Anda di halaman 1dari 39

PEMBAHASAN

TEORI BELAJAR MENURUT AHLI GLENN E SNELBECKER

Teori pembelajaran merupakan suatu integrasi dari seperangkat prinsip yang


menjelaskan tentang pedoman untuk mengatur kondisikondisi dalam mencapai
tujuan-tujuan pendidikan (Snelbecker, 1974). Tokoh-tokoh utama dalam awal
penyusunan teori pembelajaran ini menurut Snelbecker adalah Brunner, Skinner,
Glaser, dan Ausubel.

A. Jerome S Bruner
1. Biografi
Jerome Seymour Bruner dilahirkan pada tanggal 1 Oktober 1915, di
New York City. Untuk orang tua imigrasi Polandia, Herman dan Rose
(Gluckmann). Dia dilahirkan buta dan tidak melihat sampai setelah
dioperasi katarak ketika ia masih seorang bayi. Dia menghadiri sekolah
negeri, lulusan dari sekolah menengah pada tahun 1933, dan memasuki
Duke University dimana dia majored in psychology. Penghasilan yang
digelar AB 1937. Bruner kemudian diikuti tamat belajar di Harvard
University, menerima MA tahun 1939 dan memperoleh Ph.D di
Harvard University tahun 1941. Selama perang Dunia II, dia bertugas
dibawah Jenderal Eiseenhower dalam Psychological Warfare divisi
supreme markas bersekutu Expeditionary Force Eropa. Setelah perang
ia bergabung dengan fakultas di Harvard University pada tahun 1945.
Kontribusi terkemuka psikolog Bruner yang dibuat kepada study
persepsi, pengamatan dan pendidikan (Wikipedia, 2019)

Bruner ketika memasuki bidang psychology, itu kira-kira dibagi antara


ilmu persepsi dan analisis pembelajaran. Yang pertama adalah
mentalistic dan subyektif, sedangkan yang kedua adalah behavioristic
dan objektif. Psikology di Harvard di departemen di dominasi oleh
behaviorist yang mengikuti program penelitian yang disebut
Psychophysics, tampilan yang psikologi adalah ilmu yang indera dan
bagaimana mereka bereaksi terhadap dunia fisik atau tenaga stimuli.
Bruner yang berontak terhadap behaviorisme dan psycophysics dan
bersama-sama dengan leopos, ditetapkan pada rangkaian percobaan
yang akan menyebabkan “New Look” baru teori persepsi. The new
look mengatakan bahwa persepsi adalah bukan sesuatu yang terjadi
segera, seperti yang telah diasumsikan dalam teori lama. Sebaliknya,
persepsi adalah bentuk informasi pengolahan dan interpretasi yang
melibatkan pilihan. Pandangannya adalah bahwa psikologi itu sendiri
harus peduli dengan bagaimana orang melihat dan menafsirkan dunia,
serta bagaimana mereka menanggapi stimuli (Aswer.com)

Walaupun dai banyak kontribusi terhadap akademik psikologi, Bruner


mungkin yang dikenal terbaik untuk karyanya dibidang pendidikan,
sebagian besar dia melakukan itu beberapa tahun dengan pusat study
cognitive. Dia memegang posisi spesies manusia yang telah diambil
dari biaya sendiri evolusi oleh technologically membentuk lingkungan.
Yang lulus pada teknologi ini terlibat dan warisan budaya yang sangat
hidup dari spesies, oleh karena itu pendidikan adlah hal yang paling
penting. Bruner mengakui ia tidak sepenuhnya menghargai pentingnya
ini sampai ia ditarik kedalam perdebatan gripping pendidikan di
Amerika Serikat setelah peluncuran SPUTNIK satelit pertama pada
tahun 1957 oleh Mantan Uni Soviet (Aswer.com)

Pada tahun 1959 Bruner diminta menjadi kepala anggota Nasional


Academy Of Sciences reformasi kurikulum grup yang bertemu di
Woods Hole Dicape Cod. 34 menonjol beberapa ilmuan, cendekiawan
dan pendidik untuk bertemu pokok dari ilmu yang baru untuk Amerika
dari kurikulum sekolah. Meskipun banyak laporan daerah kerja yang
dikeluarkan, tugas menulis laporan ketua jatuh ke Bruner. Hasil akhir
adalah proses pendidikan, yang menjadi terbaik dan akhirnya
diterjemahkan kedalam 19 bahasa.

Bruner pada 3 pertimbangan utama : konsep pikiran sebagai metode


diterapkan untuk tugas misalnya ; satu tidak berfikir tentang fisika,
satu berfikir fisika, pengaruh Jerome Bruner khsusnya pemahaman
anak atas gagasan kontigen pada tingkat operasi dari intelektual dia
telah tercapai dan gagasan struktur pengetahuan yang penting adalah
untuk mempelajari bagaimana sebuah ide atau disiplin diletakkan
bersama-sama. Mungkin unsure yang paling penting diingat adalah
Bruner pernyataan bahwa setiap mata pelajaran dapat diajarkan secara
efektif dalam beberapa bentuk intelektual jujur kepada anak pada
setiap tahap pembangunan (Aswer.com)

Jerome Seymour Bruner adalah salah satu yang paling dikenal dan
berpengaruh psikologi pada abad ke-20. dia adalah salah satu tokoh
kunci dalam apa yang disebut “Revolusi Kognitif” tetapi bidang
pendidikan yang telah ia mempengaruhi terutama dirasakannya buku
proses pendidikan dan menuju sebuah Theory of intrucsi telah bekerja
pada banyak membaca dan menjadi dikenal sebagai klasik dan dia
bekerja pada program study social-man : A course of study
dipertengahan tahun 1960-an di tenggara dalam mengembangkan
kurikulum. Bruner telah dating menggigihkan ‘kognitif revolusi” untuk
melihat dan memiliki bangunan dari budaya psikologi yang mengambil
tepat tentang sejarah dan konteks sosial dari peserta. Beliau bertugas
sebagai professor psikologi di University Harvard Amerika Serikat dan
dilantik sebagai pengarah dipusat pengajaran kognitif dari tahun 1961
hingga 1972, dan memainkan peranan penting dalam struktur projek
Madison di Amerika Serikat. Setelah itu, beliau menjadi seorang
professor psikologi di University Oxford di England (psych.nyu, 2019)
Pada tahun 1962 Jerome S Bruner menjabat sebagai direktur pusat
untuk study konitif, Universitas Harvard. Merekomendasikan
ancangan perkembangan kognitif untuk merancang kurikulum. Seperti
halnya John dewey, Bruner menggambarkan orang yang
berpengetahuan itu sebagai seseorang yang terampil dalam
memecahkan masalah, artinya ialah ia berinteraksi dengan
lingkungannya dalam menguji hipotesa dan menarik generalisasi.
Karena itu, tujuan pendidikan seharusnya ialah perkembangan
INTELEK. Selanjutnya, kurikulum itu seharusnya mendidin
pengembangan dan penyelidikan (inkuiri) dan penemuan (discovery).
(psych.nyu, 2019)

Pada tahun 1972 dipusat study cognitive ditutup, Bruner pindah ke


Inggris ketika sedang ditunjuk Watts professor dari psikologi dan
Fellow diwaltson collage di Oxford University. Dia sekarang datang
penelitian untuk fokus pada pengembangan kognitif pada awal masa
kanak-kanak. Pada tahun 1980 dia kembali ke Amerika Serikat dan
dalam waktu singkat menjabat lagi sampai di Harvard. Pada tahun
1981, dia diangkat ke posisi yang George Herbert mead jabatan aru di
sekolah penelitian social di New York dan direktur new York Institut
untuk insani (Gredler, 1991). Di Amerika psikologi yang telah
berkontribusi psikologi kognitif dan teori belajar kognitif dalam
psikologi pendidikan dan sejarah umum filsafat pendidikan. Saat ini
Bruner sesame senior penelitian di Universitas New York School of
law. Ide Bruner didasarkan pada kategorisasi untuk mengetahui adalah
mengkategorikan, untuk conceptualize adalah mengkategorikan,
belajar adalah untuk membentuk kategori, untuk mengambil keputusan
ini adalah membagikan. Bruner memelihara orang dengan
menginterpretasikan dunia dalam kaitannya dengan persamaan dan
perbedaan seperti Bloom taksonomi, Bruner menunjukkan system
coding dimana orang membentuk susunan hirarkis terkait kategori.
Berturut-turut masing-masing kategori tingkat tinggi menjadi lebih
spesifik, echoding bloom’s pemahaman pengetahuan akuisisi serta
terkait idea instruksional (psych.nyu, 2019)

