Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Rambut merupakan mahkota bagi setiap orang. Masalah kulit kepala
sering dianggap sebagai hal ringan, padahal bagi penderitanya dapat
mengurangi penampilan atau daya tarik dan membuat seseorang tidak percaya
diri akibat kotornya rambut apabila disertai rasa gatal yang mengganggu
(Naturakos BPOM RI, 2009)
Salah satu masalah pada kulit kepala seperti ketombe terjadi hampir pada
separuh penduduk di usia pubertas tanpa memandang jenis kelamin dan sosial
budayanya. Tidak ada penduduk di setiap wilayah geografis yang bebas tanpa
dipengaruhi oleh ketombe dalam kehidupan mereka (Ranganathan dkk, 2010).
Menurut Al-Iraqi (2010) setidaknya ada 60% dari total populasi penduduk
Amerika dan Eropa mengalami masalah ketombe. Ketombe merupakan suatu
kondisi kelainan pada kulit yang sangat umum terjadi, sehingga dikatakan
bahwa semua orang pernah mengalaminya, terutama di daerah tropis dan
bertemperatur tinggi seperti Indonesia (Wolff, Klaus dkk. 2005). Ketombe
sering dikeluhkan pada masa remaja dan dewasa serta relatif jarang dan ringan
pada anak – anak. Insiden dan tingkat keparahan mencapai puncak pada usia 20
tahun dan mulai menurun setelah usia 50 tahun. Umumnya lebih banyak pada
pria dibanding wanita (Wolff, Klaus dkk. 2008).
Ketombe disebut juga Pityriasis sika atau dandruff pada umumnya
ditandai dengan adanya serpihan kulit kepala di rambut dan sering disertai
dengan rasa gatal. Ketombe dianggap sebagai bentuk ringan dari dermatitis
seboroik yang ditandai dengan skuama halus sampai kasar yang berwarna putih
kekuningan berjumlah banyak (Djuanda, 2007). Pada ketombe didapati
perubahan pada sel stratum korneum epidermis dengan ditemukannya
hiperproliferasi berlebihan, lipid interseluler dan intraseluler yang berlebihan,
serta parakeratosis yang menimbulkan skuama halus, kering, berlapis-lapis,

1
2

sering mengelupas sendiri, serta rasa gatal (Turner dkk. 2012). Terdapat
beberapa faktor yang berpengaruh terhadap kejadian ketombe, antara lain
peningkatan produksi sebum pada kelenjar sebasea, faktor kerentanan individu,
faktor lingkungan (suhu dan kelembaban lingkungan), stress, dan pertumbuhan
jamur Pityrosporum ovale. yang berlebihan di kulit kepala sehingga
menyebabkan kepala berskuama (Aprilia, 2010).
Pityrosporum ovale adalah mikroflora normal yang terdapat pada kulit
kepala yang erat kaitannya dengan kejadian ketombe. Pityrosporum ovale
merupakan yeast lipofilik sebagai komensalisme kulit dan bisa menjadi patogen
pada kondisi tertentu (Kindo, 2004) seperti suhu, kelembaban dan kadar
minyak yang tinggi dapat memicu pertumbuhan fungi P. ovale ini sehingga
menimbulkan ketombe (Naturakos, 2009). Pityrosporum ovale dapat
menyebabkan kondisi kulit kepala mengelupas seperti sisik atau yang disebut
ketombe. Kondisi seperti ini mempengaruhi pada 30-95% dari manusia (Xu, J.
dkk,. 2007). Pada kulit kepala yang menderita ketombe terjadi peningkatan
jumlah Pityrosporum ovale sebanyak 1,5 sampai 2 kali dari jumlah normal
(Park, Hee Kuk. dkk,. 2012). Lebih lanjut Ervianti (2006) menjelaskan bahwa
jamur Malassezia (P. Ovale) yang terdapat pada kulit kepala dengan kecepatan
pertumbuhan normal kurang dari 47%, akan tetapi jika ada faktor pemicu yang
mengganggu keseimbangan flora normal pada kulit kepala maka akan terjadi
peningkatan kecepatan pertumbuhan jamur Malassezia yang dapat mencapai
74%, tentu akan merusak pertumbuhan rambut dan mengganggu kesehatan
kulit kepala secara umum. Peningkatan kolonisasi Pityrosporum ovale juga
dipengaruhi oleh peningkatan sebum dari kelenjar sebasea di usia pubertas
(Dawson, Thomas, dkk,. 2007).

