Anda di halaman 1dari 12

Perubahan Sosial dalam konteks Kemunculan Norma: Penyingkiran dan Inovasi

1. Inti normatif struktur sosial


Kehidupan sosial diatur oleh aturan. Norma, nilai dan institusi yang mengatur seluruh
perilaku kehidupan manusia merupakan aspek penting dalam masyarakat. Salah satu
pengertian Normatif menurut Durkheim adalah:

Bila saya melaksanakan kewajiban sebagai saudara, suami atau warga negara, bila saya
mematuhi janji, maka saya melaksanakan kewajiban yang ditetapkan secara eksternal terhadap
diri saya sendiri dan tindakan saya adalah menurut hukum dan kebiasaan. Meski norma itu
sesuai dengan perasaan saya sendiri dan saya merasakan realitasnya secara subjektif, namun
realitas ini masih tetap objektif, karena saya tak menciptakannya; saya hanya menerimanya
melalui pendidikan. Di sinilah cara bertindak, berpikir, dan merasakan benar-benar muncul
secara luar biasa di luar kesadaran individual. Tipe berperilaku atau berpikir ini tak hanya
berada di luar diri individu tetapi juga mengandung kekuatan memerintah dan memaksa,
terlepas dari kemauan individu. (Durkheim, 1972:63-4)

Penekanan pada sisi normatif yang serupa terdapat dalam gagasan mengenai tatanan
aksionormatif yang dikemukakan Florian Znaniecki. Menurutnya:

Keteraturan sosial hanya merupakan tatanan sosial hanya merupakan tatanan aksionormatif di
antara fenomena yang disebut sebagai kehidupan sosial. Organisasi sosial berlandaskan
pengakuan dan dukungan terhadap norma secara kolektif, yang mengatur tindakan serta
pengalaman serta mewakili anggotanya. Seemua fenomena kultural bersifat sosial karena
seluruhnya tunduk pada norma yang mempunyi sanksi secara kolektif. (1971: 651-2)

Lebih baru dalam pandangan normatif adalah Tom Burns dan Flam yang mengemukakan
sebuah teori komperhensif tentang "norma sistem" dan "norma resim". Arti penting norma
sosial dan posisi kuncinya dalam kehidupan sosial telah diakui oleh ilmuwan sosial.
2. Penyingkiran norma yang dilembagakan
3. Inovasi norma baru
KEMUNCULAN NORMA:PENYINGKIRAN DAN INOVASI
1. Inti normatif struktur sosial
Keteraturan sosial hanya merupakan tatanan aksionormatif diantara fenomena yang disebut
kehidupan sosial, organisasi sosial berlandaskan pengakuan dan dukungan terhadap norma secara
kolektif, yang mengatur tindakan dan pengalaman serta mewakili anggotanya, semua fenomena
kultural bersifat sosial karena seluruhnya tunduk pada norma yang mempunyai sanksi secara
kolektif.
2. Penyingkiran norma yang dilembagakan
Merton membedakan ada bentuk perilaku penyimpangan:
 Non-kompromi adalah tindakan publik, sedangkan penyimpangan dalam batas kelayakan
adalah untuk privat.
 Non-kompromi mencakup tak mengetahui keabsahan norma yang berlaku, orang yang
nonkompromi menentang keabsahan norma sosial yang mereka tolak.
3. Inovasi norma baru
Cara adaptasi non-kompromi dalam kenyataannya merupakan alternatif perasaan yang digunakan
minoritas ketika menggantikan adaptasi kompromis dan berbuat demikian karena secara
fungsional mereka adalah superior dibandingkan mayoritas yang menggunakan pola perilaku yang
ada kini.
Jika inovasi berhasil menghancurkan semua mekanisme penyaringan dan menjangkau masyarakat
maka tahap penyebaran pun di mulai:
 Kompensasi apabila perubahan awla memicu umpalik negatif
 Kompensasi berlebihan
 Isolasi perubahan
 Tersebar apabila perubahan awal menyebabkan transformasi sermapangan sejumlah
komponen struktur sosial.
 Memperkuat perubahan berdasarkan umpan balik yang positif.
KEMUNCULAN NORMA: PENYINGKIRAN DAN INOVASI

