Anda di halaman 1dari 25

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/329209217

SEJARAH PERKEMBANGAN HADIS

Presentation · November 2018

CITATIONS READS
0 16,436

1 author:

Nuril Qamariyah
IAIN Madura
7 PUBLICATIONS   0 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Peranan Ilmu Pengetahuan dalam mengembangkan Kebudayaan View project

All content following this page was uploaded by Nuril Qamariyah on 27 November 2018.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


SEJARAH PERKEMBANGAN HADIS: MASA PRAKODIFIKASI HADIS (MASA
RASULULLAH, KHULAFAURRASYIDIN, TABI’IN), MASA KODIFIKASI HINGGA
SEKARANG

MAKALAH

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah

Studi Hadist yang dibina oleh

Dr. Mohammad Fattah, M.A.

Oleh:

NURIL QAMARIYAH

NIM. 18380012034

PROGRAM MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI MADURA
NOVEMBER 2018

1
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sejarah perkembangan hadits merupakan masa atau periode yang telah dilalui oleh hadits
dari masa lahirnya dan tumbuh dalam pengenalan, penghayatan, dan pengamalan umat dari
generasi ke generasi. Dengan memerhatikan masa yang telah dilalui hadis sejak masa
lahirnya di masa Rasulullah SAW meneliti dan membin hadits, serta segala hal yang
memengaruhi hadits tersebut.1

Di samping sebagai utusan Allah SWT, Rasulullah SAW adalah panutan dan tokoh
masyarakat. Beliau sadar sepenuhnya bahwa agama yang dibawanya harus disampaikan dan
terwujud secara konkrit dalam kehidupan sehari-hari. Karena itu, setiap kali ada kesempatan
Rasulullah SAW memanfaatkannya berdialog dengan para sahabat dengan berbagai media.
Hadis Rasulullah SAW yang sudah diterima oleh para sahabat, ada yang dihafal dan dicatat.
Dengan demikian, ada beberapa periode dalam sejarah perkembangan hadis.. dari Periode
Rasulullah SAW sampai periode sekarang.

Oleh karena itu, dalam pembahasan makalah ini, kami akan menyajikan bahan seminar
kelas yang berjudul “Sejarah Perkembangan Hadis; masa prakodifikasi hadis (Masa
Rasulullah SAW, Khulafa‟ Rasyidin, Tabi‟in), masa kodifikasi hingga sekarang”.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah perkembangan hadis pra kodifikasi?
2. Bagaimana sejarah penulisan dan kodifikasi hadis?
3. Faktor apa saja yang mempengaruhi kodifikasi hadits?

C. Tujuan Masalah
1. Untuk mendeskripsikan sejarah perkembangan hadis pra kodifikasi.

1
Agus Solahudin, Ulumul Hadits (Bandung: Pustaka Setia, 2008), 33

2
2. Untuk mendeskripsikan sejarah penulisan dan kodifikasi hadis.
3. Untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi kodifikasi hadis.

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Hadits Pada Masa Rasulullah SAW


Hadis pada masa Nabi dikenal dengan „Ashr al-Wahy wa al-Takwin, yaitu masa turun
wahyu dan pembentukan masyarakat Islam.2 Keadaan ini sangat menuntut keseriusan dan
kehati-hatian para sahabat sebagai pewaris pertama ajaran Islam. Wahyu yang diturunkan
Allah SWT kepadanya dijelaskannya melalui perkataan, perbuatan, dan taqrirnya. Sehingga
apa yang didengar, dilihat, dan disaksikan oleh para sahabat merupakan pedoman bagi
amaliah dan ubudiah mereka.3

1. Kebjaksanaan Rasulullah SAW tentang Hadits


Ketika Rasulullah SAW masih hidup, sikap dan kebijaksanaan beliau tentang hadits ialah
sebagai berikut:

a. Rasulullah SAW memerintahkan kepada para sahabatnya untuk menghafal,


menyampaikan dan menyebarkan hadits-hadits. Dalil yang menunjukkan perintah ini
yaitu:

َ‫َمتَ َع ِّم ًداَفَ ْليَ تَ بَ َّوأْ ََم ْق َع َدهُ َِم َنَالنَّا ِر‬ ِ
ُ ‫َعلَ َّي‬
َ ‫ب‬ َ ‫اَع ِّّن ََوََل‬
َ ‫َحَر َج ََوَم ْنَ َك َذ‬ َ ‫َو ََح ّدثُو‬
“Dan ceritakanlah daripadaku. Tidak ada keberatan bagimu untuk menceritakan apa
yang kamu dengar daripadaku. Barangsiapa berdusta pada diriku, hendaklah dia
bersedia menempati kediamannya dineraka.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).

Ada dorongan kuat yang cukup memberikan motivasi kepada para sahabat dalam
kegiatan menghafal hadits. Pertama, karena kegiatan menghafal merupakan budaya
bangsa Arab yang telah diwarisinya sejak pra Islam dan mereka terkenal kuat
hafalannya. Kedua, Rasulullah SAW banyak memberikan spirit melalui doa-doanya.
Ketiga, seringkali ia menjanjikan kebaikan akhirat kepada mereka yang menghafal
hadits dan menyampaikannya kepada orang lain.4

2
Idri, Studi Hadis (Jakarta: Kencana, 2010), 31.
3
Munzier Suparta, Ilmu Hadis (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), 70-71.
4
Ibid.

4
b. Rasulullah SAW melarang para sahabat untuk menulis hadits-haditsnya. Dalil yang
menunjukkan perintah ini yaitu:

َ ‫َع ِّّن‬
)‫َشْي ئًاَ َغْي َرَالْ ُق ْرآ َنَفَ ْليَ ْم ُحوَُ(رواهَأمحد‬ َ ‫ب‬ َِّ َ ‫اَع ِّّن‬
َ َ‫َشْي ئًاَإَلَالْ ُق ْرآ َن ََوَم ْنَ َكت‬ َ ‫ََلتَكْتُبُ ْو‬
“Janganlah kamu menulis sesuatu yang berasal daripadaku, terkecuali al-Qur‟an. Dan
barangsiapa telah menulis daripadaku selain al-Qur‟an, hendaklah ia menghapusnya.”
(HR. Ahmad dan Muslim).

