PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
A. Batasan Operasional
Meliputi :
Bab I : Pendahuluan
Bab II : Standar Ketenagaan
Bab III : Standar Fasilitas
Bab IV : Tata Pelaksanaan Pelayanan
Bab V : Logistik
Bab VI : Keselamatan Pasien
Bab VII : Keselamatan Kerja
Bab VIII : Pengendalian Mutu
Bab IX : Penutup
B. Landasan Hukum
1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009
tentangKesehatan,
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 tentang
RumahSakit,
3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun
1999 tentangPerlindungan Konsumen,
4.
Permenkes RI Nomor:HK.02.02/MENKES/148/I/2010 tentang Izin da
n
Penyelenggaraan Praktik Perawat,
6. Permenkes RI Nomor :1796/MENKES/PER/8/2011 tentang Registras
i
Tenaga Kesehatan,
7.Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 129/MENKES/SK/II/2008tent
ang Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit.
BAB II
STANDAR KETENAGAAN
Keterangan :
1. BTCLS : Basic Trauma Cardiac Life Support
2. BHD : Bantuan Hidup Dasar
B. Distribusi ketenagaan
a. Untuk Dinas Pagi :
Yang bertugas sejumlah ± 8 orang
Kategori :
1 orang Ka Unit Stroke
1 orang WaKa Ruangan
1 orang Perawat Penaggung jawab Shift
1 orang Petugas Administrasi
3 orang Perawat Pelaksana
b. Untuk Dinas Sore :
Yang bertugas sejumlah ± 3 orang
Kategori :
1 orang Perawat Penanggung Jawab Shift
2 orang perawat pelaksana
c. Untuk Dinas Malam :
Yang bertugas sejumlah ± 3 orang
Kategori :
1 orang Perawat Penanggung Jawab Shift
2 orang perawat pelaksana
C. Pengaturan jaga
Pengaturan jadwal dinas perawat dibuat dan di pertanggung jawabkan
oleh Kepala Unit Stroke dan disetujui oleh Ka Keperawatan
Jadwal dinas dibuat untuk jangka waktu satu bulan dan direalisasikan ke
perawat pelaksana setiap satu bulan.
Untuk tenaga perawat yang memiliki keperluan penting pada hari
tertentu, maka perawat tersebut dapat mengajukan permintaan dinas.
Permintaan akan disesuaikan dengan kebutuhan tenaga yang ada (apa
bila tenaga cukup dan berimbang serta tidak mengganggu pelayanan,
maka permintaan disetujui).
Setiap tugas jaga / shift harus ada perawat penanggung jawab shift (
Katim ) dengan syarat pendidikan minimal D III Keperawatan dan masa
kerja minimal 5 tahun, serta memiliki sertifikat BTCLS
Jadwal dinas terbagi atas dinas pagi, dinas sore, dinas malam, lepas
malam, libur dan cuti.
Apabila ada tenaga perawat jaga karena sesuatu hal sehingga tidak
dapat jaga sesuai jadwal yang telah ditetapkan ( terencana ), maka
perawat yang bersangkutan harus memberitahu Ka Unit Stroke : 2 jam
sebelum dinas pagi, 4 jam sebelum dinas sore atau dinas malam.
Sebelum memberitahu Ka Unit Stroke, diharapkan perawat yang
bersangkutan sudah mencari perawat pengganti, Apabila perawat yang
bersangkutan tidak mendapatkan perawat pengganti, maka Ka Unit
Stroke akan mencari tenaga perawat pengganti yaitu perawat yang hari
itu libur atau perawat Unit Stroke yang tempat tinggalnya dekat dengan
lingkunagan / wilayah rumah sakit.
Apabila ada tenaga perawat tiba – tiba tidak dapat jaga sesuai jadwal
yang telah ditetapkan ( tidak terencana ), maka Ka Unit Stroke akan
mencari perawat pengganti yang hari itu libur atau perawat Unit Stroke
yang tempat tinggalnya dekat dengan lingkungan / wilayah rumah sakit.
Apabila perawat pengganti tidak di dapatkan, maka perawat yang dinas
pada shift sebelumnya wajib untuk menggantikan.(Prosedur pengaturan
jadwal dinas perawat Unit Stroke sesuai SOP terlampir).
BAB III
STANDAR FASILITAS
B. Standar fasilitas
1. Bangunan Fisik
Unit Stroke Memiliki bangunan yang terletak Di lantai Dua, Ruangan
Kartika. Dekat Dengan Ruang Operasi Dan Ruang ICU. Pada
bagian dalam ruangan terdiri dari :
PENUNJANG KONSUL
DIAGNOSTIK
UNIT STROKE
b. Tim Konsultan
Adalah para ahli yang ikut mengelola pasien stroke sesuai dengan
probema yang membutuhkan pengelolahan sesuai dengan bidang
keahlian yang bersangkutan. Tim konsultan melaksanakan
pengelolaan atas dasar konsultatif.
