HERI SANTOSO
NILAI-NILAI KE-UGM-AN: MAKNA IDENTITAS DAN JATI DIRI
Penulis:
Heri Santoso
Penanggung jawab:
Prof. Dr. Subagus Wahyuono, M.Sc., Apt.
Ketua: Prof. Dr. Ir. Zuprizal, DEA.
Sekretaris: Prof. Ir. Sunarno, M.Eng., Ph.D.
Penyunting/Editor:
Prof. Dr. dr. Sutaryo, Sp.A(K)
Dr. Heri Santoso
Anggota:
Prof. Dr. Ir. Putu Sudira, M.Sc
Prof. Drs. Koentjoro, MBSc,. Ph.D. Psikolog
Dra. Rr. Tristiana Candra Dewi T I, SIP., M.Si.
Dra. Suwarni
Widodo, S.P., M.Sc. Ph.D.
Dr. Mutiah Amini, M.Hum.
Heru Sutrisno, S.Hut
Musliichah, A.Md. S.IP.
Kiki Riskita Sari S.S
Moh. Taufik Hakim, S.S
Muhammad Faisal Nur Ikhsan
Moh. Rifai, S.Ag
Dwiyanti
Rakha Imadi Fadli
Samsul Maarif
Desain sampul:
Pram's
Penerbit:
Gadjah Mada University Press
Anggota IKAPI
v
Prakata Penulis
vii
identitas, dasar hukum dan statuta, jati diri, lambang dan
atribut jati diri UGM.
Pada bagian pertama buku ini dibahas tentang makna
identitas UGM, pembaca akan diajak untuk merenungkan
berbagai hal terutama tentang: (1) makna yang tersembunyi di
balik nama Universitas Gadjah Mada, apa makna “Universitas”,
dan apa makna “Gadjah Mada”; (2) makna tempat kedudukan
UGM, apa makna “Yogyakarta” bagi UGM? Bukankah
UGM merupakan Universitas Nasional, mengapa bertempat
kedudukan di Yogyakarta; (3) Makna tanggal kelahiran UGM,
mengapa hari jadi UGM yang diperingati 19 Desember,
padahal secara historis SK Penggabungan beberapa perguruan
tinggi menjadi Universiteit Negeri Gadjah Mada tertanggal
16 Desember 1949; dan (4) makna status UGM, apa makna
perubahan status UGM dari PT-BHMN menjadi PTN-bh?
Adakah yang tetap adakah yang berubah.
Pada bagian kedua buku ini, pembaca akan diajak untuk
merenungkan tentang perkembangan dasar hukum dan statuta
UGM serta nilai dasar yang terkandung dalam Pembukaan
Statuta UGM tahun 1977.
Bagian ketiga buku ini membahas makna filosofis di
balik jati diri Universitas. Pembaca akan diajak berefleksi
tentang makna jati diri UGM sebagai universitas nasional,
universitas perjuangan, universitas Pancasila, universitas
kerakyatan, dan universitas pusat kebudayaan.
Pada bagian akhir dari buku ini akan disajikan refleksi
tentang makna-makna dibalik simbol-simbol atribut jati
diri UGM yang meliputi lambang, bendera, himne, bahasa,
Gedung Pusat dan kawasan kampus, dan penataan tetumbuhan
di UGM.
Sebagai suatu karya ilmiah populer, penulis menyadari
bahwa apa yang tertulis dalam buku ini secara substansial
viii
sedikit banyak terinspirasi oleh tulisan terdahulu yang telah
dibukukan dalam buku Filosofi UGM (Heri Santoso, 2010),
60 Tahun Sumbangsih UGM bagi Bangsa (Suwarni dan Heri
Santoso, 2009), dan disertasi Heri Santoso (2015).
Selain itu, penulis juga secara khusus menghaturkan
banyak terima kasih atas hutang budi dari guru dan pakar
Ke-UGM-an, Prof. Dr. Sutaryo, Sp.A(K), yang banyak
membimbing, menjadi mitra mengajar dan diskusi, memberi
dokumen, data, inspirasi, fasilitasi, dan koneksi (dengan
beberapa narasumber utama) tentang nilai-nilai Ke-UGM-an.
Interaksi penulis dengan Prof. Taryo cukup intensif dalam
berbagai kegiatan dan institusi antara lain : pada saat training-
training ke-UGM-an, perkuliahan Ke-UGM-an (MHK
Fakultas Hukum dan Biotek) Pasca Sarjana UGM, serta
berbagai kepanitiaan di PSP UGM, PKKH UGM, SA UGM,
MGB UGM, dan MWA UGM. Untuk itu penulis menyadari
bahwa mungkin banyak ide dan gagasan yang tertuang dalam
buku ini sedikit banyak terispirasi oleh pemikiran Prof. Taryo.
Untuk itu sekali lagi penulis mengucapkan banyak terima
kasih.
Penulis juga menghaturkan banyak terimakasih kepada
Mbak Warni (Dra. Suwarni, yang oleh para tokoh UGM
dikenal sebagai “arsip berjalan-nya UGM”) yang telah banyak
membantu informasi dan data arsip yang sangat berharga.
Penulis juga menghaturkan banyak terima kasih kepada
Bapak-Ibu Pimpinan Universitas dan kolega di PSP UGM,
Fakultas Filsafat UGM, Direktorat Kemahasiswaan UGM,
Museum UGM, SA UGM, MWA UGM, dan terutama Dewan
Guru Besar yang telah memberi kesempatan kepada penulis
untuk terlibat dalam berbagai aktivitas pelatihan, penelitian,
kajian, seminar, lokakarya, dan penyusunan peraturan/
ix
kebijakan tentang nilai-nilai Ke-UGM-an sehingga memberi
bekal yang cukup untuk menulis buku ini.
Khusus untuk Dewan Guru Besar diucapkan terima
kasih karena memberi kesempatan tulisan ini untuk dievaluasi
kembali dan ditulis ulang menjadi bahan sosialisasi nilai-
nilai ke-ugm-an. Penulis juga sangat berhutang budi dan
mengucapkan terima kasih kepada para teman yang pernah
terlibat dalam penelitian tentang nilai-nilai UGM, teristimewa
Prof. Putu, Prof. Zuprizal, Prof. Koentjoro, dan seluruh
anggota reviewer yang tidak kami sebutkan satu persatu.
Akhir kata, “mungkin suatu hari nanti jasad kita tak ada
lagi, tapi semoga ilmu dan amal kita tetap abadi”. Bila ada
manfaat sampaikan kepada yang lain, bila tidak ada manfaat
sampaikan kepada penulisnya. Selamat berefleksi.
x
Daftar Isi
Sambutan Rektor......................................................... v
Prakata Penulis............................................................ vii
1 . Makna Identitas UGM........................................ 1
Makna Nama Universitas Gadjah Mada................ 1
Makna “Universitas”.............................................. 2
Makna “Gadjah Mada”.......................................... 3
Makna Kedudukan UGM di Yogyakarta .............. 8
Makna 19 Desember 1949..................................... 10
Makna Status UGM .............................................. 13
2. Nilai Dasar dalam Dasar Hukum
dan Statuta UGM................................................. 16
Perkembangan Dasar Hukum
dan Statuta Universitas.......................................... 16
Nilai Dasar dalam Pembukaan Statuta UGM
Tahun 1977............................................................. 20
3. Makna Jati Diri UGM......................................... 30
Makna UGM sebagai universitas nasional............ 30
Makna UGM sebagai universitas Pancasila........... 34
Makna UGM sebagai universitas kerakyatan........ 41
Makna UGM sebagai universitas pusat kebudayaan 42
4. Makna di Balik Lambang
dan Atribut Jati Diri UGM................................. 45
Makna Lambang UGM.......................................... 45
Makna Bendera Universitas................................... 52
Makna bendera UGM adalah sebagai berikut........ 53
Makna Himne Gadjah Mada.................................. 54
Makna Bahasa Universitas........................................ 55
xi
Makna Gedung Pusat dan Kawasan Kampus........ 59
Makna Penataan Tetumbuhan di UGM.................. 63
xii
1
Makna Identitas UGM
1
Di dalam komunikasi populer, selain dikenal dengan
sebutan UGM, universitas ini juga pernah dikenal dengan
sebutan populer Gama, sebagai singkatan dari Gadjah Mada.
Makna “Universitas”
Apa makna universitas? Apa pesan moral yang
terkandung di dalamnya? Bagi sementara orang, penggunaan
istilah “universitas” tidak lebih dari sekedar penyebutan
administratif, yaitu untuk membedakan dengan istitusi
pendidikan lain seperti akademi, politeknik, sekolah tinggi,
dan institut.
Berdasarkan arti leksikal, kata universitas dapat
diartikan sebagai perguruan tinggi yang terdiri atas sejumlah
fakultas, yang menyelenggarakan pendidikan ilmiah dan/atau
profesional dalam sejumlah disiplin ilmu tertentu.
Secara historis, embrio Universitas Gadjah Mada
adalah Balai Pergoeroen Tinggi Gadjah Mada (1946)
yang bersifat Vrije Universiteit (universitas swasta/milik
rakyat). Istilah “Universiteit” pada masa itu diganti dengan
“Balai Pergoeroean Tinggi” (Anonim, 1947). Istilah Balai
Pergoeroean Tinggi dipilih oleh tokoh-tokoh nasional
untuk menunjukkan sikap dan perbedaan pendirian dengan
perguruan tinggi yang didirikan oleh NICA di Jakarta, yaitu
Universiteit van Indonesia.
Pada perkembangannya kemudian, tahun 1949
ketika terjadi penggabungan beberapa perguruan tinggi di
Yogyakarta dan sekitarnya, nama “universitas” dipilih untuk
mewadahi akademi, sekolah tinggi, dan balai perguruan tinggi
yang bergabung menjadi satu, yaitu Akademi Ilmu Politik
(Yogyakarta), Sekolah Tinggi Teknik (Yogyakarta), Balai
Pergoeroean Tinggi Gadjah Mada (Yogyakarta), Pergoeroean
Tinggi Kedokteran bagian Klinis (Solo), Pergoeroean Tinggi
2
Kedokteran bagian PraKlinis (Klaten), Pergoeroean Tinggi
Kedokteran Gigi dan Kedokteran Hewan (Klaten), dan Balai
Pendidikan Ahli Hukum (Solo).
Secara etimologis kata ”universitas” berasal dari
kata union yang berarti kesatuan dan versity yang berarti
keanekaragaman. Pemilihan nama ”universitas” ini
dimaksudkan sebagai suatu lembaga yang mewadahi dan
menghargai keanekaragaman ilmu di dalam satu kesatuan
wadah dan tujuan bersama.
Secara filosofis, penamaan ”universitas” berimplikasi
moral, UGM harus menjunjung tinggi kebhinnekaan ilmu
yang ada, namun harus tetap terintegrasi dalam kesatuan ilmu.
Spesialisasi yang berlebihan, kuatnya ”keegoan”, ”sekat-
sekat” dan ”dinding-dinding pemisah” prodi, fakultas, klaster,
dan lainnya, yang mengabaikan kesatuan, keuniversalitasan
dan kesemestaan sesungguhnya telah keluar dari hakikat
sebagai suatu universitas.
3
cita-cita sebagaimana dipersonifikasikan pada keluhuran
Mahapatih Gadjah Mada.
Secara historis, pemberian nama “Gadjah Mada”
pertama kali diusulkan oleh Mr. Boediarto (1946) dalam rapat
persiapan pembentukan Balai Pergoeroean Tinggi (BPT).
Beliau menerangkan bahwa di Philippina ada universitas
yang diberi nama “Saint Thomas”2. Para tokoh pendiri BPT
pada masa itu sepakat dan akhirnya menyetujui pemberian
nama “Balai Pergoeroean Tinggi Gadjah Mada”. Pada masa
itu belum ada penjelasan secara resmi tentang makna di balik
pemberian nama tersebut.
Penafsiran dan pemaknaan atas nama Gadjah Mada
secara resmi dimunculkan oleh Ir. Soekarno pada saat
peresmian Gedung Pusat UGM tahun 1959. Bung Karno
memberikan wasiat kepada civitas akademika UGM untuk
meneladani sifat mulia dan ajaran Mahapatih Gadjah Mada
berikut ini3.
1. Sumpah palapa, yang berarti tidak akan beristirahat
sebelum lambangnya kata seluruh kepulauan Indonesia
ini terbangun menjadi satu negara yang kuat.
2. Empat ajaran Mahapatih Gadjah Mada adalah sbb.
”Nomor satu: trisna, tan satrisna, artinya jangan pilih
kasih –tidak mempunyai percintaan siapa pun juga— yaitu
(barangkali) tidak pilih kasih.
Nomor dua: Gadjah Mada berkata, haniakan musuh.
