Adaptasi LAS Dan GAS
Adaptasi LAS Dan GAS
Disusun oleh :
A. Pengertian Adaptasi
Adaptasi merupakan proses dan hasil dimana berpikir dan merasa orang,
sebagai individu atau dalam kelompok, yang menggunakan kesadaran dan pilihan
untuk membuat integrasi manusia dan lingkungan. (Hidayat, 2011).
Jadi adaptasi merupakan suatu proses perubahan yang menyertai individu dalam
berespons terhadap perubahan yang ada di lingkungan dan dapat mempengaruhi
keutuhan keutuhan tubuh baik secara fisiologis maupun psikologis yang akan
menghasilkan perilaku adaptif. (Mutakkim, et. al., 2012)
B. Macam-macam Adaptasi
Menurut Mutakkim et. al. (2012), adaptasi di bagi menjadi beberapa macam
yaitu:
1. Adaptasi Fisiologis
Adaptasi ini merupakan proses penyesuaian tubuh secara alamiah atau secara
fisiologis untuk mempertahankan keseimbangan dari berbagai faktor yang
menimbulkan atau mempengaruhi keadaan menjadi tidak seimbang. Adaptasi
fisiologis dibagi menjadi dua yaitu:
a. LAS (Local Adaptation Syndroma)
b. GAS (General Adaptation Syndroma)
2. Adaptasi Psikologi
Seseorang yang menghadapi stress akan mengalami kondisi-kondisi yang
tidak mengenakkan secara psikis seperti timbulnya rasa cemas, frustasi,
terancam, tak tentram yang semuanya itu berdampak pada munculnya suatu
kontak konflik dalam jiwa mereka. dan konflik tersebut diekspresikan dalam
bentuk kemarahan atau ekspresi-ekspresi lain yang dapat membuat orang
tersebut merasa sedikit nyaman atau terlepas dari stress yang dihadapinya.
4. Adaptasi Spiritual
Setiap agama dan kepercayaan mengandung ajaran yang hendaknya harus
dijalankan oleh penganutnya. Ajaran-ajaran ini tentunya juga harus turut andil
dalammengatur perilaku manusia ini. Oleh karena itu dalam rangka
memenuhi ajaran-ajaran tersebut pasti terjadi perubahan dalam perilaku
manusia
C. Pengertian Respon
a. Soerjono Soekanto
Respon adalah tanggapan seseorang terhadap stimulus yang dihadapinya, yang terjadi
setelah memberikan persepsi terhadapnya. Persepsi menunjukkan adanya aktivitas
merasakan, menginterpretasikan dan memahami objek-objek baik fisik maupun sosial. Faktor
interpretasi meliputi cara-cara dimana organisme sebagai suatu kesatuan yang aktif dana
dinamis mengorganisasikan persepsinya. Disamping itu meliputi pengalaman masa lalunya
pula. (Siswanto, 2007)
Respons terhadap stresor yang diberikan setiap individumenurut Mutakkim et. al.
(2012), akan berbeda berdasarkan faktor yang akan mempengaruhi dari stresor tersebut, dan
koping yang dimiliki individu, di antara stresor yang dapat mempengaruhi respons tubuh
antara lain :
1. Sifat stresor
Sifat streor merupakan faktor yang dapat mempengaruhi respons tubuh terhadap
stresor. Sifat stresor ini dapat berupa tiba-tiba atau berangsur-angsur, sifat ini pada
setiap individudapat berbeda tergantung dari pemahaman tentang arti stresor.
2. Durasi stresor
Lamanya durasi stresor yang dialami klien akan mempengaruhi respons tubuh. Apabila
stresor yang dialami lebih lama, maka respons yang dialaminya juga akan lebih lama
dan dapat mempengaruhi dari fungsi tubuh yang lain.