Disiplin Ilmu Penyakit Dalam.
Disiplin Ilmu Penyakit Jantung
Disiplin Ilmu Penyakit Paru
Disiplin Ilmu Bedah Saraf.
Disiplin Ilmu Rehabilitasi Medik
Disiplin Ilmu Penyakit Jiwa
Disiplin Ilmu Intensive Care Unit (ICU) / Neuro Critical Care.
Disiplin Ilmu Radiologi/ Neuroradiologi
Disiplin Ilmu Bedah vaskular
Disiplin Ilmu Kesehatan Anak
Stroke Pada fase akut perlu dilakukan intervensi untuk
meningkatkan kelangsungan hidup pasien stroke. Sepertiga pasien
stroke mengalami perburukan neurologis selama beberapa hari
pertama (terutama 24 jam pertama) dan lebih 25% mengalami
progresi (berkembang atau tetap mengalami kerusakan neurologis).
Perkembangan kerusakan neurologis disebabkan oleh proses
intraserebral seperti “ischaemic cascade” selain itu dihubungkan
dengan hemodinamik sistemik, biokimia dan gangguan fisiologis yang
memungkinkan untuk diatasi. Penelitian Normal brain function relies
on physiological mechanismFungsi otak normal bergantung pada
mekanisme fisiologis which ensure that the brain receives both the
correct quantityyang memastikan bahwa otak menerima jumlah dan
kualitas darah yang normal. Jumlah darah tergantung pada
autoregulasi sedangkan kualitas darah tergantung pada kadar
oksigen dan glukosa darah. After a stroke, the autoregulation system
becomes disturbed,Setelah stroke, sistem autoregulasi mengalami
gangguan, sehingga otak tergantung pada tekanan darah sistemik
untuk menerima darah yang cukup (Jones, Leathley, McAdam &
Watkins, 2007).
Pengobatan antihypertensi diberikan pada stroke iskemik jika
tekanan darah sistole > 220 mmHg atau mean arterial blood pressure
(MAP) >120 mmHg. Menurunkan tekanan darah sekitar 15% selama
24 jam pertama direkomendasikan (Prasad, Kaul, Padma, Gorthi,
Khurana, & Bakshi, 2011).. Antihipertensi parenteral diberikan jika
pasien mengalami hipertensi emergensi dengan 1 atau lebih masalah
yaitu: hipertensi ensefalopati, hipertensi nefropati, hipertensi cardiac
failure/Infark miokard, pembedahan aorta, pre eklampsia/eklampsia
atau perdarahan intraserebral dengan tekanan darah sistole > 200
mmHg (Prasad, Kaul, Padma, Gorthi, Khurana, & Bakshi, 2011).
Saturasi oksigen dipantau melalui pemeriksaan analisa gas darah
(hasil pemeriksaan laboratorium belum ada). Pada fase akut, selain
saturasi oksigen, hal yang harus diperhatikan adalah pengaturan
posisi. Pasien dengan posisi rekumben (berbaring pada satu
sisi/miring dan posisi supine mempunyai saturasi oksigen yang lebih
rendah. Pasien dengan posisi kepala ditinggikan dapat
mempertahankan kadar saturasi O2 tetap tinggi, dan harus dipastikan
bahwa posisi pasien tidak merosot ketika dalam posisi ini. Pemberian
oksigen sering diberikan pada stroke fase akut, meskipun keuntungan
dan risiko pemberian oksigen tidak sepenuhnya dipahami (Jones,
Leathley, McAdam & Watkins, 2007). Oksigen sebaiknya diberikan
jika saturasi oksigen <95% (Prasad, Kaul, Padma, Gorthi, Khurana, &
Bakshi, 2011).
Peningkatan kadar glukosa darah sering ditemukan pada stroke
fase akut. Kadar glukosa serebral yang tinggi meningkatkan glikolisis
anaerob selama iskemik dengan akumulasi asam laktat yang bersifat
neurotoksik pada penumbra iskemik (Khan & Ziauddin, 2001).
Peningkatan kadar glukosa darah berhubungan dengan
perkembangan stroke, beratnya stroke, perluasan infark, outcome
yang jelek, peningkatan morbiditas dan mortalitas (Jones, Leathley,
McAdam & Watkins, 2007).
Kadar glukosa plasma >200 mg/dl dihubungkan dengan
outcome yang jelek. Hal ini tergantung usia, beratnya stroke dan sub-
type stroke (Khan & Ziauddin, 2001). Blood glucose levels should be
closely monitored in thKadar glukosa darah harus dipantau secara
ketat pada stroke acute phase of stroke so that changes in plasma
glucofase akut sehingga perubahan kadar glukosa plasma dapat
diidentifikasi dan diobati jika perlu concentrations can be identified
and treated if necessary(Jones, Leathley, McAdam & Watkins, 2007).