Haniakan musuh, artinya meniadakan permusuhanmusuhan,
haniakan musuh, kata Pak Purbocaroko, terima kasih. Jadi
terhadap musuh, seperti dikatakan oleh Prof. Dr. Priyono
itu tadi, jangan ada kompromi. An haniakan musuh,
4
hancur-leburkan musuh. Salah satu musuh kita ialah
imperialisme monopoli kapitalis.
Nomor tiga, Sang Mahapatih Gadjah Mada berkata,
satya haprabu. Satya haprabu, artinya taat kepada
pembesar,kata Prof. Dr. Purbocaroko, saya angkat lebih
tinggi, setia kepada prabu zaman sekarang, yaitu setia
kepada negara. Benar Pak Purbo? Setia kepada negara
yang kita proklamasikan, setia kepada Republik Indonesia.
Nomor empat: ginong prati dina, ginong prati dina,
ginong prati dina, artinya dibuat besar saban hari.
5
3. Wicaksaneng naya, sifat bijaksana di dalam segala
tindakan.
4. Matanggwan, artinya seorang yang menjadi
kepercayaan kelakuannya tidak pernah mengabaikan
kepercayaan yang dilimpahkan pada dirinya.
5. Satya bhakti aprabhu, artinya bersifat setia hati yang
ikhlas kepada negara dan Sri Mahkota
6. Wagmi wak, artinya pandai berpidato dalam
mempertahankan sesuatunya
7. Sarjawopasama, yaitu tingkah laku yang
memperlihatkan kerendahan hati bermaksud manis,
tulus dan ikhlas, lurus dan sabar.
8. Dhirotsaha, artinya selalu bekerja rajin dan sungguh-
sungguh dengan keteguhan hati.
9. Tan lalana, selalu bersifat gembira dan
memperlihatkan sikap jang bangun tegak dan selalu
bertindak lekas.
10. Diwyacitta, maksudnya selalu berhati baik dalam
perhubungan dengan orang lain dan selalu siap
mendengarkan bermacam-macam fikiran dengan hati
yang tenang, walaupun tidak setuju.
11. Mashi samastabhuwana, artinya menyayangi seluruh
dunia.
12. Sih Samastabhuwana, ialah dasar kesetiaan hati
Gadjah Mada dalam segala hal.
13. Ginong pratidina, yaitu selalu mengerjakan yang
baik dan membuang kelakuan yang tidak sempurna.
14. Sumantri, artinya menjadi pegawai negara yang
senonoh dan penuh kesempurnaan kelakuan.
15. Anayaken musuh, artinya selalu bertindak
memusnahkan lawan.
6
Penafsiran tentang makna nama Gadjah Mada juga
pernah dilakukan oleh Prof. Dr. Damardjati Supadjar (guru
besar Fakultas Filsafat UGM). Menurut beliau, para founding
fathers UGM berharap dan berdo’a bahwa universitas yang
didirikan pada masa perjuangan tersebut dapat mewarisi jiwa
patriotisme Mahapatih Gadjah Mada, dengan prinsipnya yang
menjadi sumpah terkenal, “Sumpah Palapa,” yang bermakna
filosofis sebagaimana diungkapkan dalam pepatah “Berakit-
rakit ke hulu berenang-renang ketepian” artinya ”bersakit-
sakit dahulu, bersenang-senang kemudian”. Prof. Damardjati
secara bercanda juga mengingatkan bahwa pepatah tersebut
kini di UGM mulai diplesetkan menjadi “Berakit-rakit ke hulu
berenang-renang ketepian, bersakit-sakit dahulu, bersenang-
senangnya kapan?”
Sisi lain pemaknaan nama Gadjah Mada juga menarik
untuk dibahas, ketika ada seorang mahasiswa UGM yang
bertanya kritis bertanya, “Mengapa yang dipilih untuk
nama universitas kita justru Mahapatihnya (Gadjah Mada),
mengapa bukan rajanya saja sekalian (Hayam Wuruk)?
Kiranya para founding fathers UGM paham betul
mengenai hal tersebut. Para pendiri UGM kiranya ingin
mengajarkan secara simbolik bahwa “sekalipun berasal dari
rakyat jelata dan bukanlah berasal dari bangsawan dan raja,
sebagaimana dipersonifikasikan tokoh Gadjah Mada, tetapi
bila seseorang itu memiliki keluhuran budi, ketajaman visi,
keluasan pandangan, kebaktian, kesungguhan, kesabaran,
semangat juang/patriotisme, dan pengabdian yang tinggi
kepada nusa bangsa, niscaya namanya akan besar dan harum,
bahkan mampu mengalahkan pamor rajanya.”
Pandangan di atas sekaligus secara implisit ingin
menunjukkan bahwa “UGM lebih menghargai orang karena
prestasi dan kerja kerasnya, bukan karena asal keturunan atau
7
jabatan yang disandangnya”. UGM ingin menjadi universitas
yang merakyat bukan feodalistik, dan nasionalis bukan pula
kedaerahan.
8
atas lereng gurung Merapi, kering, tidak terlalu panas, tidak
jauh dari laut (Pidato GPH Hadinegoro pada peletakan batu
pertama pembangunan Gedung Pusat UGM, 1951)
Menurut penuturan para pelaku sejarah, tempat kedudukan
UGM di Yogyakarta sungguh sangat bermakna, karena selain
Yogyakarta sebagai ibu kota pada masa itu, pendirian UNGM
dijadikan monumen perjuangan bangsa Indonesia, dalam
rangka menunjukkan kepada dunia bahwa NKRI masih eksis
dan mampu mempertahankan kemerdekaan walaupun wilayah
NKRI hanya tinggal Yogyakarta. Keistimewaan Yogyakarta
lainnya adalah ketika Yogyakarta diduduki oleh Belanda, tidak
seorangpun pegawai DIY yang bersedia menjadi pegawai
Belanda. Loyalitas masyarakat Yogyakarta kepada NKRI amat
tinggi (Hardjasoemantri, 2004: 3).
Pada perkembangan berikutnya, keberadaan UGM
di Yogyakarta memberikan banyak makna, yang bersifat
simbiosis mutualis (interaksi saling menguntungkan).
Yogyakarta merupakan kota perjuangan yang sangat loyal
pada NKRI dan aurora sebagai kota budaya memberikan
imbas kepada semangat, jiwa, dan pola pikir perjuangan dan
budaya warga civitas akademika UGM. Sebaliknya, budaya
keilmuan dan pendidikan UGM turut pula mewarnai gaya
kehidupan masyarakat Yogyakarta yang akhirnya memperkuat
ikon sebagai kota pelajar dan kota pendidikan.
9
Yogyakarta juga memiliki nilai
strategis bagi bangsa Indonesia
pada masa lalu, kini, dan masa
depan. Pada masa lalu, Yogyakarta
merupakan ibukota RI, miniatur
Indonesia, bahkan barometer
budaya dan politik di Indonesia.
Predikat tersebut masih relevan
pada masa kini dan masa depan.
UGM bersama-sama kota
Gambar 2 Yogyakarta telah bersimbiosis
Tugu Golong Gilig mutualis sebagai ”kawah candra
sebagai simbol
“manunggaling
dimuka” calon-calon pemimpin
kawula-gusti” bangsa.
10
“Dipilih tanggal 19 Desember,
agar supaja detik kesedihan
dan kemalangan dalam
perdjoangan kemerdekaan kita,
jang terkandung padanja, secara
asosiasi dapat dihilangkan sifatnja
kesedihan dan kemalangan itu
dengan mendjadikannja suatu
saat nasional jang penting, ialah
pendirian sebuah Universiteit
Gambar
Prof. Dr. M. Sardjito
negeri jang nasional”.
11
”Darah syuhada itu mulia, tetapi kalam alim-ulama itu
lebih mulia (Ali, 1952). Bahwa hari jadi Universitas
Gadjah Mada itu bertepatan dengan momentum
historis 19 Desember tentulah diharapkan bahwa kalam
alim-ulama itu memang lebih mulia daripada darah
syuhada. Kata atau istilah alim-ulama di sini diperluas
maknanya mencakup siapa saja yang panggilan
hidupnya berhubungan dengan ilmu (pengetahuan)
secara profesional6.
Inti pesan Prof. Damardjati tersebut adalah civitas
akademika UGM harus membuktikan bahwa kalam alim
ulama (termasuk ilmuwan) benar-benar lebih mulia daripada
darah syuhada. Ketika para syuhada telah membuktikan
kemuliaannya dengan mengantarkan Indonesia dengan
merebut dan mempertahankan kemerdekaan dengan senjata,
manakah bukti bahwa kalam alim ulama lebih mulia? Inilah
tantangan sekaligus amanah bagi sivitas akademika UGM
untuk membuktikannya.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa
pemilihan tanggal 19 Desember sebagai hari kelahiran
Universitas Gadjah Mada mengandung makna: (1)
mengobarkan kembali semangat perjuangan, nasionalisme,
dan kecintaan kepada Republik Indonesia dan (2) para
founding fathers menyadari bahwa perjuangan dengan senjata
tidak cukup, maka perjuangan dengan ilmu dan melalui
pendidikan dipandang sangat strategis dalam memperjuangkan
kejayaan RI.
12
Makna Status UGM
Secara historis, sejak berdiri UGM pernah mengalami
beberapa kali perubahan status, yaitu diawali dari status
sebagai Perguruan Tinggi Swasta (PTS) (embrio UGM),
Perguruan Tinggi Negeri (PTN), Perguruan Tinggi Badan
Hukum Milik Negara (PT BHMN), dan sekarang menjadi
Perguruan Tinggi Negeri badan hukum (PTN-bh). Dulu UGM
ketika masih menjadi BPT Gadjah Mada berstatus sebagai
Vrije Universiteit (ejaan tahun 1946). Penjelasan resmi tentang
status ini sebagai berikut:
“Sesoenggoehnja jang poenja initiatief mendirikan
Universiteit Nasional itoe: Rakjat. Dikatakan
“National””, djadi sekali-kali boekannja
provinsialistis, meskipoen tempatnja di Jogjakarta.
Ketjoeali Nasional, Universiteit jang akan didirikan
itoe Vrije Universiteit, djadi boekan Staats-Universiteit
(kepoenjaan Pemerintah). “Vrije Universiteit haroes
ada” ja’ni berhoeboeng dengan berganti-gantija
politiek”. (Anonim, 1947: 2)
Dari kutipan di atas jelas bahwa para tokoh nasional
lebih memilih mendirikan Balai Pergoeroean Tinggi (BPT)
Gadjah Mada berstatus sebagai perguruan tinggi rakyat
(swasta). Seiring perkembangan jaman dan situasi politik
pendidikan yang berubah, maka pada tahun 1949 para tokoh
BPT Gadjah Mada memiliki keikhlasan dan kebesaran hati
dengan menyetujui penggabungan BPT Gadjah Mada dengan
berbagai sekolah tinggi dan akademi menjadi Universiteit
yang kemudian dikenal dengan nama Universiteit Negeri
Gadjah Mada (UNGM) dengan status sebagai Perguruan
Tinggi Negeri (PTN).
Pada perkembangannya kemudian, status UNGM
menjadi semakin jelas dengan dikeluarkannya Peraturan
13
Pemerintah No. 37 Tahun 1950, Peraturan Sementara
Tentang Universitit Negeri Gadjah Mada (PP ini akhirnya
dianggap sebagai Statuta Pertama UGM). Pada Pasal 7, PP
ini disebutkan bahwa :
“Universitit Negeri Gadjah Mada dapat diberi
kedudukan badan hukum jang bersifat masjarakat
hukum kepentingan, jang merupakan badan otonom
jang mempunjai keuangan dan milik sendiri serta
mengatur rumah tangga dan kepentingan sendiri,
termuat dalam sebuah Peraturan Pemerintah.”
Status sebagai perguruan tinggi negeri badan hukum
yang bersifat otonom ini juga masih dipertahankan dalam
Statuta UGM tahun 1977 pasal 3, Statuta UGM tahun 1992,
pasal 3 ayat 1.
Seiring dinamika politik pendidikan di Indonesia, pada
tahun 2000 UGM beralih status dari PTN menjadi PT BHMN
yang disebutkan dalam pasal 2 ayat (1), “Dengan Peraturan
Pemerintah ini ditetapkan Universitas Gadjah Mada
sebagai badan hukum milik negara yang menyelenggarakan
pendidikan tinggi”.
Setelah diberlakukannya PT BHMN ini ada pro dan
kontra di UGM, sekalipun demikian kiranya ada satu titik
temu dari berbagai pandangan itu, yang intinya bahwa UGM
seharusnya bergerak ke arah yang lebih otonom baik dalam
hal akademik maupun keuangan, apa pun statusnya.
Pada saat buku ini ditulis (2017), seiring dengan telah
disahkannya UU No. 20 Tahun 2012 tentang Pendidikan
Tinggi, dan telah disahkannya Statuta UGM melalui PP No.
67 Tahun 2013 maka UGM beralih status dari PT BHMN
menjadi PTN-bh (Perguruan Tinggi Negeri badan hukum).
