Makalah ini bertujuan untuk mengenal jenis cacing dari kelas trematoda yang menyebabkan
fasciolosis, schistosomiasis dan paramphistomosis pada ruminansia. Hewan ruminansia memiliki
nilai ekonomi sebagai sumber protein hewani dan hewan pekerja. Masyarakat Sulawesi juga
menggunakan kerbau dalam berbagai kegiatan adat dan keagamaan. Infeksi oleh parasit
Trematoda dapat mengganggu potensi ternak tersebut berupa gangguan produktivitas. Ciri umum
yang dimiliki trematoda antara lain betuk tubuh pipih seperti daun , tidak bersegmen, tidak
mempunyai rongga badan, mempunyai 2 batil isap yang terletak di mulut dan perut, mempunyai
saluran pencernaan yang menye-rupai huruf Y terbalik dan buntu, serta hermafrodit, kecuali
Schistosoma. Menurut habitat cacing dewasa, trematoda dibagi dalam 4 kelompok, yaitu
trematoda hati (liver flukes), trematoda usus (intestinal flukes), trematoda paru (lung flukes), dan
trematoda darah (blood flukes).Trematoda yang menyebabkan penyakit fasciolosis pada hewan
ruminansia biasanya disebabkan oleh endoparasit genus Fasciola sp. Trematoda yang
menyebabkan penyakit schistosomiasis pada hewan ruminansia biasanya disebabkan oleh
endoparasit genus Schistosoma sp. Trematoda yang menyebabkan penyakit paramphistomosis
pada hewan ruminansia biasanya disebabkan oleh endoparasit genus Paramphistomum sp.
produktivitas. Infeksi yang parah bahkan selalu vertebrata, dan inang sekunder hampir
dapat menyebabkan kematian (Fromsa et al. selalu siput(Nurwidyanti 2015). Trematoda
2011). Penyakit parasitik dikenal sebagai parasitik penting yang juga menyebabkan
faktor signifikan yang dapat menyebabkan kerugian ekonomi pada ternak ruminansia
kerugian sosial ekonomi di seluruh dunia besar yang pernah dilaporkan di Indonesia
(Elelu & Eisler 2018; Fromsa et al. 2011), ialah Fasciola gigantica penyebab
termasuk Indonesia (Putri 2008). Potensi fasciolosis, Schistosoma bovis dan
gangguan yang ditimbulkan akibat infeksi Schistosoma japonicum penyebab
parasit selain kerugian ekonomi ialah sifat schistosomiasis, dan Paramphistomum sp.
zoonotik. Penyakit zoonotik merupakan penyebab paramphistomosis (Putra et al.
penyakit pada hewan yang juga dapat 2014; Chai et al. 2009; Gunawan et al.
berdampak pada manusia. Satu hal yang 2014).
memungkinkan terjadinya penularan
penyakit dari hewan ke manusia adalah 1.Fasciola sp.
interaksi yang bersifat kontinu antara Fasciola sp. Merupakan penyebab
manusia dan hewan (Budiono et al. 2018). penyakit fasciolosis atau distomatosis yang
Penyakit parasitik pada ruminansia yang hidup di saluran empedu dan jaringan hati
prevalensinya cukup tinggi dan banyak sapi, kerbau, kambing atau domba. Spesies
menimbukan berarti kerugian salah satunya yang paling penting di Indonesia adalah
berasal dari cacing kelas trematoda Fasciola gigantica. Gejala klinis bersifat
(Sandjaja 2007). akut atau kronis. Bentuk akut umumnya
Trematoda atau disebut juga cacing terjadi pada kambing dan domba, tetapi
isap adalah kelas dari anggota hewan tak kadang juga terjadi pada sapi. Sedangkan
bertulang belakang yang termasuk dalam bentuk kronis biasanya dijumpai pada sapi
filum Platyhelminthes. Trematoda dijuluki (Arifin 2018).
cacing hisap karena memiliki alat pengisap
atau kait (Tiuria et al. 2008). Jenis cacing 1.1 Morfologi
trematoda hidup sebagai parasit pada hewan Fasciola sp. adalah cacing yang
dan manusia. Tubuhnya dilapisi dengan secara morfologi berbentuk seperti daun,
kutikula untuk menjaga agar tubuhnya tidak pipih, dan melebar ke anterior. Fasciola sp.
