Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 latar Belakang Masalah


Dalam tubuh,ada banyak sekali impuls yang di hantarkan impuls-impuls
tersebut di transfer dari satu neuron ke neuron yang lain,setiap neuron berhubungan
dengan beribu neuron yang lain. Di dalam tubuh ada sekitar 100 miliar neuron.
sinapsis merupakan titik pertemuan antar neuron atau istilah awamnya penghubung
antara satu neuron dengan neuron lainnya.

Dalam buku Histologi Junqueira satu impuls hanya butuh sekitar 5 milisekon
untuk melalui satu sel saraf. Atau dari sumber lain, dibutuhkan waktu sepersekian
detik untuk memicu potensial aksi pada satu neuron. Mulai dari depolarisasi hingga
repolarisasi. Yang akan dibahas dalam makalah ini adalah mekanisme penghantaran
impuls dari satu neuron ke neuron lain, atau istilah lainnya penghantaran impuls
melalui sinapsis. sinapsis merupakan titik pertemuan antar neuron atau istilah
awamnya penghubung antara satu neuron dengan neuron lainnya.

1.2 Rumusan Masalah

1. jelaskanlah tentang pengantar impuls melalui sinapsis?

2. jelaskanlah jenis-jenis sinapsis dan transmisi sinapsis?

3. bagaimanakah kasus yang berkaitan dengan penghantaran impuls misalnya


epilepsi?

1
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Mekanisme Penghantar Impuls

Dalam mekanisme penghantaran impuls ini ada dua istilah lagi yang perlu
kamu ketahui. Yaitu prasinapsis dan postsinapsis (atau bisa juga disebut
pascasinapsis).

Prasinapsis adalah akson dari neuron “sebelumnya” sedangkan postsinapsis


adalah dendrit dari neuron “berikutnya.” Logikanya begini, impuls yang diterima
dendrit diteruskan melalui badan sel dan diteruskan lagi ke bagian akson. Akson akan
menghantarkan impuls ke neuron berikutnya. Neuron tersebut (neuron berikutnya)
memanfaatkan dendritnya untuk menerima impuls, kemudian meneruskan impuls ke
badan sel lalu ke akson, hingga akson pun siap untuk mengirimkan impuls ke neuron
berikutnya.

Titik temu antara terminal akson salah satu neuron dengan neuron lain
dinamakan sinapsis. Setiap terminal akson membengkak membentuk tonjolan
sinapsis. Di dalam sitoplasma tonjolan sinapsis terdapat struktur kumpulan membran
kecil berisi neurotransmitter; yang disebut vesikula sinapsis. Neuron yang berakhir

2
pada tonjolan sinapsis disebut neuron pre-sinapsis. Membran ujung dendrit dari
neuron berikutnya yang membentuk sinapsis disebut neuron post-sinapsis. Bila
impuls sampai pada ujung neuron pre-sinapsis, maka vesikula sinapsis bergerak dan
melebur dengan membran neuron pre-sinapsis. Kemudian vesikula sinapsis akan
melepaskan neurotransmitter.

Neurontransmitter adalah suatu zat kimia yang dapat menyeberangkan


impuls dari neuron pre-sinapsis menuju neuron post-sinapsis. Neurontransmitter ada
bermacam-macam, misalnya asetilkolin yang terdapat di seluruh tubuh,
noradrenalin terdapat di sistem saraf simpatik, dan dopamine serta serotonin yang
terdapat di otak. Neurotransmitter yang dikeluarkan oleh vesikula sinapsis kemudian
berdifusi melewati celah sinapsis dan menempel pada situs reseptor yang terdapat
pada membran neuron post-sinapsis. Menempelnya neurotransmitter pada situs
reseptor mengikuti hukum kunci dan gembok . Artinya, tidak semua
neurotransmitter dapat menempel pada situs reseptor, hanya neurotransmitter tertentu
sajalah yang dapat menempel pada situs reseptor (sebagaimana pasangan antara anak
kunci dan gembok, hanya anak kunci pasangannya sajalah yang dapat membuka
gembok) Menempelnya neurotransmitter pada situs reseptor menyebabkan perubahan
pada membran neuron post-sinapsis sehingga terjadilah potensial aksi dan
menimbulkan impuls pada neuron post-sinapsis. Setelah impuls berpindah menuju
neuron post-sinapsis, maka neurotransmitter yang menempel pada situs reseptor akan
dilontarkan kembali ke celah sinapsis oleh enzim deaktivasi yang dihasilkan oleh
membran neuron post-sinaptik. Neurotransmitter yang telah dilontarkan ini bisa
dalam bentuk utuh atau dalam keadaan terurai. Neurotransmitter yang kembali berada
di celah sinapsis ini akan diserap oleh vesikula sinapsis untuk disimpan dan akan
digunakan kembali dalam proses penghantaran impuls berikutnya.

3
2.2 Jenis-Jenis Sinapsis

Struktur sinapsis adalah tempat bertemunya akson dari neuron pre-sinapsis


dengan suatu bagian dari neuron post-sinapsis. Akson pre-sinapsis bias berhubungan
dengan bagian manapun dari neuron post-sinapsis. Karenanya, sinapsis bisa
dibedakan atas:
a. Dendritik sinapsis ( dendritic synapse )
Sinapsis jenis ini terbentuk akibat bertemunya akson dari neuron pre-sinapsis

Dengan dendrit post-sinapsis.


b. Somatik sinapsis ( somatic synapse )
Sinapsis jenis terbentuk akibat bertemunya akson dari neuron pre-sinapsis
dengan badan sel dari neuron post-sinapsis.
c. Akson sinapsis ( axonal synapse )
Sinapsis jenis ini terbentuk akibat bertemunya akson dari neuron pre-sinapsis
dengan akson dari neuron post-sinapsis.

