Anda di halaman 1dari 19

PRASANGKA DAN STEREOTYPE BUDAYA

Disusun sebagai salah satu Tugas Mata Kuliah Pengembangan Pribadi Konselor

Dosen pengampu: Dimas Ardika M., S.Pd., M.Pd.

Disusun Oleh:

Alifiani Nur Farida (165000064)

Alfin Mutiaroh (165000067)

Intan Dyah Permata Sari (165000073)

Chumaidah Nur Zuroida (165000081)

PROGRAM STUDY BIMBINGAN DAN KONSELING

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS PGRI ADI BUANA SURABAYA

MEI 2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang atas
rahmatnya maka kita dapat menyelesaikan penyusunan makalah “Prasangka Dan
Stereotype Budaya” Penulisan makalah merupakan salah satu tugas dan
persyaratan untuk menyelesaikan tugas mata kuliah Bk Komprehensif di
Universitas Adi Buana Surabaya. Dalam penulisan makalah ini kami
menyampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada pihak-pihak yang
membantu dalam menyelesaikan tugas makalah ini. Akhirnya kami berharap
semoga Tuhan memberikan imbalan yang setimpal kepada mereka yang telah
memberikan bantuan, dan dapat menjadikan semua bantuan ini sebagai ibadah.

Dalam penulisan makalah ini kami merasa masih banyak kekurangan-


kekurangan baik pada teknis maupun materi, mengingat akan kemampuan yang
dimiliki kami. Untuk itu, kritik dan saran semua pihak sangat kami harapkan demi
penyempurnaan makalah ini.

Surabaya, Mei 2019

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................... 2

DAFTAR ISI .................................................................................................. 3

BAB I PENDAHULUAN .......................................................................... 4

Latar Belakang .............................................................................. 4

Rumusan Masalah.......................................................................... 5

Tujuan Masalah ............................................................................. 5

BAB II PEMBAHASAN ............................................................................ 6

A. Prasangka dan Stereotype Budaya .......................................... 6


B. Perspektif Etik dan Emik ........................................................ 10
C. Bias Budaya .............................................................................. 12
D. Unsure-unsur Bias Budaya ..................................................... 13
BAB III KESIMPULAN ................................................................................ 18
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 19

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Banyak pihak yang menilai bahwa masyarakat Indonesia saat ini
merupakan masyarakat berprasangka. Penilaian itu tentu bukan tanpa dasar.
Saat ini masyarakat Indonesia memiliki kecurigaan yang akut terhadap segala
sesuatu yang berbeda atau dikenal dengan istilah heterophobia. Segala sesuatu
yang baru dan berbeda dari umumnya orang akan ditanggapi dengan penuh
kecurigaan. Kehadiran anggota kelompok yang berbeda apalagi berlawanan
akan dicurigai membawa misi-misi yang mengancam.
Prasangka merupakan anggapan dan pendapat yang kurang menyenangkan
atau penilaian negatif yang tidak rasional, yang ditujukan pada individu atau
suatu kelompok tertentu (yang menjadi objek prasangka), sebelum
mengetahui, menyaksikan, menyelidiki objek-objek prasangka
tersebut.Prasangka erat kaitannya dengan stereotip, Stereotip adalah sebuah
pandangan terhadap seseorang atau kelompok kemudian pandangan tersebut
digunakan (disematkan) pada setiap anggota kelompok tersebut.
Stereotip bisa benar bisa juga salah. Pandangan seseorang terhadap suatu
suku, bisa saja benar digunakan untuk menggambarkan individu dari suku
tersebut. Namun juga bisa salah, karena tidak semua orang dari suku tersebut
sama.Stereotip muncul karena individu suka mencari kesamaan pada suatu
keadaan tertentu dan tidak dapat menilai dan mengalami sekaligus dua hal
yang berbeda di tempat yang berbeda secara bersamaan.
Demikian, stereotip merupakan cara ampuh untuk melihat keadan dengan
cara yang efisien, yaitu dengan cara mencocok-cocokkan. Stereotip sendiri
sudah ada sejak zaman purbakala dulu. Stereotipe merupakan faktor yang
secara otomatis dapat membentuk prasangka.

