Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN TUTORIAL

BLOK PENYAKIT IMUNOHEMATOLOGI SKENARIO 3

KELOMPOK B9:

MUHAMMAD RIZAL A.Y. G0017152


MUSYAFFA SYARIF G0017154
RADEN BELVA DEVARA H. G0017174
RAKABAYU OETAMA P.R. G0017178
VINCENT KURNIAWAN P.P. G0017214
SHANIYA SAFITRI G0017194
SHERLINA RINTIK TIRTA AYU G0017196
SITI AL-MUJAADILAH G0017198
SYECHA TSANIA ALAYDRUS G0017204
TAZKIA MAWADDATINA G0017206
THALLYTA KHARENINA W. G0017208

Tutor: Sigit Setyawan dr.,M.Sc

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
2018
BAB I
PENDAHULUAN

Skenario 1

Seorang laki-laki berusia 59 tahun datang ke RS dengan keluhan sesak napas sejak
1 tahun yang lalu dan bertambah berat sejak 1 minggu terakhir. Sesak napas dirasakan
timbul saat aktifitas ringan dan saat berbaring. Pasien sering terbangun tiba-tiba saat tidur
malam hari karena sesak napas dan akan membaik bila posisi duduk. Dua bulan yang lalu
pasien pernah dirawat di rumah sakit karena menderita sakit serupa. Kemudian setelah
diberi obat-obatan dan istirahat di rumah sakit, keadaanya membaik.
Pada pemeriksaan fisik diapatkan: tekanan darah 180/100 mmHg, denyut nandi
110x/menit, teratur, frekuensi napas 28x/ menit, suhu badan 36,5 oC saturasu oksigen 98%,
dan JVP meningkat. Inspeksi menunjukan dinding dada simetris, ictus cordis bergeser ke
lateral bawah. Palpasi : ictus cordis di SIC VI, 2 cm lateral linea medioclavicularis sinistra.
Perkusi : batas jantung kiri di SIC VI, 2 cm lateral line medioclavicularis sinistra, batas
jantung kanan di line parasternalis dextra. Auskultasi : bunyi jantung 1 dan bunyi jantung
II normal, terdapat irama gallop S3 dan S4. Pada pemeriksaan paru didapatkan suara dasar
ventrikel normal disertai ronki basah halus kedua basal lapang paru. Pemeriksaan abdomen
didapatkan hepatomegaly dan ascites. Kedua tungkai oedema.
Pemeriksaan laboratorium kadar Hb 14 gr/dl serum ureum 65, serm kreatinin 1.0.
pada pemeriksaan EKG didapatkan irama sinus dengan left axis deviation (LAD) dan left
ventricular hypertrophy (LVH). FOto rontgen thorax posisi posteroanterior tampak
kardiomegali dengan CTR 0.60, apex bergeser ke lateral bawah dan vaskularisasi paru
meningkat.
BAB II
DISKUSI DAN TINJAUAN PUSTAKA

A. Langkah I: Membaca skenario dan memahami pengertian beberapa istilah dalam skenario
1. Ronky basah halus : suara seperti gesekan rambut
2. Gallop : suara tambahan jantung S3 dan S4 seperti derap kuda

B. Langkah II: Menentukan/mendefinisikan permasalahan


1. Mengapa pasien sesak napas saat aktivitas dan berbaring, membaik saat duduk?
2. Apa yang menyebabkan hepatomegaly, ascites, tungkai edema, ronky basah halus, JVP
meningkat?
3. Mengapa vaskularisasi paru meningkat, frekuensi napas diatas normal?
4. Interpretasi hasil pemeriksaan darah?
5. Interpretasi EKG (keseluruhan) & CTR?
6. Apa obat yang diberi oleh dokter untuk kasus tersebut?
7. Bagaimana cara menghitung CTR?
8. Hubungan hipertensi dengan kasus?

C. Langkah III: Menganalisis permasalahan dan membuat pertanyaan sementara mengenai


permasalahan dalam langkah II

1. Sesak napas, etiologinya karena pulmo dan ekstra pulmo. Pengaruh kardio dengan sesak
napas : dari vena pulmonalis – penumpukan cairan – volume overload – tekanan tidak
seimbang, penumpukan cairan akan mempengaruhi alveolus – O2 tidak cukup – sesak
napas.
Aktivitas : O2 butuh banyak – alveolus banjir – merupakan kompensasi sesak napas
Berbaring : Tekanan darah naik – alveolus banjir – kompensasi sesak napas

