Anda di halaman 1dari 57

1

BAB I

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS

Nama : Tn. JS

Umur : 56 Tahun

Jenis kelamin : Laki-laki

Alamat : Benteng

Tanggal masuk RS : 31 Januari 2017

Tanggal keluar RS : 08 Februari 2017

Tanggal Pemeriksaan : 01 Februari 2017

Pengantar : Keluarga

Agama : Kristen Protestan

Status pernikahan : Sudah menikah

II. ANAMNESIS

Keluhan utama : BAB disertai darah dan lendir

Riwayat penyakit sekarang : Pasien merupakan rujukan dari dr. Helfi

Nikijuluw, Sp.B-KBD. Pasien mengeluhkan

BAB disertai darah dan lendir sejak 1tahun

sebelum masuk Rumah Sakit. Tinja yang keluar

bercampur darah yang berwarna merah segar.


2

Terkadang darah menetes saat mengedan

sebelum tinja keluar, disertai flatus dan perut

kembung. Darah yang keluar sebanyak ½

sendok teh. Lendir yang keluar bersama tinja

lebih banyak daripada saat BAB biasanya.

Pasien panas di bagian anusnya saat BAB dan

mulas pada perutnya. Pasien harus mengedan

dan membutuhkan waktu yang lama untuk

mengeluarkan tinja tetapi tinja yang keluar

sedikit dan bentuknya tipis seperti pita dan

sering merasa tidak puas saat BAB. Selain itu

pasien juga mengaku masih bisa kentut. Namun

setelah BAB pasien merasa lemas, dan nyeri

perut disertai muntah, pusing berputar dan

demam hingga mengigil. Selera makan

berkurang, Berat badan pasien terus berkurang

dalam 1 tahun terakhir yang terlihat dari ukuran

celananya yang semakin membesar.

Riwayat penyakit dahulu : Pasien tidak pernah mengalami penyakit yang


sama seperti ini sebelumnya. Pasien tidak
mempunyai riwayat penyakit darah tinggi dan
kencing manis.
3

Riwayat keluarga : Tidak ada anggota keluarganya yang pernah


mengalami penyakit yang sama seperti yang ia
alami namun keluarganya menyatakan bahwa
kakak perempuan pasien memiliki penyakit
kanker kandungan.

Riwayat Kebiasaan : Pasien jarang makan sayur dan buah. Pasien


tidak pernah berolahraga. Pasien juga memiliki
kebiasaan merokok, dalam 1 hari pasien bisa
menghabiskan 4 bungkus rokok. Kebiasaan
minum kopi 4-5 kali sehari namun kebiasaan
minum alkohol disangkal oleh pasien.
Riwayat pengobatan
: 3 minggu sebelum masuk Rumah Sakit. Pasien

sempat di rawat di Rumah Sakit RST Ambon

selama 3 hari.

III. PEMERIKSAAN FISIK

TD : 110/70 mmHg, N : 83x/menit, P : 20x/menit, S : 37,1ºC.

Kepala : Normocephal

Mata : Konjungtiva anemis +/+, sklera ikterik -/-

Telinga : Otore -/-

Hidung : Rinore -/-

Tenggorokan : T1/T1, Hiperemis (-)

Mulut : Bibir kering (+), sianosis (-), pucat (-)

Leher : Pembesaran kelenjar getah bening-/- pembesaran kelenjar tiroid -/-


4

Dada : Inspeksi : Normochest, pengembangan dada simetris kiri = kanan)

Palpasi : Nyeri tekan (-), fremitus vokal normal

Perkusi : Sonor

Jantung : Bunyi jantung I/II murni – regular, murmur (-), gallop (-)

Paru-paru : Vesikuler +/+, Rhonki -/- Wheezing -/-

Abdomen : Inspeksi : Datar

Auskultasi : Bising usus (+)

Palpasi : Soepel, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba

Perkusi : timpani

Genitalia : Tidak dilakukan pemeriksaan

Ekstremitas : Akral hangat (+), edema (-)

Rectal touche : Tonus sfingter ani : Normotoni

Mukosa rectum : Licin, teraba massa ukuran 4x4cm arah jam 9


pada posisi LLD, konsistensi keras,
permukaan berbenjol, tidak dapat digerakkan,
nyeri tekan (-)
Prostat : Teraba prostat arah jam 3 pada posisi LLD, konsistensi
lunak, pool atas & pool bawah teraba
Sarung tangan : Feses (+), lendir (+), darah (+)
5

IV. STATUS LOKALIS

Regio : Inspeksi : Benjolan (+) 3x2x2 cm, permukaan tidak rata


Anal-perianal (berbenjol-benjol), perdarahan (-)
Palpasi :Permukaan tidak rata (berbenjol-benjol),
immobile, rapuh, nyeri (-), perdarahan (-)

Rectal Touche : Tonus sfingter ani : Normotoni


Mukosa rectum :
Licin, teraba massa ukuran 4x4cm arah jam 9
pada posisi LLD, konsistensi keras, permukaan
berbenjol, tidak dapat digerakkan, nyeri tekan (-).
Prostat :Teraba prostat arah jam 3 pada posisi
LLD, konsistensi lunak, pool atas &
pool bawah teraba
Sarung tangan : Feses (+), lendir (+), darah (+)

V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hasil pemeriksaan laboratorium pada 14/06/2016
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai normal
Hematology Rutin
Hemoglobin 12,9 g/dl 11,5-17
Hematrokit 37,2 % 37-54
Leukosit 5.400 /mm3 4.000-10.000
Platelet 375.000 /mm3 150.000-500.000
Faal Ginjal
Ureum 28 mg/dl 20-50
Kreatinin 0,7 mg/dl < 1,5
Faal Hati
SGOT (ASAT) 11 U/L < 33
SGPT (ALAT) 10 U/L < 50
Albumin 3,6 mg/dl 3,5-5,0
Gula Darah
GDS 81 mg/dl 137-147

Serologi
HBSAg Non Reaktif
Anti HCV Non Reaktif
Anti HIV Non Reaktif
6

VI. DIAGNOSIS KERJA


Tumor Rektum 1/3 Proximal

VII. PLANNING

- IVFD RL 20 TPM
- Ranitidin 2 x 50 mg/IV
- Ceftriaxone 2 x 1 gr
- Pro cito laparatomi
- Pasang kateter dan NGT terbuka (pasien puasa)

FOLLOW UP

Tanggal/jam S (subjective); O (objective); Planning


A (assesment)
02-02-2017 S : Nyeri luka operasi (+), nyeri IVFD RL 20 tpm
H.2 perut (-), demam (+) Metronidazole 3 x 500 mg/IV
06.00 O: Ketorolac 3 x 30 mg/IV
 TTV : TD 140/80, nadi Tramadol 3 x 50 mg/IV
87x/menit, RR 24x/menit, t Ranitidin 2 x 1 amp/IV
o Paracetamol 3 x 500 mg/IV
37,5 C
 Abdomen : luka operasi
tertutup kassa
 Terpasang drain
A : Post. Laparatomi H.1
03-02-2017 S : Nyeri luka operasi (+), nyeri IVFD RL 20 tpm
H.3 perut (-), demam (+) Metronidazole 3 x 500 mg/IV
06.00 O: Ketorolac 3 x 30 mg/IV
 TTV : TD 130/80, nadi Tramadol 3 x 50 mg/IV
87x/menit, RR 24x/menit, t Ranitidin 2 x 1 amp/IV
o Paracetamol 3 x 500 mg/IV
38 C
 Abdomen : luka operasi
tertutup kassa
 Terpasang drain
A : Post. Laparatomi H.2
7

04-02-2017 S : Nyeri luka operasi berkurang, IVFD RL 20 tpm


H.4 nyeri perut (-), demam (-) Tramadol 2 x 100 mg /iv
06.00 O: Ceftriaxon 1 x 2 gr (Sore)
 TTV : TD 120/80, nadi Metronidazole 3 x 500 mg /iv
87x/menit, RR 24x/menit, t Omeprazole 2 x 1 /iv
37oC
 Abdomen : luka operasi
tertutup kassa
A : Post. Laparatomi H.3
05-02-2017 S : Nyeri luka operasi (-), nyeri perut IVFD Nacl 20 tpm
H.5 (-), demam (-) Tramadol 2 x 1 amp/iv
06.00 O: Caftriaxon 1 x 2 gr /iv (Sore)
 TTV : TD 110/80, nadi Metronidazole 3 x 500 mg / iv
87x/menit, RR 24x/menit, t Omeprazole 2 x 1 / iv
37oC
 Abdomen : luka operasi
tertutup kassa
A : Post. Laparatomi H.4
06-02-2017 S : Nyeri luka operasi (-), nyeri perut IVFD Nacl 20 tpm
H.6 (-), demam (-) Tramadol 2 x 1 amp/iv
06.00 O: Caftriaxon 1 x 2 gr /iv (Sore)
 TTV : TD 130/80, nadi Metronidazole 3 x 500 mg / iv
87x/menit, RR 24x/menit, t Omeprazole 2 x 1 / iv
37oC Diet cair, rawat luka
 Abdomen : luka operasi
tertutup kassa
A : Post. Laparatomi H.5
07-02-2017 S : Nyeri luka operasi (-), nyeri perut IVFD Nacl 20 tpm
H.7 (-), demam (-) Tramadol 2 x 1 amp/iv
06.00 O: Caftriaxon 1 x 2 gr /iv (Sore)
 TTV : TD 110/80, nadi Metronidazole 3 x 500 mg / iv
87x/menit, RR 24x/menit, t Omeprazole 2 x 1 / iv
37oC Aff infus
 Abdomen : luka operasi Makan saring
tertutup kassa
A : Post. Laparatomi H.6
8