1.2 Rumusan Masalah


Adapun rumusan permasalahan yang akan dibahas pada makalah ini yaitu
sebagai berikut :
1. Apakah yang dimaksud dengan ketombe ?
3

2. Apakah manifestasi klinis dari ketombe ?


3. Apa saja factor- factor yang menyebabkan ketombe ?
4. Apa saja prinsip terapi dari ketombe ?
5. Apa saja jenis obat yang digunakan ?

1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Mahasiswa dapat mengetahui yang dimaksud dengan ketombe.
2. Mahasiswa dapat mengetahui manifestasi klinis dar ketombe.
6. Mahasiswa dapat mengetahui factor- factor penyebab ketombe.
7. Mahasiswa dapat mengetahui prinsip terapi dari ketombe.
8. Mahasiswa dapat mengetahui obat dari ketombe.

1.4 Manfaat
Adapun manfaat dari makalah ini yaitu mahasiswa dapat menambah
wawasan dan pemahaman tentang penyakit ketombe dan cara pengatasannya
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Ketombe


Ketombe adalah kelainan kulit kepala, dimana terjadi perubahan pada sel
stratum korneum epidermis dengan ditemukannya hiperproliferasi, lipid
interseluler dan intraseluler yang berlebihan, serta parakeratosis yang
menimbulkan skuama halus, kering, berlapis-lapis, sering mengelupas sendiri,
serta rasa gatal.2,3,4 (Ervianti, 2006).
Ketombe biasanya dianggap sebagai bentuk ringan dari dermatitis
seboroika, ditandai dengan skuama yang berwarna putih kekuningan.
Brahmono mendefinisikan ketombe sebagai kelainan kulit kepala berambut
(scalp) yang ditandai dengan skuama abu-abu keperakan berjumlah banyak,
kadang disertai rasa gatal, walaupun tidak ada atau hanya sedikit disertai tanda
radang. (Brahmono, 2002) Kulit kepala berambut tempat skuama tersebut
menjadi mudah rontok, berbau, dan rasa gatal yang sangat hebat pada kulit
kepala. (Adhi Djuanda, 2002)

2.2 Manifestasi Klinis


Gejala ketombe yang sering timbul adalah
1. Rasa gatal di kulit kepala pada siang hari, terutama bila panas dan
berkeringat.
2. Terjadi pelepasan lapisan keratin epidermal pada saat digaruk yang
kemudian menempel di batang rambut atau jatuh ke baju.
3. Timbul perlukaan pada kulit yang menyebabkan timbulnya infeksi
sekunder oleh mikroba lain.
4. Garukan karena rasa gatal juga dapat menyebabkan rontoknya rambut
terutama di daerah verteks (puncak kepala).

4
5

2.3 Etiologi / Faktor-Faktor Penyebab Ketombe


Faktor-faktor penyebab timbulnya ketombe adalah sebagai berikut:
1. Hiperproliferasi sel epidermis
Dalam keadaan normal lapisan kulit teratas (stratum korneum) akan
diganti oleh sel-sel dari lapisan di bawahnya. Hal ini terjadi pula pada
kulit kepala yaitu sel keratin (sel yang telah mati) akan terlepas dan
diganti oleh sel-sel dari lapisan yang lebih bawah. Sel-sel basal pada
lapisan basalis akan bergerak ke lapisan yang lebih atas dan akhirnya
sampai pada permukaan kulit (lapisan kulit yang paling atas).
Umumnya, proses ini berlangsung cukup pelan sehingga tetap tidak
terlihat. Pada kebanyakan orang, seluruh kulit kepala berganti setiap
bulan, tetapi pada penderita ketombe proses ini berlangsung lebih cepat
menjadi 10−15 hari (Wijaya, 2001).
2. Genetik
Faktor genetik mempunyai peran penting dalam patogenesis ketombe
karena didapati bahwa P. ovale tanpa faktor predisposisi genetik tidak
mungkin menginduksi ketombe pada orang-orang yang tidak
berketombe (Wijaya, 2001).
3. Kelenjar Sebace
Produksi sebum akan mulai menurun meskipun ukuran kelenjar sebasea
bertambah. Sekresi sebum ini dipengaruhi oleh hormon androgen.
Distribusi usia penderita, dimana ketombe relatif jarang dan ringan pada
masa anak-anak, mencapai puncak keparahan pada usia sekitar 20 tahun,
kemudian menjadi lebih jarang setelah usia 50 tahun, memberi kesan
bahwa hormon androgen mempunyai pengaruh dan tingkat aktivitas
kelenjar sebasea merupakan salah satu faktor terjadinya ketombe
(Wijaya, 2001).
4. Diet
Lemak yang dimakan dalam proporsi normal diperlukan oleh tubuh
tetapi
6