4
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana perspektif etik dan emik tentang prasangka dan stereotype
budaya?
2. Bagaimana penjelasan tentang Bias Budaya?

C. Tujuan Penulisan
1. Agar seorang konselor mampu memahami dan dapat menghindari
prasangka dan stereotip budaya.

5
BAB II
PEMBAHASAN

A. PRASANGKA DAN STEREOTIP BUDAYA


a. Definisi Prasangka
Prasangka atau prejudice berasal dari kata latin yaitu prejudicium,
yang pengertiannya sekarang mengalami perkembangan sebagia berikut :
a) Semula diartikan sebagai suatu presenden, artinya keputusan diambil
atas dasar pengalaman yang lalu.
b) Dalam bahasa Inggris mengandung arti pengambilan keputusan tanpa
penelitian dan pertimbangan yagn cermat, tergesa-gesa atau tidak
matang.
c) Untuk mengatakan prasangka dipersyaratkan pelibatan unsur-unsur
emosilan (suka atau tidak suka) dalam keputusan yang telah diambil
tersebut.
Prasangka dalam kamus besar bahasa Indonesia memiliki
pengertian bahwa prasangka adalah pendapat (anggapan) yg kurang baik
mengenai sesuatu sebelum mengetahui (menyaksikan, menyelidiki)
sendiri. Dari pengertian diatas dapat kita garis bawahi dari prasangka
adalah anggapan kurang baik. Sehingga kalau kita maknai bahwa
prasangka itu adalah suatu anggapan yang kurang baik terhadap seseorang.
Hal ini sering terjadi dalam sosialisasi dalam masyarakat.

b. Faktor Penyebab Munculnya Prasangka


Prasangka ini dapat hadir dalam masyarakat karena beberapa faktor
yaitu:
1. Belum saling mengenalnya antarindividu
2. Perbedaan pandangan dan sikap
3. Perbedaan visi dan misi
4. Perbedaan Kultur Kebudayaan
5. Perbedaan prinsip

6
Faktor-faktor itulah yang menyebabkan seringnya seseorang
berprasangka pada orang lain. Faktor pada point pertama merupakan
faktor yang paling sering memicu prasanga, Hal ini terjadi karena orang
yang belum dikenal biasanya membuat orang disekitarnya berprasangka
pada apa yang dilakukannya, karena orang tersebut tidak mengetahui
watak dan sifat orang yang belum dikenal.
Terkadang Prasangka-prasangka yang berlebihan akan membuat
suatu masyarakat terpecah menjadi kelompok. Kelompok-kelompok ini
terjadi akibat dari prasangka yang berlebihan terhadap kelompok lainnya
akibat prasangka yang menyebabkan Diskriminasi. Kamus besar bahasa
Indonesia Diskriminasi dapat diartikan sebagai pembedaan sikap dan
perlakuan terhadap sesama manusia. Dalam pengertian tersebut ada 1 kata
penting yaitu pembedaan. Jika kita kaitkan dengan istilah prasangka,
Diskriminasi merupakan puncak dari Prasangka, dalam artian bahwa
Prasangka yang berlebihan akan membuat Diskriminasi.
c. Definisi Stereotype
Stereotype dapat berupa prasangka positif dan negatif, dan kadang-
kadang dijadikan alasan untuk melakukan tindakan diskriminatif. Berpikir
stereotype jarang sekali akurat. Biasanya hanya memiliki sedikit dasar
yang benar. Sebenarnya berpikir tereotype lahir dari proses kerja otak
ketika kita dihadapkan dengan sesuatu hal yag baru,maka secara otomatis
pendapat yang dihasilkan tentunya tidak bisa menjadi sebuah tolak ukur
yang dapat dipegang karena pendapat tersebut bukan merupakan sbeuah
gambaran yang dapat menjelaskan secara keseluruhan tentang karkteristik
sebuah kelompok.
Matsumoto (1996) menyampaikan 3 hal yang membuat berpikir
stereotype, yaitu:
1. Stereotype didasarkan pada penafsiran yang kita hasilkan atas dasar
cara pandang dan latar belakang budaya kita. Stereotype juga
dihasilkan dari komunikasi kita dengan pihak-pihak lain, bukan dari
sumbernya langsung. Karena interpretasi kita mungkin salah,
didasarkan atas fakta yang keliru atau tanpa dasar fakta.

