01 Disertasi Akhmad Riduwan Bab 01 (001 022)
01 Disertasi Akhmad Riduwan Bab 01 (001 022)
PENDAHULUAN:
AKUNTANSI SEBAGAI BAHASA DAN PROBLEMATIKANYA
When the words are played, somewhere, sometime, in our life, they could lead [to]
catastrophe. [Let’s witness] the interplay, the powerfull, states or institutions and the
powerless. There are ‘creditors’ as ‘donors’, (imagine the ‘similarity’ [of] ‘selling’ blood
and blood donors, the colonialisation and democration). There are ‘loans’ as ‘assistance’
[and] the powerless, however, cannot exercise the words as [truly] ‘free’ recipients [then]
they are trapped by the debt, the powerfull, the greediest. When the words are played,
it’s a politics naming, it’s a game [and] the winners, the powerfull. Accountants, however,
creative in playing numbers [?] [but] more ‘straightforward’ [?] in their fundamental belief,
in their fundamental teaching, assets or liabilities, debit or credit. Accountants would
[never] say [?] creditors as donors, credit as assistance, debt as free lunch. Accountants
it’s time, isn’t it? To educate [and to lead] the ‘world’ [and themselves] towards
truthfullness with dignity, honesty, and honour. (Irianto dan Gaffikin 2005, 1-2)
Akuntansi adalah bahasa perusahaan. Akuntansi adalah teks yang menjadi media
komunikasi informasi keuangan antara manajer dan pihak-pihak yang berada di luar peru-
sahaan, ketika manajer tidak memiliki kesempatan secara langsung untuk berkomunikasi
melalui wicara. Ray J. Chambers menyatakan bahwa akuntansi adalah bahasa tulis yang
berfungsi sebagai pengganti bahasa wicara tersebut (Lee 1982, 153). Menurut Lee,
Chambers adalah orang yang paling konsisten mengakui bahwa akuntansi merupakan
media komunikasi antara perusahaan dengan pihak-pihak yang berkepentingan, dan ber-
pendapat bahwa aspek komunikasi dari akuntansi ini seharusnya menjadi dasar dalam
pengembangan teori akuntansi. Oleh karena itu, Chambers menghubungkan akuntansi
secara positif dengan teori komunikasi. Pandangan Chambers seperti diungkapkan oleh
Lee ini sangat berbeda dengan pandangan tradisional yang memposisikan akuntansi ha-
nya sebagai prosedur teknis yang dirancang untuk mengkuantifikasi objek yang terlibat
dalam transaksi-transaksi ekonomik.
Akuntansi sebagai bahasa perusahaan merupakan pengakuan Chambers yang ba-
nyak memperoleh respon serta dukungan positif dari kalangan profesi maupun akademisi
akuntansi (misalnya Li 1972; Lusk 1973, Ijiri 1975; Heath 1987; Fiol 1989; Fischer dan
Stoken 2001; serta Suwardjono 2005, 28). Ijiri (1975, 23) menyatakan bahwa di samping
berhubungan erat dengan masalah pengukuran, akuntansi juga berkaitan erat dengan
masalah komunikasi. Betapapun efektif proses pengukuran yang dilakukan dalam akun-
tansi, informasi yang dihasilkannya akan kurang bermanfaat apabila tidak dikomunikasi-
kan dengan tepat.
2
Bahasa merupakan aspek penting dalam komunikasi karena bahasa berfungsi se-
bagai pembawa pesan yang mengandung makna tertentu. Pada tataran konsep filsafat
analitik, bahasa merupakan sekumpulan simbol yang merujuk pada suatu objek, sehingga
apapun yang diucapkan atau dibahasakan selalu merujuk kepada sesuatu yang disebut
sebagai referent (Hidayat 2006, 87). Fungsi bahasa pada tataran konsep filsafat analitik
ini dapat ditemukan dalam akuntansi. Akuntansi memiliki seperangkat simbol, baik berupa
kata maupun angka, sehingga akuntansi dapat dipandang sebagai sebuah sistem bahasa
(Li 1972, 103).
Karena efek komunikatif merupakan sasaran penyampaian informasi dari penyedia
kepada pengguna informasi, maka ungkapan bahasa harus tepat sehingga maknanya da-
pat ditafsirkan sama persis dengan makna yang dimaksudkan. Oleh karena itu, di sam-
ping aspek sintaktik (tata bahasa) dan pragmatik (pengaruh bahasa), teori akuntansi perlu
dikembangkan dengan mempertimbangkan aspek semantik (makna bahasa) ini. Aspek
semantik penting untuk dipertimbangkan karena informasi keuangan secara ideal harus
memiliki kandungan informasi (information contents), atau benar-benar mengacu pada
realitas yang dikomunikasikan.
an tanpa harus menyaksikan secara fisis operasi perusahaan (Suwardjono 2005, 106).
Pernyataan ini secara eksplisit menunjukkan bahwa realitas yang disimbolkan akuntansi
adalah kegiatan fisis perusahaan yang dapat diukur dalam satuan uang.
Jika realitas diartikan sebagai kenyataan atau fakta, maka kegiatan fisis perusahaan
yang disimbolkan melalui tanda-tanda bahasa akuntansi harus merupakan kegiatan fisis
yang nyata atau faktual. Nilai uang yang dijadikan pengukur atas kegiatan fisis itu pun ha-
rus nyata atau faktual. Hal ini sesuai dengan pernyataan Li (1972, 105) bahwa sebagai
sebuah sistem bahasa, kandungan fakta (factual content) dari informasi akuntansi meru-
pakan hal yang harus diutamakan, dan untuk itu, akuntansi harus membatasi kegiatannya
pada deskripsi peristiwa-peristiwa bisnis yang dapat diuji kebenarannya di dunia nyata,
yang disebut sebagai referents.
Apakah simbol-simbol akuntansi (kata dan angka) merepresentasikan realitas seca-
ra objektif yang dapat diobservasi secara fisis dan dapat diuji kebenarannya? Jika realitas
diartikan sebagai sesuatu yang nyata atau faktual (Suwardjono 2005, 29), maka realitas
yang direpresentasikan oleh simbol akuntansi seharusnya adalah objek dan peristiwa
yang nyata (Macintosh et al. 2000, 13). Tetapi, simpulan ini tidak menjadi final karena
makna realitas mengandung problema.
Realitas yang diartikan sebagai kenyataan atau fakta terkait dengan objek atau pe-
ristiwa itu sendiri kembali menjadi tidak jelas jika dikaitkan dengan pertanyaan tentang
”apa yang merupakan kenyataan” dan ”apa yang bukan kenyataan”. Dalam konteks ini,
sejumlah pertanyaan dapat diajukan, misalnya: apakah gambar di layar televisi itu nyata?
Apakah perasaan kecewa, benci atau cinta kepada seseorang itu nyata? Apakah energi
itu nyata? Apakah unsur kimia itu nyata? Dalam konteks akuntansi pun dapat diajukan
pertanyaan: apakah aset lancar yang dicantumkan dalam neraca perusahaan itu nyata?