jika berlebihan, lemak tersebut dapat mencapai kelenjar sebasea dan


akhirnya menjadi bahan pembentuk sebum. Kelenjar sebasea akan
memproduksi minyak sehingga kulit kepala menjadi sangat berminyak
dan dengan pengaruh P. ovale akan menimbulkan ketombe (Wijaya,
2001).
5. Variasi musim
Ketombe mencapai keadaan terendah pada musim panas dan pada
musim
dingin ketombe akan memburuk (Wijaya, 2001).
6. Stress
Stress psikis menyebabkan peningkatan aktivitas kelenjar sebasea
diduga
dapat mempengaruhi timbulnya ketombe (Wijaya, 2001).
7. Iritasi
Garukan dan penyisiran yang terlalu keras pada kulit kepala dapat
menimbulkan iritasi. Pemakaian kosmetika rambut yang mengandung
zat kimia tertentu dapat menimbulkan iritasi kulit kepala. Penggunaan
beberapa minyak rambut yang mengandung mustard atau minyak kelapa
dicampur ramuan tradisional dapat menimbulkan ketombe. Minyak
kelapa merupakan media yang baik bagi P. ovale karena fungi ini
bersifat lipofilik (Wijaya, 2001).

2.4 Prinsip Terapi


a. Keperawatan
1. Melakukan massase pada kulit kepala saat keramas.
2. Memberikan diet rendah lemak.
3. Memberikan health education agar klien istirahat cukup, mengurangi
rokok dan minuman keras.
b. Umum
7

1. Memberikan shampoo anti ketombe. Ada berbagai macam shampo


anti ketombe yang bisa dipilih :
a Shampo sulfur : melepaskan lapisan tanduk kulit dan
mengurangi pembentukan lemak di kulit kepala.
b Shampo ter : mengurangi pembentukan lemak kulit dan
menekan pembentukan dan pelepasan kulit (epidermal turn
over).
c Shampo Zinc-pyrithion (ZPT) : kandungan yang banyak
digunakan di shampoo anti ketombe yang dijual bebas dengan
sifat anti jamurnya menekan pertumbuhan P. ovale.
d Shampo Selenium : menekan pembentukan dan pelepasan kulit.
Pemakaiannya dioles ke kulit kepala setelah dibasahi, diamkan
selama 5-10 menit, kemudian dibilas. Pemakaian 2 kali
seminggu, diturunkan bila ketombe sudah mulai berkurang.
e Medicated Shampo : dengan kandungan antiseptik dan
campuran salah satu bahan di atas.
2. Memberikan solusio topical terbinafin 1 % efektif untuk terapi
dermatitis seboroik pada kulit kepala
3. Jika kulit kepala tertutupi oleh skuama difus dan tebal, skuama dapat
dihilangkan dengan memberikan minyak mineral hangat atau minyak
zaitun pada kulit kepala dan dibersihkan dengan deterjen seperti
dishwashing liquid atau shampoo tar beberapa jam setelahnya.
4. Skuama ekstensif dengan peradangan dapat diterapi dengan
moistening kulit kepala dan kemudian memberikan fluocinolone
asetonid 0,01% dalam minyak pada malam hari diikuti dengan
shampo pada pagi harinya.
5. Bila ketombe masih membandel, dapat diberikan preparat anti jamur
seperti ketokonazol 1-2%. Untuk pemberiannya berkonsultasilah
dahulu dengan dokter. Pemakaiannya cukup 2 kali seminggu, pada
hari lainnya dapat menggunakan shampo biasa. Perlu diperhatikan
8

untuk didiamkan dulu di kepala selama beberapa menit sebelum


dibilas.
6. Pengobatan lain adalah kortikosteroid, Ketokonazol oral, hormon
estrogen, vitamin B, riboflavin, piridoksin dan sianokobalamin.
7. Apabila tidak berhasil juga, dapat digunakan anti malaria. Untuk
mengatasi infeksi sekunder seringkali diperlukan antibiotik. Dan
pada kelainan psikis diperlukan obat penenang.