4
2.3 Transmisi Sinaps

Transmisi (peleburan atau pelepasan neurontransmiter) sinaps terjadi pada


neuron guna menghantarkan senyawa-senyawa kimia. Penghantaran zat-zat yang
terkandung dalam neurontransmiter dengan reseptornya bergantung pada
permeabilitas di neuron pascasinaps. Proses transmisi sinaps terjadi melalui beberapa
cara, antara lain:

a. Potensial End Plate


Didalam suatu sel saraf terdapat unit motor. Unit motor adalah motoneuron
bersama dengan axon dan seluruh serabut otot yang diinervasinya. Pada saat
sebuah motoneuron beraksi, seluruh serabut otot yang diinervasinya
berkontraksi. Karena satu motoneuron mungkin menginervasi dari sangat
sedikit sampai seribu atau lebih serabut otot, maka ukuran unit motor sangat
bervariasi,. Unit motor yang kecil terdapat pada otot-otot yang kecil, misalnya
otot ekstraokular dan otot tangan.Demikian juga, unit motor yang kecil
terdapat pada otot-otot yang melakukan berbagai gerak yang halus, misalnya
otot-otot kecil tangan, otot larynx dan otot ekstraokular. Unit motor yang
besar misalnya terdapat pada m. tibialis anterior, m. gastrocnemius. Serabut
saraf unit yang kecil umumnya juga berdiameter lebih kecil dibandingkan unit
yang besar. Satu serabut saraf dapat menginervasi banyak serabut otot karena
axon mempunyai banyak cabang. Serabut-serabut otot yang berasal dari satu

5
unit motor tersebar merata di otot. Ujung cabang-cabang motoneuron bersama
dengan membran otot yang diinervasinya membentuk motor-end plate
(junctio neuromuscularis). Gambaran pokok dari sebuah motor end plate
adalah sbb. Motor end plate terdiri atas dua bagian, yaitu saraf dan otot yang
saling dipisahkan oleh celah. Jadi motor end plate ini dalam beberapa hal
mirip sinapsis di sistem saraf sentral. Bagian otot mengandung beberapa
nuklei dan banyak mitochondria serta miofibril. Bagian otot dilengkapi
dengan sejumlah benjolan seperti buah anggur, sangat mirip benik terminal.
Setiap benjolan “melesak” ke dalam serabut otot dan mengandung vesikel
sinapsis dan mitokhondria. Telah diketahui bahwa substansi transmiter di end
plate adalah asetilkholin. Ia masuk ke dalam celah, berikatan dengan
membran otot, dan mengakibatkan perubahan permiabilitas membran tersebut.
Satu impuls saraf menghasilkan suatu potensial end plate, dan apabila
potensial ini mecapai ambang maka terjadilah potensial aksi yang disebarkan
ke sepanjang serabut otot dan menimbulkan kontraksi. Asetilkholin yang
dilepaskan pada saat datangnya aksi potensial saraf akan segara dipecah oleh
asetilkholinesterase. Transmisi impuls di junctio neuromuscularis dapat
dipengaruhi melalui beberapa cara. Curare, misalnya, mengurangi potensial
end plate, dengan demikian mencegah timbulnya potensial aksi. Akbiatnya
terjadi paralisis otot. (Bandingkan dengan penggunaan substansi seperti curare
untuk memperoleh relaksasi pada anestesi). Kerusakan yang terjadi pada
miastenia gravis adalah adalah kerusakan pada transmisi di end plate.
Potensial yang direkam pada EMG adalah aksi potensial serabut otot tersebut
di atas. Apabila serabut saraf dipotong, maka motor end plate dan serabut
saraf mengalami degenerasi. Pada umumnya satu serabut otot diinervasi oleh
satu axon dan mempunyai satu motor end plate. Setelah lahir ukuran motor
unit mengecil, mungkin karena pada mulanya satu serabut otot diinervasi oleh
lebih dari satu motoneuron. Setelah tercapai bentuk dewasa yaitu satu serabut

6
otot diinervasi oleh satu motoneuron, maka ukuran unit motor menjadi
konstan.

b. Excitatory Post Synaptic Potential (EPSP) & Inhibitor Past Synaptic


Potential (IPSP)
Adanya perbedaan potensial pada membran yang menyebabkan terjadinya
peristiwa Excitatory Post Synaptic Potential (EPSP) dan Inhibitor Past
Synaptic Potential (IPST). Potensial pascasinaps eksitatorik (EPSP) adalah
perubahan potensial pascasinaps yang terjadi di sinaps eksitatorik
(terbukanya saluran-saluran gerbang perantara kimia apabila saluran Na dan
Ka terbuka) dimana fluks-fluks ion menyebabkan timbulnya depolarisasi kecil
yang membawa sel pascasinaps mendekati ambang. Potensial pascasinaps
Inhibitor terjadi apabila saluaran-saluran gerbang perantara kimia yang
terbuka adalah saluran Ka dan Cl, akibatnya akan terjadi hiperpolarisasi kecil
sehingga neuron pascasinaps akan mencapai ambang lenyap. Jalur-jalur sinaps
yang menghubungkan berbagai neuron sangatlah rumit akibat adanya
konvergensi masukan neuron dan divergensi keluarannya. Biasanya banyak
masukan para sinaps berkonvergensi ke sebuah neuron dan secara bersama-
sama mengontrol tingkat eksitabilitas neuro tersebut. Suatu neuron dapat
bereaksi melalui beberapa cara antara lain: Melepaskan potensial aksi di
sepanjang akson.¬ Tetap¬ berada dalam keadaan istirahat dan tidak
meneruskan sinyal. Dengan cara¬ menurunkan tingkat eksitabilitasnya.
Frekuensi potensial aksi pada sinaps eksitatorik dan sinaps inhibitor
mencerminkan keadaan sinaps yang mempengaruhi kerja membran apakah
sedang melakukan tansmisi impuls atau sedang dalam keadaan istirahat. Ada
beberapa faktor yang mempengaruhi kerja sinaps dan efektivitas sinaps,
antara lain:Modifikasi jumlah transmiter pada neuron Perubahan mekanisme
sinaps yang dipengaruhi oleh pengaruhϖ obatobatan yang di konsumsi oleh
individu.Ada dua kemingkinan yang terjadi yaitu: penghantaran impuls

7
semakin cepat atau semakin lambat. Faktor ketidaksengajaan. Dipengaruhi
dan rentan terhadap sejumlah proses penyakit dan racun yang ada di dalam
tubuh.