08-02-2017 S : Nyeri luka operasi (-), nyeri perut IVFD Nacl 20 tpm
H.8 (-), demam (-) Tramadol 2 x 1 amp/iv
06.00 O: Caftriaxon 1 x 2 gr /iv (Sore)
 TTV : TD 120/80, nadi Metronidazole 3 x 500 mg / iv
87x/menit, RR 24x/menit, t Omeprazole 2 x 1 / iv
37oC Aff drain
 Abdomen : luka operasi Aff kateter
tertutup kassa
A : Post. Laparatomi H.7 PASIEN PULANG
Obat pulang :
Cefadroxil 2 x 500 mg tab
Asam mefenamat 3 x 500 mg tab
9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Defenisi

Kanker adalah sebuah penyakit yang ditandai dengan pembagian sel yang tidak

teratur dan kemampuan sel-sel ini untuk menyerang jaringan biologis lainnya, baik

dengan pertumbuhan langsung di jaringan yang bersebelahan (invasi) atau dengan

migrasi sel ke tempat yang jauh (metastasis). Pertumbuhan yang tidak teratur ini

menyebabkan kerusakan DNA, menyebabkan mutasi di gen vital yang mengontrol

pembagian sel dan fungsi lainnya.1,2

Kanker rektum merupakan tumor ganas terbanyak di antara tumor ganas saluran

cerna dimana kanker tersebut menyerang kolon dan rektum. Lebih dari 60% tumor

kolorektal berasal dari rektum. Kanker rektum merupakan salah satu jenis kanker

yang tercatat sebagai penyakit yang paling mematikan di dunia, namun penyakit ini

bukan tidak dapat disembuhkan. Jika penderita telah terdeteksi secara dini, maka

kemungkinan untuk sembuh dapat mencapai 50%.2

B. Anatomi dan Fisiologi

Secara anatomis, rektum berada setinggi vertebrae sakrum ketiga sampai ke

garis anorektal. Secara fungsional dan endoskopis, rektum dibagi menjadi bagian

ampula dan spinchter. Bagian spinchter atau disebut juga annulus hemoroidalis

dikelilingi oleh muskulus levator ani dan fascia coli dari fascia supra ani. Bagian

ampula terbentang dari vertebrae sakrum ketiga sampai diafragma pelvis pada
10

insersio muskulus levator ani. Panjang rektum sekitar 10-15 cm dengan keliling 15

cm pada bagian rectosigmoid junction dan 35 cm pada bagian yang terluas yaitu

ampula. Pada manusia, dinding rektum terdiri dari 5 lapisan, yaitu mukosa yang

tersusun oleh epitel kolumner, mukosa muskularis, submukosa, muskularis propia,

dan serosa.1,2,4

Gambar 1. Anatomi Rektum


[Sumber: Snell R. Anatomi klinik untuk mahasiswa kedokteran. 6 th ed. Jakarta:
EGC; 2006. 208-209 p15]

Vaskularisasi daerah anorektum berasal dari arteri hemoroidalis superior,

media, dan inferior. Arteri hemoroidalis superior (arteri rektal superior) merupakan

kelanjutan dari arteri mesenterika inferior. Arteri hemoroidalis media (arteri rektal

media) merupakan cabang dari arteri iliaka interna. Arteri hemoroidalis inferior

(arteri rektal inferior) merupakan cabang dari arteri pudenda interna. 3,4,5
11

Gambar 2. Vaskularisasi Rektum


[Sumber: Keshav S. The gastrointestinal system at a glance. London:
Blackwell Science; 200418]

Vena hemoroidalis superior berasal dari pleksus hemoroidalis interna dan

berjalan ke arah kranial ke dalam vena mesenterika inferior untuk selanjutnya melalui

vena lienalis dan menuju vena porta. Vena ini tidak memiliki katup sehingga tekanan

dalam rongga perut atau intra abdominal sangat menetukan tekanan di dalam vena

tersebut. Vena hemoroidalis inferior mengalirkan darah ke vena pudenda interna yang

kemudian melalui vena iliaka interna dan menuju sistem vena cava.

Pembuluh limfe daerah anorektum membentuk pleksus halus yang mengalirkan

isinya menuju kelenjar limfe inguinal yang selanjutnya mengalir ke kelenjar limfe

iliaka. Infeksi dan tumor ganas pada daerah anorektal dapat mengakibatkan

limfadenopati inguinal. Pembuluh rekrum di atas garis anorektum berjalan seiring


12

dengan v. hemoroidalis seuperior dan melanjut ke kelenjar limfe mesenterika inferior


6,7
dan aorta.

Persarafan rektum terdiri dari sistem simpatik dan parasimpatik. Serabut

simpatik berasal dari pleksus mesenterikus inferior yang berasal dari lumbal 2, 3, dan

4 yang berfungsi mengatur emisi air mani dan ejakulasi. Sedangkan untuk serabut

parasimpatis berasal dari sakral 2, 3, dan 4 yang berfungsi mengatur fungsi ereksi

penis dan klitoris serta mengatur aliran darah ke dalam jaringan. Hal ini menjelaskan

terjadinya efek samping dari pembedahan pada pasien-pasien dengan kanker rektum,

yaitu disfungsi ereksi dan tidak dapat mengontrol buang air kecil.7,8

Gambar 3. Persarafan Rektum

[Sumber: Snell R. Anatomi klinik untuk mahasiswa kedokteran. 6th ed. Jakarta:

EGC; 2006. 208-209 p]


13

C. Etiologi dan Faktor Risiko

Faktor risiko kanker rektum antara lain9,10:

1. Polip

Konsep tentang kanker kolorektal merupakan perkembangan dari polip

pertama kali dideskripsikan oleh Duke pada tahun 1926. Evolusi dari kanker itu

sendiri merupakan sebuah proses yang bertahap, dimana proses dimulai dari

hiperplasia sel mukosa, formasi adenoma, perkembangan dari displasia menuju

transformasi maligna dan invasif kanker. Waktu yang dibutuhkan untuk

perkembangan polip menjadi kanker itu sekitar 5-10 tahun. Kebanyakan adenoma

tetap jinak, namun, jenis histologis, ukuran polip, dan bukti adanya displasia

berhubungan dengan transformasi menjadi kanker. Data dari National Polyp

Study dan St. Mark’s Hospital menunjukkan hampir 75-85% adenoma adalah

adenoma tubular; 8-15% tubulovillous; dan 5-10% adalah villous. Adenoma

tubular biasanya membentuk tangkai sedangakan adenoma villous mempunyai

dasar yang luas. Hanya 1% polip yang diameternya kurang dari 1 cm menunjukan

transformasi menjadi ganas, sedangkan 50% polip yang diameternya lebih dari 2

cm melindungi daerah dari karsinoma.

2. Idiopathic Inflammatory Bowel Disease

- Ulseratif Kolitis

Ulseratif kronis merupakan faktor resiko yang jelas untuk kanker

kolorektal sekitar 1% dari pasien yang memiliki riwayat kronik ulseratif


14

kolitis. Resiko perkembangan kanker pada pasien berbanding terbalik pada

usia terkena kolitis dan berbanding lurus dengan keterlibatan dan keaktifan

dari ilseratif kolitis. Resiko kumulatif sebesar 2% pada 10 tahun, 8% pada 20

tahun, dan 18% pada 30 tahun. Pendekatan yang direkomendasikan untuk

seseorang dengan resiko tinggi dari kanker kolorektal pada ulseratif kronis

dengan menggunakan kolonoskopi untuk menentukan kebutuhan akan total

proktokolektomi pada pasien dengan kolitis yang durasinya lebih dari 8 tahun.

Strategi yang digunakan berdasarkan asumsi bahwa lesi displasia bisa

dideteksi sebelum terbentuknya invasif kanker. Sebuah studi prospektif

menyimpulkan bahwa kolektomi yang dilakukan dengan segera sangat

esensial untuk semua pasien yang didiagnosis dengan displasia yang

berhubungan dengan massa atau lesi, yang paling penting dari analisa

mendemonstrasikan bahwa diagnosis displasia tidak menyingkirkan adanya

invasif kanker. Diagnosis dari displasia mempunyai masalah tersendiri pada

pergumpulan sampling spesimen dan variasi perbedaan pendapat antara para

ahli patologi anatomi.

- Crohn’s Disease

Pasien yang menderita Crohn’s Disease mempunyai resiko tinggi untuk

menderita kanker kolorektal tetapi masih kurang jika dibandingkan dengan

ulseratif kronis. Keseluruhan insiden dari kanker yang muncul pada Crohn’s

Disease sekitar 20%. Pasien dengan striktur kolon mempunyai insiden yang
15

tinggi dari adenokarsinoma pada tempat yang terjadi fibrosis.

Adenokarsinoma meningkat pada tempat strikturoplasty dimana biopsi dari

dinding intestinal harus dilakukan pada saat melakukan strikturoplasty. Telah

dilaporkan juga bahwa squamous sel kanker dan adenokarsinoma meningkat

pada fistula kronik pasien dengan Crohn’s Disease.

- Faktor Genetik

1. Riwayat Keluarga

Sekitar 15 % dari seluruh kanker rektum muncul pada pasien dengan

riwayat kanker kolorektal pada keluarga terdekat. Seseorang dengan

keluarga terdekat yang mempunyai kanker kolorektal mempunyai

kemungkinan untuk menderita kanker kolorektal dua kali lebih tinggi bila

dibandingkan dengan seseorang yang tidak memiliki riwayat kanker

kolorektal pada keluarganya.