7
2. Stereotype sering kali diasosiasikan dengan karakteristik yang bisa
diidentifikasi. Ciri-ciri yang kita identifikasi sering kali kita seleksi
tanpa alasan apapun.
3. Stereotype merupakan generalisasi dari kelompok kepada orang-orang
didalam kelompok tersebut. Generlisasi mengenai sebuah kelompok
mungkin memang menerangkan atau sesuai dengan banyak individu
dalam kelompok.
d. Faktor Penyebab Munculnya Streotype
Ada beberapa faktor yang menyebabkan munculnya stereotip,
yaitu:
1. Manusia ingin menyederhanakan dalam melihat realitas dunia yang
kompleks. Keterbasan manusia memahami sesuatu yang kompleks
membuatnya mencari persamaan-persamaan yang ada lalu memberi
penilaian dengan pandangan yang sudah terbentuk dalam pikirannya.
2. Manusia membutuhkan cara yang efisien dan ekonomis untuk
membentuk gambaran dunia sekitarnya.
3. Manusia membutuhkan pertahanan diri lalu menggunakan stereotype
untuk menutupi kelemahannya.
4. Manusia tidak mungkin mendapatkan informasi yang menyeluruh
terhadap keadaan-keadaan yang ada. Dengan itu manusia
membutuhkan informasi-informasi dari pihak lain dan menyandarkan
pandangannya terhadap informasi yang ia terima, lalu muncullah
stereotype.
Pada umumnya, stereotip bernilai negatif, meskipun ada bersifat
positif, sangat jarang dan pada akhirnya juga dapat membawa sikap
angkuh, berlebihan, dan tidak tahu diri, karena tidak berdasarkan realitas
yang ada. Misalnya, ada muncul stereotip bahwa Yahudi adalah bangsa
yang pintar. Stereotip ini dapat meningkat identitas diri, namun ini
menjadi petaka menyebabkan kesombongan dan tidak tahu diri. Yahudi
ada yang pintar dan ada yang bodoh, sama halnya dengan bangsa-bangsa
lainnya. Semua bangsa sama. Stereotip tersebut tidak benar adanya.

8
e. Fungsi Berpikir Stereotype
Stereotype berfungsi menggambarkan kondisi seseorang suatu
kelompok, dan membentuk citra pada kelompok tersebut. Bila sudah
berpikir stereotype terhadap atau suatu kelompok tertentu maka dalam
pikiran kita sudah tersedia rencana untuk melakukan suatu rencana
tertentu sesuai dengan karakteristik seseorang atau kelompok tersebut.
Dalam contoh kelompok, suatu kelompok masyarakat tertentu memiliki
aturan ketat terhadap pengunjung atau tamu di malam hari tidak melebihi
jam 22.00 waktu setempat maka bagi para pengunjung atau tamu yang
berkunjung ke masyarakat tersebut diharapkan tidak lebih dari jam 22.00.
Disinilah stereotype memiliki fungsi positif yang dapat membantu
terjadinya komunikasi lintas budaya yang dapat memudahkan terjadinya
interaksi antar orang yang berbeda latar belakang pada sebuah lingkungan
bersama-sama.
f. Upaya Menghindari Berpikir Stereotype
a) Mengembangkan hubungan antar kelompok
Teori hubungan antar kelompok " the contact hypothesis"
mengasumsikan bahwa, bila anggota kelompok yang berbeda
melakukan interkasi secara intern antara keduanya, maka akan
mengurangi banyak prasangka diantara mereka, dan menghasilkan
sikap stereotype yang lebih positif ( Mantead & Hewstone,1995 ).
Semakin banyak dan erat interaksi yang terjadi maka prasangka dan
stereotype negatif akan semakin berkurang.
b) Kembangkan potensi untuk saling mengenal
Hubungan antar etnik yang memungkinkan saling mengenal secara
pribadi antar anggota kelompok etnik yang berlainan bisa mengurangi
prasangka secara signifikan. Hubungan itumesti dalam waktu yang
cukup, dengan frekuensi yang tinggi, dan adanya kedekatan yang
memungkinkan peluang membangun hungan erat dan bermakna antara
anggota kelompok etnik yang berkaitan. Apabila hubungan antar
anggota kelompok etnik tidak memungkinkan terjalinya hubungan
akrab maka kurang bisa mengurangi prasangka anatr etnik.