Sebagai salah satu tokoh ahli psikologi, Jerome S Bruner menulis


banyak buku dan sejumlah artikel, berikut ini adalah buku-buku karya
Jerome S Bruner antara lain :
1. Jerome Bruner, The Culture Of Education, Combaridge : Harvard
University Press, 1996.
2. Jerome Bruner, Acts Of Meaning, Combaridge : Harvard
University Press, 1991.
3. Jerome Bruner, Actual Minds Possible Worlds, Combaridge :
Harvard University Press, 1987.
4. Jerome Bruner, The Proses Of Education, New York : Harvard
University Press, 1960.
5. Jerome Bruner, Toward a Theory Of Intruction, Combaridge :
Harvard University Press, 1987.
6. Jerome Bruner, A Study Of Thinking, 1956.
7. Jerome Bruner, Studies In Cognitive Growth, 1966.
8. Jerome Bruner, Processe Of Cognitive Growth : Infancy, 1968.
9. Jerome Bruner, Beyond The Information Given, 1973.
10. Jerome Bruner, On Knowing : Essays For The Left Hand, Harvard
University Press, 1979.
11. Jerome Bruner, Child’s Talk : Learning To Use Language, 1983.
12. Jerome Bruner, The Mind Of A Mnemonist : A Little Book About
A Vast Memory, Harvard University Press, 1987.
13. Jerome Bruner, Minding The Law, Harvard University Press, 2000.
14. Jerome Bruner, Making Stories : Law, Literature, Life, Harvard
University Press, 1996.
15. Bruner, J.S & Goodman, C.C (1947). Value and Need as
Organizing Factors in Perception. Journal of Abnormal Social
Psychology, 42,33-44. Available Online At The Classics In The
History Of Psychology Archive.
16. Bruner, J.S. & Postman, L. (1947) Tension and tension release as
organizing factors in reception. Journal Of Personality, 15, 300-
308.
17. Bruner, J.S. & Postman, L (1949) On The Perception Of
Incongruity : A Paradigm Journal Of Personality, 18,206-223.
Available Online At The Classics In The History Of Psychology
Arcive.
18. Wood, O, Bruner, J.,& Ross, G(1976). The Role Of Tutoring In
Problem Solving. Journal Of Child Psychology And Psychiatery,
17, 89-100. (Addresses The Concept Of Instructional Scaffolding)
(Wikipedia, 2019)

2. Pembelajaran Jerome S Bruner


Pendekatan psikologi kognitif dalam teori pengajaran dipelopori oleh
Jerome Bruner (1915-) seorang ahli psikologi belajar dan psikologi
perkembangan. Bruner banyak melakukan penelitian psikologi
terutama mengenai persepsi, motivasi, belajar dan berpikir. Bruner
menganggap manusia sebagi pengolah informasi, pemikir dan
pencipta. Mahaguru Universitas Harvard ini pernah mendirikan pusat
penelitian untuk mempelajari kognitif dan juga menjadi pimpinannya.
Penelitian dan ide-idenya dipengaruhi oleh Piaget terutama mengenai
perkembangan kognitif manusia. Ia juga memperluas kontribusi
psikologi dengan mengintegrasikan pengetahuan dari berbagai bidang
seperti Biologi, Antropologi, Sosiologi, Linguistik, Filsafat dan lain-
lain. Sungguhpun demikian ia mengakui bahwa pikiran-pikirannya
berkat sumbangan dari banyak pemikir. Sumbangan itulah yang juga
menolong pola berpikirnya. Ia sangat menaruh perhatian kepada;
Apakah yang diperbuat manusia dengan informasi yang diterimanya
dan bagaimana mereka menggunakan informasi untuk mencapai
pengertian umum atau pemahaman kemampuannya.

Bruner mengatakan bahwa belajar terjadi lebih ditentukan oleh


cara seseorang mengaturpesan atau informasi dan bukan ditentukan
oleh umur. Asumsi teori ini adalah bahwa setiap orang telah memiliki
pengetahuan dan pengalaman yang telah tertata dalam bentuk struktur
kognitif yang telah dimilikinya. Proses belajar akan berjalan dengan
baik jika materi pelajaran atau informasi baru beradaptasi dengan
struktur kognitif yang dimilikinya. Proses belajar akan berjalan dengan
baik jika materi pelajaran atau informasi baru beradaptasi dengan
struktur kognitif yang telah dimiliki dan telah terbentuk didalam
pikiran seseorang berdasarkan pemahaman dan pengalaman-
pengalaman sebelumnya (Budiningsih, 2005)

Bruner berpendapat bahwa pengajaran dapat dianggap sebagai :


a. hakikat seseorang sebagai pengenal
b. hakekat dari pengetahuan, dan
c. hakekat dari proses mendapatkan pengetahuan.
Manusia sebagai makhluk yang paling mulia diantara makhluk-
makhluk lain memiliki dua kekuatan yakni akal pikirannya dan
kemampuan berbahasa. Dengan dua kemampuan tersebut maka
manusia dapat mengembangkan kemampuan yang ada padanya.
Dorongan dan hasrat ingin mengenal dan mengetahui dunia dan
lingkungan alamnya menyebabkan manusia mempunyai kebudayaan
dalam bentuk konsepsi, gagasan, pengetahuan, maupun karya-
karyanya.

Kemampuan yang ada dalam dirinya mendorongnya untuk


mengekspresikan apa yang telah dimilikinya.
Kondisi dan karakteristik tersebut hendaknya melandasi atau dijadikan
dasar dalam mengembangkan proses pengajaran. Dengan demikian
guru harus memandang siswa sebagai individu yang aktif dan
memiliki hasrat untuk mengetahui lingkungan dan dunianya bukan
semata- mata makhluk pasif menerima apa adanya.
Selanjutnya bruner berpendapat bahwa teori pengajaran harus
mencakup lima aspek utama yakni:
a. Pengalaman optimal untuk mempengaruhi siswa belajar
Bruner melihat bahwa ada semacam kebutuhan untuk mengubah
praktek mengajar sebagai proses mendapatkan pengetahuan untuk
membentuk pola-pola pemikiran manusia. Kefektifan belajar tidak
hanya mempelajari bahan-bahan pengajaran tetapi juga belajar
berbagai cara bagaimana memperoleh informasi dan memecahkan
masalah. Oleh sebab itu diskusi, problem solving, seminar akan
memperkaya pengalaman siswa dan mempengaruhi cara belajar.
b. struktur pengetahuan untuk membentuk pengetahuan yang
optimal. Tujuan terakhir dari pengajaran berbagai mata pelajaran
adalah pemahaman terhadap struktur pengetahuan. Mengerti
struktur pengetahuan adalah memahami aspe-aspeknya dalam
berbagai hal dengan penuh pengertian. Tugas guru adalah member
siswa pengertian tentang struktur pengetahuan dengan berbagai
cara sehingga mereka dapat membedakan informasi yang berarti
dan yang tidak berarti.
c. Spesifikasi mengurutkan penyajian bahkan pelajaran untuk
dipelajari siswa.
Mengurutkan bahan pengajaran agar dapat dipelajari siswa
hendaknya mempertimbangkan criteria sebagi berikut; kecepatan
belajar, daya tahan untuk mengingat, transfer bahwa yang telah
dipelajari kepada situasi baru, bentuk penyajian mengekspresikan
bahan-bahan yang telah dipelajari, apa yang telah dipelajarinya
mempunyai nilai ekonomis, apa yang telah dipelajari memilii
kemampuan untuk mengembangkan pengetahuan baru dan
menyusun hipotesis.
d. Peranan sukses dan gagal serta hakekat ganjaran dan hukuman
Ada dua alternative yang mungkin dicapai siswa manakala
dihadapkan dengan tugas-tugas belajar yakni sukses dan gagal.
Sedangkan dua alternative yang digunakan untuk mendorong
perbuatan belajar adalah ganjaran dan hukuman. Ganjaran
penggunaannya dikaitkan dengan keberhasilan (sukses) hukuman
dikaitkan dengan kegagalan.
e. Prosedur untuk merangsang berpikir siswa dalam lingkungn
sekolah
Pengajaran hendaknya diarahkan kepada proses menarik
kesimpulan dari data yang dapat dipercaya ke dalam suatu
hipotesis kemudian menguji hipotesis dengan data lebih lanjut
untuk kemudian menarik kesimpulan-kesimpulan sehingga siswa
diajak dan diarahkan kepada pemecahan masalah. Ini berarti
belajar pemecahan masalah harus dikembangkan disekolah agar
para siswa memiliki ketrampilan bagaimana mereka belajar yang
sebenarnya. Melaui metode pemecahan masalah akan merangsang
berpikir siswa dalam pengertian luas mencakup proses mencari
informasi, menggunakan informasi, memanfaatkan informasi
untuk masalah pemecahan lebih lanjut.

Teori belajar kognitif lebih mementingkan proses belajar dari pada


hasil belajarnya. Para penganut aliran kognitif mengatakan bahwa
belajar tidak sekedar melibatkan hubungan antara stimulus dan respon.
Namun lebih dari itu, belajar melibatkan proses berfikir yang sangat
kompleks (Hamzah, 2006). Model belajar kognitif merupakan suatu
bentuk teori belajar yang sering disebut sebagai model perceptual.
Model belajar kognitif mengatakan bahwa tingkah laku seseorang
ditentukan oleh persepsi serta pemahaman yang tidak selalu dapat
terlihat sebagai tingkah laku yang nampak (Bruner, 1949)

Takaya berargumen bahwa, pada kenyataannya ada perubahan


signifikan dalam pandangan Bruner. Kunci untuk memahami
perubahan dalam teori Bruner adalah konsep budayanya. Singkatnya,
pandangannya sebelumnya menyiratkan logika transmisi budaya.
Budaya mewakili konten pendidikan yang akan ditransmisikan kepada
siswa, dan masalah utama untuk teori kurikulum adalah menemukan
bagian paling berharga dari budaya yang akan meningkatkan kapasitas
kognitif individu dan untuk mencari cara yang efektif untuk
mengkomunikasikan konten kepada siswa (Takaya, 2008)