tercerna oleh inangnya dan mempunyai alat Mempunyai pharynx yang letaknya di
pengisap dan alat kait untuk melekatkan diri bawah oral. Cacing ini mempunyai dua alat
pada inangnya. Siklus hidup trematoda penghisap, yaitu alat hisap mulut (oral
termasuk kompleks karena berganti sucker) dan alat penghisap perut (ventral
reproduksi seksual dan aseksualnya, serta sucker), keduanya terletak berdekatan.
melibatkan setidaknya dua inang, yaitu: Cacing jenis ini tidak mempunyai anus dan
inang primer, di mana cacing isap alat ekskresinya berupa sel api. Faciola
berkembang biak secara seksual; dan inang gigantica berukuran 25-27 × 3-12 mm.
perantara, di mana hewan ini berkembang anterior sepit dan ujung posterior tumpul,
biak secara aseksual. Inang primer hampir ovarium lebih panjang dengan banyak
ke-4 sampai minggu ke-7 setelah penularan. 1.3 Diagnosis, pencegahan, dan
Cercaria mempunyai ukuran 0.25-0.35 mm, pengobatan
memiliki ekor dan glandula sisitogen yang
Menurut Kusnoto et al. 2015, cara
jelas pada sisi tubuhnya. Cercaria akan
pencegahan dan pemberantasan fascioliasis
menempel pada rumput atau tanaman air
sangat sulit, namun hal ini dapat dilakukan
dalam waktu 2 menit sampai 2 jam. Cercaria
dengan usaha-usaha yaitu dengan
yang telah melepaskan ekornya disebut
pemeriksaan feses untuk menemukan telur
metacercaria yang infektif. Metacercaria
cacing yang rutin pada ternak setiap 2-3
masuk ke dalam alat pencernaan inang
bulan sekali, mecegah siput air masuk ke
bersama makanan atau minuman yang
wilayah peternakan dengan cara membuat
mengandung metacercaria. Setelah kista
selokan tergenang di sekitar peternakan dan
metacercaria masuk ke duodenum maka
pada air selokan dimasukkan obat anti siput
keluarlah cacing muda dari kista dan
(molluscida), seperti senyawa Cu dan garam
selanjutnya cacing-cacing muda akan
natrium. Pengobatan terhadap ternak yang
menembus dinding duodenum inang,
dinyatakn positif terhadap infeksi cacing
kemudian memasuki rongga abdominal
dapat diobati dengan :
dalam waktu 24 jam setelah terinfeksi. Hari
ke 4-6 pasca infeksi, sebagian besar cacing 1. Carbon tetrachloride dengan dosis 1-2
muda sudah menembus pembungkus hatidan ml per 50 kg berat badan. Pemberian
bermigrasi ke jaringan hati. Beberapa cacing secara intra muskuler dan sub kutan
muda bias mencapai hati melalui aliran lebih baik dari per oral.2.
darah. Migrasi di dalam parenkim hati 2. Mineral oil dengan dosis 1-2 ml per 10
terjadi selama 8 minggu, setelah minggu ke- kg berat badan.
7 cacing muda mulai memasuki saluran 3. Hexachlorophene, pemberian secara per
empedu dan tumbuh menjadi cacing dewasa. oral dengan dosis 15 mg per kg berat
Setelah minggu ke-8 dan seterusnya telur badan dapat membunuh cacing muda.
cacing di temukan dalam saluran atau cairan 4. Obat-obatan lain yang dapat digunakan
empedu dan kemudian juga dapat ditemukan adalah : Dovenix dengan dosis 7 ml
pada feses (Kusnoto et al. 2015). untuk sapi dewasa secara sub kutan.
Triclabendazole dengan dosis 5 mg per
kg berat badan, pemberian secara intra
muskuler.
2. Schistoma japonicum
Schystosoma japonicum atau disebut
juga Cacing darah merupakan anggota dari
Trematoda (Platyhelminthes). Disebut
cacing darah karena hidup di dalam
pembuluh darah balik atau vena pada
Sumber : Ebiological.net
manusia, kucing, babi, sapi, biri-biri, anjing,
dan binatang pengerat. Banyak dijumpai di hati, hipertensi portal dan splenomegali
daerah Sulawesi. Ukuran cacing jantan lebih (Salvana and King 2009).
