Anda di halaman 1dari 18

“Pengawasan Bank Oleh Regulator”

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Manajemen Perbankan

Dosen Pengampu
Dr. Nasharuddin Mas.,SE.,MM

Disusun oleh :
Kelompok 3
- Junita Retnosari (171611019150650)
- Sucik Yulia (171611019150)

Program Studi Manajemen Reg.B


Fakultas Ekonomi
Universitas Widyagama Malang
05 April 2019
PENGAWASAN BANK OLEH REGULATOR

Pengawasan bank oleh regulator perlu dilakukan agar tidak terjadi inefisiensi proses
analisis risiko, ketidakcukupan monitoring dan kegagalan transfer informasi, struktur insentif
yang buruk, dan ketidakcukupan corporate governance (Liwellyn, 2002). Regulator selalu
mencari penentu alat yang bisa meningkatkan kehati-hatian bank. Hal ini dapat dilakukan dengan
menyandarkan pada tindakan regulator (supervise dan regulasi) melalui identifikasi dan koreksi
masalah yang bisa mengarah pada kegagalan bank. Dalam prinsip ini, supervisor melengkapi
beberapa mandate dengan pengujian on site secara periodic terhadap informasi yang berguna
untuk menentukan kemungkinan kegagalan bank.

Bank beroperasi di bawah regulasi yang secara substansial berbeda dengan perusahaan
non bank, dan ini bisa mempengaruhi sifat dan keefektifan mekanisme control. Lingkungan
regulasi industry perbankan bisa mensubstitusikan beberapa derajat mekanisme market
corporate control yang buruk, namun demikian pendisiplinan melalui regulasi diakui sebagai
substitusi yang sangat mahal bagi mekanisme control pasar, baik karena birokrasi maupun
masalah politik. Tujuan mekanisme pasar adalah maksimisasi shareholder value , sedangkan
tujuan pengawasan oleh regulator untuk meminimalkan kemungkinan kegagalan bank secara
hati-hati (prudent). Hasil penelitian di Amerika menunjukkan bahwa instrument control yang
paling efektif dalam mengawasi bank adlah regulasi (Prowse, 1922). Ini menunjukkan walaupun
ada mekanisme pasar berupa hostile takeover, merger ataupun akuisisi itu terjadi, namun regulasi
menunjukkan pengaruh signifikan dan sangat besar. Sedangkan instrument untuk corporate
control yang paling tidak berpengaruh adalah hostile takeover.

Pengawasan bank atau bank supervisory sering disamakan dengan control perbankan.
Dalam berbagai literature, kedua istilah sering digunakan secara bergantian. Perspektif otoritas
pengawas selalu menggunakan istilah supervisory atau pengawasan dan basisnya adalah regulasi,
sedangkan dalam perspektif manajemen bank sering menggunakan instrument-instrumen
prudential banking dan pengawasan berdasarkan risiko. Sedangkan control perbankan lebih
mengedepankan perspektif keagenan. Saunders (2004) kemudian menyatukan dalam
penjelasannya bahwa control perbankan itu perlu dilakukan oleh regulator (otoritas pengawas),
pemegang saham dan disiplin pasar. Oleh karena itu dalam manajemen perbankan ini perlu
dideskripsikan pengawasan dalam perspektif regulator (pada bab ini), kepentingan-kepentingan
pemegang saham yang bertindak positif atau negative terhadap bank (pada bab 4), keterlibatan
public atau disiplin pasar dalam mengawasi bank serta peran lembaga penjamin simpanan dalam
mengontrol lembaga pernbankan di Indonesia (pada bab 5).

Dalam melaksanakan tugas pengawasan bank, saat ini regulator atau Bank Indonesia
melaksanakan system pengawasannya dengan menggunakan dua pendekatan yakni pengawasan
berdasarkan kepatuhan (Compliance based supervision) dan pengawasan berdasarkan risiko atau
Risk based supervision (RBS). Dengan adanya pendekatan RBS tersebut bukan berarti
mengesampingkan pendekatan berdasarkan kepatuhan, namun merupakan upaya untuk
menyempurnakan system pengawasan tersebut sehingga dapat meningkatkan keefektifan dan
efisiensi pengawasan perbankan. Secara bertahap, pendekatan pengawasan yang diterapkan BI
akan beralih menjadi sepenuhnya pengawasan berdasarkan risiko. Pada bab ini akan dibahas dua
pendekatan pengawasan oleh Bank Sentral (Bank Indonesia). Namun sebelumnya perlu
diketahui terlebih dahulu kewenangan pengaturan dan pengawasan bank oleh Bank Indonesia.