Glukosa darah dipertahankan antara 70-190 mg/dl. Jika terjadi
peningkatan glukosa darah >140 mg/dl harus diatasi dengan
pemberian insulin dengan melakukan sliding scale selama minggu
pertama setelah stroke (Prasad, Kaul, Padma, Gorthi, Khurana, &
Bakshi, 2011).
Jika pasien stroke mengalami demam (>37.5°C) diobati dengan
paracetamol dan cari kemungkinan penyebab infeksi. Hypothermia
<34°C harus dihindari karena dapat menyebabkan koagulopati,
ketidakseimbangan elektrolit, infeksi dan aritmia (Prasad, Kaul,
Padma, Gorthi, Khurana, & Bakshi, 2011).which means that the brain
becomes dependent on systemicIntervensi lain yang dilakukan yaitu
mengatur posisi head up 30o, memberi oksigen 4 liter/menit,
memasang infus Asering 500 ml/12 jam, melakukan pemeriksaan
EKG, rontgen thoraks dan CT scan. Melakukan pengambilan darah
untuk pemeriksaan darah lengkap dan kimia darah, menjelaskan
tentang faktor yang memicu serangan stroke, memotivasi pasien
untuk mengkonsumsi obat-obatan sesuai dengan dosis dan
memotivasi untuk tetap memeriksakan kesehatan secara rutin.
E. Pengunaan alat medik (SOP Terlampir)
a. Syringe pump
b. Infusion pump
c. Suction
d. Defibrilator
e. Infra Red
f. Short Wave Diathermy
F. Konsultasi
1. Fisioterapis
fisioterapi hemiparese
Aplikasi teknologi fisioterapi dan efek fisiologis teknologi fisioterapi pada
hemiparese dextra oleh karena stroke non haemorhagik
Modalitas Fisioterapi yang digunakan untuk menangani kondisi stroke
stadium akut atau flaccid ini, bertujuan untuk;
(1) mencegah komplikasi pada fungsi paru akibat tirah baring yang lama.
(2) menghambat spastisitas, pola sinergis ketika ada peningkatan tonus.
(3) mengurangi oedem pada anggota gerak atas dan bawah sisi sakit .
(4) merangsang timbulnya tonus kearah normal, pola gerak dan
koordinasi gerak.
(5) meningkatkan kemampuan aktifitas fungsional. Pelaksanaan terapi
dilakukan pada ruang ICU dan bangsal rawat inap.
Adapun teknik yang di gunakan diantaranya :
1). Passive breathing excercise
Karena sudah satu minggu pasien mengalami serangan stroke.Dan saat
ini sebagian besar waktunya digunakan untuk tiduran oleh pasien.
Istirahat yang cukup lama dibed dan inaktifitas akan menurunkan
metabolisme secara umum .Hal ini mengakibatkan penurunan
kapasitas fungsional pada sistim tubuh yang komplek, dengan
manifestasi klinis berupa sindrom imobilisasi (Saleem dan Vallbona).
Pada pasien yang menderita defisit neurologis efek imobilisasi berakibat
pada penurunan kapasitas fungsional. Hal ini menyebabkan
membutuhkan waktu yang lama untuk mengembalikan potensi fungsi
maksimal yang dimiliki pasien. Manifestasi klinik sindrom imobilisasi
salah satunya pada sistem respirasi yang berupa :
(a) penurunan kapasitas vital
(b) penurunan ventilasi volunter maksimal
(c) perubahan regional dalam ventilasi/perfusi
(d) gangguan mekanisme batuk.
2). Positioning
Setiap posisi atau gerak dari pasien harus selalu berada dalam lingkup
pola penyembuhan atau berlawanan dengan pola spastisitas yang
timbul kemudian, posisi dan latihan gerak dalam pola penyembuhan
harus sejak dini dilaksanakan.Pengaturan posisi yang benar dengan
posisi anatomis, ini bermanfaat untuk menghambat pola sinergis dan
spastisitas ketika adanya peningkatan tonus. Posisi tidur terlentang,
posisi bahu dan lengan diletakkan diatas bantal sehingga bahu sedikit
terdorong ke depan (protaksi) karena pada paisen stroke cenderung
untuk terjadi retraksi bahu.Posisi bantal diletakkan dibawah tungkai
bawah dengan maksud agar panggul tidak jatuh kebelakang dan
tungkai tidak eksternal rotasi. Posisi miring kesisi sehat berfungsi agar
tidak terjadi dekubitus dan untuk mencegah komplikasi fungsi paru
akibat tirah baring yang lama karena karena sangkar thorak terfiksir
dalam posisi ekspirasi, dengan posisi bahu protaksi dan lengan lurus
didepan bantal.Posisi miring kesisi sakit, dengan posisi bahu terdorong
kedepan dan tidak tertindih akan memberikan rasa berat badan pada
sisi lumpuh.Pengaturan posisi elevasi pada ekstremitas bawah dan
ekstremitas atas berguna untuk menurunkan oedem dengan menganut
prinsip gravitasi dengan postural drainage lewat pembuluh darah dan
limfe.Pengaturan posisi furniture pasien disisi lumpuh dengan tujuan
(1) rotasi kepala yang diikuti mata paisen secara otomatis kearah
benda yang terletak dimeja menimbulkan suatu kebiasaan untuk
meluruskan lengan yang sakit dalam pola penyembuhan (2) berat
badan bergeser kerah sisi tubuh terutama sendi panggul, merangsang
kesadaran akan sisi yang paralisis (3) gerakan memutar bahu terhadap
panggul merupakan gerakan penting dalam mencegah spastisitas.