2. Herediter Kanker Kolorektal

Abnormalitas genetik terlihat mampu memediasi progresi dari normal

menuju mukosa kolon yang maligna. Sekitar setengah dari seluruh

karsinoma dan adenokarsinoma yang besar berhubungan dengan mutasi.

Langkah yang paling penting dalam menegakkan diagnosis dari sindrom

kanker herediter yaitu riwayat kanker pada keluarga. Mutasi sangat jarang

terlihat pada adenoma yang lebih kecil dari 1 cm. Allelic deletion dari 17p

ditunjukkan pada ¾ dari seluruh kanker kolon dan deletion dari 5q


16

ditunjukkan lebih dari 1/3 dari karsinoma kolon dan adenoma yang besar.

Dua sindrom yang utama dari sindrom ini menyebabkan kanker kolorektal

telah dikenali karakternya. Dua sindrom ini, dimana mempunyai

predisposisi menuju kanker kolorektal memiliki mekanisme yang berbeda,

yaitu Familial Adenomatous Polyposis (FAP) dan Hereditary Non

Polyposis Colorectal Cancer (HNPCC).

- FAP (Familial Adenomatous Polyposis)

Gen yang bertanggung jawab untuk FAP yaitu gen APC yang

berlokasi pada kromosom 5q21. Adanya defek pada APC tumor supresor gen

dapat menggiring kepada kemungkinan pembentukan kanker kolorektal pada

usia 40 sampai 50 tahun. Pada FAP yang telah berlangsung cukup lama,

didapatkan polip yang sangat banyak untuk dilakukannya kolonoskopi

polipektomi yang aman dan adekuat dan ketika hal itu terjadi,

direkomendasikan untuk melakukan prophylactic subtotal colectomy diikuti

dengan endoskopi pada bagian yang tersisa.

Idealnya prophylactic colectomy harus ditunda kecuali terdapat terlalu

banyak polip yang dapat ditangani dengan aman. Prosedur pembedahan

elektif harus sedapat mungkin dihindari ketika memungkinkan. Screening

untuk polip harus dimulai pada saat usia muda. Pasien dengan FAP yang

diberi 400 mg celecoxib, dua kali sehari selama enam bulan mengurangi rata-

rata jumlah polip sebesar 28%. Tumor lain yang mungkin muncul pada
17

sindrom FAP adalah karsinoma papillary thyroid, sarcoma, hepatoblastomas,

kanker pankreas, dan medulloblastoma otak. Varian dari FAP termasuk

Gardner’s Syndrome dan Turcot’s Syndrome.

- HNPCC (Hereditary Non Polyposis Colorectal Cancer)

Pola autosomal dominan dari HNPCC termasuk lynch’s sindrom I dan

II. Dua generasi multipel yang dipengaruhi dengan kanker kolorektal muncul

pada usia yang muda (± 45 tahun), dengan predominan lokasi kanker.

Abnormalitas genetik ini terdapat pada mekanisme mismatch repair yang

bertanggung jawab pada defek eksisi dari abnormal repeating sequences dari

DNA yang dikenal sebagai mikrosatelit (mikrosatelite instability). Retensi

dari squences ini mengakibatkan ekspresi dari phenotype mutator yang

dikarakteristikan oleh frekuensi DNA dan replikasi error (RER + Phenotype)

dimana predisposisi tersebut menyebabkan seseorang memiliki multitude dari

malignasi primer.

Pasien dengan HNPCC mungkin juga memiliki adenomasebaceous, dan

carsinoma sebaceous) dan multipel keratocanthoma, termasuk kanker dari

endometrium, ovarium, kandung kemih, ureter, lambung, dan traktus biliaris.

Jika dibandingkan dengan sporadic kanker kolorektal, tumor pada HNPCC

seringkali poorly differentiated dengan gambaran mukosa dan signet-cell,

reaksi yang mirip dengan Crohn’s Disease (nodul limfoid, germinal centers,

yang berlokasi pada perifer infiltrasi kanker koloraktal), kehadiran infiltrasi


18

limfosit diantara tumor. Karsinogenesis yang terakselerasi muncul pada

HNPCC, pada keadaan ini adenoma kolon yang berukuran kecil dapat

menjadi karsinoma dalam 2-3 tahun, bila dibandingkan dengan proses pada

rata-rata kanker kolorektal yang membutuhkan waktu 8-10 tahun.

Pasien dengan HNPCC mempunyai kecenderungan untuk menderita

kanker kolorektal pada usia yang sangat muda dan sreening harus dimulai

pada usia 20 tahun atau lebih dini 5 tahun dari umur anggota keluarga yang

pertama kali terdiagnosis kanker kolorektal yang berhubungan dengan

HNPCC. Angka rata-rata pasien dengan HNPCC yang didiagnosis menderita

kanker kolorektal yang berhubungan HNPCC. Angka rata-rata pasien dengan

HNPCC yang didiagnosis menderita kanker kolorektal pada usia 44 tahun,

dibandingkan dengan pasien kontrol yang menderita kanker kolorektal pada

usia 68 tahun. Prognosis dari pasien HNPCC terlihat lebih baik daripada

pasien dengan sporadik kanker kolon. Dari penelitian menunjukkan bahwa

pasien dengan HNPCC kurang mendapat manfaat dari adjuvant kemoterapi

berdasarkan kombinasi fluorourasil dari pada pasien tanpa kelainan ini.

- Diet

Masyarakat yang diet tinggi lemak, tinggi kalori, daging, dan diet

rendah serat berkemungkinan besar untuk menderita kanker kolorektal pada

kebanyakan penelitian, meskipun terdapat juga penelitian yang tidak

menunjukkan adanya hubungan antara serat dan kanker kolorektal. Ada dua
19

hipotesis yang menjelaskan mekanisme hubungan antara diet dan resiko

kanker kolorektal. Teori pertama adalah pengakumulasian bukti epidemiologi

untuk asosiasi antara resistensi insulin dengan adenoma dan kanker

kolorektal. Mekanismenya adalah mengkonsumsi diet yang berenergi tinggi

yang mengakibatkan perkembangan resistensi insulin diikuti dengan

peningkatan level insulin, trigliserida dan asam lemak tak jenuh pada

sirkulasi. Faktor sirkulasi ini mengarah pada sel epitel kolon untuk

menstimulus proliferasi dan juga memperlihatkan interaksi oksigen reaktif.

Pemaparan jangka panjang hal tersebut dapat meningkatkan

pembentukan kanker kolorektal. Hipotesis keduanya adalah identifikasi

berkelanjutan dari agen yang secara signifikan menghambat karsinogenesis

kolon secara experimental. Dari pengamatan tersebut, dapat disimpulkan

mekanismenya, yaitu hilangnya fungsi pertahanan lokal epitel disebabkan

kegagalan diferensiasi dari daerah yang lemah akibat terpapar toksin yang tak

dapat dikenali dan adanya respon inflamasi fokal, karakteristik ini didapat dari

bukti teraktifitasnya enzim COX2 dan stress oksidatif dengan lepasnya

mediator oksigen reaktif. Hasil dari proliferasi fokal dan mutagenesis dapat

meningkatkan resiko terjadinya adenomadan aberrant crypt foci. Proses ini

dapat dihambat dengan (a) demulsi yang dapat memperbaiki permukaan

lumen kolon; (b) agen anti-inflamasi’ atau (c) anti-oksidan. Kedua mekanisme

tersebut, misalnya resistensi insulin yang berperan melalui tubuh dan


20

kegagalan pertahanan fokal epitel yang berperan secara lokal, dapat

menjelaskan hubungan antara diet dan resiko kolorektal.

- Gaya Hidup

Pria dan perempuan yang merokok kurang dari 20 tahun mempunyai

resiko tiga kali untuk memiliki adenokarsinoma yang kecil, tapi tidak untuk

yang besar. Sedangkan merokok lebih dari 20 tahun berhubungan dengan

resiko dua setengah kali untuk 7000 kematian karena kolorektal di Amerika

dihubungkan dengan pemakaian rokok. Pemakaian alkohol juga menunjukkan

hubungan dengan meningkatnya risiko kanker kolorektal.

Pada berbagai penelitian telah menunjukkan hubungan antara aktivitas,

obesitas, dan asupan energi dengan kanker kolorektal. Pada percobaan

terhadap hewan, pembatasan asupan energi telah menurunkan perkembangan

dari kanker. Interaksi antara obesitas dan aktivitas fisik menunjukkan

penekanan pada aktivitas prostaglandin intestinal, yang berhubungan dengan

resiko kanker kolorektal. The Nurse Health Study telah menunjukkan

hubungan yang berkebalikan antara aktivitas fisik dengan terjadinya adenoma

yang dapat diartikan penurunan aktivitas fisik akan meningkatkan resiko

terjadinya adenoma.

- Usia

Proporsi dari semua kanker pada usia lanjut (≥65 tahun) laki-laki dan

perempuan adalah 61% dan 56%. Frekuensi kanker pada pria usia lanjut
21

hampir 7 kali (2158 pe 100.000 orang per tahun) dan pada perempuan berusia

lanjut sekitar 4 kali (1192 per 100.000 orang per tahun) bila dibandingkan

dengan orang yang berusia lebih muda (30-64 tahun). Resiko dari kanker

kolorektal meningkat bersamaan dengan usia, terutama pada laki-laki berusia

50 tahun atau lebih dan hanya 3% dari kanker kolorektal muncul pada orang

dengan usia dibawah 40 tahun. Lima puluh lima persen kanker terdapat pada

usia ≥ 65 tahun, angka insiden 19 per 100.000 populasi yang berumur kurang

dari 65 tahun dan 337 per 100.000 pada orang yang berusia lebih dari 65

tahun.