A. Kewenangan Pengaturan dan Pengawasan Oleh Bank Indonesia


Pengaturan dan pengawasan bank oleh BI meliputi wewenang sebagai berikut:
1. Kewenangan memberikan ijin (right to licence), yaitu kewenangan untuk menetapkan
tata cara perijinan dan pendirian suatu bank. Cakupan pemberian ijin oleh BI meliputi
pemberian ijin dan pencabutan ijin usaha bank, pemberian ijn pembukaan, penutupan
dan pemindahan kantor bank, pemberian persetujuan atas kepemilikan dan kepengurusan
bank, pemberian ijin kepada bank untuk menjalankan kegiatan-kegiatan usaha tertentu.
2. Kewenangan untuk mengatur (right to regulate), yaitu kewenangan untuk menetapkan
ketentuan yang menyangkut aspek usaha dan kegiatan perbankan dalam rangka
menciptakan perbankan sehat yang mampu memenuhi jasa perbankan yang diinginkan
masyarakat.
3. Kewenangan untuk mengawasi (right to control), yaitu kewenangan melakukan
pengawasan bank melalui pengawasan langsung (on-site supervision) dan pengawasan
tidak langsung (off-site supervision). Pengawasan langsung dapat berupa pemeriksaan
umum dan pemeriksaan khusus yang bertujuan untuk mendapatkan gambaran tentang
keadaan keuangan bank dan untuk memantau tingkat kepatuhan bank terhadap peraturan
yang berlaku serta untuk mengetahui apakah terdapat praktik-praktik yang tidak sehat
yang membahayakan kelangsungan usaha bank. Pengawasan tidak langsung yaitu
pengawasan melalui alat pemantauan seperti laporan berkala yang disampaikan bank,
laporan hasil pemeriksaan dan informasi lainnya. Dalam pelaksanaannya apabila BI
diperlukan dapat melakukan pemeriksaan terhadap bank termasuk pihak lain yang
meliputi perusahaan induk, perusahaan anak, pihak terkait, pihak terafiliasi dan debitur
bank. BI dapat menugasi pihak lain untuk dan atas nama BI melaksanakan tugas
pemeriksaan.
4. Kewenangan untuk mengenakan sanksi (right to impose sanction), yaitu kewenangan
untuk menjatuhkan sanksi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan terhadap bank
apabila suatu bank kurang atau tidak memenuhi ketentuan. Tindakan ini mengandung
unsur pembinaan agar bank beroperasi sesuai dengan asa perbankan yang sehat.

B. Pendekatan Pengawasan Berdasarkan Kepatuhan (Compliance Based Supervision)


Pendekatan ini pada dasarnya menekankan pada kepatuhan bank untuk melaksanakan
ketentuan-ketentuan yang terkait dengan opersai dan pengelolaan bank. Pendekatan ini
mengacu pada kondisi bank dimasa lalu dengan tujuan untuk memastikan bahwa bank telah
beroperasi dan dikelola secara baik dan benar menurut prinsip-prinsip kehati-hatian.
Prudent secara harfiah berarti bijaksana. Dalam dunia perbankan maknanya asas
kehati-hatian, sehingga muncul pengawasan bank berdasarkan asas kehati-hatian. Prudent
merupakan konsep yang memiliki unsur sikap, prinsip, standar kebajikan dan teknik dalam
manajemen risiko bank sedemikian rupa sehingga dapat menghindari akibat sekecil apapun,
yang membahayakan stakeholder terutama deposan dan kreditor.
a. Karakter Supervisi Prudensial
1. Sikap waspada dan hati-hati terutama pada risiko yang melekat, harus dikenali
dan dicermati seperti karakter dan akibatnya, sumber penyebab dan faktor
kunci pencegahnya.
2. Menggunakan pendekatan yang proaktif dan antisipatif.
3. Menggunakan prinsip bahwa baik-buruknya bank merupakan tanggung jawab
manajemen bank. Oleh karena itu perlu manajemen yang memiliki integritas
dan kompetisi tinggi.
4. Dari segi kinerja operasional, pengawasan memberikan bobot yang besar
terhadap kecukupan modal bank dalam memikul risiko kerugian yang mungkin
timbul.
5. Dari segi informasi tentang kondisi, kinerja dan disiplin pasar, bank wajib
memberikan informasi yang lengkap, akurat, tepat waktu dan layak dipercaya
(reliable) kepada pengawasan bank dan public pada umumnya.
6. Dari segi pembatasan risiko, pengawasan bank memberikan perhatian besar
terhadap konsentrasi pemberian kredit kepada debitur perorangan, grup dan
debitur pihak terkait dengan menetapkan legal lending limit (batas maksimum
pemberian kredit/BPMK)
7. Dari segi etika bisnis, pengawasan bank berusaha mencegah agar bank tidak
digunakan secara sadar atau tidak sadar sebagai sarana bertransaksi dari hasil
kejahatan.
8. Dari segi tanggung jawab, dianut prinsip bahwa tidak seharusnya pengawasan
bank memberikan jaminan bahwa bank tidak aka nada yang gagal. Sukses dan
gagalnya bank merupakan tanggung jawab penuh manajemen bank.
9. Pengawasan bank dilakukan sejak pengajuan ijin didirikan bank tersebut agar
dapat dipastikan bahwa hanya yang dikelola secara professional dan viable
secara finansiallah yang masuk dalam system perbankan.
b. Sasaran Prudential Regulation
1. Menetapkan kebijakan bahwa hanya bank yang viable secara finansiallah yang
diijinkan untu beroperasi.
2. Mengendalikan pemilik dan manajemen bank agar tidak mengambil risiko
yang berlebihan.
3. Menetapkan ketentuan dan pedoman pelaksanaan akuntansi yang memadai,
penilaian, asset yang realistis dan pelaporan yang menggambarkan kondisi
keuangan yang sebenarnya.
4. Menetapkan dasar dan kewenangan pihak pengawasan bank dalam melakukan
tindakan korektif dan dalam membatasi aktivitas bank yang lemah atau tidak
sehat.
c. Cakupan Substansi Prudential Regulation
1. Kebijakan bagi pendirian bank baru yang mendukung terwujudnya kegiatan
usaha bank yang prudent, iklim kompetisi yang sehat dan seimbang.
2. Proses perijinan baru harus memastikan bahwa bank yang didirikan adalah
milik pemegang saham yang memenuhi syarat, terorganisasi dengan baik,
didukung oleh manajeman yang professional, viable secara finansial dan
memiliki prospek yang menguntungkan.
3. Capital Adequacy Ratio yang memadai sesuai based accord 1988.
4. Pembatasan pengambilan resiko yang berlebihan oleh bank dilakukan dengan
menetapkan konsentrasi pemberian kredit, kesenjangan likuiditas dan net open
position.
5. Priudential regulation atas likuiditas untuk menjamin bank mampu memenuhi
kewajiban segera.
6. Penetapan pedoman dan perlakuan akuntansi bank, untuk memastikan bahwa
penyusunan dan pelaporan keuangan dilakukan secara konsisten.
7. Penetapan kewenangan untuk memberikan kewajiban tambahan kepada auditor
eksternal, untuk memastikan bahwa pelaksanaan audit eksternal dilakukan
secara objektif dan akurat.
8. Penetapan kewenangan kepada otoritas pengawasan bank untu menerapkan
serangkaian tindakan korektif atau hukuman kepada bank yang menyimpang.