3). Stimulasi taktil terhadap kulit, otot, persendian dengan tehnik – tehnik:
tapping, swiping, aproksimasi.
Stimulasi taktil pada prinsipnya harus menimbulkan kontraksi otot,
sehingga akan merangsang golgi tendon dan muscle spindle.Impuls
yang berasal dari gelondong otot dan organ tendon dikirim oleh serat
konduksi yang paling kaya bermyelin yaitu serat Ia.Impuls propioseptif
lain yang berasal dari reseptor fasia, sendi dan jaringan ikat yang lebih
dalam, berjalan dalam serat yang kurang bermyelin.Ketukan, swiping,
tapping dan aproksimasi akan merangsang propioseptor pada kulit dan
persendian, gelondong otot akan bereaksi dengan dikirimnya impuls ke
motoneuron anterior, perangsangan neuron ini menyebabkan
peningkatan kontraksi secara singkat. Rangsangan pada muscle
spindle dan golgi tendon akan diinformasikan melalui afferen ke
susunan saraf pusat sehingga akan mengkontribusikan fasiltas dan
inhibisi (gracanin).Rangsangan taktil yang diulang-ulang akan
memberikan informasi ke “supraspinal mechanisme” sehingga terjadi
pola gerak yang terintegrai dan menjadi gerakan-gerakan pola
fungsional. Stimulasi taktil melalui saraf motoris perifer melatih fungsi
tangan “graps” dan “release” serta dapat memberikan fasilitasi pada
otot yang lemah dalam melakukan gerakan .
4). Latihan gerak pasif dengan pola gerak propioceptive neuromusculer
fasilitation dengan tehnik rhytmical initiation .
PNF adalah kependekan dari propioceptive Neuromuscular Fasilitation.
Dimana maksud dari fasilitasi disini adalah membuat lebih
mudah.Dengan demikian kita bisa memberikan tindakan dengan
efisien dengan selalu memperhatikan ketepatan dan fungsi gerakan
yang dilakukan pasien.Propiceptieve, dengan metode PNF maka akan
semakin diperkuat dan diintensifkan rangsangan – rangsangan spesifik
melalui receptor yaitu panca indra dan atau
propioceptor.Neuromusculair, juga untuk meningkatkan respons dari
sistem neouromusculair. Filosofi dari PNF adalah menangani atau
mengobati pasien secara total dengan tujuan mencapai fungsi-fungsi
yang optimal dari pasien.PNF berlatar belakang atas konsep sebagai
berikut : bahwa kehidupan (dalam arti sempit) adalah sederetan reaksi
atas sederetan rangsangan – rangsangan yang diterimanya.Manusia
dengan cara demikian akan dapat mencapai bermacam – macam
kemampuan motorik.Bila ada gangguan terhadap mekanisme
neuromusculair, berarti seseorang tidak dalam kondisi untuk siap
bereaksi terhadap rangsangan -rangsangan yang datang sehingga dia
tidak mampu untuk bereaksi kearah yang tepat seperti yang
dikehendaki.Metode PNF berusaha memberikan rangsangan –
rangsangan yang sesuai dengan reaksi yang dikehendaki, yang pada
akhirnya akan dicapai kemampuan atau gerakan yang
terkoordinasi.Lewat rangsangan – rangsangan tadi fisioterapis
berusaha untuk mengaktifkan lagi mekanisme yang latent dan
cadangan –cadangannya dengan tujuan utama untuk meningkatkan
kemampuan fungsional.Metode PNF menganut prinsip – prinsip (1)
Ilmu proses tumbuh kembang, perkembangan motoris berkembang
dari cranial ke caudal dan dari proksimal ke distal.Gerakan
terkoordinasi pada orang dewasa berlangsung dari distal ke
proksimal.Gerakan selalu sebelumnya didahului dengan kontrol sikap
(stabilisasi), dimana stabilisasi akan menentukan kualitas dari gerakan
(2) Prinsip Neurofisiologis, Overflow principe; motoris impuls dapat
diperkuat oleh motoris impuls yang lain dari group otot yang lebih kuat
yang dalam waktu bersamaan berkontraksi, dimana otot –otot tersebut
kira – kira mempunyai fungsi yang sama (otot – otot synergis).overflow
principe akan menimbulkan apa yang disebut irradiatie atau
summatie.Rangsangan saraf motoris mempunyai ambang rangsang
tertentu (semua atau tidak sama sekali).(3) Prinsip ilmu gerak, latihan –
latihan isometris ditujukan untuk memperbaiki sikap sedangkan latihan