2. Didapatkan pemeriksaan fisik :


● Ronky basah halus : bisa disebabkan karena alveolus kelebihan cairan
● Hepatomegali : hepar melalu vena portae berujung ke atrium kanan –
adanya pembengkakan vena portae – hepatomegali
● JVP menignkat : dari vena cava superior resistensi perifer – pulsasi makin
terasa JVP meningkat
● Ascites : Protein albumin banyak terbuang
● Tungkai edema : resistensi saat masuk vena – tertimbun/ketidakmampuan
system limfatik untuk drainase buruk

3. Frekuensi paru naik jika – tubuh beraktifitas (membutuhkan lebih banyak O2 ) – saat kerja
jantung naik tubuh akan membutuhkan lebih banyak O2 sebagai suplai jantung untuk
bekerja
4. Kadar normal ureum : 6-20 mg/dl, kadar ureum pasien meningkat
Uremia ( bisa karena gagal jantung, renal, dan kreatinin meningkat – ureum maningkat)

5. Apex geser : hipertrofi LV ( kelistrikan naik, aksis semakin ke kiri) -30 s.d. 90
LAD : -30 s.d. -90
QRS : di lead 1 (+) di lead 2,3 aVF

6. Obat yang dibutuhkan untuk kasus diatas :


o Diuretik : mengatasi retensi cairan – dapat menurunkan JVP
o ACE inhibitor
o B-blocker
o ARB (tidak bisa dengan ARB karena dapat memperburuk fungsi ginjal)
o Ivaberadin : menghambat HR
o Digoksin
o Kombinasi hidralazin dan isosorbide
o Spironolakton : mencegah sekresi K+ , dengan melawan aldosterone

7. Dibuat 4 garis :
1. Garis M (tengah collumna vertebrae thoracalis)
2. Garis A ( garis M ditarik ke kanan s.d. batas jantung terjauh)
3. Garis B (Garis M ditarik ke kiri s.d. batas jantung terjauh)
4. Garis C (garis transversal dari dinding thorak ke kiri)
CTR = (A+B)/C x 100 % normal (<0.5) kardiomegali (>0.5)

8. Hipertensi – komplikasi : hipertensi pulmo dan gagal jantung


Gagal jantung : diastolic disfunction (ada defek pada preload) dan systolic
disfunction ( Afterload : resistensi naik – systolic volume
meningkat, stroke volume berkurang – jantung tidak
memompa dengan jumlah cukup
Hipertensi dan afterload , masuk vena pulmo sinistra – darah ke atrium kiri tertahan – darah
tertampung di vena pulmonalis – hipertensi pulmonal

Proten : dicek karena karena protein dan sel permukaan ginjal tolak
menolak
Kalo hipertensi : protein banyak terbuang dalam urin – serum menurun –
ascites (banyak cairan onkotik keluar)
Kadar normal creatinine : 0,8 – 1,1

D. Langkah IV: Menginventarisasi permasalahan secara sistematis dan pernyataan sementara


mengenai permasalahan pada langkah 3
Sesak Napas

Pemeriksaan fisik: tekanan darah 180/100


mmHg, denyut nandi 110x/menit, teratur,
frekuensi napas 28x/ menit, suhu badan
36,5 oC saturasu oksigen 98%, dan JVP
meningkat