3. Jumlah streso
Jumlah stresor yang dialami seseorang dapat menentukan respons tubuh. Semakin
banyak stresor yang dialami seseorang , dapat menimbulkan dampak yang besar bagi
fungsi tubuh juga sebaliknya dengan jumlah stresor yang dialami banyak dan mampu
menghadapinya, maka semakin baik dalam mengatasinya sehingga kemampuan
adaptifnya akan semakin baik pla.
4. Pengalaman masa lalu
Pengalaman ini juga dapat mempengaruhi respons tubuh terhadap stresor yang dimiliki.
Semakin banyak stresor dan pengalaman yang dialami dan mampu menghadapinya,
maka semakin baik dalam mengatasinya sehingga kemampuan adaptifnya akan
semakin baik pula.
5. Tipe kepribadian
Tipe kepribadian seseorang juga dapat mempengaruhi respons terhadap stresor. Apabila
seseorang yang memiliki tipe kepribadian ambisius, agresif, kompetitif, kurang sabar,
mudah tegang, mudah tersinggung, mudah marah, bekerja tidak kenal waktu, bicara
cepat, pandai berorganisai dan memimpin, lebih suka bekerja sendirian bila ada
tantangan, kaku terhadap waktu, ramah, berpendirian kuat akan lebih rentan terkena
stres dibandingkan seseorang yang tipe kepribadian tidak agresif, penyabar, senang,
tidak mudah tersinggung, lebih suka kerjasama, mudah bergaul, dan lain-lain.
6. Tingkat perkembangan
Semakin matang perkembangan seseorang, maka semakin baik pula kemampuan untuk
mengatasinya. Dalam perkembangannya kemampuan individu dalam mengatasi stresor
dan respons terhadapnya berbeda-beda dan stresor yang dihadapinya pun berbeda yang
dapat digambarkan sebagai berikut :
Usia lanjut
Dewasa tua Penyesuaian diri masa pensiun
Proses kematian
LAS ( Local Adaptation Syndrome) adalah respon dari jaringan, organ, atau bagian tubuh
terhadap stres karena trauma, penyakit atau perubahan fisiologis lainnya. Pada LAS ini tubuh
menghasilkan respon setempat terhadap stres dan berjangka pendek. Contoh dari respon
setempat ini, misalnya pembekuan darah, penyembuhan luka, dan akopmodasi mata terhadap
cahaya.
a). Respon yang terjadi hanya setempat dan tidak melibatkan semua sistem.
Dua respon setempat yaitu respons refleks nyeri dan respon inflamasi yang merupakan
contoh dari respon adaptasi LAS
GAS (General Adaptation Syndrome) adalah respons pertahanan dari keseluruhan tubuh
terhadap stres. Respon ini melibatkan beberapa sistem tubuh terutama sistem saraf otonom
dan sistem endokrin Di beberapa buku teks GAS sering disamakan dengan sistem
Neuroendokrin. GAS terdiri atas reaksi peringatan, tahap resisten dan tahap kehabisan tenaga.
Potter dan Perry (2005) membagi respon terhadap stres menjadi dua bagian,yaitu
respon fisiologis dan respon psikologis. Respon fisiologis terhadap stresdibagi menjadi dua
yaitu Local Adaptation Syndrome (LAS) atau sindrom adaptasi lokal dan General Adaptation
Syndrome (GAS)
Respon tubuh terutama jaringan dan organ terhadap stres akibat trauma, penyakit,
atau perubahan fisik lainnya. Sindrom adaptasi lokal ini memiliki beberapa karakteristik,
antara lain respon yang terjadi hanya setempat dan tidak melibatkan seluruh sistem tubuh,
respon bersifat adaptif dan membutuhkan stresor untuk menstimulasinya, respon hanya
berjangka pendek, respon bersifat restoratif, sindrom adaptasi lokal dapat membantu dalam
memulihkan keseimbangan bagian tubuh.