Akan tetapi teori ini tidak berlaku di pendidikan jepang seperti


yang kemukakan oleh Koji (2017) ia mempertimbangkan keadaan teori
atau praktik pendidikan di Jepang,dan hasilnya bahwa teori pendidikan
Bruner tidak cukup dipahami dan tidak tercermin dalam praktik
mengajar di Jepang. Kemajuan sains kognitif dan pembelajaran aktif
saat ini menuntut kita untuk belajar dari teori-teori pendidikannya,
yang akan membawa kehormatan besar bagi kehidupan dan
pekerjaannya (Koji, 2017)

Bruner memandang motivasi sebagai kekuatan internal dalam


proses belajar. Belajar adalah tujuan langsung, proses mengalami,
menemukan pengetahuan. Pandangan lain Bruner yang patut
diketengahkan adalah dunia model. Ia mengkonstruksi dunia luar
dalam bentuk dunia model. Melalui model memungkinkan seseorang
meramalkan dan melakukan intrapolasi dan ekstrapolasi pengetahuan
lebih lanjut. Intrapolasi adalah mencari posisi melalui penerapan
pengetahuan baru, sedangkan ekstrapolasi mencari bentuk lain dari
informasi yang diberikan. Pengetahuan bukan semata-mata refleksi
pesan dari luar tapi juga sebuah ide (konstruksi model) yang dapat
menjelaskan gejala dan peristiwadunia luar. Menurut model adalah
pengharapan (ekspektasi) yang keberadaannyamerupakan refleksi
kecenderungan dari pengalaman-pengalaman yang telah terorganisisr.
Bahasa, cerita, teori, pesan, diagram dan lain-lain adalah contoh dari
dunia model yang dibawa kedalam berbagai bentuk dan perbuatan
manusia (Sudjana, 1991)

Hakekat belajar menurut teori kognitif dijelaskan sebagai suatu


aktivitas belajar yang berkaitan dengan penataan informasi,
reorganisasi perseptualndan proses internal. Kegiatana pembelajaran
yang berpijak pada teori belajar kognitif itu sudah banyak digunakan.
Dalam merumuskan tujuan pembelajaran, mengembangkan strategi
dan tujuan pembelajaran, tidak lagi mekanistik sebagaimana yang
dilakukan dalam pendekatan behavioristik. Kebebasan dan
keterlibatan siswa secara aktif dalam proses belajar amat
diperhitungkan, agar belajar lebih bermakna bagi siswa, sedangkan
kegiatan belajarnya mengikuti pembelajarannya mengikuti prinsip-
prinsip sebagai berikut :
1. Siswa bukan sebagai orang dewasa yang mudah dalam proses
berpikirnya, mereka mengalami perkembangan kognitif melalui
tahap-tahap tertentu
2. Anak usia sekolah dan awal sekolah dasar akan dapat belajar
dengan baik, terutama jika menggunakan benda-benda kognitif.
3. Keterlibatan siswa secara aktif dalam belajar amat dipentingkan,
karena hanya dengan mengaktifkan siswa maka proses asimilasi
dan akomodasi pengetahuan dan pengalaman dapat terjadi dengan
baik.
4. Untuk menarik minat dan meningkatkan retensi belajar perlu
mengkaitkan pengalaman atau informasi baru dengan struktur
kognitif yang telah dimiliki si belajar.
5. Pemahaman dan retensi akan meningkat jika materi pelajaran
disusun dengan menggunakan pola atau logika tertentu, dari
sederhana ke kompleks.
6. Belajar memahami akan lebih bermakna dari pada belajar
menghafal. Agar bermakna, informasi baru harus disesuaikan dan
dihubungkan dengan pengetahuan yang telah dimiliki siswa.
Tugas guru adalah menunjukkan hubungan antara apa yang
sedang dipelajari dengan apa yang telah diketahui siswa.
7. Adanya perbedaan individual pada diri siswa perlu diperhatikan,
karena factor ini sangat mempengaruhi keberhasilan belajar siswa.
Perbedaan tersebut misalnya, pada motivasi, persepsi, kemampuan
berpikir, pengetahuan awal dan sebagainya.
Dengan demikian, Bruner lebih banyak memberikaan kebebasan
kepada siswa untuk belajar sendiri melalui aktivitas menemukan
(discovery). Cara demikian akan mengarahkan siswa kepada bentuk
belajar induktif, yang menuntut banyak dilakukan pengulangan
(Budiningsih, 2004)

Langkah-Langkah Pembelajaran Perspektif Jerome S Bruner sebagai


berikut :
1. Menentukan tujuan-tujuan pembelajaran.
2. Melakukan identifikasi karakteristik siswa (kemampuan awal,
minat, gaya belajar dan sebagainya).
3. Memilih materi pelajaran.
4. Menentukan topic-topik yang dapat dipelajari siswa secara
induktif (dari contoh-contoh ke generalisasi).
5. Mengembangkan bahan-bahan belajar yang berupa contoh-contoh,
ilustrasi, tugas dan sebagainya untuk dipelajari siswa.
6. Mengatur topic-topik pelajaran dari yang sederhana ke kompleks,
dari yang konkret ke abstrak, atau dari tahap enaklit, ikonik
sampai ke simbolik.
7. Mengevaluasi proses dan hasil belajar siswa (Budiningsih, 2004)

Contoh penerapan dari teori Bunner adalah pada Pembelajaran


matematika. Kebanyakan pembelajaran matematika yang diajarkan
dengan model pembelajaran konvensional kurang menarik minat dan
perhatian siswa, sehingga sebagian besar siswa menganggap pelajaran
matematika merupakan pelajaran yang sulit. Akibat kurangnya minat
dan perhatian siswa pada pembelajaran matematika, membuat prestasi
belajar siswa kurang memuaskan (Lestari, 2010)

Rendahnya hasil belajar tersebut diduga akibat penyampaian


materi oleh guru dalam proses pembelajaran terlalu abstrak. Upaya
telah dilakukan untuk mengatasi masalah diatas, adalah menerapkan
teori Bruner pada pembelajaran simetri lipat bangun datar agar terjadi
peningkatan hasil belajar siswa, sehingga tujuan pembelajaran dapat
tercapai (Lestari, 2010). Untuk mengatasi masalah yang dipaparkan di
atas maka teori Bruner dianggap tepat untuk diterapkan khususnya
pada pembelajaran simetri lipat. Penerapan teori Bruner dalam
pembelajaran dapat menjadikan siswa lebih mudah dibimbing dan
diarahkan. Adapun tahapan dalam teori Bruner sebagai berikut:
Menurut Bruner perkembangan kognitif seseorang terjadi melalui tiga
mode representasi, yaitu :
1. Mode representasi enaktif (enactive mode of representation)
pertumbuhan intelektualnya ditandai oleh aktivitas atau tindakan.
ini, anak belajar untuk mengalami dunia melalui kontak langsung
dengan lingkungan sekitarnya.
2. Mode representasi ikonik (iconic mode of representation)
yang baru ini, anak menggunakan semacam ikon atau gambaran
mental tentang objek untuk mendapatkan pengetahuan dan untuk
meningkatkan pemahamannya (Neil, 2009) mengenai dunia
Maksudnya, dalam memahami dunia sekitarnya anak belajar
melalui bentuk perumpamaan dan perbandingan (Budiningsih,
2005)
3. Mode representasi simbolik (symbolic mode of representation).
Dalam mode ini, anak merumuskan system simbolis yang paling
efisien, yakni bahasa. Bahasa merupakan sarana yang luwes dan
adaptif dan anak menggunakannya untuk memahami dan
mengorganisasikan pola-pola pemikiran (Neil, 2009)

Bruner (Pitajeng, 2006) berpendapat bahwa “belajar matematika


adalah belajar tentang konsep-konsep dan struktur-struktur matematika
yang terdapat di dalam materi yang dipelajari serta mencari hubungan-
hubungan antara konsep-konsep dan struktur-struktur matematika”.
Siswa harus menemukan keteraturan dengan cara mengutak-atik
benda-benda yang berhubungan dengan keteraturan intuitif yang sudah
dimiliki siswa. Dengan demikian siswa dalam belajar, harus terlibat
aktif mentalnya. Ini menunjukkan bahwa materi yang mempunyai
suatu pola atau struktur tertentu akan lebih mudah dipahami dan
diingat siswa. Dalam hubungannya dengan pelajaran simetri lipat,
bruner menyatakan bahwa cara terbaik bagi siswa untuk mulai belajar
konsep dan prinsip di dalam simetri lipat adalah dengan
mengkonstruksikan sendiri konsep dan prinsip tersebut

B. Burrhus Frederic Skinner


1. Biografi
Burrhus Frederic Skinner lahir pada 20 Mei 1904 di Susquwhanna
Pennsylvania, Amerika Serikat. Masa kanak-kanaknya dilalui dengan
kehidupan yang penuh dengan kehangatan namun cukup ketat dalam
disiplin. Ayahnya adalah pengacara yang menjadi General Counsel di
sebuah perusahaan batu bara besar, dan ibunya adalah seorang ibu
rumah tangga biasa. Kakek dari ayahnya berimigrasi dari Inggris
menuju Amerika Serikat, Skinner juga menunjukan minta seni dan
intelektual yang besar dengan kecendungan kuat pada seni sastra.
Ketika di Hamilton Collgge Skinner mempelajari sastra modern dan
kelasik, menulis puisi, berlatih musik, menjadi pelukis, dan pemain
saksofon yang handal. Skinner meraih sarjana muda di Hamilton
Collega, New York, dalam bidang sastra Inggris, pada tahun 1928.
Pada saat telah lulus dari Hamilton College Skinner menjadi penulis
meskipun ayahnya mendesak agar Skinner meninggalkan karir yang
menurut ayahnya tidak memberikan sesuap nasi. Pada awalnya
Skinner tetap bersikeras dengan karirnya itu, namun pada akhirnya,
setahun setelah menjalani itu ia pun memutuskan menuntut ilmu di
Harvard dan mengikuti program graduate untuk psikologi yang sulit
dipelajarinya ketika di college (Palmer, 2003).
Singkat cerita Skiner mulai memasuki kuliah psikologi di Universitas
Hardvard dengan menghususkan diri pada bidang tingkah laku hewan
dan meraih doktor pada tahun 1931. Dari tahun 1931 hingga 1936
Skiner berkerja di Hardvard. Penelitian yang dilakukannya difokuskan
pada penelitian mengenai system saraf hewan. Pada tahun 1936-1945
ia mengajar di Universitas Mingoesta. Bidang Psikologi yang didalami
oleh Skinner adalah analisis ekperimental atas tingkah laku. Skinner
melakukan penyelidikan terutama pada organisme infrahuman,
biasanya tikus atau merpati (Baharudin dan Nur Wahyuni, 2008), ia
juga dikenal sebagai tokoh behavioris dengan pendekatan model
instruksi langsung dan meyakini bahwa prilaku dikontrol melalui
proses operant conditioning (Sugihartono, 2007: 97).