9
Ada tiga alasan mengapa potensi untuk saling mengenal penting guna
mengurangi prasangka :

i. Membangun hubungan interpersonal yang fair dan dekat menimbulkan


pikiran untuk menghargai orang lain secara positif, dan diharapkan
digeneralisasikan ke seluruhan kelompok.
ii. Akan memungkinkan menerima info baru yang lebih akurat tentang
kelompok lain yang menjadikan orang sadar bahwa kenyataanya, ada
banyak kesamaan antara kelompok yang berbeda.
iii. Seseorang akan menemukan bahwa stereotype negatif kelompok lain
tidak benar. Hal mana akan mengubah pandangan seseorang terhadap
kelompom lain.
c) status yang setara antara pihak-pihak yang berinteraksi
Dalam masyarakat, organisasi, sekolah, atau yang lain, harus ada status
yang setara antara pihak-pihak yang berprasangka sebelum terjadi
interaksi. Jika satu kelompok etnik lebih dominan dibanding kelompok
etnik lain, maka interaksi antar kelompok etnik belum tentu dapat
mengurangi prasangka. Hal ini karena sudah ada presdiposisi sebelumnya
bahwa kelompok etnik yang satu lebih tinggi dibandingkan kelompok
etnik yang lain. Misalnya bila aatu kelompok etnik selalu berada dalam
posisi berkuasa dan selalu menjadi bos, sedangkan yang lain yang dikuasai
maka hubungan antar kelompok kurang bisa mengurangi prasangka.

B. PERSPEKTIF EMIK DAN ETIK


Etik mencakup pada temuan-temuan yang tampak konsisten atau tetap di
berbagai budaya, dengan kata lain sebuah etik mengacu pada kebenaran atau
prinsip yang universal. Etik merupakan penggunaan sudut pandang orang luar
yang berjarak (dalam hal ini siapa yang mengamati) untuk menjelaskan suatu
fenomena dalam masyarakat.
Dalam konseling lintas budaya menggunakan perspektif objektif ini
seorang konselor akan menggunakan dua pendekatan kebudayaan yang
berbeda terhadap klien. Penggunaan perbedaan kebudayaan dilakukan untuk
menunjukkan dimensi dan variabilitas kebudayaan dan untuk menunjukkan