isotonis ditujukan untuk memperbaiki gerakan.Gerakan tunggal murni
tidak ada dalam kehidupan, otak hanya mengenal aktifitas otot secara
group bukan gerakan individual,setiap gerakan terjadi dalam arah tiga
dimensi.gerakan akan semakin kuat bila terjadi bersama – sama
dengnan gerakan total yang lain.Dengan dasar – dasar tersebut,
metode PNF menyusun latihan – latihan dalam gerakan – gerakan
yang selalu melibatkan lebih dari satu sendi dan mempunyai 3
komponen gerakan.Latihan akan lebih cepat berhasil apabila pasien
secara penuh mampu melakukan suatu gerakan dari pada bila hanya
melakukan sebagian saja.Hindarkan faktor – faktor yang menghambat
latihan misal latihan seharusnya tanpa menimbulkan rasa sakit,
pengulangan – pengulangan yang banyak dan bervariasi, sikap posisi
awal akan memberikan hasil yang lebih baik, aktifitas yang lama
penting untuk meningkatkan kekuatan, koordinasi, kondisi dari sistem
neuromusculair.Tehnik – tehnik PNF adalah alat fasilitasi yang dipilih
dengan maksud yang spesifik, tehnik – tehnik tersebut mempunyai
maksud (1) mengajarkan pola gerak, menambah kekuatan otot (3)
relaksasi (4) memperbaiki koordinasi (5) memperbaiki gerak (6)
mengajarkan kembali gerakan (7) menambah stabilisasi.
5) Mobilisasi dini dengan latihan secara pasif dan aktif.
Pemulihan motorik ialah kembalinya fungsi motorik yang disebabkan oleh
pemulihan sistem saraf pada daerah otak yang terkena.Pemulihan
motorik sangat bervariasi, banyak diantara mereka yang mengalami
pemulihan lengkap (recovery completely) namun tidak sedikit pula
yang harus berlatih keras guna memperoleh kembali kemampuan
fungsionalnya atau bahkan banyak diantaranya harus menjalani
kehidupannya dengan beberapa disabilitas.
Pemulihan motorik terjadi melalui dua mekanisme utama yaitu
(1) resolusi dari faktor – faktor lokal yang merusak dan ini biasanya
merupakan pemulihan spontan yang umumnya berlangsung antara 3
sampai dengan 6 bulan. Bahkan proses ini bisa hanya dalam beberapa
hari sampai beberapa minggu, proses ini meliputi pengurangan oedem
lokal, perbaikan sirkulasi darah lokal dan penyerapan jaringan yang
rusak
(2) Neuroplastisitas yang terjadi pada stadium lanjut, penderita stroke
mempunyai hubungan bermakna terhadap reorganisasi yang disebut
“Neural Plasticity” dalam proses perbaikan sistem sarafnya.
penyembuhan saraf penderita stroke harus ditangani secara
menyeluruh sejak fase awal hingga fase penyembuhan salah satu
pendekatannya adalah pendekatan fisik (physical therapy). ( Purbo
kuntono, 1997)
Proses perbaikan pada penderita stroke, pada fase awal perbaikan
fungsional neurologi berupa perbaikan lesi primer oleh penyerapan
kembali oedema di otak dan membaiknya sistem vaskularisasi.Dalam
beberapa waktu kemudian berlanjut ke perbaikan fungsi aksonal atau
aktivasi sinaps yang tidak efektif.Pada penderita stroke, perbaikan
fungsi neuron berlangsung kurang lebih dalam waktu satu tahun.
Prediksi perbaikan ini sangat tergantung dari luasnya defisit neurologi
awal, perkembangan lesi, ukuran dan topis kelainan di otak, serta
keadaan sebelumnya. Keadaan ini juga dipengaruhi oleh usia nutrisi
dan tindakan terapi (fisioterapi) yang juga merupakan faktor yang
menentukan dalam proses perbaikan.Kemampuan otak untuk
memodifikasi dan mereorganisasi fungsi dari fungsi yang mengalami
cendera\kerusakan disebut “neural plastisity”
Otak mempunyai kemampuan untuk beradaptasi, memperbaiki,
mengatasi perubahan lingkungan nya (bahaya-bahaya) melalui
penyatuan neuronal kembali yang dikelompokan menjadi :
(1) Sprouting ( Collateral Sprouting ) merupakan respon neuron daerah
yang tidak mengalami cendera dari sel-sel yang utuh ke daerah yang
debervasi setelah ada cendera.Perhatikan fungsi SSP dapat
berlangsung beberapa bulan atau tahun setelah cendera dan dapat
terjadi secara luas di otak pada daerah setal nukleus, hipokampus, dan
sistem saraf tepi.
