PENDAHULUAN
Dalam buku Histologi Junqueira satu impuls hanya butuh sekitar 5 milisekon
untuk melalui satu sel saraf. Atau dari sumber lain, dibutuhkan waktu sepersekian
detik untuk memicu potensial aksi pada satu neuron. Mulai dari depolarisasi hingga
repolarisasi. Yang akan dibahas dalam makalah ini adalah mekanisme penghantaran
impuls dari satu neuron ke neuron lain, atau istilah lainnya penghantaran impuls
melalui sinapsis. sinapsis merupakan titik pertemuan antar neuron atau istilah
awamnya penghubung antara satu neuron dengan neuron lainnya.
1
BAB II
PEMBAHASAN
Dalam mekanisme penghantaran impuls ini ada dua istilah lagi yang perlu
kamu ketahui. Yaitu prasinapsis dan postsinapsis (atau bisa juga disebut
pascasinapsis).
Titik temu antara terminal akson salah satu neuron dengan neuron lain
dinamakan sinapsis. Setiap terminal akson membengkak membentuk tonjolan
sinapsis. Di dalam sitoplasma tonjolan sinapsis terdapat struktur kumpulan membran
kecil berisi neurotransmitter; yang disebut vesikula sinapsis. Neuron yang berakhir
2
pada tonjolan sinapsis disebut neuron pre-sinapsis. Membran ujung dendrit dari
neuron berikutnya yang membentuk sinapsis disebut neuron post-sinapsis. Bila
impuls sampai pada ujung neuron pre-sinapsis, maka vesikula sinapsis bergerak dan
melebur dengan membran neuron pre-sinapsis. Kemudian vesikula sinapsis akan
melepaskan neurotransmitter.
3
2.2 Jenis-Jenis Sinapsis
4
2.3 Transmisi Sinaps
5
unit motor tersebar merata di otot. Ujung cabang-cabang motoneuron bersama
dengan membran otot yang diinervasinya membentuk motor-end plate
(junctio neuromuscularis). Gambaran pokok dari sebuah motor end plate
adalah sbb. Motor end plate terdiri atas dua bagian, yaitu saraf dan otot yang
saling dipisahkan oleh celah. Jadi motor end plate ini dalam beberapa hal
mirip sinapsis di sistem saraf sentral. Bagian otot mengandung beberapa
nuklei dan banyak mitochondria serta miofibril. Bagian otot dilengkapi
dengan sejumlah benjolan seperti buah anggur, sangat mirip benik terminal.
Setiap benjolan “melesak” ke dalam serabut otot dan mengandung vesikel
sinapsis dan mitokhondria. Telah diketahui bahwa substansi transmiter di end
plate adalah asetilkholin. Ia masuk ke dalam celah, berikatan dengan
membran otot, dan mengakibatkan perubahan permiabilitas membran tersebut.
Satu impuls saraf menghasilkan suatu potensial end plate, dan apabila
potensial ini mecapai ambang maka terjadilah potensial aksi yang disebarkan
ke sepanjang serabut otot dan menimbulkan kontraksi. Asetilkholin yang
dilepaskan pada saat datangnya aksi potensial saraf akan segara dipecah oleh
asetilkholinesterase. Transmisi impuls di junctio neuromuscularis dapat
dipengaruhi melalui beberapa cara. Curare, misalnya, mengurangi potensial
end plate, dengan demikian mencegah timbulnya potensial aksi. Akbiatnya
terjadi paralisis otot. (Bandingkan dengan penggunaan substansi seperti curare
untuk memperoleh relaksasi pada anestesi). Kerusakan yang terjadi pada
miastenia gravis adalah adalah kerusakan pada transmisi di end plate.
Potensial yang direkam pada EMG adalah aksi potensial serabut otot tersebut
di atas. Apabila serabut saraf dipotong, maka motor end plate dan serabut
saraf mengalami degenerasi. Pada umumnya satu serabut otot diinervasi oleh
satu axon dan mempunyai satu motor end plate. Setelah lahir ukuran motor
unit mengecil, mungkin karena pada mulanya satu serabut otot diinervasi oleh
lebih dari satu motoneuron. Setelah tercapai bentuk dewasa yaitu satu serabut
6
otot diinervasi oleh satu motoneuron, maka ukuran unit motor menjadi
konstan.