1. INTI NORMATIF STUKTURAL SOSIAL


Kehidupan social diatur oleh aturan. Norma, nilai dan institusi yang mengatur perilaku
manusia, oleh sejumlah pakar diangggap sebagai aspek sentral masyrakat. Dalam karya klasiknya,
Durkheim membayangkan fakta sosial menurut pengertian normative yang jelas:

Bila saya melaksakan kewajiban sebagai saudara, suami, atau warga Negara, bila saya
mematuhi janji, maka saya melaksanakan kewajiban yang di tetapkan secara eksternaltyerhadap
diri saya sendiri dan tindakan saya adalah menurut hokum dan kebiasaan. Meski norma itu
sesuai dengan perasaan saya sendiri dan saya merasakan realitasnya secara subjektif, namun
realitas ini masih tetap objektif, karena saya tak menciptakanya; saya hanya menerimanya
melalui pendidikan. Di sinilah cara bertindak, berpikir, dan merasakan benar-benar mucul
secara luar biasa diluar kesadaran individual. Tife berprilaku atau berpikir ini tidak hanya
berada di luar individu tetapi juga mengandung kekuatan memerintah dan memaksa, terlepas
dari kemauan individual. (Durkheim, 1972:63-4)

Penekanan pada sisi normatif yang serupa terdapat dalam gagasan mengenai tantanan
aksionormatif yang dikemukan Florian Znaniecki. Menurutnya:

Keteraturan social hanya merupakan tantanan aksionormatif diantara fenomena yang


disebut kehidupan social. Organisai social berlandaskan pengakuan dan dukungan terhadap
norma secara kolektif, yang mengatur tindakan dan pengalaman serta mewakili anggotanya.
Semua fenomena cultural bersifat social karena seluruhnya tunduk pada norma yang
mempunyai sangsi secara kolektif. (1971:651-2)

Penganut fungsionalisme-sturtural menekankan perhatian pada landasan normatif


terciptanya konsensus sosial dan keseimbangan sistem (parsons, 1951). Aliran “dramaturgical”,
terutama Ervin Goffman, menyajikan analisa mendalam tentang kerangka normatif yang
terkandung dalam drama sosial (Goffman, 1963; 1967; 1971). Penganut “etnomotodplogis” juga
menggali lebih dalam lagi ke dalam asumsi normatif yang melandasi kehidupan sosial (Garfinkel,
1967). Lebih baru lagi, Tom Burns dan Flam (1987) mengemukakan sebuah teori komprehensif
tentang “norma sistem” dan “norma rezim”. Arti penting norma social dan posisi kuncinya dalam
kehidupan sosial telah diakuai oleh ilmuawan sosial (Segerstedt, 1966:105). Harry Johnson
mengatakan bahwa kosep norma merupakan konsep sentral dalam sosiologi (1960: 8).

Bab ini akan merinci dua cara norma mengalami perubahan, yakni melalui proses
penyingkiaran norma yang dilembagakan dan melalui penciptaan norma baru.

2. PENYINGKIRAN NORMA YANG DILEMBAGAKAN


Perubahan norma yang dimaksud adalah kemunculan, penggantian atau modifikasi
kompenen struktur normatif dari: norma, nilai, peran, instisusi, dan komplek institusional. Untuk
penyederhanaan, di sini dipakai istialah perubahan norma untuk menyebut ketiga aspek
perubahannhya itu. Perhatian dipusatkan pada cara norma menimbulkan tindakan yang dilakukan
sebagai agen social. Mungkin saja rakyat bias dalam perilakunya sehari-hari menghasilkan banyak
perubahan, atau agen lain melakukan perubahan normatif dan menghasilkan perubahan yang
dikehendaki.
Perubahan norma mensyaratkan penyimpangan norma sebagai semacam pembuka jalan.
Seperti diamati Robert bierstedt..