Apakah profitabilitas perusahaan itu nyata? Apakah laba akuntansi itu nyata? Mattessich
(2003, 444) berpendapat bahwa tidak satu pun pertanyaan-pertanyaan semacam itu da-
pat terjawab secara memuaskan, baik oleh para ilmuwan maupun para filsuf. Hardiman
(2003, 15) juga sepakat dengan Mattessich bahwa kata ”realitas” masih memerlukan ba-
nyak penjelasan, terutama tentang ”apa yang nyata” dan ”apa yang tidak nyata”.
Mattessich (2003) berpendapat bahwa realitas tidak harus selalu diartikan sebagai
kenyataan yang dapat diobservasi secara fisis, karena realitas juga berarti kenyataan
yang tidak dapat diobservasi secara fisis. Untuk menjelaskan hal ini, ia menggunakan
konsep onion model of reality, yang disebutnya pula sebagai metafor tentang realitas.
4
Melalui konsep atau metafornya itu, Mattessich (2003, 446) menyatakan bahwa realitas
(kenyataan atau fakta) memiliki tingkatan yang berbeda atau berlapis-lapis berdasarkan
perspektif multi-dimensi, termasuk dimensi waktu. Oleh karena itu, realitas tidak dapat di-
pandang secara linier berdasarkan dimensi tertentu yang bersifat tunggal. Mattessich
menyebutkan bahwa onion model of reality membedakan dan menempatkan realitas
dalam lima tingkatan, yaitu: (1) Realitas sejati (ultimate reality); (2) Realitas fisis-kimiawi
(physical-chemical reality); (3) Realitas biologis (biological reality); (4) Realitas mental
(mental reality); dan (5) Realitas sosial (social reality).
Realitas sejati merupakan realitas absolut yang menjadi dasar dan sumber
”pengada” bagi realitas lainnya. Realitas sejati itu adalah Tuhan. Mattessich (2003, 446)
berpendapat bahwa realitas sejati berada di luar domain akuntansi, sehingga simbol-
simbol akuntansi hanya dapat dicari relasinya dengan realitas yang berada pada empat
tingkatan berikutnya.
Berdasarkan empat tingkatan realitas dalam onion model of reality, Mattessich
(2003, 451) mengemukakan keyakinannya bahwa semua kata dalam bahasa selalu me-
rujuk pada realitas tertentu; dan hanya kata penghubung yang tidak memiliki rujukan
empiris meskipun kata-kata itu ikut membantu menjelaskan struktur yang inheren dalam
objek atau peristiwa empiris. Dengan demikian, semua simbol akuntansi (kata dan angka)
juga selalu memiliki relasi dengan realitas, tetapi realitas yang dirujuk oleh masing-masing
simbol akuntansi itu mungkin berada pada tingkatan yang berbeda. Khusus untuk simbol
laba (income) misalnya, Mattessich (2003, 452) menyatakan bahwa realitas yang dirujuk
oleh simbol laba tersebut tidak berada pada tingkatan realitas fisis, tetapi berada pada
tingkatan realitas sosial, yaitu suatu kenyataan atau fakta yang ”ada” karena kesepakatan
dalam komunitas akuntansi.
Objektivitas Realitas
Telah diungkapkan oleh Mattessich (2003) bahwa realitas tidak selalu dapat di-
observasi secara fisis, atau dengan kata lain, realitas tidak selalu objektif. Hal ini dapat
terjadi ketika realitas itu tidak berada pada tingkatan realitas fisis, tetapi berada pada
tingkatan realitas yang lain, misalnya realitas mental atau realitas sosial. Jadi, jika simbol
akuntansi merujuk pada realitas mental atau realitas sosial, maka realitas yang dirujuk
oleh simbol tersebut tentu tidak dapat diobservasi secara fisis. Mengacu pada pendapat
Mattessich (2003, 452) bahwa simbol laba pada dasarnya hanya merujuk pada realitas
sosial, maka dapat dikatakan bahwa objektivitas laba tersebut pada dasarnya juga berada
pada tataran objektivitas sosial, yaitu objektivitas berdasarkan kesepakatan yang terjadi
5
dalam komunitas akuntansi. Wojdak (1970, 97) menyebut objektivitas sosial tersebut
dengan istilah objektivitas metodologis (methodological objectivity). Disebut sebagai
objektivitas metodologis karena objektivitas realitas informasi akuntansi (termasuk laba)
mengacu pada kesesuaian proses akuntansinya dengan rerangka konseptual dan standar
akuntansi yang ditetapkan dan disepakati bersama oleh komunitas akuntansi. Rerangka
konseptual dan standar akuntansi bukan hasil rekayasa akuntan secara individual, tetapi
merupakan hasil kesepakatan kolektif.
Karena objektivitas realitas informasi akuntansi tidak selalu berada pada tataran
objektivitas fisis, maka realitas yang dirujuk oleh simbol-simbol akuntansi pada akhirnya
juga tidak selalu dapat diverifikasi atau diuji kebenarannya secara tuntas. Hal ini diakui
oleh Suwardjono (2005, 240) yang menyatakan bahwa fakta akuntansi tidak akan selalu
bersifat objektif penuh (conclusively objective) dan dapat diverifikasi secara tuntas
(completely verifiable). Konsep objektivitas dalam penciptaan data akuntansi adalah
objektivitas yang disesuaikan dengan keadaan yang ada pada saat penentuan fakta, bu-
kan objektivitas mutlak. Artinya, bahwa bukti yang mendukung perlakuan akuntansi ter-
tentu dapat bersifat sepenuhnya objektif, secara meyakinkan objektif, secara meragukan
objektif, atau sama sekali tidak objektif.
Temuan-temuan penelitian Haried (1972 dan 1973) tersebut diakui oleh Hendriksen
dan van Breda (2000, 16), bahwa:
Angka-angka dan klasifikasi akuntansi memang sangat bervariasi dalam hal penafsir-
an yang dapat disimpulkan oleh pembaca laporan keuangan. Misalnya, pos kas dalam
laporan posisi keuangan (neraca) cukup baik dipahami maknanya sesuai dengan
makna yang dimaksudkan oleh akuntan. Tetapi, pos-pos beban tangguhan tidak me-
miliki interpretasi yang spesifik terlepas dari proses struktural yang memunculkannya.
Smith dan Taffler (1992) serta Courtis (1998) yang melakukan penelitian terbatas
pada responden dari pihak pemakai informasi, mendukung temuan Haried (1972 dan
8
1973). Mereka menemukan fakta bahwa akuntansi sebagai bahasa bisnis masih mengan-
dung setidaknya dua problema utama, baik yang bersumber dari teks akuntansi itu sendiri
maupun yang bersumber dari pembaca teks akuntansi. Jones (1996, 86) menyebutkan
dua problema tersebut sebagai kemudahan informasi akuntansi untuk dibaca (readability)
dan kemampuan untuk memahami informasi akuntansi (understandability)1.