Pemeriksaan Penunjang

Diagnosis Banding Patofisiologi

Tatalaksana

Etiologi, epidemiologi, dan prognosis

E. Langkah V: Merumuskan tujuan pembelajaran


1. MMM keluhan pasien
2. MMM interpretasi hasil pemeriksaan fisik dan penunjang
3. MMM diagnosis banding

F. Langkah VII: Mengumpulkan informasi baru.


1. Mahasiswa mampu menjelaskan penyebab dari keluhan pasien
Keluhan pada pasien di scenario tersebut adalah sesak nafas yang bertambah berat, timbul
saat aktivitas ringan dan saat berbaring, namun membaik bila posisi duduk. Sesak napas
atau dyspnea atau dyspnoea terdiri dari 2 kata yaitu dys yang berarti sulit dan pnoea/pnea
artinya pernapasan. Sehingga sesak napas yaitu suatu istilah untuk mengungkapkan
rasa/sensasi yang dialami individu dengan keluhan tidak enak/tidak nyaman bernapas,
bersifat subjektif. Sesak nafas dapat dibagi menjadi 2 menurut asalnya , yaitu dari paru
dan ekstra paru. Sesak yang berasal dari ekstra paru antara lain berhubungan dengan sistem
kardiovaskuler (gagal jantung), gangguan metabolik (hipertiroidisme), gangguan
hematologic (anemia), ketinggian/hipoksemia, gangguan psikogenik, kehamilan,
kebugaran yang buruk (Kusumosutoyo, 2009). Sesak yang berasal dari paru biasanya
timbul disertai batuk, cuaca, faktor pencetus (alergen) dan riwayat keluarga sedangkan
sesak yang berasal dari ekstra paru tidak disertai batuk namun sesak timbul bergantung
aktifitas, waktu dan posisi (Khoiriah, 2017). Pasien dalam skenario ini mengalami sesak
nafas sejak 1 tahun yang lalu dan bertambah berat sejak 1 minggu terakhir. Sesak napas
dapat dirasakan timbul saat aktivitas ringan dan saat berbaring. Pasien sering terbangun
tiba-tiba saat tidur malam hari karena sesak napas dan akan membaik bila posisi duduk.
Terbangun saat tidur malam hari akibat sesak napas ini disebut dengan Paroxysmal
Nocturnal Dyspnea (PND). Sehingga pada pasien ini sesak dapat masuk ke dalam salah
satu kriteria minor Framingham pada penyakit gagal jantung yaitu dyspnoe d’effort
(Fachrunnisa, 2015).
CHF menimbulkan berbagai gejala klinis diantaranya; dipsnea, ortopnea, pernapasan
Cheyne-Stokes, Paroxysmal Nocturnal Dyspnea (PND), asites, piting edema, berat badan
meningkat, dan gejala yang paling sering dijumpai adalah sesak nafas pada malam hari,
yang mungkin muncul tiba-tiba dan menyebabkan penderita terbangun. Penelitian yang
dilakukan Ekundayo (2009) tentang value of orthopnea, paroxysmal nocturnal dyspnea
and medications in prospective studies of incident heart failure menunjukkan bahwa
ortopnea lebih banyak dilaporkan daripada PND. PND paling sering disebabkan oleh
edema paru akibat gagal jantung kongestif. Serangan sering disertai batuk, perasaan sesak
napas, keringat dingin, dan takikardia dengan irama gallop (Fachrunnisa, 2015).

2. Mahasiswa mampu menjelaskan interpretasi hasil pemeriksaan fisik dan penunjang


Studi Diagnostik Tekanan rata-rata atrium kiri normal (LA) adalah 10 mm Hg. Jika
tekanan LA melebihi sekitar 15 mm Hg, radiografi dada menunjukkan redistribusi
vaskular zona atas, seperti bahwa kapal memasok lobus atas paru-paru lebih besar daripada
yang memasok lobus bawah Ini dijelaskan sebagai berikut: ketika seorang pasien dalam
posisi tegak, aliran darah biasanya lebih besar ke paru-paru pangkalan daripada ke apeks
karena efeknya gravitasi. Redistribusi aliran terjadi dengan pengembangan interstitial dan
perivaskular edema, karena edema seperti itu paling menonjol di pangkalan paru-paru
(tempat tekanan hidrostatik adalah yang tertinggi), sehingga pembuluh darah di pangkalan
terkompresi, sedangkan mengalir ke zona paru bagian atas tidak terlalu terpengaruh.
Ketika tekanan LA melampaui 20 mm Hg, edema interstitial biasanya dimanifestasikan
pada radiografi dada sebagai ketidaktepatan pembuluh darah dan keberadaan garis Kerley
B (pendek tanda-tanda linier di pinggiran bawah bidang paru-paru menunjukkan edema
interlobular). Jika tekanan LA melebihi 25 hingga 30 mm Hg, alveolar edema paru dapat
terjadi, dengan opacifi kation ruang udara. Hubungan antara tekanan LA dan foto thoraks
Temuan dimodifikasi pada pasien dengan kronis gagal jantung karena peningkatan
limfatik drainase, sehingga tekanan yang lebih tinggi dapat ditampung dengan lebih sedikit
tanda-tanda radiologis. Tergantung pada penyebab gagal jantung, itu Rontgen dada dapat
menunjukkan kardiomegali, defined sebagai rasio kardiotoraks lebih besar dari 0,5 pada
posteroanterior fi lm. Hak tinggi tekanan atrium juga menyebabkan pembesaran siluet urat
nadi. Efusi pleura mungkin hadir. Tes untuk BNP, dijelaskan sebelumnya dalam bab,
berkorelasi baik dengan tingkat LV disfungsi dan prognosis. Lebih jauh, yang tinggi kadar
serum BNP dapat membantu membedakan gagal jantung dari penyebab lain dispnea,
seperti penyakit parenkim paru. Penyebab gagal jantung sering terbukti dari riwayat,
seperti pasien yang memiliki menderita infark miokard besar, atau oleh pemeriksaan fisik,
seperti pada pasien dengan amurmur penyakit jantung katup. Ketika Penyebabnya tidak
jelas dari evaluasi klinis, langkah pertama adalah menentukan apakah sistolik fungsi
ventrikel normal atau tertekan Dari beberapa noninvasif tes yang dapat membantu
membuat penentuan ini, Ekokardiografi sangat berguna dan tersedia.