d. Prakondisi Pengawasan Prudential (menurut David Folkerts)


1. Pengawas harus memiliki otonomi, otoritas dan kapasitas yang mencukupi.
2. Pengawasan bank harus memiliki kekuasaan/kewenangan (power) yang
ditetapkan dalam UU agar dapat menjalankan fungsi secara efektif, adapun
aspek-aspeknya adalah :
a. Mengendalikan berbagai masalah perbankan termasuk mencabut ijin usaha
(bagi pengawas pemerintah (BI))
b. Meminta berbagai data yang relevan
c. Melakukan pemeriksaan terhadap bank
d. Melakukan verifikasi data/informasi yang disampaikan bank
e. Menghentikan praktik tidak sehat yang dilakukan bank
f. Memerintahkan penggantian manajemen
g. Menindak tegas, termasuk mencabut ijin usaha (oleh BI)
3. Pengawasan bank harus memiliki kapasitas untuk menjangkau berbagai aspek
kegiatan bank yang dinamis, kompleks dan canggih. Mereka harus memiliki
kapasitas untuk menilai:
a. Kepatutan dari pemilik dan manajemen bank
b. Kelayakan dari prosedur penilaian kredit
c. Prosedur control internal
d. Laporan keuangan konsolidasi
e. Informasi makro dan informasi pasar