Penyimpangan dari stuktur lama hamper dapat di pastikan merupakan bagian dari
proses penciptaan struktur baru. (1981: 461)

Tetapi, penyingkiran itu tidak sebagian saja. Katagori penting ini memerlukan defenisi yang
tepat dan analisis ini lebih banyak mengikuti Merton. Ia mengusulkan konsep penyimpangan
berikut….
Adaptasi dapat dilukiskan sebagai penyimpangan, jika suatu tindakan adalah
menyimpang dari apa yang dikehendaki oleh tujuan cultural atau oleh norma institusional atau
oleh keduanya. (1959: 178).
Penyimpangan tak harus dikacaukan dengan “perilaku aneh”; boring harus membedakan
bentuk perilaku baru yang benar menurut norma yang telah ditentukan dan bentuk perilaku baru
yang berada di luar norma itu. Kluckhon menyebut yang pertama sebagai “variasi tindakan” dan
hanya yang kedua yang disebutnya “perilaku menyimpang” (ibit:81). Begitu pula,”tenggang rasa”
terhadap prilaku menyimpang (masih dalam cangkupan penerapan konkret norma umum) harus
dibedakan dari ‘kebolehan faktual”, yakni sikap pasif anggota masyrakat terhadap prilaku yang
dianggap menyimpang, atau larangan pemberian sanksi negative atas tindakan yang menyimpang
itu. Jacobsen mengartikan “kebolehan faktial” ini sebagai “suasana sosial yang dilembagakan, di
mana seseorang boleh melanggar norma yang diterima public tanpa dikenai sanksi” (1979: 223).
Merton membedakan dua bentuk utama prilaku menyimpang:
a. Nonkompromi (penyimpangan prinsip)
b. Penyimpangan dalam batas kelayakan.
Keduanya berbeda dalam beberapa hal.
1) Nonkompromi adalah tindakan public; sedangkan penyimpangan dalam batas kelayakan
adalah untuk privat. Orang nonkompromi mengumumkan perbedaan pendapat ke tengah
public; mereka tak mencoba menyembuyika titk tolak mereka dari norma social. Politisi
atau pengatur agama yang berbeda pendapat justru berupaya memberitahukan pendirian
mereka yang berbeda itu kepada orang sebanyak-banyaknya; sedangka prilaku kriminaal
berupaya menghindari sorotan perhatian public (Merton, 1982b: 72).
2) Nonkompromi mencakup tak mengakuai keabsahan norma yang berlaku; norma yang
nokompromi menentang keabsahan norma social yang mereka tolak itu atau setidaknya
menentang penerapannya pada jenis situasi tertentu. Sebaliknya, dalam penyimpangan
dalam batas kelayakan, pelaku mengakuai keabsahan norma yang mereka langgar tetapi
mengagap pelanggaran itu layak atau sebagai ungkapan keadaan pikiran mereka (ibid:73).
3) Nonkompromi adalah positif dan konstruktif; perilaku menyimpang yang layak adah
negative. Orang nonkompromi bertujuan mengubah norma yang praktiknya mereka
sangkal. Mereka ingin mengganti norma yang mereka curigai itu dengan norma yang
mempunyai basis moral yang lebih kuat. Sebaliknya, pelaku tindakan penyimpangan dalam
batas kelayakan terutama mencoba lari dari kekuatan sanksi norma yang ada tanpa
mengajukan penggantian (ibit:73).
4) Tindakan nonkompromi dan tindakan menyimpang yang layak mengajukan dua jalan yang
berbeda dari morphogenesis-normatif dengan tahap dan mekanisme internal yang berbeda.
Pertama, dapat dapat disebut momphogenesis via penemuan norma baru. Kedua,