3. Mahasiswa mampu menjelaskan diagnosis banding


a. Gagal Jantung Kongesti
Definisi CHF
Gagal jantung kongestif adalah keadaan patofisiologis berupa kelainan fungsi jantung,
sehingga jantung tidak mampu memompa darah untuk memenuhi kebutuhan metabolisme
jaringan atau kemampuannya hanya ada kalau disertai peninggian volume diastolik secara
abnormal. Penamaan gagal jantung kongestif yang sering digunakan kalau terjadi gagal
jantung sisi kiri dan sisi kanan.

Etiologi CHF
Gagal jantung kongestif dapat disebabkan oleh :
1) Kelainan otot jantung
Gagal jantung sering terjadi pada penderita kelainan otot jantung akibat menurunnya
kontraktilitas jantung. Kondisi yang mendasari penyebab kelainan fungsi otot mencakup
ateriosklerosis koroner, hipertensi arterial, dan penyakit degeneratif atau inflamasi.
2) Aterosklerosis koroner
Mengakibatkan disfungsi miokardium karena terganggunya aliran darah ke otot jantung.
Terjadi hipoksia dan asidosis (akibat penumpukan asam laktat). Infark miokardium
(kematian sel jantung) biasanya mendahului terjadinya gagal jantung. Peradangan dan
penyakit miokardium degeneratif, berhubungan dengan gagal jantung karena kondisi yang
secara langsung merusak serabut jantung, menyebabkan kontraktilitas menurun.
3) Hipertensi sistemik atau pulmonal
Meningkatkan beban kerja jantung dan pada gilirannya mengakibatkan hipertrofi serabut
otot jantung.
4) Peradangan dan penyakit miokardium degeneratif
Berhubungan dengan gagal jantung karena kondisi ini secara langsung merusak serabut
jantung menyebabkan kontraktilitas menurun.
5) Penyakit jantung lain
Gagal jantung dapat terjadi sebagai akibat penyakit jantung yang sebenarnya, yang secara
langsung mempengaruhi jantung. Mekanisme biasanya terlibat mencakup gangguan aliran
darah yang masuk jantung (stenosis katup semiluner), ketidakmampuan jantung untuk
mengisi darah (tamponade, perikardium, perikarditif konstriktif, atau stenosis AV),
peningkatan mendadak afterload.

6) Faktorsistemik
Terdapat sejumlah besar faktor yang berperan dalam perkembangan dan beratnya gagal
jantung. Meningkatnya laju metabolisme (misal: demam), hipoksia dan anemia diperlukan
peningkatan curah jantung untuk memenuhi kebutuhan oksigen sistemik. Hipoksia dan
anemia juga dapat menurunkan suplai oksigen ke jantung. Asidosis respiratorik atau
metabolik dan abnormalitas elektronik dapat menurunkan kontraktilitas jantung.

Patofisiologi CHF
Gagal jantung disebabkan oleh disfungsi ventrikel sistolik dan atau diastolik. Disfungsi
sistolik karena bengkak idiopati atau kardiomiopati iskemia biasanya ditandai dengan
membesar dan meluasnya ruang ventrikel. Disfungsi diastolik terjadi karena hipertensi
yang berlangsung lama, penyakit stenosis katup, atau kardiomiopati hipertropi primer,
yang umumnya menyebabkan dinding ventrikel menebal, komplians (kualitas penyesuaian
terhadap tekanan atau gaya) dinding ventrikel yang buruk disertai volume ventrikel yang
kecil.
Fungsi sistolik jantung ditentukan oleh 4 determinan utama: keadaan kontraktilitas
miokardium, preload ventrikel (volume akhir diastolik dan resultan panjang serabut
ventrikel sebelum mulai kontraksi), afterload ke arah ventrikel (impedansi terhadap ejeksi
ventrikel kiri) dan frekuensi denyut jantung. Manifestasi gagal jantung dapat juga sebagai
akibat dari disfungsi diastolik jantung terisolasi atau predominan. Pengisian ventrikel kiri
atau kanan tidak seimbang karena ruangan jantung tidak lentur (noncompliant = kaku)
akibat hipertrofi berat atau perubahan komposisi miokardium
Gagal jantung kongestif adalah suatu sindroma dengan penyebab ganda (multiple) yang
diduga melibatkan ventrikel kanan, ventrikel kiri, atau keduanya. Curah jantung pada
gagal jantung kongestif biasanya di bawah rentang keadaan normal. Gangguan fungsi
ventrikel tersebut diduga terutama sistolik (yaitu, pembentukan kekuatan untuk
mendorong darah ke luar secara normal tidak memadai) atau diastolik (yaitu, relaksasi
untuk pengisian secara normal atau tidak memadai). Gangguan sistolik, dengan penurunan
curah jantung dan secara bermakna terjadi penurunan fraksi ejeksi (kurang dari 45%),
adalah tipikal dari gagal akut, terutama yang dihasilkan dari infarktus miokardium.
Gangguan diastolik sering terjadi sebagai akibat hipertropi dan kekuatan miokardium, dan
walaupun curah jantung menurun, fraksi ejeksi dapat normal.