C. Pengawasan Berdasarkan Risiko (Risk Based Supervision)


Pendekatan ini merupakan pengawasan yang berorientasi ke depan (forward looking).
Dengan menggunakan pendekatan tersebut pengawasan/pemerikasaan suatu bank
difokuskan pada risiko-risiko yang melekat (inherent risk) pada aktivitas fungsioal bank
serta sistem pengendalian risiko (risk control system). Melalui pendekatan ini akan lebih
memungkinkan otoritas pengawasan bank untuk proaktif dalam melakukan pencegahan
terhadap permasalahan yang potensial timbul di bank.
Pengawasan berdasarkan risiko tidak lepas dari perkembangan Basel I dan Basel II
yang sebagian besar diterapkan di lembaga perbankan di dunia. Evolusi pengaturan bank
dimulai adanya Basel I yang diterbitkan oleh The Basel Commitee on Banking Supervision.
Dalam Basel I, The Basel Commitee on Banking Supervision untuk pertama kalinya
menawarkan suatu metodologi standar perhitungan jumlah modal berbasis risiko yang harus
dipenuhi bank dengan menerbitkan Basel Capital Accord 1 pada tahun 1988. Dalam Basel 1
ini hanya mencakup risiko kredit, dan berdasarkan standar-standar yang ada sekarang,
bahwa hubungan antara risiko dan modal belum memadai. Basel Accord 1 mengenai
berbagai multiplier (dikenal dengan bobot risiko) yang sederhana dikalikan dengan 8%
target rasio modal.
Berkaitan dengan kelemahan-kelemahan pada Basel I, maka selanjutnya ada
amandemen risiko pasar (the market risk amandemet). Otoritas pengawas perbankan di
beberapa negara berupaya menyempurnakan accord 1988 agar menjadi lebih peka terhadap
risiko. Berdasarkan praktik dan pengalaman yang dimiliki oleh berbagai bank dalam
mengelola risiko, otoritas pengawas bergerak untuk melakukan amandemen Basel I. Contoh
untuk memastikan bahwa risiko telah terkendali dan dihitung secara tepat bank mulai
menetapkan persyaratan internal mengenai modal yang terkait langsung dengan risiko yang
dihadapi oleh bagian trading sebuah bank. Untuk dapat melakukan hal tersebut, bank harus
mempunyai pandangan tertentu mengenai hubungan antara risiko dan modal. Pandangan ini
didasarkan pada teori keuangan mengenai variabilitas return dan berbagai jenis kegiatan
usaha. Praktik-praktik dan pengalaman yang mendorong amandemen adalah terkait
pertumbuhan pasar derivatif yang sangat cepat, option pricing model.
Komite Basel menerbitkan Market Risk Amandment terhadap basel Accord 1 pada
tahun 1988. Basel Commitee mendorong otoritas perbankan untuk memberikan perhatian
pada upaya penilaian model-model yang digunakan bank dalam menentukan harga berbasis
risiko (risk based pricing). Model ini disebut dengan Value At Risk (VAR).
Penyempurnaan regulasi terus dilakukan untuk diimplementasikan bagi bank-bank
komersial. Oleh karena itu muncul Basel II. Dengan dikeluarkannya Risk Market
Amandment, Basel Commitee selanjutnya selanjutnya mengembangkan capital accord baru
yang disebut dengan Basel II (Basel II Accord). Setelah melalui berbagai konsultasi dan
pembahasan, accord baru tersebut diadopsi pada tahun 2004 dan dijadwalkan untuk
diimplementasikan pada tahun 2006-2007. Dalam Basel II menghubungan secara langsung
antara modal bank dengan risiko yang dimiliki. Namun cakupan risiko pasar dalam Basel II
secara substansial tidak berubah dari Market Risk Amandment tahun 1996 dan
penyempurnaannya. Sementara cakupan risiko kredit diarahkan untuk menggunakan
pendekatan berbasis model (model based approach) dalam oenentuan risiko kredit (credit
risk pricing) dan otoritas pengawas perbankan disarankan untuk melakukan penilaian
terhadap model tersebut.
Hal yang menarik lagi adalah bahwa risiko operasional untuk pertama kalinya menjadi
bagian pembahasan dan seperti halnya risiko kredit, perhitungan risiko opersional diarahkan
menggunakan pendekatan model (walaupun belum ada konsesus model tersebut). Dalam
Basel II juga dipertimbangkan untuk memasukkan risiko-risiko lain dalam perhitungan
modal berbasis risiko bagi sebuah bank. Namun demikian risiko-risiko dimaksud tidak
dicakup dalam pendekatan model.
Otoritas pengawas perbankan pada masing-masing negara akan bertanggung jawab
untuk mengimplementasikan Basel II sesuai undang-undang dan regulasi yang berlaku di
negara tersebut. Implementasi ini konsisten di berbagai negra terhdap sebuah kerangka
kerja, melalui pengawasan dan kerjasama yang lebih erat. Implementasi yag konsisten untuk
menghindari ketidakjelasan sebagai akibat dari adanya pelaporan ganda, yaitu kepada
otoritas pengawas perbankan di mana bank didirikan (home country) dan dimana bank
memiliki cabang atau anak perusahaan (host country).
Perbandingan kedua Accord tersebut dapat memberikan pemahaman kepada kita,
yaitu:
Tabel 3.1
Perbandingan Accord I dengan Accord II dalam Manajemen Risiko
Basel I Accord Basel II Accord
Fokus pada satu ukuran Fokus pada metodologi internal
Tidak terlalu sensitif terhadap risiko Memiliki sensitivitas risiko lebih tinggi
Menggunakan ‘satu pendekatan untuk semua’ Fleksibel sesuai kebutuhan masing-masing
Hanya mencakup risiko redit dan risiko pasar Mencakup risiko kredit dan risiko pasar plus
risiko operasional dan risiko lain-lain