Jones (1996, 86) menjelaskan, bahwa readability merupakan problema komunikasi
informasi akuntansi yang bersumber dari teks akuntansi, terutama karena adanya kom-
pleksitas simbol (kata maupun angka) yang digunakan selama proses akuntansi hingga
penyajian laporan keuangan. Sebaliknya, understandability terfokus pada pembaca teks
akuntansi, yang berarti bahwa kemampuan untuk memahami bahasa akuntansi sangat
bergantung pada karakteristik pembaca, baik dalam hal latar belakang, pengetahuan,
tujuan, kepentingan, serta kemampuan melakukan pembacaan secara umum.
Pernyataan Jones (1996, 86) tersebut sebenarnya telah terpikirkan oleh Oliver
(1974) yang menindaklanjuti penelitian Haried (1972 dan 1973). Berbeda dengan Haried
yang menguji pemaknaan dan pemahaman terminologi akuntansi yang tampak dalam la-
poran keuangan, Oliver (1974) menguji pemahaman responden pada wilayah semantik
yang berbeda. Wilayah semantik yang menjadi perhatian Oliver (1974) adalah “konsep-
konsep akuntansi” sebagai konsep kunci yang harus dipahami lebih dulu sebelum seseo-
rang membaca laporan keuangan. Konsep akuntansi kunci yang dimaksud oleh Oliver ter-
diri atas delapan konsep, yaitu definisi akuntansi, konsep laba, konsistensi, pengungkap-
an, penandingan, penilaian, biaya (costs), serta penghasilan dan beban (expenses).
Konsep-konsep tersebut tidak tampak secara eksplisit dalam laporan keuangan ka-
rena konsep-konsep tersebut merupakan hasil pemikiran logis yang digunakan sebagai
dasar perumusan pesan yang akan disampaikan melalui laporan keuangan. Oliver (1974,
300) berasumsi bahwa konsep-konsep akuntansi tersebut merupakan suatu stimulus un-
tuk memahami terminologi atau simbol-simbol akuntansi yang dinyatakan dalam laporan
keuangan. Dengan kata lain, Oliver berasumsi bahwa terminologi atau simbol-simbol
akuntansi yang eksplisit akan mudah dimaknai apabila pembaca laporan keuangan me-
mahami lebih dulu konsep-konsep akuntansi yang secara implisit melatarbelakangi tim-
bulnya terminologi atau simbol tersebut.
1
Adelberg (1983, 163) menganggap bahwa kata readability dan understandability memiliki makna yang sama, dan kare-
nanya, ia menggunakan kedua kata itu secara bergantian. Jones (1996, 86) berpendapat bahwa meskipun kata readability
dan understandability dapat dimaknai sama dan digunakan secara bergantian, tetapi masing-masing kata itu terfokus pada
dua hal yang berbeda, sehingga kedua kata itu masih dapat dibedakan maknanya. Kata readability terfokus pada teks
akuntansi, sedangkan understandability terfokus pada pembaca teks akuntansi.
9
Penelitian Oliver (1974) dilakukan terhadap 1.400 orang responden yang berasal
dari 7 (tujuh) bidang profesi yang masing-masing terdiri atas 200 orang, yaitu: akuntan
publik, akuntan pendidik (accounting educators), analis keuangan, dealer sekuritas,
corporate financial executive, investment bankers, dan pegawai bank. Melalui kuisioner
yang disusun berdasarkan semantic-differential method, para responden diminta untuk
memberikan makna pada masing-masing konsep akuntansi kunci yang telah dipilih.
Hasil penelitian Oliver (1974, 312) menunjukkan bahwa akuntan pendidik memiliki
tingkat pemahaman yang jauh lebih tinggi terhadap konsep-konsep akuntansi dibanding-
kan dengan tingkat pemahaman dari akuntan publik dan lima kelompok profesi lainnya.
Sementara itu, tingkat pemahaman akuntan publik terhadap konsep-konsep akuntansi re-
latif tidak berbeda dengan tingkat pemahaman dari lima kelompok profesi lainnya. Berda-
sarkan hasil penelitiannya ini, Oliver menyatakan bahwa kesamaan tingkat pemahaman
konsep-konsep akuntansi antara akuntan publik dan kelompok pemakai informasi akun-
tansi memungkinkan terjadinya pertukaran informasi antar profesional tanpa menimbulkan
masalah, karena komunikasi informasi akuntansi antar profesional tersebut dapat berlang-
sung berdasarkan kesamaan pemahaman.
Selanjutnya, Oliver (1974, 312) mengharapkan bahwa jika akuntan pendidik secara
konsisten ingin terus menunjukkan perannya dalam pengembangan pemanfaatan infor-
masi akuntansi, mereka seharusnya berpikir untuk membangun jaringan komunikasi de-
ngan pihak-pihak di luar lingkungan akademik. Tanpa mengesampingkan pemikiran kon-
septual dan teoretisnya, mereka seharusnya juga memikirkan dan mempelajari bagaima-
na cara mengirim dan menerima pesan-pesan akuntansi (accounting messages) untuk
memenuhi kebutuhan pragmatik.
Hingga saat ini, praktik akuntansi berjalan atas dasar konsep akrual (accrual). Kon-
sep ini tertuang dalam SFAC No.6 paragraf 139-141 (FASB 1991) dan Kerangka Dasar
Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan (KDPPLK) paragraf 22 (IAI 2007). Berda-
sarkan konsep akrual, suatu transaksi atau peristiwa dibukukan pengaruhnya terhadap
elemen-elemen laporan keuangan pada saat transaksi atau peristiwa itu terjadi tanpa
mempertimbangkan apakah kas atau setara kas telah diterima atau dibayarkan.
Implikasi praktis dari konsep akrual adalah, bahwa akuntansi dapat mencatat dan
melaporkan perubahan aset, kewajiban, ekuitas, penghasilan serta beban tanpa ditandai
10
oleh adanya aliran kas. Akuntansi tidak hanya mencatat dan melaporkan transaksi yang
berpengaruh langsung pada kas sekarang, tetapi juga transaksi kredit, pertukaran, trans-
fer barang dan jasa non-resiprokal, perubahan harga, perubahan bentuk aset atau kewa-
jiban, serta transaksi, peristiwa dan kejadian-kejadian lain yang memiliki konsekuensi kas
bagi perusahaan di masa depan.
Dengan berbasis akrual, catatan akuntansi tidak hanya mencatat dan melaporkan
fakta terjadinya arus kas sekarang, tetapi juga mencatat dan melaporkan potensi terjadi-
nya arus kas di masa depan. Seluruh fakta dan potensi tersebut seluruhnya dicatat seka-
rang, sehingga angka-angka yang tercantum dalam laporan keuangan sebagai produk
akuntansi, kecuali laporan aliran kas, menjadi sulit dimengerti (Chambers 1989, 7). Pen-
catatan fakta dan potensi dalam akuntansi akrual tersebut dijustifikasi terutama oleh prin-
sip “substansi mengungguli bentuk”. Berdasarkan prinsip ini, akuntansi akan mencatat
suatu transaksi berdasarkan pertimbangan makna atau substansi ekonomiknya, dan bu-
kan hanya berdasarkan pertimbangan bentuk hukumnya. Substansi ekonomik lebih di-
unggulkan daripada bentuk hukum karena substansi ekonomik dianggap dapat meng-
gambarkan realitas ekonomik suatu transaksi, dan dengan demikian, informasi akuntansi
dianggap menyajikan secara jujur transaksi atau peristiwa lain yang seharusnya disajikan.