10
bahwa teori-teori komunikasi antar budaya tidak dimaksudkan untuk meneliti
perbedaan budaya. Emik Etik Peneliti mempelajari perilaku manusia dari luar
kebudayaan objek konseling, konselor menguji banyak kebudayaan dan
membandingkan kebudayaan tersebut, Struktur kebudayaan ditemukan sendiri
oleh konselor, Struktur diciptakan oleh konselor, Umumnya kriteria-kriteria
yang diterapkan ke dalam karakteristik kebudayaan sangat realtif, Kriteria-
kriteria kebudayaan bersifat mutlak dan berlaku universal.
Sedangkan emik sebaliknya, mengacu pada temuan-temuan yang tampak
berbeda untuk budaya yang berbeda, dengan demikian, sebuah emik mengacu
pada kebenaran yang bersifat khas-budaya misalnya, mencoba menjelaskan
suatu fenomena dalam masyarakat dengan sudut pandang masyarakat itu
sendiri. Pada prinsipnya dalam konseling yang menggunakan perspektif emik
maka konselor “menjadikan dirinya” sebagai bagian dari kebudayaan klien,
atau dengan kata lain, konselor bertindak sebagai individu penuh karena dia
masuk dalam suatu struktur budaya tertentu. proses konseling Pendekatan
emikpun sering menyebabkan atau menjadikan konselor menarik kesimpulan
tentang suatu budaya tertentu berdasarkan ukuran-ukuran yang berlaku pada
kebudayaan klien.
Karena implikasinya pada apa yang kita ketahui sebagai kebenaran, emik
dan etik merupakan konsep-kosep yang kuat. Kalau kita tahu sesuatu tentang
prilaku manusia dan menganggapnya sebagai kebenaran, dan hal itu adalah
suatu etik (alias universal), maka kebenaran sebagaimana kita ketahui itu
adalah juga kebenaran bagi semua orang dari budaya apa pun.
Pendekatan emik dalam hal ini memang menawarkan sesuatu yang lebih
obyektif. Karena tingkah laku kebudayaan memang sebaiknya dikaji dan
dikategorikan menurut pandangan orang yang dikaji itu sendiri, berupa
definisi yang diberikan oleh masyarakat yang mengalami peristiwa itu sendiri.
Bahwa pengkonsepan seperti itu perlu dilakukan dan ditemukan dengan cara
menganalisis proses kognitif masyarakat yang dikaji dan bukan dipaksakan
secara etnosentrik, menurut pandangan peneliti.
Jika yang kita ketahui tentang prilaku manusia dan yang kita anggap
sebagai kebenaran itu ternyata adalah suatu emik (alias bersifat khas-budaya),

11
maka apa yang kita anggap kebenaran tersebut belum tentu merupakan
kebenaran bagi orang dari budaya lain.
Secara sangat sederhana dapat saya simpulkan bahwa emik mengacu pada
pandangan konselor terhadap kebudayaan klien, sedangkan etik mengacu pada
pandangan konselor terhadap kebudayaan secara keseluruhan dalam proses
konseling.
Jadi dengan konsep atau landasan teori maka dalam melakukan proses
hubungan konseling dengan klien, maka pendekatan yang akan saya lakukan
adalah memahami klien seutuhnya. Memahami klien seutuhnya ini berarti
yang harus saya lakukan adalah bisa atau dapat memahami budaya klien
secara spesifik yang mempengaruhi klien, memahami keunikan klien dan
memahami manusia secara umum atau universal yang sifatnya
keseluruhan(Etik).

C. BIAS BUDAYA
a. Pengertian Bias Budaya
Bias budaya berasal dari dua kata yakni bias dan budaya. Bias
dapat diartikan sebagai sisa-sisa dari suatu produk tertentu, sedangkan
budaya merupakan gaya hidup yang unik dan hasil pemikiran dari manusia
dalam suatu lingkup masyarakat tertentu. Jadi bias budaya adalah sisa-sisa
suatu pemikiran dan gaya hidup yang unik dari manusia dalam lingkungan
masyarakat tertentu yang masih dipergunakan dan diperhitungkan sampai
saat ini. Bias budaya juga dapat diartikan sebagai kondisi dimana terdapat
penyimpangan atau pembelokan arah dalam suatu kelompok yang ruang
lingkupnya tersebar dalam berbagai persoalan. Budaya bukanlah dimiliki
oleh sebagian orang dan tidak dimiliki oleh sebagian orang lain, budaya
dimiliki oleh semua orang dan dengan demikian budaya seharusnya
menjadi salah satu factor pemersatu. Pada dasarnya manusia menciptakan
budaya dan lingkungan social sebagai suatu adaptasi lingkungan fisik dan
biologis mereka.
b. Bias Budaya Dan Konselor Peka Budaya