Penatalaksanaan CHF
Dasar penatalaksanaan pasien gagal jantung adalah:
1) Dukung istirahat untuk mengurangi beban kerja jantung.
2) Meningkatkankekuatandanefisiensikontraksijantungdenganbahan- bahan
farmakologis.

3) Menghilangkan penimbunan cairan tubuh berlebihan dengan terapi diuretik diet dan
istirahat.

Terapi Farmakologi
1) Diuretik (Diuretik tiazid dan loop diuretik)
Mengurangi kongestif pulmonal dan edema perifer, mengurangi gejala volume berlebihan
seperti ortopnea dan dispnea noktural peroksimal, menurunkan volume plasma selanjutnya
menurunkan preload untuk mengurangi beban kerja jantung dan kebutuhan oksigen dan
juga menurunkan afterload agar tekanan darah menurun.
2) Antagonisaldosteron
Menurunkan mortalitas pasien dengan gagal jantung sedang sampai berat.
3) Obat inotropik
Meningkatkan kontraksi otot jantung dan curah jantung.
4) Glikosidadigitalis
Meningkatkan kekuatan kontraksi otot jantung menyebabkan penurunan volume
distribusi.
5) Vasodilator(Captopril,isosorbitdinitrat)
Mengurangi preload dan afterload yang berlebihan, dilatasi pembuluh darah vena
menyebabkan berkurangnya preload jantung dengan meningkatkan kapasitas vena.
6) InhibitorACE
Mengurangi kadar angiostensin II dalam sirkulasi dan mengurangi sekresi aldosteron
sehingga menyebabkan penurunan sekresi natrium dan air. Inhibitor ini juga menurunkan
retensi vaskuler vena dan tekanan darah yg menyebabkan peningkatan curah jantung.
Terapi non farmakologi
Penderita dianjurkan untuk membatasi aktivitas sesuai beratnya keluhan seperti: diet
rendah garam, mengurangi berat badan, mengurangi lemak, mengurangi stress psikis,
menghindari rokok, olahraga teratur.

b. Gagal Jantung Preserved


HF preserved
Pada HFPEF fungsi sistolik ventrikel kiri bisa normal atau sedikit menurun (fraksi ejeksi
pada ekokardiografi ≥40%), sedangkan pada gagal jantung sistolik, kontraktilitas dari
ventrikel kiri sangat menurun. Pada HFPEF manifestasi klinis muncul karena peningkatan
tekanan pengisian yang disebabkan gangguan relaksasi dan komplains ventrikel kiri yang
menurun. Van Heerebeek et al menunjukkan bahwa pada HFPEF sering kali didapatkan
elongasi miosit jantung dengan peningkatan resting tone. Kekakuan pada dinding dan
penurunan komplians dari miokardium merupakan akibat dari meningkatnya jumlah
kolagen pada lapisan interstisial. Curah jantung tidak hanya bergantung pada fraksi ejeksi
tetapi juga pada volume diastolik. Pada disfungsi diastolik terjadi disfungsi diastolik
ventrikel kiri, menyebabkan peningkatan resistensi pengisian ventrikel kiri dan akhirnya
mengakibatkan gagal jantung. Gangguan relaksasi ventrikel dan meningkatnya tahanan
pada ventrikel merupakan mekanisme dasar terjadinya disfungsi diastolik. Kardiomiopati
hipertrofi merupakan contoh klasik dari gejala gagal jantung dengan fungsi sistolik yang
masih sangat baik.
Pada gagal jantung diastolik (HFPEF) ditemukan fungsi sistolik yang normal atau hanya
sedikit terganggu. Penanganan gagal jantung diastolik harus dilakukan secara optimal
untuk meningkatkan prognosis pasien, yang didasarkan pada: 1. Penanganan kausatif yang
meliputi penanganan hipertensi, diabetes melitus tipe II, aritmia (pencegahan takiaritmia
dan jika memungkinkan mempertahankan irama sinus), penyakit jantung iskemik,
penurunan berat badan, dan pembatasan diet garam. 2. Penanganan simptomatik dengan
beta bloker, CCB non-dihidropiridin, ACE inhibitor, ARB, diuretik, statin, dan antagonis
aldosteron.
1. Kontrol hipertensi : ACE inhibitor, AT1 receptor blocker, Aldosterone antagonist.
2. Menurunkan denyut jantung (pertahankan irama sinus) : Beta blocker, Calcium
channel blocker (non-dihydropiridine) Menormalkan kontraksi atrium (fibrilasi atrium)
Digoxin (kontroversial) .
3. Mengurangi volume overload (tekanan vena) : Diuretik, Aldosterone antagonist,
Restriksi garam dan cairan .
4. Pencegahan iskemia : Beta blocker, Calcium channel blocker (non-dihydropiridine),
Nitrat, Revaskularisasi.