2. Teori pembelajaran Skinner


Skinner, tanpa diragukan lagi, adalah salah satu tokoh paling dominan
dalam pengembangan Modifikasi Perilaku dan Terapi Perilaku.
Pekerjaan Skinners sangat penting untuk pengembangan Modifikasi
Perilaku dan Terapi Perilaku (Labrador, 2004)
Studi Skinner tentang pembelajaran berpusat pada tingkah laku dan
konsekuensi-konsekuensinya (Sagala, 2009: 16). Menurut Gredler
sebagaimanayang dikutip oleh Baharudin dan Nur Wahyuni, Skinner
mendefinisikan belajar sebagai proses perubahan perilaku. Perubahan
perilaku yang dicapai sebagai hasil belajar tersebut melalui proses
penguatan perilaku baru yang muncul yaknioperant conditioning
(kondisioning operan) (Baharudin dan Wahyuni, 2008: 6768). Operant
conditioning atau pengkondisian suatu operant yang dapat
mengakibatkan prilaku tersebut terulang kembali atau menghilang
sesuai dengan keinginan (Sugihartono, 2007: 97).

Dari eksperimen yang dilakukan B.F. Skinner terhadap tikus dan


selanjutnya terhadap burung merpati menghasilkan hukum-hukum
belajar, diantaranya:
1. Law of operant conditining
yaitu jika timbulnya perilaku diiringi dengan stimulus penguat,
maka kekuatan perilaku tersebut akan meningkat.
2. Law of operant extinction
yaitu jika timbulnya perilaku operant telah diperkuat melalui
proses conditioning itu tidak diiringi stimulus penguat, maka
kekuatanperilaku tersebut akan menurun bahkan musnah.
(Baharudin dan Nur Wahyuni, 2008). Menurut Skinner
sebagaimana dikutip oleh Saiful Sagala, dalam belajar ditemukan
hal-hal berikut: Pertama. kesempatan terjadinya peristiwa yang
menimbulkan respon belajar. Kedua, respon si pelajar. Ketiga,
konsekuensi yangbersifat menggunakan respon tersebut, baik
konsekuensinya sebagai hadiah maupun teguran atau hukuman
(Sagala, 2009).

Sebagaimana yang dikutip oleh Sumadi Suryabrata, Skinner


membedakan adanya dua macam respons, yaitu:
a. Respondent Response (reflexive response), yaitu respon yang
ditimbulkan oleh perangsang-perangsang tertentu. Perangsang-
perangsang yang demikian itu yang disebut eliciting stimuli,
menimbulkan respon-respon yang secara relatif tetap, misalnya
makanan yang menimbulkan keluarnya air liur. Pada
umumnya, perangsang-perangsang yang demikian itu
mendahului respons yang ditimbulkannya.
b. Operant Responsen (instrumental response), yaitu respon yang
timbul dan berkembangnya diikuti oleh perangsang-perangsang
tertentu. Perangsang yang demikian itu disebut reinforcing
stimuli atau reinforcer, karena perangsang-perangsang tersebut
memperkuat respons yang telah dilakukan oleh organisme.
Jadi, perangsang yang demikian itu mengikuti (dankarenanya
memperkuat) sesuatu tingkah laku tertentu yang telah
dilakukan. Jika seorang belajar (telah melakukan perbuatan),
lalu mendapat hadiah, maka dia akan menjadi lebih giat belajar
(responsnya menjadi lebih intensif/kuat) (Suryabrata, 2007:
271-272).

Dalam pengkondisian operant, stimulus-stimulus tertentu bisa


mempengaruhi kemungkinan munculnya respon operant, tanpa
harus ia menjadi “penyebab” munculnya respon tersebut (Seifert,
2010: 31). Dalam pengkondisian operant, perilaku yang
meningkatkan frekuensinya seringkali disebut dengan operant, hal
ini agaknya disebabkan karena perilaku tersebut “mengoperasikan”
atau dalam kata lain menghasilkan, konsekuensinya (Seifert, 2010:
32). Dengan kata lain operant adalah perilaku yang diperkuat jika
akibatnya menyenangkan. Operant merupakan tingkah laku yang
ditimbulkan oleh organisme itu sendiri. Operant belum tentu
didahului oleh stimulus dari luar. Operant conditioning telah
terbentuk bila dalam frekuensi tingkah laku operant yang
bertambah atau bila timbul tingkah laku operant yang tidak tampak
sebelumnya. Frekuensi terjadinya tingkah laku operant ditentukan
oleh akibat dari tingkah laku itu sendiri (Djiwandono, 2008: 132).

Yang menentukan apakah operant tertentu akan terjadi atau


tidaknya adalah stimulus, stimulus ini memliki pengaruh melalui
proses dikriminasi. Jika suatu operant dikuatkan dengan hadirnya
suatu stimulus namun tidak dikuatkan ketika stimulus yang hadir
berbeda, kecenderungan untuk merespon stimulus kedua ketika
dihadirkan secara bertahap akan mengalami ekstingsi, dan
diskriminasipun akan terbentuk (Hill, 2011: 103-104).
Diskriminasi itu sendiri adalah belajar memberikan respon terhadap
suatu stimulus dan tidak memberikan respon terhadap stimulus
lain, walaupun stimulus itu berhubungan dengan stimulus pertama,
atau dengan menggunakan tanda-tanda atau informasi untuk
mengetahui kapan tingkah laku akan direinforced. Belajar adalah
menguasai suatu bahan dan diskriminasi yang lebih kompleks
(Djiwandono, 2008: 137). Contoh, semua huruf, angka, kata-kata,
adalah diskriminasi stimuli. Seorang anak kecil belajar
mendiskriminasikan huru B dan D.

Dasar operant conditioning dalam pengajaran adalah untuk


memastikan respon terhadap stimuli. Guru berperan penting di
kelas, dengan mengontrol langsung kegiatan belajar siswa,
pertama-tama yang harus dilakukan adalah menentukan logika
yang penting agar menyampaikan materi pelajaran dengan langkah-
langkah yang pendekatan kemudian mencoba untuk memberikan
reinforcement segera setalah siswa memberikan respon
(Djiwandono, 2008: 135).
Penguat berarti memperkuat, dalam penguat positif, frekuensi
respon meningkat karena diikuti dengan stimulus yang mendukung
(rewarding). Contoh, komentar guru meningkatkan perilaku
menulis murid, atau memuji orang tua yang mau hadir dalam rapat
orang tua dan guru mungkin akan mendorong mereka untuk kelak
ikut rapat lgi. Sedangkan dalam penguat negatif, frekuensi respon
meningkat karena diikuti dengan penghilangan stimulus yang
merugikan (tidak menyenangkan). Contoh, ayah mengomeli
anaknya agar mau mengerjakan PR, dia terus mengomel, akhirnya
anak itu mendengarkan omelan dan mengerjakan PR nya. Respon
anak (mengerjakan PR) menghilangkan stimulus yang tidak
menyenangkan (omelan) (Santrock, 2008: 273).

Agar mempermudah pemahaman kita terhadap pengondisian


operan itu, menulis mengutip mekanismenya dari Mark K. Smith
dkk, diantaranya: Pertama, penguatan atau imbalan positif: Respon
yang diberikan imbalan kemungkinan akan diulang. Kedua,
penguatan negatif: Respons yang membuat lari dari rasa sakit atau
situasi situasi yang tidak diharapkan kemungkinan akan diulangi.
Ketiga, penghentian atau tidak ada penguat: Respons yang tidak
diperkuat kemungkinan tidak akan diulangi (Smith dkk., 2009: 82).
(mengabaikan perilaku yang buruk seharusnya menghentikan
perbuatan tersebut).

Ada enam asumsi yang membentuk landasan untuk kondisioning


operan. Asumsi-asumsi itu adalah sebagai berikut: 1). Belajar itu
adalah tingkah laku. 2).
Perubahan tingkah laku (belajar) secara fungsional berkaitan
dengan adanya perubahan dalam kejadian-kejadian di lingkungan
kondisi-kondisi lingkungan. 3). Hubungan yang berhukum antara
tingkah laku dan lingkungan hanya dapat di tentukan kalau sifat-
sifat tingkah laku dan kondisi eksperimennya di definisikan
menurut fisiknya dan di observasi di bawah kondisi-kondisi yang di
kontrol secara seksama. 4). Data dari studi eksperimental tingkah
laku merupakan satu-satunya sumber informasi yang dapat diterima
tentang penyebab terjadinya tingkah laku. 5). Tingkah laku
organisme secara individual merupakan sumber data yang cocok.
6). Dinamika interaksi organisme dengan lingkungan itu sama
untuk semua jenismahkluk hidup (Gredler, 1994: 122).