Riset klasik yang dilakukan oleh Selye (1946, 1976) telah mengidentifikasi dua
respons fisiologis terhadap stres :
a) Sindrom Adaptasi Lokal (LAS)
Stres sifatnya universiality (umum) dimana semua orang dapat merasakan stress yang sama,
tetapi cara pengungkapannya yang berbeda atau diversity. Sesuai dengan LAS adalah respons
dari jaringan, organ, atau bagian tubuh terhadap stres karena trauma, penyakit/perubahan
fisiologis lainnya. Respons setempat ini termasuk pembekuan darah, penyembuhan luka,
akomodasi mata terhadap cahaya, dan respons terhadap tekanan.
LAS mempunyai karakteristik yaitu :
Respons yang terjadi adalah setempat. Respons ini tidak melibatkan seluruh sistem
tubuh. Dua respons setempat yaitu respons refleks nyeri dan respons inflamasi.
- Respons refleks nyeri adalah respons setempat dari sistem saraf pusat terhadap nyeri.
Respons ini adalah adaptif dan melindungi jaringan dari kerusakan lebih lanjutan.
- Respons inflamasi distimuli oleh trauma atau infeksi. Respons ini memusatkan
inflamasi, sehingga menghambat penyebaran inflamasi dan meningkatkan penyembuhan.
Respons adalah adaptif, berarti bahwa stresor diperlukan untuk menstimulasinya.
Respons adalah berjangka pendekdan tidak dapat terus menerus.
Respons adalah restoratif, berarti bahwa LAS membantu dalam memulihkan
homeostasis region atau bagian tubuh.
Sebenarnya respon LAS ini banyak kita temui dalam kehidupan kita sehari – hari seperti yang
diuraikan dibawah ini :
a. Respon inflamasi
respon ini distimulasi oleh adanya trauma dan infeksi. Respon ini memusatkan diri
hanya pada area tubuh yang trauma sehingga penyebaran inflamasi dapat dihambat dan
proses penyembuhan dapat berlangsung cepat. Respon inflamasi dibagi kedalam 3 fase :
• fase pertama :
Adanya perubahan sel dan system sirkulasi, dimulai dengan penyempitan pembuluh
darah ditempat cedera dan secara bersamaan teraktifasinya kini,histamin, sel darah putih.
Kinin berperan dalam memperbaiki permeabilitas kapiler sehingga protein, leucosit dan
cairan yang lain dapat masuk ketempat yang cedera tersebut.
• Fase kedua :
Pelepasan eksudat. Eksudat adalah kombinasi cairan dan sel yang telah mati dan
bahan lain yang dihasilkan ditempat cedera.
• Fase ketiga :
Regenerasi jaringan dan terbentuknya jaringan parut.
Respon ini merupakan respon adaptif yang bertujuanmelindungi tubuh dari kerusakan
lebih lanjut. Misalnya mengangkat kaki ketika bersentuhan dengan benda tajam.
Stres merupakan istilah yang merujuk kepada kondisi lingkungan yang memicu pada
psikopatologi. Stres pertama kali diperkenalkan oleh Hans Selye. Selye adalah ahli yang
dikenal luas karena penelitian dan teorinya tentang stres yang berkaitan dengan aspek fisik
dan kesehatan. Selye menulis sebuah karya ilmiah yang berjudul “The General Adaptation
Syndrome and Diseases of Adaptation” dan menggunakan istilah stres untuk mengacu secara
khusus pada tekananan yang berasal dari luar individu. Namun empat tahun kemudian, yaitu
di tahun 1950, Selye mengganti definisi stres tersebut menjadi respons seseorang terhadap
stimulus yang diberikan. Selye menekankan bahwa stres merupakan reaksi atau tanggapan
tubuh yang secara spesifik terhadap penyebab stres yang mana mempengaruhi kepada
seseorang (Lyon, 2012).
