Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Manajemen Perbankan
Dosen Pengampu
Dr. Nasharuddin Mas.,SE.,MM
Disusun oleh :
Kelompok 3
- Junita Retnosari (171611019150650)
- Sucik Yulia (171611019150)
Pengawasan bank oleh regulator perlu dilakukan agar tidak terjadi inefisiensi proses
analisis risiko, ketidakcukupan monitoring dan kegagalan transfer informasi, struktur insentif
yang buruk, dan ketidakcukupan corporate governance (Liwellyn, 2002). Regulator selalu
mencari penentu alat yang bisa meningkatkan kehati-hatian bank. Hal ini dapat dilakukan dengan
menyandarkan pada tindakan regulator (supervise dan regulasi) melalui identifikasi dan koreksi
masalah yang bisa mengarah pada kegagalan bank. Dalam prinsip ini, supervisor melengkapi
beberapa mandate dengan pengujian on site secara periodic terhadap informasi yang berguna
untuk menentukan kemungkinan kegagalan bank.
Bank beroperasi di bawah regulasi yang secara substansial berbeda dengan perusahaan
non bank, dan ini bisa mempengaruhi sifat dan keefektifan mekanisme control. Lingkungan
regulasi industry perbankan bisa mensubstitusikan beberapa derajat mekanisme market
corporate control yang buruk, namun demikian pendisiplinan melalui regulasi diakui sebagai
substitusi yang sangat mahal bagi mekanisme control pasar, baik karena birokrasi maupun
masalah politik. Tujuan mekanisme pasar adalah maksimisasi shareholder value , sedangkan
tujuan pengawasan oleh regulator untuk meminimalkan kemungkinan kegagalan bank secara
hati-hati (prudent). Hasil penelitian di Amerika menunjukkan bahwa instrument control yang
paling efektif dalam mengawasi bank adlah regulasi (Prowse, 1922). Ini menunjukkan walaupun
ada mekanisme pasar berupa hostile takeover, merger ataupun akuisisi itu terjadi, namun regulasi
menunjukkan pengaruh signifikan dan sangat besar. Sedangkan instrument untuk corporate
control yang paling tidak berpengaruh adalah hostile takeover.
Pengawasan bank atau bank supervisory sering disamakan dengan control perbankan.
Dalam berbagai literature, kedua istilah sering digunakan secara bergantian. Perspektif otoritas
pengawas selalu menggunakan istilah supervisory atau pengawasan dan basisnya adalah regulasi,
sedangkan dalam perspektif manajemen bank sering menggunakan instrument-instrumen
prudential banking dan pengawasan berdasarkan risiko. Sedangkan control perbankan lebih
mengedepankan perspektif keagenan. Saunders (2004) kemudian menyatukan dalam
penjelasannya bahwa control perbankan itu perlu dilakukan oleh regulator (otoritas pengawas),
pemegang saham dan disiplin pasar. Oleh karena itu dalam manajemen perbankan ini perlu
dideskripsikan pengawasan dalam perspektif regulator (pada bab ini), kepentingan-kepentingan
pemegang saham yang bertindak positif atau negative terhadap bank (pada bab 4), keterlibatan
public atau disiplin pasar dalam mengawasi bank serta peran lembaga penjamin simpanan dalam
mengontrol lembaga pernbankan di Indonesia (pada bab 5).
Dalam melaksanakan tugas pengawasan bank, saat ini regulator atau Bank Indonesia
melaksanakan system pengawasannya dengan menggunakan dua pendekatan yakni pengawasan
berdasarkan kepatuhan (Compliance based supervision) dan pengawasan berdasarkan risiko atau
Risk based supervision (RBS). Dengan adanya pendekatan RBS tersebut bukan berarti
mengesampingkan pendekatan berdasarkan kepatuhan, namun merupakan upaya untuk
menyempurnakan system pengawasan tersebut sehingga dapat meningkatkan keefektifan dan
efisiensi pengawasan perbankan. Secara bertahap, pendekatan pengawasan yang diterapkan BI
akan beralih menjadi sepenuhnya pengawasan berdasarkan risiko. Pada bab ini akan dibahas dua
pendekatan pengawasan oleh Bank Sentral (Bank Indonesia). Namun sebelumnya perlu
diketahui terlebih dahulu kewenangan pengaturan dan pengawasan bank oleh Bank Indonesia.
Kerangka Basel II dirancang dengan menggunakan tiga konsep peraturan, yang dikenal
dengan tiga pilar, yaitu :
1. Pilar 1 – Minimum Capital Requirements (Persyaratan modal minimum), merupakan
pengembangan dari ketentuan dtandar yang ditetapkan dalam 1998 Accord.
2. Pilar 2 – Supervisory review (oleh BI) terkait dengan kecukupan modal bank dan proses
penilaian internal.
3. Pilar 3 – Penggunaan market discipline secara efektif untuk meningkatkan keterbukaan
(disclosure) dan mendorong praktik perbankan yang sehat dan aman.
Pilar 1. Minimum Capital Requirement
Perhitungan minimum capital requirement dilakukan terhadap 3 (tiga) jenis risiko
terbesar yang dihadapi oleh perbankan yaitu risiko kredit, risiko pasar dan risiko
operasional. Untuk masing-masing jenis risiko tersebut, tersedia beberapa pilihan
pendekatan (approach) yang dapat digunakan oleh bank sesuai dengan tingkat
kompleksitas produk dan aktivitas bank tersebut. Untuk setiap jenis risiko, pemanfaatan
pendekatan yang lebih kompleks dalam menghitung kebutuhan modal minimum bersifat
voluntary dan bergantung pada kesiapan bank dan wajib memperoleh persetujuan dari
otoritas pengawas.