Kasus Yang Terkait Dengan penghantaran impuls dan transmisi


sinaps yaitu :

2.4 Definisi Epilepsi


Epilepsi berasal dari bahasa Yunani, Epilambanmein yang berarti serangan.
Dahulu masyarakat percaya bahwa epilepsi disebabkan oleh roh jahat dan dipercaya
juga bahwa epilepsi merupakan penyakit yang bersifat suci. Latar belakang
munculnya mitos dan rasa takut terhadap epilepsi berasal hal tersebut. Mitos tersebut
mempengaruhi sikap masyarakat dan menyulitkan upaya penanganan penderita
epilepsi dalam kehidupan normal.Penyakit tersebut sebenarnya sudah dikenal sejak
tahun 2000 sebelum Masehi.

Orang pertama yang berhasil mengenal epilepsi sebagai gejala penyakit dan
menganggap bahwa epilepsi merupakan penyakit yang didasari oleh adanya
gangguan di otak adalah Hipokrates. Epilepsi merupakan kelainan neurologi yang
dapat terjadi pada setiap orang di seluruh dunia. Epilepsi merupakan manifestasi
gangguan fungsi otak dengan berbagai etiologi, dengan gejala tunggal yang khas,
yaitu kejang berulang akibat lepasnya muatan listrik neuron otak secara berlebihan
dan paroksismal. Terdapat dua kategori dari kejang epilepsi yaitu kejang fokal
(parsial) dan kejang umum. Kejang fokal terjadi karena adanya lesi pada satu bagian
dari cerebral cortex, di mana pada kelainan ini dapat disertai kehilangan kesadaran
parsial. Sedangkan pada kejang umum, lesi mencakup area yang luas dari cerebral
cortex dan biasanya mengenai kedua hemisfer cerebri. Kejang mioklonik, tonik, dan
klonik termasuk dalam epilepsi umum.Bangkitan epilepsi adalah manifestasi klinis
dari bangkitan serupa (stereotipik) yang berlebihan dan abnormal, berlangsung
mendadak dan sementara, dengan atau tanpa perubahan kesadaran. Disebabkan oleh

8
hiperaktifitas listrik sekelompok sel saraf di otak dan bukan disebabkan oleh suatu
penyakit otak akut.Kejang epilepsi harus dibedakan dengan sindrom epilepsi.

Kejang epilepsi adalah timbulnya kejang akibat berbagai penyebab yang ditandai
dengan serangan tunggal atau tersendiri.Sedangkan sindrom epilepsi adalah
sekumpulan gejala dan tanda klinis epilepsi yang ditandai dengan kejang epilepsi
berulang, meliputi berbagai etiologi, umur, onset, jenis serangan, faktor pencetus,
kronisitas. Kejang adalah kejadian epilepsi dan merupakan ciri epilepsi yang harus
ada, tetapi tidak semua kejang merupakan manifestasi epilepsi. Seorang anak
terdiagnosa menderita epilepsi jika terbukti tidak ditemukannya penyebab kejang lain
yang bisa dihilangkan atau disembuhkan, misalnya adanya demam tinggi, adanya
pendesakan otak oleh tumor, adanya pendesakan otak oleh desakan tulang cranium
akibat trauma, adanya inflamasi atau infeksi di dalam otak, atau adanya kelainan
biokimia atau elektrolit dalam darah. Tetapi jika kelainan tersebut tidak ditangani
dengan baik maka dapat menyebabkan timbulnya epilepsi di kemudian hari.

9
2.5 Etiologi Epilepsi
Kejang terjadi karena sejumlah saraf kortikal mencetuskan lepas muatan
listrik secara abnormal. Apapun yang mengganggu homeostasis normal dan stabilitas
saraf, dapat memicu hipereksibilitas dan kejang. Ada ribuan kondisi medis yang dapat
menyebabkan epilepsi, dari adanya mutasi genetik hingga luka trauma pada otak
(Rogers dan Cavazos, 2008). Etiologi kejang perlu diketahui untuk menentukan jenis
terapi yang tepat bagi pasien. Beberapa etiologi kejang pada pediatrik yang
dikelompokkan berdasarkan umur antara lain sebagai berikut:

Tabel 1. Etiologi Kejang Berdasarkan Kelompok Umur Pediatrik

Penyebab terjadinya kejang berdasarkan Umur


Neonatus Hipoksia dan iskemia pada perinatal
(˂1 bulan) Trauma dan hemoragi intrakranial
Infeksi akut pada SSP
Gangguan metabolik
(hipoglikemia,hipokalsemia,hipomagnesia,defisiens
i piridoksin)
Gejala putus obat
Gangguan perkembangan
Penyakit genetik
Bayi dan Anak-anak Kejang karena demam
(˃1 bulan,˂12 tahun ) Penyakit genetik
Infeksi SSP
Trauma
Idiopatik
Remaja Gangguan perkembangan
(12-18 tahun) Infeksi
Tumor otak
Penggunaan obat terlarang
Trauma
Idiopatik
Kejang terjadi akibat pengeluaran sejumlah neuron yang abnormal akibat dari
berbagai proses patologi sehingga berdampak pada otak. Epilepsi bukanlah suatu
penyakit, melainkan suatu gejala yang dapat timbul karena suatu penyakit. Secara
umum dapat dikatakan bahwa serangan epilepsi dapat timbul jika terjadinya

10
pelepasan aktivitas energi yang berlebihan dan mendadak dalam otak, sehingga
menyebabkan terganggunya kerja otak (Harsono, 1999).