Dari catatan perkembangan status UGM di atas kiranya
dapat ditarik kesimpulan bahwa apapun statusnya, UGM
14
kiranya berusaha untuk tidak kehilangan jati diri sebagai
universitas yang bersifat otonom (baik dalam akademik
maupun non akademik) yang berkontribusi bagi kejayaan
bangsa dan negara. Sejauh mana otonomi yang dimiliki
UGM, di dalam sejarah terbukti sangat dinamis, sesuai dengan
dinamika jamannya.
15
2
Nilai Dasar dalam Dasar Hukum
dan Statuta UGM
16
3. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang
Pendidikan Tinggi. (Lembaran Negara Tahun…..
Arsip)
Di dalam sejarah, UGM pernah mengalami beberapa kali
pergantian dasar hukum pendirian dan Statuta, yaitu :
1. Dasar hukum berdirinya UGM untuk pertama kali
adalah Peraturan Pemerintah Republik Indonesia,
No. 23 Tahun 1949 tanggal 16 Desember 1949
tentang Penggabungan Perguruan Tinggi menjadi
Universiteit.
2. Statuta UGM tahun 1950, atau Peraturan Pemerintah
No. 37 Tahun 1950 tanggal 14 Agustus 1950 tentang
Peraturan Sementara tentang Universiteit Negeri
Gadjah Mada. Statuta ini pada tahun 1958 dilengkapi
dengan Surat Keputusan Senat Universitas Gadjah
Mada No. 1 Tahun 1958, tentang Penyelenggaraan
UGM. Sekalipun SK Senat UGM Tahun 1958 ini
bukan Statuta, namun dapat dianalogikan dengan
Anggaran Rumah Tangga UGM, dan di dalam SK
ini dimuat dasar-dasar filsafat penyelenggaraan
Universitas;
3. Statuta UGM tahun 1977, atau Keputusan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 0233/U/1977
tentang Statuta Universitas Gadjah Mada;
4. Statuta UGM tahun 1992, atau Keputusan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 0440/O/1992
tentang Statuta Universitas Gadjah Mada;
5. Dasar Hukum Penetapan UGM sebagai PT BHMN
(Peraturan Pemerintah No. 153 Tahun 2000 tentang
Penetapan Universitas Negeri Gadjah Mada sebagai
Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara); PP
No. 153 Tahun 2000 ini tidak pernah disebut sebagai
17
Statuta UGM, tetapi difungsikan sebagai Anggaran
Dasar UGM, maka pada tahun 2003, MWA UGM
mengeluarkan Keputusan Majelis Wali Amanat
Universitas Gadjah Mada Nomor 12/SK/MWA/2003
tentang Anggaran Rumah Tangga Universitas Gadjah
Mada, kemudian pada tahun 2008 disempurnakan
dengan Keputusan Majelis Wali Amanat Universitas
Gadjah Mada Nomor 06/SK/MWA/2008 tentang
Perubahan Anggaran Rumah Tangga Universitas
Gadjah Mada;
6. Statuta UGM Tahun 2013 atau Peraturan Pemerintah
No. 67 Tahun 2013 tentang Statuta Universitas Negeri
Gadjah Mada;
18
Pemerintah No. 153 tahun 2000, tentang Penetapan UGM
sebagai PT BHMN. Banyak kritik pedas dari internal kampus
tentang status UGM sebagai PT BHMN ini yang dianggap
telah meninggalkan jati diri UGM. Salah satu kritik pedas
tersebut terformulasi dalam buku yang berjudul McDonalisasi
Pendidikan Tinggi (Nugroho, dkk, ed., 2002). Respon
terhadap suatu kebijakan nasional kadang juga dilakukan
UGM melalui Kebijakan Umum Universitas. Di antara
beberapa Kebijakan Umum yang dirasa penting dan relevan
dalam rangka mengembalikan jati diri UGM adalah:
1. Keputusan Majelis Wali Amanat Universitas Gadjah
Mada No 19/ SK/MWA/2006 tentang Jati Diri dan
Visi Universitas Gadjah Mada;
2. Keputusan Bersama Pimpinan Organ Universitas
Gadjah Mada: Ketua Majelis Wali Amanat, Ketua
Senat Akademik, Ketua Majelis Guru Besar, dan
Rektor Universitas Gadjah Mada, tentang Nilai-
nilai Filosofi Universitas Gadjah Mada, tanggal 22
November 2008;
Kedua Surat Keputusan tersebut merupakan upaya serius
para tokoh dan pimpinan UGM mengembalikan nilai-nilai
filosofis dan jati diri UGM yang dirasa belum terwadahi
dengan baik pada PP 153 Tahun 2000. Dewasa ini, secara
substansial beberapa muatan dan semangat kedua SK tersebut
di atas sudah dimasukkan ke dalam Statuta UGM yang baru
(Statuta UGM tahun 2013).
Statuta UGM tahun 2013 inipun tidak lepas dari beberapa
kelemahan, tulisan ini sekaligus merupakan catatan kritis dari
perspektif filosofis terhadap Statuta yang sekarang berlaku di
UGM, dengan menggali kesinambungan historis dan filosofis
dengan Statuta-Statuta sebelumnya agar nilai-nilai ke-UGM-
19
an yang telah digali dan diletakkan oleh para pendiri UGM
terus berkembang dan abadi.
20
Terhadap kedua argumentasi tersebut, penulis yang
juga menjadi salah seorang anggota tim penyusun Statuta
merasa keberatan, dengan pertimbangan: Pertama, sekalipun
format Statuta UGM berbentuk Peraturan Pemerintah RI,
sesungguhnya Naskah Pembukaan Statuta tetap dapat dimuat
dalam Statuta dengan cara memasukkan seluruh naskah
Statuta—Pembukaan, Batang Tubuh, dan Penjelasan—ke
dalam Lampiran Peraturan Pemerintah. Kedua, pokok pikiran
yang terkandung dalam Statuta memang dapat dimasukkan
ke dalam pasal-pasal Statuta, namun bila tidak ada uraian
Pendahuluan (Pembukaan Statuta), maka pembaca Statuta
dan generasi kemudian akan kesulitan memahami kesatuan
isi atau ruh Statuta tersebut.
Penulis dan beberapa tokoh pengkaji nilai-nilai ke-UGM-
an bersepakat bahwa naskah yang dianggap paling representatif
untuk memahami pokok kaidah paling fundamentil tentang
dasar penyelenggaran UGM adalah Pembukaan Statuta UGM
Tahun 1977. Ada sejumlah argumentasi mengapa naskah
Pembukaan Statuta Tahun 1977 dianggap representatif.
Pertama, secara yuridis-filosofis, pokok pikiran yang
terkandung di dalam Pembukaan Statuta UGM tahun 1977
dapat dianalogikan seperti naskah Pembukaan UUD 1945,
yang menurut Notonagoro (1957: 30-31) Pembukaan UUD
1945 di dalamnya memuat pokok-pokok dasar kerohanian,
ialah angan-angan yang dalam, cita-cita yang mulia, serta
asas-asas kesusilaan yang tinggi, dan dasar serta keyakinan
hidup religius, serta asas kerokhanian (filsafat, pendirian, dan
pandangan hidup) Pancasila. Semuanya dapat dipergunakan
sebagai asas-asas penyelesaian soal-soal pokok yang dimaksud
(kenegaraan dan tertib hukum). Analog dengan hal tersebut
maka Pembukaan Statuta UGM 1977 juga memuat pokok-
pokok dasar kerohanian, yaitu angan-angan yang dalam, cita-
21
cita yang mulia, serta asas-asas kesusilaan yang tinggi, dan
dasar serta keyakinan hidup religius, serta asas kerokhanian
(filsafat, pendirian, dan pandangan hidup) para tokoh UGM.
Kedua, secara historis, naskah pembukaan Statuta UGM
tahun 1977, sekalipun disusun baru pada tahun 1977, namun
pokok pikiran fundamentil yang terkandung di dalamnya
merupakan intisari dari pokok pikiran yang terkandung
dalam Statuta UGM Tahun 1950 dan Peraturan Senat UGM
tahun 1958. Hal ini diperkuat dengan bukti, bahwa naskah
Pembukaan Statuta UGM tahun 1977 ini dimuat kembali pada
Statuta UGM setelah tahun 1977—dengan sedikit perubahan
redaksi—, yaitu Statuta UGM tahun 1992 dan ART UGM
tahun 2003.
Untuk dapat memahami pokok pemikiran tentang nilai-
nilai ke-UGM-an yang terkandung dalam naskah Pembukaan
Statuta UGM tahun 1977, maka di bawah ini naskah tersebut
dituliskan secara lengkap, diikuti dengan penjelasan tentang
pokok pikiran tentang nilai-nilai ke-UGM-an yang terkandung
dalam setiap alinea.
22
Tabel 3 Pokok Pemikiran Nilai yang Terkandung dalam Naskah
Pembukaan Statuta UGM 1977
ALINEA ISI NASKAH POKOK PIKIRAN
TENTANG NILAI-NILAI
KE-UGM-AN
Alinea I Hak hidup Universitas Gadjah Mada Orientasi nilai tentang
berasal dari kancah perjuangan Revolusi eksistensi Universitas:
Kemerdekaan Bangsa Indonesia. Oleh (1) hak hidup;
karena itu, maka sudah selayaknya bahwa (2) nilai perjuangan;
hak hidup itu hanya dapat ditunaikan, jika (3) misi UGM: catur
di dalam menyelenggarakan pendidikan, dharma PT; (4) orientasi
penelitian, pengabdian, dan mengusahakan kemasyarakatan UGM
kelestarian ilmu pengetahuan, Universitas
Gadjah Mada menyatukan diri dengan
kepentingan masyarakat Indonesia pada
khususnya dan kemanusiaan pada umumnya
serta bersatu dasar dan bertunggal corak
dengan masyarakat Indonesia
Alinea II Pada hakikatnya penyelenggaraan Orientasi nilai tentang
Universitas Gadjah Mada berasaskan cita- penyelenggaraan
cita kemanusiaan sebagai penjelmaan mutlak Universitas: (1) cita-cita
hakikat manusia dan cita-cita kemanusiaan kemanusiaan; (2)
yang bersifat kerohanian yang tertinggi, nilai-nilai kerokhanian
seperti diletakkan di dalam Pancasila yang UGM
tersebut di dalam Pembukaan Undang- (Pancasila dan kebudayaan
Undang Dasar 1945, serta tercermin di bangsa)
dalam kebudayaan bangsa Indonesia.
Alinea III Pendidikan, penelitian, pengabdian serta Orientasi nilai tentang
usaha mempertahankan kelestarian ilmu tugas kebudayaan dan
pengetahuan merupakan suatu bentuk kemasyarakatan Universitas
pelaksanaan tugas kebudayaan dan
kemasyarakatan yang dibebankan kepada
Univesitas Gadjah Mada.
Alinea IV Maka penyelenggaraan Universitas Orientasi nilai tentang
Gadjah Mada mengarah kepada persiapan arah penyelenggaraan
kepribadian yang tertuju kepada Universitas: Penyiapan
kematangan jiwa dan raga di satu pihak dan pribadi: (1) kematangan
pengembangan ilmu pengetahuan di lain jiwa-raga, dan
pihak. (2) pengembangan ilmu.
23
ALINEA ISI NASKAH POKOK PIKIRAN
TENTANG NILAI-NILAI
KE-UGM-AN
Alinea V Kematangan jiwa dan raga dijadikan dasar Orientasi nilai dalam arah
untuk membentuk manusia susila yang Universitas: - membentuk
mempunyai kesadaraan bertanggungjawab manusia susila: (1)
atas kesejahteraan Indonesia khususnya dan Bertanggungjawab atas
dunia umumnya, dalam arti berjiwa bangsa kesejahteraan Indonesia dan
Indonesia dan merupakan manusia budaya dunia; (2)
Indonesia yang mempunyai keinsafan hidup berjiwa bangsa Indonesia
berdasarkan Pancasila. dan merupakan manusia
budaya Indonesia; (3)
keinsyafan hidup
berdasarkan Pancasila
Alinea VI Pengembangan ilmu pengetahuan bertujuan Orientasi nilai dalam arah
untuk memperoleh kenyataan dan kebenaran pengembangan ilmu: (1)
yang bersifat universal dan objektif, maka memperoleh kenyataan dan
sudah seharusnya Universitas Gadjah kebenaran yang bersifat
Mada mempunyai kebebasan di dalam universal dan objektif; (2)
melaksanakan bawaan kodrat akal manusia kebebasan akademik
untuk mencapai kenyataan dan kebenaran
itu, suatu kebebasan yang bersifat akademik.