besar daripada cacing betina. Tampak tubuh
cacing jantan melipat menutupi tubuh cacing Ciri-ciri umum cacing dewasa
betina yang lebih ramping. Jika cacing ini Schistosoma sp. (Gambar. 1) Ini adalah
menulari manusia, maka akan menyebabkan cacing dewasa bersifat non hermaprodit
penyakit schistosomosis yang menjadi salah (jenis kelamin cacing jantan dan betina
satu masalah kesehatan masyarakat terbesar terpisah); ukuran cacing jantan meliputi
di Asia dan Afrika. Seseorang yang panjang ±10 mm, lebar ±1 mm. Ukuran
menderita penyakit ini akan mengalami cacing betina adalah panjang ±20 mm, lebar
kerusakan hati, kelainan jantung, limpa, ±0,25 mm;mempunyai 2 buah batil isap
ginjal, dan kantung kemih (Mowafy and Intestinal coecum bersatu pada bagian
Abdel-Hafeez 2015). Klasifikasi posterior; cercaria mempunyai ekor
Schystosoma japonicum adalah sebagai bercabang dua dan dapat menginfeksi
berikut : hospes dengan jalan menembus kulit
Kingdom : Animalia (bentuk infektif) tanpa melalui metaserkaria;
Filum : Platyhelminthes cacing jantan mempunyai sebuah saluran
Kelas : Trematoda (lekukan) memanjang di sebelah ventral
Subkelas : Digenea badan yang dibentuk oleh lipatan kedua tepi
Ordo : Strigeidida lateral badan ke arah ventral dimana terdapat
Genus : Schistosoma cacing betina, celah ini disebut dengan
Spesies : S. japonicum canalis gynecophorus (Mowafy and Abdel-
Hafeez 2015).
1.1 Morfologi
Schistosomiasis atau bilharzia
merupakan penyakit yang disebabkan oleh
infeksi trematoda Schistosoma spp. Penyakit
ini merupakan penyakit yang biasanya
terjadi di daerah pedesaan, khususnya
endemik di daerah sub-Sahara Afrika. Ada
tiga spesies utama yang mempengaruhi
manusia, dua diantaranya dominan di Afrika
(Schistosoma haematobium dan Schistosoma
mansoni) dan yang ketiga hanya ditemukan
Gambar 1. Morfologi cacing Schistosoma
di Asia Timur, misalnya Cina dan Filipina
sp. (Mowafy and Abdel-Hafeez 2015)
(Schistosoma japonicum). Schistosoma
japonicum, dikenal sebagai cacing fluke 1.2 Daur Hidup
darah merupakan salah satu agen penyebab
schistosomiasis usus kronis pada manusia. Siklus hidup Schistosoma spp.
Infeksi fluke dapat menyebabkan fibrosis (Gambar.2) meliputi tahap parasit dan hidup
bebas. Tahap infektif untuk manusia adalah
dari jumlah total telur tidak mampu keluar ringan, termasuk mual, demam ringan,
dari tubuh inang, terperangkap secara pusing dan diaforesis. Padaorang yang
permanen di jaringan inang, menyebabkan mengalami gejala fibrosis dan obstruksi
granuloma inflamatori. Jumlah telur yang luas, pengobatan mungkinhanya memiliki
signifikan akhirnya menyebabkan fibrosis sedikit efek, dengan hanya penurunangejala
pada berbagai jaringan, menyebabkan klinis Rejimen obat alternatif, yaitu
hipertensi portal dan sequelae dari niridazole dan terapi berbasis antimon, tetapi
pembentukan varix, asites dan splenomegali obat ini tidak disetujui FDA dan
(Khiani and King 2009). berhubungan dengan tingkat penyembuhan
yang jauh lebih rendah dan dengan toksisitas
1.5 Pencegahan dan Pengobatan yang besar. Derivat artemisinin, seperti
artemeter telah terbukti memiliki aktivitas
Pencegahan yang dapat dilakukan antiparasit, terutama terhadap bentuk-bentuk
dalam mengatasi Schistosomiasis ini lebih fluke juvenil, namun kurang efektif terhadap
ditekankan dengan menggangu transmisi fluke darah dewasa. Penelitian menunjukkan
fluke. Pada daerah dengan prevalensi tinggi, bahwa perawatandengan kombinasi
kemoterapi massal adalah strategi kontrol artemeter dan praziquantel lebih efektif
utama. Meskipun pengobatan massal dapat dalam mengurangi keparahan infeksi cacing
mengurangi penularan, namun hal tersebut pada hewan laboratorium, maka diyakini
tidak menjamin dalam mengambat transmisi memiliki potensi yang cukup besar untuk
schistosoma. Pengendalian siput mengobati dan mencegah infeksi di dalam
Oncomelaniasebagai inang perantara adalah masyarakat luas (Salvana and King 2009).