2. Cara Rasulullah SAW Menyampaikan Hadits


Umat Islam pada masa ini dapat secara langsung memperoleh hadits dari Rasulullah
SAW sebagai sumber hadits. Tempat pertemuan antara Rasulullah SAW dan sahabatnya,
seperti di Masjid, rumahnya sendiri, pasar, ketika dalam perjalanan, dan ketika muqim
(berada di rumah). Melalui tempat tersebut Rasulullah SAW menyampaikan hadits yang
disampaikan melalui sabdanya yang didengar oleh para sahabat (melalui musyafahah), dan
melalui perbuatan serta taqrirnya yang disaksikan oleh para sahabat (melalui musyahadah).

Ada beberapa cara Rasulullah SAW menyampaikan hadits kepada para sahabat, yaitu:

a. Melalui majlis al-‟ilm, yaitu pusat atau tempat pengajian yang diadakan oleh Nabi
Muhammad SAW untuk membina para jama‟ah. Melalui majlis ini para sahabat
memperoleh banyak peluang untuk menerima hadits, sehingga mereka berusaha untuk
selalu mengkonsentrasikan diri guna mengikuti kegiatan dan ajaran yang diberikan oleh
Rasulullah SAW.
b. Dalam banyak kesempatan Rasulullah SAW juga menyampaikan haditsnya melalui para
sahabat tertentu, yang kemudian disampaikannya kepada orang lain. Jika yang berkaitan
dengan soal keluarga dan kebutuhan biologis (terutama yang menyangkut hubungan
suami istri), ia sampaikan melalui istri-istrinya.
c. Melalui ceramah atau pidato di tempat terbuka, seperti ketika haji wada‟ dan Fath
Makkah.5 Ketika menunaikan ibadah haji pada tahun 10 H (631 M), Nabi Muhammad
SAW menyampaikan khatbah yang sangat bersejarah di depan ratusan ribu kaum
muslimin yang melakukan ibadah haji, yang isinya terkait dengan bidang muamalah,
ubudiyah, siyasah, jinayah, dan hak asasi manusia yang meliputi kemanusiaan,

5
Munzier Suparta, Ilmu Hadits, 72-73.

5
persamaan, keadilan sosial, keadilan ekonomi, kebajikan, dan solidaritas isi khatbah itu
antara lain larangan menumpahkan darah kecuali dengan hak dan larangan mengambil
harta orang lain dengan batil, larangan riba, menganiaya, persaudaraan dan persamaan
diantara manusia harus ditegakkan, dan umat Islam harus selalu berpegang teguh kepada
Al-Qur‟an dan Hadits.6

3. Perbedaaan Para Sahabat dalam Menguasai Hadits


Diantara para sahabat tidak sama perolehan dan penguasaan hadits. Hal ini tergantung
kepada beberapa hal. Pertama, perbedaan mereka dalam soal kesempatan bersama
Rasulullah SAW. Kedua, perbedaan mereka dalam soal kesanggupan bertanya kepada
sahabat lain. Ketiga, perbedaan mereka karena berbedanya waktu masuk Islam dan jarak
tempat tinggal dari masjid Rasulullah SAW.

Ada beberapa sahabat yang tercatat sebagai sahabat yang banyak menerima hadits dari
Rasulullah SAW dengan beberapa penyebabnya, antara lain:

a. Para sahabat yang tergolong kelompok Al-Sabiqun Al-Awwalun (yang mula-mula masuk
Islam), seperti Abu Bakar, Umar Ibn Khattab, Utsman Ibn Affan, Ali Ibn Abi Thalib dan
Ibn Mas‟ud.
b. Ummahat Al-Mukminin (Istri-Istri Rasulullah SAW), seperti Siti Aisyah dan Ummu
Salamah. Hadits-hadits yang diterimanya, banyak yang berkaitan dengan soal keluarga
dan pergaulan suami istri.
c. Para sahabat yang disamping selalu dekat dengan Rasulullah SAW juga menuliskan
hadits-hadits yang diterimanya, seperti Abdullah Amr Ibn Al-„Ash.
d. Sahabat yang meskipun tidak lama bersama Rasulullah SAW, akan tetapi banyak
bertanya kepada para sahabat lainnya secara sungguh-sungguh, seperti Abu Hurairah.
e. Para sahabat yang secara sungguh-sungguh yang mengikuti majlis Rasulullah SAW,
banyak bertanya kepada sahabat lain dari sudut usia tergolong yang hidup lebih lama
dari wafatnya Rasulullah SAW, seperti Abdullah Ibn Umar, Anas Ibn Malik dan
Abdullah Ibn Abbas.

6
Idri, Studi Hadis, 35.

6
Sementara itu, menurut Muhamad Musthafa „Azami, bahwa para sahabat menerima
hadits dari Rasulullah SAW melalui tiga macam cara, yaitu:
1) Melalui metode hafalan. Secara historis masyarakat Arab secara umum adalah
masyarakat yang kuat daya hafalannya sehingga terlepas apakah mereka pandai
mengenal baca tulis (ummi) atau tidak, akan membantu dalam menerima dan
memahami hadis dari Rasulullah SAW. Di sisi lain, beliau juga sering mengulang-
ulang apa yang telah diucapkannya.
2) Metode tulisan. Di antara para sahabat Nabi Muhammad SAW yang setelah
menerima hadis dari beliau, mereka langsung menuliskannya. Metode ini hanya bisa
dilakukan oleh orang-orang tertentu yang memiliki kemahiran dalam menulis saja.
3) Metode praktik. Para sahabat mempraktikkan secara langsung hadis-hadis yang
diterima dari Nabi Muhammad SAW dalam kehidupan sehai-hari, dan jika terjadi
perbedaan, maka mereka dapat langsung mengkonfirmasikannya kepada Rasulullah
SAW.7

4. Penulisan Hadis Masa Rasulullah SAW dan Khulfa’ Rasyidin


Sa‟ad bin Ubaidah al-Anshar pernah memiliki himpunan hadis Rasulullah SAW. Ibnu
Hajar memastikan bahwa beliau adalah salah seorang penulis jaman jahiliyah. Putranya
meriwayatkan hadis dari catatannya tersebut. Al-Bukhari mengatakan bahwa catatan itu
merupakan salinan dari catatan Abdullah bin Abi Aufa yang menulis sendiri hadis-hadis
Nabi Muhammad SAW.