Konsep akrual dapat dipandang sebagai konsep dasar paling penting dalam akun-
tansi karena konsep akrual merupakan landasan untuk membangun struktur akuntansi,
atau sebagai pijakan utama untuk mencapai tujuan akuntansi, dalam hal ini tujuan pela-
poran keuangan. Spirit akuntansi akrual untuk merepresentasikan realitas ekonomik peru-
sahaan yang seharusnya direpresentasikan, mendorong ditetapkannya definisi elemen-
elemen laporan keuangan, dengan maksud agar kesenjangan antara konsep dan praktik
akuntansi dapat dihindari (McSweeney 2000, 772).
Definisi elemen-elemen laporan keuangan (aset, kewajiban, ekuitas, penghasilan
dan beban) yang diikuti kriteria pengakuan dan penyajiannya dalam laporan keuangan ini
telah menjadi bagian penting dari rerangka konseptual akuntansi, karena fokus akuntansi
adalah apa yang harus dilaporkan, kapan harus dilaporkan, dan berapa jumlah yang ha-
rus dilaporkan. Oleh karena itu, definisi dan kriteria pengakuan tersebut merupakan hal
mendasar yang harus selalu dipertimbangkan dalam penyusunan standar akuntansi.
pygmalion syndrome2 bukan merupakan istilah baru, karena istilah ini merupakan idiom
dari istilah ”reifikasi” (Heath 1987, 1). Ansari dan Euske (1987) menggunakan istilah
reifikasi (reification)3 untuk merujuk pada makna yang sama dengan makna pygmalion
syndrome. Sebagai contoh reifikasi dalam akuntansi adalah cara berfikir tentang laba
(earnings). Dalam konteks akuntansi berbasis akrual, akuntan sering mereifikasi laba.
Misalnya, baik secara lisan maupun melalui tulisan, akuntan sering membuat pernyataan-
pernyataan berikut: mendistribusikan laba, menahan laba, menginvestasikan kembali
(reinvestment) laba, dan membiayai pembelian peralatan pabrik dengan bagian laba.
Implisit dalam pernyataan tersebut adalah bahwa akuntan membayangkan seolah-
olah laba merupakan suatu benda yang secara fisis dapat dibagi-bagikan, didistribusikan,
disimpan, atau dibelanjakan. Dalam akuntansi akrual, laba atau rugi hanyalah sebuah
model konseptual dan tidak dapat diobservasi atau diukur secara langsung. Laba dalam
akuntansi adalah kenaikan aset bersih yang tidak disebabkan oleh transaksi modal de-
ngan pemilik. Laba diukur menggunakan atribut (nilai) tertentu atas aset dan kewajiban
perusahaan, kemudian dimanipulasi sesuai dengan aturan akuntansi tertentu yang telah
ditetapkan. Meskipun konsep akuntansi tentang laba merupakan suatu model untuk
menggambarkan peristiwa di dunia nyata, tetapi realitas atas laba itu sendiri tidak pernah
ada secara fisis.
Pygmalion syndrome atau reifikasi atas laba dapat menimbulkan problema dalam
komunikasi informasi akuntansi. Problema komunikasi ini mungkin tidak akan terjadi jika
komunikasi dilakukan oleh mereka yang memahami konsep akuntansi. Misalnya, A ber-
kata kepada B, ”Tahun lalu, PT X mendistribusikan laba sebesar 40 persen sebagai
dividen”. Meskipun laba telah direifikasi oleh A, tetapi B faham bahwa laba yang tampak
sebagai bottom-line dalam laporan laba-rugi tidak merepresentasikan kas yang dapat di-
distribusikan, dan menyadari bahwa A hanyalah berbicara secara metaforis. Artinya, B
2
Pygmalion syndrome menunjukkan kecenderungan seseorang untuk mengacaukan (to confuse) antara model konseptual
tentang sesuatu atau peristiwa di dunia nyata dengan sesuatu atau peristiwa itu sendiri. Model konseptual adalah deskripsi,
perhitungan dan persamaan matematis, atau analogi yang digunakan untuk menggambarkan secara sederhana tentang
sesuatu atau peristiwa yang tidak dapat diobservasi secara langsung (Heath 1987, 1). Sebagai contoh, kalau suatu surat
kabar memberitakan bahwa keluarga di USA rata-rata memiliki 2 orang anak, maka angka 2 tersebut merupakan hasil
perhitungan matematis sebagai penjelasan sederhana tentang jumlah anak yang sebenarnya tidak dapat diobservasi
secara langsung. Jika seseorang berfikir bahwa setiap keluarga di USA benar-benar memiliki 2 orang anak, seolah-olah ia
mengobservasinya secara langsung, maka ia dikatakan mengidap gejala pygmalion syndrome. Istilah pygmalion diambil
dari legenda Yunani, yaitu Pygmalion – seorang raja Cyprus bertubuh kerdil – yang pandai memahat patung. Dengan
kepandaiannya, suatu saat Pygmalion memahat patung seorang wanita. Walaupun ia mengetahui bahwa hasil karyanya
hanyalah sebuah patung, tetapi ia merawat dan memperlakukannya seperti manusia sesungguhnya. Pada akhirnya
Pygmalion jatuh cinta dan menikahi patung wanita yang dibuatnya itu (Heath 1987, 1). Patung hanyalah sebuah model,
tetapi dibayangkan dan diperlakukan oleh Pygmalion seperti manusia (wanita) yang nyata. Berdasarkan legenda Yunani
tersebut, istilah pygmalion syndrome digunakan untuk menggambarkan adanya kecenderungan seseorang untuk menya-
makan “konsep atau model” dengan “dunia nyata”.
3
Secara etimologis, reification berasal dari bahasa latin “res” yang berarti “benda” atau “objek”, sehingga reify berarti mem-
bendakan (lihat Heath 1987, 1). Reifikasi adalah berbicara atau berfikir tentang sesuatu secara konseptual, tetapi mem-
bayangkan bahwa sesuatu itu adalah benda yang ada secara fisis dan dapat diobservasi secara langsung di dunia nyata.
12
Ketika mesin tulis yang lama telah didepresiasi penuh, perusahaan ingin membeli lagi
sebuah mesin tulis serupa. Karena tipe mesin tulis yang lama tidak tersedia lagi di pa-
saran, maka terpaksa dibeli sebuah mesin tulis bekas pakai dengan tipe dan kondisi
yang persis sama dengan mesin tulis lama. Keberadaan mesin tulis ”baru” ini ternyata
menyebabkan ruang kantor terkesan makin sempit. Oleh karena itu, sebuah dari me-
sin tulis yang memiliki tipe dan kondisi sama tersebut akhirnya dibuang (dimasukkan
ke gudang) oleh pegawai kantor. Akuntan terkejut ketika mengetahui sebuah mesin
tulis dibuang, kemudian ia bertanya, ”Mesin tulis mana yang kau buang, mesin tulis
lama atau mesin tulis yang baru kita beli?” Setelah memperoleh jawaban bahwa
mesin tulis lama yang dibuang, akuntan berkata, ”Syukurlah kalau begitu, berarti saya
tidak harus melaporkan kerugian bagi perusahaan”.