Ditinjau dari penyebab, epilepsi dapat dibagi menjadi 2 golongan yaitu:

a. Epilepsi primer atau epilepsi idiopatik. Epilepsi primer tidak ditemukan


kelainan pada jaringan otak. Diduga terdapat kelainan atau gangguan
keseimbangan zat kimiawi dalam sel-sel saraf pada area jaringan otak yang
abnormal. Dalam jenis ini, tidak ada kelainan anatomik seperti trauma
maupun neoplasma yang menimbulkan kejang, maka sindrom ini disebut
epilepsi idiopatik atau primer. Kejang dapat ditimbulkan karena abnormalitas
susunan sistem saraf pusat (Harsono, 2001). Epilepsi idiopatik merupakan 2/3
kasus yang tidak diketahui penyebabnya. Lebih kurang 65% dari seluruh
kasus epilepsi tidak diketahui faktor penyebabnya (Harsono, 1991).
Umumnya faktor genetik lebih berperan pada epilepsi idiopatik. Insidensi
epilepsi idiopatik lebih tinggi pada anak-anak (Berg, 2006). Diduga bahwa
serangan terjadi karena cetusan listrik abnormal yang terjadi akibat kelainan
atau gangguan keseimbangan zat kimiawi dalam neuron-neuron pada area
jaringan otak yang abnormal. Etiologi idiopatik digunakan pada kejang
dengan tipe umum, sedangkan etiologi kriptogenik digunakan bila tidak ada
penyebab yang diketahui pada onset kejang parsial (Rogers dan Cavazos,
2008).

b. Epilepsi sekunder. Disebut epilepsi sekunder berarti gejala yang timbul


ialah akibat dari adanya kelainan pada jaringan otak. Kelainan ini dapat
disebabkan bawaan sejak lahir atau adanya jaringan parut sebagai akibat
kerusakan otak pada waktu lahir atau pada masa perkembangan anak.
Gangguan ini bersifat reversibel, misalnya karena tumor, trauma, luka kepala,
infeksi atau radang selaput otak, penyakit keturunan seperti fenilketonuria
(FKU) dan kecenderungan timbulnya epilepsi yang diturunkan. Epilepsi

11
sekunder merupakan 1/3 kasus yang diketahui penyebabnya. Kelainan dapat
terjadi bawaan atau pada masa perkembangan anak (Pedley, 1995). Beberapa
faktor risiko yang sudah diketahui antara lain: trauma kepala, trauma
persalinan, demam tinggi, stroke, intoksikasi, tumor otak, masalah
kardiovaskuler tertentu, gangguan keseimbangan elektrolit, infeksi
(ensefalitis, meningitis) dan reaksi alergi. Untuk menentukan faktor penyebab
dapat diketahui dengan melihat usia serangan pertama kali.

2.6 Patofisiologis Epilepsi


Epilepsi adalah pelepasan muatan yang berlebihan dan tidak teratur di pusat
tertinggi otak. Sel saraf otak mengadakan hubungan dengan perantaraan pesan listrik
dan kimiawi. Terdapat keseimbangan antara faktor yang menyebabkan eksitasi dan
inhibisi dari aktivitas listrik ( Sankar dkk., 2005; Rho dan Stafstron, 2012 ). Pada saat
serangan epilepsi yang memegang peranan penting adalah adanya eksitabilitas pada
sejumlah neuron atau sekelompok neuron, yang kemudian terjadi lepas muatan listrik
secara serentak pada sejumlah neuron atau sekelompok neuron dalam waktu
bersamaan, yang disebut sinkronisasi. Terjadinya lepas muatan listrik pada sejumlah
neuron harus terorganisir dengan baik dalam sekelompok neuron serta memerlukan
sinkronisasi. Epilepsi dapat timbul karena ketidakseimbangan antara eksitasi dan
inhibisi serta sinkronisasi dari pelepasan neural ( Christensen dkk., 2007; Kleigman,
2005 ).

Terdapat berbagai teori patofisiologi epilepsi, di antaranya adalah sebagai berikut:

a. Ketidakseimbangan antara eksitasi dan inhibisi. Kejang parsial menjadi


umum disebabkan oleh karena ketidakseimbangan antara eksitasi dan inhibisi
di otak. Eksitasi berlebihan mengakibatkan letupan neuronal yang cepat saat
kejang. Luaran sinyal yang dikeluarkan dari neuron yang meletup cepat

12
merekrut sistem neuronal yang berhubungan melalui sinap, sehingga terjadi
pelepasan yang berlebihan. Sistem inhibisi juga diaktifkan saat kejang, akan
tetapi tidak cukup untuk mengontrol eksitasi yang berlebihan, sehingga timbul
kejang ( Rho dan Stafstron, 2012; Widjaja, 2004 ).Excitatory Postsynaptic
Potentials ( EPSPs ) dihasilkan oleh ikatan molekul-molekul pada reseptor-
reseptor yang menyebabkan terbukanya saluran ion Na atau ion Ca dan
tertutupnya saluran ion K yang mengakibatkan terjadinya depolarisasi.
Berlawanan dengan Inhibitory Postsynaptic Potentials ( IPSs ) disebabkan
karena meningkatnya permeabilitas membran terhadap Cl dan K, yang
akhirnya menyebabkan hiperpolarisasi membran. Keseimbangan antar eksitasi
dan inhibisi dipengaruhi oleh beberapa aspek seperti tercantum dalam

Keseimbangan antar eksitasi dan inhibisi. ( Sumber: Dikutip dari Kumpulam


Makalah Epilepsi Pertemuan Nasional-1 )

 Excitation
Neuronal Depolarization
EPSP
Actions Potentials
Inward Ionic Current
Long term excitatory plastic changes
Inhibition
Neuronal hyperpolarization
IPSP
Calcium-activated potassium potentials
Outward currents
Metabolic pump potentials
Spike frequency accommodation