c. Gagal Jantung Reduce


Definisi gagal jantung
Gagal jantung dapat didefinisikan sebagai kelainan struktur atau fungsi jantung yang
menyebabkan kegagalan jantung untuk memberikan suplai darah untuk memenuhi
kebutuhan metabolisme jaringan.

Etiologi gagal jantung


Perubahan struktur atau fungsi dari ventrikel kiri dapat menjadi faktor predisposisi
terjadinya gagal jantung pada seorang pasien, meskipun etiologi gagal jantung pada pasien
tanpa penurunan Ejection Fraction (EF) berbeda dari gagal jantung dengan penurunan EF.
Terdapat pertimbangan terhadap etiologi dari kedua keadaan tersebut tumpang tindih. Di
Negara-negara industri, Penyakit Jantung Koroner (PJK) menjadi penyebab predominan
pada 60-75% pada kasus gagal jantung pada pria dan wanita. Hipertensi memberi
kontribusi pada perkembangan penyakit gagal jantung pada 75% pasien, termasuk pasien
dengan PJK. Interaksi antara PJK dan hipertensi memperbesar risiko pada gagal jantung,
seperti pada diabetes mellitus.
Emboli paru dapat menyebabkan gagal jantung, karena pasien yang tidak aktif secara fisik
dengan curah jantung rendah mempunyai risiko tinggi membentuk thrombus pada tungkai
bawah atau panggul. Emboli paru dapat berasal dari peningkatan lebih lanjut tekanan arteri
pulmonalis yang sebaliknya dapat mengakibatkan atau memperkuat kegagalan ventrikel.
Infeksi apapun dapat memicu gagal jantung, demam, takikardi dan hipoksemia yang terjadi
serta kebutuhan metabolik yang meningkat akan memberi tambahan beban pada miokard
yang sudah kelebihan beban meskipun masih terkompensasi pada pasien dengan penyakit
jantung kronik.