momphogenesis via penyingkiaran norma yan ada. Bahasan dimulai dari yang kedua.
Mophogenesis via penyingkiran norma dimulai dari tindakan penyimpangan oleh individu
yang merasa norma yang ada terlalu menutut bagi mereka meskipun umumnya norma-norma itu
sah. Seperti didefinisikan Jacobsen “penyingkiran norma adalah sejenis pelanggaran subtype
norma tertentu baik dengan sengaja maupun dengan tipu daya. “(1979: 220). Contoh. Pencuri tak
mempersoalkan keabsahan KUHP; ia jelas akan sakit hati bila ia sendiri kecurigaan dan takkan
kaget jika ia tertangkap dan dihukum. Kita jelas menyingkirkan norma tertentu untuk selamanya
dan norma lainnya dari waktu ke waktu.
Menghindari norma sepenuhnya dilakukan secara pribadi, tak terlihat, tanpa diketahui dan,
karena itu, tak ada akibat secara sosial: tak mempengaruhi proses keselarasan sosial. Tetapi jika
meluas, dilakukan oleh banyak orang, mak kesadaran public mungkin akan tergugah. Makin sering
terjadi, penyimpangan akan makin disadari secara luas, meski pelanggaranya masih diketahui. Jiak
pelakunya sudah diketahui, keterampilan khusus pelanggaran itu menjadi sasaran perhatian public,
dan sering diamati dengan rasa iri. Seperti diamati Merton: Bajingan yang sukses (diukur menurut
kreteria kelompok rujukan mereka) akan menjadi teladan oleh bajian lain dilingkungan mereka,
karena semula kurang mudah dikecam dan kurang dijauhi, kini tak lagi terikat pada aturan yang
semula mereka angap sah (1964: 235). Contoh yang bik disediakan oleh usahawan swasta di
Negara “sosialisme nyata”; dengan demikian kekayaan mereka, dengan kosumsi mencoloknya,
dengan koneksi politiknya, mereka sering dijadikan model, khususnya oleh generasi lebih muda,
meski setiap orang tahu bahwa untuk mendapatkan kekayaannya itu mereka tentu telah
menghancurkan semua jenis peraturan hokum yang mengatur rencana ekonomi.
Terjadinya dorongan bersama di kalangan sejumlah besar individu untuk menghindarai
norma, disertai meluasnnya keyakinan bahwa setiap orang telah melakukannya dan adanya
kecendrungan untuk meniru penghindar yang berhasil, menyebabkan perbuatan menghindari
norma itu akan terpola dan di ulangi. Menurut Robin William, penghindaran norma yang terpola
itu menandai situasi dimana public masih menerima norma yang dilanggar itu secara diam-diam
atau masih di setujuoleh kelompok atau masyrakat yang sama, sekurangnya selama pelanggaran
disembunyikan (1970: 419-420). Menghindari pajak, menyontek dalam ujian, menguntil di
Toserba, dan menghindari pemeriksaan keuangan merupakan contoh yang relevan. Contohnya, di
Negara sosialis adalah mewabahnya pencurian barang, bahan mentah, peralatan, dan sebagainya
dari perusahan Negara. Disini rupanya larangan moral tradisiaonal yang diterapkan pada milik
pribadi tak dapat diterapkan pada milik Negara karena bagi banyak orang”milik Negara” itu sama
artinya dengan “tak ada pemiliknya”.
Terjadinya penghindaran norma secara terpola itu merupakan langkah lanjut ke
morphegenesis-normatif (namun norma masih dianggap sah). Fase terpenting tiba bila jumlah
frekuensi perilaku menyimpang (tetapi sukses) itu cendrung meningkat hingga melenyapkan