strategi efektif yang digunakan di Jepang
dan sebagian dataran Cina. Eliminasi siput 3. Paramphistomum sp.
melibatkan penggunaan molusikisida kimia
Paramphistomum sp adalah salah
untuk membunuh siput. Perbaikan sanitasi
satu cacing dalam kelas trematoda yang
untuk mencegah telur fluke darah dalam
menyebabkan infeksi penyakit parasitik
feses menyebar ke perairan juga merupakan
yang disebut Paramphistomiasis dimana
ukuran kontrol yang penting (Khiani and
King 2009). dapat ditemukan menyebar di seluruh dunia
(Rafique et al. 2009). Paramphistoum sp
Pengobatan yang dapat dilakukan disebut juga cacing hisap karena pada saat
adalah mengkonsumsi praziquantel. menempel cacing ini menghisap makanan
Praziquantelmerupakan obat yang menjadi berupa jaringan atau cairan tubuh hospes
andalan untuk terapi penyakit (Subronto Tjahajati 2001). Infeksi
schistosomiasis aktif. Untuk pengobatan S. Paramphistomum sp dalam jumlah sedikit
japonicum, praziquantel harus diberikan tidak menimbulkan gejala klinis pada ternak,
pada dosis oral 60 mg / kg dalam dua atau tetapi pada infeksi yang berat dapat
tiga dosis selama satu hari. Jumlah tersebut menimbulkan gastroenteritis dan
adalah hasil rejimen dalam tingkat menyebabkan kematian cukup tinggi
kesembuhan 80-90%. Efek samping umum
terutama pada ternak muda (Melaku dan Namun demikian telur tersebut cepat sekali
Addis 2012). rusak pada lingkungan yang kering.
Dalam waktu 3 minggu akan
1.1 Morfologi
terbentuk mirasidium. Mirasidium
Cacing Paramphistomum sp. berkembang dalam waktu 11-29 hari dan
merupakan cacing trematoda yang berotot berenang sampai menemukan hosper
tebal meneyerupai kerucut dari bagian intermedier (siput). Mirasidium akan mati
anterior dan berakhir pada satu penghisap jika tidak menemukan siput dalam air dalam
yang mengelilingi mulut dan yang lainnya waktu kurang dari 24 jam. Setelah
(sucker dorsal dan ventral). Cacing menemukan induk semang perantara maka
Paramphistomum sp. yang dewasa memiliki mirasidium akan masuk dan melepaskan
ukuran panjang 3-11 mm dan lebar 1-3 mm. silianya dan menjadi sporokista yang
Bentuk cacing ini adalah cembung pada memanjang dalam waktu 12 jam. Sporokista
bagian dorsal dan sedikit cekung pada akan tumbuh dan menjadi matur dalam
bagian ventral. Cacing ini memiliki waktu sekitar 1,5 minggu atau lebih dan
acetabulum yang terletak pada bagian akhir kemudian memproduksi redia. Redia
posterior dengan diameter 1,3 mm. meneluarkan serkaria yang belum matur dan
Penghisap di bagian mulut pyriformis. akan berkembang dalam waktu 13 hari atau
Testes cacing ini besar dan ukurannya pada lebih di dalam siput dan kemudian keluar ke
cacing yang masih muda adalah sebesar air.
penghisap mulut. Pada cacing yang sudah Proses dari mirasidium menjadi
tua ukuran testesnya adalah sedikit lebih sporokista, redia, redia anak dan akhirnya
besar daripada acetabulum. serkaria menghabiskan waktu sekitar 4
Secara umum bentuk cacing ini tidak minggu. Pada temperatur antara 16-17 0 C
sama dengan bentuk cacing trematoda perkembangan larva membutuhkan waktu
lainnya. Kebanyakan bentuk tubuhnya bulat sekitar 110 hari. Serkaria melepaskan diri
dan kadang-kadang lebih mirip dengan buah dari tubuh siput dan menempelkan diri pada
labu atau pir dengan sebuah lubang di dedaunan atau bagian tumbuhan dan
puncaknya. berubah menjadi metaserkaria yang dalam
waktu lima hari akan bersifat infektif.