Akuntan dalam old story di atas membedakan pengaruh keuangan atas keberadaan
mesin tulis ”baru” dan mesin tulis lama bagi perusahaan. Ia berimajinasi bahwa mem-
buang mesin tulis lama dan menghapuskannya dari catatan akuntansi tidak akan menim-
bulkan kerugian (loss) bagi perusahaan, karena mesin tulis lama tersebut telah didepre-
siasi penuh atau nilai bukunya sudah nol. Sebaliknya, akuntan berimajinasi bahwa jika
yang dibuang adalah mesin tulis ”baru”, penghapusannya dari catatan akuntansi akan
menimbulkan kerugian bagi perusahaan. Di sinilah letak pygmalion syndrome atau reifi-
kasi akuntan terhadap ”kerugian” (loss).
Dalam konteks old story di atas, akuntan telah gagal untuk menggunakan model
atau konsepnya dalam merepresentasikan peristiwa yang sesungguhnya terjadi. Peristiwa
yang gagal direpresentasikan adalah “kerugian” akibat membuang mesin tulis lama yang
sebenarnya masih memberikan manfaat bagi perusahaan. Dengan pygmalion syndrome-
nya, akuntan telah mereifikasi kerugian sebagai kehilangan uang, bukannya kehilangan
aset perusahaan berupa mesin tulis yang masih bermanfaat. Heath (1987, 4) menyatakan
bahwa seandainya kepada akuntan ini diajukan pertanyaan ”mengapa membuang mesin
tulis yang telah didepresiasi penuh bukan merupakan kerugian bagi perusahaan?”, maka
ia pasti akan balik bertanya, ”apakah anda belum faham definisi kerugian (loss) dalam
13
akuntansi?”. Pertanyaan balik dari akuntan ini cukup untuk memberikan gambaran bahwa
”definisi” merupakan sumber penyebab reifikasi atau timbulnya pygmalion syndrome
dalam akuntansi.
Definisi adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari konsep-konsep akuntansi,
karena definisi diperlukan dalam pembentukan konsep (Gerboth 1987, 2; serta Hronsky
dan Houghton 2001, 123). Dengan demikian, definisi tidak berbeda dengan konsep, yaitu
penjelasan (deskripsi) untuk merepresentasikan sesuatu yang tidak dapat diobservasi se-
cara langsung, dengan tujuan agar ”sesuatu” itu masuk dalam pikiran manusia. Oleh ka-
rena itu, untuk memahami bagaimana akuntansi akrual bekerja, diperlukan definisi ten-
tang semua hal yang perlu didefinisikan, misalnya definisi tentang penghasilan, beban,
dan laba, yang diikuti dengan kriteria pengakuannya.
Bagaimana mungkin reifikasi atau pygmalion syndrom dalam akuntansi berpangkal
dari definisi-definisi yang terbentuk dalam konsep akuntansi? McGoun dan Bettner (1994,
2) menjelaskan bahwa definisi memberi penjelasan tentang makna suatu kata atau istilah.
Setiap definisi dapat disimpan dalam lokasi (track) tertentu dalam sebuah komputer ketika
seseorang menuliskannya. Dengan pemrograman yang pintar, ketika sebuah istilah mun-
cul dalam laporan keuangan (di permukaan layar komputer), definisi istilah tersebut dapat
ditampilkan kembali secara otomatis sesuai dengan yang dikehendaki, misalnya ditampil-
kan sebagai catatan kaki. McGoun dan Bettner (1994, 2) mengatakan bahwa pikiran ma-
nusia bukanlah komputer, sehingga tidak mampu menyimpan beragam definisi itu secara
permanen dalam track tertentu. Pikiran manusia menghimpun informasi dalam berbagai
bentuk abstraksi dan citraan yang kompleks. Ketika sebuah istilah muncul dalam laporan
keuangan, makna yang dirujuk oleh pikiran tidak selalu konsisten dengan definisi yang di-
simpannya. Pikiran selalu dipengaruhi oleh situasi atau lingkungan untuk membentuk
citraan, dan selalu menggunakan citraan untuk merespon situasi atau lingkungan.
Istilah-istilah akuntansi beserta definisinya yang tertulis dalam teks (dokumen) akun-
tansi memang sama dengan yang tersimpan dalam pikiran akuntan. Misalnya istilah laba.
Dokumen akuntansi dan pikiran akuntan akan menyimpan istilah laba ini dengan penger-
tian yang sama, bahwa laba adalah kenaikan aset bersih perusahaan yang tidak berasal
dari transaksi dengan pemilik. Namun demikian, ketika istilah laba ini muncul, baik dalam
bentuk tulisan maupun lisan, pikiran akuntan dapat mencitrakan kata laba tersebut secara
berbeda dengan makna yang telah disimpan dalam pikirannya. Misalnya, akuntan men-
citrakan laba dengan sejumlah uang, bukannya kenaikan aset bersih.
14
Reifikasi atau pygmalion syndrome dalam akuntansi dapat terjadi pada setiap
orang. Pygmalion syndrome dalam akuntansi terjadi karena definisi istilah-istilah akun-
tansi tidak selalu sama dengan realitas yang didefinisikan. Realitas yang dikonsepsikan
tidak selalu sama dengan realitas fisis. Dalam kehidupan, secara alamiah manusia cende-
rung mencitrakan realitas berdasarkan kondisi fisisnya, bukan berdasarkan konsep yang
ada dalam pikiran (McGoun dan Bettner 1994, 2). Sebagai contoh, seseorang secara
alamiah akan mencitrakan “penghasilan” sebagai uang yang diperoleh, dan kata ”diper-
oleh” dicitrakannya sebagai diterima secara fisis, bukan sebagai hak. Demikian pula yang
terjadi pada kata ”modal” yang secara alamiah cenderung dicitrakan sebagai uang tunai.
Berkaitan dengan hal tersebut, Gerboth (1987, 2) menyatakan bahwa akuntan ada-
lah profesional yang taat pada definisi. Para akuntan adalah orang-orang yang bekerja
atas dasar rerangka konseptual yang paling teratur dan efisien, karena setiap istilah yang
ada dalam rerangka konseptual harus dimaknai secara konsisten, yang berarti tidak boleh
ada makna lain. Oleh karena itu, kata Gerboth (1987, 2), bukan sesuatu yang mengejut-
kan jika studi-studi psikologi banyak mengungkapkan bahwa akuntan adalah profesional
yang memiliki tingkat toleransi paling rendah terhadap ambiguitas dan ketidakkonsisten-
an. Walaupun demikian, bukan berarti akuntan selalu konsisten dan tidak ambigu dengan
definisi yang dibuatnya. Karena definisi istilah akuntansi tidak selalu persis sama dengan
realitas yang didefinisikannya (Gerboth 1987, 3), maka akuntan sering sulit menghadapi
konsekuensi definisi itu di dunia nyata.