Alinea VII Selanjutnya, karena kenyataan dan Orientasi nilai tentang
kebenaran ini mempunyai sifat universal kebebasan dan
dan objektif, maka sudah seharusnya pula tanggungjawab mimbar
warga Universitas Gadjah Mada yang akademik
mempunyai kenyataan dan kebenaran
memiliki kebebasan untuk menyatakan Orientasi nilai tentang hasil
kenyataan dan kebebasan mimbar. Dalam ilmu: (1) keadaban; (2)
pada itu, karena hasil manusia harus kemanfaatan; (3)
dipergunakan untuk keadaban, kemanfaatan, kebahagiaan, baik spirituil
dan kebahagiaan manusia sendiri, maka maupun materiil)
kebebasan itu wajib dilaksanakan dengan berdasarkan Pancasila
hikmat dan bertanggungjawab. Selanjutnya (nilai-nilai ketuhanan,
pelaksanaannya tidak dapat tidak harus kemanusiaan, persatuan,
berguna bagi kehidupan, keadaban, kerakyatan, dan keadilan).
kemanfaatan, dan kebahagiaan kemanusiaan,
baik spirituil maupun materiil bagi
lingkungan masyarakat, Bangsa dan Negara
sendiri. Bagi warga Universitas Gadjah
Mada, hal itu tidak boleh menyimpang dari
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
VIII Untuk melaksanakan tugas-tugas tersebut Ketentuan diadakannya
di atas maka ditetapkan Statuta Universitas Statuta
Gadjah Mada seperti tersebut di bawah ini
24
UGM tahun 1977 memiliki kemiripan dengan Pembukaan
UUD 1945 yang memuat pokok kaidah fundamentil negara
(Notonagoro, 1957). Pembukaan Statuta UGM tahun 1977
memuat pokok kaidah yang paling fundamentil tentang
Universitas. Pembukaan ini dapat dipandang sebagai “nilai-
nilai dasar filosofi Universitas”, dengan argumentasi, naskah
Pembukaan Statuta UGM telah memuat: (1) hak hidup yaitu
berasal dari kancah revolusi perjuangan kemerdekaaan
Indonesia, maka penyelenggaraan UGM harus menyatukan
diri dengan kepentingan masyarakat Indonesia pada khususnya
dan kemanusiaan pada umumnya; (2) Asas dan cita-cita
Universitas; (3) tugas kebudayaan dan kemasyarakatan
Universitas: pendidikan; penelitian; pengabdian masyarakat;
(4) mempertahankan kelestarian ilmu; (5) kebebasan dan
tanggungjawab akademik; (6) arah pengembangan ilmu; dan
(7) ketentuan diadakannya Statuta.
Jadi dapat disimpulkan bahwa berdasarkan Pembukaan
Statuta UGM 1977 sesungguhnya Universitas memiliki
orientasi nilai yang jelas tentang (1) eksistensi diri, (2)
dasar/asas dan tugas; (3) tujuan penyelenggaraan; (4) proses
penyelenggaraan; dan (5) hasil penyelenggaraan Universitas.
Orientasi nilai ini dalam kajian kefilsafatan dapat dianggap
sebagai pandangan aksiologis Universitas. Pandangan
aksiologis Universitas ini kiranya dapat dikembangkan
menjadi dasar aksiologis pengembangan ilmu di Universitas
khususnya dan di Indonesia pada umumnya. Pokok-pokok
pemikiran aksiologi ilmu yang dapat dikembangkan dari
orientasi nilai di atas antara lain:
1. Orientasi nilai eksistensial keilmuan di UGM yang
menyatakan bahwa hak hidup UGM berasal dari
kancah perjuangan, maka dasar pengembangan ilmu
UGM seharusnya sejalan dengan jiwa perjuangan
25
tersebut. Pernyataan ini dalam landasan filosofis
pengembangan ilmu merupakan orientasi etos ilmiah
UGM, yang memuat hak dan kewajiban hidup
ilmuwan UGM;
2. Orientasi nilai tentang dasar, asas, dan tugas
kebudayaan Universitas yang menyatakan bahwa
Universitas harus menyatukan diri dengan kepentingan
masyarakat Indonesia dan kemanusiaan. Pernyataan
ini dalam landasan filosofis pengembangan ilmu
merupakan tanggungjawab sosial ilmuwan.
3. Orientasi nilai tentang tujuan penyelenggaraan
Universitas yaitu pengembangan kepribadian
(kematangan jiwa-raga) dan pengembangan keilmuan
membawa implikasi bahwa dalam landasan filosofis
pengembangan ilmu, UGM menekankan pentingnya
orientasi nilai bagi ilmuwan dan ilmunya, artinya
yang perlu dikembangkan bukan sekedar ilmunya,
tetapi juga ilmuwannya. Orientasi nilai ini dalam
kajian filsafat ilmu dikenal dengan terminologi
sikap ilmiah ilmuwan dan orientasi ilmu mencapai
kenyataan dan kebenaran yang bersifat universal dan
objektif;
4. Orientasi nilai tentang proses penyelenggaraan yaitu
berorientasi pada kebebasan dan tanggungjawab
akademik memberi implikasi pada landasan filosofis
pengembangan ilmu di UGM yang menghargai
kebebasan dan tanggungjawab akademik untuk
Universitas dan mimbar akademik untuk sivitas
akademikanya. Pembahasan masalah ini di dalam
kajian filsafat ilmu juga termasuk dalam sikap ilmiah.
5. Orientasi nilai tentang hasil penyelenggaraan
Universitas, yaitu untuk keadaban, kemanfaatan,
26
kebahagiaan baik spirituil maupun materiil
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Orientasi
nilai ini dalam landasan filosofis pengembangan
ilmu dikenal dengan istilah teleologi ilmu, artinya
ilmu dikembangkan bukan untuk ilmu, melainkan
untuk tujuan yang dianggap mulia yaitu keadaban,
kemanfaatan, kebahagiaan ... dan seterusnya.
Pokok pemikiran di atas memberi banyak inspirasi untuk
dikembangkan menjadi landasan filosofis pengembangan
ilmu untuk menjawab isu-isu aktual dalam diskursus filsafat
ilmu, yang mencakup berbagai hal, antara lain tentang
dasar, cara, tujuan pengembangan ilmu, sikap ilmiah, dan
komunitas ilmiah. Dengan kata lain, pokok-pokok pikiran
yang terkandung dalam Pembukaan Statuta UGM tahun 1977
memberi inspirasi untuk dikembangkan pemikiran alternatif
sebagai landasan filosofis pengembangan ilmu, terutama
sebagai landasan sosiologis dan aksiologis pengembangan
ilmu, dan tidak menutup kemungkinan untuk dikembangkan
menjadi landasan metafisis dan epistemologis pengembangan
ilmu di UGM, Indonesia, maupun dunia.
Dalam sejarah pemikiran di UGM, naskah Pembukaan
Statuta UGM tahun 1977 ini tetap dipertahankan dalam
Statuta UGM Tahun 1992, hanya saja istilah yang digunakan
“Mukadimah”, bukan “Pembukaan”. Secara substansial,
Mukadimah Statuta UGM tahun 1992 tidak mengalami
banyak perubahan, jika dibandingkan dengan Pembukaan
Statuta 1977, jika ada perubahan sifatnya hanya redaksional
tanpa mengubah substansi.
Perubahan substansial yang terjadi terutama dalam
penghilangan pokok pikiran tentang tugas kebudayaan
dan kemasyarakatan UGM dalam hal ”mempertahankan
kelestarian ilmu”. Bisa jadi penghapusan ini dilakukan dengan
27
anggapan bahwa mempertahankan kelestarian ilmu sudah
termuat di dalam pendidikan, penelitian dan pengabdian
masyarakat. Peneliti berpendapat, penghapusan pokok pikiran
ini secara filosofis sesungguhnya memiliki konsekuensi
yang mendalam, terutama terkait dengan eksistensi dan
keberlangsungan ilmu-ilmu yang dihasilkan dari bumi
Indonesia dan kondisinya sangat langka. Bila tidak ada upaya
dan keberpihakan untuk melakukan konservasi dan advokasi,
maka ilmu-ilmu tersebut suatu saat dapat punah, maka perlu
dilestarikan.
Pada dokumen PP 153 tahun 2000, ternyata tidak
ditemukan Pembukaan/Mukadimah yang sesungguhnya
berisi nilai-nilai dasar UGM. Berdasarkan penelitian, peneliti
menemukan data bahwa semula UGM telah mengusulkan
memasukkan Mukadimah Statuta UGM Tahun 1992 untuk
dimuat di dalam Peraturan Pemerintah sebagai dasar
penyelenggaran UGM sebagai PT BHMN, namun karena
pertimbangan teknis-yuridis hal tersebut tidak dimungkinkan.
Mukadimah Statuta 1992 dimuat kembali di dalam ART UGM
terbaru tahun 2003.
Secara umum mukadimah ini tidak mengalami
perubahan jika dibandingkan dengan Mukadimah Statuta
1992, namun ada perubahan redaksional tanpa mengubah
substansi. Perubahan yang cukup menarik dicermati adalah
penambahan pada point tujuan pengembangan ilmu, yaitu
selain memperoleh kenyataan dan kebenaran yang bersifat
universal dan objektif, ditambah ”mencerdaskan bangsa
agar tanggap terhadap perkembangan global”. Penambahan
kalimat ini sesungguhnya ada makna filosofis yang perlu
dikaji, yaitu : (1) “mencerdaskan bangsa” sesungguhnya
reduksi atas tugas yang diemban negara yaitu “mencerdaskan
kehidupan bangsa”, bukan sekedar mencerdaskan bangsa
28
saja, tetapi juga sekaligus mencerdaskan kehidupan bangsa;
(2) tanggap terhadap perkembangan global sesungguhnya
penekanan makna agar UGM lebih siap di era globalisasi.
Pemikiran ini disinyalir sebagai sikap akibat pengaruh besar
pemikiran globalisme, yang pada akhirnya menjadi dasar bagi
pemikiran globalisasi kampus, yang sesungguhnya secara
substansial agak berbeda dengan pemikiran internasionalisasi
kampus sebagaimana yang digagas oleh para tokoh pendiri
UGM. Globalisasi lebih berkonotasi UGM sebagai objek
dari arus besar dunia, sementara internasionalisasi, lebih
berkonotasi UGM sebagai subjek dalam berinteraksi dan
bekerjasama dengan masyarakat ilmiah di negara lain.
Pada Statuta UGM Tahun 2013, Naskah Pembukaan
Statuta yang sudah ada sejak tahun 1977 tersebut tidak
dicantumkan lagi dengan penjelasan sebagaimana telah
dipaparkan di atas. Kenyataan ini patut dikaji lebih lanjut,
mengingat Naskah Pembukaan Statuta memuat pokok-pokok
pemikiran filsafat yang paling fundamental bagi Univesitas
Gadjah Mada.
29
3
Makna Jati Diri UGM
30
mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia,
dengan mengedepankan kepentingan nasional.
Di mata publik, UGM dikenal sebagai Universitas
Nasional tertua dan terbesar di Indonesia. Mungkin ada
pembaca yang kritis bertanya-tanya, betulkah gelar UGM
tersebut? Bukankah sebelum UGM didirikan, sudah ada
perguruan tinggi lain? Kiranya pertanyaan seperti ini haruslah
didudukkan pada proporsinya. UGM memang dikenal sebagai
Universitas Nasional tertua mengingat bahwa sebelum UNGM
(nama UGM dulu) berdiri, memang sudah ada berbagai
perguruan tinggi yaitu akademi, sekolah tinggi, dan balai
perguruan tinggi. Perguruan tinggi yang bersifat universitas
dirintis oleh tokoh-tokoh nasional Indonesia pada tahun 1946
dengan didirikannya Balai Pergoeroean Tinggi (BPT) Gadjah
Mada.
Predikat “Universitas Nasional” yang melekat
pada UGM bermakna bahwa UGM adalah universitas
yang mempertahankan dan mengembangkan kesatuan
dan persatuan bangsa serta mempertahankan NKRI yang
diproklamasikan pada 17 Agustus 1945. Upaya itu dilakukan
dengan mengedepankan kepentingan nasional daripada
kepentingan daerah dan golongan.
Secara historis, semangat mendirikan universitas
yang bersifat nasional dipicu oleh berdirinya Universiteit
van Indonesie yang dibuka oleh van Mook (NICA) di
Jakarta. Atas dasar kenyataan ini, para pejuang tergugah
untuk mendirikan universitas nasional bangsa Indonesia
di Yogyakarta dengan tujuan mendidik putra bangsa untuk
mengembangkan bermacam-macam ilmu dalam rangka
membangun bangsa. Sekalipun UGM bertempat di Daerah
Istimewa Yogyakarta (DIY), tetapi bersifat nasional dan
bukan provinsionalistis. Hal ini ditunjukkan dengan sivitas
31
akademika UGM yang merepresentasikan pluralitas
keIndonesiaan. Dengan demikian, UGM harus memberikan
peluang besar kepada seluruh putra bangsa yang berasal dari
seluruh wilayah Indonesia untuk belajar di UGM.