keabsahan norma institusional itu bagi orang lain di dalam sistem (1968: 234). Jika demikian,
maka prilaku menyimpang dalam arti menghindari norma itu menjadi melembaga. Menghindari
norma melembaga dengan sendirinya jika:
1. Terpola
2. Diterima oleh sejumlah besar orang secara nonsporadis
3. Tetorganisir dalam bentuk rekayasa social luas yang berisi para partisipan yang bekerja
sama secara diam-diam, termasuk pula oaring yang semula menolak penerapan norma itu
4. Jarang dihukum, dan jika ada, hukumannya kebanyakan dalam bentuk simbolik saja
terutama untuk menegaskan kembali sanksi norma itu (Merton, 1982b: 76).
Melembaga disini berarti lebih sekedar terpola karena tak hanya menyangkut perulangan
atau keteraturan prilaku tetapi menjamin derajat keabsahannya. Pola ini,berubah bila aturan yang
mengatur organisasi tertinggal di belakang kepentingan, nilai, dan keinginan sebagian besar
anggotanya berubah. Untuk sementara, perbuatan menghindar masih dapat ditoleransi.
Ada tiga variabel lebih khusus penghindaran norma yang dilembagakan itu, Pertama, erosi
norma. Ini terjadi bila norma yang dihindarkan itu sudah lama terbentuk tetapi tak sesuai lagi
dengan realitas yang ada. Contoh, terbalinya adalah liberalisasi secara bertahap terhadap adat yang
mengatur hubungan seksual, atau melemahkan standar hukum mengenai pornografi secara
bertahap maupun secara permisifnya aturan yang membolehkan orang bertelanjang (nudis) yang
khas disebut “sindrom playboy”.
Kedua, perlawanan terhadap norma. Berbeda dari kasus erosi norma, norma yang dihindari
adalah norma baru yang diperkenalkan pembuatnya “dari atas” dan menyimpang dari cara
berperilaku yang sudah mapan. Tuntutan baru yang dipaksakan itu dihindari, sedangkan norma
yang sentiment yang berubah secara lambat terus mengatur perilaku actual (Merton, 1968: 372).
Contohnya, perlawanan yang dilakuakan dengan perubahan undang-undang yang menentang
streotip, prasangka, dan keyakinan moral yang kuat (upaya untuk mengubah UU perkawinan di
koloni afrika atau koloktivitasi kekayaan masyarakat desa di Negara sosialis).
Ketiga, penggantian norma. Ini terjadi jika norma lama berlaku tetapi penghindaranya
meluas, mendapat keabsahan tentative di seluruh skala dan sepanjang tradisi kejadiannya. Separti
dijelaskan Jacobsen: “penghidaran norma yang terpolakan mendapatkan keabsahan sebagian
norma sudah berumur tua dan menjadi tradisi karena kegagalanya. Jika ini terjadi, norma itu
sendiri ntak berubah, tetapi penghidaranya mendapat llegitimasi” (1979: 226). Demikian,
larangan merokok ditempat umum sering diabaikan karena hingga kini larangan itu belum ada
yang tertuju kepada orang yang tertentu (ibit; 226), tetapi larangan ini akan terlaksanakan jika
pelanggarannya sangat ditentang dalam kehidupan publik.
Rentetan jenis pelaku penghindaran yang dilembagakan diatas mengarah ke fase terakhir
proses morphogenesis: memperkenalkan norma baru oleh pihak berwenang atau oleh orang yang
menghindar, statusnya disahkan dalam struktur norma baru. Contohnya mengacu pada
penghindaran meluas terhadap UU pencarian kuno seperti yang diamati Merton…