(2) Unmasking, dalam keadaan normal, banyak akson dan sinaps yang
tidak aktif. Apabila “ Jalur Utama” mengalami kerusakan maka
fungsinya akan diambil oleh akson menurut wall dan kabath, jalur
sinapsis mempunyai mekanisme homestatik, dimana penurunan
masukan akan menyebabkan naiknya eksitabilitas sinapsnya .
(3)Diachisia (Dissipation of diachisia) keadaan dimana terdapat hilangnya
kesinambungan fungsi atau adanya hambatan fungsi dari traktus-
traktus sentral di otak (Purbo kuntono, 1997 yang dikutip dari Meryl
Roth Gesch M, 1992) .
Maka perbaikan fungsi pada penderita post stroke dapat dilakukan
melalui dua cara : (1) Latihan gerak atau mobilisasi dini untuk
mempengaruhi fasilitas dan mendidik kembali fungsi otot terhadap sisi
anggota yang lesi (2) Latihan untuk mempengaruhi gerak kompensasi
sebagai pengganti daerah yang akan lesi.
Pada fase penyembuhan ini latihan sangat berpengaruh dalam derajat
maupun kecepatan perbaikan fungsi.Mobilisasi dengan latihan pasif dan
latihan aktif sedini mungkin yang dilakukan serta berulang-ulang akan
menjadi gerak yang terkontrol atau terkendali.
2. Gizi
Pemberian makanan pada penderita stroke disesuaikan dengan
keadaan penderita, antara lain apakah kesadaran penderita menurun
atau tidak, dan ada tidaknya gangguan fungsi menelan. Pada pasien
stroke iskemik biasanya kesadaran tidak menurun dan tidak ada
gangguan fungsi menelan. Sedangkan pada stroke hemoragik
kesadaran sering kali menurun sampai terjadi koma dan ditemukan
disfagia (gangguan menelan). Selain itu, pasien stroke juga mngalami
gangguan mengunyah, dan saluran cerna lain seperti tukak stres.
Sekitar 30 - 40% pasien mengalami disfagia, dan sekitar 18%
mengalami tukau stres pada penderita stroke iskemik, dan sekitar 48%
pada penderita stroke hemoragik.
Untuk mencegah penurunan status gizi dan mencapai gizi yang
optimal, diperlukan penatalaksanaan asupan gizi yang tepat pada
penderita stroke. Jalur pemberian zat gizi dapat melalui mulut (per
oral), enteral (melalui sonde), melalui pipa (NGT) maupun parenteral
(dengan selang infus) berdasarkan kondisi penderita. Namun,
terkadang penyulit yang timbul pada pemberian nutrisi melalui infus
(parenteral) berkepanjangan menimbulkan komplikasi phlebitis (radang
pembuluh vena) sehingga juga menghambat kegiatan fisioterapi
penderita. Kesulitan menelan pada penderita, terutama yang berbentuk
cairan, perlu latihan menelan dengan bantuan gel atau guarcol.
Guarcol ini tidak berbau dan tidak memiliki rasa, rendah kalori dan
tinggi akan gum yang dapat digunakan untuk mengentalkan cairan,
makanan dan minuman.
Tahapan pemberian makanan dan minuman
1. Pada tahap akut (24-48 jam)
Bila kesadaran penderita menurun atau tidak sadar, diberikan
makanan parenteral (makanan intravena) melalui selang infung, dan
dilanjutkan dengan makanan lewat pipa (NGT). Pemberian makanan
perlu hati-hati untuk memonitor kebutuhan gizi dan cairan yang
diperlukan. Kelebihan cairan dan peningkatan gula darah di dalam
darah dapat menyebabkan edema serebri. Energi yang diberikan
sesuai kebutuhan basal tubuh, protein diberikan sampai dengan 1,5 g/
kg berat badan/ hari, dan lemak sampai 2,5 g/ kg berat bedan/ hari dan
dekstrosa maksimal 7 g/ kg berat badan/ hari. Para peneliti memberi
rekomendasi agar kadar gula darah dipertahankan pada level 150-200
mg % pad afase akut stroke.
2. Pada tahap pemulihan
· Bila pasien sadar dan tidak disfagia, dapat diberikan makanan
melalui mulut (oral) secara bertahap seperti makanan lunak, saring
hingga berupa bentuk makanan yang biasa dengan porsi kecil dan
sering.