Selain itu, pada masa Rasulullah SAW, tulisan Abdullah bin „Amr bin al-„Ash termasuk
sebagai ash-Shahifah ash-Shadiqah. Abdullah bin „Amr mencatat dari sumbernya, yakni
Rasulullah sendiri. Yang terhimpun seribu hadis Rasulullah SAW. Shahifah dalam tulisan
tangan beliau tidak ditemui sekarang, namun isinya terhimpun di dalam kitab-kitab Hadis
terutama di dalam Musnad Ahmad.8

Sebagian Sahabat menyatakan keberatannya terhadap pekerjaan yang dilakukan oleh


Abdullah bin „Amr. Mereka beralasan,

ِ ‫ََلَتَكْتُب واَع ِّنَومنَ َكتَبَع ِّنَ َغي رَالْ ُقر‬:َ


.)‫َ(رواهَمسلم‬.‫آنَفَ ْليَ ْم ُحو‬ْ َ ْ ْ ّ َ َ ْ َ َ ْ ّ َ ْ ُ َ ‫ال‬ َ َ‫َن ََر ُس ْو ُلَهللاَِملسو هيلع هللا ىلصَق‬
َّ ‫أ‬
Rasulullah SAW telah bersabda, “Janganlah kamu tulis apa-apa yang kamu dengar dari
aku. Dan barangsiapa yang lelah menulis sesuatu dariku selain Al-Qur‟an, hendaklah ia
menghapuskannya.” (HR. Muslim).

7
Umi Sumbulah, Kajian Kritis Ilmu Hadis (Malang: UIN Maliki Press, 2010), 38-41.
8
Ramli Abdul Wahid, Studi Ilmu Hadis (Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2011), 63-64.

7
Dan mereka berkata kepadanya, “Kamu selalu menulis apa yang kamu dengar dari Nabi
Muhammad SAW, padahal beliau kadang-kadang dalam keadaan marah, lalu beliau
menuturkan ssuatu yang tidak dijadikan syariat umum.” Mendengar ucapan mereka,
Abdullah bertanya kepada Rasulullah SAW. Mengenai hal tersebut Rasulullah SAW
kemudian bersabda,

ِ ِ ِ َ ‫َع ِّّنَفَوالَّ ِذيَنَ ْف ِسيَبِي ِد ِهَم‬


َ ‫اَخَر َجَم ْنَفَم ْيَإََّل‬
.‫َح ٌّق‬ َ َ ْ ْ َ َْ ‫ب‬ ْ ُ‫اُ ْكت‬
Tulislah apa yang kamu dengar dariku, demi Tuhan yang jiwaku berada di tangan-Nya,
tidak keluar dari muutku, selain kebenaran.9

B. Hadits Pada Masa Khulafa’ Rasyidin


Periode kedua sejarah perkembangan hadits adalah masa Khulafa‟ Rasyidin (Abu Bakar,
Umar Ibn al-Khattab, Usman Ibn Affan, Ali Ibn Abi Thalib) yang berlangsung sekitar tahun
11 H s/d 40 H. Masa ini juga disebut dengan masa sahabat besar.

Karena pada masa ini perhatian para sahabat masih terfokus pada pemeliharaan dan
penyebaran Al-Qur‟an, maka periwayatan hadits belum begitu berkembang dan kelihatannya
berusaha membatasinya. Oleh karena itu, masa ini oleh para ulama dianggap sebagai masa
yang menunjukkan adanya pembatasan periwayatan.10

Pembatasan penyederhanaan hadis, yang ditunjukkan oleh para sahabat dengan sikap
kehati-hatiannya menggunakan dua jalan dalam meriwayatkan hadits dari Nabi Muhammad
SAW, yaitu:

5. Periwayatan Lafzhi adalah periwayatan hadis yang redaksinya atau matannya persis
seperti yang diwurudkan Rasulullah SAW, dan hanya bisa dilakukan apabila mereka
hafal benar apa yang disabdakan Rasulullah SAW.
6. Periwayatan Maknawi adalah periwayatan hadis yang matannya tidak persis sama dengan
yang didengarnya dari Rasulullah SAW, akan tetapi isi atau maknanya tetap terjaga

9
M. Agus Solihin dan Agus Suyadi, UlumulHadis (Bandung: Pustaka Setia, 2013), 59.
10
Munzier Suparta, Ilmu Hadits, 79.

8
secara utuh, sesuai dengan yang dimaksudkan oleh Rasulullah SAW, tanpa ada
perubahan sedikitpun.11
Dengan demikian, para sahabat Nabi Muhammad SAW sangat kritis dan hati-hati dalam
periwayatan hadits. Tradisi tersebut menunjukkan bahwa mereka sangat peduli tentang
kebenaran dalam periwayatan hadits, diantaranya:
a. Para sahabat, bersikap cermat dan hati-hati dalam menerima suatu riwayat. Ini
dikarenakan meriwayatkan hadits Nabi Muhammad SAW merupakan hal penting,
sebagai wujud kewajiban taat kepadanya.
b. Para sahabat melakukan penelitian dengan cermat terhadap periwayat maupun isi
riwayat itu sendiri.
c. Para sahabat, sebagaimana dipelopori Abu Bakar, mengharuskan adanya saksi dalam
periwayatan hadits.
d. Para sahabat, sebagaimana dipelopori Ali Ibn Abi Thalib, meminta sumpah dari
periwayatan hadits.
e. Para sahabat menerima riwayat dari satu orang yang terpercaya.
f. Diantara para sahabat terjadi penerimaan dan periwayatan hadis tanpa pengecekan
terlebih dahulu apakah benar dari Nabi atau perkataan orang lain dikarenakan mereka
memiliki agama yang kuat sehingga tidak mungkin berdusta.12

C. Hadits Pada Masa Tabi’in


Pada era tabi‟in, keadaan sunnah tidak jauh berbeda dari era sahabat. Namun pada masa
ini, Al-Qur‟an telah dikodifikasi dan disebarluaskan ke seluruh negeri Islam, maka tabi‟in
dapat memfokuskan diri dan mempelajari sunnah dari para sahabat. Kemudahan lain, yang
diperoleh tabi‟in karena sahabat Nabi Muhammad SAW telah menyebar ke seluruh penjuru
dunia Islam. Sehingga, mereka mudah mendapatkan informasi tentang sunnah.

1. Pusat-pusat Pembinaan Hadits


Tercatat beberapa kota sebagai pusat pembinaan dalam periwayatan hadits, sebagai
tempat tujuan para tabi‟in dalam mencari hadis. Kota-kota tersebut ialah Madinah Al-
Munawwarah, Makkah Al-Mukarramah, Kuffah, Basrah, Syam, Mesir, Maghribi dan

11
Munzier Suparta, Ilmu Hadits, 83-84.
12
Idri, Studi Hadits, 40-41.

9
Andalusia, Yaman dan Khurasan. Ada beberapa orang yang meriwayatkan hadis pada kota-
kota tersebut, antara lain Abu Hurairah, Abdullah Ibn Umar, Anas Ibn Malik, Aisyah,
Abdullah Ibn Abbas, Jabir Ibn Adillah dan Abi Sa‟id Al-Khudri.