2.5 Jenis Obat Ketombe


2.5.1 Penanganan ketombe secara tradisional
Masyarakat telah melakukan berbagai penanganan tradisional untuk
mengatasi ketombe, salah satunya adalah dengan memanfaatkan bahan-
bahan herbal. Tanaman-tanaman yang sering digunakan adalah:
1. Nanas
Buah nanas (Ananas comosus (L.) Merr) adalah tanaman obat
tradisional yang mempunyai efek anti inflamasi, anti oksidan, anti
cancer, anti bakteri dan anti fungi.
Zat-zat kimia yang terkandung di dalam nanas antara lain adalah
vitamin A dan C, kalsium, fosfor, magnesium, besi, natrium,
kalium, dekstrosa, sukrosa, enzim bromelain, saponin, flavonoid,
polifenol.
Kandungan zat kimia yang berefek anti fungi :
a) Saponin : Menunjukkan efek anti fungi, anti bakteri, anti
inflamasi, dan mempunyai efek sitotoksik.12
b) Flavonoid : Mempunyai efek anti inflamasi, anti bakteri, anti
fungi, anti viral, anti cancer dan anti oksidan.13
c) Polifenol : Mempunyai efek anti inflamasi, anti fungi, anti
bakteri, anti cancer dan anti oksidan.

2. Lemon
9

Penatalaksanaan ketombe di masyarakat tidak hanya dilakukan


secara medis, tetapi juga dapat menggunakan cara alami, salah
satunya adalah dengan menggunakan air perasan jeruk lemon. Air
perasan jeruk lemon sering dipakai masyarakat untuk mengobati
ketombe karena diyakini berkhasiat, bahannya mudah didapat, serta
mengandung bahan alami. Martos dkk. telah meneliti bahwa
kandungan d-limonene dalam jeruk lemon memiliki efek antijamur.
Sebelumnya peneliti telah melakukan uji pendahuluan dan
didapatkan kadar hambat minimum (KHM) air perasan jeruk lemon
terhadap Malassezia sp. Secara invitro adalah pada konsentrasi 25%

3. Seledri
Selain pengobatan secara medis, pengobatan tradisional untuk
menghilangkan ketombe juga dapat ditemukan di masyarakat. Salah
satunya dengan cara menggunakan seledri untuk menghilangkan
ketombe. Pada sebuah penelitian sebelumnya diketahui ekstrak
seledri memiliki efek antijamur yang dapat menghambat
pertumbuhan Malassezia sp.
2.5.2 Penanganan Terkini Ketombe
“Obat dalam Shampo”
Ketombe dikenal juga sebagai pityriasis simplex capillitii, p.
simplex capitis, dan p. sicca, skala penyebaran ketombe sedikit sampai
sedang dari kulit kepala dengan berbagai derajat iritasi atau eritema.
Ketombe sering dikaitkan dengan sensasi intermiten pruritus dan
kekeringan. Karakteristik mengelupas dari kulit kepala menunjukkan
penurunan proses deskuamasi. Umumnya, ketombe dianggap mewakili
bentuk paling ringan dari dermatitis seboroik di kulit kepala.
Patogenesis tetap harus benar-benar dijelaskan, meskipun jamur
Malassezia dianggap sebagai etiologi yang utama. Terdapat lebih dari
tujuh spesies Malassezia (M. globosa, M. restricta, M. obtusa, M.
10