13
Eksitasi terjadi melalui beberapa neurotransmitter dan neuromodulator, akan
tetapi reseptor glutamat yang paling penting dan paling banyak diselidiki
untuk eksitasi pada epilepsi. Sedangkan inhibitor utama neurotransmitter pada
susunan saraf pusat adalah
Gamma Amino Butiric Acid ( GABA ). Semua struktur otak depan
menggunakan aksi inhibitor dan memegang peranan fisiopatogenesis pada
kondisi neurologis tertentu, termasuk epilepsi, kegagalan fungsi GABA dapat
mengakibatkan serangan kejang ( Rho dan Stafstron, 2012; Christensen dkk.,
2007; Kleigman, 2005 ). Terdapat tiga reseptor, yaitu GABA-A, GABA-B,
dan GABA-C. Secara tradisional yang berperan paling penting adalah inhibisi
potensi postsinaptik ( IPSPs ) cepat yang disalurkan oleh reseptor GABA-A.
Pengikatan GABA pada reseptor GABA-A membuka saluran klorida.
Masuknya ion klorida mengadakan hiperpolarisasi neuron, dan selanjutnya
mengadakan hambatan dengan cara menurunkan hambatan ( resistensi )
membran. Sedangkan reseptor GABA-B menghasilkan 12 hiperpolarisasi
yang lebih dalam dan lebih lama, dinamakan IPSP lambat atau potensial
hiperpolarisasi lambat. Pada tahap inhibisi ini adalah potensial non sinaptik
dinamakan calcium-activated potassium. Arus yang mendasari potensial ini
terjadi oleh masuknya kalsium ke dalam neuron, mengakibatkan aktivasi dari
aliran kalium ke luar. Penambahan respon terhadap reseptor GABA-B
berguna untuk strategi menghambat bangkitan yang berlangsung lama
( Sankar dkk., 2006; Rho dan Stafstron, 2012 ).

b. Mekanisme sinkronisasi dan Bertambahnya sinkronisasi adalah ciri khas


pelepasan epileptik. Tunas serat-serat aksonal dari neuron eksitatorik dari
pembentukan hubungan sinaptik eksitatorik yang berulang-ulang serta timbal
balik positif dan bertambahnya hubungan dengan sirkuit ini mengakibatkan
eksitasi sinaps yang berulang dan perubahan konsentrasi ion ekstraseluler. Hal
ini menyokong pelepasan sinkronisasi. Ciri khas dari semua tipe aktivitas

14
epilepsi adalah bertambahnya sinkronisasi neuronal. Pada saat kejang, sel otak
meletup dalam pola hubungan bersamaan. Pada umumnya, saluran natrium
dan kalsium menengahi eksitasi neuronal, sedangkan saluran kalium dan
klorida menstabilkan letupan neuronal ( Clark dan Wilson, 1997; Rho dan
Stafstron, 2012 ).

c. Epileptogenesis.Trauma otak dapat mengakibatkan epilepsi setelah interval


latensi bebas dari kejang. Anoksia-iskemia, trauma, neurotoksin, dan trauma
13 lain secara selektif dapat mengenai subpopulasi sel tertentu. Bila sel ini
mati, akson-akson dari neuron yang hidup mengadakan tunas untuk
berhubungan dengan neuron diferensiasi parsial. Sirkuit yang sembuh
cenderung untuk mudah terangsang ( hiperexcitable ) karena mudah rusaknya
dari interneuron penghambat ( Widjaja, 2004; Rho dan Stafstron, 2012 ).

Penyebab spesifik dan faktor-faktor komorbiditas terjadinya epilepsi


sebagai berikut: ( Kleigman, 2005; Christensen dkk., 2007 ).

a. Kelainan yang terjadi selama perkembangan janin atau kehamilan ibu,


seperti ibu meminum obat-obat tertentu yang dapat merusak otak janin,
mengalami infeksi, minum alkohol, atau mengalami cidera.

b. Kelainan yang terjadi pada saat kelahiran, seperti kurangnya oksigen ke


otak ( hipoksia ), kerusakan karena tindakan saat kelahiran ( vakum dan
forcep ).

c. Cidera kepala yang dapat mengakibatkan kerusakan pada otak.

d. Tumor otak merupakan penyebab epilepsi yang tidak umum terutama pada
anak-anak.

e. Penyumbatan pembuluh darah otak atau kelainan pembuluh darah otak.

15
f. Radang atau infeksi pada otak atau selaput otak. 14 g. Penyakit keturunan
seperti fenilketonuria ( FKU ), tuberosklerosis dan neurofibromatosis dapat
menyebabkan kejang-kejang yang berulang.

h. Kecendrungan timbulnya epilepsi yang diturunkan. Hal ini disebabkan


karena ambang rangsang serangan yang lebih rendah dari nornal diturunkan
pada anak.

Perhatian utama pada serangan epilesi adalah adanya faktor pencetus.


Faktor-faktor pencetus yang telah dikenal yaitu:

a. Kurang tidur, berakibat pada gangguan aktivitas saraf-saraf otak;

b. Stres emosional atau stres fisik yang berat;

c. Infeksi yang biasanya disertai demam, terutama pada anak-anak;

d. Anak dengan kejang demam kompleks memiliki risiko epilepsi yang lebih
besar daripada anak dengan kejang sederhana;

e. Obat-obat tertentu dan alkohol, misalnya sedatif atau antidepresan trisiklik;

f. Perubahan hormonal;

g. Terlalu lelah, sehingga terjadi hiperventilasi dengan peningkatan kadar


CO2 darah yang dapat menyebabkan vasokontriksi pembuluh darah otak.
(Pedley, 1995; Harsono, 1999).

16
2.7 Klasifikasi Epilepsi
Klasifikasi dari epilepsi yang seragam dan diterima secara universal
merupakan sarana komunikasi untuk membandingkan dan mengevaluasi penelitian
ilmiah serta untuk pengobatan. Saat ini dikenal dua jenis klasifikasi yang dipakai oleh
ILAE ( International League Against Epilepsy ) tahun 1981 yaitu klasifikasi
bangkitan atau serangan kejang dan klasifikasi sindrom epilepsi. Klasifikasi serangan
kejang merupakan klasifikasi kejang yang dibuat berdasarkan manifestasi secara
klinis dan EEG. Sebaliknya klasifikasi sindrom epilepsi adalah klasifikasi epilepsi
yang dibuat untuk mendiskripsikan kelompok yang menunjukkan aspek sama dalam
berbagai hal, baik manifestasi klinis, umur, dan prognosis. Satu sindrom epilepsi
dapat menunjukkan serangan kejang yang bervariasi ( Sankar dkk., 2005;
Panayiotopoulos, 2005 ).