Nilai-nilai yang terkandung di balik jati diri UGM sebagai
universitas nasional yang relevan bagi pengembangan landasan
filosofis ilmu antara lain: Pertama, UGM menjunjung tinggi
nilai-nilai baik, nilai tradisional, nasional, maupun internasional
secara proporsional demi kepentingan bangsa dan umat
manusia. Kedua, komitmen nilai ini dapat dijadikan dasar
bagi pengembangan ilmu di satu pihak, ada kesadaran untuk
menerima dan mengembangkan ilmu yang berwawasan
internasional, namun juga perlu mengembangkan ilmu yang
berwawasan regional, nasional dan lokal.
32
kota perjuangan, Yogyakarta. Secara sosiologis, dosen dan
mahasiswa pada masa awal UGM adalah pejuang-pejuang
yang selain berjuang mempertahankan RI dengan senjata,
juga berjuang mengisi kemerdekaan RI dengan ilmu. Menurut
penuturan para sesepuh UGM, pada saat berlangsung ujian,
kadang-kadang para mahasiswa masih ada yang membawa
senjata di ruang kelas karena masa itu merupakan masa
perang. Sebagian para mahasiswa merupakan anggota
Tentara Pelajar, yang ikut memanggul senjata melawan
Belanda. Dalam masa perang, para dosen dan mahasiswa
turut berjuang melawan Belanda. Tokoh-tokoh awal UGM
adalah para pejuang, antara lain Sardjito, Herman Yohannes,
dr. Abdurrahman Saleh, dkk. Pada saat perang ini, beberapa
mahasiswa gugur, antara lain Roewijo sebagai anggota TNI,
Hardjito dan Wurjanto sebagai anggota PMI, dan Asmono
sebagai anggota Tentara Pelajar (Sardjito, 1949)
Makna perjuangan pada masa lalu identik dengan
perjuangan memanggul senjata. Dewasa ini, makna perjuangan
hendaknya dimaknai sebagai perjuangan melawan segala
bentuk penjajahan, penindasan, kebodohan, dan kemiskinan.
Tugas ini bukanlah merupakan suatu hal yang ringan,
melainkan sesuatu yang harus disadari dan dilaksanakan oleh
warga sivitas akademika. Berdasarkan uraian di atas, dapat
disimpulkan bahwa sebagai konsekuensi dari jati diri UGM
sebagai Universitas Perjuangan, maka UGM harus menjunjung
tinggi nilai-nilai perjuangan dan kepahlawan/patriotisme, bukan
nilai-nilai penghianatan dan kepengecutan.
Pemikiran filosofis yang turut membentuk jati diri UGM
sebagai universitas perjuangan ini adalah keyakinan bahwa
kemerdekaan, keadilan, dan kesejahteraan itu bukanlah suatu
yang ada dengan sendirinya, melainkan harus diraih melalui
perjuangan, usaha yang sungguh-sungguh, berkesinambungan,
33
dan pantang menyerah. Keyakinan ini membawa implikasi
filosofis, bahwa filsafat yang dianut dan dikembangkan UGM
bukan sekedar filsafat yang mampu menjelaskan dunia, tetapi
juga filsafat yang harus mampu mengubah dunia menjadi lebih
baik. Dalam konteks filsafat ilmu, sikap ilmuwan yang baik,
bukanlah sekedar sebagai pengamat dan komentator atas fakta
di sekelilingnya, melainkan juga harus terlibat dalam aksi-aksi
sosial untuk bangsa dan umat manusia.
34
dihidup-hidupkan didalam kalangan mahasiswa semua”
(Soekarno, 1959)
Ditinjau dari pokok pikiran kefilsafatan yang berkembang
di balik penyebutan jati diri UGM sebagai universitas
Pancasila ini, di kalangan sivitas akademika UGM terbagi
sekurang-kurangnya ada tiga kelompok sebagai berikut.
Kelompok pertama adalah mereka yang sangat
mendukung dan berusaha mengamalkan Pancasila secara
murni dan konsekuen. Pandangan ini tampak jelas pada
pandangan para “sesepuh” (Guru Besar UGM), sebagaimana
terungkap dalam Seminar ”Revitalisasi Nilai-Nilai Luhur
Universitas Gadjah Mada”, yang diselenggarakan oleh Majelis
Guru Besar (MGB) UGM, di Balai Senat UGM, 29 November
2004. Semangat itu tampak jelas terpancar dalam makalah-
makalah yang disampaikan, antara lain, berikut ini.
1. “Revitalisasi Pancasila sebagai Nilai Dasar UGM”
oleh Koento Wibisono
2. “Nilai-nilai Luhur UGM” oleh Hardjoso
Prodjopangarso.
3. “UGM Universitas Kerakyatan” oleh Soempono
Djojowardono
4. “Revitalisasi Nilai-Nilai Luhur UGM”, oleh
Mubyarto.
5. “Mengabdikan Nilai-nilai UGM melalui Pengerahan
Tenaga Mahasiswa” oleh Koesnadi Hardjasoemantri.
6. “Pemikiran Prof. Dr. M. Sardjito tentang Pendidikan
Tinggi” oleh Teuku Jacob.
35
dan Sila Keadilan dalam Perspektif Sejarah”. Demikian pula
pandangan Djuretna Adi Imam Muhni, yang pada prinsipnya
menggarisbawahi, mendukung dan menuntut pengembangan
Pancasila sebagai nilai luhur UGM.
Beberapa hal penting yang dapat dicatat dari para guru
besar UGM ini, antara lain, adalah sbb.
1. Keberadaan nilai-nilai Pancasila (ketuhanan,
kemanusiaan, persatuan /kebangsaan, kerakyatan/
demokrasi dan keadilan) sebagai asas dan nilai dasar
UGM tidak perlu diragukan lagi. Akan tetapi kini
disinyalir mengalami pergeseran nilai, dari orientasi
yang sifatnya idealis ke arah yang lebih bersifat
pragmatis.
2. Ada lontaran kritik menarik yang diungkapkan
oleh Mubyarto, tentang pandangan warga sivitas
akademika yang tidak memahami Pancasila berikut
ini. Yakni:
“Keluarga besar UGM masih cukup banyak yang belum
sepenuhnya memahami makna Pancasila sebagai
falsafah dasar bangsa, ideologi dasar bangsa maupun
nilai-nilai luhur atau jati diri UGM. Kekurangpahaman
terjadi karena praktik pengembangan ilmu pengetahuan
di UGM belum mantap dan belum ber“jati diri”.
Sumber serta manifestasi kekeliruan itu ada 2 yaitu
pertama, tekanan pendidikan dan pengajaran yang
terlalu berlebihan pada aspek intelektual dengan
mengabaikan pendidikan kerohanian, dan kedua,
spesialisasi ilmu yang terlalu jauh dengan mengabaikan
pendekatan interdisipliner” (Mubyarto, 2004: 2).
3. Nilai-nilai Pancasila dan patriotisme itu
dimanifestasikan di dalam kegiatan Tri Dharma
36
PT (pendidikan, penelitian, dan pengabdian pada
masyarakat)
4. Nilai-nilai luhur UGM ini tidak hanya berhenti dalam
naskah, tetapi telah diamalkan oleh para pimpinan,
dosen, dan mahasiswa UGM pada masa lalu. Hal
ini ditunjukkan oleh sikap dan perilaku tokoh-tokoh
seperti M. Sardjito, Herman Johannes, Sumantri
Brodjonegoro, Ir. Soetomo A., dan penggagas UGM
Sri Sultan HB IX (Prodjopangarso, 2004). Nilai-nilai
itu adalah: (1) kesediaan berkorban demi kepentingan
bersama, (2) berpandangan luas, tidak sempit, mau
melihat segala sesuatu secara utuh, (3) bersifat
jujur, (4) tindakannya memberi inspirasi kepada
teman seperjuangan, dan (5) mendorong ke suasana
kerukunan (kekompakan). Ekspresi nilai-nilai luhur
UGM itu juga ditunjukkan dalam sejarah dan dalam
pengiriman tenaga mahasiswa untuk memenuhi
kekurangan tenaga guru di luar Jawa pada 1951-1962
(Hardjasoemantri, 2004).
Pandangan dari para anggota Majelis Guru Besar ini
juga mendapat respons dan dukungan positif dari Sofian
Effendi, (Rektor UGM) yang dengan tegas dan bersemangat
menegaskan hal-hal berikut ini.
37
Dulu ini sering kita sebut, tapi nggak pernah ada usaha
untuk menanamkan nilai-nilai itu. Nilai-nilai inilah
yang mau kita jadikan trade mark lulusan UGM, dan
inilah kurikulum kita ke depan (Sofian Effendi, dalam
Abrar dan Baskoro, Ed., 2004: 318)
38
Kelompok kedua adalah mereka yang berpandangan
bahwa Pancasila tidak relevan lagi. Kelompok ini menganggap
bahwa Pancasila sebagai nilai dasar UGM tidak dibantah,
tetapi pelaksanaannya sangat tergantung pada situasi zaman.
Dalam hal ini kadang-kadang Pancasila tinggal menjadi
slogan kosong yang tidak operasional sehingga dianggap
tidak lagi bermakna. Hal yang relevan adalah memikirkan
bagaimana strategi agar UGM dapat berkembang dan
dapat menghadapi tantangan global. Pandangan ini secara
sosiologis dianut oleh sebagian warga UGM yang cenderung
berpikir liberal. Tekanan utama pemikiran ini bukan pada
nilai, tetapi pada teknik operasional yang perlu dijalankan
agar UGM dapat bertahan hidup. Tekanan utama adalah
manajemen pengelolaan UGM agar lebih relevan, efektif,
efisien, produktif, akuntabel, dan berkesinambungan.
Ketika penulis melakukan observasi partisipan dalam
berbagai diskusi dan kepanitiaan di tingkat universitas pada
tahun 2003-an, ada sebagian warga sivitas akademika yang
menganggap bahwa Pancasila tidak lagi relevan karena
Pancasila dinilai tidak jelas. Ketidakjelasan itu ditunjukkan
dengan sulitnya mencari figur dan contoh orang yang disebut
sebagai Pancasilais. Pandangan ini berkesimpulan bahwa
daripada merujuk ke konsep Pancasila yang belum begitu
jelas, lebih baik langsung merujuk ke konsep-konsep agama
(Islam-pen). Di dalam konsep agama, contoh orang yang
paling agamis dapat disebutkan yaitu para nabi. Dengan
demikian, orientasi UGM pada nilai-nilai Pancasila itu
lebih baik diarahkan pada nilai-nilai keagamaan. Pandangan
ini terungkap dari pemikiran beberapa aktivis kegiatan
keagamaan di UGM, baik mereka yang masuk dalam jajaran
pimpinan, dosen, karyawan, maupun mahasiswa.
39
Pandangan ketiga adalah pandangan yang berusaha
secara kritis dan mengambil jarak di dalam menyikapi
diskursus di atas. Pandangan ketiga ini mengingatkan
kelompok pertama untuk tidak terlalu terbuai pada masa
lalu dan cenderung terkena sindrom ”ah itu kan sudah ada
dalam kitab suci” yang bersifat tekstualis dan kadang-kadang
terlalu normatif idealistis. Akan tetapi, pandangan ini juga
mengingatkan kelompok kedua untuk tidak terjebak dalam
sindrom ”apa kata dunia- versi film Naga Bonar” yang
menganggap bahwa jika tidak mampu mengikuti atau meniru
perkembangan dunia, kita akan malu karena ditertawakan
oleh dunia. Pandangan ini sempat dilontarkan oleh Mochtar
Mas’oed, pada saat membahas makalah para guru besar dalam
Seminar Revitalisasi Nilai-nilai Luhur Universitas Gadjah
Mada, yang diselenggarakan oleh Majelis Guru Besar (MGB)
UGM, di Balai Senat UGM, 29 November 2004.
Inti pandangan ketiga ini adalah mengajak warga UGM
lebih bersikap realistik, tidak terjebak ke romantika masa
lalu, tetapi juga tidak terombang-ambing tanpa pegangan
pada masa depan. Prinsipnya adalah nilai-nilai tersebut perlu
dikembangkan lebih aktual di masa kini dan siap dibenturkan
dengan tantangan di masa depan. Tentang strateginya, dipilih
semangat ”layar terkembang”, ”mendayung di antara
dua karang”, prudential diplomacy, dan keberanian untuk
melakukan banyak eksperimen. Pandangan ini tampaknya
juga disepakati oleh Sofian Effendi (2004: 29).
Berdasarkan pandangan di atas, dapat disimpulkan bahwa
nilai-nilai Pancasila menjadi pembentuk jati diri UGM. Nilai-
nilai tersebut dikembangkan dalam pandangan filosofis dan pada
akhirnya secara formal paham kefilsafatan yang dianut UGM
adalah paham filsafat Pancasila. Kesimpulan ini membawa
implikasi bahwa landasan filosofis pengembangan ilmu di UGM
40
harus dikembangkan di UGM harus didasarkan pada nilai-nilai
dan filsafat Pancasila.