7
semakin cepat atau semakin lambat. Faktor ketidaksengajaan. Dipengaruhi
dan rentan terhadap sejumlah proses penyakit dan racun yang ada di dalam
tubuh.
Orang pertama yang berhasil mengenal epilepsi sebagai gejala penyakit dan
menganggap bahwa epilepsi merupakan penyakit yang didasari oleh adanya
gangguan di otak adalah Hipokrates. Epilepsi merupakan kelainan neurologi yang
dapat terjadi pada setiap orang di seluruh dunia. Epilepsi merupakan manifestasi
gangguan fungsi otak dengan berbagai etiologi, dengan gejala tunggal yang khas,
yaitu kejang berulang akibat lepasnya muatan listrik neuron otak secara berlebihan
dan paroksismal. Terdapat dua kategori dari kejang epilepsi yaitu kejang fokal
(parsial) dan kejang umum. Kejang fokal terjadi karena adanya lesi pada satu bagian
dari cerebral cortex, di mana pada kelainan ini dapat disertai kehilangan kesadaran
parsial. Sedangkan pada kejang umum, lesi mencakup area yang luas dari cerebral
cortex dan biasanya mengenai kedua hemisfer cerebri. Kejang mioklonik, tonik, dan
klonik termasuk dalam epilepsi umum.Bangkitan epilepsi adalah manifestasi klinis
dari bangkitan serupa (stereotipik) yang berlebihan dan abnormal, berlangsung
mendadak dan sementara, dengan atau tanpa perubahan kesadaran. Disebabkan oleh
8
hiperaktifitas listrik sekelompok sel saraf di otak dan bukan disebabkan oleh suatu
penyakit otak akut.Kejang epilepsi harus dibedakan dengan sindrom epilepsi.
Kejang epilepsi adalah timbulnya kejang akibat berbagai penyebab yang ditandai
dengan serangan tunggal atau tersendiri.Sedangkan sindrom epilepsi adalah
sekumpulan gejala dan tanda klinis epilepsi yang ditandai dengan kejang epilepsi
berulang, meliputi berbagai etiologi, umur, onset, jenis serangan, faktor pencetus,
kronisitas. Kejang adalah kejadian epilepsi dan merupakan ciri epilepsi yang harus
ada, tetapi tidak semua kejang merupakan manifestasi epilepsi. Seorang anak
terdiagnosa menderita epilepsi jika terbukti tidak ditemukannya penyebab kejang lain
yang bisa dihilangkan atau disembuhkan, misalnya adanya demam tinggi, adanya
pendesakan otak oleh tumor, adanya pendesakan otak oleh desakan tulang cranium
akibat trauma, adanya inflamasi atau infeksi di dalam otak, atau adanya kelainan
biokimia atau elektrolit dalam darah. Tetapi jika kelainan tersebut tidak ditangani
dengan baik maka dapat menyebabkan timbulnya epilepsi di kemudian hari.
9
2.5 Etiologi Epilepsi
Kejang terjadi karena sejumlah saraf kortikal mencetuskan lepas muatan
listrik secara abnormal. Apapun yang mengganggu homeostasis normal dan stabilitas
saraf, dapat memicu hipereksibilitas dan kejang. Ada ribuan kondisi medis yang dapat
menyebabkan epilepsi, dari adanya mutasi genetik hingga luka trauma pada otak
(Rogers dan Cavazos, 2008). Etiologi kejang perlu diketahui untuk menentukan jenis
terapi yang tepat bagi pasien. Beberapa etiologi kejang pada pediatrik yang
dikelompokkan berdasarkan umur antara lain sebagai berikut:
10
pelepasan aktivitas energi yang berlebihan dan mendadak dalam otak, sehingga
menyebabkan terganggunya kerja otak (Harsono, 1999).
11
sekunder merupakan 1/3 kasus yang diketahui penyebabnya. Kelainan dapat
terjadi bawaan atau pada masa perkembangan anak (Pedley, 1995). Beberapa
faktor risiko yang sudah diketahui antara lain: trauma kepala, trauma
persalinan, demam tinggi, stroke, intoksikasi, tumor otak, masalah
kardiovaskuler tertentu, gangguan keseimbangan elektrolit, infeksi
(ensefalitis, meningitis) dan reaksi alergi. Untuk menentukan faktor penyebab
dapat diketahui dengan melihat usia serangan pertama kali.
