Anda di halaman 1dari 5

Nama : Wafiqa Dinda Kenamon

NIM : 06101381722064

Ciri dan Sifat Unsur Transisi

Ciri Unsur Transisi

1. Ion berwarna

Warna pada senyawa yang mengandung logam transisi pada umumnya disebabkan oleh
transisi elektron dalam dua tipe:

 transfer muatan kompleks. Sebuah elektron dapat melompat dari orbit ligan ke
orbit logam, membentuk ligant to metal charge transfer (LMCT). Hal ini dapat
dilihat dengan mudah jika logam sedang pada bilangan oksidasi yang tinggi.
Sebagai contoh, warna pada ion kromat, dikromat, dan permanganat termasuk
tipe ini. Conton lainnya adalah pada raksa(II) iodida yang berwarna merah
larena transisi LMCT.

Transisi metal to ligand charge transfer (MLCT) terjadi ketika logam dalam bilangan
oksidasi yang rendah sehingga ligan dengan mudah tereduksi.

 transisi d-d. Sebuah elektron melompat dadi satu orbit d ke orbit yang lain. Pada
senyawa logam transisi yang kompleks, antarorbit d tidak mempunyai tingkat
energi yang sama. Pola pemisahan orbit d dapat dihitung dengan teori medan
kristal. Tingkat pemisahan tergantung pada jenis logam, bilangan oksidasi, dan
sifat dari ligan. Tingkat energi yang sebenarnya ditunjukkan oleh diagram
Tanabe-Sugano.

Pada kompleks yang sentrosimetrik, seperti oktahedral, transisi d-d melanggar aturan
Laporte dan hanya terjadi karena penggabungan vibronik di mana getaran molekul
terjadi bersamaan dengan transisi d-d. Kompleks tetrahedral mempunyai warna yang
lumayan terang karena perpaduan subkulit d dan p dimungkinkan jika tidak ada pusat
simetri, sehingga transisi tidak murni d-d.
Tingkat energi elektron pada unsur-unsur transisi yang hampir sama
menyebabkan timbulnya warna pada ion-ion logam transisi. Hal ini terjadi karena
elektron dapat bergerak ke tingkat yang lebih tinggi dengan mengabsorpsi sinar tampak.
Pada golongan transisi, subkulit 3d yang belum terisi penuh menyebabkan elektron pada
subkulit itu menyerap energi cahaya, sehingga elektronnya tereksitasi dan memancarkan
energi cahaya dengan warna yang sesuai dengan warna cahaya yang dapat dipantulkan
pada saat kembali ke keadaan dasar.

Misalnya Ti2+ berwarna ungu, Ti4+ tidak berwarna, Co2+ berwarna merah muda,
Co3+berwarna biru, dan lain sebagainya.

2. Bilangan oksidasi

Salah satu ciri logam transisi adalah di mana unsur-unsur tersebut mempunyai lebih dari
satu bilangan oksidasi. Contohnya, pada senyawa vanadium diketahui mempunyai
bilangan oksidasi mulai -1 pada V(CO)6- hingga +5 pada VO43-. Bilangan oksidasi
maksimum pada logam transisi baris pertama sama dengan jumlah elektron valensi
seperti titanium (+4) dan mangan (+7) namun berkurang pada unsur-unsur selanjutnya.
Pada baris kedua dan ketiga ada ruthenium dan osmium dengan bilangan oksidasi +8.
Pada senyawa seperti [Mn04]- dan OsO4, unsur logam transisi memperoleh oktet yang
stabil dengan membentuk empat ikatan kovalen. Bilangan oksidasi terendah ada pada
senyawa Cr(CO)6 (bilangan oksidasi nol) dan Fe(CO)42- (bilangan oksidasi -2) di mana
aturan 18 elektron dipatuhi. Senyawa tersebut juga merupakan kovalen. Ikatan ion
biasanya terbentuk pada bilangan oksidasi +2 atau +3. Pada senyawa yang terlarut, ion
tersebut biasanya berikatan dengan enam molekul air yang tersusun secara oktahedral.

Tidak seperti golongan IA dan IIA yang hanya mempunyai bilangan oksidasi +1 dan
+2, unsur-unsur logam transisi mempunyai beberapa bilangan oksidasi. Seperti
vanadium yang punya bilangan oksidasi +2, +3, dan +4. Berikut contoh dari
keberagaman tingkat oksidasi unsur-unsur transisi periode keempat

Sifat Unsur Transisi

1. Bersifat logam

Semua unsur transisi adalah unsur-unsur logam. Logam bersifat lunak,


mengkilap, dan penghantar listrik dan panas yang baik. Perak merupakan unsur transisi
yang mempunyai konduktivitas listrik paling tinggi pada suhu kamar dan tembaga di
tempat kedua. Namun demikians sifat-sifat logam transisi agak berbeda dari logam pada
golongan utama, terutama diliat dari titik leleh dan titik didihnya. Dibandingkan dengan
golongan IA dan IIA, unsur logam transisi lebih keras, punya titik leleh, titik didih, dan
kerapatan lebih tinggi. Hal ini disebabkan karena unsur transisi berbagi elektron pada
kulit d dan s (akan dijelaskan selanjutnya) , sehingga ikatannya semakin kuat (Mc.
Murry dan Fay, 2000: 867).