“Karena orang menyaksikan berulang kali terjadinya penghindaran, maka ini akan
menimbulkan jurang antara prinsip hokum dan frekuensi praktik mengelakan: halini juga dapat
berpengaruh besar untuk menubah hokum itu” (1963:ix).

Begitu pula, untuk menghindari berbagai larangan memilki mata uang asing yang dulunya
dipaksakan di Negara eropa timur (terbukti dengan meluasnya pasar gelap) menyebabkan UU lama
yang tak realistis itu diganti dan kemudian diundangkan peraturan mata uang baru bahkan lebih
liberal dari pada yang berlaku di Negara barat tertentu. Dengan perubahan norma seperti itu maka
situasinya pun berubah sama sekali. Menurut norma lama berarti melakukan tindakan
menyimpang (atau sekurangnya dianggap anakronis, tradisional atau bertindak tak lumrah),
sedangkan penyimpangan menurut pengertian lama akan menjadikan tindakan kompromi. Ini
merupakan lingkaran tertutup morphogenesis dan tentu akan terbuka lingkaran mophogenesis baru
seperti norma baru yang tanpa terletakan akan dihindari pula, sekurangnya oleh sebagian anggota
masyrakat; dan proses pembentukan, penggantian, dan modifikasi norma via penghindaran norma
akan mulai beroperasi lagi.
3. INOVASI NORMA BARU
Mekanisme alternative dan morphogenesis norma adalah akumulasi penemuan. Dalam hal
ini agen tak berupaya menghindari norma, sebaliknya menerimanya namun mempersoalkan
validitasnya. Norma (kebiasaan, tradisi, adat, hukum, dan sebagainya) selalu disangkal
keabsahannya sejak dari awal dan penolakannya adalah tindakan public, terbuka, dan adakalanya
juga dipamerkan. Perilakunya yang memulai proses penolakan ini disebut Merton pemberontakan
atau pendurhakaan.
Adaptasi menyebabkan orang yang berada diluar lingkungan struktur sosial mulai
memikirkan dan mencari struktur social baru yang sangat berbeda. Struktur yang ingin di cari tentu
yang berstandar dan bertujuan sangat berlainan. Struktur yang ada dianggap sewenang-wenang
dan karenanya berarti tak perlu dipatuhi dan tak memiliki legitimasi. Pemberontakan menimbulkan
penyangkalan atas nilai asli dan kekecewaan yang dirasakan menimbulkan kutukan keras terhadap
nilai yang semula sangat dihargai (Merton, 1968: 209-10).
Konsep di atas berisi petunjuk sangat luas. Secara tak langsung menunjukan pada contoh
seperti pecipta atau penemu menghancurkan kerangka teknologi atau paradigm ilmu dominan yang
telah diterima sebelumnya; pemuka agama atau pengusaha moral menetapkan definisi baru tentang
kebaikan dan keadilan; artis atau penulis mengajukan gaya baru; pengusaha menata ulang produksi
dan perdagangan; politisi atau pengusaha melaksanakan kodifikasi baru atas peraturan hukum, dan
seterusnya. Setiap kasus dimulai dari episode kreaktivitas atau penolakan terhadap tradisi yang
ada. Episode ini tentu dada perkecualaiannya, hanya terjadi dikalangan segelintir orang tertentu
atau paling banyak pada segolongan kecil anggota masyarakat. Seperti dikatakan Loomis….

Cara adaptasi nonkompromis dalam kenyataannya merupakan alternative perasaaan yang


digunakan minoritas ketika menggantikan adaptasi kompromis dan berbuat demikian karena
secara fungsional mereka adalah superior dibandingkan mayoritas yang menggunakan pola
prilaku yang ada kini. (Loomis dan Loomis, 1961: 316).

Ada jarak waktu cukup lama antara saat individu atau sekelompok individu memahami suatu
inovasi dan saat menerima dan akhirnya mengganti cara dan modal berprilaku terdahulu (bdk.
Comelan, et.al., 1966). Proses penerimaan inovasi baru ini dapat dirinci menjadi empat tahap
seperti terlihat di gambar 17.1.
Di setiap tahap akan terlihat segala kemungkinan: proses akan berlanjut atau tidak;
menghasilkan morphogenesis norma atau akan berhenti di tahap itu saja. Model ini ada
kesamaannya dengan konsep proses pertumbuhan nilai dalam analisa Smelser tentang prilaku
kolektif.