12
Dalam proses konseling, konselor dan konseli membawa
karakteristik psikologisnya seperti kecerdasan, bakat, minat, sikap,
motivasi, kehendak, dan tendensi-tendensi kepribadian lainnya. Di
Indonesia banyak yang memberikan pada aspek aspek konselor tersebut,
namun masih kurang memperhatikan latar belakang budaya baik konselor
ataupun konseli yang ikut membentuk perilakunya dan menentukan
efektivitas proses konseling (Bolton-Brownies,1987), musalnya etnik,
norma-norma, nilai-nilai, ras, dan lainnha. Apabila konselor dapat
memahami hal-hal yersebut maka konseling akan berjalan semakin baik,
dan begitu pula sebaliknya.
Pada dasarnya pemahaman konselor atas psikologi dan sosial
budaya sangat penting karena hal tersebut mempengaruhi jalannya proses
konseling. Implikasi terhadap beberapa hal tersebut mulai dari kecerdasan
hingga kepribadian lainnya harus memahami dirinya sendiri, teemasuk
mengenai bias-bias budaya dan sosial. Sehingga dapat menghadapi konseli
yang memiliki budaya yang berbeda, contohnya ketika ada seorang
konselor yang berlatat belakang pendidikan diluar negeri dan memutuskan
bekerja di Indonesua. Kemudian mendapatkan konseli di Indonesia yang
jelas berbeda latat belakang sosial budaynya, jadi konselor harus dapat
menyesuaikan dengan latar belakang konseli agar konseling dapat berjalan
dengan baik
Perbedaan agama , ras, etnik, dan suku dalam konseling
mengandung bias budaya Yang maksudnya adalah tidak dapat diterapkan
terhafap individu lain karena pada dasarnya setiap individu memiliki latar
belakang uang berbeda-beda. Pada dasarnya dalam proses konseling
mengutamakan perasaan dan permasalahan konseli.

E. UNSUR-UNSUR BIAS BUDAYA


Ada beberapa unsur yang membuat bias budaya antara lain;
a. Usia
Setiap periode usia individu memiliki tugas perkembangan dan
kebutuhan untuk melaksanakan tugas perkembangan dan memenuhi

13
berbagai kebutuhan tersebut. Setiap periode usia memiliki nilai budaya
usia masing-masing. Hal itu terkadang menjadi masalah dalam proses
konseling karena adanya perbedaan kebudayaan, kebiasaan, gaya hidup
dan nilai budaya tertentu dalam setiap rentang usia. Contoh: seorang anak
laki-laki yang ketika beranjak usia dewasa masih dimanja oleh ibunya dan
dicium oleh ibunya di depan teman sebayanya akan marah karena rasa
malu. Akan tetapi menurut orang tua itu adalah suatu bentuk perhatian
atau kasih sayang orang tua terhdap anaknya.
b. Nilai
Didalam buku yang berjudul Ilmu Budaya Dasar dan Konseling
oleh Soelaeman M. Munandar, (2001), dikatakan bahwa nilai adalah suatu
yang dipentingkan manusia sebagai subjek, menyangkut segala suatu yang
baik atau yang buruk sebagai pandangan atau maksud dari pengalaman
dengan seleksi yang kuat. Perbedaan atau pemahaman nilai akan menjadi
factor penghambat dalam konseling lintas budaya apabila;
a) Memaksakan nilai diri terhadap orang lain
Konselor yang meyakini nilai berbeda dengan konseli akan sulit
mencapai hasil. Misalnya konseli yang rapid an tampilan menawan
akan memiliki persepsi lain berbeda dengan konseli yang tampil
sembrono dan tidak memilki sopan santun dalam berkomunikasi.
Konselor yang memahami budaya konseli akan apa adnya dan
menyesuaikan diri dengan budayanya konseli.
b) Memaksakan nilai golongan mayoritas terhadap nilai golongan
minoritas
Setiap orang atau golongan memiliki nilai sendiri-sendiri yang telah
diyakini. Kelompok atau golongan besar tidak dibenarkan memaksa
nilai kelompok kecil untuk mengikuti. Semua orang atau golongan
menghormati hak dan martabat orang lain termasuk nilai yang
dianutnya.
c) Gender
Perbedaan jenis kelamin (gender) sudah menjadi perbincangan dari
jaman dahulu, hal ini sangat mempengaruhi proses konseling karena