2. Kemagnetan

Senyawa pada logam transisi biasanya bersifat paramagnetik apabila terdapat satu atau
lebih elektron tak berpasangan pada subkulit d. Pada senyawa oktahedral dengan
elektron antara empat hingga tujuh pada subkulit d, spin tinggi dan spin rendah mungkin
terjadi. Senyawa tetrahedral seperti [FeCl4]2- bersifat spin tinggi dikarenakan pemisahan
medan kristal yang rendah sehingga energi yang diperoleh dari elektron yang berada
pada tingkat energi yang lebih rendah selalu lebih kecil daripada energi yang diperlukan
untuk memasangkan spin. Beberapa senyawa bersifat diamagnetik. Yang termasuk
golongan ini adalah senyawa oktahedral, spin rendah, d6, dan d8 yang berbentuk segi
empat planar. Feromagnetisme terjadi jika atom tunggal bersifat paramagnetik dan arah
spin tersusun sejajar satu sama lain pada bahan kristal. Logam besi dan campuran alniko
adalah contoh senyawa logam transisi yang bersifat feromagnetik. Anti-feromagnetisme
adalah contoh sifat kemagnetan yang terbentuk dari susunan khusus dari spin tunggal
pada benda padat.

Setiap atom dan molekul mempunyai sifat magnetik, yaitu paramagnetik , di mana
atom, molekul, atau ion sedikit dapat ditarik oleh medan magnet karena ada elektron
yang tidak berpasangan pada orbitalnya , dan diamagnetik , di mana atom, molekul,
atau ion dapat ditolak oleh medan magnet karena seluruh elektron pada orbitnya
berpasangan . Sedangkan pada umumnya unsur-unsur transisi bersifat paramagnetik
karena mempunyai elektron yang tidak berpasangan pada orbital-orbital d-nya. Sifat
paramagnetik ini akan semakin kuat jika jumlah elektron yang tidak berpasangan pada
orbitalnya semakin banyak. Logam Sc, Ti, V, Cr, dan Mn bersifat paramagnetik,
sedangkan Cu dan Zn bersifat diamagnetik. Untuk Fe, Co, dan Ni bersifat feromagnetik,
yaitu kondisi yang sama dengan paramagnetik hanya saja dalam keadaan padat (Brady,
1990: 698).

3. Sifat katalitik

Logam transisi dan senyawanya diketahui mempunyai aktivitas katalitik sifat homogen
dan heterogen. Aktivitas ini berasal dari kemampuan logam transisi untuk mempunyai
lebih dari satu bilangan oksidasi dan kemampuan membentuk senyawa kompleks.
Sebagai contoh Vanadium (V) oksida dikenal dapat memisahkan besi (pada proses
Haber) dan nikel (pada hidrogenasi katalitik). Katalis pada permukaan bidang padat
menyertakan pembentukan ikatan antara molekul reaktan dan atom pada permukaan
katalis. Hal ini mempunyai pengaruh meningkatnya konsentrasi reaktan pada
permukaan katalis dan memperlemah ikatan pada molekul yang bereaksi (menurunkan
energi aktivasi reaksi). Dan juga karena unsur logam transisi dapat mengubah bilangan
oksidasinya, sehingga efektif sebagai katalis.
4. Membentuk Senyawa Kompleks (Senyawa Koordinasi)

Senyawa koordinasi terdiri atas ion logam positif yang disebut juga atom pusat dan
sejumlah gugus koordinasi yang disebut ligan. Ion positif bertindak sebagai asam Lewis
dan ligan merupakan basa Lewis.

Pada umumnya kation yang dapat membentuk senyawa kompleks adalah ion-ion unsur
transisi, namun dikenal pula beberapa senyawa koordinasi unsur representatif seperti
Mg(III), Ca(II), Al(III), Pb(II), Sn(II), Sn(IV), dan Sb(III).

Ligan yang merupakan basa Lewis sekurang-kurangnya harus mempunyai sepasang


elektron bebas dalam orbital ikatan. Perbandingan besarnya ligan dan atom pusat
menentukan jumlah ligan maksimum yang dapat diikat.

Jumlah ikatan kovalen koordinasi yang dapat terbentuk pada pembentukan kompleks
disebut bilangan koordinasi dari ion pusat.

Anda mungkin juga menyukai