sloofiae, M. sympodialis, M. furfur, dan Pachydermatis M.), dan


pertumbuhan mereka dapat diperburuk oleh hipersekresi sebum dan
hyperproliferasi dari stratum korneum (lapisan pelindung kulit).
Malassezia dapat menstimulasi produksi sitokin oleh keratinosit (sel
epidermis yang mensintesis keratin), yang selanjutnya berkontribusi
dalam komponen inflamasi dermatitis seboroik dan ketombe.
Penggunaan ketokonazol, pyrithione seng, dan selenium sulfida
biasanya menunjukkan hasil yang baik. Terapeautik shampo
menawarkan pilihan yang nyaman untuk mengobati pengelupasan kulit
kepala dan pruritus kulit kepala.
Shampo membersihkan rambut dan kulit kepala dengan cara
mengemulsi sekresi minyak selama mengobati penyebab yang
mendasari. Direkomendasikan pada pasien untuk membusakan sampo
dan meninggalkan busa di kulit kepala selama lima sampai 10 menit,
kemudian bilas. Shampo biasanya digunakan sekali sehari selama dua
minggu, kemudian 1-2 kali seminggu sesudahnya untuk pemeliharaan.
1. Shampo keratolitik
Terjadinya ketombe melibatkan hiperproliferasi,
mengakibatkan deregulasi dari keratinisasi. Korneosit (sisa-sisa
keratinosit) mengumpul, sebagian besar tampak seperti serpihan
kulit. Pada dasarnya, keratolitik agen, seperti asam salisilat dan
sulfur, melonggarkan lapisan antara korneosit dan memungkinkan
korneosit hilang dengan proses shampooing. Keratolitik
melembutkan, larut, dan melepaskan lapisan kulit kepala yang
terlihat pada ketombe, meskipun mekanisme tidak sepenuhnya
dipahami.
a. Asam salisilat
Asam salisilat adalah beta-hidroksi asam, agen keratolitik
yang berguna dalam menghilangkan sisik, kulit
hiperkeratotik; mengurangi adhesi sel cellto antara
11

corneocytes. Meskipun mekanisme aksi asam organik tidak


jelas, kemungkinan melibatkan pelepasan desmogleins dan
disintegrasi desmosom.
b. Belerang
Sulfur adalah unsur bukan logam berwarna kuning dengan
sifat keratolitik dan sifat antimikroba. Efek keratolitik
diperkirakan dimediasi oleh reaksi antara belerang dan sistein
dalam keratinosit, sedangkan efek antimikroba tergantung
pada konversi sulfur menjadi asam pentathionic oleh flora
normal kulit atau keratinocytes. Sifat keratolitik dapat
mendukung peluruhan jamur dari stratum corneum.
Mekanisme yang tepat mengenai cara kerja masih belum
diketahui. Leyden mempelajari 2% kombinasi sulfur dan 2%
salisilat asam sebagai bahan dasar shampo (misalnya,
Sebulex, Westwood Squibb) dalam percobaan double-blind,
dikontrol menggunakan klinis penilaian dari pengelupasan
kulit dan penghtungan korneosit. Mereka mengamati secara
signifikan reduksi yang lebih besar dan lebih cepat pada
pengelupasan dan jumlah korneosit dalam subyek yang
menggunakan 2% belerang / 2% kombinasi asam salisilat
dibandingkan yang menggunakan baik bahan aktif sendiri dan
zat pembawa.

2. Keratinisasi Regulator
a. Seng
Diperkirakan bahwa zinc pyrithione (ZPT) menyembuhkan
kulit kepala dengan normalisasi keratinisasi epitel, produksi
sebum, atau keduanya. Beberapa studi juga telah
menunjukkan penurunan yang signifikan pada jumlah jamur
setelah aplikasi seng pyrithione. Sebuah studi oleh Warner et
12