Materi belajar harus disampaikan kepada anak didik secara


bertahap dengan mepertimbangkan tingkat kesulitan dan jarak dari
satu item ke item lain. Anak didik dipacu untuk menghadapi materi
pelajaran dengan harus menjawab pertanyaan-pertanyaan dan
konfrontasi dengan kualitas jawaban karena mesin akan secara
otomatis akan mengevaluasi reaksinya. Pemerograman ini dapat
mengetahui apakah anak didik diarahkan ke jalur yang berbeda
melalui materi pelajaran, tergantung jawaban mereka, dengan
demikian anak didik yang memberikan jawaban salah dapat
dikembalikan ketingkat yang lebih dasar, sebaliknya pelajaran yang
konsisten memberikan jawaban benar diperbolehkan meninggalkan
materi pelajaran tersebut (Husen, 2003: 111).

Skinner memandang reward (hadiah) atau reinforcement


(penguatan) sebagai unsur yang paling penting dalam proses
belajar. Kita cenderung untuk belajar suatu respon jika diikuti oleh
reinforcement (penguat). Skinner lebih memilih istilah
reinforcement dari pada reward, ini dikarenakan reward
diinterpretasikan sebagai tingkah laku subjektif yang dihubungkan
dengan kesenangan, sedangkan reinforcement adalah istilah yang
netral.
Penemuan Skinner memusatkan hubungan tingkah laku dengan
konsekuen (Djiwandono, 2008: 131). Contoh, jika tingkah laku
individu segara diikuti oleh konsekuensi menyenangkan, maka
individu tersebut akan menggunakan tingkah laku itu lagi sesering
mungkin. Untuk penguat itu sendiri seringkali berbentuk
penghargaan non-fisik, seperti; pujian dsb (Seifert, 2010: 34).
Penguatan (reinforcement) itu sendiri dibagi menjadi dua,
penguatan positif dan penguatan negatif. Penguat positif adalah
ransangan yang memperkuat atau mendorong suatu tindak balas.
Sedangkan penguatan negatif ialah penguatan yang mendorong
individu untuk menghindari suatu tindakan balas tertentu yang
tidak memuaskan (Suprijono, 2011: 21).

Skinner sejalan dengan Bruner tentang perlunya teori pembelajaran


khusus, menghendaki penelitian langsung atas proses
pembelajaran. Dengan memakai pendekatan induktif berupa
analisis langsung atas metode pembelajaran, akan dapat disusun
teori pembelajaran. Budiningsih (2008:20), sesuai dengan teori
belajar behavioristik, belajar adalah perubahan tingkah laku
sebagai akibat dari adanya interaksi antara stimulus dan respon.
Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika ia dapat
menunjukkan perubahan tingkah lakunya. Hal yang terpenting
adalah masukan berupa stimulus dan keluaran yang berupa
respons. Selain itu faktor lain yang penting adalah penguatan
(reinforcement), yang merupakan suatu bentuk stimulus yang
penting diberikan atau dihilangkan untuk memungkinkan
terjadinya respon.

Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran tergantung


dari beberapa hal seperti: tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran,
karakteristik pebelajar, media dan fasilitas pembelajaran yang
tersedia. Pembelajaran yang dirancang dan berpijak pada teori
behavioristik memandang bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti,
tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi,
sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar
adalah memindahkan pengetahuan ke orang yang belajar atau
pebelajar. Fungsi mind atau pikiran adalah untuk menjiplak struktur
pengetahuan yag sudah ada melalui proses berpikir yang dapat
dianalisis dan dipilah, sehingga makna yang dihasilkan dari proses
berpikir seperti ini ditentukan oleh karakteristik struktur pengetahuan
tersebut. Pebelajar diharapkan akan memiliki pemahaman yang sama
terhadap pengetahuan yang diajarkan. Artinya, apa yang dipahami
oleh pengajar atau guru itulah yang harus dipahami oleh siswa.

Sebagaimana telah pemakalah paparkan di paragraf sebelumnya,


bahwa Skinner setuju dengan rewad atau dalam bahasanya
reinforcement, namun Skinner berbeda dengan pendukung
behavioristik lainnya, ia tidak setuju dengan hukuman, Skinner lebih
percaya dengan apa yang disebutnya dengan penguat negatif. Penguat
negatif tidak sama dengan hukuman. Ketidaksamaanya terletak bila
hukuman harus diberikan (sebagai stimulus) agar respon akan muncul
berbeda dengan respon yang sudah ada, sedangkan penguat negatif
(sebagai stimulus) harus dikurangi agar respon yang sama menjadi
semakin kuat. Hukuman terkadang menghalangi perilaku positif dari
objek yang mendapat hukuman (Seifert, 2010). Penerapan prinsip
pengkondisian operant, dengan tidak adanya hukuman dalam
pendidikan bukan berarti ia mengajarkan pendidikan bebas, akan
tetapi ia menekankan bahwa sangsi atau hukuman justru melahirkan
perilaku-perilaku yang tidak diharapkan. (Husen, 2003). Penguat
negatif tidak sama dengan hukuman, ketidak samaannya terletak pada
bila hukuman harus diberikan (sebagai stimulus) harus dikurangi agar
respon yang sama semakin kuat.
Sebagaimana yang diungkapkan oleh C. Asri Budiningsih, ada
beberapa alasan mengapa Skinner tidak setuju dengan hukuman:
a. Pengaruh hukuman terhadap perubahan tingkah laku bersifat
sangat sementara.
b. Dampak psikologis yang buruk mungkin akan terkondisi
(menjadi bagian dari jiwa si terhukum) bila hukuman
berlangsung lama.
c. Hukuman mendorong si terhukum mencari cara lain
(meskipun salah dan buruk) agar ia terbebas dari hukuman.
Dengan kata lain, hukuman dapat mendorong si terhukum
melakukan hal-hal lain yang kadang kala lebih buruk dari pada
kesalahan yang diperbuatnya (Budiningsih, 2005).

Menurut Skinner hukuman yang baik (operant negative) adalah anak


merasakan sendiri konsekuensi dari perbuatannya, misalnya anak
perlu mengalami sendiri kesalahan dan merasakan akibat dari
kesalahan. Penggunaan hukuman verbal maupun fisik seperti: kata-
kata kasar, ejekan, cubitan, jeweran justru akan berakibat buruk bagi
siswa (Sugihartono dkk.,2007: 99) Satu hal yang perlu dicatat
mengenai penguat, yang positif maupun yang negatif, bahwasany
keduanya bisa dikondisikan (Hill, 2011)

Untuk membuat penguatan positif, intervensi yang efektif dapat


diterapkan berdasarkan pedoman di bawah ini:
1. Penguatan perlu disampaikan berulang kali, berdasarkan program
penguatan yang direncanakan.
2. Penguatan harus disampaikan dengan cepat kepada siswa agar
tidak kehilangan efeknya. Dan jika ada kebutuhan harus
menggunakan penguatan verbal kepada siswa untuk
memberitahunya ketika dia membutuhkan penguatan lain.
3. Jika penguatan meningkat, guru tidak harus menunggu siswa yang
sempurna untuk penguatan khusus itu. Kapan saja
4. Guru melihat peningkatan yang dia harus mendorong siswa dan
jangan menunggu siswa yang sempurna dan perilaku sempurna.
5. Guru seharusnya tidak menggunakan penguat ketika dia merasa
kasihan kepada siswa. Jika seorang siswa tidak dapat
menunjukkan peningkatan Anda harus memberinya kesempatan
lagi untuk mencoba waktu berikutnya.
6. Sebisa mungkin Anda dapat menggunakan pertandingan
penguatan sosial untuk kegiatan penguatan lainnya. Dan gunakan
secara verbal bala bantuan. Anda harus bisa mengucapkan terima
kasih kepada seseorang dengan mudah dan mendorong
kemampuan mereka jika mereka juga tidak cukup sempurna.
7. Seharusnya tidak ada ambiguitas dalam dukungan sosial Anda.
Semuanya harus jelas dan dapat dimengerti untuk siswa
8. Setiap penguatan harus sesuai dengan usia orang tersebut. Anda
tidak dapat mengharapkan anak sekolah untuk mengubahnya
perilaku dengan memberinya hadiah. Yang ini tidak cukup efektif.
Jadi perubahan kecil apa pun bisa mendapat penghargaan dan
kekaguman

Jadi bisa dikatakan dalam teori Skinner ini bahwasanya hal terpenting
dalam belajar adalah penguatan, pengetahuan yang terbentuk melalui
ikatan stimulus dengan respon akan semakin kuat apabila diberi
penguatan, Baik penguatan positif maupun negatif, dimana penguatan
positif dapat meningkatkan terjadinya pengulangan tingkah laku itu
sedangkan penguatan negatif dapat mengakibatkan perilaku berkurang
atau menghilang (Alan, 1989)

Satu cara untuk mengingat perbedaan antara penguat-penguat positif


dan negatif adalah dalam penguatan positif ada sesuatu yang
ditambahkan atau diperoleh. Sedangkan dalam penguat negatif, ada
sesuatu yang dikurangi atau dihilangkan. Agar istilah penguat negatif
dan hukumat tidak rancu, ingat bahwa penguat negatif meningkatkan
probabilitas terjadinya suatu prilaku, sedangkan hukuman
menurunkan probabilitas terjadinya prilaku (Santrock, 2008).