Kriteria tingkat risiko pada individu dengan riwayat keluarga penderita

kanker kolon dan rektum (Kriteria Amsterdam):

Tingkat Risiko Kriteria


Tinggi Paling sedikit 3 anggota keluarga menderita kanker kolon rektum
atau paling sedikit 2 generasi. Satu dari anggota keluarga telah
menderita dibawah usia 50 tahun salah satu anggota yang
didiagnosis adalah silsilah pertama dari keluarga
Ditemukannya pembawa (carier) gen HNPCC
Anggota keluarga yang tidak diuji
Sedang Seorang anggota keluarga silsilah pertama menderita kanker kolon
rektal pada usia <45 tahun atau
2 anggota keluarga silsilah pertama menderita kanker kolon rektal
(seorang pada usia <55 tahun atau
2 atau 3 anggota keluarga (salah seorang pada usia <55 tahun)
dengan kanker kolon rektal atau karsinoma endometrial yang
merupakan silsilah pertama
Rendah Seseorang yang tidak memenuhi kriteria tinggi dan sedang
Tabel. Kriteria Tingkat Resiko Kanker Kolon Rektum
22

D. Patofisiologi10,11,12

Pada mukosa rektum yang normal, sel-sel epitelnya akan mengalami regenerasi

setiap 6 hari. Pada keadaan patologis seperti adenoma, terjadi perubahan genetik yang

mengganggu proses diferensiasi dan maturasi dari sel-sel tersebut yang dimulai

dengan inaktivasi gen Adenomatous Polyposis Coli (APC) yang menyebabkan

terjadinya replikasi tak terkontrol. Peningkatan jumlah sel akibat replikasi tak

terkontrol tersebut akan menyebabkan terjadinya mutasi yang akan mengaktivasi K-ra

onkogen dan mutasi gen p53, hal ini akan mencegah terjadinya apoptosis dan

memperpanjang hidup sel. Kanker kolon dan rektum terutama (95%) adenokarsinoma

(muncul dari lapisan epitel usus) dimulai sebagai polip jinak tetapi dapat menjadi

ganas dan menyusup serta merusak jaringan normal serta meluas ke dalam struktur

sekitarnya. Sel kanker dapat terlepas dari tumor primer dan menyebar ke dalam tubuh

yang lain (paling sering ke hati).

Terdapat dua teori yang dipercaya menjadi patogenesis terjadinya kanker

kolorektal, keduanya merupakan akibat dari mutasi. Jalur pertama, disebut jalur

adenomatous polyposis coli (APC)/ β-katenin ditandai dengan instabilitas kromosom

yang menyebabkan akumulasi bertahap serangkaian onkogen dan gen penekan tumor.

Perubahan molekuler kanker kolon terjadi secara bertahap dimulai dari proliferasi

epitel kolon lokal, pembentukan adenoma kecil, kemudian progresif membesar,


23

menjadi displastik, dan akhirnya berkembang menjadi kanker invasif. Hal ini disebut

sebagai sekuensi adenoma-karsinoma.

Proses genetik yang berperan pada jalur pertama adalah: 10,11

a. Hilangnya APC. Dalam pembentukan adenoma diperkirakan bahwa hilangnya

APC merupakan faktor paling awal yang berperan dalam kejadian tersebut. Defek

gen ini pertama kali didapatkan pada sindrom familial adenomatous polyposis

(FAP) dan sindrom gardner, mutasi sel germinativum di gen APC menyebabkan

terbentuknya ratusan adenoma yang berkembangnya menjadi kanker. Fungsi

protein APC berkaitan erat dengan β-katenin. APC normal meningkatkan

penguraian β-katenin, dengan hilangnya fungsi APC, β-katenin yang menumpuk

berpindah ke nukleus dan mengaktifkan transkripsi beberapa gen, seperti celuler

myelocytomatosis gene (MYC) dan siklin D1, yang mendorong proliferasi sel.

Mutasi APC terdapat pada 80% kanker kolon sporadik terdapat mutasi APC.37,38

b. Mutasi Kirsten rat sarcoma (K-RAS). Gen K-RAS mengkode suatu molekul

transduksi sinyal yang berpindah – pindah antara keadaan aktif terikat guanine

trifosat dan keadaan inaktif terikat guanosin difosfat. Rat sarcoma (RAS) yang

telah bermutasi terperangkap dalam keadaan aktif dan mengeluarkan sinyal

mitotik sekaligus mencegah apoptosis. Mutasi K-RAS biasanya terjadi setelah

hilangnya APC. Gen ini mengalami mutasi pada kurang dari 10% adenoma yang

kurangnya kurang dari 1 cm, pada 50% adenoma yang lebih besar daripada 1 cm,

dan pada 50 % karsinoma.


24

c. Delesi 18q21. Hilangnya gen penekan kanker di 18q21 ditemukan pada 60 %

hingga 70 % kanker kolon. Tiga gen diketahui terletak di lokasi kromosom ini:

deleted in colorectal cancer (DCC) mengalami delesi pada karsinoma kolon,

DPC4 dan Mothers against decapentaplegic homolog 2 (SMAD2). Gen yang

berhubungan dengan karsinogenesis kolon belum dapat dipastikan secara jelas

namun, DCC mengkode suatu molekul perekat sel yang disebut netrin-1, yang

berperan dalam fungsi akson. DPC/SMAD4 dan SMAD2 mengkode komponen–

komponen jalur sinyal transforming growth factor β (TGF- β). Karena sinyal

TGF- β biasanya menghambat siklus sel, hilangnya gen ini memungkinkan sel

tumbuh tidak terkendali.

d. Hilangnya p53. Hilangnya gen penekan tumor ini ditemukan pada 70% hingga

80% kanker kolon, kehilangan serupa jarang ditemukan pada adenoma, yang

mengisyaratkan bahwa mutasi p53 sering muncul diakhir dari karsinogenesis

kolorektal.

Jalur kedua ditandai dengan lesi genetik di DNA mismatch repair genes (gen

untuk memperbaiki ketidakcocokan DNA). Gen ini berperan pada 10–15% kasus

sporadik. Gangguan perbaikan DNA yang disebabkan oleh inaktivasi gen mismatch

repair genes merupakan hal yang mendasar dan sangat mungkin untuk mengawali

proses pembentukan kanker kolorektal. Mutasi herediter pada satu dari lima gen

perbaikan ketidakcocokan DNA (MutS protein homolog 2 (MSH2), mutS homolog 6

(MSH6), MutL homolog 1(MLH1), PMS1, dan PMS2) menyebabkan timbulnya

karsinoma kolon non poliposis herediter (hereditary nonpolyposis colon carcinoma).


25

Gen ini MLH1 merupakan salah satu yang sering terlibat dalam karsinoma kolon

sporadik. Hilangnya gen perbaikan kecocokan DNA menghasilkan keadaan

hypermutable yang sekuensi DNA repetitif biasanya, yang disebut mikrosatelit,

menjadi tidak stabil selama replikasi DNA dan menyebabkan perubahan luas pada

pengulangan ini. Instabilitas mikrosatelit (MSI) adalah suatu tanda terjadinya

gangguan molekular pada proses perbaikan ketidakcocokan DNA, sehingga jalur ini

sering disebut jalur MSI. Sebagian besar sekuensi mikrosatelit terletak di regio

noncoding gen sehingga mutasi gen ini mungkin tidak berbahaya. Namun, sebagian

sekuensi mikrosatelit terletak di region pengkode atau promontor gen yang berperan

dalam pengendalian pertumbuhan sel. Gen–gen ini mencakup reseptor transforming

growth factor β (TGF-β) tipe II dan Bcl-2-associated X protein (BAX). Sinyal TGF-β

menghambat pertumbuhan sel epitel kolon dan gen BAX menyebabkan apoptosis.

Gangguan pada perbaikan ketidakcocokan menyebabkan akumulasi mutasi pada gen

ini dan gen pengatur pertumbuhan lain yang memuncak pada timbulnya karsinoma

kolorektal.
26

Gambar 4. Patofisiologi Kanker Rektum


(Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. Robbins buku ajar patologi. 7th ed. Jakarta: EGC;
2007. 654-56 p.11)

E. Gejala Klinis dan Staging

Kanker rektum tidak menimbulkan gejala selama bertahun-tahun, gejala timbul

perlahan-lahan dan sering telah ada sejak berbulan-bulan, kadang-kadang bertahun-

tahun, sebelum terdiagnosis.

Tanda dan gejala yang mungkin muncul pada kanker rektum antara lain adalah:

1. Perubahan pada kebiasaan BAB atau adanya darah pada feses, baik itu darah

segar maupun yang berwarna hitam.

2. Diare, konstipasi atau merasa bahwa isi perut tidak benar-benar kosong saat BAB.

3. Feses yang lebih kecil dari biasanya.

4. Keluhan tidak nyaman pada perut seperti sering flatus, kembung, rasa penuh pada

perut atau nyeri.

5. Penurunan berat badan yang tidak diketahui penyebabnya.


27

6. Mual dan muntah.

7. Rasa letih dan lesu.

8. Pada tahap lanjut dapat muncul gejala pada traktus urinarius dan nyeri pada

daerah gluteus.

Penyabaran karsinoma rektum dapat melalui;

1. Penyebaran langsung: penyebaran longitudinal tidak melebihi 6 cm. Penyebaran

kolateral menembus dinding rectus dan menginfiltrasi vagina, prostat, vesica

urinaria atau os. Sacrum.