Klasifikasi International League Against Epilepsy (ILAE) 1981 untuk kejang epilepsi
Tabel 2. Klasifikasi Kejang Epilepsi

No Klasifikasi kejang epilepsi


1. Kejang Kejang parsial • Kejang parsial sederhana dengan gejala
parsial sederhana motorik
• Kejang parsial sederhana dengan gejala
somatosensorik atau sensorik khusus
• Kejang parsial sederhana dengan gejala
psikis

Kejang parsial • Kejang parsial kompleks dengan onset


kompleks parsial sederhana diikuti gangguan
kesadaran
• Kejang parsial kompleks dengan
gangguan kesadaran saat onset
Kejang parsial yang • Kejang parsial sederhana menjadi kejang

17
menjadi kejang umum
generalisata • Kejang parsial kompleks menjadi kejang
sekunder umum
• Kejang parsial sederhana menjadi kejang
parsial kompleks dan kemudian menjadi
kejang umum
2. Kejang • Kejang absans
umum • Absans atipikal
• Kejang mioklonik
• Kejang klonik
• Kejang tonik-klonik
• Kejang atonik

18
Klasifikasi International League Against Epilepsy (ILAE) 1989 untuk sindroma
epilepsi

Tabel 3. Klasifikasi Sindroma Epilepsi

No Klasifikasi sindroma epilepsi


1. Berkaitan Idiopatik Epilepsi anak benigna dengan gelombang
dengan paku di sentrotemporal (Rolandik benigna)

letak fokus Epilepsi anak dengan paroksimal oksipital


Simtomatik Lobus temporalis
Lobus frontalis
Lobus parietalis
Lobus oksipitalis
Kronik progresif parsialis kontinu
Kriptogenik
2. Epilepsi Idiopatik Kejang neonates familial benigna
umum Kejang neonates benigna
Epilepsi mioklonik benigna pada bayi
Epilepsi absans pada anak (pyknolepsy)
Epilepsi absans pada remaja
Epilepsi mioklonik pada remaja
Epilepsi dengan serangan tonik-klonik saat
terjaga
Kriptogenik atau Sindroma West (spasme bayi)
simtomatik Sindroma Lennox-Gastaut
Epilepsi dengan kejang mioklonik-astatik
Epilepsi dengan mioklonik absans 1
Simtomatik Etiologi non spesifik
! Ensefalopati mioklonik neonatal
! Epilepsi ensefalopati pada bayi
! Gejala epilepsi umum lain yang tidak dapat

19
didefinisikan
Sindrom spesifik
! Malformasi serebral
! Gangguan metabolisme
3. Epilepsi Serangan fokal dan Kejang neonatal
dan umum Tanpa Epilepsi mioklonik berat pada bayi
sindrom gambaran tegas Epilepsi dengan gelombang paku kontinu
yang tidak fokal atau umum selama gelombang rendah tidur (Sindroma

dapat Taissinare)

ditentukan Sindroma Landau-Kleffner

fokal atau
generalisat
a
4. Sindrom Kejang demam
khusus Status epileptikus
Kejang berkaitan
dengan gejala
metabolik atau
toksik akut

20
Faktor Risiko

Gangguan stabilitas neuron – neuron otak yang dapat terjadi saat epilepsi, dapat
terjadi saat:

Tabel 4. Faktor Risiko Epilepsi

Prenatal Natal Postnatal


a. Umur ibu saat hamil a. Asfiksia a. Kejang demam
terlalu muda (<20 tahun) b. Bayi dengan berat b. Trauma kepala
atau terlalu tua (>35 badan lahir rendah (<2500 c. Infeksi SSP
tahun) gram) d. Gangguan metabolik
b. Kehamilan dengan c. Kelahiran prematur atau
eklamsia dan hipertensi postmatur
c. Kehamilan primipara d. Partus lama
atau multipara e. Persalinan dengan alat
d. Pemakaian bahan
toksik

2.8 Tanda Dan Gejala Epilepsi

21
Gejala dan tanda dari epilepsi dibagi berdasarkan klasifikasi dari epilepsi, yaitu

1) Kejang parsial
Lesi yang terdapat pada kejang parsial berasal dari sebagian kecil dari otak
atau satu hemisfer serebrum. Kejang terjadi pada satu sisi atau satu bagian
tubuh dan kesadaran penderita umumnya masih baik.
a. Kejang parsial sederhana
Gejala yang timbul berupa kejang motorik fokal, femnomena
halusinatorik, psikoilusi, atau emosional kompleks. Pada kejang parsial
sederhana, kesadaran penderita masih baik.
b. Kejang parsial kompleks
Gejala bervariasi dan hampir sama dengan kejang parsial sederhana,
tetapi yang paling khas terjadi adalah penurunan kesadaran dan
otomatisme.
2) Kejang umum
Lesi yang terdapat pada kejang umum berasal dari sebagian besar dari otak
atau kedua hemisfer serebrum. Kejang terjadi pada seluruh bagian tubuh dan
kesadaran penderita umumnya menurun.
a. Kejang Absans
Hilangnya kesadaran sessat (beberapa detik) dan mendadak disertai
amnesia. Serangan tersebut tanpa disertai peringatan seperti aura atau
halusinasi, sehingga sering tidak terdeteksi.
b. Kejang Atonik
Hilangnya tonus mendadak dan biasanya total pada otot anggota badan,
leher, dan badan. Durasi kejang bisa sangat singkat atau lebih lama.

c. Kejang Mioklonik
Ditandai dengan kontraksi otot bilateral simetris yang cepat dan singkat.
Kejang yang terjadi dapat tunggal atau berulang.
d. Kejang Tonik-Klonik
Sering disebut dengan kejang grand mal. Kesadaran hilang dengan cepat
dan total disertai kontraksi menetap dan masif di seluruh otot. Mata
mengalami deviasi ke atas. Fase tonik berlangsung 10 - 20 detik dan
diikuti oleh fase klonik yang berlangsung sekitar 30 detik. Selama fase

22
tonik, tampak jelas fenomena otonom yang terjadi seperti dilatasi pupil,
pengeluaran air liur, dan peningkatan denyut jantung.
e. Kejang Klonik
Gejala yang terjadi hampir sama dengan kejang mioklonik, tetapi kejang
yang terjadi berlangsung lebih lama, biasanya sampai 2 menit.
f. Kejang Tonik
Ditandai dengan kaku dan tegang pada otot. Penderita sering mengalami
jatuh akibat hilangnya keseimbangan.