14
terkadang konselor laki-laki sering berpikir steriotipe terhadap
perempuan yang kurang mandiri, kurang tegas, dan kurang berani
mengambil resiko. Konselor perempuan lebih cenderung menganggap
laki-laki tidak boleh cengeng dan ahrus tegas. Namun, dalam proses
koseling baik laki-laki maupun perempuan menampakkan sikap yang
tidak semestinya menurut gender mereka dan terkadang konselor
menganggap hal itu sebagai suatu hal yang aneh dan salah.
d) Ras/Suku
Ras adalah penggolongan bangsa berdasarkan cirri-ciri fisik; rumpun
bangsa, sedangkan suku merupakan masyarakat yang tergabung dalam
suatu kelompok. Perbedaan suku yang menjadi kendala dalam
konseling karena masing-masing suku memiliki kebiasaan, falsafah
hidup, dan nilai budaya yang berbeda-beda.
Contoh: konselor yang berasal dari suku bali dan konseli yang berasal
dari suku batak ataupun sebaliknya sulit untuk melakukan konseling
kalau masalahnya menyangkut tentang pandangan hidup atau nilai-
nilai. Kedua belah pihak memiliki perbedaan mendasar mulai dari
filsafah atau pandangan serta nilai masing-masing.
e) Bahasa
Bahasa merupakan sistem lambing bunyi beraktualisasi yang bersifat
bersewenang-wenang dan konvensioanal yang dipakai sebagai alat
komunikasi untuk melahirkan perasaan dan fikiran (Kamus Besar
Bahasa Indonesia, 1988). Dalam hal komunikasi, tampak bahwa
manusia hidup dalam lingkungan budaya dan bukan hanya dalam
lingkungan alam. Manusia ditandai oleh kata dan bahasa, artinya diberi
corak yang khas. Contoh: anak yang dilahirkan dalam kalangan
keluarga bangsa Rusia menjadi orang Rusia karena ia diwujudkan oleh
bahasa Rusia. Demikian juga anak bangsa Arab, suku Batak dan
sebagainya.
Bahasa akan menjadi factor penghambat dalam konseling lintas budaya
apabila;
a. Penguasaan bahasa rendah

15
Ada beberapa orang yang memiliki kesulitan dalam menyusun kosa
kata dan tata bahasa umum yang digunakan banyak orang, sehingga
terkadang orang lain kurang mengerti dengan apa yang diucapkan dan
dapat menimbulkan persepsi yang berbeda.
Contoh: konseli yang menyusun kata-kata kurang tepat, misalnya
“pergi dia kemarin” maka hal tersebut dapat menyebabkan konselor
bingung dan tidak mengerti dengan apa yang diucapkan oleh konseli.
b. Miskin dalam kossa kata
Seseorang yang memiliki kekurangan dalam perbendaharaan kata.
Contoh: seorang konseli tidak bisa mengungkapkan atau mengatakan
apa yang ingin dikatakannya, sehingga akan membuat konselor atau
orang lain bingung dalam menerima ataupun mengartikan kata-katanya
tersebut.
c. Penggunaan dialek yang berbeda-beda
Contoh: orang Malang yang menggunakan kata dibalik-balik,
misalnya; berapa (orip) dan menggunakan dialek tegas (terkesan
kasar). Orang Yogyakarta menggunakan bahasa yang agak halus, lebih
hati-hati dibandingkan dengan bahasa lain.
d. Merasa menjadi etnis yang mayoritas sehingga menggap orang lain
selalu mengerti dan mengikuti dengan apa yang dimaksudkan.
Contoh: konselor yang berbicara dengan bahasa sunda padahal konseli
berasal dari Madura. Konselor menganggap konseli tersebut mengerti
dengan apa yang diucapkan oleh konselor. Padahal konseli tersebut
sama sekali tidak mengerti dengan apa yang diucapkan oleh konselor.
e. Perbedaan kelas social
Kelas sosisal muncul karena latar belakang pendidikan, pekerjaan,
kekayaan, penghasilan, dan perilaku orang tersebut dalam
mempergunakan kekayaannya. Ada tiga kelas social yaitu, kelas
atas_atas, Atas-menengah, atas-bawah. Situasi yang menjadi kendala,
tingkat perbedaan pengalaman anatara konselor dengan konseli,
persepsi dan wawasan mereka terhadap dunia. Konselor dengan kelas
sosisal menengah mungkin kurang paham terhadap kebiasaan konseli