12
merekrut sistem neuronal yang berhubungan melalui sinap, sehingga terjadi
pelepasan yang berlebihan. Sistem inhibisi juga diaktifkan saat kejang, akan
tetapi tidak cukup untuk mengontrol eksitasi yang berlebihan, sehingga timbul
kejang ( Rho dan Stafstron, 2012; Widjaja, 2004 ).Excitatory Postsynaptic
Potentials ( EPSPs ) dihasilkan oleh ikatan molekul-molekul pada reseptor-
reseptor yang menyebabkan terbukanya saluran ion Na atau ion Ca dan
tertutupnya saluran ion K yang mengakibatkan terjadinya depolarisasi.
Berlawanan dengan Inhibitory Postsynaptic Potentials ( IPSs ) disebabkan
karena meningkatnya permeabilitas membran terhadap Cl dan K, yang
akhirnya menyebabkan hiperpolarisasi membran. Keseimbangan antar eksitasi
dan inhibisi dipengaruhi oleh beberapa aspek seperti tercantum dalam
Excitation
Neuronal Depolarization
EPSP
Actions Potentials
Inward Ionic Current
Long term excitatory plastic changes
Inhibition
Neuronal hyperpolarization
IPSP
Calcium-activated potassium potentials
Outward currents
Metabolic pump potentials
Spike frequency accommodation
13
Eksitasi terjadi melalui beberapa neurotransmitter dan neuromodulator, akan
tetapi reseptor glutamat yang paling penting dan paling banyak diselidiki
untuk eksitasi pada epilepsi. Sedangkan inhibitor utama neurotransmitter pada
susunan saraf pusat adalah
Gamma Amino Butiric Acid ( GABA ). Semua struktur otak depan
menggunakan aksi inhibitor dan memegang peranan fisiopatogenesis pada
kondisi neurologis tertentu, termasuk epilepsi, kegagalan fungsi GABA dapat
mengakibatkan serangan kejang ( Rho dan Stafstron, 2012; Christensen dkk.,
2007; Kleigman, 2005 ). Terdapat tiga reseptor, yaitu GABA-A, GABA-B,
dan GABA-C. Secara tradisional yang berperan paling penting adalah inhibisi
potensi postsinaptik ( IPSPs ) cepat yang disalurkan oleh reseptor GABA-A.
Pengikatan GABA pada reseptor GABA-A membuka saluran klorida.
Masuknya ion klorida mengadakan hiperpolarisasi neuron, dan selanjutnya
mengadakan hambatan dengan cara menurunkan hambatan ( resistensi )
membran. Sedangkan reseptor GABA-B menghasilkan 12 hiperpolarisasi
yang lebih dalam dan lebih lama, dinamakan IPSP lambat atau potensial
hiperpolarisasi lambat. Pada tahap inhibisi ini adalah potensial non sinaptik
dinamakan calcium-activated potassium. Arus yang mendasari potensial ini
terjadi oleh masuknya kalsium ke dalam neuron, mengakibatkan aktivasi dari
aliran kalium ke luar. Penambahan respon terhadap reseptor GABA-B
berguna untuk strategi menghambat bangkitan yang berlangsung lama
( Sankar dkk., 2006; Rho dan Stafstron, 2012 ).
14
epilepsi adalah bertambahnya sinkronisasi neuronal. Pada saat kejang, sel otak
meletup dalam pola hubungan bersamaan. Pada umumnya, saluran natrium
dan kalsium menengahi eksitasi neuronal, sedangkan saluran kalium dan
klorida menstabilkan letupan neuronal ( Clark dan Wilson, 1997; Rho dan
Stafstron, 2012 ).
d. Tumor otak merupakan penyebab epilepsi yang tidak umum terutama pada
anak-anak.