al. menunjukkan penurunan dramatis dari kelainan struktural


yang ditemukan dalam ketombe dengan menggunakan sampo
pyrithione seng. Jumlah organisme Malassezia menurun,
parakeratosis dihilangkan, dan korneosit yang disertai lemak
berkurang. Oleh karena itu, normalisasi ultrastruktur stratum
korneum oleh pyrithione seng dianggap menjadi
penatalaksanaan sekunder patologi dalam lapisan epidermis.
b. Tar
Meskipun tar klasik telah digunakan untuk mengobati
psoriasis, tar memberikan pilihan terapi yang efektif dalam
mengobati ketombe juga. Masalah dengan pewarnaan, bau,
dan kekacauan dalam pelaksanaannya membuat tar terapi lini
kedua pada sebagian besar pasien. Gel mengandung ekstrak
tar batu arang, dan umumnya tidak begitu kotor dan bau
seperti tar. Shampoo tar bekerja melalui efek antiproliferatif
dan sitostatik, meskipun definitif analisis sulit karena jumlah
yang begitu besar pada komponen aktif biologis dalam produk
tar batu arang. Produk tar memencarkan kerak pada kulit
kepala, yang dapat mengurangi koloni Malassezia. Aplikasi
topikal dari tar menekan sintesis DNA pada epidermal.
Pierard-Franchimont et al. melakukan secara acak,
doubleblind studi untuk membandingkan dua kelompok dari
30 relawan dengan level sedang sampai level pasien dengan
ketombe yang bisa dilihat baik menggunakan shampo yang
dengan tar dan tanpa tar (2% Asam salisilat, 0,75% piroctone
olamine, dan 0,5% elubiol) atau 0,5% shampo tar batu arang.
Mereka mengamati secara signifikan lebih besar pengurangan
jumlah spesies Malassezia pada kelompok non-tar; Namun,
subyek dalam kedua kelompok mengalami perbaikan klinis.
c. Steroid
13

Sifat farmakokinetik kortikosteroid topikal tergantung pada


struktur agen, pembawa, dan bafian kulit yang mana.
Kortikosteroid topikal bekerja melalui efek anti-inflamasi dan
antiproliferatif. Pada kulit kepala, lotion atau larutan yang
memiliki potensi moderat sampai tinggi adalah tipe yang
sering digunakan. Clobetasol propionat 0,05% (Clobex,
GlaxoSmithKline) tersedia dalam bentuk shampo. Meskipun
saat ini tidak ada penelitian tentang kemanjuran shampo
steroid dalam mengelola ketombe, kemanjuran aplikasi
steroid topikal telah lama terbukti efektif dalam mengobati
ketombe. Steroid topikal sering digunakan dengan
mengkombinasikan steroid topikal dan perawatan ketombe
lainnya seperti sebagai agen antijamur.

3. Agen antimikroba
a. Selenium sulfida
Diperkirakan bahwa selenium sulfida mengontrol
ketombe melalui efek anti- Pityrosporum daripada oleh efek
antiproliferatif yang dimilikinya. Namun, secara signifikan
juga mengurangi laju pergantian sel. Selenium sulfida
memiliki sifat anti-seboroik dan muncul untuk menghasilkan
efek sitostatik pada sel-sel epidermis dan folikel epitel.
Selenium sulfida tersedia dengan jumlah hitungan 1%
shampo, dengan resep hanya 2,25% (Selseb, Doak
Dermatologics) dan 2,5% shampoo. Sebuah studi oleh Danby
et.al. dibandingkan ketokonazol 2% shampoo (misalnya,
nizoral, McNeil Consumer) dengan selenium sulfida 2,5%
shampoo (misalnya, Selsun) pada 246 pasien dengan kasus
ketombe moderat sampai berat di acak, double-blind, plasebo-
terkontrol trial. Ketokonazol dan selenium sulfida terbukti
14

efektif dalam mengobati ketombe, tapi ketokonazol lebih baik


ditoleransi karena efek samping obat yang lebih sedikit.
Jumlah minyak yang berlebihan dari kulit kepala adalah efek
samping signifikan bagi banyak pasien yang secara teratur
menggunakan selenium sulfida untuk mengendalikan
ketombe. Pierard-Franchimont dan Pierard mempelajari
tingkat ekskresi sebum pada 52 pria yang menggunakan
treatment anti ketombe. Minggu kelima dalam periode
pengobatan , tingkat ekskresi sebum menunjukkan
peningkatan rata-rata 58% dengan menggunakan selenium
sulfida, meningkat 3% dengan ketokonazol, dan peningkatan
5% dengan ekonazol (misalnya, Spectazole,
OrthoNeutrogena).
Rapaport membandingkan efikasi anti ketombe dari
empat shampoo pada 199 pasien: selenium sulfida 1% (Selsun
Blue, Chattem, Inc), 1% pyrithione seng (Kepala dan Bahu,
Procter & Gamble) ekstrak tar batubara 5% (Tegrin,
GlaxoSmithKline), dan shampo kendaraan (Flex, Revlon).
Subjek menggunakan Selsun Blue mengalami perbaikan
secara signifikan lebih besar gejala daripada kelompok lain.
Van Cutsem et.al. membandingkan aktivitas in vitro antijamur
ketokonazol 2%, selenium sulfida 2,5%, dan seng pyrithione
1% dan 2% terhadap M. furfur pada kelinci percobaan.
Ketokonazol ditemukan sebagai bahan yang paling efektif
untuk mengurangi jumlah M. fufur, namun hasil dengan
selenium sulfida dan 1% dan 2% pyrithione seng sebanding.
Efek anti-ketombe ketokonazole lebih unggul daripada orang-
orang yang menggunakan selenium sulfida dan seng
pyrithione.
b. Agen antijamur imidazole
15