2.9 Diagnosis Epilepsi


Diagnosis epilepsi didasarkan atas anamnesis dan pemeriksaan klinis dengan
hasil pemeriksaan EEG atau radiologis. Namun demikian, bila secara kebetulan
melihat serangan yang sedang berlangsung maka epilepsi (klinis) sudah dapat
ditegakkan.

1) Anamnesis
Anamnesis merupakan langkah terpening dalam melakukan diagnosis epilepsi.
Dalam melakukan anamnesis, harus dilakukan secara cermat, rinci, dan
menyeluruh karena pemeriksa hampir tidak pernah menyaksikan serangan yang

23
dialami penderita. Anamnesis dapat memunculkan informasi tentang trauma
kepala dengan kehilangan kesadaran, ensefalitis, malformasi vaskuler,
meningitis, gangguan metabolik dan obat-obatan tertentu. Penjelasan dari pasien
mengenai segala sesuatu yang terjadi sebelum, selama, dan sesudah serangan
(meliputi gejala dan lamanya serangan) merupakan informasi yang sangat
penting dan merupakan kunci diagnosis. Anamnesis (auto dan aloanamnesis),
meliputi :

a. Pola / bentuk serangan

b. Lama serangan

c. Gejala sebelum, selama, dan sesudah serangan

d. Frekuensi serangan

e. Faktor pencetus

f. Ada / tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang

g. Usia saat terjadinya serangan pertama

h. Riwayat kehamilan, persalinan, dan perkembangan i. Riwayat penyakit,


penyebab, dan terapi sebelumnya

j. Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga

2) Pemeriksaan fisik umum dan neurologis

Pada pemeriksaan fisik umum dan neurologis, dapat dilihat adanya tanda-
tanda dari gangguan yang berhubungan dengan epilepsi seperti trauma kepala,
gangguan kongenital, gangguan neurologik fokal atau difus, infeksi telinga
atau sinus. Sebabsebab terjadinya serangan epilepsi harus dapat ditepis
melalui pemeriksaan fisik dengan menggunakan umur dan riwayat penyakit

24
sebagai pegangan. Untuk penderita anak-anak, pemeriksa harus
memperhatikan adanya keterlambatan perkembangan, organomegali,
perbedaan ukuran antara anggota tubuh dapat menunjukan awal ganguan
pertumbuhan otak unilateral.

3) Pemeriksaan penunjang

a. Elektroensefalografi (EEG)

Pemeriksaan EEG merupakan pemeriksaan penunjang yang paling sering


dilakukan dan harus dilakukan pada semua pasien epilepsi untuk menegakkan
diagnosis epilepsi. Terdapat dua bentuk kelaianan pada EEG, kelainan fokal
pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya lesi struktural di otak.
Sedangkan adanya kelainan umum pada EEG menunjukkan kemungkinan
adanya kelainan genetik atau metabolik. Rekaman EEG dikatakan abnormal
bila :

1) Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di kedua
hemisfer otak

2) Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat dibanding


seharusnya

3) Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal,


misalnya gelombang tajam, paku (spike), paku-ombak, paku majemuk, dan
gelombang lambat yang timbul secara paroksimal Pemeriksaan EEG
bertujuan untuk membantu menentukan prognosis dan penentuan perlu atau
tidaknya pengobatan dengan obat anti epilepsi (OAE).

b. Neuroimaging
Neuroimaging atau yang lebih kita kenal sebagai pemeriksaan radiologis

25
bertujuan untuk melihat struktur otak dengan melengkapi data EEG. Dua
pemeriksaan yang sering digunakan Computer Tomography Scan (CT Scan)
dan Magnetic Resonance Imaging (MRI). Bila dibandingkan dengan CT Scan
maka MRI lebih sensitif 22 dan secara anatomik akan tampak lebih rinci. MRI
bermanfaat untuk membandingkan hippocampus kiri dan kanan.

2.10 Pengobatan Epilepsi


Pengobatan penderita dengan epilepsi dibagi menjadi pemberian obat anti
epilepsi, pembedahan, dan diit ketogenik.
a. Obat anti epilepsi

Obat anti epilepsi ( OAE ) merupakan salah satu aspek yang diperlukan bagi
penderita epilepsi yang bertujuan untuk mengatasi serangan kejang, walaupun
tidak dapat mengatasi masalah kelainan neurologinya atau masalah kognitif
dan psikososialnya. Keputusan untuk memulai terapi OAE didasarkan pada
pertimbangan kemungkinan terjadinya serangan epilepsi yang berulang dan
risiko terjadinya efek buruk akibat terapi obat antiepilepsi. Obat anti epilepsi

26
dikategorikan menjadi dua lini yaitu lini pertama dan lini kedua. obat lini I
yang direkomendasikan digunakan untuk bayi dan anak-anak secara rutin
yaitu fenobarbital, asam valproat, karbamazepin, dan fenitoin, OAE lini kedua
topiramat, lamotrigin, levetiracetam, clobazam, clonazepam, nitrazepam,
Adrenocorticotropic hormone ( ACTH ), steroid. ( Berg dkk., 2012 ). Prinsip
pengobatan epilepsi adalah dimulai dengan monoterapi, bila kejang tidak
dapat dihentikan dengan dosis maksimal, mulai pemberian monoterapi kedua,
apabila monoterapi kedua berhasil menghentikan kejang, segera hentikan
monoterapi pertama da lanjutkan pemberian monoterapi kedua. Apabila
kejang tidak dapat dihentikan dengan monoterapi kedua pertimbangkan untuk
pemberian politerapi ( kombinasi 2-3 OAE lini pertama ). Politerapi
seharusnya dihindari sebisa mungkin. Namun demikian, kurang lebih 30-50%
pasien tidak berespon terhadap monoterapi. Tujuan pemberian OAE dalam
epilepsi adalah menghilangkan kejang dengan efek samping obat yang
minimal ( Wibowo dan Gofir, 2008 ).