Seperti telah disebutkan di muka, bahwa dalam kajian kritis-filosofis yang dilakukan
secara khusus pada simbol laba (income), Mattessich (2003, 452) menyatakan bahwa
realitas yang dirujuk oleh simbol laba tersebut tidak berada pada tingkatan realitas fisis,
tetapi berada pada tingkatan realitas sosial, yaitu sebagai suatu kenyataan atau fakta
yang ”ada” karena kesepakatan dalam komunitas akuntansi. Hasil kajian Mattessich ini
sangat berbeda dengan hasil kajian Macintosh et al. (2000, 13) yang menyimpulkan
bahwa banyak simbol akuntansi [termasuk simbol laba] yang tidak memiliki rujukan seca-
ra jelas pada objek dan peristiwa nyata. Macintosh et al. (2000, 13) berkesimpulan bahwa
akuntansi belum menjalankan fungsinya sesuai logika representasi, pertanggungjawaban,
atau penyajian informasi ekonomik secara transparan; tetapi sebaliknya, akuntansi makin
memperbanyak model referensial yang ternyata hanya berputar-putar dalam dunia “hiper-
realitas” dari model-model itu sendiri.
Perbedaan hasil kajian antara Mattessich (2003) dan Macintosh et al. (2000) ter-
sebut terjadi karena adanya perbedaan sudut pandang di antara mereka dalam melihat
relasi simbol akuntansi (terutama simbol laba) dengan realitas yang dirujuknya.
Mattessich (2003) melihat relasi simbol dan referen berdasarkan konsep onion model of
reality yang dielaborasinya, sedangkan Macintosh et al. (2000) melihatnya dari sudut pan-
dang tingkatan relasi tanda dan realitas (order of simulacra) yang dikembangkan oleh
Jean Baudrillard, seorang filsuf pos-strukturalis Perancis.
Dijelaskan oleh Macintosh et al. (2000, 14), bahwa Baudrillard pada awalnya meng-
gunakan konsep simulakra (simulacrum), implosi (implosion) dan hiperrealitas (hyper-
reality)4 untuk mendeskripsikan secara radikal perkembangan kehidupan masyarakat pos-
modern. Tetapi pada saat-saat selanjutnya, Baudrillard secara khusus menggunakan kon-
sep tersebut untuk menjelaskan perkembangan relasi tanda dan realitas dalam seluruh
kehidupan masyarakat. Baudrillard mengklasifikasikan relasi tanda dan realitas dalam
empat tingkatan. Klasifikasi tingkatan ini bukan berarti ada ranking bahwa yang satu lebih
baik dari yang lain, tetapi sekadar menunjukkan bahwa yang satu terjadi mendahului yang
lain, atau disebut oleh Baudrillard sebagai era tanda (era of the sign).
4
Macintosh et al. (2000, 14) menjelaskan bahwa simulakra (simulacrum) adalah tanda (sign), citra (image), model (model),
pretensi (pretence), atau bayangan (shadow) yang menyerupai sesuatu seperti aslinya. Implosi adalah suatu keadaan di
mana batasan antara dua atau lebih entitas, konsep atau fakta telah mencair, rusak atau hancur sehingga perbedaan-
perbedaan di antaranya tidak lagi tampak. Hiperrealitas merujuk pada kondisi posmodernitas di mana simulakra (tanda,
citra, atau model) tidak berasosiasi dengan kenyataan atau terlepas dari realitas (objek material) yang sebenarnya.
Nugroho (2006, 279) mengartikan simulakra sebagai “suatu simbol tanpa ada yang disimbolkan”, sedangkan Piliang (2003,
132-134) mengartikan simulakra sebagai sebuah duplikasi dari duplikasi, yang aslinya tidak pernah ada, sehingga
perbedaan antara yang duplikasi dan yang asli menjadi kabur. Simulakra merupakan suatu citra (image) atau konsep yang
terbentuk melalui simulasi – yaitu proses penciptaan bentuk nyata melalui model-model yang tidak ada asal-usul atau
referensi realitasnya, sehingga memampukan manusia untuk menjadikan hal-hal yang supernatural, ilusi, fantasi, dan
khayali menjadi tampak nyata.
16
Order of simulacra yang dikemukakan oleh Baudrillard adalah sebagai berikut: (1)
Tanda merefleksikan realitas yang benar-benar nyata dan ada mendahului tanda (pro-
found reality). Dalam era ini, tanda merujuk pada realitas dengan penampakan yang
nyata, dalam arti bahwa tanda merepresentasikan realitas secara jujur dan transparan; (2)
Tanda menyembunyikan dan menyimpangkan sifat-sifat asli dari profound reality. Dalam
era ini, tanda merujuk pada penampakan realitas yang terdistorsi, dalam arti bahwa tanda
merampas sifat yang dimiliki oleh realitas; (3) Tanda menyembunyikan ketidakhadiran
realitas. Pada era ini, tidak jauh berbeda dengan permainan sulap, tanda berusaha ber-
main untuk mewujudkan realitas; (4) Relasi tanda dan realitas dipertukarkan atau dibalik,
di mana keberadaan tanda terjadi mendahului keberadaan realitas. Pada era ini, tanda
tidak memiliki relasi apa pun dengan realitas, bahkan realitasnya sendiri belum ada atau
sama sekali tidak ada. Akibatnya, referen tanda adalah tanda itu sendiri, atau disebut
sebagai simulakra murni (pure simulacrum).
Konsep order of simulacra dari Baudrillard tentang relasi antara tanda dan realitas
tersebut di atas dapat digunakan sebagai dasar untuk memahami relasi tanda dan realitas
dalam konteks akuntansi seperti digunakan oleh Macintosh et al. (2000), sehingga terda-
pat empat kemungkinan relasi antara tanda (simbol) akuntansi dengan realitas yang diru-
juknya. Relasi yang mungkin terjadi antara simbol akuntansi dan realitasnya adalah seba-
gai berikut: (1) tanda merepresentasikan realitas objektif; (2) tanda merepresentasikan
realitas sebatas citra; (3) tanda merepresentasikan realitas sebatas model; dan (4) tanda
merepresentasikan realitas dalam wujud tanda itu sendiri atau simulakra murni.
Macintosh et al. (2000) tidak secara tegas menyatakan apakah hirarkhi relasi simbol
akuntansi dan realitasnya merefleksikan tingkatan kualitas informasi atau tidak. Sebalik-
nya, Mattessich (2003) secara tegas menyatakan bahwa hirarkhi onion model of reality
yang dielaborasinya tidak dimaksudkan untuk menilai bahwa tingkatan yang lebih tinggi
adalah lebih baik dibandingkan tingkatan di bawahnya. Tetapi, dengan pertimbangan bah-
wa simbol akuntansi merupakan representasi realitas yang akan dikomunikasikan melalui
laporan keuangan, maka setiap tingkatan relasi simbol dan realitas yang didasarkan pada
order of simulacara Jean Baudrillard seharusnya dipandang sebagai refleksi dari kualitas
informasi akuntansi.
