Anda di halaman 1dari 3

Refleksi Diri

Pelatihan Keterampilan Dasar Clinical Teacher

dr. Said Aandy Saida, SpPD


SMF Ilmu Penyakit Dalam-Fakultas Kedokteran Universitas Abulyatama

Sejak tahun 2010, saya telah menjadi tenaga pendidik di Fakultas Kedokteran Abulyatama, saya
mendapat beban kerja menjadi fasilitator diskusi tutorial yang berlangsung dua kali seminggu.
Kelompok diskusi ini terdiri dari 10 mahasiswa. Fasilitator mendapatkan buku panduan
mengenai modul yang akan berlangsung. Sehari sebelum tutorial saya mempersiapkan diri untuk
materi yang didiskusikan.

Tutorial berlangsung selama 2x50 menit untuk 1 kali sesi tutorial. Tutorial dimulai tepat waktu,
dibuka oleh seorang leader yang telah ditentukan sebelumnya. Diskusi mengikuti langkah seven
jump. Saat awal menjadi fasilitator saya masih mengalami kesulitan terhadap metode tutorial
karena saya tidak pernah tahu dan tidak pernah melihat bagaimana proses tutorial. Saya juga
belum pernah mengikuti pelatihan tutorial. Saya hanya mengikuti tutorial seperti yang biasa
mahasiswa lakukan, diskusi cenderung cepat selesai, biasanya pada diskusi pertama bisa selesai
dalam 15-30 menit. Ketika diskusi terkadang saya cenderung diam. Setelah mengikuti beberapa
kali diskusi dan mendapatkan pelatihan tutorial baru saya mengerti tutorial yang sebenarnya,
meskipun yang saya terapkan belum begitu baik.

Diskusi pada tiap kelompok tidak sama, ada yang aktif, ribut, acuh tak acuh, bahkan ada yang
diam. Pada kelompok diskusi yang kurang aktif, saya cenderung mengajak mahasiswa
berpartisipasi dalam diskusi. Saya juga kadang-kadang mengadakan pretest dengan memberi
pertanyaan singkat mengenai materi pembelajaran sebelum tutorial. Pada akhir tutorial saya
memberikan waktu kepada mahasiswa untuk saling memberi umpan balik terhadap fungsi
masing-masing peserta diskusi terhadap perannya sebagai leader, scriber, co-scriber, dan
anggota.

Suasana diskusi saat tutorial cenderung kaku. Saya sebagai fasilitator belum mampu
mamfasilitasi dan berfungsi secara maksimal dalam diskusi. Diskusi setiap kelompok tidak sama,
ada yang aktif dan ada kurang aktif. Pada kelompok diskusi yang aktif lebih memudahkan saya
dalam memfasilitasi diskusi, apa yang saya sampaikan dan arahkan lebih mudah dipahami oleh
mahasiswa. Kelompok yang kurang aktif menyulitkan saya untuk mengarahkan mahasiswa. Ada
dua kemungkinan yang saya pikirkan terhadap mahasiswa tersebut, yang pertama mahasiswa
tersebut memang tidak paham dan yang kedua mahasiswa tersebut memang tidak komunikatif.
Meskipun metode pembelajaran student-center, mahasiswa seharusnya bertanggung jawab
terhadap pembelajarannya sehingga mahasiswa lebih aktif memperoleh pengetahuannya. Saya
merasa kesiapan mahasiswa dalam mengikuti diskusi tutorial masih kurang. Kurangnya
persiapan dan keaktifan mahasiswa membuat saya harus membuat pre-test sebelum diskusi
tutorial. Mahasiswa lebih terpacu untuk belajar ketika saya membuat pre-test, sehingga saya
bisa memperoleh gambaran tentang pengetahuan mahasiswa secara umum dan membuat
mahasiswa menjadi lebih aktif dalam diskusi. Saya merasa senang jika mahasiswa memahami
konsep pembelajaran, mengerti apa yang didiskusikan bukan sekedar menghafal, sehingga
memudahan mahasiswa dalam mencari hubungan sebab-akibat terhadap suatu kasus.

Kesulitan yang saya alami selama menjadi fasilitator merupakan tipe yang kurang komunikatif,
sehingga yang saya lakukan hanya sebatas sebagai fasilitator. Suasana pembelajaran yang
menyenangkan sulit saya ciptakan. Skenario yang kurang efektif menyebabkan saya kesulitan
mengarahkan mahasiswa hingga mencapai tujuan pembelajaran. Saya sering kesulitan
menghadapi mahasiswa yang acuh tak acuh, suka mengganggu anggota diskusi yang lain, tidak
mau tahu tentang apa yang sedang berlangsung dalam diskusi. Tidak ada persamaan persepi
terhadap materi diskusi dari tiap fasilitator menyebabkan perbedaan hasil pada akhir diskusi pada
tiap kelompok.

Dengan mengikuti pelatihan keterampilan dasar clinical teacher tersebut saya menjadi tahu
bagaimana seharusnya karakter yang harus saya miliki sebagai pendidik klinis. Seharusnya
sebagai pendidik klinis punya ketertarikan terhadap pendidikan. Ini menjadi syarat utama bagi
seorang pendidik klinis karena bila tidak punya ketertarikan terhadap pendidikan maka nantinya
hanya rasa keterpaksaan saja yang akan muncul. Kemudian seorang pendidik klinis punya
pengetahuan yang memadai sesuai dengan keahlian di bidang masing masing sehingga bisa
memiliki kompetensi sebagai pendidik klinis. Selanjutnya kita semestinya tidak menghakimi
para peserta didik. Hal inilah mungkin yang selama ini masih sering terjadi termasuk saya sendiri
tanpa sadar masih sering melakukannya. Insya Allah ke depan akan lebih memperhatikan hal
tersebut, sehingga para peserta tidak ada yang merasa terhakimi dan merasa nyaman dalam
proses belajarnya. Seorang pendidik juga harus terampil dalam berkomunikasi sehingga maksud
penjelasan kita akan mudah diterima oleh peserta didik. Walaupun ilmu yang kita miliki sangat
luas, pengalaman dengan jam terbang tinggi, akan tetapi bila tidak cakap dalam berkomunikasi
maka tujuan yang kita sampaikan tidak akan tercapai. Para peserta didik menjadi tidak paham
maksud kita. Selain itu persiapan yang baik juga harus kita lakukan sehingga mudah dan lancar
dalam pelaksanaannya. Persiapan yang dimaksud baik itu persiapan diri para pendidiknya
termasuk dalam mempersiapkan berbagai teori yang tentu saja harus berbasis bukti (evidence
based).

Banda Aceh, 28 Februari 2019

dr. Said Aandy Saida, SpPD


Peserta

Anda mungkin juga menyukai