41
kehidupan bangsa. Sifat kerakyatan itu sangat menonjol
ketika pada awal berdirinya UGM, para lulusan SMP dan
guru diperkenankan mengikuti kuliah sebagai mahasiswa
pendengar. Hal ini dimaksudkan untuk semakin memperluas
ilmu dan mempercepat tercapai untuk kesejahteraan rakyat.
Di dalam perjalanannya kegiatan pendidikan, penelitian,
dan pengabdian kepada masyarakat di UGM selalu ditujukan
untuk kesejahteraan rakyat. Sebagai contoh adalah Pengerahan
Tenaga Mahasiswa ke seluruh pelosok Indonesia tahun 50-an
untuk membantu pengajaran di tingkat SMA di luar Jawa,
pembuatan konsep dan pendirian Pusat Kesehatan Masyarakat
(Puskesmas), KUD, dan Bimas, Kuliah Kerja Nyata, lahirnya
produk hukum semisal UU Pokok Agraria dan UU Pokok Bagi
Hasil (Suwarni dan Santoso, 2009).
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa nilai-
nilai kerakyatan merupakan bagian dari nilai-nilai jati diri UGM.
UGM berkomitmen, dari rakyat, berkembang bersama rakyat,
dan pada akhirnya untuk kesejahteraan rakyat. Komitmen nilai ini
berimplikasi pada pengembangan landasan filosofis pengembangan
ilmu yang dikembangkan UGM seharusnya ilmu-ilmu yang
berangkat dari problematik dan kebutuhan rakyat, dikembangkan
bersama rakyat dan pada akhirnya demi kesejahteraan rakyat.
42
Bila dilacak dalam Statuta UGM sebelumnya, yaitu pada
Statuta pertama UGM tahun 1950, pada pasal 1 disebutkan
bahwa Universitit Negeri Gadjah Mada adalah Balai nasional
ilmu pengetahuan dan kebudayaan bagi pendidikan dan
pengajaran tinggi. Hal ini dipertegas dengan Pasal 1 Peraturan
Senat UGM tahun 1958 yang menyebutkan bahwa:
“Sebagai Balai Nasional ilmu pengetahuan dan
kebudayaan bagi pendidikan dan pengadjaran tinggi
dengan dasar dan tugasnja sebagaimana dimaksud
dalam pasal 3 Peraturan Pemerintah no. 37 tahun 1950.
Universitas Gadjah Mada mewujudkan suatu lembaga
masjarakat dan kerochanian tritunggal, ialah lembaga
ilmu pengetahuan, lembaga kebudayaan dan lembaga
pendidikan dan pengadjaran, jang dengan dasar dan segala
tugasnja itu bertudjuan pokok untuk, demi kelangsungan
dan kepentingan kehidupan kemanusiaan pada umumnja
dan guna perkembangan kebangsaan dan perkembangan
rakjat pada chususnja, menalurikan dan menjampaikan
ilmupengetahuandankebudajaankepadaanakketurunan”
Secara historis, ketika terjadi penggabungan beberapa
perguruan tinggi ke Yogyakarta tahun 1949, salah satu di antara
pertimbangan utamanya antara lain karena kebudayaan nasional
membutuhkan suatu pusat yang kuat dan lengkap (Soerono,
1949). Secara historis, ketika Ibu Kota Negara RI pindah dari
Yogyakarta ke Jakarta, ada wacana untuk memindahkan UGM
ke Jakarta. Namun setelah melalui berbagai diskusi akhirnya
diputuskan UGM harus tetap berada di Yogyakarta. Salah
satu alasan utamanya adalah karena di Yogyakarta sangat
dekat dengan pusat kebudayaan yaitu Keraton Yogyakarta
dan Surakarta. Berdasarkan alasan tersebut di atas, maka pada
saat ibu kota negara pindah ke Jakarta, para pemimpin UGM
bersepakat untuk mempertahankan bahwa UGM harus tetap
tinggal di Yogyakarta. Pada perkembangannya kemudian, bila
43
UGM mulai mendirikan kampus di luar Yogyakarta, seperti di
Jakarta, kiranya perlu ditinjau kembali kesesuaiannya dengan
jati diri yang dianut UGM.
Di balik jati diri sebagai universitas pusat kebudayaan
ini tersirat nilai-nilai yang menjadi komitmen UGM, yaitu
komitmen UGM pada pendidikan dan pengajaran yang tidak
dapat dilepaskan dari nilai-nilai kebudayaan, baik kebudayaan
lokal, nasional, dan internasional. UGM diberi tugas untuk
melestarikan dan mengembangkan kebudayaan Indonesia. UGM
diharapkan sebagai titik tumpu, motor penggerak, pembangun
peradaban baru Indonesia dan dunia dengan mengembangkan
kebudayaan nasional, yang merupakan titik temu dari puncak-
puncak kebudayaan daerah dan kebudayaan dunia.
44
4
Makna di Balik Lambang dan
Atribut Jati Diri UGM
45
Universitas mempunyai lambang sebagai berikut :
Pusat lambang berupa surya atau matahari yang
berlubang dan memancarkan sinar dalam bentuk lima
kesatuan kumpulan sinar. Setiap kesatuan kumpulan
sinar terdiri atas sembilan belas sorot sinar, warna
surya, dan sinar kuning emas;
46
menyusun naskah akademik tentang Lambang dan Bendera
UGM, diperoleh beberapa kesimpulan penting yang dapat
diuraikan sebagai berikut.
Secara historis, pembuatan lambang UGM dimulai
pada tahun 1950. Pandangan ini didasarkan pada dokumen
Buku Petunjuk Akademik Universitas Gadjah Mada yang
diterbitkan tahun 1972. Uraian tentang sejarah penciptaan
lambang UGM berikut didasarkan atas tulisan Suwarni (Staf
Arsip UGM) berdasarkan penelusuran arsip UGM dalam suatu
diskusi di Pusat Kebudayaan Koesnadi Hadjasoemantri UGM
2010, yang memuat pernyataan sbb:
“Pada tahun 1950 oleh Senat Universitas Gadjah Mada
dianggap perlu menentukan lambang Universitas;
Penjusunan pokok-pokok bentuk dan makna dari
lambang tersebut di atas ditugaskan kepada Sekretaris
Senat. Setelah pokok-pokok itu dengan schets-nja
disetudjui oleh Senat, pembuatan gambar diserahkan
kepada seorang ahli gambar, jaitu Saudara Katamsi.
Lambang ditetapkan oleh Senat dalam Rapat Senat
(tahun 1950).
47
(1949-1974). Redaktur terdiri atas Rektor UGM (Penasehat),
Drs. H. Nang Tjik (Ketua), Mustafa SH (Sekretaris), Dr.
Soedikno Mertokoesoemo, SH, Drs. H.J. Koesoemanto, dan
Drs. M. Satriyo Wuryanto (anggota).
Berdasarkan kutipan di atas menjadi semakin jelas
kapan dan siapa yang mencipta lambang UGM. Jika kutipan
tersebut benar, maka terlihat ada beberapa tahapan utama
dalam pembuatan lambang, yaitu : Pertama, penyusunan
pokok-pokok bentuk dan makna dari lambang tersebut di
atas ditugaskan kepada Sekretaris Senat (Notonagoro–pen.);
Kedua, pokok-pokok itu dengan schets-nja disetudjui oleh
Senat; Ketiga, pembuatan gambar diserahkan kepada seorang
ahli gambar, jaitu Saudara Katamsi (R. Katamsi, direktur
Sekolah Menengah Tinggi (SMT) Kotabaru (sekarang SMA
III Padmanaba). Pada waktu itu R. Katamsi mewajibkan
semua murid untuk menggambar teratai sebagaimana bunga
teratai merah yang di halaman sekolah. Katamsi menggambar
lambang SMT berupa teratai merah yang masih kuncup dan
menggambar lambang UGM sebagai teratai putih yang mekar.
Ini melambangkan kontinuitas antara pendidikan menengah
atas (SMA) dan pendidikan tinggi (UGM) (Sutaryo, 2012);
dan Keempat, lambang ditetapkan oleh Senat dalam Rapat
Senat.
Sekalipun penciptaan lambang UGM disebutkan pada
tahun 1950, tetapi berdasarkan penelusuran atas dokumen-
dokumen resmi UGM, ternyata lambang UGM baru digunakan
dalam dokumen resmi pada tahun 1953, yaitu pada halaman
sampul Pidato Pembukaan Rapat Senat Terbuka Universitas
Negeri Gadjah Mada Dies Natalis IV, 19 Desember 1953.
Lambang UGM mulai dimuat dalam Statuta untuk pertama
kali dalam Statuta UGM Tahun 1977. Bentuk dan makna
lambang yang termuat dalam statuta tersebut dimuat kembali
48
dalam Statuta UGM Tahun 1992 dan ART UGM Tahun 2003
tanpa mengalami perubahan yang substansial. Dalam ketiga
statuta tersebut disebutkan bahwa lambang UGM adalah
simbolisasi dari songkok dan tombak prajurit.
Makna yang terkandung di balik lambang UGM, yaitu
pertama, Di UGM masih terdapat dua pandangan utama yang
terkait dengan bentuk dan makna lambang, apakah berwujud
songkok dengan tombak prajuritnya ataukah kumuda (padma
berwarna putih) sesuai dengan sejarah penciptaannya. Sebuah
brosur yang ditulis oleh R. Katamsi dinyatakan bahwa:
“Lambang jang menggambarkan daun teratai ternjata
menggambarkan matahari jang berlobang dan
memantjarkan sinarnja dalam bentuk 5 kesatuan sinar,
setiap kesatuan terdiri dari 19 sorot sinar jang berwarna
kuning emas” (Atmosudiro, dkk., 2008: 31)..
Selain pandangan di atas, informasi lain dapat diperoleh
peneliti bersama Prof Sutaryo melalui wawancara dengan
(alm.) Soedikno Mertokoesoemo, salah seorang murid R.
Katamsi. Alm. Sudikno Mertokoesomo menyatakan bahwa
“Dia (R. Katamsi) memang suka membuat lambang itu
(UGM), lambang padma, ini padma”. Beliau lebih lanjut
berpendapat bahwa jika lambang UGM itu ditangkap sebagai
satu kesatuan sesungguhnya lebih tepat dipandang sebagai
simbol kumuda (teratai putih) (Hasil wawancara Sutaryo
bersama peneliti dengan Soedikno Mertokoesoemo pada 16
Mei 2011 di Fakultas Hukum UGM). Pandangan ini juga
sejalan dengan pandangan GBPH Joyokusumo dan pihak
Keraton pada saat wawancara peneliti dengan Tim MGB
UGM di Rumah Sakit Sardjito (Laporan Panitia Ad Hoc
Penelusuran Lambang dan Bendera UGM, Majelis Guru Besar
UGM, 2012). Pihak Keraton yang diwakili Gusti Joyokusumo
beserta dua orang kerabat Keraton berkesimpulan bahwa
49
lambang UGM itu lebih tepat dimaknai sebagai teratai putih,
bukan songkok prajurit dengan tombaknya.
Sebagian pandangan lain berpendapat bahwa lambang
UGM sebagaimana yang tercantum di dalam ART UGM
Tahun 2003, Bab II, terutama pasal 2 tentang makna lambang
(Catatan: pada saat penelitian disertasi, makna lambang dalam
ART ini masih berlaku dan memiliki kekuatan hukum).
Lambang Universitas mempunyai makna sebagai berikut.
Surya dengan sinarnya dan kartika bersegi lima
berwarna kuning emas melambangkan Universitas
sebagai Universitas Pancasila, Lembaga Nasional
ilmu pengetahuan dan kebudayaan bagi pendidikan
tinggi berdasarkan Pancasila, yang memancarkan ilmu
pengetahuan, kenyataan, dan kebajikan.
50
Songkok dan tombak, masing-masing berjumlah
lima melingkungi surya dan kartika, melambangkan
sifat kepahlawanan dan kejuangan Universitas yang
selalu siap sedia dan waspada. Keseluruhannya diliputi
dan diresapi oleh Pancasila sehingga kesemuanya itu
melambangkan sifat Universitas sebagai monumen
perjuangan nasional berdasarkan Pancasila.
51
Dalam konteks filsafat, Lambang UGM merupakan
bentuk simbolisasi yang sangat baik tentang nilai-nilai dasar
filosofi UGM yaitu perpaduan antara (1) nilai-nilai Pancasila
dan nilai-nilai kebudayaan Indonesia seluruhnya, di satu
pihak, dan (2) nilai-nilai keilmuan dan kenyataan, di lain
pihak.