Kerangka Basel II dirancang dengan menggunakan tiga konsep peraturan, yang dikenal
dengan tiga pilar, yaitu :
1. Pilar 1 – Minimum Capital Requirements (Persyaratan modal minimum), merupakan
pengembangan dari ketentuan dtandar yang ditetapkan dalam 1998 Accord.
2. Pilar 2 – Supervisory review (oleh BI) terkait dengan kecukupan modal bank dan proses
penilaian internal.
3. Pilar 3 – Penggunaan market discipline secara efektif untuk meningkatkan keterbukaan
(disclosure) dan mendorong praktik perbankan yang sehat dan aman.
Pilar 1. Minimum Capital Requirement
Perhitungan minimum capital requirement dilakukan terhadap 3 (tiga) jenis risiko
terbesar yang dihadapi oleh perbankan yaitu risiko kredit, risiko pasar dan risiko
operasional. Untuk masing-masing jenis risiko tersebut, tersedia beberapa pilihan
pendekatan (approach) yang dapat digunakan oleh bank sesuai dengan tingkat
kompleksitas produk dan aktivitas bank tersebut. Untuk setiap jenis risiko, pemanfaatan
pendekatan yang lebih kompleks dalam menghitung kebutuhan modal minimum bersifat
voluntary dan bergantung pada kesiapan bank dan wajib memperoleh persetujuan dari
otoritas pengawas.

Pilar 2. Supervisory Review Process


Terdapat 4 (empat) prinsip utama dalam pilar 2 yang dimaksudkan untuk melengkapi
pilar 1 tentang perhitungan kebutuhan modal minimum, yaitu:
Prinsip 1. Bank wajib memiliki prosess untuk menilai kecukupan modal secara
keseluruhan yang dikaitkan dengan profil risiko dan strategi untuk
mempertahankan tingkat permodalannya (Internal Capital Adequacy
Assessment Process – ICAAP)
Prinsip 2. Pengawas wajib me-review dan mengevaluasi internal capital Adequacy
Assessment Process dan strategi-strategi bank, termasuk kemampuan bank
untuk memantau dan memastikan kepatuhan bank terhadap ketentuan rasio
permodalan. Pengawas wejib mengambil tindakan pengawasan yang tepat
apabila tidak dapat menerima hasil proses tersebut (Supervisory Review and
Evaluation Process – SREP).
Prinsip 3. Pengawas wajib meminta bank untuk beroperasi di atas rasio permodalan yang
ditetapkan dan meminta bank menyediakan modal di atas batas minimum.
Prinsip 4. Pengawas wajib melakukan intervensi secepat mungkin untuk mencegah
modal turun di bawah tingkat minimum yang dipersyaratkan untuk
mendukung karakteristik risiko bank dan wajib meminta bank untuk
melakukan tindakan pengawasan sesegera mungkin apabila modal bank tidak
dapat dipertahankan atau dipulihkan kembali.
Dalam hal melakukan supervisory review and evaluation process, sebagaimana
prinsip 2 tersebut di atas, pengawas dapat memperhitungkan kecukupan modal bank
terhadap:
- Risiko-risiko yang belum sepenuhnya dapat diestimasi dalam pilar 1 karena bank
menggunakan pendekatan standar, misalnya concentration risk;
- Risiko-risiko yang belum diperhitungkan dalam pilar 1, antara lain liquidity risk,
interest rate risk in banking book, reputational risk dan strategic risk. Beberapa
dari risiko tersebut tidak dapat diukur secara kuantitatif sehingga akan lebih
banyak berupa interpretasi kualitatif. Risiko-risiko dari faktor eksternal bank yang
dapat timbul akibat kebijakan, kondisi ekonomi atau bisnis.

Dalam hal pengawas menilai bahwa modal bank tidak mencukupi


(undercapitalized) maka pengawas dapat segera menerapkan langkah supervisory action
yang tepat antara lain berupa tambahan modal atau perbaikan kualitas manajemen
risiko.

Pilar 3. Market Discipline


Disiplin pasar bertujuan mendorong peran public untuk turut mengawasi bank.
Tercapainya tujuan tersebut membutuhkan prasyarat utama antara lain (a) tersedia
informasi yang cukup bagi public mengenai kondisi bank dan (b) kemampuan public
dalam menilai kondisi bank melalui analisa atas informasi yang tersedia. Oleh karena itu,
bank sebagai lembaga kepercayaan dituntut untuk memberikan informs yang benar
mengenai kondisinya kepada nasabah dan investor.
Penerapan Basel II oleh suatu negara pada dasarnya tidak bersifat mengikat,
namun seiring dengan tujuan Basel II untuk menciptakan system keuangan yang stabil,
maka Bank Indonesia menerapkan prinsip-prinsip Basel II kepada perbankan Indonesia
antara lain agar struktur modal bank lebih berorientasi dan sesuai denga resiko (risk
sensitive) yang dihadapinya, memotivasi bank agar meningkatkan kemampuan
manajemen risiko, mengadopsi ruang lingkup yang lebih komprehensif, serta
meningkatkan kesepahaman antara pengawas dan bank khususnya dalam penggunaan
pendekatan yang lebih kompleks oleh bank.
Pendekatan pengawasan berdasarkan risiko memiliki siklus pengawasan sebagai
berikut:

1. Pemahaman
Terhadap Bank

6. Pelaksanaan strategi
pengawasan bank 2. Penilaian
individual dan tindakan Terhadap Risiko
pengawasan

3. Penyusunan
5. Strategi Rencana
Pengawasan Pemeriksaan
bank individual

4. Pelaksanaan pemeriksaan
yang terfokus pada risiko dan
penyusunan laporan hasil
pemeriksaan

Gambar 3.1. Siklus Pengawasan Bank Berdasarkan Risiko oleh BI

Pengawasan atau pemeriksaan bank berdasarkan risiko dilakukan terhadap jenis-jenis


risiko sebagai berikut:
a. Risiko Kredit : Risiko yang timbul sebagai akibat kegagalan counterparty memenuhi
kewajiban.
b. Risiko Pasar : Risiko yang timbul Karen aadanya pergerakan variable pasar (adverse
movement) dari portofolio yang dimiliki oleh bank yang dapat merugikan bank.
Variabel pasar antara lain suku bunga dan nilai tukar.
c. Risiko Likuiditas : Risiko yang antara lain disebabkan bank tidak mampu memenuhi
kewajiban yang telah jatuh tempo.
d. Risiko Operasional : Risiko yang antara lain disebabkan adanya ketidakcukupan
dan/atau tidak berfungsinya proses internal, kesalahan manusia, kegagalan system
atau adanya problem eksternal yang mempengaruhi operasional bank.
e. Risiko Hukum : Risiko yang disebabkan oleh adanya kelemahan aspek yuridis.
Kelemahan aspek yuridis antara lain disebabkan adanya tuntutan-tuntutan hukum,
ketiadaan peraturan perundang-undangan yang mendukung atau kelemahan perikatan
seperti tidak dipenuhi syarat-syarat kontrak.
f. Risiko Reputasi : Risiko yang antara lain disebabkan adanya publikasi negative yang
terkait dengan kegiatan usaha bank atau persepsi negative terhadap bank.
g. Risiko Strategik : Risiko yang antara lain disebabkan penetapan dan pelaksanaan
strategi bank yang tidak tepat, pengambilan keputusan bisnis yang tidak sehat atau
kurang responsifnya bank terhadap perubahan eksternal.
h. Risiko Kepatuhan : Risiko yang disebabkan bank tidak mematuhi atau tidak
melaksanakan peraturan perundang-undangan dan ketentuan lain yang berlaku.

Penerapan jumlah risiko oleh bank disesuaikan dengan ukuran dan kompleksitas dari
masing-masing bank. Bank dianggap memiliki ukuran dan kompleksitas usaha yang
tinggi antara lain apabila memenuhi salah satu kondisi berikut:
a. Bank memiliki total aktiva sebesar Rp 10.000.000.000.000,00
b. Bank yang aktif secara internasional (internationally active banks), yaitu bank yang
memiliki kantor cabang di beberapa negara lain atau bank yang merupakan kantor
cabang dari bank yang berkantor pusat di luar negeri;
c. Bank memiliki 30 (tiga puluh) kantor cabang atau lebih;
d. Bank yang memiliki 150.000 nasabah atau lebih; dan atau
e. Bank yang meiliki tingkat keragaman yang tinggi dalam transaksi, produk dan jasa.
Bank yang tidak memiliki ukuran dan kompleksitas usaha yang tinggi wajib
menerapkan Manajemen Risiko sekurang-kurangnya untuk 4 (empat) jenis risiko yaitu:
a. Risiko Kredit
b. Risiko Likuiditas
c. Risiko Pasar
d. Risiko Operasional
Pengertian kompleksitas di sini adalah kompleksitas usaha antara lain keragaman
dalam jenis transaksi/produk/jasa dan jaringan usaha. Kemampuan bank antara lain
kemampuan keuangan, infrastruktur pendukung dan kemampuan sumberdaya manusia.
Secara umum bank yang memiliki kompleksitas tinggi adalah Bank Umum sedangkan
bank yang dianggap kompleksitas rendah adalah BPR. Walaupun tidak sedikit Bank
Umum yang masuk kategori bank dengan kompleksitas rendah atau sebaliknya BPR yang
memiliki kompleksitas tinggi.
Pengawasan bank berbasis risiko tersebut tidak bisa lepas dari pengaturan
manajemen risiko di Indonesia yang selama ini sudah diterbitkan regulasi yang terkait
seperti tampak pada table 3.2.
Tabel 3.2.
Daftar Regulasi Perbankan yang terkait dengan Manajemen Risiko
Regulation Purpose
UU Perbankan 1998 Mendefinisikan bank dan pembatasan yang
berlaku
UU Bank Indonesia 1999 Bank Indonesia sebagai bank sentral yang
independen. Juga fungsi tugas dan peran BI.
Audit & Compliance 1999 Perlunya audit dan kepatuhan dalam perbankan
Commercial Banks 2000 Aturan tentang perijinan dan operasional bank
umum
Know Your Customer Principles 2001 Mengatur prosedur dan praktik dalam
mengidentifikasi nasabah dan monitoringnya
Fit and Proper Test 2003 Keharusan melakukan fit and proper tests bagi
pemegang saham dan manajemen senior
Market Risk 2003 Mengatur tentang kebutuhan modal bank umum
terkait dengan risiko pasar
Risk Management 2003 Mengatur tentang ketersediaan prasarana dan
sarana untuk manajemen risiko
Commercial Bank Business Plan 2004 Pembuatan rencana bisnis dan rencana jangka
menengah dan panjang bank umum
Legal Lending Limit 2005 Pembatasan BPMK dalam aktivitas perkreditan
bank
Debitor Information System 2005 System informasi debitur/Biro Kredit
Asset Securitization 2005 Mengatur prinsip dasar dalam melakukan
sekuritisasi dan pelaksanaan sekuritisasi asset.