Imidazol topikal antijamur seperti ketokonazole bertindak


dengan menghalangi biosintesis ergosterol, sterol utama
merupakan turunan dari membran sel jamur. Perubahan
permeabilitas membran disebabkan oleh penipisan ergosterol
yang tidak kompatibel dengan pertumbuhan jamur dan
survival. Ketokonazol adalah agen antimycotic spektrum luas
yang aktif terhadap Candida albicans dan M.furfur. Dari
semua imidazoles tersedia saat ini, ketokonazol bahan yang
paling dicari diantara pilihan pengobatan yang lain karena
efektivitasnya dalam mengobati dermatitis seboroik. Shampo
ketokonazol 1% telah disetujui untuk penggunaannya, dan 2%
sampo yang tersedia dengan resep (nizoral). Jarang terjadi
efek samping termasuk iritasi dan bau yang menyengat.
Ketoconazole shampoo 2% telah dipelajari secara ekstensif
pada lebih dari 2.000 pasien dengan ketombe seboroik
dermatitis. Dibandingkan dengan plasebo, shampo secara
konsisten lebih efektif. Dalam penelitian secara acak
membandingkan kemanjuran empat minggu percobaan
shampo ketokonazol 2% dengan sampo pyrithione seng 1%,
oleh Pierard-Franchimont et al. Pada data statistik
ketokonazol secara signifikan lebih unggul (dengan subyek
menunjukkan 73% perbaikan) yang lain (peningkatan 67%) .
Dalam sebuah studi terpisah, Saple dan rekan meneliti
kombinasi sampo ketokonazol 2% dan seng shampo
pyrithione 1% di antara 236 pasien dengan ketombe, dengan
klasifikasi baik sampai sangat baik dalam penanganan eritema
dan gatal-gatal dan efek samping yang minimal. Van Cutsem
et al. Juga menunjukkan bahwa ketokonazol itu lebih efektif
daripada pyrithione seng atau selenium sulfida dalam
mengurangi jumlah Malassezia (Juliansyah, B. 2013)
16
BAB III
PENUTUP

c. Kesimpulan
Ini adalah pendapat kami bahwa ketombe moderat sampai berat paling
efektif diobati dengan shampo ketokonazol 2%, kadang-kadang
dikombinasikan dengan larutan steroid untuk mengendalikan peradangan.
Sampo ciclopirox juga sangat efektif. Untuk kasus ketombe yang ringan sampai
sedang, shampoo ketombe yang mengandung asam salisilat atau selenium
sulfida sering bekerja dengan baik, terjangkau dan tersedia banyak pilihan bagi
pasien. Banyak pilihan terapi untuk ketombe yang tersedia dalam komposisi
shampo. Formulasi ini menawarkan pilihan yang aman untuk mengobati
kondisi umum dermatologis. Kemanjuran dari berbagai penatalaksanaan
bervariasi antara individu, dan pengobatan kombinasi sering berguna pada
pasien yang tidak ada respon dengan salah satu agen.

d. Saran
Meninjau hasil makalah yang telah diselsaikan, penulis memberikan
saran yakni, masih perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang kemungkinan
kandungan bahan yang telah diuraikan dalam makalah ini untuk menekan
pertumbuhan fungi penyebab ketombe serta efektifitasnya dalam menghambat
ketombe secara langsung di kulit kepala seseorang

17
18
DAFTAR PUSTAKA

Al-Iraqi, Butsainah As-Sayyid. 2010. Mau Cantik ? Tip Menjadi Wanita Idaman
Sepanjang Masa. Jakarta: Klinikal Mahira Buku Sehat.