· Bila terjadi disfagia, jalur pemberian makanan diberikan
bertahap mulai parenteral, kemudian ¼ bagian mulut (per oral) dan ¾
bagian melalui pipa (NGT), selanjutnya ½ bagian per oral (semi padat
dan semi cair melalui NGT) dan diet lengkap (makanan dan minuman
oral).
· Bila penderita mengalami tukak stres akibat asam lambung dan
gastrin meningkat, diberikan makanan secara bertahap juga dimulai
dengan makanan enteral (bila tidak ada perdarahan diberikan melalui
selang infus (parenteral) sampai perdarahan berhenti.
Pada penderita dengan gangguan menelan, pemberian makanan
disesuaikan juga sebagai berikut :
a. Bila penderita mengalami kesulitan menelan, diet yang diberikan
yaitu :
· Makanan dengan aroma dan rasa yang tajam dengan tujuan
untuk merangsang dapat menelan semaksimal mungkin.
· Makanan dengna suhu hangat/dingin untuk merangsang dapat
menelan semaksimal mungkin
· Makanan yang semi padat untuk menghindari obstruksi
(penyumbatan).
· Potongan makanan yang tidak terlalu besar untuk menghindari
obstruksi.
· Makanan porsi kecil dan sering agar asupan makanan optimal.
b. Bila sensasi (rasa) di mulut menurun, maka sebaiknya
dipertimbangkan :
· Letakkan makanan di area paling sensitif, suhu makanan dingin,
makanan dengan aroma dan rasa yang tajam agar penderita
mendapatkan rasa yang maksimal.
· Tidak mencampur makanan dengan berbagai tekstur agar
memudahkan menelan.
c. Bila koordinasi otot mulut melemah, maka dipertimbangkan :
· Makanan semi padat agar ke otot mulut minimal.
· Hindari makanan yang licin untuk menghindari masuk ke saluran
nafas.
· Makanan porsi kecil dan sering agar asupan makanan optimal.
d. Bila porsi elevasi laring menurun, sebaiknya :
· Makanan kental dan lembut untuk mencegah menempelnya
makanan pada laring.
· Hindari potongan makanan yang besar untuk mencegah
obstruksi.
e. Bila pita suara yang menutup optimal, sebaiknya cairan yang
diberikan tidak terlalu encer untuk mencegah cairan masuk ke saluran
pernafasan.
c. Jenis diet
Pemberian jenis makanan sebaiknya disesuian dengan faktor-
faktor risiko yang ada pada penderita. Pada prinsipnya, diet yang
diberikan adalah diet seimbang dengan modifikasi yang disesuaikan
dengan penyakit penyerta lain yang dialami penderita. Misalnya,
penderita stroke dengan hipertensi, sebaiknya diberikan menu diet
seimbang dengan jumlah garam yang dibatasi. Seeorang dnegan
penyakit Diabetes mellitus, asupan gula dalam diet harus dibatasi. Bagi
penderita stroke dengan peninggian asam urat, maka diet yang
dianjurkan untuk membatasi asupan purin. Pengaturan diet merupakan
hal yang penting, karena merupakan salah satu upaya untuk
mencegah stroke berulang. Oleh karena itu, keluarga terdekat perlu
sekali mengetahui jenis yang tepat untuk perawatan penderita di rumah
dengan menanyakan pada dokter/ahli gizi sebelum pasien kembali dari
rumah sakit.
Tujuan Diet
a). Memberikan asupan cukup untuk memenuhi kebutuhan zat gizi
pasien dengan memperhatikan kondisi fisik/klinis dan komplikasi
penyakit yang ada.
b). Memberikan makanan dengan kandungan zat gizi yang adekuat
untuk mencapai status gizi yang optimal dan mencapai berat badan
normal.
c). Mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit.
d). Membantu menurunkan tekanan darh penderita hingga mencapai
normal.
e). Membantu mengurangi retensi garam atau air dalam jaringan
tubuh.
f). Mengurangi bdan mencegah komplikasi lanjut]
g). Membantu mengurangi keluhan pasien
Prinsip Diet
a). Rendah garam
b). Rendah Kolesterol
Syarat Diet
a) Energi diberikan sesuai kebutuhan berdasarkan umur, jenis
kelamin, tinggi badan, aktifitas fisik, dan factor stress untuk memnuhi
kebutuhan gizi pasien sehingga mencapai status gizi tetap normal.
b) Protein diberikan sebesar 1 gr/kgBBI/hr karena pasien dalam
keadaan status gizi baik.
c) Lemak diberikan cukup sebesar 20% dari total kebutuhan enrgi
total, diutamakan sumber lemak tak jenuh ganda untuk mencegah
dislipidemia sebagai pncetus CVA.
d) Karbohidrat diberikan sebesar 65% dari total kebutuhan energi,
terutama digunakan jenis karbohidrat kompleks.