15
f. Radang atau infeksi pada otak atau selaput otak. 14 g. Penyakit keturunan
seperti fenilketonuria ( FKU ), tuberosklerosis dan neurofibromatosis dapat
menyebabkan kejang-kejang yang berulang.
d. Anak dengan kejang demam kompleks memiliki risiko epilepsi yang lebih
besar daripada anak dengan kejang sederhana;
f. Perubahan hormonal;
16
2.7 Klasifikasi Epilepsi
Klasifikasi dari epilepsi yang seragam dan diterima secara universal
merupakan sarana komunikasi untuk membandingkan dan mengevaluasi penelitian
ilmiah serta untuk pengobatan. Saat ini dikenal dua jenis klasifikasi yang dipakai oleh
ILAE ( International League Against Epilepsy ) tahun 1981 yaitu klasifikasi
bangkitan atau serangan kejang dan klasifikasi sindrom epilepsi. Klasifikasi serangan
kejang merupakan klasifikasi kejang yang dibuat berdasarkan manifestasi secara
klinis dan EEG. Sebaliknya klasifikasi sindrom epilepsi adalah klasifikasi epilepsi
yang dibuat untuk mendiskripsikan kelompok yang menunjukkan aspek sama dalam
berbagai hal, baik manifestasi klinis, umur, dan prognosis. Satu sindrom epilepsi
dapat menunjukkan serangan kejang yang bervariasi ( Sankar dkk., 2005;
Panayiotopoulos, 2005 ).
Klasifikasi International League Against Epilepsy (ILAE) 1981 untuk kejang epilepsi
Tabel 2. Klasifikasi Kejang Epilepsi
17
menjadi kejang umum
generalisata • Kejang parsial kompleks menjadi kejang
sekunder umum
• Kejang parsial sederhana menjadi kejang
parsial kompleks dan kemudian menjadi
kejang umum
2. Kejang • Kejang absans
umum • Absans atipikal
• Kejang mioklonik
• Kejang klonik
• Kejang tonik-klonik
• Kejang atonik
18
Klasifikasi International League Against Epilepsy (ILAE) 1989 untuk sindroma
epilepsi
19
didefinisikan
Sindrom spesifik
! Malformasi serebral
! Gangguan metabolisme
3. Epilepsi Serangan fokal dan Kejang neonatal
dan umum Tanpa Epilepsi mioklonik berat pada bayi
sindrom gambaran tegas Epilepsi dengan gelombang paku kontinu
yang tidak fokal atau umum selama gelombang rendah tidur (Sindroma
dapat Taissinare)
fokal atau
generalisat
a
4. Sindrom Kejang demam
khusus Status epileptikus
Kejang berkaitan
dengan gejala
metabolik atau
toksik akut
20
Faktor Risiko
Gangguan stabilitas neuron – neuron otak yang dapat terjadi saat epilepsi, dapat
terjadi saat:
21
Gejala dan tanda dari epilepsi dibagi berdasarkan klasifikasi dari epilepsi, yaitu
1) Kejang parsial
Lesi yang terdapat pada kejang parsial berasal dari sebagian kecil dari otak
atau satu hemisfer serebrum. Kejang terjadi pada satu sisi atau satu bagian
tubuh dan kesadaran penderita umumnya masih baik.
a. Kejang parsial sederhana
Gejala yang timbul berupa kejang motorik fokal, femnomena
halusinatorik, psikoilusi, atau emosional kompleks. Pada kejang parsial
sederhana, kesadaran penderita masih baik.
b. Kejang parsial kompleks
Gejala bervariasi dan hampir sama dengan kejang parsial sederhana,
tetapi yang paling khas terjadi adalah penurunan kesadaran dan
otomatisme.
2) Kejang umum
Lesi yang terdapat pada kejang umum berasal dari sebagian besar dari otak
atau kedua hemisfer serebrum. Kejang terjadi pada seluruh bagian tubuh dan
kesadaran penderita umumnya menurun.
a. Kejang Absans
Hilangnya kesadaran sessat (beberapa detik) dan mendadak disertai
amnesia. Serangan tersebut tanpa disertai peringatan seperti aura atau
halusinasi, sehingga sering tidak terdeteksi.
b. Kejang Atonik
Hilangnya tonus mendadak dan biasanya total pada otot anggota badan,
leher, dan badan. Durasi kejang bisa sangat singkat atau lebih lama.
c. Kejang Mioklonik
Ditandai dengan kontraksi otot bilateral simetris yang cepat dan singkat.