Teori Skinner memiliki relevansi yang beragam dalam evaluasi


sekolah dan manajemen yang efektif. Fokus dari setiap sistem sekolah
adalah hasil pembelajaran. Sebagai akibatnya, manajemen yang
efektif akan menginginkan input dari evaluasi yang memadai. Seluruh
proses evaluasi kelas, evaluasi guru, evaluasi kurikulum, evaluasi
kepemimpinan / manajemen, dan evaluasi fasilitas, semuanya bertemu
pada penerapan teori yang tepat yang diarahkan untuk pengajaran dan
pembelajaran. Tidak diragukan lagi, mungkin telah timbul beberapa
tingkat kritik yang terkait dengan teori Skinner, namun, kita harus
cepat menambahkan bahwa itu memiliki relevansi yang luar biasa
dalam penentuan hasil belajar mengajar (Skinner, 1984)

C. William Glasser
1. Biografi
Glasser dilahirkan pada 11 Mei 1925 di Cleveland, Ohio , dari Ben
Glasser, seorang tukang reparasi jam dan jam, dan istrinya Betty. Dia
menghadiri Case Western Reserve University di Cleveland, di mana
pada tahun 1945 dia memperoleh gelar BS di bidang teknik
kimia . Setelah karier singkat sebagai insinyur, Glasser kembali pada
tahun 1946 ke Case Western, tetapi sebaliknya, selama semester
pertamanya, direkrut menjadi Angkatan Darat AS dan ditempatkan
di Dugway Proving Ground di Utah . Dia kembali ke Case Western
pada tahun 1947, mendapatkan gelar MA di bidang psikologi
klinis pada tahun 1949 dan gelar MD di bidang psikiatri pada tahun
1953. Dia menyelesaikan magang medis dan residensi psikiatris
di UCLA dan Rumah Sakit Administrasi Veteran , masing-masing, dan
menjadi dewan bersertifikat pada tahun 1961.

Setelah "diusir dari staf" di rumah sakit VA karena keyakinannya yang


anti-Freudian, Glasser mengambil posisi sebagai staf psikiater di
Ventura School for Delinquent Girls, di mana ia mulai mengajarkan
ide-ide yang menjadi dasar terapi realitas . Selama masa ini, Glasser
bertemu GL Harrington, seorang psikiater yang lebih tua yang secara
terbuka tidak percaya pada model penyakit mental Freudian, yang oleh
Glasser dianggap sebagai "mentor" -nya.

Glasser mendirikan praktik psikoterapi swasta di Los Angeles , yang ia


pertahankan hingga 1986. Glasser menulis dan turut menulis banyak
buku berpengaruh tentang kesehatan mental , konseling , peningkatan
sekolah, dan pengajaran, dan beberapa publikasi menganjurkan
pendekatan kesehatan masyarakat atau penekanan dalam kesehatan
mental versus model "medis" yang berlaku.

Glasser mendirikan Institute for Reality Therapy pada tahun 1967,


yang kemudian diganti namanya menjadi Institute for Control Theory,
Reality Therapy, dan Lead Management pada 1994 dan kemudian
William Glasser Institute pada 1996 di Chatsworth, CA. Lembaga ini
sekarang berlokasi di Tempe, Arizona , dan memiliki lembaga cabang
di seluruh dunia. Pada 1970-an Glasser menyebut tubuh kerjanya
"Control Theory". Pada tahun 1996, struktur teoretis berkembang
menjadi sebuah badan kerja komprehensif yang dinamai " Choice
Theory ", terutama karena kebingungan dengan teori kontrol
perseptual oleh William T. Powers, yang dikembangkan pada 1950-an

2. Teori Pembelajaran Glasser


Terapi Realitas merupakan suatu bentuk hubungan pertolongan yang
praktis, relatif sederhana dan bentuk bantuan langsung kepada konseli,
yang dapat dilakukan oleh guru atau konselor di sekolah dalam rangka
mengembangkan dan membina kepribadian/kesehatan mental konseli
secara sukses, dengan cara memberi tanggung jawab kepada konseli
yang bersangkutan (Corey, 1997)

Terapi realitas merupakan suatu model terapi yang dikembangkan


sebagai reaksi melawan terapi konvensional. Terapi realitas adalah
terapi jangka pendek yang berfokus pada saat sekarang, menekankan
kekuatan pribadi, dan pada dasarnya merupakan jalan dimana para
anggota keompok bisa belajar tingkah laku dan lebih realistik. Terapi
realitas memfokuskan pada perbuatan serta fikiran yang dilakukan
sekarang dan bukan pada pemahaman, perasaan, pengalaman masa
lalu, ataupun motivasinya yang tidak disadari. Suatu kelompok dapat
mernperbaiki kualitas hidup melalui proses evaluasi terhadap
kelompoknya, kemudian kepada anggota kelompok diajarkan
kebutuhan pokok dan diminta untuk mengidentifikasikan keinginan
anggota kelompok. Kelompok ditantang untuk mengevaluasi apakah
yang anggota kelompok lakukan bisa memenuhi kebutuhannya atau
tidak. Apabila tidak bisa, kelompok didorong untuk membuat rencana
untuk bisa berubah, untuk melakukan komitmen terhadap rencana
kelompok dan terus setia pada komitmennya. Terapis berfungsi
sebagai guru dan model serta mengkonfrontasikan anggota kelompok
dengan cara-cara yang mampu membantu anggota kelompok
menghadapi kenyataan dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar
tanpa merugikan anggota kelompok lain. Terapi realitas adalah suatu
bentuk modifikasi tingkah laku. Salah satu sebab mengapa teori
realitas meraih popularitas adalah, keberhasilannya dalam
menerjemahkan sejumlah konsep tentang modifikasi tingkah laku ke
dalam model praktek yang relatif sederhana (Pope, 2004)
Konsep Utama Teori Realitas Kelompok Glasser mengatakan bahwa
tanggung jawab adalah inti dari teori realitas. Arah baru bagi teori
realitas adalah berlandaskan asumsi bahwa individu menciptakan
dunia batin. Sebagai usahanya memperbaharui teori realita, Glasser
mengeksplorasi tema tingkah laku adalah usaha untuk mengendalikan
persepsi dalam kelompok pada dunia luar, mencocokkan dunia batin
dengan dunia pribadi individu (Glasser, 2007)

Upaya untuk membantu siswa yang memiliki motivasi belajar rendah


diperlukan dengan layanan konseling kelompok (Gottfried, 1985).
Layanan konseling kelompok merupakan layanan konseling yang
diselenggarakan dalam suasana kelompok, yang memungkinkan siswa
memperoleh kesempatan bagi pembahasan dan pengentasan masalah
yang dialami melalui dinamika kelompok (Prayitno, 1998). Terapi
realita didasarkan pada “teori pilihan” yang dikemukakan oleh William
Glasser, bertumpu pada prinsip bahwa semua motivasi dan perilaku
manusia adalah dalam rangka memuaskan salah satu atau lebih dari
lima kebutuhan universal manusia, dan bahwa manusia bertanggung
jawab atas perilaku yang dilakukannya (Pamer, 2011) Pilihannya harus
aktual daripada ilusi, dan tidak boleh dipaksakan atau dibatasi,
meskipun jumlah opsi pilihan itu penting (Brooks, 2011)

William Glasser’s model focuses on improving the responsibility level


of students by helping them realize that they are in control of
themselves. This often incrases intrinsic motivation. One of the
theories about why achievement will increase as a result of using
choice theory and reality theory methods is because student will be
more instrinsically motivated to learn.
Berdasarkan kutipan jurnal tersebut dapat diketahui bahwa model
William Glasser berfokus pada peningkatan tanggung jawab, dan
menyadarkan kepada siswa bahwa mereka berada dalam kontrol diri
(Glasser, 1988 )

Konseling realita memiliki implikasi secara langsung bagi situasi-


situasi sekolah. Glasser pertama kali menaruh perhatian pada masalah-
masalah belajar dan tingkah laku (Glasser, 1992). Konseli dihadapkan
pada keharusan mengevaluasi tingkah lakunya dan membuat
pertimbangan nilai. Pemahaman dan kesadaran tidak dipandang cukup,
rencana tindakan dan komitmen untuk melaksanakannya dipandang
sebagai inti terapeutik. Melalui layanan konseling kelompok realita
siswa mampu mengembangkan tanggungjawabnya dan mampu
meningkatkan motivasi untuk berperilaku yang lebih baik.