D. Metoda Pengawasan otoritas Pengawas


1. Pengawasan Melalui Regulasi
Dalam hal ini otoritas pengawas bisa melakukan pengawasan dengan memperhatikan
sebagai berikut:
a. Pengaturan persyaratan dan tatacara perijinan bagi pendirian bank termasuk
jaringan kantornya.
b. Pengaturan yang berkaitan dengan usaha bank. Pengaturan ini prinsipnya
mengatur: 1) Kegiatan yang boleh dan dilarang bagi bank, 2) Manajemen Bank
yang sehat, 3) kewajiban menyelenggarakan administrasi dan akuntasi yang tepat,
4) kewajiban manajemen risiko yang sehat, 5) Penetapan sanksi yang tegas, dan
6) Hal lain yang dinilai penting dan mengandung risiko merugikan masyarakat.
c. Untuk bank yang sudah berjalan, perlu memperhatikan 1) Kejelasan tugas,
wewenang dan tanggung jawab direksi, kkomisaris, serta pejabat kunci, 2)
prosedur pengambilan kebijakan dan keputusan yang objektif, 3) kejelasan tugas,
wewenang dan tanggung jawab dalam pendelegasian, 4) dukungan pedoman kerja
yang jelas (SOP), 5) dukungan audit internal, 6) kewajiban melaksanakan audit
eksternal/independen.
d. Pengaturan manajemen risiko. Dalam hal ini perlu ada penerapan prinsip, asas,
kebijaksanaan dan pedoman jelas untuk pelasksanaan manajemen risiko. Aspek
yang perlu diperhatikan dalam hal ini adalah ; kecukupan modal, persyaratan dan
prosedur pemberian kredit, klasifikasi kolektabilitas kredit dan pembentukan
PPAP, masalah batasan pemusatan pemberian kredit (BPMK)

2. Pengawasan Tidak Langsung


Dalam hal ini pengawas mengawasi bank secara individual, kelompok maupun
keseluruhan dengan menelaah berbagai laporan yang disampaikan bank. Tujuannya
untuk menilai apakah ada kepatuhan terhadap ketentuan, asas usaha, perkreditan
secara konsisten. Dalam hal ini ada identifikasi penyimpangan yang merugikan dan
mengancam bank untuk ditindaklanjuti baik dengan koreksi, remedy maupun sanksi.
Mekanisme pengawasan tidak langsung adalah:
a. Melakukan penilaian atas kepatuhan, ketepatan waktu dan konsistensi materi
laporan.
b. Menganalisis setiap jenis laporan maupun kombinasi atas berbagai laporan baik
secara horizontal maupun vertical.
c. Mengkomunikasikan dan atau mengklarifikasikan berbagai temuan dari analisis
guna memperoleh kejelasan dalam menetapkan tindak lanjut.
d. Bila terjadi penyimpangan, pengawas perlu melakukan tindakan korektif ataupun
yang lain.

3. Pengawasan Langsung/Pemeriksaan
Dalam hal ini pengawas ingin meyakini kondisi bank secara langsung berdasarkan
data dan dokumen bank, sekaligus mengungkap kebenaran dan konsistensi
pembuatan laporan yang disampaikan ke pengawas/otoritas pengawas. Pemeriksaan
bersifat umum dan menyeluruh dan berkala, misalnya 1 tahun sekali. Pemeriksaan
khusus memfokuskan pada kredit dan asset berisiko yang berpotensi menimbulkan
masalah. Dalam hal ini otoritas pengawasan menggunakan akuntan public yang
dianggap ahli. Sehingga pemeriksaan akuntan public disamakan dengan pemeriksaan
umum.