1. Pemahaman
Terhadap Bank
6. Pelaksanaan strategi
pengawasan bank 2. Penilaian
individual dan tindakan Terhadap Risiko
pengawasan
3. Penyusunan
5. Strategi Rencana
Pengawasan Pemeriksaan
bank individual
4. Pelaksanaan pemeriksaan
yang terfokus pada risiko dan
penyusunan laporan hasil
pemeriksaan
Penerapan jumlah risiko oleh bank disesuaikan dengan ukuran dan kompleksitas dari
masing-masing bank. Bank dianggap memiliki ukuran dan kompleksitas usaha yang
tinggi antara lain apabila memenuhi salah satu kondisi berikut:
a. Bank memiliki total aktiva sebesar Rp 10.000.000.000.000,00
b. Bank yang aktif secara internasional (internationally active banks), yaitu bank yang
memiliki kantor cabang di beberapa negara lain atau bank yang merupakan kantor
cabang dari bank yang berkantor pusat di luar negeri;
c. Bank memiliki 30 (tiga puluh) kantor cabang atau lebih;
d. Bank yang memiliki 150.000 nasabah atau lebih; dan atau
e. Bank yang meiliki tingkat keragaman yang tinggi dalam transaksi, produk dan jasa.
Bank yang tidak memiliki ukuran dan kompleksitas usaha yang tinggi wajib
menerapkan Manajemen Risiko sekurang-kurangnya untuk 4 (empat) jenis risiko yaitu:
a. Risiko Kredit
b. Risiko Likuiditas
c. Risiko Pasar
d. Risiko Operasional
Pengertian kompleksitas di sini adalah kompleksitas usaha antara lain keragaman
dalam jenis transaksi/produk/jasa dan jaringan usaha. Kemampuan bank antara lain
kemampuan keuangan, infrastruktur pendukung dan kemampuan sumberdaya manusia.
Secara umum bank yang memiliki kompleksitas tinggi adalah Bank Umum sedangkan
bank yang dianggap kompleksitas rendah adalah BPR. Walaupun tidak sedikit Bank
Umum yang masuk kategori bank dengan kompleksitas rendah atau sebaliknya BPR yang
memiliki kompleksitas tinggi.
Pengawasan bank berbasis risiko tersebut tidak bisa lepas dari pengaturan
manajemen risiko di Indonesia yang selama ini sudah diterbitkan regulasi yang terkait
seperti tampak pada table 3.2.
Tabel 3.2.
Daftar Regulasi Perbankan yang terkait dengan Manajemen Risiko
Regulation Purpose
UU Perbankan 1998 Mendefinisikan bank dan pembatasan yang
berlaku
UU Bank Indonesia 1999 Bank Indonesia sebagai bank sentral yang
independen. Juga fungsi tugas dan peran BI.
Audit & Compliance 1999 Perlunya audit dan kepatuhan dalam perbankan
Commercial Banks 2000 Aturan tentang perijinan dan operasional bank
umum
Know Your Customer Principles 2001 Mengatur prosedur dan praktik dalam
mengidentifikasi nasabah dan monitoringnya
Fit and Proper Test 2003 Keharusan melakukan fit and proper tests bagi
pemegang saham dan manajemen senior
Market Risk 2003 Mengatur tentang kebutuhan modal bank umum
terkait dengan risiko pasar
Risk Management 2003 Mengatur tentang ketersediaan prasarana dan
sarana untuk manajemen risiko
Commercial Bank Business Plan 2004 Pembuatan rencana bisnis dan rencana jangka
menengah dan panjang bank umum
Legal Lending Limit 2005 Pembatasan BPMK dalam aktivitas perkreditan
bank
Debitor Information System 2005 System informasi debitur/Biro Kredit
Asset Securitization 2005 Mengatur prinsip dasar dalam melakukan
sekuritisasi dan pelaksanaan sekuritisasi asset.
3. Pengawasan Langsung/Pemeriksaan
Dalam hal ini pengawas ingin meyakini kondisi bank secara langsung berdasarkan
data dan dokumen bank, sekaligus mengungkap kebenaran dan konsistensi
pembuatan laporan yang disampaikan ke pengawas/otoritas pengawas. Pemeriksaan
bersifat umum dan menyeluruh dan berkala, misalnya 1 tahun sekali. Pemeriksaan
khusus memfokuskan pada kredit dan asset berisiko yang berpotensi menimbulkan
masalah. Dalam hal ini otoritas pengawasan menggunakan akuntan public yang
dianggap ahli. Sehingga pemeriksaan akuntan public disamakan dengan pemeriksaan
umum.
b. Prioritas Nasional
Penerapan Basel II, perlu didukung oelh supervisory regime yang stabil dan dapat
diandalkan untuk mendukung penerapan Basel II. Pembentukan supervisory
regime menjadi prioritas nasional yang mencakup infrastruktur hokum dan
ketentuan (regulatory), sumber daya manusia, standar akuntasni yang digunakan
dan perlunya penguatan pada corporate governance.