Pusat pembinaan pertama adalah Madinah, karena disinilah Rasulullah SAW menetap
setelah hijrah dan Rasulullah SAW juga membina masyarakat Islam yang didalamnya terdiri
atas Muhajirin dan Anshar. Para sahabat yang menetap disini, diantaranya Khulafa‟
Rasyidin, Abu Hurairah, Sii Aisyah, Abdullah Ibn Umar dan Abu Sa‟id Al-Khudri, dengan
menghasilkan para pembesar Zuhri, Ubaidillah Ibn „Utbah Ibn Mas‟ud dan Salim Ibn
Abdillah Ibn Umar. tabi‟in, seperti Sa‟id Ibn Al-Musyayyab, „Urwah Ibn Zubair, Ibn Syihab
Al-Zuhri. Di antara ulama hadits yang menghimpun hadits pada masa ini adalah: Ibnu Juraij
(w. 150 H di Makkah), Al-Awza‟I di Syiria (w. 159 H), Sufyan at-Tsawri di Kufah (w. 161
H), Imam Malik al-Muwaththa‟ di Madinah (w. 174 H), dan lain-lain.13

2. Pergolakan Politik dan Pemalsuan Hadits


Pergolakan ini sebenarnya terjadi pada masa sahabat, setelah terjadinya perang Jamal dan
perang Siffin, yaitu ketika kekuasaan dipegang oleh Ali Ibn Abi Thalib. Akan tetapi
akibatnya cukup panjang dan berlarut dengan terpecahnya umat Islam ke dalam beberapa
kelompok (Khawarij, Syi‟ah, Mu‟awiyah, dan golongan mayoritas yang tidak masuk ke
dalam ketiga kelompok tersebut).

Demikian, dari pergolakan politik tersebut memberikan pengaruh negatif, yakni dengan
munculnya hadis-hadis palsu (mawdhu‟) untuk mendukung kepentingan politiknya masing-
masing kelompok dan untuk menjatuhkan posisi lawan-lawannya. Sedangkan pengaruh
positifnya ialah lahirnya rencana dan usaha yang mendorong diadakannya kodifikasi atau
tadwin hadis, sebagai upaya penyelamatan dari pemusnahan dan pemalsuan, sebagai akibat
dari pergolakan politik tersebut.14

13
Noor Sulaiman PL, Antologi Ilmu Hadits (Jakarta: Gaung Persada Press, 2009), 70.
14
Munzier Suparta, Ilmu Hadits, 85-88.

10
3. Perkembangan Pembukuan Hadis
Perkembangan pembukuan hadis pada masa ini ada 3 bentuk, yaitu sebagai berikut:

a. Musnad, yaitu menghimpun semua hadis dari tiap-tiap sahabat tanpa memperhatikan
masalah atau topiknya, tidak per bab seperti fiqh dan kualitas hadisnya ada yang
shahih, hasan, dan dha‟if.
b. Al-Jami‟, yaitu teknik pembukuan hadis yang mengakumulasi sembilan masalah, yakni
aqa‟id, hukum, perbudakan (riqaq), adab makan minum, tafsir, tarikh dan sejarah, sifat-
sifat akhlak (syama‟il), fitnah dan sejarah (manaqib).
c. Sunan, yaitu teknik penghimpunan hadis secara bab seperti fiqh, setiap bab memuat
beberapa hadis dalam satu topik, seperti Sunan An-Nasa‟i, Sunan Ibnu Madjah, dan
Sunan Abu Dawud. Di dalam kitab ini ada yang shahih, hasan, dan dha‟if, tetapi tidak
terlalu dha‟if seperti hadis Munkar.15

D. Masa Kodifikasi Hadis


1. Definisi Kodifikasi Hadis
Kata kodifikasi dalam bahasa Arab dikenal dengan al-tadwin yang berarti
codification, yaitu mengumpulkan dan menyusun. Secara istilah, kodifikasi adalah
penulisan dan pembukuan hadis Nabi Muhammad SAW secara resmi berdasar perintah
khalifah dengan melibatkan beberapa personel yang ahli dalam masalah ini, bukan yang
dilakukan secara perseorangan atau untuk kepentingan pribadi. Dengan kata lain,
kodifikasi hadis (tadwin hadis) adalah penghimpunan, penulisan, dan pembukuan hadis
Nabi atas perintah resmi dari penguasa negara (khalifah), bukan dilakukan atas inisiatif
sendiri. Tujuannya untuk menjaga hadis Nabi Muhammad SAW dari kepunahan dan
kehilangan baik karena banyaknya periwayat penghafal hadis yang meninggal maupun
karena adanya hadis palsu yang dapat mengacaubalaukan keberadaan hadis-hadis Nabi
Muhammad SAW.

Jadi, kodifikasi hadis disini adalah penulisan, penghimpunan, dan pembukuan hadis
Nabi Muhammad SAW yang dilakukan berdasar perintah resmi khalifah „Umar Ibn „Abd
al-Aziz, khalifah kedelapan Bani Umayyah yang kemudian kebijakannya itu

15
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis (Jakarta: Amzah, 2012), 64-65.

11
ditindaklanjuti oleh para ulama di berbagai daerah hingga pada masa berikutnya hadis
terbukukan dalam kitab hadis.16

2. Sejarah dan Perkembangan Kodifikasi Hadis


a. Kodifikasi Hadis Abad II Hijriyah
1) Tokoh-tokoh hadis abad ke-2 hijriyah
Di antara tokoh-tokoh hadis yang masyhur dalam abad ke-2 Hijriyah ialah Malik,
Yahya Ibn Said al-Qaththan, Waki‟ Ibn al-Jarrah, Sufyan ats-Tsaury, Ibnu Uyainah,
Syu‟bah Ibn Hajjaj, Abd ar-Rahman Ibn Mahdy, Al-Auza‟y, Al-Laits, Abu Hanifah,
Asy-Syafi‟y.