Kejang yang terjadi dapat tunggal atau berulang.
d. Kejang Tonik-Klonik
Sering disebut dengan kejang grand mal. Kesadaran hilang dengan cepat
dan total disertai kontraksi menetap dan masif di seluruh otot. Mata
mengalami deviasi ke atas. Fase tonik berlangsung 10 - 20 detik dan
diikuti oleh fase klonik yang berlangsung sekitar 30 detik. Selama fase
22
tonik, tampak jelas fenomena otonom yang terjadi seperti dilatasi pupil,
pengeluaran air liur, dan peningkatan denyut jantung.
e. Kejang Klonik
Gejala yang terjadi hampir sama dengan kejang mioklonik, tetapi kejang
yang terjadi berlangsung lebih lama, biasanya sampai 2 menit.
f. Kejang Tonik
Ditandai dengan kaku dan tegang pada otot. Penderita sering mengalami
jatuh akibat hilangnya keseimbangan.
1) Anamnesis
Anamnesis merupakan langkah terpening dalam melakukan diagnosis epilepsi.
Dalam melakukan anamnesis, harus dilakukan secara cermat, rinci, dan
menyeluruh karena pemeriksa hampir tidak pernah menyaksikan serangan yang
23
dialami penderita. Anamnesis dapat memunculkan informasi tentang trauma
kepala dengan kehilangan kesadaran, ensefalitis, malformasi vaskuler,
meningitis, gangguan metabolik dan obat-obatan tertentu. Penjelasan dari pasien
mengenai segala sesuatu yang terjadi sebelum, selama, dan sesudah serangan
(meliputi gejala dan lamanya serangan) merupakan informasi yang sangat
penting dan merupakan kunci diagnosis. Anamnesis (auto dan aloanamnesis),
meliputi :
b. Lama serangan
d. Frekuensi serangan
e. Faktor pencetus
Pada pemeriksaan fisik umum dan neurologis, dapat dilihat adanya tanda-
tanda dari gangguan yang berhubungan dengan epilepsi seperti trauma kepala,
gangguan kongenital, gangguan neurologik fokal atau difus, infeksi telinga
atau sinus. Sebabsebab terjadinya serangan epilepsi harus dapat ditepis
melalui pemeriksaan fisik dengan menggunakan umur dan riwayat penyakit
24
sebagai pegangan. Untuk penderita anak-anak, pemeriksa harus
memperhatikan adanya keterlambatan perkembangan, organomegali,
perbedaan ukuran antara anggota tubuh dapat menunjukan awal ganguan
pertumbuhan otak unilateral.
3) Pemeriksaan penunjang
a. Elektroensefalografi (EEG)
1) Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di kedua
hemisfer otak
b. Neuroimaging
Neuroimaging atau yang lebih kita kenal sebagai pemeriksaan radiologis
25
bertujuan untuk melihat struktur otak dengan melengkapi data EEG. Dua
pemeriksaan yang sering digunakan Computer Tomography Scan (CT Scan)
dan Magnetic Resonance Imaging (MRI). Bila dibandingkan dengan CT Scan
maka MRI lebih sensitif 22 dan secara anatomik akan tampak lebih rinci. MRI
bermanfaat untuk membandingkan hippocampus kiri dan kanan.
Obat anti epilepsi ( OAE ) merupakan salah satu aspek yang diperlukan bagi
penderita epilepsi yang bertujuan untuk mengatasi serangan kejang, walaupun
tidak dapat mengatasi masalah kelainan neurologinya atau masalah kognitif
dan psikososialnya. Keputusan untuk memulai terapi OAE didasarkan pada
pertimbangan kemungkinan terjadinya serangan epilepsi yang berulang dan
risiko terjadinya efek buruk akibat terapi obat antiepilepsi. Obat anti epilepsi
26
dikategorikan menjadi dua lini yaitu lini pertama dan lini kedua. obat lini I
yang direkomendasikan digunakan untuk bayi dan anak-anak secara rutin
yaitu fenobarbital, asam valproat, karbamazepin, dan fenitoin, OAE lini kedua
topiramat, lamotrigin, levetiracetam, clobazam, clonazepam, nitrazepam,
Adrenocorticotropic hormone ( ACTH ), steroid. ( Berg dkk., 2012 ). Prinsip
pengobatan epilepsi adalah dimulai dengan monoterapi, bila kejang tidak
dapat dihentikan dengan dosis maksimal, mulai pemberian monoterapi kedua,
apabila monoterapi kedua berhasil menghentikan kejang, segera hentikan
monoterapi pertama da lanjutkan pemberian monoterapi kedua. Apabila
kejang tidak dapat dihentikan dengan monoterapi kedua pertimbangkan untuk
pemberian politerapi ( kombinasi 2-3 OAE lini pertama ). Politerapi
seharusnya dihindari sebisa mungkin. Namun demikian, kurang lebih 30-50%
pasien tidak berespon terhadap monoterapi. Tujuan pemberian OAE dalam
epilepsi adalah menghilangkan kejang dengan efek samping obat yang
minimal ( Wibowo dan Gofir, 2008 ).