2. Penyebaran hematogen: penyebaran melalui vena porta ke hepar. Penyebaran

melalui hipgastrika ke jantung, paru dan tempat lainnya

3. Penyebaran limfogen: penyebaran tumor dekat anus ke Inguinalis

Stadium kanker rektum yaitu:


1. Stadium 0 (carcinoma in situ)

Kanker belum menembus membran basal dari mukosa kolon atau

rektum

Gambar 5. Stadium 0 (Carcinoma In Situ)


(Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. Robbins buku ajar patologi. 7th ed.
Jakarta: EGC; 2007. 654-56 p.11)
28

2. Stadium I/Duke A

Sel kanker dapat ditemukan di sel mukosa di dinding rektum dan

menyebar ke sel sub mukosa.

Gambar 6. Stadium I
(Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. Robbins buku ajar patologi. 7th ed.
Jakarta: EGC; 2007. 654-56 p.11)

3. Stadium II/Duke B

Stage II A. Sel kanker menyebar ke sel otot menuju sel serosa

Stage II B. Sel kanker menyebar ke sel serosa tetapi belum menembus

dinding

Stage II C. Sel kanker menembus statum serosa menuju dinding organ

terdekat

Gambar 7. Stadium IIA, IIB, dan IIC


(Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. Robbins buku ajar patologi. 7th ed. Jakarta:
EGC; 2007. 654-56 p.11)
29

4. Stadium III/Duke C

Stage III A

-Sel kanker menembus sel mukosa, sub mukosa dan sel otot. Sel

kanker dapat menyebar 1-3 kelenjar getah bening

-Sel kanker menembus sel mukosa, sub mukosa. Sel kanker dapat

menyebar 4-6 kelenjar getah bening

Gambar 8. Stadium IIIA


(Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. Robbins buku ajar patologi. 7th ed. Jakarta:
EGC; 2007. 654-56 p.11)

Stage III B
- Sel kanker menyebar sampai sel otot, serosa tetapi tidak sampai ke
organ terdekat. Sel kanker menyebar 1-3 kelenjar getah bening
organ terdekat atau sel kanker terbentuk disekitar kelenjar getah
bening.
- Sel kanker menyebar sampai sel otot atau sel serosa. Sel kanker
menyebar 4-6 kelenjar getah bening terdekat
- Sel kanker menyebar dari sel mukosa sampai sel submukosa dan
mungkin dapat menyebar ke permukaan sel otot. Sel kanker
menyebar lebih dari 7 kelenjar getah bening
30

Gambar 9. Stadium IIIB


(Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. Robbins buku ajar patologi. 7th ed. Jakarta:
EGC; 2007. 654-56 p.11)

Stage III C

- Sel kanker menyebar sampai ke sel serosa tetapi tidak menyebar ke

organ terdekat. Sel kanker menyebar 4-6 kelenjar getah bening.

- Sel kanker menyebar dari sel otot sampai sel serosa atau sel serosa

tetapi tidak menyebar ke organ terdekat. Sel kanker menyebar ke 7

kelenjar getah bening

- Sel kanker menyebar sampai sel serosa dan organ terdekat. Sel

kanker menyabar ke >1 kelenjar getah bening atau sel kanker

terbentuk di jaringan terdekat kelenjar getah bening


31

Gambar 10. Stadium IIIC


(Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. Robbins buku ajar patologi. 7th ed. Jakarta:
EGC; 2007. 654-56 p.11)

5. Stadium IV/Duke D

- Stage IVA Sel kanker menyebar sampai ke dinding rektum dan

organ terdekat atau kelenjar getah bening. Kanker menyebar ke

satu organ yang jauh dari rektum seperti hepar, paru-paru,

ovarium, kelenjar getah bening yang jauh.

- Stage IVB Sel kanker menyebar sampai ke dinding rektum dan

organ terdekat atau kelenjar getah bening. Sel kanker menyebar

>1 organ yang jauh dari rektum atau masuk ke lapisan dinding

abdomen.
32

Gambar 11. Stadium IVA dan IVB


(Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. Robbins buku ajar patologi. 7th ed.
Jakarta: EGC; 2007. 654-56 p.11)
33

Stadium TNM menurut American Joint Committee on Cancer (AJCC)

Keterangan:
T : Tumor primer
Tx : Tumor primer tidak dapat dinilai
T0 : Tidak terbukti adanya tumor primer
Tis : Carcinoma in situ, terbatas pada intraepitelial atau terjadi invasi pada lamina propia
T1 : Tumor menyebar pada submukosa
T2 : Tumor menyebar pada muskularis propria
T3 : Tumor menyebar menembus muskularis propria ke dalam subserosa atau ke dalam jaringan
sekitar kolon atau rektum tapi belum mengenai peritoneal.
T4 : Tumor menyebar pada organ tubuh lainnya atau menimbulkan perforasi peritoneum viseral.
N : Kelenjar getah bening regional/node
Nx : Penyebaran pada kelenjar getah bening tidak dapat di nilai
N0 : Tidak ada penyebaran pada kelenjar getah bening
N1 : Telah terjadi metastasis pada 1-3 kelenjar getah bening regional
N2 : Telah terjadi metastasis pada lebih dari 4 kelenjar getah bening
M : Metastasis
Mx: Metastasis tidak dapat di nilai
M0: Tidak terdapat metastasis
M1: Terdapat metastasis
34

F. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mencari kemungkinan metastasis seperti

pembesaran kelenjar getah bening atau adanya hepatomegali. Sekitar 75% kanker

rektum dapat dipalpasi pada pemeriksaan rectal touche. Pemeriksaan rectal touche

akan mengenali tumor yang terletak sekitar 10 cm dari rektum, massa akan teraba

keras dan menggaung.

Pada pemeriksaan colok dubur ini yang harus dinilai adalah:

- Keadaan tumor: ekstensi lesi pada dinding rektum serta letak bagian terendah

terhadap cincin anorektal, cervix uteri, bagian atas kelenjar prostat atau ujung os.

Coccygeus.

- Mobilitas tumor: hal ini sangat penting untuk mengetahui prospek terapi

pembedahan. Lesi yang sangat dini biasanya masih dapat digerakkan pada lapisan

otot dinding rektum. Pada lesi yang sudah mengalami ulserasi lebih dalam

umumnya terjadi perlekatan dan fiksasi karena penetrasi atau perlekatan ke

struktur ekstrarektal seperti kelenjar prostat, buli-buli, dinding posterior vagina,

atau dinding anterior uterus.

- Ekstensi penjalaran yang diukur dari besar ukuran tumor dan karakteristik

pertumbuhan primer dan sebagian lagi dari mobilitas atau fiksasi lesi.

Dari pemeriksaan colok dubur (Rectal Touche) dapat diketahui:

- Adanya tumor rektum

- Lokasi dan jarak dari anus


35

- Posisi tumor, melingkar atau menyumbat lumen

- Perlengketan dengan jaringan sekitar

G. Pemeriksaan Penunjang

Ada beberapa pemeriksaan yang dilakukan untuk mendeteksi kanker rektum,

antara lain:

1. Biopsi

Konfirmasi adanya malignansi dengan pemeriksaan biopsi sangat penting.

Jika ditemukan tumor dari salah satu pemeriksaan diatas, biopsi harus dilakukan,

Secara patologi anatomi, adenokarsinoma merupakan jenis yang paling sering,

yaitu sekitar 90-95% dari kanker usus besar. Jenis lainnya ialah karsinoma sel

skuamosa, carcinoid tumors, adenosquamouscarsinomas, dan undifferentiated

tumors.

2. Pemeriksaan Tumor Marker

CEA (Carcinoma Embryonic Antigen), CA 242, CA 19-9. CEA berkolerasi

dengan volume tumor dan berhubungan dengan sisa tumor setelh reseksi. CEA

akan menurun sampai normal setelah 4-8 minggu post reseksi kuratif. 20-30%

kekambuhan tidak disertai dengan peningkatan CEA. CEA normal < 5ngr.

3. Uji FOBT (Faecal Occult Blood Test)

Untuk melihat perdarahan di jaringan. FOBT baik digunakan untuk

screening, meskipun spesifik dan sensitivitasnya terbatas.


36

4. Foto Rontgen16

Foto rontgen dengan barium enema, yaitu cairan yang mengandung barium

yang dimasukkan melalui rektum untuk kemudian dilakukan foto rontgen. Barium

enema dianjurkan sebagai pemeriksaan rutin sebelum dilakukan pemeriksaan lain.

Pada pemeriksaan ini akan tampak filling defect biasanya sepanjang 5-6 cm

berbentuk anular atau apple core. Dinding usus tampak rigid dan gambaran

mukosa rusak.

Setelah penderita menelan barium, maka barium akan tampak putih pada

foto rontgen dan membatasi saluran pencernaan, Barium yang terkumpul di

daerah abnormal menunjukkan adanya ulkus, erosi, tumor dan varises

kerongkongan. Barium juga dapat diberikan dalam bentuk enema untuk melapisi

usus besar bagian bawah. Kemudian dilakukan foto rontgen untuk menunjukkan

adanya polip, tumor atau kelainan struktur lainnya. Prosedur ini bisa

menyebabkan nyeri kram serta menimbulkan rasa tidak nyaman.

Barium yang diminum atau diberikan sebagai enema pada akhirnya akan

dibuang kedalam tinja, sehingga tinja tampak putih seperti kapur. Setelah

pemeriksaan, barium harus segera dibuang karena bisa menyebabkan sembelit

yang berarti. Obat pencahar bisa diberikan untuk mempercepat pembuangan

barium.