Nilai-nilai filosofis yang terkandung dalam lambang
ini kiranya dapat dijadikan landasan pengembangan ilmu,
terutama landasan filosofis pengembangan ilmu, terutama
dalam landasan aksiologis, epistemologis, dan ontologis ilmu.
52
UGM serta manifestasi kebudayaan yang berakar pada sejarah
dan cita-cita UGM.
Diskusi dan penelusuran dokumen bendera telah
dilakukan di PKKH UGM dan SA UGM. Hal yang dipakai
sebagai bukti dasar diskusi adalah fisik bendera UGM yang
berada di ruang Sidang Rektorat dan Balai Senat UGM beserta
duaja universitas dan seluruh fakultas. Diskusi difokuskan
pada bentuk dan makna bendera.
Pada saat diskusi penyusunan Statuta UGM pada tahun
2011, Tim Perumus mengacu pada hasil diskusi tersebut
dengan mengadakan beberapa usulan penyempurnaan sebagai
berikut.
Bendera UGM berbentuk persegi empat panjang dengan
ukuran lebar 2/3 (dua-pertiga) dari panjang, berwarna putih
an kuning emas yang terpisah secara diagonal dari kiri atas ke
kanan bawah. Warna putih terletak di sebelah kiri dan warna
kuning emas di sebelah kanan. Pada bagian kanan atas bendera
terdapat logo UGM.
53
kemurnian harus dilandasi dengan hati yang suci atau
keikhlasan.
Makna yang terkandung di dalam bendera Universitas
ini mirip dengan pemikiran filosofis yang terkandung dalam
lambang UGM yaitu prinsip harmoni antar berbagai nilai,
baik nilai etis, estetis, epistemologis, maupun metafisis dalam
rangkaian simbol yang unik dan menarik.
54
Pancasila, kebudayaan dan kejayaan Indonesia. Hal yang
menarik dari Himne ini adalah tidak ada satu ungkapan
yang menyatakan “demi kejayaan UGM”, yang ada adalah
ungkapan “kejayaan Indonesia” dan “kejayaan nusantara”,
artinya kejayaan UGM bukanlah tujuan. Kejayaan UGM
menyatu dengan kejayaan Indonesia atau kejayaan nusantara.
Hal ini bermakna bahwa UGM harus meluluhkan egoisme
pribadi dan golongan universitas melebur (ajur-ajer -jw) ke
dalam kejayaan nusantara/Indonesia.
Nilai-nilai lain yang dapat dipetik dari Himne Gadjah
Mada adalah keharmonisan antara nilai-nilai estetis
(keindahan) dan etis (kebaikan). Implikasi nilai-nilai ini dalam
konteks pengembangan landasan filosofis ilmu antara lain
Himne Gadjah Mada ini bahwa ilmu itu bersifat teleologis atau
bertujuan. Di antara tujuan pengembangan ilmu antara lain
kejayaan Indonesia dan kejayaan nusantara, bukan kejayaan
pribadi atau kelompok. Jiwa Himne Gadjah Mada ini sejalan
dengan sikap asketisme ilmiah dan jargon ilmu untuk amal
wasiat Soekarno.
55
Dewasa ini, ketika isu internasionalisasi perguruan tinggi,
beberapa fakultas dan prodi membuka kelas internasional, dan
menggunakan bahasa pengantarnya bahasa Inggris. Kasus
ini menimbulkan diskusi serius, yang telah memasuki tidak
sekedar masalah bahasa, tetapi sudah masuk ke dalam kawasan
politis dan filosofis. Aliran pemikiran yang muncul antara
lain pertama kelompok yang yang mendukung penggunaan
bahasa asing (Inggris) sebagai bahasa pengantar. Kelompok
ini berpandangan bahwa dunia semakin berkembang, untuk
menjadi bangsa yang besar tidak mungkin menutup diri.
Penggunaan bahasa asing di perguruan tinggi sesungguhnya
upaya penyiapan anak-anak bangsa untuk dapat berkiprah di
tingkat internasional.
Kelompok kedua adalah kelompok yang mendukung
penggunaaan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar,
dan tidak mendukung penggunaan bahasa asing sebagai
bahasa pengantar di Universitas. Kelompok kedua ini
berpendapat bahwa kita memiliki bahasa resmi, yaitu bahasa
Indonesia. Internasionalisasi hendaknya dipahami sebagai
level capaian atau penghargaan dunia luar terhadap prestasi
universitas. Internasionalisasi tidak harus mempergunakan
bahasa asing di Universitas. Peribahasa bahasa menunjukkan
bangsa dalam konteks ini ada benarnya. Bila ada mahasiswa
asing yang ingin belajar di Indonesia, mereka dipersilahkan
mempelajari bahasa Indonesia terlebih dahulu. Hal yang sama
sesungguhnya dilakukan beberapa negara seperti Malaysia,
Jepang, Korea, dll. Kelompok kedua ini justru menuduh
kelompok pertama sebagai agen asing di Indonesia.
Hal yang menarik adalah sikap dan keputusan para
perancang Statuta UGM tahun 2013, yang mengakomodasi
kedua pandangan tersebut dalam suatu rumusan yang tertuang
dalam Pasal 15 ayat (1), yang berbunyi : “Bahasa Indonesia
56
merupakan bahasa pengantar di UGM sebagaimana dimaksud
dalam pasal 11”. Maksud dari kalimat “sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11 adalah bahwa bahasa berfungsi sebagai
sarana pemersatu, identitas, dan wujud eksistensi UGM,
serta manifestasi kebudayaan yang berakar pada sejarah dan
cita-cita UGM. Sikap kompromis ditunjukkan dengan ayat
(2) yang berbunyi, “Selain Bahasa Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), bahasa daerah atau bahasa asing
dapat dipergunakan sebagai bahasa pengantar dalam
penyampaian pengetahuan dan/atau pelatihan keterampilan.
Ayat (2) menunjukkan adanya penghargaan terhadap bahasa
Indonesia, namun juga mengakui dan menghargai bahasa
daerah dan bahasa asing.
Berdasarkan kajian di atas terlihat jelas komitmen pada
nilai-nilai nasional (kebangsaan) yang berusaha mencoba
menjembatani dan menempatkan secara proporsional
nilai-nilai lokal dan internasional. Keberadaan nilai lokal
dan internasional diakui keberadaannya, namun nilai-nilai
nasional perlu dijunjung tinggi dalam konteks komunikasi
formal tingkat nasional. Bahasa Indonesia sebagai bahasa
nasional, dijadikan bahasa resmi Universitas.
Menurut penulis, ada sekurang-kurangnya empat
argumen yang dijadikan dasar pengambilan keputusan untuk
menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar di
Universitas, yaitu : argumen historis, yuridis, filosofis, dan
sosiologis.
Pertama, secara historis perjuangan bangsa dalam
rangka memperjuangkan bahasa persatuan bukanlah proses
yang mudah, instan, dan tanpa perjuangan, melainkan proses
panjang dan penuh perjuangan. Hal ini sudah diperjuangkan
oleh para pendiri negara sejak sebelum kemerdekaan yang
57
mengkristal dalam peristiwa bersejarah Sumpah Pemuda, 28
Oktober 1928.
Kedua, secara yuridis, karena Univesitas Gadjah Mada
merupakan bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia,
sementara di dalam konstitusi negara Pasal 36, UUD NRI
1945, disebutkan bahwa “Bahasa Indonesia sebagai bahasa
negara”, maka konsekuensi yuridisnya adalah Universitas
wajib menjadikan bahasa negara itu menjadi bahasa resmi
universitas.
Ketiga, secara filosofis, ungkapan peribahasa yang
menyatakan bahasa menunjukkan bangsa ada benarnya dalam
arti bahasa merupakan ekspresi kebudayaan dan peradaban
suatu bangsa. Bila anak bangsa tidak lagi memahami bahasa
bangsanya, dapat dipredeksi pelan tetapi pasti, kepribadian
bangsa anak bangsa akan terkikis seiring perjalanan waktu.
Keempat, secara sosiologis, bangsa Indonesia tidak
mungkin menutup diri dalam pergaulan dunia, artinya peranan
bahasa internasional dalam percaturan dunia tidak mungkin
diabaikan, namun penggunaan bahasa internasional tersebut
harus proporsional agar tidak mematikan bahasa naional dan
bahasa daerah. Kompromi yang baik adalah menempatkan
bahasa daerah dan bahasa internasional dapat dipergunakan
secara proporsional di Universitas dengan pengaturan khusus.
Komitmen nilai UGM pada pemilihan bahasa Indonesia
menjadi bahasa pengantar di Universitas membawa implikasi
dalam landasan filosofis pengembangan ilmu, yaitu bahasa
diakui menjadi salah satu unsur penting sebagai sarana
pengembangan ilmu atau berpikir ilmiah. Pengungkapan
istilah, teori, konsep, paradigma, metode, dan berbagai
komunikasi ilmiah memerlukan bahasa. Sementara itu, di
dalam bahasa itu terkandung nilai, ideologi, dan filosofi
yang turut serta menyertai dan memengaruhi pola pikir
58
dan pemaknaan penggunanya. Pengambilan sikap memilih
bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar ini menunjukkan
keyakinan bahwa bahasa Indonesia dapat dipergunakan
dan dikembangkan dalam komunikasi ilmiah. Pilihan
ini juga didasarkan atas pertimbangan bahwa untuk
mengoptimalisasikan peran UGM dalam rangka memahami,
menggali, mengembangkan, dan melestarikan nilai budaya
dan ilmu-ilmu ke-Indonesiaan, peranan Bahasa Indonesia
menjadi sangat urgen dan mendasar, bukan sekedar masalah
teknik komunikasi.
59
B. Bagian kawasan kampus yang tersusun oleh seluruh
tapak dari sebaran ruang dan bangunan yang
memiliki nilai kesejarahan tinggi dan telah menjadi
identitas UGM, yang meliputi ruang dan tapak dari
sebaran bangunan-bangunan Gedung Kantor Pusat
Tata Usaha (KPTU), Lapangan Pancasila, Boulevard,
sebagian Perumahan Dosen Bulaksumur, Gedung
Pancadharma, dan sebagian Perumahan Dosen Sekip
harus dipertahankan dan dipelihara keasliannya
dalam hal tata ruang, tata infrastruktur, tata vegetasi,
dan tata bangunan yang mencakup tata bentuk, tata
bahan, tata skala, dan tata warna bangunan.
60
ini telah dibukukan dalam buku berjudul “Filosofi Gedung
Pusat UGM” (Sutaryo dan Santoso, ed., 2011).
Karya arsitektur kadang dapat dijadikan simbol yang
merepresentasikan pribadi sang arsiteknya, demikian pula
dengan Gedung Pusat UGM kiranya juga mengisyaratkan
pribadi sang arsiteknya yaitu GPH Hadinegoro. Menurut
penuturan puteranya (Harun_Hadinegoro, 2011), GPH
Hadinegoro “seorang yang correct, rapih, sistematis, segala
sesuatu direncanakan dengan matang, disiplin, hemat, tetapi
juga selalu tampil serasi, lembut, dan berselera humor tinggi.”
Mengapa Gedung Pusat UGM menghadap ke utara
dan selatan menurut sang arsitek (GPH Hadinegoro) karena
mengacu pada filosofi dua polar yaitu Gunung Merapi dan
Laut Selatan sebagai axis imajiner. Axis imajiner ini diikuti
secara konsisten dalam site plan kampus dan site plan gedung
pusat. As: utara-selatan, simetris dan geometris. Pintu masuk
tepat pada as selatan. Orientasi matahari barat dan timur
(Harun_Hadinegoro, 2013).
Sejarah pembangunan Gedung Pusat UGM juga
mengajarkan tentang hidup dan kehidupan bahwa ketika
mereka membangun gedung pusatnya, ada sejuta harapan,
sejuta wasiat dan pesan untuk para calon penghuni dan
anak cucunya. Bahwa sesungguhnya mereka bukan sekedar
menumpuk batu dan semen, melainkan menanamkan jiwa
yang besar, yaitu jiwa keikhlasan, kesabaran, kerakyatan,
jiwa proklamasi, sepi ing pamrih rame ing gawe (ikhlas dan
bersemangat), dan jiwa-jiwa mulia lainnya. Semua wasiat itu
kiranya masih relevan hingga kini dan di masa depan sebagai
pandangan hidup civitas akademika Gadjah Mada.
Nilai-nilai filosofis yang turut mewarnai pembangunan
gedung pusat dan penataan kawasan kampus UGM menurut
Sudaryono (2011), ditinjau dari filsafat arsitektur, Gedung
61
Pusat dan Kawasan Kampus UGM dihadirkan berdasarkan
akulturasi budaya sekaligus merupakan perpaduan puncak-
puncak pikiran arsitektur yang ada sampai saat itu (1951-
1959): Mesir, Yunani, Romawi, Eropa, Hindu, dan Jawa.