Patofisiologi gagal jantung


Penurunan curah jantung pada gagal jantung mengaktifkan serangkaian adaptasi
kompensasi yang dimaksudkan untuk mempertahankan homeostasis kardiovaskuler. Salah
satu adaptasi terpenting adalah aktivasi system saraf simpatik, yang terjadi pada awal gagal
jantung. Aktivasi system saraf simpatik pada gagal jantung disertai dengan penarikan
tonus parasimpatis. meskipun gangguan ini dalam kontrol otonom pada awalnya dikaitkan
dengan hilangnya penghambatan masukan dari arteri atau refleks baroreseptor
kardiopulmoner, terdapat bukti bahwa refleks rangsang juga dapat berpartisipasi dalam
ketidakseimbangan otonom yang terjadi pada gagal jantung. dalam kondisi normal
masukan penghambatan dari “tekanan tinggi” sinus karotis dan baroreceptor arcus aorta
dan “tekanan rendah” mechanoreceptor cardiopulmonary adalah inhibitor utama aliran
simpatis, sedangkan debit dari kemoreseptor perifer nonbaroreflex dan otot
“metaboreseptor” adalah input rangsang utama outflow simpatik. Pada gagal jantung,
penghambat masukan dari baroreseptor dan mekanoreseptor menurun dan rangsangan
pemasukan meningkat, maka ada peningkatan dalam aktivitas saraf simpatik, dengan
hilangnya resultan dari variabilitas denyut jantung dan peningkatan resistensi pembuluh
darah perifer.
Berbeda dengan sistem saraf simpatik, komponen dari sistem reninangiotensin diaktifkan
beberapa saat kemudian pada gagal jantung. mekanisme untuk aktivasi RAS dalam gagal
jantung mencakup hipoperfusi ginjal, penurunan natrium terfiltrasi mencapai makula
densa di tubulus distal, dan meningkatnya stimulasi simpatis ginjal, yang menyebabkan
peningkatan pelepasan renin dari aparatus juxtaglomerular. Renin memotong empat asam
amino dari sirkulasi angiotensinogen, yang disintesis dalam hepar, untuk membentuk
angiotensin I. Angiotensin Converting Enzyme (ACE) memotong dua asam amino dari
angiotensin I untuk membentuk angiotensin II. Mayoritas (90%) dari aktivitas ACE dalam
tubuh terdapat dalam jaringan, sedangkan 10% sisanya terdapat dalam bentuk terlarut
(ikatan non membran) dalam interstitium jantung dan dinding pembuluh darah.
Angiotensin II mengerahkan efeknya dengan mengikat gabungan dua reseptor G-Protein
angiotensin yang disebut tipe 1 (AT 1) dan angiotensin tipe 2 (AT 2). Reseptor angiotensin
yang dominan dalam pembuluh darah adalah reseptor AT1. Aktivasi reseptor AT1
menyebabkan vasokonstriksi, pertumbuhan sel, sekresi aldosteron, dan pelepasan
katekolamin, sedangkan aktivasi reseptor AT2 menyebabkan vasodilatasi, penghambatan
pertumbuhan sel, natriuresis, dan pelepasan bradikinin. Angiotensin II memiliki beberapa
tindakan penting untuk mempertahankan sirkulasi homeostasis jangka pendek. Namun,
ekspresi berkepanjangan dari angiotensin II dapat menyebabkan fibrosis jantung, ginjal,
dan organ lainnya. Angiotensin II dapat juga memperburuk aktivasi neurohormonal
dengan meningkatkan pelepasan norepinefrin dari ujung saraf simpatik, serta merangsang
zona glomerulosa korteks adrenal untuk memproduksi aldosteron. Aldosteron
menyediakan dukungan jangka pendek ke dalam sirkulasi dengan melakukan reabsorbsi
natrium dalam pertukaran dengan kalium di tubulus distal. Aldosterone dapat
menimbulkan disfungsi sel endotel, disfungsi baroreseptor, dan menghambat uptake
norepinefrin, salah satu atau semua dari kelainan tersebut dapat memperburuk gagal
jantung.
Stimulasi sistem renin-angiotensin-aldosteron menyebabkan peningkatan konsentrasi
renin, angiotensin II plasma, dan aldosteron. Angiotensin II adalah vasokonstriktor kuat
dari ginjal (arteriol eferen) dan sirkulasi sistemik, di mana ia merangsang pelepasan
noradrenalin dari terminal saraf simpatis, menghambat tonus vagus, dan mempromosikan
pelepasan aldosteron. Hal ini menyebabkan retensi natrium dan air dan peningkatan
ekskresi kalium. Selain itu, angiotensin II memiliki efek penting pada miosit jantung dan
dapat menyebabkan disfungsi endotel yang diamati pada gagal jantung kronis.

Kriteria gagal jantung


Kriteria mayor Kriteria minor
1. Edema paru akut 1. Edema ekstremitas
2. Kardiomegali 2. Batuk malam hari
3. Ronki paru 3. Dispneu d’effort
4. Hepatojugular refluks 4. Hepatomegali
5. Paroximal nocturnal dispneu 5. Efusi pleura
6. Gallop S3 6. Penurunan Vital Capacity 1/3 dari normal
7. Distensi vena leher 7. Takikardi (>120/menit)
8. Peninggian vena jugularis

Klasifikasi Gagal Jantung


Ada berbagai klasifikasi untuk gagal jantung, diantaranya berdasarkan abnormalitas
struktur jantung yang di susun oleh American Heart Association/American College of
Cardiology (AHA/ACC) atau berdasarkan gejala berkaitan dengan kapasitas fingsional
yang diterbitkan oleh New York Heart Association (NYHA).
Diagnosis gagal jantung berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,
electrocardiography, foto thorax, echocardiography Doppler, dan kateterisasi.