Keuntungan dari pemeriksaan rontgen dengan barium enema yaitu

sensitivitas untuk kanker kolon 65-95%, tidak memerlukan sedasi, keberhasilan


37

sangat tinggi, tersedia diseluruh rumah sakit, dan cukup aman. Kelemahannya

berupa lesi T1 sering tidak terdiagnosis.

Gambar 12. Foto Rontgen Dengan Barium Enema


[Sumber: Kerr DJ, Young AM, Hobbs RF. ABC of colorectal cancer. London: BMJ Books; 2001].

5. Endoskopi

a. Sigmoidoscopi

Merupakan sebuah prosedur untuk melihat bagian dalam rektum dan

sigmoid, apakah terdapat polip kanker atau kelainan lainnya. Alat

sigmoidoscope dimasukkan melalui rektum sampai kolon sigmoid, polip atau

sampel jaringan dapat diambil untuk biopsi. Flexible sigmoidoscopi setiap 5

tahun dimulai pada usia 50 tahun merupakan metode yang direkomendasikan

untuk screening seseorang yang asimptomatik yang berada pada tingkatan

resiko menengah untuk menderita kanker kolon. Sebuah polip adenomatous

yang ditemukan pada flexible sigmoidoscopi merupakan indikasi untuk

dilakukannya kolonoskopi, karena meskipun kecil (<10 mm), adenoma yang

berada di distal kolon biasanya berhubungan dengan neoplasma yang letaknya

proksimal pada 6-10% pasien.17,18


38

Gambar 13. A. Posisi fleksibel sigmoidoskop di kolon, B. Tip dari sigmoidoskop,


C. Gambaran kolon hasil FS
[Sumber: Kerr DJ, Young AM, Hobbs RF. ABC of colorectal cancer. London:
BMJ Books; 2001]

Gambar 14. Posisi pasien saat sigmodoskopi dan kolonoskopi


[Sumber: Kerr DJ, Young AM, Hobbs RF. ABC of colorectal cancer. London: BMJ
Books; 2001]
39

b. Kolonoskopi

Kolonoskopi dapat digunakan untuk menunjukkan gambaran seluruh

mukosa kolon dan rektum. Sebuah standar kolonoskopi panjangnya dapat

mencapai 160 cm. Kolonoskopi merupakan cara paling akurat untuk dapat

menunjukkan polip dengan ukuran kurang dari 1 cm dan keakuratan dari

pemeriksaan kolonoskopi sebesar 94%, lebih baik daripada barium enema

yang keakuratannya hanya sebesar 67%. 9,10,11

Sebuah kolonoskopi juga dapat digunakan untuk biopsi, polipektomi,

menontrol perdarahan dan dilatasi dari striktur. Kolonoskopi merupakan

prosedur yang sangat aman dimana komplikasi utama (perdarahan, komplikasi

anestesi, dan perforasi) hanya muncul kurang dari 0,2% pada pasien.

Kolonoskopi merupakan cara yang sangat berguna untuk mendiagnosis dan

manajemen dari inflammatory bowel disease, non akut divertikulitis, sigmoid

volvulus, gastrointestinal bleeding, megakolon non toksik, striktur kolon, dan

neoplasma. Komplikasi lebih sering terjadi pada kolonoskopi terapi daripada

diagnostik kolonoskopi, perdarahan merupakan komplikasi utama dari

kolonoskopi terapeutik, sedangkan perforasi merupakan komplikasi utama dari

kolonoskopi diagnostik.12,13
40

Gambar 15. A. Posisi kolonoskop dalam kolon. B. Gambaran mukosa usus besar saat
diendoskopi. C.Tip dari kolonoskop
[Sumber: Kerr DJ, Young AM, Hobbs RF. ABC of colorectal cancer. London: BMJ
Books; 200143]

6. Virtual Colonoscopy (CT colonography)

Kolonoskopi virtual merupakan diagnostik non-invasif yang baru,

menggunakan X-ray dan software komputer, untuk melihat dua dan tiga dimensi

dari seluruh usus dan rektum untuk mendeteksi polip dan kanker kolorektal.13

7. Imaging Technique

MRI, CT Scan, Transrectal Ultrasound merupakan bagian dari tekhnik

imaging yang digunakan untuk evaluasi, stagingm dan tindak lanjut pasien

dengan kanker kolon, tetapi teknik ini bukan merupakan screening test. 17

a. CT Scan

CT Scan dapat mengevaluasi kavitas abdomen dari pasien kanker kolon

preoperatif. CT Scan dapat mendeteksi metastasis ke hepar, kelenjar adrenal,

ovarium, kelenjar limfa, dan organ lainnya di pelvis. CT Scan sangat berguna

untuk mendeteksi rekurensi pada pasien dengan nilai CEA yang meningkat

setelah pembedahan kanker kolon. Sensitifitas CT Scan mencapai 55%. CT Scan


41

memegang peranan penting pada pasien dengan kanker kolon karena sulitnya

dalam menentukan stage dari lesi sebelum tindakan operasi. Pelvic CT Scan

dapat mengidentifikasi invasi tumor ke dinding usus dengan akurasi mencapai

90% dan mendeteksi pembesaran kelenjar getah bening >1 cm pada 75%.

Penggunaan CT dengan kontras dari abdomen dan pelvis dapat mengidentifikasi

metastasis pada hepar dan daerah intraperitoneal. 13,15

Gambar 16. CT-scan Kanker Rektum


America cancer Society. Colorectal cancer facts & figures 2011-2013. Atlanta Gorgia:
America cancer Society; 2011.

b. MRI

MRI lebih spesifik untuk tumor pada hepar dari pada CT Scan dan

sering digunakan pada klarifikasi lesi yang tak teridentifikasi dengan

menggunakan CT Scan. Karena sensitifitasnya yang lebih tinggi daripada CT

Scan, MRI digunakan untuk mengidentifikasikan metastasis ke hepar. Selain

itu, MRI dapat menentukan dengan akurasi yang tinggi atau yang

menginvasi CRM (Circumferential Resection Margin) yang melibatkan fasia

mesorektal. 14,16
42

Keuntungan MRI berupa tidak memakai sinar x, tidak merusak

kesehatan pada penggunaan yang tepat, banyak pemeriksaan yang dapat

dikerjaan tanpa memerlukan zat kontras. Kekurangan MRI berupa alat mahal,

waktu pemeriksaan cukup lama, pasien yang mengandung metal tidak dapat

diperiksa terutama alat pacu jantung, sedangkan pasien dengan wire dan sten

maupun pen boleh diperiksa, pasien claustrofobi (takut ruang sempit), dan

perlu anestesi umum. 13,14

Gambar 17. MRI Kanker Rektum


America cancer Society. Colorectal cancer facts & figures 2011-2013. Atlanta Gorgia:
America cancer Society; 2011.

c. Endoscopy Ultrasound (EUS)

EUS secara signifikan menguatkan penilaian preoperatif dari

kedalam invasi tumor, terlebih untuk tumor rektal. Keakurasian dari EUS

sebesar 95%, 70% untuk CT dan 60% untuk rectal touche. Pada kanker

rektum, kombinasi pemakaian EUS untuk melihat adanya tumor dan rectal

touche untuk menilai mobilitas tumor seharusnya dapat meningkatkan

ketepatan rencana dalam terapi pembedahan dan menentukan pasien yang

telah mendapatkan keuntungan dari preoperatif kemoradiasi. Selain itu


43

EUS lebih akurat dalam menentukan stadium terutama untuk tumor

rektum berukuran kecil. Akurasinya untuk stadium T 76-93%, stadium N

61-88%. Tetapi EUS kurang akurat dalam mengevaluasi sisi secara

sirkumferensial. EUS lebih bermanfaat untuk tumor yang relatif lebih

kecil dan stadium awal. Transrectal biopsi dari kelenjar limfa perirektal

bisa dilakukan di bawah bimbingan EUS. 15,16

Gambar 18. Endoscopy Ultrasound Pada Kanker Rektum


[Sumber: Kerr DJ, Young AM, Hobbs RF. ABC of colorectal cancer. London: BMJ
Books; 2001].

Ada beberapa pemeriksaan yang dilakukan untuk screening pada penderita yang

berisiko tinggi:

Tingkat Resiko Kriteria Usia Screening


Tinggi  Kolonoskopi setiap 2 tahun  Usia 30-70 tahun
 Tawarkan upper G.I endoskopi setiap  Untuk kanker gaster antara
2 tahun usia 50-70 tahun
 Pertimbangkan deteksi dini untuk
kanker lainnya yang mungkin
berhubungan dengan HNPCC
Sedang  Kolonoskopi tunggal Usia 30-35 tahun dan 55 tahun
 Kolonoskopi ulang satu kali jika
kolonoskopi sebelumnya normal
Rendah Penyuluhan pada penderita untuk Tidak diperlukan
mendorong gaya hidup sehat
44

H. Penatalaksanaan

Beberapa jenis terapi tersedia untuk pasien kanker rektum. Beberapa adalah

terapi standar dan beberapa lagi masih diuji dalam penelitian klinis. Tiga terapi

standar untuk kanker rektum yang digunakan, antara lain ialah:

1. Pembedahan

Pembedahan merupakan terapi yang paling lazim digunakan terutama untuk

stadium I dan II kanker rektum, bahkan pada pasien suspek dalam stadium III

juga dilakukan pembedahan. Meskipun begitu, karena kemajuan ilmu dalam

metode penetuan stadium kanker, banyak pasien kanker rektum dilakukan pre-

surgical treatment dengan radiasi dan kemoterapi. Penggunaan kemoterapi

sebelum pembedahan dikenal sebagai neoadjuvant chemotherapy, dan pada

kanker rektum, neoadjuvant chemotherapy digunakan terutama pada stadium II

dan III. Pada pasien lainnya yang hanya dilakukan pembedahan, meskipun

sebagian besar jaringan kanker sudah diangkat saat operasi, beberapa pasien

masih membutuhkan kemoterapi atau radiasi setelah pembedahan untuk

membunuh sel kanker yang tertinggal. 19,20

Tiga pembedahan yang dipakai, antara lain:

1) Eksisi Lokal19

Jika kanker ditemukan pada stadium paling dini, tumor dapat dihilangkan

tanpa melakukan pembedahan lewat abdomen. Jika kanker ditemukan dalam

bentuk polip, operasinya dinamakan polypectomy.