Setiap tahap dalam proses pertambahan nilai merupakan kondisi yang di perlikan untuk
tambahan nilai yang tepat dan efektif di tahap berikutnya. Kondisi yang cukup untuk produksi
akhir adalah kombinasi setiap kondisi yang diperlukan, sesuai pola yang telah ditentukan.
Karena proses pertambahan nilai bergerak ke depan, maka jarak ke produksi akhir semakin
dekat (Smelser; 1962: 14).

Pada tahap awal, inovasi masih milik pribadi (idiosyncratic). Belum menjadi milik umum
atau dikenal luas. Contohnya banyak. Manuskrip yang masih tersimpan di laci; prototype mesin
baru yang masih di lemari; gagasan masih dibenak pencetusnya; dan lain-lain. Inovasi yang masih
milik pribadi ini mempunyai konsekuensi social selanjutnya. Bukan kebetulan bahwa salah satu
norma institusional fundamental, temasuk dalam etika ilmu, membutuhkan publikasi temuan,
dicetak atau didiskusikan. Merton menyebutnya “norma komunalisme” hasil temuan ilmu (1973:
273). Jika tidak dipublikasikan, keseluruhan makna dan signitifikasi social ilmu akan hilang.
Visibilitas (visibility) hanyalah sekadar diperlukan, bukan merupakan syarat yang
menentukan sukses. Bahkan ketika jnovasi mulai di kenal, itu bukan berarti segera menimbulkan
dampak sosial. Penyaringan perubahan melibatkan berbagai agen yang mungkin di antaranya ada
yang menghalangi tersebarnya inovasi baru ke tengah masyarakat. Sebagian agen mungkin orang
nonspesialis atau bukan professional, yang melaksanakan fungsi penyaringan sebagai aktifitas
samping (guru konservatif menekan semua kemunculan prestasi individual; tetangga yang
berorientasi tradisional menyebar gossip tentang kemahalan menyewa rumah baru; manajer yang
kaku melarang bereksperimen dengan teknik produksi baru).
Dalam masyarakat modern terdapat sejumlah agen spesialisasi yang menjadikan
penyaringan inovasi sebagai aktivitas utamanya, bukan sebagian kegiatan sampingan. Contoh
terkenal adalah badan sensor, editor artikel atau buku, jawatan paten, komisi penilai, dan
sebagainya. Jelas kegiatan ini tak hanya terbatas pada masyarakat modern saja. Dukun di abad
pertengahan jelas merupakan pelopor penjaga (penyaring) ideology yang lebih buruk ketimbang
kebanyakan mekanisme penyaringan modern. Adanya berbagai mekanisme penghambat atau
penyaring akan menyebabkan inovasi norma mungkin sudah terhenti di tahap awal. Dengan cara
kontrol sosial yang menekan, kaku dan memaksa, sensor yang ketat, penolakan oleh birokrasi,
rintangan legislative, dan sebagainya, mengakibatkan inovasi norma yang baru akan tercegah dari
perhatian, pengenalan, dan apalagi penerimaannya dalam masyarakat.
Lalu apalagi penghalang umum penyebaran inovasi ke tengah masyarakat?
Diduga adalah kepentingan tersembunyi (vested interest) anggota masyarakat.
Seperti dikatakan Merton…

Derajat penyimpangan dari norma yang berlaku agaknya fungsional bagi tujuan mendasar
semua kelompok. Derajat “inovasi” tertentu misalnya dapat menghasilkan pola perilaku baru
yang lebih mampu mewujudkan tujuan utama ketimbang pola perilaku lama. (1968: 236).