Klasifikasi menurut ACC/AHA Klasifikasi menurut NYHA


Stadium A
Memiliki risiko tinggi untuk berkembang menjadi gagal jantung. Tidak terdapat gangguan
struktural atau fungsional jantung. Kelas I Pasien dengan penyakit jantung tetapi tidak ada
pembatasan aktivitas fisik. Aktivitas fisik biasa tidak menyebabkan kelelahan berlebihan,
palpitasi, dispnea atau nyeri angina.
Stadium B
Telah terbentuk penyakit struktur jantung yang berhubungan dengan perkembangan gagal
jantung, tidak terdapat tanda dan gejala. Kelas II Pasien dengan penyakit jantung dengan
sedikit pembatasan aktivitas fisik. Merasa nyaman saat istirahat. Hasil aktivitas normal
fisik kelelahan, palpitasi, dispnea atau nyeri angina.
Stadium C
Gagal jantung yang simpatomatis berhubungan dengan penyakit structural jantung yang
mendasari Kelas III Pasien dengan penyakit jantung yang terdapat pembatasan aktivitas
fisik. Merasa nyaman saat istirahat. Aktifitas fisik ringan menyebabkan kelelahan,
palpitasi, dispnea atau nyeri angina.
Stadium D
Penyakit structural jantung yang lanjut serta gejala gagal jantung yang sangat bermakna
saat istirahat walaupun telah mendapat terapi. Kelas IV Pasien dengan penyakit jantung
yang mengakibatkan ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas fisik apapun tanpa
ketidaknyamanan. Gejala gagal jantung dapat muncul bahkan pada saat istirahat.

Tata laksana
Gagal jantung dengan penurunan fraksi ejeksi memerlukan evaluasi dan tata laksana
yang bertahap. Pemberian diuretik dianggap tidak mampu mengurangi mortalitas
penyakit, namun diyakini dapat meredakan gejala, terutama gejala-gejala yang terkait
dengan volume darah berlebih.
Pemberian ACE inhibitor dan Angiotensis Receptor Blocker juga dapat
dikombinasikan dengan diuretik, apabila terdapat gejala hipervolemik.
Penambahan variasi obat berupa Beta Blockers dapat menurunkan mortalitas dari gagal
jantung, dan dapat meningkatkan fraksi ejeksi ventrikel kiri. Beta Blocker harus
ditambahkan sebelum tata laksana ACE Inhibitor dan Angiotensin Receptor Blocker
diberikan.
Aldosteron antagonist juga dapat ditambahkan kepada pasien gagal jantung yang
memiliki kadar serum kreatinin dibawah 2.5 mg/dL, dan dapat meningkatkan prognosis
pasien serta menurunkan mortalitas penyakit gagal jantung.

BAB III
SIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan dari kasus pada tutorial 4.3 :
Diagnosis utama dari kasus tersebut menurut kelompok kami adalah gagal jantung kongesti.
Hubungan kasus dengan diagnosis utama adalah Pasien dalam skenario ini mengalami sesak
nafas sejak 1 tahun yang lalu dan bertambah berat sejak 1 minggu terakhir. Sesak napas dapat
dirasakan timbul saat aktivitas ringan dan saat berbaring. Pasien sering terbangun tiba-tiba
saat tidur malam hari karena sesak napas dan akan membaik bila posisi duduk. Terbangun
saat tidur malam hari akibat sesak napas ini disebut dengan Paroxysmal Nocturnal Dyspnea
(PND). Sehingga pada pasien ini sesak dapat masuk ke dalam salah satu kriteria minor
Framingham pada penyakit gagal jantung yaitu dyspnea.
Sedangkan gagal jantung kongesti dapat menimbulkan berbagai gejala klinis salah satunya
dipsnea.
Sumber :
Dianiati Kusumosutoyo. 2009. Patofisiologi Sesak Napas. Jakarta : Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia
Khoiriah, Fabbela, Dian Isti Anggraini. 2017. Congestive Heart Failure NYHA IV et
causa Penyakit Jantung Rematik dengan Hipertensi Grade II dan Gizi Kurang. Lampung
: Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung Majority Volume 6 Nomor 3 : 102
Fachrunnisa, Sofiana Nurchayati, Arneliwati. 2015. Faktor-Faktor yang Berhubungan
dengan Kualitas Tidur pada Pasien Congestive Heart Failure. Riau : Universitas Riau
JOM Vol 2 No 2 : 1094
Hapsari, Paramita. 2010. Kajian Interaksi Obat Pada Pasien Gagal Jantung Kongestif Di
Instalasi Rawat Jalan Rsud Dr. Moewardi Surakarta Periode Tahun 2008. Surakarta:
Fakultas Farmasi Universitas Muhammadiyah Surakarta
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4347206/
Rampengan S.H. 2013. Penanganan Gagal Jantung Diastolik. Jurnal Biomedik.
Universitas Sam Ratulangi.

Anda mungkin juga menyukai