2) Kitab-kitab hadis yang terkenal dalam abad ke-2 hijriyah


Adapun kitab-kitab hadis yang telah dibukukan dan terkenal di kalangan ahli hadis,
ialah:

a) Al-Muwaththa‟, susunan Imam Malik (95-179 H).


b) Al-Maghazi wa as-Siyar, susunan Muhammad Ibn Ishaq (150 H).
c) Al-Jami‟, susunan Abd ar-Razzaq ash-Shan‟any (211 H).
d) Al-Mushannaf, susunan Syu‟bah Ibn Hajjaj (160 H).
e) Al-Mushannaf, susunan Sufyan Ibn Uyainah (198 H).
f) Al-Mushannaf, susunan Al-Laits Ibn Sa‟ad (175 H).
g) Al-Mushannaf, susunan Al-Auza‟y (150 H).
h) Al-Mushannaf, susunan Al-Humaidy (219 H).
i) Al-Maghazi an-Nabawiyah, susunan Muhammad Ibn Waqid al-Aslamy (130-207
H).
j) Al-Musnad, susunan Abu Hanifah (150 H).
k) Al-Musnad, susunan Zaid Ibn Ali
l) Al-Musnad, susunan Imam Asy-Syafi‟y (204 H).
m) Mukhtalif al-Hadis, susunan Imam As-Syafi‟y.
3) Kedudukan dan keadaan kitab-kitab hadis abad ke-2 hijriyah

16
Idri, Studi Hadis, 93.

12
Di antara kitab-kitab abad ke-2 yang mendapat perhatian ulama secara umum
adalah Al-Muwaththa‟ (susunan Imam Malik), Al-Musnad dan Mukhtalif al-Hadis
(susunan Imam Asy-Syafi‟y) serta As-Sirah an-Nabawiyah atau Al-Maghazi wa as-
Siyar (susunan Ibnu Ishaq).

Al-Muwaththa‟ paling terkenal dan mendapat sambutan yang sangat besar dari
ulama dan para ahli karena banyak yang membuat syarah (penjelasannya) dan
mukhtashar (ringkasannya). Kitab ini mengandung 1.726 rangkaian khabar dari Nabi
SAW, sahabat, dan tabi‟in. Khabar yang musnad sejumlah 600, yang mursal sejumlah
228, yang mauquf sejumlah 613 dan yang maqthu‟ 285. 17

b. Kodifikasi Hadis Abad III Hijriyah


Abad ketiga Hijriyah merupakan puncak usaha pembukuan hadis (Masa Keemasan).
Ulama‟ hadits yang muncul pada abad ini digelari Muqaddimin, yang mengumpulkan
hadis dengan semata-mata berpegang pada usaha sendiri dan pemeriksaan sendiri
dengan menemui para penghapalnya yang tersebar di setiap pelosok dan penjuru Negara
Arab, Persia, dan lain-lain.18

1) Tokoh-tokoh hadis abad ke-3 hijriyah


Di antara tokoh-tokoh hadis yang lahir pada masa ini ialah Ali Ibn al-Madiny, Abu
Hatim ar-Razy, Muhammad Ibn Jarir ath-Thabary, Muhammad Ibn Sa‟ad, Ishaq Ibn
Rahawaih, Ahmad, Al-Bukhary, Muslim, An-Nasa‟y, Abu Daud, Ibnu Madjah, Ibnu
Qutaibah, Ad-Dainury.

2) Kitab-kitab hadis yang tersusun dalam abad ke-3 hijriyah


Kitab-kitab hadis yang tersusun dalam abad ke-3 hijriyah di antaranya:

a) Al-Musnad, susunan Musa Ibn Abdillah al-Abasy


b) Al-Musnad, susunan Musaddad Ibn Musarhad.
c) Al-Musnad, susunan Abu Daud ath-Thayalisy (kitab ini dikumpulkan oleh para
penghafal hadis berdasar kepada riwayat Yunus Ibn Habib dari Ath-Thayalisy).

17
Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis (Semarang: Pustaka Rizki Putra,
2009), 55-58.
18
Agus Solahudin, Ulumul Hadis (Bandung; Pustaka Setia, 2008), 45.

13
d) Al-Musnad, susunan Nu‟aim Ibn Hammad.
e) Al-Musnad, susunan Abu Ya‟la al-Maushily.
f) Al-Musnad, susunan Al-Humaidy.
g) Al-Musnad, susunan Ali al-Madiny.
h) Al-Musnad, susunan Abed Ibn Humaid.
i) Al-Musnad al-Mu‟allal, susunan Al-Bazzar.
j) Al-Musnad, susunan Baqy Ibn Makhlad (201-296 H). musnad ini paling luas
isinya daripada musnad-musnad yanng lain.
k) Al-Musnad, susunan Ibnu Rahawaih (237 H).
l) Al-Musnad, susunan Ahmad Ibn Hanbal.
m) Al-Musnad, susunan Muhammad Ibn Nashr al-Marwazy.
n) Al-Musnad, susunan Abu Bakar Ibn Abi Syaibah (235 H).
o) Al-Musnad, susunan Abu al-Qasim al-Baghawy (214 H).
p) Al-Musnad, susunan Utsman Ibn Abi Syaibah (293 H).
q) Al-Musnad, susunan Abu al-Husain Ibn Muhammad al-Masarkhasy (298 H).
Dalam musnad ini dikumpulkan seluruh hadis Az-Zuhry.
r) Al-Musnad, susunan Ad-Darimy. Musnad ini disusun menurut bab demi bab).
Seharusnya digolongkan ke dalam mushannaf. Dinamakan musnad karena hadis
yang diriwayatkannya secara musnad. Al-Bukhary pun menamai kitabnya
dengan Al-Musnad ash-Shahih.
s) Al-Musnad, susunan Said Ibn Manshur.
t) Al-Musnad, susunan Al-Imam Ibn Jabir.
Maka dengan usaha ulama besar abad ke-3, tersusunlah kitab hadis dalam tiga
macam, yaitu:
a) Kitab-kitab shahih ialah kitab-kitab yang penyusunannya tidak memasukkan
ke dalamnya, selain hadis-hadis yang shahih saja.
b) Kitab-kitab sunan ialah kitab-kitab yang penulisnya tidak dimasukkan ke
dalam hadis-hadis yang munkar dan yang sepertinya.
c) Kitab-kitab musnad ialah kitab-kitab yang penyusunannya memasukkan ke
dalamnya segala rupa hadis-hadis yang diterima, dengan tidak menyaring dan