4. Kontak dan Komunikasi Teratur dengan Bank


Dalam hal ini otoritas pengawas bank berusaha untuk memahami alur pemikiran dan
komitmen manajemen bank. Komunikasi ini berusaha meyakini bahwa manajemen
bank telah patuh dan konsisten dalam menjalankan ketentuan dan pedoman
pelaksanaan prinsip usaha bank, serta perkreditan yang sehat sesuai pedoman internal
bank dan prinsip manajemen bank yang beerlaku umum. Kontak dan komunikasi
dapat berjenjang sesuai dengan kadar masalahnya. Hal-hal teknis dapat dilakukan
dengan pejabat pelaksana bank, sedangkan bersifat policy dan strategis dilakukan
dengan pejabat yang lebih tinggi. Waktunya bisa dilakukan setiap diperlukan.
5. Tindak Remedial dan/atau Penerapan Sanksi
Dalam jalur pengawasan ini, setiap penyimpangan atau pelanggaran yang dilakukan
bank dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Penerapan sanksi
administrasif dikenakan secara langsung oleh otoritas pengawas, sedangkan
pelanggaran berat dan fundamental akan dilakukan melalui proses tertentu untuk
mencari jalan keluar terbaik agar dampak buruknya dapat diperkecil. Pencabutan ijin
usaha adalah alternative terakhir wewenang pemerintah, namun ada negara yang
cenderung menyarankan untuk menyerahkan kembali ijin usaha kepada otoritas
moneter secara sukarela.
Permasalahan-permasalahan yang dihadapi perbankan Indonesia dalam
menerapkan pengawasan perbankan berdasarkan risiko atau penerapan Basel II.
Basel Committee memang telah menyusun kerangka pengawasan berbasis
risiko. Kecukupan modal, supervisory review modal dan market discipline. Tujuan
basel II ini sebenarnya untuk meningkatkan ketahanan pasar keuangan global. Pada
kerangka Basel II ini dikembangkan dengan partisipasi para pengawas di seluruh
dunia. Namun yang perlu diperhatikan bahwa kerangka ini bukan merupakan
ketentuan hukum dan harus diterapkan di setiap negara sesuai dengan hukum dan
ketentuan yang berlaku di negara tersebut. Implementasinya adalah menjadi tanggung
jawab pengawas di setiap negara (Bank Indonesia untuk Indonesia). Oleh karena itu
pengawas harus mencermati permasalahan yang dihadapi sebelum menerapkan
BASEL II antara lain:
a. Populasi Perbankan Nasional
Bank Indonesia bertanggung jawab utuk mengidentifikasi bank-bank yang ada
dibawah kewenangannya yang akan terkena penerapan Basel II. Hal ini perlu
diperhatikan karena tidak ada persyaratan untuk menerapkan Basel II pada
seluruh bank dalam suatu negara. Beberapa bank yang kompleksitasnya rendah
dan tidak aktif beroperasi secara internasional bisa jadi hanya memerlukan
regulasi yang lebih sederhana. Kasus di Indonesia misalnya Bank Perkreditan
Rakyat yang umumnya dinilai kompleksitasnya rendah dan beroperasi secara
local, tentu saja regulasinya lebih sederhana. Secara spesifik penerapan
pengawasan berdasarkan risiko untuk Bank Perkreditan Rakyat hanya dikenakan
untuk risiko bunga, risiko kredit, risiko likuiditas dan risiko operasional, namun
untuk Bank Umum dikenakan 8 (delapan) risiko.

b. Prioritas Nasional
Penerapan Basel II, perlu didukung oelh supervisory regime yang stabil dan dapat
diandalkan untuk mendukung penerapan Basel II. Pembentukan supervisory
regime menjadi prioritas nasional yang mencakup infrastruktur hokum dan
ketentuan (regulatory), sumber daya manusia, standar akuntasni yang digunakan
dan perlunya penguatan pada corporate governance.

c. Permasalahan Sumber Daya dalam Pengawasan Bank


Penerapan Basel II memerlukan alokasi seumberdaya yang cukup baik dari sisi
pengawas maupun komunitas perbankan. Untuk itu pengawas harus selalu
mengkomunikasikan, transparan dan bersama-sama komunitas perbankan dalam
pengembangan penerapan Basel II. Selain itu pengawas harus memastikan bahwa
sumber daya manusia yang dimiliki pengawas dan komunitas perbankan sudah
cukup terlatih dalam penerapan Basel II secara berkelanjutan. Oleh karena itu
pengawas sangat penting untuk meningkatkan kemampuan pegawai dengan
melatih staf yang ada saat ini, mengubah tugas staf dari bersifat umum menjadi
spesialis, memperbaiki kondisi pelaksanaan pekerjaan untuk menarik dan
menahan staf yang berkualitas serta dimungkinkan untuk mempekerjakan auditor
dan konsultan.

d. Implementasi Basel II Memerlukan Kerangka Hukum yang Mendukung


Pengawas perlu mengidentifikasi perubahan-perubahan hukum yang diperlukan
dan menyusun jadwal perubahan tersebut bekerjasama dengan legislator terkait.
Hal ini penting untuk memastikan bahwa regulasi yang dibuat akan mempunyai
kekuatan hukum.

Anda mungkin juga menyukai