16
dari kelas social tinggi/rendah. Contoh 1: konselor yang berasal dari
kelas social menengah mempunyai konseli dari kelas social tinggi
yang ke sekolah mengendarai mobil sendiri, hobi shopping dan ke
salon, ketika konseli bercerita kepada konselor tentang hal tersebut
tentu konselor kurang bisa memahami konseli sepenuhnya karena
perbedaan kelas social tersebut. Contoh 2: mahasiswa yang sedang
KKN menjelaskan pada warga desa terpencil menerangkan tentang
penyebaran dengan menggunakan istilah-istilah tinggi seperti inkubasi,
injeksi, dan lain-lain tanpa menjelaskan apa arti/maksud dari kata-kata
tersebut. Tentunya warga desa tersebut tidak mengerti dengan apa
yang diucapkan oleh mahasiswa tersebut.
f. Gaya hidup
Gaya hidup atau pola hidup dapat dibagi menjadi gaya hidup
tradisional dan gaya hidup modern. Pengaruhnya terhadap layanan
bantuan konseling terkadang gaya hidup seseorang sulit dimengerti
dan diterima oleh konselor atau konseli.
Contoh: seorang konseli yang memiliki gaya hidup yang terlalu
modern susah menyesuaikan diri dengan gaya hidup konselor yang
hidup dalam norma-norma kekerabatan konvensional.
g. Cacat
Keadaan cacat merupakan salah satu hambatan dalam pelaksanaan
konseling karena cacat akan memperngaruhi perilaku, sikap, kepekaan,
dan reaksi terhadap lingkungan. Konselor tidak luput dari kebiasaan
yang terkadang secara tidak sadar juga mengungkapkan problemnya
dalam mengidentifikasi konseli yang mengalami cacat. Contoh:
seorang konseli yang mengalami cacat fisik (bicara tidak
lancar/gagap), oleh konselor konseli yang demikian menjadi hambatan
waktu dalam konseling.

17
BAB III

KESIMPULAN

Berpikir stereotype adalah berpikir yang cenderung menggeneralisasi atau


menyamakan sesuatu (kepercayaan, paham, nilai, perilaku) orang atau kelompok
tertentu. Dalam layanan bimbingan dan konseling, seorang konselor diharapkan
tidak berpikir dan melakukan layanan yang cenderung menyamakan karakter
konseli dari daerah yang sama. Selain itu setiap konseli memiliki budaya yang
nilai dan sistemnya berbeda. Perbedaan ini berdampak pada cara-cara setiap orang
menyikapi dan melakoni kehidupan ini. Budaya yang berbeda akan berdampak
pad acara orang berkomunikasi, cara orang merespon komunikasi, cara orang
berperilaku dan sebagianya.

18
DAFTAR PUSTAKA

Sedanayasa,Gede.2014.Perkembangan Pribadi Konselor.Yogyakarta.Graha Ilmu.

19

Anda mungkin juga menyukai