b. Memodulasi GABA,
menginhibisi reuptake GABA Contoh obat: Agonis GABAa
(Benzodiazepin, Barbiturat, Topiramat); Inhibitor reuptake (Tiagabin);
GABA-transaminase (Vigabatrin); Modulasi GAD (Felbamate).
c. Mengikat reseptor glutamat
27
Contoh obat: Reseptor NMDA (Felbamate) dan Reseptor AMPA/Kainat
(Topiramat).
d. Mengikat kanal Ca
Contoh obat: Ethosuksimid, Fenitoin, Karbamazepin, Oxcarbazepin,
Zonisamid. (Brodie dan Dichter, 1996; Gidal dan Garnett, 2005;
Lawthorn dan Smith, 2001)
b. Pembedahan
Sebagian kecil kasus epilepsi tidak dapat dikontrol kejangnya dengan obatobat
antiepilepsi yang biasa digunakan. Saat ini terapi dengan pembedahan
merupakan bagian penting dalam tatalaksana pasien epilepsi. Pemilihan
pasien untuk tindakan operasi memerlukan pertimbangan yang sangat ketat.
Tindakan pembedahan hanya tepat untuk epilepsi fokal yang berasal dari satu
fokus yang jelas pada otak, seperti epilepsi lobus temporalis dengan tingkat
keberhasilan yang beragam ( Kelly dan Chung, 2011 ).
C. Diet ketogenik
Diet ketogenik merupakan salah satu pilihan untuk epilepsi yang sulit
dikontrol kejangnya dengan obat antiepilepsi. Diet ketogenik ini merupakan
upaya lain disamping obat dan pembedahan. Widler adalah orang pertama
yang memperkenalkan diet ini pada tahun 1920. Diet ketogenik adalah
pemberian diet tinggi lemak, rendah protein dan karbohidrat. Dengan diet ini
40-67% anak mengalami perbaikan dalam frekuensi serangan ( Sirven dkk.,
1999 ).
28
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Penghantar impuls didalam tubuh
Dalam mekanisme penghantaran impuls ini ada dua istilah lagi yang
perlu kamu ketahui. Yaitu prasinapsis dan postsinapsis (atau bisa juga
disebut pascasinapsis). Prasinapsis adalah akson dari neuron
“sebelumnya” sedangkan postsinapsis adalah dendrit dari neuron
“berikutnya.” Logikanya begini, impuls yang diterima dendrit
diteruskan melalui badan sel dan diteruskan lagi ke bagian akson.
29
Akson akan menghantarkan impuls ke neuron berikutnya. Neuron
tersebut (neuron berikutnya) memanfaatkan dendritnya untuk
menerima impuls, kemudian meneruskan impuls ke badan sel lalu ke
akson, hingga akson pun siap untuk mengirimkan impuls ke neuron
berikutnya.
Transimis sinaps
Transmisi (peleburan atau pelepasan neurontransmiter) sinaps terjadi
pada neuron guna menghantarkan senyawa-senyawa kimia.
Penghantaran zat-zat yang terkandung dalam neurontransmiter dengan
reseptornya bergantung pada permeabilitas di neuron pascasinaps.
Proses transmisi sinaps terjadi melalui beberapa cara, antara lain:
Potensial End Plate, dan Excitatory Post Synaptic Potential (EPSP) &
Inhibitor Past Synaptic Potential (IPSP).
Pengertian
Etiologi
30
(Rogers dan Cavazos, 2008). Etiologi kejang perlu diketahui untuk
menentukan jenis terapi yang tepat bagi pasien.
Patofisiologis
31