14
tidak menerangkan erajat-derajatnya. Oleh karena itu, derajatnya di bawah
derajat kitab sunan.19
Pada masa ini tersusun 6 kitab hadits terkenal yang bisa disebut Kutub al-
Sittah, yaitu:
a) Al-Jami‟al-Shahih karya Imam al-Bukhari (194-252 H).
b) Al-Jami‟ al-Shahih karya Imam Muslim (204-261 H).
c) Al-Sunan Abu Dawud karya Abu Dawud (202-261 H).
d) Al-Sunan karya al-Tirmidzi (200-279 H).
e) Al-Sunan karya al-Nasa‟ie (215-302 H).
f) Al-Sunan karya Ibn Madjah (207-273 H).20
c. Kodifikasi Hadits Abad IV-VII H
Masa ini adalah masa pemeliharaan, penertiban, penambahan, dan penghimpunan
(„ashr al-tahzib wa al-tartib wa al-istidrak wa al-jam‟u) dan berlangsung sekitar dua
setengah abad, yaitu antara abad keempat sampai pertengahan abad ketujuh Masehi,
saat jatuhnya Dinasti Abbasiyah ke tangan Khulagu Khan tahun 656 H/1258 M.
Gerakan ulama hadis pada masa ini sebenarnya tidak jauh beda dengan gerakan ulama
pada masa sebelumnya.

1) Kitab-kitab yang tersusun dalam abad IV-VII H


a) Kitab Syarah ialah kitab hadis yang memperjelas dan mengomentari hadits-hadits
tertentu yang sudah tersusun dalam beberapa kitab hadits sebelumnya.
b) Kitab Mustakhrij ialah kitab hadits yang metode pengumpulan haditsnya dengan
cara mengambil hadits dari ulama tertentu lalu meriwayatkannya dengan sanad
sendiri yang berbeda dari sanad ulama hadits tersebut.
c) Kitab Athraf ialah kitab hadis yang hanya memuat sebagian matan hadits, tetapi
sanadnya ditulis lengkap.
d) Kitab Mustadrak ialah kitab yang memuat hadits-hadits yang memenuhi syarat-
syarat Bukhari dan Muslim atau syarat salah satu dari keduanya.
e) Kitab Jami‟ ialah kitab yang memuat hadits-hadits yang telah termuat dalam kitab-
kitab yang telah ada.

19
Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, 59-70.
20
Atang Abd. Hakim & Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012), 92.

15
2) Tokoh-tokoh hadits abad IV-VII H
Di antara ulama hadits yang terkenal dalam masa ini adalah Sulaiman bin Ahmad al-
Thabari, „Abd al-Hasan Ali bin Umar bin Ahmad al-Daruquhni, Abu Awanah Ya‟kub
al-Safrayani, Ibnu Khuzaimah Muhammad bin Ishaq, Abu Bakr Ahmad bin Husain Ali
al-Baihaqi, Majuddin al-Harrani, Al-Syaukani, Al-Munziri, Al-Shiddiqi, Muhyiddin
Abi Zakaria al-Nawawi.

d. Kodifikasi Hadis Abad ketujuh Hijriyah sampai Sekarang


Masa ini adalah masa persyarahan, penghimpunan, dan pentakhrijan („Ahd al-syarh
wa al-jamu‟ wa al-takhrij wa al-bahts). Ulama pada masa ini mulai mensistemisasi
hadits-hadits menurut kehendak penyusun, memperbarui kitab-kitab mustakhraj dengan
cara membagi hadits menurut kualitasnya.21

1) Tokoh-tokoh hadis dalam abad ke-7 Hijriyah sampai sekarang


Di antara ulama hadis yang terkenal dalam masa ini ialah Az-Zahaby (748 H),
Ibnu Sayyid an-Nas (734 H), Ibnu Daqiq al-Ied, Mughlathai (862 H), Al-Asqalany
(852 H), Ad-Dimyaty (705 H), Al-Ainy (855 H), As-Sayuthy (911 H), Az-Zarkasy
(794 H), Al-Mizzy (742 H), Al-Ala‟y (761 H), Ibnu Katsir (744 H), Az-Zaila‟y (762
H), Ibnu Rajab (795 H), Ibnu Mulaqqin (804 H), Al-Bulqiny (805 H), Al-Iraqy (806
H), Al-Haitsamy (807 H), Abu Zur‟ah (806 H).

2) Kitab-kitab hadits yang tersusun dalam abad ke-7 Hijriyah sampai sekarang
a) Kitab hadits yang disusun dalam abad ke-7 Hijriyah
- Ath-Targhib, susunan Al-Hafizh Abdul Azhim Ibn Abd al-Qawy Ibn Abdullah
al-Mundziry (656 H).
- Al-Jami‟ baina ash-Shahihain, susunan Ahmad Ibn Muhammad al-Qurthuby,
yang terkenal dengan nama Ibnu Hujjah (642 H).
- Muntaqa Al-Akhbar fi al-Ahkam, susunan Majduddin Abul Barakah Abd as-
Salam Ibn Abdillah Ibn Abi al-Qasim al-Harrany (652 H).
- Al-Mukhtarah, susunan Muhammad Ibn Abdil Wahid al-Maqdisy (643 H) yang
mentashih hadis yang belum ditashih oleh ulama sebelumnya.

21
Atang Abd. Hakim & Jaih Mubarok,Metodologi Studi Islam, 93.

16
- Riyadh ash-Shalihin, oleh Imam An-Nawawy. Kitab ini telah disyarahkan oleh
Ibnu Ruslan ash-Shiddiqy dalam kitab Dalil al-Falihin.
- Al-Arbain, oleh An-Nawawy dan telah disyarahkan oleh banyak ulama, di
antaranya Ahmad Hijazy al-Faryany dalam kitab Al-Majelis ats-Tsaniyah „ala
al-Arba‟in an-Nawawiyah.
b) Kitab hadis yang disusun dalam abad ke-8 Hijriyah
- Jami‟ al-Masanid was-Sunan al-Hadis ila Aqwami Sanan, susunan Al-Hafizh
Ibnu Katsir.
- Al-„Ilmam fi Ahadis al-Ahkam, susunan Al-Imam Ibnu Daqiq al-Ied (792 H).
Kitab ini telah disyarahkan oleh penulisnya dalam kitabnya Al-Imam.
c) Kitab hadis yang disusun dalam abad ke-10 Hijriyah
- Ith-haf al-Khiyar bi Zawa‟id al-Masanid al-„Asyrah, susunan Muhammad Ibn
Abu Bakar al-Baghawy (804 H).
- Bulugh Al-Maram, susunan Al-Hafizh Al-Asqalany. Di dalamnya dikumpulkan
sejumlah 1.400 hadis.
- Majma‟ az-Zawa‟id wa Mamba‟ al-Fawa‟id, susunan Al-Hafizh Abu al-Hasan
Ali Ibn Abi Bakr Ibn Sulaiman asy-Syafi‟y al-Haitamay (1303 H). Di dalamnya
dikumpulkan Zawa‟id dari musnad-musnad Ahmad, Abu Ya‟la, Al-Bazzar dan
mu‟jam Ath-Thabrany.22