1.2 Daur Hidup Metaserkaria dapat bertahan hidup di
Siklus hidup Paramphistomum sp dalam lingkungan yang lembab hingga 5
pada fase bebas mirip dengan siklus hidup bulan. Namun demikian larva ini sangat
Fasciola hepatica yaitu membutuhkan inang peka terhadap lingkungan yang kering.
perantara siput air. Paramphistomum Metaserkaria yang tertelan oleh induk
memiliki siklus hidup yang bersifat semang definitif akan menetas di dalam
heteroxene dengan induk semang antaranya usus, menempel pada bagian depan dari
adalah siput. Telur yang keluar bersama duodenum pada selaput lendir atau
feses akan mampu bertahan pada suhu di menembusnya. Dalam waktu selama satu
bawah 10 0C selama lebih dari enam bulan. setengah bulan, cacing akan mengembara
Chai JY, Shin EH, Lee SH, Rim HJ, 2009. ruminant slaughtered at Debre Zeit
Foodborne intestinal flukes in Industrial Abattoir Ethopia. Glob Vet.
Southeast Asia. Korean Journal of 3(8): 315-319.
Parasitology. 47: 69-102.
Mowafy NM, Abdel-Hafeez EH. 2015.
Cruz LC. 2007. Trends in buffalo production Schistosomiasis with special
in Asia. Italian Journal of Animal references to the mechanisms of
Science. 6(2): 9-24.
evasion. Journal of Coastal Life
Elelu N, Eisler NC. 2018. A review of Medicine. 3(11): 914-923.
bovine fasciolosis and other trematode
infections in Nigeria. Journal of Nanda AS, Nakao T. 2003. Role of buffalo
Helminthology. 92(2): 128-141. in the socioeconomic development of
rural Asia: current status and future
Fromsa A, Meharenet B, Mekibib B. 2011. prospectus. Animal Science Journal.
Major trematode infections of cattle 74: 443-455.
slaughtered at Jimma Municipality Nurwidyanti A. 2015. Variasi genus keong
abattoir and occurrence of the di daerah fokus keong perantara
intermediate hosts in selected water schistosomiasis di dataran tinggi lindu,
bodies of the Zona. Journal of Animal Sulawesi Tengah. Balaba. 11(2): 17-
and Veterinary Advances. 10(12): 20.
1592-1597. Putra RD, Suratma NA, Oka IBM. 2014.
Gunawan G, Anastasia H, Pamela P, Risti R. Prevalensi trematode pada sapi Bali
2014. Kontribusi hewan mamalia sapi, yang dipelihara peternak di Desa
kerbau, kuda, babi, dan anjing dalam Sobangan, Kecamatan Mengwi,
penularan schistosomiasis di Kabupaten Badung. Indonesia
Kecamatan Lindu, Kabupaten Sigi, Medicus Veterinus. 3(5): 394-402.
Propinsi Sulawesi Tengah tahun 2013. Putri DPE. 2008. Studi kasus fasciolosis
Media Penelitian dan Pengembangan yang dipantau pada pemeriksaan
Kesehatan. 24: 209-214. daging qurban Idul Adha 1427 H di
wilayah Jabodeta. [Skripsi]. Bogor
Khiani V, King CH. 2009. Schistosomiasis: (ID): Fakultas Kedokteran Hewan,
Schistosoma haematobium. Journal Institut Pertanian Bogor.
Medical Parasitology. 1(1) : 129-136.
Rafique A, Rana SA, Khan HA, Sohail A.
Kusnoto, Bendryman SS, Sosiawati SM. 2009.Prevalence of some helminthes
2015. Ilmu Penyakit Helmin in rodents captured from different city
Kedokteran Hewan. structures including poultry farms and
Sidoarjo(ID) : Zifatama publisher. human population of Faisalabad.
Pakistan Vet J. 29(3): 141-144.
Melaku S dan Addis. 2012. Prevalence and
intensity of Paramphistonum in
Salvana EM, King CH. 2009. Subronto dan Tjahjati I. 2001. Ilmu Penyakit
“Schistosomiasis: Schistosoma Ternak II. Yogyakarta (ID): Gadjah
japonicum”. Journal Medical Madah University Press.
Parasitology. 1(1) : 111-117.
Tiuria R, Pangihutan J, Nugraha RM,
Priyosoeryanto BP, Hariyadi AR,
Sandjaja B. 2007. Parasitologi Kedokteran:
2008. Kecacingan trematoda pada
Helminthologi Kedokteran.
Jakarta(ID): Prestasi Pustaka. badak jawa dan banteng jawa di
Taman Nasional Ujung Kulon. Jurnal
Verteriner. 9(2):27-29.
Data Kelompok