Beberapa makna penting Gedung Pusat antara lain: (1)
Arsitektur Gedung Pusat adalah state of the arts (ujung
sejarah) arsitektur saat itu; (2) Gedung Pusat dibangun dengan
menggunakan skala agung dan geometri suci, sehingga telah
melahirkan mahakarya arsitektur yang sampai saat ini belum
ada yang melampauinya; (3) Penggunaan skala agung dan
geometri suci itu telah menjadikan Gedung Pusat sebagai
maha karya yang sangat berwibawa, mencekam tetapi
memberi damai, merengkuh tetapi membiarkan, membuka
tetapi membatasi, memanggil tetapi mengantar, menciutkan
tetapi membesarkan. Sudaryono (2011) berkesimpulan bahwa
konsep tata ruang UGM mirip dengan konsep filsafat tata
ruang sangha mandala dalam konsep tata ruang Bali, namun
dengan dilakukan beberapa modifikasi.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa
pembangunan Gedung Pusat dan kawasan kampus UGM
juga ditata berdasarkan pemikiran filsafat tertentu yang
sarat makna. Filsafat itu bersumber dari inspirasi puncak-
puncak peradaban dunia dan peradaban nusantara. Pemikiran
peradaban dunia ditunjukkan dengan pengaruh pemikiran
Mesir Kuno,Yunani Kuno, Romawi Kuno, dan Eropa, dipadu
dengan keagungan dan keluruhan filsafat Hindu Majapahit dan
Bali, diramu dengan filsafat Jawa (Sudaryono, 2012).
Implikasi pemikiran filsafat ini pada pemikiran filsafat
ilmu adalah bahwa jika ingin mengembangkan ilmu yang
historis dan relevan untuk bangsa Indonesia adalah dengan
cara belajar dari puncak-puncak ilmu dari puncak-puncak
peradaban di dunia, namun tetap berakar pada keluhuran dan
62
kearifan nusantara. Pandangan ini tidak hanya relevan untuk
ilmu sosial humaniora, namun juga untuk ilmu kealaman,
teknik, dan medis.
Belajar dari pemikiran para tokoh dan berbagai
pertimbangan saat pembangunan Gedung Pusat UGM terlihat
baik nilai-nilai yang tersirat maupun tersurat yang relevan bagi
pengembangan landasan filosofis keilmuan, terutama landasan
aksiologis ilmu. Pada tataran aksiologis, para pendiri tokoh
pembangun Gedung Pusat dan hasil karyanya mengajarkan
tentang sikap ilmiah yang patut diteladani, yaitu keikhlasan,
tanggungjawab, kesabaran, ketelitian, dan keharmonisan.
Ilmuwan dituntut tidak sekedar mampu olah pikir, tetapi juga
olah fisik, olah rasa, dan olah qolbu.
63
Latar belakang filosofis landscaping Kampus UGM
secara garis besarnya berdasarkan falsafah yang telah
dirumuskan oleh Universitas Gadjah Mada dan tertulis dalam
Ketentuan Umum Rencana Pembinaan Universitas Gadah
Mada yakni:
“Perguruan Tinggi adalah lembaga ilmiah, yang
dasar awal adanya terletak pada wujudnya sebagai
alat masyarakat yang merupakan sumber kehidupan
kerochanian, pusat perkembangan kebudayaan, serta
pangkal pembinaan kesejahteraan yang berdasarkan
ilmu pengetahuan, demi kelangsungan kehidupan
kewardanaan pada umumnya, dan kehidupan bangsa
pada khususnya”. Atas dasar ini semua penyelesaian
perencanaan kampus diarahkan pada pemenuhan
falsafah tersebut, sedangkan arti kiasan ataupun
simbolis dapat pula dipakai dalam perencanaan selama
pengertian tidak mengaburkan atau merusak arti dari
suasana ruang secara keseluruhan. (sumber:” Rentjana
Landscape Kampus Universitas Gadjah Mada”, 1971:
5).
Konsep ruang landscaping kampus UGM apabila
dilihat dari pola pengembangannya merupakan pola dengan
jalur-jalur pengembangan memanjang dari selatan ke utara.
Letak pusat (core) kampus memanjang dari selatan ke utara
seolah-olah merupakan suatu poros kampus UGM. (peta
1954). Di dalam peta kampus UGM tersebut dapat dilihat
bahwa secara fisik kampus UGM membujur dari arah selatan
ke utara, sedangkan disebelah timur dan barat dibatasi oleh
sungai. Arah selatan utara ini menjiwai pengembangan jalur
penghijauan dalam konsepsi sejajar (paralel).
Secara historis, berdasarkan penelusuran perkembangan
pemikiran tentang pola dan pedoman penataaan tanaman
dan pepohonan di UGM, maka terlihat ada perkembangan
64
pemikiran yang dapat diklasifikasikan dalam tiga periode
utama, yaitu pertama, perkembangan pemikiran tentang
pola dan pedoman penataan tetumbuhan di UGM dapat
diklasifikasikan menjadi empat periode utama, yaitu : (1)
Periode tahun 1950-an sampai dengan tahun 1970 merupakan
periode awal pembangunan kampus UGM di Bulaksumur.
Tanaman dan pepohonan yang ditanam lebih cenderung
merupakan tanaman perintis dan perindang. Pada fase ini
sudah ditanam tanaman yang bermakna seperti cemara tujuh
dan pohon bodhi; (2) Periode pasca tahun 1970 sampai dengan
tahun 1990 merupakan awal penyusunan dan pemberlakuan
rencana lanscaping UGM yang menjadi pedoman dalam
penataan tanaman di UGM; (3) Periode pasca tahun 1990-
an sampai sekarang; merupakan periode penegasan zonasi
kampus berdasarkan klasifikasi tanaman nusantara sekaligus
pengembangan koleksi tanaman yang merepresentasikan
perguruan tinggi di Indonesia.
Dasar pertimbangan utama pola dan pedoman penataan
tanaman dan pepohonan di UGM sekurang-kurangnya ada 6
(enam), yakni: (1) pertimbangan ekologis di dalam kampus
dengan memperhatikan keberadaan wilayah, kondisi tanah,
keadaan iklim, dan persediaan air; (2) Pertimbangan keadaan
fisik dan fungsi dari tanaman yang meliputi: kegunaan,
ukuran terakhir (termasuk kecepatan tumbuh dan panjangnya
umur), bentuk asli (natural form), tekstur, warna, dan bau;
(3) pertimbangan untuk tujuan-tujuan pendidikan. Pemilihan
tanaman untuk lanscaping kampus ditujukan juga untuk
kepentingan-kepentingan pendidikan dan secara keseluruhan
lanscaping kampus merupakan arboretum; (4) pertimbangan
kemampuan dalam pemeliharaan. Pemilihan tanaman lebih
ditekankan pada jenis tanaman yang tidak membutuhkan
65
pemeliharaan berat; (5) pertimbangan untuk mendapatkan biji
dan tanamannya; dan (6), pertimbangan keamanan.
Selain tata ruang, lingkungan vegetasi UGM juga ditata
dengan suatu konsepsi tertentu. Berdasarkan penelitian
(Santoso, 2012) dapat disimpulkan bahwa penataan,
pemilihan dan pengelolaan tanaman dan pepohonan di UGM
secara sadar dimaksudkan sebagai satu di antara sejumlah
strategi penguatan jati diri Universitas Gadjah Mada sebagai
universitas perjuangan, universitas nasional, universitas
Pancasila, universitas kerakyatan dan universitas pusat
kebudayaan nasional.
Beberapa temuan menarik antara lain: Pertama,
Pengelompokan tetumbuhan dari barat (Fakultas Teknik
UGM) hingga ke timur (Fakultas Peternakan) menyimbolkan
tetumbuhan nusantara dari Indonesia di bagian barat hingga ke
Indonesia bagian timur. Kedua, pada kawasan utama (kawasan
tengah, dari bunderan sampai hutan UGM) disepakati
merupakan menyimbolkan tetumbuhan Bhinneka Tunggal
Ika dan menggambarkan laku perjalanan seorang pencari
ilmu (dari pohon damar di jalan Pancasila hingga pohon
bodhi dan hutan UGM). Tetumbuhan bhinneka tunggal ini
menggambarkan kehidupan yang warna warni dan beraneka
corak, menimbulkan kesan UGM itu “sri taman” bukan
sekedar “sri gunung”. Sri taman berarti cantik dari kejauhan,
namun juga cantik dari dekat, sementara sri gunung terlihat
cantik bila dari kejauhan namun terlihat jelek dan bopeng-
bopeng bila dilihat dari jarak dekat.
Ketiga, tanaman dan pepohonan yang ditanam di UGM
dimaksudkan selain memiliki fungsi tertentu, tidak semata
bersifat teknis fungsional namun memang dimaksudkan
untuk memuat ajaran moral yang sejalan dengan nilai-nilai
keilmuan, Pancasila, dan kebudayaan Indonesia.
66
Berikut ini uraian singkat tentang beberapa nama
tanaman utama dan maknanya. Urutan penyebutan ini
berdasarkan letak tanaman berawal dari Bunderan, Boulevard,
sebelah timur Grha Sabha Pramana, Gedung Pusat dan hutan
UGM.
1. Damar (Agathis sp) (handamari (jw)) berarti
pemberi cahaya terang. Tanaman ini berfungsi
sebagai pengarah jalan sekaligus bermakna memberi
jalan menuju pencerahan dengan cara menghidupkan
dan menerangi diri sendiri dan orang lain.
2. Bungur (Lagerstroemia speciosa (L) Pers.)
memberi nuansa keindahan yang merupakan nilai
dasar manusiawi yang mencintai keindahan. Pohon
ini adalah pohon yang tumbuh dari bumi Indonesia
sehingga membangkitkan semangat cinta tanah dan
airnya.
3. Beringin (Ficus benajima), yang ditanam di
lapangan Pancasila menyimbolkan jiwa kerakyatan,
pengayoman, dan perlindungan.
4. Sawo kecik (Manilkara kuki) yang ditanam sebagai
tanaman pengarah ke arah Gedung Pusat UGM
mengajarkan tentang hidup yang harus serba baik
(sarwo becik jw).
5. Cemara (Casuarina) yang berjumlah tujuh
atau dikenal dengan sebutan cemara tujuh yang
mengajarkan civitas akademika, terutama begawan
Gadjah Mada harus meneladani sifat begawan yang
tujuh (saptaresi) yaitu: Agastya, Brhigu, Bhargava,
Bharadvaja, Kasyapa, Vasistha, dan Visvamitra.
Dalam ilmu sengkalan, pendeta atau resi mempunyai
watak wilangan 7 karena pendeta menjunjung 7
macam sifat yaitu; jujur, enggan berbuat jahat,
67
enggan menyalahi janji, enggan barang yang tidak
halal, tidak suka pujian, tidak suka pada yang kotor,
dan tidak suka segala macam barang pesolek. Istilah
saptaresi ini juga pernah digunakan untuk menyebut
tujuh tokoh pendiri Faculteit Sastra dan Filsafat yaitu
Prof. Dr. R. Prijana, Prof. Drs. Abdullah Sigit, Prof.
Dr. RM. Ng. Poerbatjaraka, R.D.S. Hadiwidjana, R.J.
Katamsi, Prof. R.Soemadi Soemawidagdo, dan Prof.
Dr. P.J. Zoetmulder (Atmosudiro, Peny., 2008: 4)
6. Preh (ficus ribes reinw) menyimbolkan keharmonian
dengan makhluk sesama makhluk Tuhan, baik yang
kasat mata, maupun tidak kasat mata.
7. Kepel (stelecocarpus burahol) menyimbolkan
kebulatan tekad,
8. Kekeben (baringtonia asiatica) merupakan
simbolisasi dari perdamaian, dan
9. Bodhi (ficus religiosa) menyimbokan pohon
pencerahan.
10. Hutan menyimbolkan rakyat dengan
keanekaragamannya dalam satu kebersamaan.
Nilai-nilai filosofis tersembunyi di balik simbolisasi
penataan tanaman dan pepohonan di UGM adalah bahwa
para pemikir UGM menganut paham bahwa simbol dapat
menampung banyak nilai, makna, pesan dan ajaran moral
tertentu. Simbolisasi tanaman dan pepohonan di Universitas
Gadjah Mada mengambil beberapa aspek, seperti nama,
misalnya nama (misalnya sawo kecik dan damar), warna,
bentuk, ukuran, kegunaan, sifat-sifat yang menonjol dll.
Pemaknaan demikian kiranya juga dianut oleh beberapa
peradaban di dunia (seperti Mesir, India, dan China)
yang memandang tanaman dan pepohonan diakui dapat
dijadikan sarana untuk memuat simbol tertentu. Filsafat yang
68
disimbolkan dalam bentuk tanaman dan pepohonan adalah
filsafat pencerahan dan harmoni. Memadukan berbagai unsur
yang kaya fungsi dan kaya arti, tidak hanya fungsi teknis,
namun juga fungsi etis, estetis, bahkan teologis.
69