Relasi tanda dan realitas pada tingkatan pertama dapat dipandang sebagai refleksi
kualitas informasi yang terbaik, sedangkan relasi tanda dan realitas pada tingkatan ke-
empat dapat dipandang sebagai refleksi kualitas informasi yang terburuk. Jadi, dalam
17
konteks ini, kualitas informasi akuntansi dievaluasi berdasarkan sudut pandang objektivi-
tas realitas yang dirujuk oleh simbol-simbol akuntansi tersebut, sedangkan objektivitas di-
evaluasi dari segi kesimetrisan relasi antara tanda dan realitas.
Tingkatan relasi tanda dan realitas yang merefleksikan kualitas informasi tersebut di
atas dapat digunakan sebagai dasar untuk membenarkan pernyataan Piliang (2003, 45),
bahwa dalam semiotika, suatu tanda dapat digunakan untuk merefleksikan kebenaran,
kepalsuan, bahkan kedustaan. Semakin tidak simetris relasi tanda dan realitas, maka se-
makin besar kemungkinan tanda merefleksikan kepalsuan, bahkan kedustaan. Karena ko-
munikasi informasi akuntansi pada dasarnya mengkomunikasikan realitas melalui tanda,
maka terbuka kemungkinan simbol-simbol akuntansi untuk merefleksikan kebenaran, ke-
palsuan, maupun kedustaan tentang realitas tersebut.
Piliang (2003, 45) mengartikan kedustaan sebagai tindakan untuk mengatakan atau
menuliskan sesuatu yang dianggap benar, sementara diketahui dan disadari bahwa hal
itu diragukan kebenarannya atau sama sekali tidak benar. Artinya, antara yang dikatakan
atau ditulis tidak sesuai dengan realitas yang sesungguhnya. Piliang memberikan pen-
jelasan lebih lanjut bahwa,
Konsisten dengan pernyataan Piliang di atas, maka sangat terbuka peluang bagi
simbol-simbol akuntansi yang tidak memiliki kandungan semantis untuk merepresentasi-
kan realitas palsu atau bahkan merepresentasikan kedustaan. Kemungkinan kepalsuan
dan kedustaan tersebut tidak hanya berkaitan dengan kata atau kalimat yang digunakan
untuk merepresentasikan realitas, tetapi juga berkaitan dengan jumlah (angka) yang me-
nyertainya.
akuntansi, di mana pada setiap komponen akrual, secara eksplisit maupun implisit, berisi
asumsi-asumsi tentang peristiwa yang akan datang (future events). Peristiwa-peristiwa
yang akan datang inilah yang menjadi sumber problema, terlebih ketika konsep akrual
diterapkan secara paradoksal antara peristiwa yang satu dengan peristiwa yang lain.
Contoh dari paradoks perlakuan future events dalam akuntansi akrual adalah dica-
tatnya pendapatan (revenues) sebelum diterima pembayarannya, misalnya dari penjual-
an. Pencatatan suatu beban (expenses) ditunda meskipun pembayaran telah dilakukan,
misalnya beban depresiasi, karena dipertimbangkannya harapan diperolehnya manfaat di
masa depan, penghasilan di masa depan, atau aliran kas yang diharapkan dapat dihasil-
kan di masa depan. Dalam kasus lain, beban dicatat meskipun pembayaran belum dilaku-
kan (misalnya gaji pegawai); kerugian dicatat sekarang (misalnya kerugian piutang)
meskipun belum benar-benar tidak tertagih. Penjualan pada tahun depan (yang sudah
dipesan sekarang) tidak diakui sekarang meskipun probabilitas diterimanya kas di tahun
depan sangat besar, semata-mata karena penjualan tahun depan tersebut tidak me-
menuhi definisi dan kriteria pengakuan penghasilan. Di lain pihak, beban imbalan pasca
kerja diakui sekarang, dengan mempertimbangkan probabilitas kejadiannya di masa de-
pan dan mendiskun nilainya untuk dapat dilaporkan berdasarkan nilai sekarang.
Johnson et al. (1993, 79) dan Rosenfield (2003, 234) mempertanyakan apakah nilai
sekarang (present value) merupakan sebuah realitas objektif, dan mempersoalkan pene-
rapan present value tersebut dalam akuntansi. Rosenfield (2003, 233) berargumen bah-
wa penggunaan present value dalam penyajian laporan keuangan tidak memberikan kon-
tribusi dalam memperbaiki fungsi pokok akuntansi, yaitu melaporkan kondisi dan penga-
ruh keuangan dalam dunia nyata yang relevan sesuai dengan kejadian sebenarnya. Pen-
diskunan (discounting) nilai masa depan menjadi nilai sekarang adalah magical process,
bertentangan dengan hubungan sebab-akibat terjadinya suatu peristiwa. Masa depan ti-
dak pernah terjadi sekarang, dan karenanya, peristiwa keuangan di masa depan juga bu-
kan representasi peristiwa sekarang.
Keinginan untuk memasukkan kejadian-kejadian di masa depan ke dalam catatan
akuntansi telah menjadi spirit konsep akrual untuk menyajikan realitas ekonomik perusa-
haan secara utuh, sehingga totalitas (totality)5 merupakan karakteristik akuntansi berbasis
akrual ini. Dengan berbasis akrual, akuntansi berupaya merangkum fakta dan potensi se-
cara total, kemudian menjadikannya sebagai penanda (signifier) untuk merepresentasikan
realitas ekonomik dan kinerja perusahaan.
5
Mengacu pada Al-Fayadl (2005, xxiv), istilah “totalitas” dalam konteks tulisan ini diartikan sebagai hasrat atau keinginan
untuk memperoleh ”kebenaran” yang utuh, tunggal dan universal (Al-Fayadl 2005, xxiv).
19
Motivasi Penelitian
Penelitian ini termotivasi oleh beberapa hal berikut. Pertama, terdapat pandangan
kritis-filosofis bahwa simbol laba dalam akuntansi tidak memiliki referen pada objek atau
peristiwa nyata atau tidak merujuk pada realitas fisis, tetapi referen simbol laba tersebut
hanya terbatas pada tingkatan realitas sosial, yaitu realitas yang disepakati oleh komuni-
tas akuntansi (Matttesich 2003, 452). Bahkan secara lebih radikal, Macintosh et al. (2000,
38) menyatakan bahwa simbol laba merupakan simulakra murni (pure simulacrum), yang
berarti bahwa referen simbol laba adalah dirinya sendiri, semata-mata merupakan hasil
produksi dan reproduksi dari simbol-simbol akuntansi yang lain. Pernyataan kritis-filosofis
20
dari Mattessich dan Macintosh et al. tersebut didasarkan pada konsep onion model of
reality (Mattessich 2003) serta order of simulacra Baudrillard (Macintosh et al. 2000).
Pernyataan-pernyataan kritis tersebut memotivasi penelitian ini untuk memahami realitas
referensial laba akuntansi dalam bingkai penafsiran penyedia, pembaca dan pengguna
laporan keuangan secara langsung.