Aprilia, F., Subakir. 2010. Efektivitas Ekstrak Jahe (Zingiber officinale Rosc.) 3,13%
Dibandingkan Ketokonazol 2% terhadap Pertumbuhan Malassezia sp.
pada Ketombe. Artikel Karya Tulis Ilmiah. Universitas Diponegoro.
Diakses dari http://eprints.undip.ac.id/23372/1/Fitrina.pdf. (Diakses
tanggal 26 November 2018).

Bramono, K. 2002. Pitiriasis sika atau ketombe : etiopatogenesis. In : Sjarif


Wasitaatmaja, Sri Linuwih M, Tjut Jacoeb, Sandra Widaty, editor.
Kesehatan dan keindahan rambut. Jakarta: Kelompok Studi Dermatologi
Kosmetik Indonesia.

Dawson, Thomas. 2007. Malassezia globosa and restricta: Breakthrough


Understanding of the Etiology and Treatment of Dandruff and Seborrheic
Dermatitis through Whole-Genome Analysis. Journal of Investigative
Dermatology Symposium Proceedings: USA.

Djuanda, A. 2007. Dermatitis Seboroik, dalam Djuanda Adhi, Ilmu Penyakit Kulit
dan Kelamin, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Edisi Kelima.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

Ervianti E. 2006. Seborrheic dermatitis and dandruff the usage of ketoconazole. In:
new perspective of dermatitis Elewski BE. 2005. Clinical diagnosis of
common scalp disorders [serial on the internet]. J Investig Dermatol
Symp Proc. 10(3): 190-3. Available from:

19
20

http://content.nejm.org/cgi/medline/pmid;16382661. Accesed 26 Nov


2018

Juliansyah, B. 2013. Uji Banding Efektivitas Antifungi Tanaman Obat Dengan


Ketokonazol 2% Secara In Vitro Terhadap Pertumbuhan Pityrosporum
Ovale Penyebab Ketombe. Skripsi Mahasiswa Fakultas Kedokteran
Universitas Tanjungpura. Pontianak.

Kindo, A.J., 2004. Identification of Malassezia Species. Indian J. Med. Microbiol.,


Vol. 22, No. 3, 179-181.

Naturakos. 2009. Vol. IV/No. 11. Ketombe dan Tabir Surya. Jakarta : Badan
Pengawas Obat dan Makan RI.

Park HK, Ha M-H, Park S-G, Kim MN, Kim BJ, dkk. 2012. Characterization of the
Fungal Microbiota (Mycobiome) in Healthy and Dandruff-Afflicted
Human Scalps. PLoS ONE 7(2): e32847.
doi:10.1371/journal.pone.0032847. (Diakses tanggal 26 November 2018).

Pierard-Franchimont C, Xhauflaire-Uhoda E, Pierard GE. Revisiting dandruff. Int J


Cosmet Sci. 2006;28(5):311–8.

Ranganathan, S., Mukhopadhyay, T. 2010. Dandruff: the most commercially


exploited skin disease. CavinKare Research Centre, No.12 Poonamallee
Road, Ekkattuthangal, Chennai – 600 097: India.

Turner, GA. dkk. 2012. Stratum corneum dysfunction in dandruff. Unilever Research
& Development Port Sunlight, Quarry Road East, Bebington, Merseyside
CH63 3JW, UK: International Journal of Cosmetic Science, 34, 298–306.
21

Van Cutsem J, Van Gerven F, Fransen J, et al. The in vitro antifungal activity of
ketoconazole, zinc pyrithione, and selenium sulphide against
Pityrosporonium guinea pigs. J Am Acad Dermatol 1990

Wijaya, L. 2001. Pengaruh Jumlah Pityrosporum ovale dan Kadar Sebum terhadap
Kejadian Ketombe. Fakultas Kedokteran. Universitas Diponegoro

Wolff, Klauss dkk. 2005. Seborrheic Dermatitis: dalam Color Atlas and Synopsi of
Clinical Dermatology Fifth edition. USA: Medical Publishing Division.

Wolff, Klaus dkk. 2008. Seborrheic Dermatitis: dalam Fitzpatrick’s Dermatology in


General Medicine Seventh Edition. USA: Mc Graw Hill Companies.

Xu, J. dkk. 2007. Dandruff-associated Malassezia genomes reveal convergent and


divergent virulence traits shared with plant and human fungal pathogens.
USA: The National Academy of Sciences.

Anda mungkin juga menyukai