45

2) Reseksi 19

Jika kanker lebih besar, dilakukan reseksi rektum lalu dilakukan

anastomosis. Dilakukan juga pengambilan limfonodus di sekitar rektum lalu

diidentifikasi apakah limfonodus tersebut juga mengandung sel kanker.

Pengangkatan kanker rektum biasanya dilakukan dengan reseksi

abdominoperianal, termasuk pengangkatan seluruh rektum, mesorektum, dan

bagian dari otot levator ani dan dubur. Proses ini merupakan pengobatan yang

efektif namun mengharuskan pembuatan kolostomi permanen.

Gambar 19. Reseksi dan Anastomosis


[Feig B, Berger D, Fuhrman G. Anderson surgical oncology handbook. 4th ed. Houston,
Texas: Lippincott Williams & Wilkins; 2006.19]

Gambar 20. Reseksi dan Kolostomi


[Feig B, Berger D, Fuhrman G. Anderson surgical oncology handbook. 4th ed. Houston,
Texas: Lippincott Williams & Wilkins; 2006.19]
46

Pada pembedahan abdominoperineal menurut Quenu-Miles, rektum

dan sigmoid dengan mesosigmoid dilepaskan, termasuk kelenjar limfe

pararektum dan retroperitoneal sampai kelenjar limfe retroperitoneal.

Kemudian melalui insisi perineal, anus dieksisi dan dikeluarkan seluruhnya

dengan rektum melalui abdomen.

Reseksi anterior rendah pada rektum dilakukan melalui laparotomi

dengan menggunakan alat stapler untuk membuat anastomosis kolorektal atau

koloanal rendah. Eksisi lokal melalui rektoskop dapat dilakukan pada

karsinoma terbatas.

Seleksi penderita harus dilakukan dengan teliti, antara lain dengan

menggunakan endoskopi ultrasonografik untuk menentukan tingkat

penyebaran di dalam dinding rektum dan adanya kelenjar ganas pararektal.

Indikasi dilakukannya eksisi lokal kanker rektum adalah:

1) Tumor bebas, berada 8 cm dari garis dentate.

2) T1 atau T2 yang dipastikan dengan pemeriksaan ultrasound.

3) Termasuk well-differentiated atau moderately well differentiated secara

histologi.

4) Ukuran kurang dari 3-4 cm.

Kontraindikasi dilakukannya eksisi lokal pada kanker rektum adalah:

Tumor tidak jelas, termasuk T3 yang dipastikan dengan ultrasound dan

termasuk poorly differentiated secara histologi


47

2. Radiasi19

Sebagaimana telah disebutkan, untuk banyak kasus stadium II dan III lanjut,

radiasi dapat menyusutkan ukuran tumor sebelum dilakukan pembedahan. Peran

lain radioterapi adalah sebagai terapi tambahan untuk pembedahan pada kasus

tumor lokal yang sudah diangkat melalui pembedahan, dan untuk penanganan

kasus metastasis jauh tertentu. Terutama ketika digunakan dalam kombinasi

dengan kemoterapi, radiasi yang digunakan setelah pembedahan menunjukkan

telah menurunkan resiko kekambuhan lokal di pelvis sebesar 46% dan angka

kematian sebesar 29%. Pada penanganan metastasis jauh, radiasi telah berguna

mengurangi efek lokal dari metastasis tersebut, misalnya pada otak. Radioterapi

umumnya digunakan sebagai terapi paliatif pada pasien yang memiliki tumor

lokal yang unresectable.

3. Kemoterapi19

Adjuvant chemotherapy (menangani pasien yang tidak terbukti memiliki

penyakit residual tapi beresiko tinggi mengalami kekambuhan) dipertimbangkan

pada pasien dimana tumornya menembus sangat dalam atau tumor lokal yang

bergerombol (Stadium II lanjut dan stadium III). Terapi standarnya ialah dengan

fluorouracil, (5-FU) dikombinasikan dengan leucovorin dalam jangka waktu

enam sampai dua belas bulan. 5-FU merupakan anti metabolit dan leucovorin

memperbaiki respon. Agen lainnya, levamisole, meningkatkan sistem imun, dapat


48

menjadi substitusi bagi leucovorin. Protokol ini menurunkan angka kekambuhan

kira-kira 15% dan menurunkan angka kematian kira-kira sebesar 10%.

Pemberian capetabine sebagai prodrug 5-FU mendapat perhatian khusus

karena selain praktis juga ekonomis. Dalam pertemuan ASCO (American Society

of Clinical Oncology) pada bulan Juni 2004 dilaporkan bahwa pemakaian

capetabine dengan dosis 1250mg/m2 2x/hari siberikan hari 1-14 berturut-turut

disusul masa istirahat 1 minggu dan kemudian dilanjutkan siklus berikutnya

mempunyai efek sama dengan protokol Mayo dalam harapan hidup tetapi efek

sampingnya lebih sedikit seperti diare, stomatitis, nausea/muntah, ntropenia. Efek

samping lain dari capetabine yang sering dijumpai adalan Hand foot syndrome.

Indikasi pemberian kemoterapi untuk mencegah kekambuhan dengan

kriteria:

- Derajat keganasan III-IV

- Invasi tumor ke limfatik dan pembuluh darah

- Adanya obstruksi usus

- Kelenjar yang diperiksa kurang dari 12 buah

- Stadium T4, N0, M0 atau T3 dengan perforasi terlokalisasi

- Tepi sayatan dengan positif untuk tumor

- Tepi sayatan dengan penentuan batas yang terlalu dekat dengan tumor atau

sulit ditentukan
49

Beberapa protokol atau cara pemberian sitostatika pada kanker kolon dan

rektum yang saat ini digunakan:

- Capetabine tunggal 2500mg/m2/hari dibagi 2 dosis, hari 1-14 diikuti

istirahat. Ulangi setiap 3 minggu

- Protokol Mayo: Leucovorin 20 mg/m2 IV bolus, hari 1-5; 5-FU 425 mg/m2

IV bolus 1 jam setelah leucovorin hari 1-5; ulangi setiap 4 minggu

- Protokol Roswell Park: Leucovorin 500 mg/m2 IV selama 2 jam/hari

1,8,15,22,29, dan 36; 5-FU 500 mg/m2 IV selama 1 jam setelah leucovorin

hari 1,8,15,22,29, dan 36; ulangi dosis setiap 6 minggu

- Protokol deGramont: dekstro-leucovorin 200 mg/m2 (100 mg/m2 bila

digunakan levo-leucovorin atau ca-levofolinat) IV selama 2 jam, hari 1 dan 2

5-FU 400 mg/m2 IV bolus, kemudian 600 mg/m2 IV selama 22 jam kontinu,

hari 1 dan 2; ulang setiap 2 minggu

- Protokol gabungan/modifikasi dengan obat tambahan seperti Oxaliptalin

(FOLFOX), irenotecan (FOLFIRI), XELOX dan bevacizumab.

I. Prognosis19,20

Secara keseluruhan, 5-year survival rates untuk kanker rektum diantaranya

stadium I – 72%, stadium II – 54%, tadium III – 39%, stadium IV – 7% . Lima puluh

persen dari seluruh pasien mengalami kekambuhan yang dapat berupa kekambuhan

lokal, jauh maupun keduanya. Kekambuhan lokal lebih sering terjadi pada penyakit

kambuh pada 5-30% pasien, biasanya pada 2 tahun pertama setelah operasi.
50

Faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya rekurensi termasuk

kemampuan ahli bedah, stadium tumor, lokasi, dan kemampuan untuk memperoleh

batas-batas negatif tumor.

50% dari seluruh pasien mengalami kekambuhan yang dapat berupa

kekambuhan lokal, jauh maupun keduanya. Kekambuhan lokal lebih sering terjadi.

Penyakit kambuh pada 5-30% pasien, biasanya pada 2 tahun pertama setelah operasi.

Faktor – faktor yang mempengaruhi terbentuknya rekurensi termasuk kemampuan

ahli bedah, stadium tumor, lokasi, dan kemapuan untuk memperoleh batas - batas

negatif tumor.

Tumor poorly differentiated mempunyai prognosis lebih buruk dibandingkan

dengan well differentiated. Bila dijumpai gambaran agresif berupa ”signet ring cell”

dan karsinoma musinus prognosis juga buruk.

Rekurensi lokal setelah operasi reseksi dilaporkan mencapai 3-32% penderita.

Beberapa faktor seperti letak tumor, penetrasi dinding usus, keterlibatan kelenjar

limfa, perforasi rektum pada saat diseksi dan diferensiasi tumor diduga sebagai faktor

yang mempengaruhi rekurensi lokal.