e) Diberikan diet rendah garam II yaitu 600-800 mg Na atau ¼
sendok the garam dapur untuk mengurangi retensi cairan dan
menurrunkan tekanan darah.
f) Serat diberikan cukup, yaitu 25 g/hr agar tidak terlalu
memberatkan kerja organ pencernaan.
g) Kolesterol dibatasi < 300 mg sehari.
h) Vitamin dan mineral cukup untuk menunjang proses metabolisme
dalam tubuh.
i) Cairan cukup, yaitu 6-8 gelas untuk mencegah dehidrasi.
j) Makanan diberika dengan konsistensi lunak yaitu nasi tim
dikarenakan kondisi pasien saat itu masih lemah dan giginya sudah
tidak lengkap.
k) Makanan yang tidak dianjurkan yaitu produk olahan yang dibuat
dengan garam dapur, baking soda, kue-kue yang terlalu manis dan
gurih.
l) Sayuran yang disarankan dimakan adalah sayuran berserat
sedang, yaitu bayam, labu siam, kacang panjang, tomat, taoge, wortel.
Kangkung.
m) Sayuran yang tidak disarankan adalah sayuran yang menimbulkan
gas, seperti sawi, kol, kembang kol dan lobak :sayuran berserat tinggi
seperti daun singkong, daun katuk, daun melinjo, dan sayuran mentah.
n) Sumber protein nabati yang tidak dianjurkan yaitu pindakas dan
semua kacnag-kacangan yang diawet dengan natrium atau digoreng.
o) Bahan makanan yang tidak disarankan adalah daging ayam, dan
daging sapi yang berlemak, jerohan,dendeng, abon, kornet, daging
asap, ikan sarden, ikan asin, ebi, uadang kering, telur asin, es krim,
keju, susu full cream.
p) Buah yang perlu dibatasi adalah buah yang mnenimbulkan gas
seperti nangka, durian, dan buah yang diawet dengan natriumseperti
biah kaleng dan asinan.
q) Sumber lemak yang perlu dibatasi adalah minyak kelapa, minyak
kelapa sawit, margarine dana mentega biasa, santan kental, krim dan
produk gorengan.
r) Bumbu yan perlu dibatasi adalah bumbu yang tajam seperti cabe,
merica dan cuka yang mengandung bahan pengawet garam natrium
seperti vetsin, kecap asin, kecap manis, petis, saos tomat, terasi, soda,
baking powder.
Evaluasi
Untuk mengukur dan memantau keberhasilan program Unit Stroke maka
dilakukan evaluasi terhadap keseluruhan program Unit Stroke dan
identifikasi setiap permasalahan yang ditemukan untuk tindakan
perbaikan.
BAB V
LOGISTIK
BAB VI
KESELAMATAN KERJA
2. Tujuan
Syarat-syarat keselamatan kerja meliputi seluruh aspek pekerjaan yang
berbahaya dengan tujuan :
a. Mencengah dan mengurangi kecelakaan
b. Mencegah, mengurangi dan memadamkan kebakaran
c. Mencegah, mengurangi ledakan
d. Memberikan kesempatan atau jalan menyelamatkan diri pada waktu
kebakaran atau kejadian lain yang berbahaya
e. Memberi pertolongan pada kecelakaan
f. Memberi perlindungan pada pekerja
g. Mencegah dan mengendalikan timbul atau menyebar luasny suhu,
kelembapan, debu, kotoran, asap. uap, gas hembusan angin, cuaca,
sinar atau radiasi,suara dan getaran.
h. Mencegah dan mengendalikan timbulnya penyakit akibat kerja, baik
fisik/psikis, keracunan, infeksi dan penularan.
i. Menyelenggarakan penyelenggara udara yang cukup
j. Memelihara Kebersihan, kesehatan dan ketertiban
k. Memperoleh kebersihan antara tenaga kerja, alat kerja,lingkungan, cara
dan proses kerja nya.
3. Prinsip Keselamatan Kerja
a. Pengendalian teknis mencakup
1. Letak dan bentuk konstruksi alat sesuai dengan kegiatan dan
memenuhi syarat yang telah ditentukan.
2. Perlengkapan alat kecil yang cukup disertai tempat penyimpanan
yang praktis.
3. Penerapan dan ventilasi yang cukup
4. Tersedianya ruang istirahat untuk pegawai atau perawat
b. Adanya pengawasan kerja yang dilakukan oleh penganggung jawab dan
terciptanya kebiasaan kerja yang baik oleh pegawai atau perawat.
c. Pekerjaan yang ditugaskan hendaknya sesuai dengan kemampuan kerja
dari perawat.
d. Volume kerja yang dibebankan hendaknya sesuai dengan jam kerja yang
telah ditetapkan.
BAB VII
PENGENDALIAN MUTU
BAB VIII
PENUTUP