D. Ausubel
1. Biografi
Ausubel lahir 25 Oktober 1918 dan dibesarkan di Brooklyn, New
York. Ia belajar di Universitas Pennsylvania di mana ia lulus dengan
penghargaan pada tahun 1939, David Paulus Ausubel datang ke
psikologi pendidikan dari bidang kedokteran. Setelah menyelesaikan
pelatihan di psikiatri, Ausubel masuk Universitas Columbia dan
mendapat gelar Ph.D. dalam psikologi perkembangan, ia beralih dari
psikiatri psikologi dalam rangka untuk mengejar karir akademis di
pengajaran dan penelitian. "Psikiatri," dia (1995) menulis, "Benar-
benar didominasi oleh psikoanalisis. Tidak ada kesempatan nyata
untuk akademik karir di psikiatri, karena saya lihat psikoanalisis
sebagai berlebihan, putus asa mitologi, tanpa dasar ilmiah atau empiris.
Pada tahun 1950 Ausubel menerima posisi dengan Biro Pendidikan
Penelitian di University of Illinois. Dia tetap dengan Biro selama enam
belas tahun berikutnya. Sementara Ausubel adalah di University of
Illinois, ia menerbitkan banyak buku pada kognitif psikologi. Ausubel
meninggalkan University of Illinois pada tahun 1966 dalam rangka
untuk menerima posisi dengan Departemen Psikologi Terapan, Ontario
Institut Studi di Pendidikan. Dia berada di Toronto selama dua tahun,
1966-1968. Dia pindah ke menjadi Profesor dan Kepala Departemen
Psikologi Pendidikan, Sekolah Pascasarjana dan Pusat Universitas,
Kota University of New York, di mana ia menjabat hingga pensiun
pada tahun 1975 (APA, 1977, hal 52). Ketika Ausubel pensiun dari
mengajar di universitas, ia kembali ke praktek psikiatri.

2. Teori Pembelajaran

David Ausubel adalah seorang ahli psikologi pendidikan yangterkenal


dengan teori belajar bermakna (meaningfull ). Ausubel membedakan
antara belajar menemukan dengan belaja menerima.Pada belajar
menerima siswa hanya menerima, jadi tinggalmenghafalkannya, tetapi
pada belajar menemukan konsepditemukan oleh siswa, jadi tidak
menerima pelajaran begitu saja.Menurut Ausubel (Burhanuddin, 1996
: 112) pembelajaran bermakna merupakan suatu proses mengaitkan
informasi baru padakonsep-konsep relevan yang terdapat dalam
struktur kognitifseseorang. Struktur kognitif meliputi fakta-fakta,
konsep-konsep,dan generalisasi-generalisasi yang telah dipelajari dan
diingat siswa

Menurut Ausubel, seseorang memperoleh pengetahuan terutama


melaluipenerimaan bukannya melalui penemuan. Konsep, prinsip, dan
ide atau gagasandipresentasikan dan diterima oleh seseorang, bukan
melalui penemuan. Ausubelmenekankan bahwa apa yang diketahui
sebagai meaningful learning, informasi verbal,ide-ide, dan hubungan
diantara ide-ide, terjadi secara bersamaan. Rote mamorization tidak
dianggap memiliki makna, karena bahan yang dipelajari melalui
belajar cepat initidak berkaitan dengan pengetahuan yang sudah ada.
Sayangnya, walaupun belajarsecara cepat ini tidak efektif banyak
pelajaran masih nampak sedikit mendasarkanpadanya. Ausubel juga
mengajukan suatu model pengajaran ekspositori
(expositoryteaching) untuk mendorong pembelajaran yang
bermakna, bukan melalui belajar cepat.Exposition artinya
menjelaskan, atau menyajikan fakta-fakta dan ide-ide (Ausubel, 1960)

Faktor-faktor utama yang mempengaruhi belajar bermakna menurut


Ausubel adalah struktur kognitif yang ada, stabilitas dankejelasan
pengetahuan dalam suatu bidang studi tertentu dan pada waktu
tertentu. Pembelajaran bermakna terjasi apabila seseorang belajar
dengan mengasosiasikan fenomena baru ke dalam struktur
pengetahuan mereka. Dalam proses belajar seseorang mengkonstruksi
apa yang telah ia pelajari dan mengasosiasikan pengalaman,fenomena,
dan fakta- fakta baru kedalam struktur pengetahuan mereka

Menurut Ausubel dalam Dahar (2011), “The most important single


factor influencing learning is what the learner already knows.
Ascertain this and teach him accordingly”. Untuk menerapkan konsep
belajar Ausubel dalam mengajar, selain konsep-konsep yang telah
dibahas terdahulu ada beberapa konsep lain yang perlu diperhatikan
yaitu konsep pengaturan awal, diferensiasi progresif, penyesuaian
integratif, dan belajar superordinat (Dahar, 2011: 100).

Ada beberapa tipe belajar menurut Ausubel, yaitu:


1. Belajar dengan penemuan yang bermakna yaitu
mengaitkan pengetahuan yang telah dimilikinya dengan materi pel
ajaran yang dipelajari itu. Atau sebaliknya, siswa terlebih dahulu
menemukan pengetahuannya dari apa yang ia pelajari kemudian pe
ngetahuan baru tersebut ia kaitkan dengan pengetahuan yang sudah
ada.
2. Belajar dengan penemuan yang tidak bermakna yaitu
pelajaranyang dipelajari ditemukan sendiri oleh siswa tanpa
mengaitkan pengetahuan yang telah dimilikinya, kemudian dia
hafalkan.
3. Belajar menerima (ekspositori) yang bermakna yaitu
materi pelajaran yang telah tersusun secara logis disampaikan kepa
dasiswa sampai bentuk akhir, kemudian pengetahuan yang baru
ia peroleh itu dikaitkan dengan pengetahuan lain yang telah
dimiliki

Menurut Dahar (2011: 100-103), prinsip-prinsip yang perlu


diperhatikan untuk menerapkan teori Ausubel
1. Pengaturan awal
Menurut Ausubel (2000: 11), mengatakan bahwa pengaturan awal
adalah perangkat pedagogik yang membantu menerapkan prinsip-
prinsip dengan menghubungkan kesenjangan antara apa yang
pelajar sudah ketahui dan apa yang perlu ia ketahui. Pengaturan
awal mengarahkan para pelajar ke materi yang akan mereka
pelajari dan menolong mereka untuk mengingat kembali informasi
yang berhubungan dengan materi itu, sehingga dapat digunakan
dalam menanamkan pengetahuan baru.
Pengaturanan awal ini berisi konsep-konsep atau ide-ide yang
diberikan kepada pelajar jauh sebelum materi pelajaran yang
sesungguhnya diberikan (Andriyani, 2008: 22). Ada tiga hal yang
dapat dicapai dengan menggunakan pengaturan awal:
Pengaturanan awal memberikan kerangka konseptual untuk belajar
yang bakal terjadi berikutnya. Dapat menjadi penghubung antara
informasi yang sudah dimiliki pelajar saat ini dengan informasi
baru yang akan diterima atau dipelajari Berfungsi sebagai jembatan
penghubung sehingga memperlancar proses pengkodean pada
pelajar
2. Diferensiasi Progresif
Diferensiasi progresif artinya proses penyusunan konsep yang akan
diajarkan. Menurut Dahar (2011: 101), pengembangan konsep
berlangsung paling baik jika unsur-unsur yang paling umum atau
paling inklusif diperkenalkan terlebih dahulu, kemudian baru
diberikan hal-hal yang lebih mendetail dan lebih khusus dari
konsep itu. Dengan perkataan lain, model belajar menurut Ausubel
pada umumnya berlangsung dari umum ke khusus.
3. Belajar Superordinat
Menurut Dahar (2011: 103), menyebutkan belajar superordinat
terjadi bila konsep-konsep yang telah dipelajari sebelumnya
dikenal sebagai unsur-unsur suatu konsep yang lebih luas, lebih
inklusif. Sedangkan menurut Andriyani (2008: 23), untuk
menerapkan strategi mengajar seperti ini perlu dilakukan analisis
konsep. Lanjutnya Andriyani mengatakan analisis konsep
dilakukan untuk menemukan kemudian menghubungkan konsep-
konsep utama dari suatu mata pelajaran sehingga dapat diketahui
mana konsep yang paling utama dan superordinat dan mana konsep
yang lebih khusus dan subordinat.
4. Penyesuaian Integratif
Untuk mencapai penyesuaian integratif, materi pelajaran
hendaknya disusun sedemikian rupa hingga kita menggerakkan
hierarki konseptual dari atas hingga ke bawah selama informasi
disajikan. Menurut Dahar (2011: 103), dalam mengajar bukan
hanya urutan menurut diferensiasi progresif yang diperhatikan,
melainkan juga harus diperlihatkan bagaimana konsep-konsep baru
dihubungkan pada konsep-konsep superordinat.

Dahar (2011: 94), belajar dapat diklasifikasikan ke dalam dua


dimensi, yaitu: Demensi satu, tentang cara penyajian informasi
atau materi kepada siswa. Demensi ini meliputi belajar penerimaan
yang menyajikan informasi itu dalam bentuk final dan belajar
penemuan yang mengharuskan siswa untuk menemukan sendiri
sebagian atau seluruh materi yang diajarkan. Demensi dua, tentang
cara siswa mengkaitkan materi yang diberikan dengan struktur
kognitif yang telah dimilikinya. Jika siswa dapat menghubungkan
atau mengaitkan informasi itu pada pengetahuan yang telah
dimilikinya maka dikatakan terjadi belajar bermakna. Tetapi jika
siswa menghafalkan informasi baru tanpa menghubungkan pada
konsep yang telah ada dalam struktur kognitifnya maka dikatakan
terjadi belajar hafalan. Kedua dimensi ini digunakan oleh Dahar
(2011: 95), menyatakan bahwa banyak ahli pendidikan
menyamakan belajar peneriman dengan belajar hafalan sebab
mereka berpendapat bahwa belajar bermakna hanya terjadi bila
pelajar menemukan sendiri pengetahuan.