Kedua, pernyataan kritis-filosofis Mattessich (2003, 452) bahwa referen simbol laba
hanya terbatas pada tingkatan realitas sosial, serta pernyataan Macintosh et al. (2000,
38) bahwa simbol laba merupakan simulakra murni, menimbulkan ”kecurigaan” akan ter-
jadinya ketidakefektifan komunikasi melalui laporan keuangan, terutama jika pihak-pihak
yang terlibat dalam komunikasi menafsirkan laba dengan mengacu pada realitas yang
berbeda-beda. Seperti diketahui bahwa komunikasi dikatakan efektif jika simbol-simbol
bahasa sebagai representasi realitas yang dikomunikasikan dapat ditafsirkan secara sa-
ma oleh pihak penyedia, pembaca dan pengguna informasi. Kecurigaan akan terjadinya
ketidakefektifan komunikasi informasi laba tersebut memotivasi penelitian ini untuk mema-
hami kesamaan dan/atau keragaman penafsiran laba akuntansi oleh penyedia, pembaca,
dan pengguna informasi pada ranah praksis.
Ketiga, hasil kajian kritis-filosofis Macintosh et al. (2000) dan Mattessich (2003)
tersebut di atas konsisten dengan praktik akuntansi saat ini, terutama yang berkaitan de-
ngan penggunaan konsep laba komprehensif (comprehensive income). Berdasarkan kon-
sep ini, laba didefinisikan sebagai kenaikan aset bersih atau kenaikan ekuitas yang tidak
dipengaruhi oleh kontribusi dari dan distribusi kepada pemilik perusahaan. Dengan demi-
kian, pengukuran dan pengakuan laba dilakukan secara bersamaan dengan pengukuran
dan pengakuan perubahan aset bersih atau perubahan ekuitas. IAI (2007) melalui
KDPPLK paragraf 67 menyatakan bahwa ”hanya karena faktor kebetulan kalau jumlah
ekuitas agregat sama dengan jumlah yang dapat diperoleh dengan melepaskan seluruh
aset bersih”. Hal ini menunjukkan bahwa simbol ekuitas tidak selalu merujuk pada realitas
objektif. Karena perubahan ekuitas menjadi pedoman dalam pengukuran dan pengakuan
laba, maka dengan sendirinya simbol laba itu sendiri juga tidak selalu merujuk pada reali-
tas objektif.
Agar konsep laba komprehensif dalam akuntansi akrual dapat diterapkan sesuai
tujuannya, maka rerangka konseptual akuntansi perlu menyatakan definisi, kriteria penga-
kuan dan pengukuran atas elemen-elemen laporan keuangan (aset, kewajiban, ekuitas,
penghasilan dan beban). Definisi dibuat dengan tujuan untuk membedakan sebuah kon-
sep dengan konsep lainnya, sehingga perbedaan dari unit-unit yang dimiliki oleh suatu
konsep dengan konsep lainnya dapat dijaga (Rand 2003, xvi-xvii); demikian pula tujuan
21
kriteria pengakuan dan pengukuran. Tetapi, sebagai sebuah teks, rerangka konseptual
akuntansi mungkin tidak bebas dari logosentrisme, yaitu pemusatan pada dalil-dalil terten-
tu yang dianggap memiliki kebenaran universal dalam mendefinisikan, mengukur serta
mengakui laba tersebut dengan merepresi dalil-dalil yang lain. Kemungkinan adanya
logosentrisme tersebut memotivasi penelitian ini untuk melakukan pencarian makna (se-
miotika) secara dekonstruktif atas laba akuntansi.
Pertanyaan Penelitian
Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk mencapai beberapa tujuan. Pertama, memahami pe-
nafsiran penyedia, pembaca, dan pengguna laporan keuangan atas laba akuntansi, serta
mengevaluasi pemahaman mereka atas konsep laba yang diterapkan dalam akuntansi.
Sebagai simbol yang digunakan dalam komunikasi, laba yang dicantumkan dalam laporan
laba-rugi seharusnya ditafsirkan secara sama antara penyedia dan pengguna informasi,
karena hanya dengan penafsiran yang sama tersebut komunikasi menjadi efektif. Meng-
ingat konsep laba yang dianut dalam akuntansi berkaitan erat dengan proses penetapan
laba, maka sesuai harapan IAI (2007) yang implisit dalam KDPPLK paragraf 01 dan 25,
pihak-pihak yang berkepentingan dengan informasi laba seharusnya memahami konsep
laba tersebut. Dengan demikian, mereka tidak menafsirkan laba akuntansi berdasarkan
persepsi masing-masing.
Kedua, melakukan pencarian makna (semiotika) secara struktural dan dekonstruktif
atas penafsiran laba akuntansi untuk mengungkap realitas yang secara struktural tampak
di permukaan dan tersembunyi di balik penafsiran tersebut. Semiotika dekonstruktif juga
dimaksudkan untuk menguraikan kemungkinan adanya logosentrisme6 konsep-konsep
yang melandasi praktik akuntansi yang berkaitan langsung dengan penetapan laba. Da-
6
Logosentris berarti pemusatan kebenaran (Norris 2006, 9). Logosentrisme (logocentrism) berarti kecenderungan sistem
pemikiran yang mencari legitimasinya dengan mengacu pada dalil-dalil yang dianggap sebagai kebenaran universal (Piliang
2003, 19).
22
lam penelitian ini, dekonstruksi merupakan upaya untuk mengurai teks [kata, istilah, defi-
nisi] atau sistem pemikiran (Al-Fayyadl 2005, 79) yang terefleksi dalam rerangka konsep-
tual dan standar akuntansi. Tujuan mengurai teks akuntansi dalam hal ini adalah membu-
ka ruang agar pemaknaan teks dan suatu pola pemikiran tidak terpusat pada sumber ke-
benaran tertentu (logos) yang bersifat tunggal dan dianggap benar secara universal. Da-
lam filsafat dekonstruksi, keragaman penafsiran laba akuntansi oleh pihak-pihak yang
berkepentingan tidak selalu berarti bahwa mereka tidak memahami teks tersebut, tetapi
juga sangat mungkin bahwa keragaman penafsiran tersebut mengindikasikan adanya
makna lain atas teks. Dekonstruksi bermuara pada pemunculan teks atau pemikiran baru,
tanpa harus menolak teks atau sistem pemikiran yang sudah ada.
Seperti dikemukakan oleh Triyuwono (2000, xvi) bahwa dengan dekonstruksi, se-
suatu ”yang lain” dimunculkan untuk diakui, ditempatkan secara sejajar dengan konsep
yang sudah menjadi ”pusat”. Dekonstruksi dimaksudkan untuk mengakui ”kemajemukan”
dengan menempatkan ”yang lain” pada relasi yang bersifat terbuka, demokratis, dan tetap
kooperatif (Triyuwono 2000, xvi). Dalam konteks akuntansi, logos (kebenaran) dapat ter-
pusat pada angka-angka yang disajikan (Triyuwono 2000, xxvii), dan dapat pula terpusat
pada definisi atau pemaknaan istilah yang dibuat, kriteria pengakuan dan pengukuran,
serta cara representasi. Dengan dekonstruksi, dapat dimunculkan makna lain, kriteria
pengakuan dan pengukuran lain, atau bentuk representasi lain, tanpa merusak unsur-
unsur semula yang menjadi pusat; tetapi unsur-unsur yang semula terpusat berubah men-
jadi terurai dan terbuka.