Respon Fisiologis
Respon fisiologis adalah suatu respons individu secara fisik yang ditandai dengan
meningkatnya tekanan darah, detak jantung, detak nadi, dan sistem pernafasan. Respons
fisiologis menurut Selye adalah General Adaptation Syndrome (GAS). Dalam kondisi normal,
sistem tubuh yang bekerja untuk mempertahankan suatu keseimbangan internal disebut
homeostasis. Ketika berhadapan dengan stressor, homeostasis tubuh terganggu. Tubuh
mencoba untuk mengembalikan homeostasis dengan melakukan respons adaptasi. Respons
ini dikenal sebagai GAS atau sindrom apatasi menyeluruh, yang pertama kali dicetuskan oleh
Hans Selye pada tahun 1936. (Rasmun, 2004)
Sesuai pada GAS Terdapat tiga fase dalam model ini yaitu alarm (tanda bahaya), resistance
(perlawanan), dan exhaustion (kelelahan). (Donatelle, 2013).
a. Fase Alarm
Tahapan pertama stres respons dalam General Adaptation Syndrome adalah
alarm. Alarm merupakan suatu kondisi yang tidak diinginkan dan terjadi ketika ada
perbedaan antara kenyataan yang sedang terjadi dan situasi yang diharapkan. Sebagai
akibatnya, tubuh menerima rangsangan dan secara alami mengaktifkan reaksi flight-or-
fight karena adanya kondisi yang berpotensi mengancam kestabilan kondisi tubuh. Pada
tahap pertama ini akan timbul seperti sakit di dada, jantung berdebar-debar, sakit
kepala, disfagia (kesulitan menelan), kram, dan lain sebagainya (Rice, 2011).
Ketika otak memersepsikan adanya stressor, baik nyata atau imajinasi. Korteks
cerebri mengaktifkan sistem saraf otonom sebagai respons persiapan tubuh untuk
bertahan. Sistem saraf otonom adalah bagian sistem saraf pusat yang mengatur fungsi
tubuh secara tidak sadar seperti fungsi jantung dan kelenjar hormon serta pernafasan.
Sistem saraf otonom mempunyai dua bagian, yaitu sistem saraf simpatis dan sistem
saraf parasimpatis. Sistem saraf simpatis memberi energi pada tubuh untuk respons
fight or flight dengan meningkatkan sekresi hormon stres. Sistem saraf parasimpatis
bekerja menghambat respons stres yang berlawanan dengan kerja sistem saraf simpatis
(Donatelle, 2013).
Respons stres yang diaktifkan sistem saraf simpatis mencetuskan perubahan
struktur biokimia di tubuh. Kelenjar hipotalamus adalah pusat kontrol dari sistem saraf
simpatis. Ketika hipotalamus menerima respons untuk mengeluarkan lebih banyak
energi sebagai reaksi melawan stressor, maka hipotalamus menstimulasi kelenjar
adrenal untuk melepaskan hormon adrenalin. Hormon ini menyebabkan peningkatan
aliran darah, dilatasi jalan nafas untuk meningkatkan pertukaran oksigen, peningkatan
frekuensi nafas, menstimulasi hati untuk mengeluarkan glukosa sebagai energi otot, dan
dilatasi pupil untuk meningkatkan sensitivitas cahaya. Sebagai hasilnya tubuh siap
untuk segera bertindak Sebagai respons tambahan untuk fight or flight, fase reaksi
alarm dapat mencetuskan reaksi stress yang lebih lama. (Donatelle, 2013).
b. Fase Resistensi
Tahapan kedua dari General Adaptation Syndrome adalah resistance (perlawanan).
Perlawanan terjadi saat alarm tidak berakhir atau terus menerus berlangsung. Dampak-nya,
kekuatan fisik pun dikerahkan untuk melanjutkan kerusakan-kerusakan karena rangsangan-
rangsangan yang membaha-yakan sedang menyerang. Peristiwa ini terjadi karena pada tahap
kedua terjadi konflik dengan tahap pertama (Rice, 2011). Oleh karena itu, selama proses
perlawanan di tahap resistance ada kemung-kinan akan timbulnya penyakit, seperti radang
sendi, kanker, dan hipertensi (Lyon, 2012).