Dalam jangka pendek, sebelum kriteria utama ditetapkan sendiri, seleksi mungkin dilakukan
berdasarkan citra music kepentingan terselubung yang dimiliki rakyat (kesadaran palsu, idiologi)
atau kepentingan khusus pemegang kekuasaan (pemerintah, kelompok penekan, rumah mode,
pemuka agama). Mereka mampu menegakan norma dan nilai yang konduksif terhadap
kepentingan mereka dan menekan atau menumpas setiap ancaman norma adan nilai alternatif.
Jika inovasi berhasil menghancurkan semua mekanisme penyaringan dan menjangkau
masyrakat, maka tahap penyebaranpun di mulai. Penyebaran mulai berbagai kemungkinan..
1. Kompensasi. Bila perubahan awal memicu umpan balik negatif, ia cendrung mengurangi
arti penting inovasi baru, dan berakibat dilenyapkan sama sekali melalui cara perubahan
tandingannya.
2. Komposisi berlebihan. Ini terjadi bila perlawanan yang di mobilisasi terhadap inovasi
norma sedemikian kuat hingga menimbulkan mekanisme kompesasi berlebihan yang
berakibat tak hanya melestarikan status-quo, tetapi akhirnya mengubah struktur kearah
yang berlawanan dengan yang di harapkan. Ini adalah efek boomerang yang bisa terjadi
misalnya dalam kasusus reformasi politik secara radikal. Upaya memperkuat struktur
instisusional tetentu kehilangan kekuatan sehingga yang terjadi justru sebaliknya
(Baumgartnet, et,al., 1976: 216).
3. Isolasi perubahan. Ini terjadi bila inovasi awal tak mampu menimbulkan reaksi selanjutnya.
Inovasi dipertahankan, tetapi terbatas di bidang struktur normative di tempat semula
diperkenalkan; dampaknya tak meluas ke segmen masyrakat lainnya. Contohnya adalah
adat istiadat atau dialek daerah yang terbatas pemakaiannya pada komunitas terbatas saja.
4. Tersebar, apabila perubahan awal menyebabkan transpormasi serampangan sejumlah
komponen struktur norma tertentu (norma dan nilai tunggal, institusi, peran, dan
sebagainya). Ini menimbulkan kekacauwan terhadap struktur norma yang ada,
mengubahnya di berbagai bagian tetapi melestarika totalitas struktur yang lengkap.
Contoh, perubahan terhadap yang diperkenalkan dalam menaggapi krisis ekonomi di eropa
timur yang tak menyentuh norma dasarnya.
5. Memperkuat perubahan berdasarkan umpan balik positif atau “sibernetik kedua”
(Maruyama, 1963). Di sini perubahan awal memicu perubahan berantai pada komponen
lain dalam struktur norma, meningkatkan arti penting norma asli dan dalam kasusu tertentu
dapat mengubah struktur. Misalnya, penemuan mobil, kapal terbang, dan computer telah
mengubah gaya dan pandang hidup manusia. Contoh di bidang politik: kelahiran serikat
buruh Independen Solidaritas di Polandia telah mengubah system politik di negri itu.

Perubahan norma mungkin dihentikan seperti yang terjadi pada kasus kompensasi atau
kompensasi berlebihan. Tetapi ketika inovasi hendak dihentikan penyebarannya, entah itu dengan
di isolasi dalam bentuk aslinya atau dibubarkan, atau sebaliknya, diperkuat dan tersebar ke seluruh
struktur norma, persoalan utamanya adalah keabsahannya. Untuk mempengaruhi masyarakat
dalam jangka panjang, norma, nilai dan institusi yang berubah harus mendapat pengakuan,
penerimaan atau dukungan positif dari pihak anggota masyarakat. Kalau tidak, keadannya tetap
berbahaya. Bila struktur norma yang baru bterbentuk terbatas keabsahannya dan hanya bersandar
pada paksaan atau ancaman penggunaan kekerasan dari elit pengusaha atau dari kelompok
penekan dominan, maka struktur norma baru itu menimbulkan potensi ledakan perbedaan
pendapat, persaingan, pertentangan, dan pemberontakan. Inovasi norma seperti itu takkan berumur
panjang dan penolakannya cendrung menghasilkan lingkaran baru perubahan norma.

Anda mungkin juga menyukai