3. Perkembangan Pembukuan Hadis


Perkembangan pembukuan hadis pada abad 4-6 H ialah sebagai berikut:

a. Mu‟jam, artinya penghimpunan hadits yang diperleh berdasarkan nama sahabat


secara abjad seperti Al-Mu‟jam Al-Kabir Sulaiman bin Ahmad Ath-Thabrani (ww.
360 H).
b. Shahih, artinya metode pembukuannya mengikuti metode pembukuan hadis
Shahihayn (Bukhari dan Muslim) yang hanya mengumpulkan hadits yang shahih
saja menurut penulisnya seperti Shahih Ibnu Hibban Al-Bas‟ti (w. 354 H), dan
lain-lain.

22
Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, 88-93.

17
c. Al-Mustadrak, artinya menambah beberapa hadis shahih yang belum disebutkan
dalam kitab Bukhari dan Muslim serta menurutnya telah memenuhi persyaratan
keduanya, seperti Al-Mustadrak „ala Al-Shahihayn yang ditulis Abi Abdullah Al-
Hakim An-Naisaburi (w. 405 H).
d. Sunan, metode penulisannya seperti kitab Sunan abad sebelumnya, yaitu
cakupannya hadis-hadis tentang hukum seperti fiqh dan kualitasnya meliputi
shahih, hasan, dha‟if, seperti Muntaqa Ibnu Al-Jarud (w. 307 H), Sunan Ad-
Daruquthni (w. 385 H) dan Sunan Al-Bayhaqi (w. 458 H).
e. Syarah, yaitu penjelasan hadis baik yang berkaitan dengan sanad atau matan,
terutama maksud dan makna matan hadis atau pemecahannya jika terjadi
kontradiksi dengan ayat atau dengan hadis lain, misalnya Syarh Ma‟ani Al-Atsar,
dan Syarah Musykil Al-Atsar yang ditulis Ath-Thahawi (w. 321 H).
f. Mustakhraj adalah seorang penghimpun hadis mengeluarkan beberapa buah hadis
dari sebuah hadis seperti yang diterima dari gurunya sendiri dengan menggunakan
sanad sendiri, misalnya Mustadrakhraj Abi Bakr Al-Isma‟ili „ala Shahih Bukhari
(w. 371 H).
g. Al-Jam‟u, gabungan dua atau beberapa buku hadis menjadi satu buku, Al-Jam‟u
Bayn Ash- Shahihayn yang ditulis oleh Isma‟il bin Ahmad yang dikenal dengan
Ibnu Al-Furat (w. 401 H) Al-Jam‟u Bayn Ash-Shahihayn ditulis Al-Husin bin
Mas‟ud Al-Baghawi (w. 516 H), At-Tajrid li Ash-Shahah wa As-Sunan gabungan
Shahihayn, Al-Muwaththa‟, dan kitab-kitab Sunan selain Ibnu Madjah, ditulisoleh
Abu Al-Hasan Razin bin Mu‟awiyah As-Sirqisthi (w. 535 H) dan Jami‟ Al-Ushul
li Ahadis Ar-Rasul yang ditulis oleh Ibnu Al-Atsir Al-Jazari (w. 606 H) gabungan
6 kitab hadis.23
Perkembangan penulisan hadits pada abad intinya adalah menyusun kembali
kitab-kitab hadis terdahulu secara tematik, baik dari segi matan dan sanadnya untuk
memudahkan bagi umat Islam untuk mempelajarinya ialah sebagai berikut:
a. Al-Mawdhu‟at, yaitu menghimpun hadis-hadis yang mawdhu‟ saja ke dalam
sebuah buku, seperti Al-Mawdhu‟at ditulis oleh Al-Asbahani (w. 414 H), Al-

23
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits, 66-67.

18
Mawdhu‟at ditulis oleh Ibnu Al-Jauzi (w. 597 H) dan Al-La‟ali Al-Mashnu‟at fi
Al-Ahadits Al-Mawdhu‟at oleh Jalaludin As-Suyuthi (w. 911 H).
b. Al-Ahkam, yaitu menghimpun hadis-hadis tentang hukum saja seperti fiqh,
misalnya Al-Ahkam Al-Kubra ditulis oleh Ibnu Al-Kharath (w. 581 H), „Umdah
Al-Ahkam oleh Al-Maqdisi (w. 600 H) Dan Bulugh Al-Maram oleh Al-Asqalani
(w. 852 H).
c. Al-Athraf, artinya teknik pembukuan hadis dengan menyebutkan permulaan
hadisnya saja, misalnya Athraf Al-Kutub As-Sittah ditulis oleh Al-Maqdish
dikenal Ibnu Al-Qisrani (w. 507 H).
d. Takhrij, yaitu seorang muhaddits mengeluarkan beberapa hadis yang ada dalam
buku hadis atau pada buku lain dengan menggunakan sanad sendiri atau ditelusuri
sanad dan kualitasnya. Missal, Irwa‟ Al-Ghalil fi Takhrij Ahadits Mannar As-
Sabil, oleh Nashiruddin Al-Albani.
e. Zawa‟id, yaitu penggabungan beberapa kitab tertentu seperti Musnad dan Mu‟jam
ke beberapa buku induk hadis. Missal, Majma‟ Az-Zawa‟id wa Manba‟ Al-
Fawa‟id ditulis oleh Al-Haitami (w. 807 H). Zawa‟id diartikan mengumpulkan
hadis-hadis yang tidak terdapat dalam kitab-kitab yang sebelumnya ke dalam
sebuah kitab seperti Zawa‟id Ibnu Madjah dan Zawa‟id As-Sunan Al-Kubra
disusun oleh Al-Bushri (w. 840 H).
f. Jawami‟ atau Jami‟, sebuah kitab hadis yang menghimpun hadis-hadis Nabi
secara mutlak, seperti Al-Jami‟ Al-Kabir yang dikenal dengan sebutan Jami‟ Al-
Jawami‟ dan Al-Jami‟ Ash-Shaghir tulisan As-Suyuthi (w. 911 H).
Dengan demikian, mulai abad terakhir ini sampai sekarang dapat dikatakan tidak
ada kegiatan yang berarti dari para ulama dalam bidang hadis, kecuali hanya
membaca, memahami, takhrij, dan memberikan syarah hadis yang telah terhimpun
sebelumnya.24

24
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits, 68-70.