51

BAB III

DISKUSI

Berdasarkan anamnesis didapatkan bahwa pasien merupakan seorang laki-laki,

usia 56 tahun rujukan dari dr. Helfi Nikijuluw, Sp.B-KBD, Pasien mengeluhkan BAB

disertai darah dan lendir sejak 1tahun sebelum masuk Rumah Sakit. Tinja yang keluar

bercampur darah yang berwarna merah segar. Terkadang darah menetes saat

mengedan sebelum tinja keluar, darah yang keluar sebanyak ¼ gelas gelas kecil

setiap kali BAB. Lendir yang keluar bersama tinja lebih banyak daripada saat BAB

biasanya. Pasien merasakan panas di bagian anusn ya saat BAB dan mulas

pada perutnya. Pasien harus mengedan dan membutuhkan waktu yang lama untuk

mengeluarkan tinja tetapi tinja yang keluar sedikit dan bentuknya tipis seperti pita

dan sering merasa tidak puas saat BAB. Selain itu pasien juga mengaku masih bisa

kentut. Namun setelah BAB pasien merasa lemas, dan nyeri perut disertai muntah,

pusing berputar dan demam hingga mengigil. Selera makan berkurang, Berat badan

pasien terus berkurang dalam 1 tahun terakhir yang terlihat dari ukuran celananya

yang semakin membesar.

Tanda dan gejala yang mungkin muncul pada kanker rektum yaitu perubahan

pada kebiasaan BAB atau adanya darah dan lendir pada feses, baik itu darah segar

maupun yang berwarna hitam. Diare, konstipasi atau merasa bahwa isi perut tidak

benar-benar kosong saat BAB, ukuran feses yang lebih kecil dari biasanya. Keluhan
52

tidak nyaman pada perut seperti sering flatus, kembung, rasa penuh pada perut atau

nyeri, penurunan berat badan yang tidak diketahui penyebabnya, mual dan muntah,

rasa letih dan lesu. Pada tahap lanjut nyeri dirasakan pada daerah anus saat BAB.

(seperti pada kasus ini).

Pada pemeriksaan fisik anal-perianal ditemukan Benjolan dengan ukuran ±

3x2 cm, permukaan tidak rata (berbenjol-benjol), immobile, rapuh, nyeri dan

perdarahan tidak ada. Pada tonus sfingter ani didapatkan normotoni, mukosa rectum

licin, teraba massa ukuran 4x4cm arah jam 9 pada posisi LLD, konsistensi keras,

permukaan berbenjol, tidak dapat digerakkan, nyeri tekan (-). Prostat teraba prostat

arah jam 3 pada posisi LLD, konsistensi lunak, pool atas dan pool bawah teraba

Sarung tangan feses (+), lendir (+), darah (+).

Pada tumor rektum, pemeriksaan colok dubur didapatksn keadaan tumor:

ekstensi lesi pada dinding rektum serta letak bagian terendah terhadap cincin

anorektal, cervix uteri, bagian atas kelenjar prostat atau ujung os. Coccygeus.

Mobilitas tumor sangat penting untuk mengetahui prospek terapi pembedahan. Lesi

yang sangat dini biasanya masih dapat digerakkan pada lapisan otot dinding rektum.

Pada lesi yang sudah mengalami ulserasi lebih dalam umumnya terjadi perlekatan dan

fiksasi karena penetrasi atau perlekatan ke struktur ekstrarektal seperti kelenjar

prostat, buli-buli, dinding posterior vagina, atau dinding anterior uterus. Ekstensi

penjalaran yang diukur dari besar ukuran tumor dan karakteristik pertumbuhan primer

dan sebagian lagi dari mobilitas atau fiksasi lesi. Dari pemeriksaan colok dubur
53

(Rectal Touche) dapat diketahui adanya tumor rektum, jarak tumor dari anus, posisi

tumor, melingkar atau menyumbat lumen, serta perlengketan dengan jaringan sekitar.

Pada pemeriksaan penunjang dilakukan pemeriksaan darah rutin dan darah

kimia dalam batas normal, namun pada pemeriksaan endoskopi didapatkan adanya

massa polip pada rektum.

Pemeriksaan endoskopi pada sigmaidescopi merupakan sebuah prosedur

untuk melihat bagian dalam rektum dan sigmoid, apakah terdapat polip kanker atau

kelainan lainnya. Alat sigmoidoscope dimasukkan melalui rektum sampai kolon

sigmoid, polip atau sampel jaringan dapat diambil untuk biopsi. Flexible

sigmoidoscopi setiap 5 tahun dimulai pada usia 50 tahun merupakan metode yang

direkomendasikan untuk screening seseorang yang asimptomatik yang berada pada

tingkatan resiko menengah untuk menderita kanker kolon. Sedangkan untuk

pemeriksaan kolonoskopi yang merupakan gold standar pada pemeriksaan kanker

kolorektal biasanya memberikan gambaran keseluruhan kolon yang dapat

mengidentifikasi dari lesi yang proksimal dan lesi distal. Kolonoskopi mempunyai

sensitivitas terbaik pada metode screening yang ada saat ini. Tingkat sensitivitas

sebesar 95% dan spesifisitasnya 90%. Kerugian kolonoskopi adalah biaya, resiko

seperti pendarahan dan perforasi, persiapan pasien yang sulit, sertamembutuhkan

pemberian obat sedasi. Umumnya secara endoskopi bentuk kanker kolorektal ialah

polipoid yang ireguler, anular seperti bunga kol, striktura, sirkular, dan dapat

menemukan letak obstruksi.


54

Pasien mendapat terapi infus RL, injeksi ceftriaxon, metronidazole, ranitidine,

serta pemasangan NGT terbuka dan kateter urin, dengan tindakan defenitif yaitu

pembedahan reseksi anterior pada tumor rektum dan appendektomi. Terapi cairan

diindikasikan untuk rehidrasi; pemilihan metronidazole (antibiotik yang efektif

melawan bakteri yang resisten terhadap antibiotik lainnya; efektif terhadap bakteri

gram negatif dan anaerob; mampu mengabsorpsi kedalam sel dan mengikat DNA

serta menghambat sintesis protein yang menyebabkan kematian sel) diindikasikan

untuk mengatasi infeksi. Sedangkan untuk pemberian ranitidin untuk menghambat

secara kompetitif histamin pada reseptor H2 sel parietal yang menghambat sekresi

asam lambung tanpa mengganggu sekresi pepsin, dan faktor intrinsik lambung yang

distimulasi penta pepsin dan serum gastrin. Pemberian ceftriaxon karena merupakan

antibiotik spektrum luas yang bekerja dengan menghambat sintesis mucopeptide di

dinding sel bakteri sehingga bakteri akan lisis karena aktivitas enzin autolitik

(autolisin dan murein hidrolase) dihambat.


55

DAFTAR PUSTAKA

1. Snell R. Anatomi klinik untuk mahasiswa kedokteran. 6th ed. Jakarta: EGC;

2006. 208-209 p. Mansjoer,A.. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Jakarta:

Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2010.

2. Faiz O, Moffat D. Anatomy at a glance. Blackwell Science; 2002.

3. Keshav S. The gastrointestinal system at a glance. London: Blackwell Science;

2004.

4. Ellis H. Clinical anatomy applied anatomy for students and junior doctors. 8th

ed. USA: Blackwell Publishing; 2006.

5. Altekruse SF. SEER cancer statistics review 1975-2007. Natl Cancer Inst

[Internet]. 2007; Available from: http;//Seer.cancer.gov/csr/1975_2007.

6. Schwartz, Spencer, S., Fisher, D.G. Principles of Surgery 7 th edition. New

York: Mc-Graw Hill a Division of The McGraw-Hill; 2012.

7. Moore KL, Agur AMR. Chapter 2. Abdomen. In: Moore KL, Agur AMR.

Essential Clinical Anatomy. 3rd Lippincott & Williams Wilkins. 2011. p. 118-

204.

8. Standring S. Chapter 64. Peritoneum and Peritoneal Cavity. In: Standring S.

Gray’s Anatomy: The Anatomical Basis of Clinical Practice. 40th Churchill

Livingstone ElSevier. 2010.

9. Silbernagl S. Color atlas of physiology. 5th ed. New York: Thieme; 2003.
56

10. Muchtadi D. Sayuran sebagai sumber serat pangan untuk mencegah timbulnya

penyakit degeneratif. J Teknol Dan Ind Pangan. 2001;XII.

11. Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. Robbins buku ajar patologi. 7th ed. Jakarta:

EGC; 2007. 654-56 p.

12. Sabiston. Sabiston textbook of surgery the biological basic of modern surgical

practice. 18th ed. Saunders Elsevier; 2008.

13. R S. Buku ajar ilmu bedah sjamsuhidajat-de jong. 3rd ed. Jakarta: EGC; 2010.

783-80 p.

14. Winaktu G. Peran serat makanan dalam pencegahan kanker kolorektal. J Kedok

Meditek. 2011 Apr;17.

15. Siregar GA. Deteksi dini dan penatalaksaan kanker usus besar. [Medan]:

Sumatera Utara; 2007.

16. Sjamsuhidajat R. Kelompok kerja adenokarsinoma kolorektal Indonesia:

pengelolaan karsinoma kolorektal suatu panduan klinis nasional. Revisi. Jakarta:

Perhimpunan Onkologi Indonesia; 2006.

17. America cancer Society. Colorectal cancer facts & figures 2011-2013. Atlanta

Gorgia: America cancer Society; 2011.

18. Kementrian Kesehatan RI. Pedoman interpretasi data klinik. Jakarta: Kementrian

Kesehatan RI; 2011.

19. Feig B, Berger D, Fuhrman G. Anderson surgical oncology handbook. 4th ed.

Houston, Texas: Lippincott Williams & Wilkins; 2006.


57

20. Skeel R. Handbook of cancer chemotherapy. 7th ed. Toledo, Ohio: Lippincott

Williams & Wilkins; 2007.

Anda mungkin juga menyukai