Pada fase resistensi ini, tubuh mencoba mengembalikan homeostasis dengan menahan
fase alarm. Namun dikarenakan stressor masih diterima, tubuh tidak mendapat istirahat yang
sempurna. Sebagai gantinya, tubuh tetap berada pada level metabolisme yang tinggi di
beberapa jaringan. Sebagai contoh, ketika individu yang dicintai didiagnosis kanker ganas
maka dapat timbul kesedihan dan kecemasan yang luar biasa. Ketika individu sudah mampu
beradaptasi dengan keadaan tersebut maka muncul sedikit ketenangan. Tetapi, tubuh tetap
tidak beristirahat total. Organ dan sistem resistensi bekerja sepanjang waktu (Donatelle,
2013).
c. Fase Kelelahan
Ketika stres masih berlangsung terus-menerus, maka selanjutnya stres berada pada pada
tahap terakhir. Berdasarkan General Adaptation Syndrome, di tahap ketiga ini tubuh sudah
merasakan exhaustion (kelelahan). Kondisi ini dikare-nakan tubuh benar-benar tidak sanggup
lagi mengadakan perlawanan terhadap sumber stres. Atau dengan kata lain, tubuh sudah
menyerah karena kehabisan kemam-puan untuk menghadapi serangan yang mengancam.
Oleh karena itu, pada tahap ketiga ini, menurut Lyon (2012) dan Rice (2011) organ-organ
tubuh bisa berhenti berfungsi atau bisa mengakibatkan kema-tian pada seseorang.
Usaha panjang untuk beradaptasi dengan stress menyebabkan tubuh menjadi amat
sangat lelah. Di fase kelelahan ini, energi habis dipergunakan fisik dan emosi untuk melawan
stressor. Pada fase stres kronik, kelenjar adrenal tetap menghasilkan kortisol. Kortisol yang
menetap lama dalam darah dapat menurunkan imunitas atau kemampuan sistem imun,
tekanan darah dapat meningkat berlebihan, mudah terserang flu dan kemampuan tubuh untuk
mengontrol kadar gula darah dapat terganggu (Donatelle, 2013).
DAFTAR PUSTAKA
Hidayat, Alimul A. 2011. Metode Penelitian Keperawatan dan Teknik Analisis Data. Jakarta:
Salemba Medika
KBBI. 2018. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). [Online] Available at: http:///kbbi.id/di
[Diakses 1 Agustus 2018]
Muttakkim, Khaerul, dkk. 2013. Stres dan Adaptasi. Makalah Program Studi S1
Keperawatan. Stikes Amanah Makassar: tidak diterbitkan
Potter & Petry.2005.Fundamental of Nursing: Concept, process, & practice. (Asih, Y.et.all,
Penerjemah). Jakarta : EGC
A Potter, & Perry, A. G. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep,. Proses,
DanPraktik, edisi 4, Volume.2. Jakarta: EGC
A Potter, & Perry, A. G. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses, dan
Praktik, edisi 4, Volume.2. Jakarta: EGC.
Lyon, B. L. (2012). Stress, coping, and health. In Rice, H. V. (Eds.) Handbook of stress,
coping and health: Implications for nursing research, theory, and practice (pp.3-23). USA:
Sage Publication, Inc.
Rasmus. 2004. Stres, koping dan Adaptasi: Teori Keperawatan. Jakarta: CV Sagung Seto.
Rice, V. H. (Ed.). (2011). Theories of stress and its relationship to health. In Rice, H. V.
(Eds.), Handbook of stress, coping, and health: Implications for nursing research, theory,
and practice. USA: Sage Publication, Inc.