Ada 4 mekanisme aksi utama OAE yaitu:

a. Mengikat kanal Na menjadi inaktif

Contoh obat: Fenitoin, Karbamazepin, Oxcarbazepin, Zonisamid,


Lamotrigin, Topiramat, Gabapentin.

b. Memodulasi GABA,
menginhibisi reuptake GABA Contoh obat: Agonis GABAa
(Benzodiazepin, Barbiturat, Topiramat); Inhibitor reuptake (Tiagabin);
GABA-transaminase (Vigabatrin); Modulasi GAD (Felbamate).
c. Mengikat reseptor glutamat

27
Contoh obat: Reseptor NMDA (Felbamate) dan Reseptor AMPA/Kainat
(Topiramat).
d. Mengikat kanal Ca
Contoh obat: Ethosuksimid, Fenitoin, Karbamazepin, Oxcarbazepin,
Zonisamid. (Brodie dan Dichter, 1996; Gidal dan Garnett, 2005;
Lawthorn dan Smith, 2001)

b. Pembedahan

Sebagian kecil kasus epilepsi tidak dapat dikontrol kejangnya dengan obatobat
antiepilepsi yang biasa digunakan. Saat ini terapi dengan pembedahan
merupakan bagian penting dalam tatalaksana pasien epilepsi. Pemilihan
pasien untuk tindakan operasi memerlukan pertimbangan yang sangat ketat.
Tindakan pembedahan hanya tepat untuk epilepsi fokal yang berasal dari satu
fokus yang jelas pada otak, seperti epilepsi lobus temporalis dengan tingkat
keberhasilan yang beragam ( Kelly dan Chung, 2011 ).

C. Diet ketogenik

Diet ketogenik merupakan salah satu pilihan untuk epilepsi yang sulit
dikontrol kejangnya dengan obat antiepilepsi. Diet ketogenik ini merupakan
upaya lain disamping obat dan pembedahan. Widler adalah orang pertama
yang memperkenalkan diet ini pada tahun 1920. Diet ketogenik adalah
pemberian diet tinggi lemak, rendah protein dan karbohidrat. Dengan diet ini
40-67% anak mengalami perbaikan dalam frekuensi serangan ( Sirven dkk.,
1999 ).

28
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Penghantar impuls didalam tubuh

 Dalam mekanisme penghantaran impuls ini ada dua istilah lagi yang
perlu kamu ketahui. Yaitu prasinapsis dan postsinapsis (atau bisa juga
disebut pascasinapsis). Prasinapsis adalah akson dari neuron
“sebelumnya” sedangkan postsinapsis adalah dendrit dari neuron
“berikutnya.” Logikanya begini, impuls yang diterima dendrit
diteruskan melalui badan sel dan diteruskan lagi ke bagian akson.

29
Akson akan menghantarkan impuls ke neuron berikutnya. Neuron
tersebut (neuron berikutnya) memanfaatkan dendritnya untuk
menerima impuls, kemudian meneruskan impuls ke badan sel lalu ke
akson, hingga akson pun siap untuk mengirimkan impuls ke neuron
berikutnya.

Transimis sinaps
 Transmisi (peleburan atau pelepasan neurontransmiter) sinaps terjadi
pada neuron guna menghantarkan senyawa-senyawa kimia.
Penghantaran zat-zat yang terkandung dalam neurontransmiter dengan
reseptornya bergantung pada permeabilitas di neuron pascasinaps.
Proses transmisi sinaps terjadi melalui beberapa cara, antara lain:
Potensial End Plate, dan Excitatory Post Synaptic Potential (EPSP) &
Inhibitor Past Synaptic Potential (IPSP).

Pengertian

 Epilepsi merupakan gangguan saraf kronik dengan ciri timbulnya


gejala-gejala yang datang dalam serangan-serangan berulang secara
spontan yang disebabkan lepasnya muatan listrik abnormal sel-sel
saraf otak yang bersifat reversibel dengan berbagai etiologi.

Etiologi

 Kejang terjadi karena sejumlah saraf kortikal mencetuskan lepas


muatan listrik secara abnormal. Apapun yang mengganggu
homeostasis normal dan stabilitas saraf, dapat memicu hipereksibilitas
dan kejang. Ada ribuan kondisi medis yang dapat menyebabkan
epilepsi, dari adanya mutasi genetik hingga luka trauma pada otak

30
(Rogers dan Cavazos, 2008). Etiologi kejang perlu diketahui untuk
menentukan jenis terapi yang tepat bagi pasien.

Patofisiologis

 Pada saat serangan epilepsi yang memegang peranan penting adalah


adanya eksitabilitas pada sejumlah neuron atau sekelompok neuron,
yang kemudian terjadi lepas muatan listrik secara serentak pada
sejumlah neuron atau sekelompok neuron dalam waktu bersamaan,
yang disebut sinkronisasi. Terjadinya lepas muatan listrik pada
sejumlah neuron harus terorganisir dengan baik dalam sekelompok
neuron serta memerlukan sinkronisasi. Epilepsi dapat timbul karena
ketidakseimbangan antara eksitasi dan inhibisi serta sinkronisasi dari
pelepasan neural ( Christensen dkk., 2007; Kleigman, 2005 ).

31

Anda mungkin juga menyukai