubia ad bonam
Quo adSanationam : Dubia ad bonam

2.3 Permasalahan

a) Apakah masalah yang terdapat pada pasien ini?

b) Apakah diagnosis pada pasien ini sudah tepat?

c) Faktor-faktor apa saja yang mungkin dapat mencetuskan

masalah BBLR pada pasien ini?

d) Apakah tatalaksana pada pasien ini sudah tepat?

2.4 Analisis Kasus

a. Apakah masalah yang terdapat pada pasien ini?

Dari anamnesis didapatkan bahwa pasien ini adalah bayi berat

lahir rendah dengan usia gestasi sesuai masa kehamilan. Dari

anamnesis didapatkan bahwa pasien lahir dalam usia gestasi 37

minggu dengan berat lahir 1700 gram. Hal ini menunjukkan

bahwa pasien merupakan BBLR. Berdasarkan WHO (2011),


BBLR adalah bayi yang lahir dengan berat <2500 gram.

Menurut Lee (2008), BBLR dapat terjadi pada bayi kurang bulan

atau prematur atau disebut BBLR Sesuai Masa Kehamilan

(SMK), bayi cukup bulan yang mengalami hambatan

pertumbuhan selama masa kehamilan/ Intra Uterine Growth

Restriction (IUGR) disebut BBLR Kecil Masa Kehamilan

(KMK) dan Besar Masa Kehamilan.

Permasalahan lain yaitu bayi tidak mau menyusu, dimana daya

hisapnya lemah. Menurut Jones (2005), keterampilan oral

motorik bayi dibagi dalam 4 fase, yaitu :

a. Perkembangan refleks menghisap

b. Pematangan proses menelan

c. Kematangan fungsi pernapasan

d. Koordinasi gerak menghisap, menelan, dan bernapas

Kemampuan refleks menghisap sudah mulai ada sejak usia

gestasi 28 minggu, namun sinkronisasi masih tidak teratur dan

bayi mudah mengalami kelalahan, sejalan dengan proses

pematangan maka mekanisme yang lebih teratur akan

didapatkan pada usia gestasi 32 sampai 36.

Selain itu, pada bayi ditemukan adanya bronkopneumonia. Hal

ini sering terjadi akibat transmisi vertikal ibu-anak yang

berhubungan dengan proses persalinan, misalnya melalui

aspirasi mekonium, cairan amnion, dari serviks ibu, atau berasal


dari kontaminasi dengan sumber infeksi dari RS. Gambaran

klinis pada neonatus dan bayi kecil tidak khas, mencakup apnea,

sianosis, merintih, napas cuping hidung, takipnea, letargi,

muntah, tidak mau minum, takikardi atau bradikardi, retraksi

dan demam. Pada pasien ini ditemukan tidak mau menyusu,

retraksi dinding dada, serta pada rontgen ditemukan adanya

gambaran infiltrat yang mengarah pada bronkopneumonia

sehingga kami mendiagnosis dengan bronkopneumonia.

Selain itu, pada pasien ini ditemukan adanya hipotermia dan

hiperbilirubinemia. Hipotermia dan hiperbilirubinemia

merupakan komplikasi yang sering terjadi pada bayi BBLR.

Hipotermia dapat terjadi karena kemampuan untuk

mempertahankan panas dan kesanggupan untuk menambah

produksi panas sangat terbatas karena pertumbuhan otot-otot

yang belum memadai, lemak subkutan yang sedikit dan belum

matangnya sistem saraf yang mengatur suhu tubuh jika

dibandingkan dengan bayi berat badan cukup. Gambaran klinis

hipotermia yaitu : suhu tubuh dibawah normal, akral dingin,

kulit dingin, dan sianosis. Pada pasien ini ditemukan suhunya

32,5ºC dan akral dingin. Hiperbilirubinemia adalah produksi

berlebih atau penurunan ekskresi bilirubin pada bayi baru lahir.

Masalah lain yang ditemukan adalah hipoalbuminemia dan


elektrolit imbalance. Albumin berfungsi sebagai pengatur

tekanan onkotik dan menjaga permeabilitas vaskuler agar tidak

terjadi ekstravasasi cairan keluar vaskuler. Pada pasien ini

didapatkan hipoalbuminemia. Lalu pada elektrolit imbalance,

ditemukan adanya hipokalemia. Elektrolit berfungsi sebagai

pengatur mekanisme sinaps listrik agar mekanisme eksitasi dan

inhibisi stabil sehingga tidak terjadi kejang, perut kembung,

aritmia, dan lain-lain.

Selain itu, terdapat trombositopenia pada pasien.

Trombositopenia merupakan salah satu gangguan yang paling

sering dijumpai pada neonatus dengan berat lahir rendah.

Trombositopenia neonatus awitan dini terjadi pada 75%

neonatus, pada umumnya telah ada saat lahir pada neonatus

prematur atau yang lahir yang mengalami komplikasi seperti,

insufisiensi plasenta atau pertumbuhan janin terhambat.

b. Apakah diagnosis pasien sudah tepat?

Berdasarkan anamnesis yang dilakukan dengan ibu pasien, ibu

pasien mengaku apabila usia kehamilannya 37 minggu sewaktu

melahirkan dengan berat badan bayi lahir 1700 gram. Hal ini

menunjukkan apabila neonatus lahir dengan berat badan rendah.

Menurut teori, BBLR adalah bayi dengan berat badan kurang

dari 2500 gram tanpa memandang usia gestasi. Berat saat lahir
adalah berat bayi yang ditimbang dalam 1 jam setelah lahir

(Marni, 2015).

Menurut kami, diagnosis pasien ini sudah tepat. Penarikan

kesimpulan itu sesuai dengan anamnesis yang kami lakukan dan

pemeriksaan fisik yang kami lakukan terhadap pasien ini yang

mengarah pada Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR).

Dari anamnesis didapatkan bahwa hari pertama haid terakhir

(HPHT) 13 Desember 2020, tanggal bayi dilahirkan adalah 29

Agustus 2021, sehingga berdasarkan data tersebut dapat

diketahui usia gestasi yaitu sekitar 37 minggu. Kemudian dari

data antropometri bayi yaitu berat badan bayi 1700 gram sesuai

dengan kriteria BBLR yaitu berat bayi lahir kurang dari 2500

gram.

Pada pasien ini tidak dilakukan scoring untuk menentukan usia

gestasi dengan penilaian neuromuskular dan maturitas fisik

menggunakan ballard score karena pasien ke abdul moeloek

untuk perawatan sudah berusia >48 jam dan tidak terdapat data

ballard score dari rujukan. Oleh karen itu usia gestasi pasien

menggukana patokan HPHT ibu yaitu pada tanggal 13 Desember

2020 dan bayi lahir pada 29 Agustus 2021 sehingga usia

kehamilan 37 minggu. Pasien saat ini sudah berusia 13 hari bila


dikonversikan ke minggu menjadi 1-2 minggu.

Gambar grafik

Pneumonia adalah inflamasi yang mengenai parenkim paru,

peradangan pada paru dimana proses peradangannya ini

menyebar membentuk bercak-bercak infiltrat yang berlokasi di

alveoli paru dan dapat pula melibatkan bronkiolus terminal.

Sehingga pada pasien ini terdapat riwayat tidak mau menyusu,

retraksi dinding dada, serta pada rontgen ditemukan adanya

gambaran infiltrat yang mengarah pada bronkopneumonia.

c. Faktor-faktor apa saja yang mungkin dapat mencetuskan

masalah BBLR pada pasien ini?

Dari anamnesis diketahui bahwa pasien merupakan anak

pertama dari pasangan suami istri. Pasien dilahirkan dari seorang

primipara dan didagnosis plasenta previa. Ibu pasien memiliki

pekerjaan dengan aktifitas yang berat demi mencukupi

kebutuhan rumah tangga yang masih kurang. Resiko kesehatan

ibu dan anak meningkat pada persalinan pertama, keempat dan

seterusnya. Kehamilan dan persalinan pertama meningkatkan

resiko kesehatan yang timbul karena ibu belum pernah

mengalami kehamilan sebelumnya, selain itu jalan lahir baru

akan dicoba dilalui janin. Ibu yang mengalami riwayat


kehamilan dengan plasenta previa beresiko melahirkan anak

dengan BBLR. Hal ini disebabkan karena berkurangnya suplai

nutrisi dan oksigen ke janin sehingga sistem metabolisme pada

janin mengalami gangguan dan tidak bekerja secara optimal

yang menyebabkan kebutuhan nutrisi dan oksigen janin tidak

terpenuhi dan berakibat pertumbuhan janin terhambat.

Pekerjaan pada ibu hamil dengan beban atau aktifitas yang

terlalu berat dan beresiko akan mempengaruhi pertumbuhan dan

perkembangan dalam rahim karena adanya hubungan aksis

fetoplasenta dan sirkulasi retroplasenta yang merupakan satu

kesatuan. Bila terjadi gangguan atau kegagalan salah satu, akan

menimbulkan resiko pada ibu (gizi kurang dan anemia) atau

pada janin (BBLR).

d. Apakah tatalaksana pada pasien sudah tepat?

1. Pemberian antibiotik cefosulbac adan amikasin

Pada pasien ini diberikan terapi antibiotik cefosulbac

95mg/8 jam IV. Sediaan cefosulbac 1 gram/vial dengan

dosis 50mg/kgbb/8 jam IV dan Amikasin 14 mg/8 jam IV.

Sediaan amikasin 250 mg/ml dengan dosis 7,5/kgbb/24 jam

IV.

Cefosulbac = 50 mg x 1.9 = 95mg/8 jam IV

Amikasin = 7.5 mg x 1.9 = 14.25 mg/24 jam IV

Menurut kami untuk dosis antibiotik cefulbac sudah tepat


dengan dosis yang seharusnya. Namun, untuk dosis

antibiotik amikasin masih belum tepat sesuai dengan dosis

yang seharusnya.

Tetapi menurut kami untuk pemberian antibiotik ini sudah

tepat karena pada BBLR memiliki resiko tinggi terhadap

infeksi. Selain itu, angka kematian neonatus di unit

perinatologi hampir menyumbang 60% dari total kamatian

bayi. Menurut Polin, dkk pseudomonas selalu muncul di

unit perawatan neonatologi dan dihubungkan dengan

tingginya angka kematian pada neonatus di unit perawatan

intensive. Reservoir potensial untuk pseudomonas meliputi

alat-alat resusitasi, humidifier, inkubator, susu formula,

pompa payu dara, bayi dengan perawatan lama, dan tangan

petugas kesehatan. Sehingga pada keadaan ini terapi

antibiotik secara empiris dengan penggunaan cefosulbac dan

amikasin dinilai tepat.

2. Pemberian Bolus D10%

Pada pasien ini ditemukaan keadaan hipoglikemia yaitu

GDS 13mg/dL. Dilakukan pemberian bolus D10% dengan

rumus 2 ml.kgbb/kali. Sehingga didapatkan 2ml x 1.7 = 3.4

ml bolus IV D10%.

3. Pemberian Cairan Enteral (Susu 25cc/hari)


Pada pasien ini diberikan trofik feeding menggunakan

selang OGT karena bayi memiliki refleks rooting dan isap

yang lemah. Trofik feeding dimulai dengan dosis 20,4-40,8

cc/hari.

Menurut kami pemberian nutrisi secara enteral pada pasien

ini sudah tepat karena masih dalam rentang pemberian

jumlah susu perhari, selain itu susu member keuntungan

berupa member makanan sel-sel usus dan menstimulasi

produksi hormone-hormon usus yang akan mempercepat

proliferasi sel-sel usus yang penting untuk adaptasi usus

setelah lahir. (Hendarto, 2002).

Selain itu pada pasien ini tidak ditemukan faktor-faktor

risiko (asfiksia. Sindrom gawat napas, apnea/bradikardi, dan

sepsis) sehingga kondisi tersebut dapat menjadi pegangan

dalam pemberian nutrisi enteral (Hendarto, 2002).

4. Albumin 20% 8cc/hari selama 3 hari

0.8 x bb x (3.5-2.6) = ... gram

0.8 x 1.9 x (0.9) = 1.368 gram

Sediaan albumin 200gr/L atau 1gr/5cc

Sehingga menurut kami tatalaksana albumin pada pasien ini

sudah tepat sesuai dengan kebutuhan pasien. Albumin


berfungsi sebagai pengatur tekanan onkotik dan menjaga

permeabilitas vascular agar tidak terjadi extravasasi cairan

keluar vaskular.

5. Kcl 10% 3.3 cc

1-2 mg/KgBB setara 1-2 cc/KgBB/hari

Pasien dengan berat badan 1900 gram

(1x 1,9 cc) s/d (2x1,9 cc)

Pasien dapat diberikan KCl 10% dalam rentang 1,9 cc s/d

3,8 cc perhari. Sehingga pemberian KCl 10% 3,3 cc sudah

tepat.

4. Kesimpulan

Diagnosis pasien ini adalah BBLR + bronkopneumonia + hipotermia +

hiperbilirubinemia + hipoalbuminemia + hipokalemia +

trombositopenia beserta penatalaksanaan pada pasien ini sudah tepat

sehingga bayi sudah dipindahkan ke ruangan SCN hingga perawatan

hari ke-5 saat BB 1700 gram.


DAFTAR PUSTAKA

Abdul Bari, Saifuddin. 2009. Pelayanan Kesehatan Maternal Dan Neonatal.


Jakarta : Bina Pustaka.
Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG. 2013. Neonatology Managemen,
Procedures, On-Cell Problems, Diseases, and Drugs. Seventh Ed.
America: MC Graw Hill Education Lange. 29-37
Hanifa G. 2007. Buku Panduan Praktisi Pelayanan Kesehatan Maternal dan
Neonatal. Jakarta: Yayasan Bina Puataka Sarwono Prawirohardjo
Hartiningrum I, dan Fitriyah N. 2018. Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) di
Provinsi Jawa Timur Tahun 2012-2016. Jurnal Biometrika dan
Kependudukan. 7(2):97-104
Husin, F. 2015. Asuhan Kebidanan Berbasis Bukti. Jakarta: Sagung Seto.
Lee KG. 2008. Identiftying the High-Risk Newborn and Evaluating Gestational
Age, Prematurity, Postmaturity, Large-for-Gestational-Age, and Small-
For-Gestational-Age Infants. In: Cloherty JP, Eichenwald EC, Stark AR,
editors. Manual of Neonatal Care. 6th ed. Philadelphia: Wolters Kluwer
Health. 41–58.
Leveno, K. J. 2009. Obstetri Williams: Panduan Ringkas Ed 21. Jakarta: EGC
Kumalasari, I., Tjekyan, R. S., dan Zulkarnain, M. 2018. Faktor Resiko dan
Angka kejadian Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) di RSUP
DR.Mohammad Palembang tahun 2004. Jurnal Ilmu Kesehatan
Masyarakat
Marlenywati, Hariyadi, D., dan Ichtiyati, F. 2015. Faktor-Faktor yang
Mempengaruhi Kejadian BBLR di RSUD DR. Soedarso Pontianak. Jurnal
Vokasi Kesehatan Vol.I , 154-160.
Ross. M. G. 2013. Fetal Growth Restriction. Los Angeles: University of
California
Pinontoan, V. M., dan Tombokan, S. G. 2015. Hubungan Umur dan Paritas Ibu
dengan Kejadian Bayi Berat Lahir Rendah. Jurnal Ilmiah Bidan , 20-25.
Prawirohadjo, S. 2014. Ilmu Kebidanan . Jakarta: Bina Pustaka.
Rukiyah, Y. A., dan Yulianti, L. 2019. Asuhan Kebidanan Kegawatdaruratan
Maetrnal dan Neonatal. Jakarta: Trans Info Media.
Said M. 2008. Pneumonia. Buku Ajar Respiratori Anak. Edisi II. Ikatan Dokter
Anaka Indonesia. Jakarta.
Sheridan, C. 2005. Intra Uterine Growth Restriction. Diagnosis and Management.
Aus. Fam. Physic. 34:717-23.
WHO. 2015. Optimal Feeding Of Low Birthweigh Infants in Low-And Middle
Income Countries. Geneva: World Health Organization.

Anda mungkin juga menyukai