Dahar (2011: 99), menyatakan bahwa salah satu prasyarat belajar


bermakna materi yang akan dipelajari harus bermakna secara
potensial. Kebermaknaan materi tergantung pada dua faktor
meliputi materi harus memiliki kebermaknaan logis, yaitu
merupakan materi yang nonarbitrar dan substantif. Materi yang
nonarbitrar adalah materi yang konsisten dengan yang telah
diketahui, sedangkan materi yang substantif adalah materi yang
dapat dinyatakan dalam berbagai cara tanpa mengubah artinya.
Gagasan-gagasan yang relevan harus terdapat dalam struktur
kognitif siswa. Dalam hal ini harus diperhatikan pengalaman anak-
anak, tingkat perkembangan intelektual mereka, intelegensi dan
usia.

Siswa yang akan belajar harus bertujuan untuk melaksanakan


belajar bermakna. Tujuan siswa merupakan faktor utama dalam
belajar bermakna. Menurut Rosser dalam (Dahar, 1988: 141)
bahwa belajar bermakna dapat terjadi bila memenuhi tiga
komponen yaitu materi pelajaran harus bermakna secara logis,
siswa harus bertujuan untuk memasukkan materi itu ke dalam
struktur kognitifnya dan dalam struktur kognitif siswa harus
terdapat unsur-unsur yang cocok untuk mengaitkan atau
menghubungkan materi baru.
DAFTAR PUSTAKA

Aisyah, N. 2007. Pengembangan Pembelajarn Simetri lipat SD. Jakarta:


Direktorat Jendral pendidikan tinggi departemen pendidikan nasional
Alan J. Dubinsky, S. J. Skinner and T. E. Whittler. 1989. Evaluating Sales
Personnel: An Attribution Theory Perspective. Journal of Personal Selling&
Sales Management,Vol. IX, pp. 9-21 https://www.jstor.org
Ausubel, D. P. (1962). A Subsumption Theory of Meaningful Verbal Learning
and Retention. The Journal of General Psychology, 66 213-224
http://dx.doi.org/10.1080/00221309.1962.9711837/
Ausubel, D. P. (1962). A Subsumption Theory of Meaningful Verbal Learning
and Retention. The Journal of General Psychology, 66, 213-224.
http://dx.doi.org/10.1080/00221309.1962.9711837
Ausubel, D.P. (1968). Educational Psychology: a Cognitive View. New York:
Holt Rinehart and Winston.
Ausubel, David P. 1960. The Use of Advanced Organizersmin the Learning and
Retention of Meaningful Verbal Material”Journal Of educational
psychology,51 : 267-272https://psycnet.apa.org
Baharudin dan Nur Wahyuni. 2008. Teori Belajar dan Pembelajaran. Yogyakarta
: Ar-Ruzz Media.
Brooks, C., & Young, S. (2011). Are choice-making opportunities needed in the
classroom? Using self-determination theory to consider student motivation
and learner empowerment. International Journal of Teaching and Learning
in Higher Education, 23(1), 48-59. https://eric.ed.gov
Bruner, J. S. & Goodman, C. C. (1947). Value and need as organizing factors in
perception. Journal of Abnormal Social Psychology, 42, 33-44. Available
online at the Classics in the History of Psychology archive
Bruner, J. S. & Postman, L. (1949). On the perception of incongruity: A
paradigm. Journal of Personality, 18, 206-223. Available online at the
Classics in the History of Psychology archive
Budiningsih, C., A. 2005. Belajar Dan Pembelajaran, Jakarta: Rineka Cipta
Gerald Corey. 1997. Teori dan Praktik Konseling dan Psikoterapi. Bandung : PT
Eresco
Glasser, W. (1988). Choice theory in the classroom. New York: HarperCollins.
Glasser, W. (1992). The quality school: Managing students without coercion.
New York: HarperCollins.
Glasser, W. (2007). School violence from the perspective of William Glasser. The
Journal of the American School Counselor Association, 4, 77- 80
https://eric.ed.gov
Gordan, M. 2014. A Review Of B. F. Skinner’s ‘Reinforcement Theory Of
Motivation, International Journal Of Research In Education Methodology,
Vol 3 No. 3 : 680 – 688 http://www.ijrem.com/
Gottfried, A.E. (1985). Academic intrinsic motivation in elementary and junior
high school students. Journal of Educational Psychology 77(6), 631-
645.https://pdfs.semanticscholar.org
Gredler, E., B., M. 1991. Belajar Dan Membelajarkan. Jakarta: Rajawali Press
Hamzah. 2006. Orientasi Baru Dalam Psikologi Pembelajaran. Jakarta: PT Bumi
Aksara
Hill, Winfred F. 2011. Theories of Learning. terj. M. Khozim. cet. ke-6. Bandung
: Nusa Media.
http://en.wikipedia.org/wiki/jerome-bruner
http://www.answer.com/topic/jerome-bruner
http://www.psych.nyu.edu/people/faculty/bruner
Husen, Torsten. “Burrhus Frederic Skinner 1904-1990”. dalam 2003. Pemikir
Pendidikan; Dari Piaget Sampai Masa Sekarang. Joy A. Palmer (ed).
terj.Farid Assifa. Jendela. Yogyakarta.
Jiang, X., Perkins, K. 2013. A Conceptual Paper on the Application of the Picture
Word Inductive Model Using Bruner's Constructivist View of Learning and
the Cognitive Load Theory, Interdisciplinary Journal of Teaching and
Learning, v3 n1 p8-17 https://eric.ed.gov/?id=EJ1063072
Kianipour, O., & Barzan, H. 2012, Effectiveness Of Training The Choice Theory
Of Glasser To Teachers On Improvement Of Students' Academic
Qualification “Journal Of Educational And Instruction Studies In The
World, Vol 2 (2) : 117 – 123 Http://Www.Wjeis.Org/
Koji, M. 2017. A review of Jerome Bruner’s educational theory : Its implications
for studies in teaching and learning and active learning (secondary
publication), Journal of Nagoya Gakuin University social Sciences
http://doi.org/10.15012/00000941
Labrador, F., J. 2004. Skinner and the Rise of Behavior Modification And
Behavior Therapy, The Spanish Journal Of Psychology Vol. 7 No. 2 : 178-
187 Https://Pdfs.Semanticscholar.Org/
Lestari, Dewi . 2010. Penerapan Teori Bruner Untuk Meningkatkan Hasil Belajar
Siswa Pada Pembelajaran Simetri Lipat di Kelas IV SDN 02 Makmur Jaya
Kabupaten Mamuju Utara, Jurnal Kreatif Tadulako Online Vol 3 No. 2 :
129 – 140
Miarso, Y. 2004. Menyemai Benih Teknologi Pendidikan. Jakarta: Kencana

Neil, J,. S. 2009. Teori- Teori Perkembangan Manusia, Bandung: Nusa Media
Omomia,O., A. 2014. Relevance of Skinner’s Theory of Reinforcement on
Effective School Evaluaution and Management, European Journal of
Psychological Studies Vol.(4), No 4 : 174 – 180
http://doi.org/10.13187/ejps.2014.4.174/
Palmer, S. 2011. Konseling dan Psikoterapi, terj. Haris H. Setadjid, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar
Pitajeng. 2006. Pembelajaran Simetri lipat yang Menyenangkan. Jakarta:
Depdiknas Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Direktorat Ketenagaan
Pope, M. (2004). Professional counseling and Dr. Glasser: A relationship based
on reality and choice. The Family Journal: Counseling And Therapy For
Couples And Families, 12, 345-349. Doi:
http://dx.doi.org/10.1177/1066480704268422
Prayitno. 1998. Pelayanan Bimbingan dan Konseling. Jakarta: PT. Ikrar Mandiri
Abadi
Sagala. Syaiful. 2009. Konsep dan Makna Pembelajaran; Untuk Membantu
Memecahkan Problematika Belajar dan Mengajar. cetakan ke-6. Bandung :
Alfabeta
Santrock, John W. 2008. Psikologi Pendidikan Edisi Kedua. terj. Tri Wibowocet.
ke-2. Jakarta : Kencana
Seifert, Kelvin. 2010. Manajemen Pembelajaran dan Intruksi Pendidikan :
Manajemen Mutu Psikologi Pendidikan Para Pendidik. Yogyakarta :
IRCiSoD
Shanker, Stuart. 1992. In search of Bruner, Journal of Language and Communication,
v12 n1 p53-74 https://eric.ed.gov/?id=EJ443073
Skinner, B., F. 1984. Methods and theories in the experimental analysis of
behavior, Behavioral and Brain Sciences Volume 7, Issue 4 pp. 511-523
DOI: https://doi.org/10.1017/S0140525X00026996
Snelbecker G., E. 1974. Learning Theory, Instructional Theory, and
Psychoeducational Design. New York: McGraw-Hill Book Company
Sudjana, N, 1991. Teori-Teori Belajar Untuk Pengajaran, Jakarta: Lembaga
Penerbit Fak. Ekonomi UI
Sugihartono. 2007. Psikologi Pendidikan.Yogyakarta : UNY Press
Suryabrata, Sumadi. 2007. Psikologi Pendidikan. Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada.
Takaya, K. 2008. Jerome Bruner’s Theory of Education: From Early Bruner to
Later Bruner, Interchange, Vol. 39(1): 1–19 http://doi.org/10.1007/s10780-
008-9039-2
Vargas, E. A. 2017. B. F Skinner’s Theory of Behavior, European Journal of
Behavior Analysis Volume 18 issue 1 : 1 – 38
https://doi.org/10.1080/15021149.2015.1065640/

Anda mungkin juga menyukai