19
4. Kodifikasi Hadis Secara Resmi
Kodifikasi hadis secara resmi ialah pengumpulan dan penulisan hadis atas
perintah Khalifah atau penguasa daerah untuk disebarkan kepada msyarakat. Para
ulama hadis sepakat mengatakan bahwa kodifikasi hadis mulai dilakukan oleh
Khalifah Umar bin „Abd „Aziz yang memerntahkan pada tahun 99-101 H.
Berdasarkan beberapa riwayat, bahwa kekhawatiran akan hilangnya hadis dan
lenyapnya para ulama hadis merupakan faktor utama yang menyebabkan Khalifah
Umar bin „Abd „Aziz untuk melakukan kodifikasi hadis. Faktor yang lain adalah
timbulnya hadis maudhu‟ sebagai akibat meluasnya wilayah Islam dan terjadinya
perselisihan di kalangan kaum Muslimin mendorong khalifah untuk menghimpun dan
membukukan hadis. Faktor-faktor penyebab dilakukannya kodifikasi hadis tersebut
dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu:
a. Faktor Internal
1) Pentingnya menjaga autentisitas dan eksistensi hadis, serta petunjuk untuk
keselamatan dalam menempuh kehidupan dunia akhirat.
2) Semangat untuk menjaga hadis, sebagai salah satu warisan Nabi yang sangat
berharga, yakni Al-Qur‟an dan Hadis. Jika umat Islam berpegang pada
keduanya mereka tidak akan tersesat selamanya.
3) Adanya kebolehan dan izin untuk menulis hadis pada saat itu.
4) Para penghafal dan periwayatan hadis semakin berkurang karena meninggal
dunia baik disebabkan adanya peperangan maupun yang lainnya.
5) Rasa bangga dan puas ketika mampu menjaga hadis Nabi dengan menghafal
dan kemudian meriwayatkannya.
b. Faktor Eksternal
1) Penyebaran Islam dan semakin meluasnya daerah kekuasaan Islam, sehingga
banyak periwayatan hadis yang tersebar ke berbagai daerah.
2) Kemunculan dan meluasnya pemalsuan hadis yang disebabkan oleh perbedaan
politik dan aliran.25
Jadi, dari beberapa faktor tersebut, dapat disimpulkan bahwa adanya penulisan
hadis karena kekhawatiran hilangnya hadis dan kemurnian hadis. Kodifikasi hadis

25
Idri, Studi Hadits, 104-105.

20
secara resmi dilanjutkan dengan pembukuan hadis yang dilakukan para penguasa
Bani Umayyah dan para ulama.26
Selanjutnya, Syihab Az-Zuhri (09-124 H) mulai melaksanakan pembukuan hadis
sekaligus dilakukan usaha penyeleksian hadis yang maqbul dan mardud dengan
metode sanad dan isnad. Kemudian pembukuan hadis dilanjutkan secara lebih teliti
oleh Imam ahli hadis, seperti Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Nasa‟i, Abu Dawud, Ibnu
Majah, dan lain-lain. Dari mereka kita kenal dengan Kutubus Sittah, yaitu Shahih Al-
Bukhari, Shahih Muslim, Sunan An-Nasa‟i, Abu Dawud, Ibnu Majah.27

26
Ramli Abdul Wahid, Studi Ilmu Hadis (Medan: Citapustaka Media Perintis, 2011), 67-76.
27
Agus Solahudin, Ulumul Hadits, 62-63.

21
BAB III

KESIMPULAN

A. Kesimpulan
Sejarah perkembangan hadits merupakan masa atau periode yang telah dilalui oleh hadits
dari masa lahirnya dan tumbuh dalam pengenalan, penghayatan, dan pengamalan umat dari
generasi ke generasi. Ada beberapa periode dalam sejarah perkembangan hadis, antara lain:

Hadits Perkembangan Karakteristik Model Buku


Penulisan
Masa Larangan Hadis dihafal di luar Catatan kepentingan pribadi
Rasul Penulisan kepala dalam bentuk lembaran
(shahifah)
Khulafa’ Penyederhanaan disertai sumpah dan Catatan pribadi dalam bentuk
Rasyidin periwayatan hadis saksi pada masa ini lembaran (shahifah)
Tabi’in Penghimpunan bercampur antara Mushannaf, Muwaththa‟,
hadis (Al-Jam‟u hadis Nabi dan fatwa Musnad, Jami‟
wa At-Tadwin). sahabat dan aqwal
sahabat
Kodifikasi Penghimpunan Referensi (muraja‟ah) Mu‟jam, Mustadrak, Zawa‟id,
dan penertiban pada buku-buku Jami‟ dan lain-lain.
secara sistematik sebelumnya tetapi
(al-Jam‟u wa at- lebih sistematis.
tanzhim).

Faktor-faktor penyebab dilakukannya kodifikasi hadis, yaitu kekhawatiran hilangnya


hadis dan kemurnian hadis.

22
B. Saran
Berkaitan dengan sejarah perkembangan hadis, kami menyadari bahwa dari berbagai
referensi yang ada masih banyak kesalahan dan kekurangan dalam segi penulisan, sehingga
terjadi kesalahpahamman dalam konsep sejarah perkembangan hadis. Dan kami berharap
dari refisian makalah ini, semoga dapat bermanfaat bagi pembaca dan barokah. Amin.

23
DAFTAR PUSTAKA

As-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis. Semarang:
Pustaka Rizki Putra, 2009.

Hakim, Atang Abd & Jaih Mubarok. Metodologi Studi Islam. Bandung: Remaja Rosdakarya,
2012.

Idri. Studi Hadis. Jakarta: Kencana, 2010.

Khon, Abdul Majid. Ulumul Hadis. Jakarta: Amzah, 2012.

PL, Noor Sulaiman. Antologi Ilmu Hadits. Jakarta: Gaung Persada Press, 2009.

Solahudin, Agus. Ulumul Hadis. Bandung: Pustaka Setia, 2008.

Sumbulah, Umi. Kajian Kritis Ilmu Hadis. Malang: UIN Maliki Press, 2010.

Suparta, Munzier. Ilmu Hadis. Jakarta: Rajawali Press, 2010.

Wahid, Ramli Abdul. Studi Ilmu Hadis. Medan: Citapustaka Media Perintis, 2011.

24

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai