Anda di halaman 1dari 99

UJI KINERJA SURFAKTAN MES

(METIL ESTER SULFONAT) DARI STEARIN SAWIT


UNTUK ENHANCED WATER FLOODING

SKRIPSI

EKO NOPIANTO
F34070102

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN


INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
EKO NOPIANTO. F34070102. Uji Kinerja Surfaktan MES (Metil Ester Sulfonat) dari Stearin
Sawit untuk Enhanced Water Flooding. Di bawah bimbingan Erliza Hambali dan Putu Suarsana.
2011

RINGKASAN

Produksi minyak bumi sebagian besar berasal dari lapangan tua (brown field) dimana dari
tahun ke tahun mengalami penurunan secara alami mencapai 15% dari total produksi. Untuk
meningkatkan daya recovery minyak bumi dari reservoir diperlukan langkah produksi tahap
lanjut/Enhanced Oil Recovery (EOR) yang dapat mengoptimalkan pengurasan ladang minyak tua.
EOR merupakan penerapan teknologi yang memerlukan biaya, teknologi dan resiko tinggi. Untuk
itu sebelum mengimplementasikan EOR di suatu lapangan harus mengevaluasi dengan teliti baik
secara teknik maupun ekonomi untuk mendapatkan addition recovery yang optimal. Beberapa
lapangan minyak di Indonesia yang telah menerapkan teknologi injeksi air/waterflooding, saat ini
kinerja produksinya mempunyai water cut yang sangat tinggi mendekati 99%. Untuk memperbaiki
tingkat pengurasan pada kondisi tersebut dapat dilakukan dengan menambahkan surfaktan dengan
konsentrasi rendah ke dalam air injeksi, yang dapat memperbaiki mekanisme pendesakan setelah
fase sekunder/waterflooding, tahapan tersebut disebut dengan injeksi air tahap lanjut/enhanced
water flooding yang merupakan tahapan awal penerapan injeksi surfaktan.
Surfaktan yang telah banyak digunakan dalam industri perminyakan adalah surfaktan
berbasis petrokimia, surfaktan tersebut dihasilkan dari turunan produk minyak bumi yang saat ini
semakin terbatas jumlahnya, karena itu dibutuhkan surfaktan yang berbasis renewable resources dan
berkinerja baik seperti surfaktan MES. Pengembangan surfaktan MES sangat prospektif untuk
dikembangkan di Indonesia karena melimpahnya sumber bahan baku yang dapat dijadikan surfaktan
MES. Penelitian ini bertujuan untuk menguji kinerja surfaktan MES (Metil Ester Sulfonat) dari
stearin sawit untuk enhanced waterflooding dalam usaha recovery minyak bumi. Untuk mencapai
tujuan tersebut, surfaktan MES dari stearin sawit harus mampu memenuhi kriteria surfaktan untuk
aplikasi teknologi EOR maka berbagai parameter dalam pengujian kinerja surfaktan dilakukan
dengan metode yang telah ditetapkan dan peralatan yang memiliki spesifikasi tinggi.
Penelitian ini diawali dengan melakukan uji kompatibilitas surfaktan MES dari stearin
terhadap fluida reservoir lapangan Ty, hasil pengujian tersebut menyatakan surfaktan MES dari
stearin sawit kompatibel/larut sempurna dalam air injeksi lapangan Ty yang mengindikasikan bahwa
surfaktan MES dapat menjadi kandidat surfaktan yang digunakan untuk enhanced waterflooding.
Setelah lolos uji kompatibilitas dilakukan formulasi larutan surfaktan MES dari stearin sawit untuk
memperoleh nilai ultra-low interfacial tension (IFT) yang diharapkan untuk EOR (10-3 dyne/cm).
Langkah formulasi yang dilakukan untuk mendapatkan nilai IFT terkecil adalah melakukan
pencarian nilai optimal salinitas dan optimal alkali yang terbaik untuk surfaktan MES pada
konsentrasi 0.3 %. Pemilihan konsentrasi 0.3% surfaktan MES didasari dari penelitian terdahulu
yang dilakukan oleh Hambali (2009) yang menyatakan bahwa nilai IFT terbaik diperoleh pada
tingkat konsentrasi 0.3%. Nilai IFT terbaik dari pengujian optimal salinitas surfaktan MES diperoleh
pada tingkat salinitas 3000 ppm NaCl, sedangkan nilai IFT terbaik dari pengujian optimal alkali
diperoleh pada konsentrasi 0.1% Na2CO3 dan nilai rataan IFT dari formula surfaktan MES tersebut
sebesar 7.88 x 10-3 dyne/cm sehingga formula tersebut telah memenuhi nilai IFT yang diharapkan
untuk EOR.
Formula surfaktan selanjutnya melalui serangkaian uji kinerja formula surfaktan yang terdiri
dari uji kelakuan fasa/phase behaviour, ketahanan panas/thermal stability, dan uji filtrasi. Dari
pengukuran IFT, formula larutan surfaktan MES stearin cenderung kurang stabil terhadap
termperatur tinggi (thermal stability), nilai IFT mengalami peningkatan selama pemanasan.
Kelakuan fasa surfaktan MES stearin dan minyak bumi memberikan hasil visual mikroemulsi
bentuk fasa bawah/tipe II (-). Pengujian filtrasi surfaktan MES stearin dengan.menggunakan
membran membran 0.45 µm, menghasilkan nilai FR larutan yang besar, dan penurunan IFT. Setelah
itu formula surfaktan MES akan melalui uji core flooding test untuk mengetahui kinerja surfaktan
MES pada batuan reservoir. Pengujian ini dilakukan dengan menerapkan tiga perlakuan injeksi
formula surfaktan MES terhadap core sintetik yang telah disiapkan untuk pengujian core flooding
masing-masing sebesar 0.1 PV (PV=pore volume/volume pori), 0.2 PV, dan 0.3 PV, setelah injeksi
surfaktan core diberikan waktu perendaman (soaking) selama 12 jam. Soaking selama 12 jam ini
dilakukan berdasarkan hasil penelitian terdahulu yang dilakukan Mwangi (2008) yang menyatakan
bahwa dengan waktu soaking selama 12 jam mampu memberikan tambahan incremental recovery
yang optimal sebesar 8%, soaking dalam penelitian ini merupakan perendaman core sintetik pada
core holder. Hasil analisa statistik terhadap hasil perlakuan injeksi pore volume surfaktan pada
coreflooding test pada tingkat kepercayaan 95% (α = 0.05), menunjukkan bahwa injeksi pore
volume formula surfaktan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap recovery minyak yang
diperoleh. Namun additional recovery yang dihasilkan bertambah dengan semakin tingginya jumlah
surfaktan yang diinjeksikan.
AN EXPERIMENTAL STUDY OF SURFACTANT MES
(METHYL ESTER SULFONATES) FROM PALM STEARIN
FOR ENHANCED WATER FLOODING

Eko Nopianto1)*, Erliza Hambali1,2), Putu Suarsana3)


1)
Departement of Agroindustrial Technology, Faculty of Agricultural Engineering and Technology,
Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus, PO BOX 220 West Java, Indonesia
Email: eckonopianto@gmail.com
2)
Surfactant and Bioenergy Research Center (SBRC), LPPM-Bogor Agricultural University.
IPB Baranangsiang Campus, Jl. Raya Pajajaran No. 1, Bogor. West Java, Indonesia
3)
PT. PERTAMINA EP.
st th
Standard Chartered Tower 21 - 29 Floor, Jl. Prof. Dr. Satrio No. 164, Jakarta 12950 – Indonesia.

ABSTRACT

Surfactant has been widely used for the application of Enhanced Oil Recovery (EOR) by
decreasing the interfacial tension. Recently, most of the surfactants that are still used are
petrochemical surfactants. MES surfactant is a surfactant derived from renewable resources that
can replace petrochemical surfactant and has many advantages. The study was conducted by
formulating the surfactant solution, testing performance of the surfactant formula, and testing the
core flooding. The results of the study showed that palm stearin MES surfactant was compatible to
the water injection of Ty field. The formulation generated average number of interfacial tension
formula up to 7.88E-03 dyne/cm, so the formulation met the expected number of IFT for EOR. The
thermal stability test showed that palm stearin MES surfactant is heat resistant. It was proven by
the low of IFT number increasing and the decreasing of both viscosity and density. Phase behavior
showed that the phase between oil and surfactant were in the type II (-) or low phase. Core flooding
test was done by differentiation of surfactant solution injection of 0.1PV, 0.2PV, 0.3PV and soaking
for 12 hours. The Incremental recovery that is obtained after the surfactant solution injection was
between 12-14% OOIP. Statistical analysis showed that the variation of pore volume that was
injected has no significant effect to the oil recovery, but it increased with increasing of surfactant
volume that was injected. Therefore, stearin MES surfactant has good performance to be applicated
for enhanced waterflooding in the Ty field.

Keywords: Methyl Ester Sulfonates, Chemical Injection, Core flooding, Enhanced Water Flooding,
Enhanced Oil Recovery.
UJI KINERJA SURFAKTAN MES
(METIL ESTER SULFONAT) DARI STEARIN SAWIT
UNTUK ENHANCED WATER FLOODING

SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
pada Departemen Teknologi Industri Pertanian,
Fakultas Teknologi Pertanian,
Institut Pertanian Bogor

Oleh

EKO NOPIANTO
F34070102

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN


INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
Judul Skripsi : Uji Kinerja Surfaktan MES (Metil Ester Sulfonat) dari Stearin Sawit
untuk Enhanced Water Flooding
Nama : Eko Nopianto
NIM : F 34070102

Menyetujui,

Pembimbing I, Pembimbing II,

(Prof. Dr. Erliza Hambali) (Ir. Putu Suarsana, MT. Ph.D)


NIP. 19620821 198703 2 003 Reservoir Manager PT. Pertamina EP

Mengetahui:

Ketua Departemen,

(Prof. Dr. Ir. Nastiti Siswi Indrasti)


NIP. 19621009 198903 2 001

Tanggal Lulus :
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Uji Kinerja
Surfaktan MES (Metil Ester Sulfonat) dari Stearin Sawit untuk Enhanced Water Flooding
adalah karya saya sendiri dengan arahan dari Dosen Pembimbing Akademik, dan belum diajukan
dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, November 2011

Yang membuat pernyataan

Eko Nopianto

F 34070102
© Hak cipta milik Eko Nopianto, tahun 2011
Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari


Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak,
fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya.
BIODATA PENULIS

Eko Nopianto. Lahir di Jambi, 8 November 1989 dari ayah Samuji dan ibu
Sri Lestari sebagai putra pertama dari 3 bersaudara. Riwayat pendidikan
penulis dimulai dari SDN 141/X Rantau Makmur, Kec. Berbak, Kab.
Tanjung Jabung Timur, Provinsi Jambi pada tahun 1995-2001, pendidikan
menegah pertama di MTsN Bandar Jaya, Kec. Rantau Rasau, Kab. Tanjung
Jabung Timur, Provinsi Jambi pada tahun 2001-2004, pendidikan menengah
atas di SMAN 1 Rantau Rasau (sekarang SMAN 1 Tanjung Jabung Timur),
Provinsi Jambi dan lulus pada tahun 2007. Pada tahun yang sama penulis
melanjutkan studi ke IPB melalui Jalur Beasiswa Utusan Daerah (BUD) dari Pemerintah Daerah
Provinsi Jambi melalui Dinas Pendidikan Provinsi Jambi pada Departemen Teknologi Industri
Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Selama kuliah penulis aktif dalam
berbagai kegiatan diantaranya sebagai ketua Organisasi Mahasiswa Daerah (OMDA)
Jambi/Himpunan Mahasiswa Jambi (HIMAJA) IPB, anggota Dewan Perwakilan Mahasiswa
Fakultas Teknologi Pertanian (DPM-F), anggota Majelis Permusyawaratan Mahasiswa Keluarga
Mahasiswa IPB (MPMKM-IPB), termasuk menjadi asisten mata kuliah Peralatan Industri Pertanian.
Penulis melaksanakan Praktik Lapangan pada tahun 2010 di PT. Inti Indosawit Subur (Pabrik
Tungkal Ulu/PTU) Asian Agri Group, Regional Jambi dengan judul “Analisa Potensi Pemanfaatan
Biomassa Pabrik Pengolahan Kelapa Sawit”. Sampai akhirnya penulis melaksanakan tugas akhir
dengan judul “Uji Kinerja Surfaktan Metil Ester Sulfonat (MES) dari Stearin Sawit untuk Enhanced
Water Flooding” di bawah bimbingan Prof. Dr. Erliza Hambali dan Ir. Putu Suarsana, MT, PhD.
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadapan Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Uji Kinerja Surfaktan
MES (Metil Ester Sulfonat) dari Stearin Sawit untuk Enhanced Water Flooding” dilaksanakan
di Pusat Penelitian Surfaktan dan Bioenergi (SBRC-IPB) sejak bulan Februari sampai Agustus 2011.
Dengan telah selesainya penelitian hingga tersusunnya skripsi ini, penulis ingin
menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Keluarga tercinta yang selalu menjadi sandaran baik suka maupun duka, yang telah memberikan
segenap kasih sayang, doa, motivasi dan semangat kepada penulis sehingga penulis dapat
menyelesaikan pendidikan di IPB.
2. Prof. Dr. Erliza Hambali sebagai dosen pembimbing akademik yang telah memberikan arahan
dalam penelitian dan penyusunan skripsi ini, selain itu juga membimbing penulis selama kuliah
di IPB.
3. Ir. Putu Suarsana, MT, Ph.D sebagai pembimbing II yang telah memberi bimbingan kepada
penulis dalam penyelesaian penelitian dan penyusunan skirpsi.
4. Dr. Ir. Dwi Setyaningsih, M.Si sebagai dosen penguji skripsi yang telah menguji dan
memberikan masukan pada penulis.
5. Pemerintah Daerah Provinsi Jambi, atas kesempatan dan beasiswa yang diberikan kepada
penulis untuk melanjutkan pendidikan di IPB melalui jalur Beasiswa Utusan Daerah-IPB.
6. Mas Ari (staf ahli SBRC) yang telah membimbing dari awal hingga selesainya penelitian
penulis.
7. Mbak Mira Rivai (kandidat doktor program pasca sarjana IPB) atas diskusi yang banyak
memberi pengetahuan dan masukan selama penelitian dan penyusunan skripsi ini.
8. Seluruh staf dan teknisi Pusat Penelitian Surfaktan dan Bioenergi- LPPM IPB khususnya Mas
Encep, Mas Ferry, Mas Saeful dan Mas Anas yang telah banyak membantu kelancaran jalannya
penelitian.
9. Riztiara Nurfitri, Rizky Oktavian, dan Rahman, teman satu bimbingan dan teman-teman
seperjuangan TIN 44 atas waktunya dalam saling membantu dan mengingatkan kelulusan.
10. Septiyanni, Rachmania Widyastuti, Wardah Nazripah, teman satu laboratorium atas kerjasama
dan kebersamaannya dalam menyelesaikan penelitian di SBRC.
11. Dayu Dian Perwatasari, Silvia Mawarti Perdana, Novriyanti, Merita, Cantika Zaddana, Ana
Agustina, teman-teman seperjuangan HIMAJA & BUD Pemda Jambi.
12. Sahabat-sahabatku Fiandra Adiyath M, Gustam S Andokke, Eki Hercules, Adi Nuryadi
Parandica, Muhammad Iftor, teman kost yang selalu memberi motivasi dan semangat kepada
penulis dalam susah maupun senang.
13. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
Akhirnya, penulis berharap semoga tulisan ini bermanfaat dan memberikan kontribusi yang
nyata terhadap perkembangan ilmu pengetahuan di bidang agroindustri dan teknologi perminyakan.

Bogor, 18 November 2011

Eko Nopianto

iii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................................. iii


DAFTAR ISI ................................................................................................................................. iv
DAFTAR TABEL ......................................................................................................................... v
DAFTAR GAMBAR .................................................................................................................... vi
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................................................. vii
I. PENDAHULUAN .................................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .................................................................................................................... 1
1.2 Tujuan Penelitian ................................................................................................................ 2
1.3 Ruang Lingkup ................................................................................................................... 2
II. TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................................. 3
2.1 Surfaktan ............................................................................................................................. 3
2.2 Metil Ester Sulfonat (MES) ................................................................................................ 4
2.3 Produksi Tahap Lanjut/Enhanced Oil Recovery (EOR) ..................................................... 8
2.4 Formula Surfaktan untuk EOR ......................................................................................... 11
2.5 Uji Kinerja Surfaktan ........................................................................................................ 14
2.5.1 Kestabilan Terhadap Panas (Thermal Stability) ....................................................... 14
2.5.2 Kelakuan Fasa (Phase Behaviour) ........................................................................... 14
2.5.3 Uji Filtrasi (Filtration Test) ..................................................................................... 16
2.6 Core Flooding Test ........................................................................................................... 16
2.6.1 Formasi Reservoir .................................................................................................... 16
2.6.2 Fluida Reservoir ....................................................................................................... 18
III. METODOLOGI PENELITIAN ..................................................................................... 20
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ........................................................................................... 20
3.2 Alat dan Bahan ................................................................................................................. 20
3.3 Metode Penelitian ............................................................................................................. 20
3.3.1 Pembuatan Surfaktan MES dari Stearin Sawit ......................................................... 20
3.3.2 Formulasi Larutan Surfaktan MES Stearin untuk EOR ........................................... 20
3.3.3 Uji Kinerja Formula Surfaktan MES Stearin ........................................................... 21
3.3.4 Core Flooding Test .................................................................................................. 22
3.4 Rancangan Percobaan ....................................................................................................... 23
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ...................................................................................... 24
4.1 Pembuatan Surfaktan MES dari Stearin Sawit ................................................................. 24
4.2 Formulasi Larutan Surfaktan MES Stearin Untuk EOR ................................................... 25
4.3 Uji Kinerja Formula Surfaktan MES ................................................................................ 30
4.3.1 Uji Kompatibilitas (Compatibility Test) ................................................................... 30
4.3.3 Uji Kelakuan Fasa (Phase Behaviour) .................................................................... 33
4.3.4 Uji Filtrasi (Filtration Test) ...................................................................................... 35
4.4 Core Sandstone Sintetik dan Fluida Reservoir Lapangan Ty ........................................... 39
4.4.1.Persiapan Core Sandstone Sintetik ........................................................................... 40
4.4.2.Fluida Reservoir Lapangan Ty ................................................................................. 41
4.5 Core Flooding Test ........................................................................................................... 43
V. SIMPULAN DAN SARAN ........................................................................................... 47
5.1 Simpulan ........................................................................................................................... 47
5.2 Saran ................................................................................................................................. 47

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 48

LAMPIRAN
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Perbandingan komposisi asam lemak pada ME dari beberapa jenis minyak ....................... 6
Tabel 2. Hasil analisis sifat fisikokimia metil ester stearin ............................................................ 7
Tabel 3. Karakteristik MES dari stearin sawit C16-C18 .................................................................. 7
Tabel 4. Kandungan garam air formasi/injeksi ........................................................................... 18
Tabel 5. Komposisi minyak bumi ............................................................................................. 19
Tabel 6. Karakteristik surfaktan MES stearin sawit .................................................................... 25
Tabel 7. Nilai FR hasil uji filtrasi ............................................................................................. 38
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Skematik ilustrasi molekul surfaktan. ................................................................................ 3


Gambar 2. Reaksi transesterifikasi antar trigliserida dan methanol. .................................................... 5
Gambar 3. Reaksi esterifikasi asam lemak dan alkohol. ...................................................................... 5
Gambar 4. Struktur kimia MES. ........................................................................................................... 5
Gambar 5. Mekanisme perolehan minyak bumi. .................................................................................. 9
Gambar 6. Skematik enhanced water flooding pada aplikasi di lapangan minyak ............................ 10
Gambar 7. Hubungan capillary number dengan oil recovery. ........................................................... 13
Gambar 8. Diagram ternery air-surfaktan-minyak. ............................................................................ 15
Gambar 9. Penampang batu pasir/sandstone. ..................................................................................... 16
Gambar 10. Diagram alir penelitian. .................................................................................................. 23
Gambar 11. Stearin dan metil ester/biodiesel stearin. ........................................................................ 24
Gambar 12. MESA dan MES stearin sawit ........................................................................................ 25
Gambar 13. Pengaruh salinitas terhadap nilai IFT formula surfaktan MES dari stearin. ................... 27
Gambar 14. Pengaruh salinitas terhadap densitas larutan surfaktan MES stearin .............................. 27
dalam air injeksi Lapangan Ty. ...................................................................................... 27
Gambar 15. Pengaruh alkali NaOH pada berbagai konsentrasi terhadap nilai IFT
larutan surfaktan MES stearin pada salinitas 3000 ppm. ................................................ 28
Gambar 16. Pengaruh alkali Na2CO3 pada berbagai konsentrasi terhadap nilai IFT
larutan surfaktan MES stearin pada salinitas 3000 ppm. ................................................ 29
Gambar 17. Grafik perbandingan penambahan alkali NaOH dan Na2CO3 terhadap nilai IFT larutan
MES stearin pada salinitas 3000 ppm. ............................................................................ 29
Gambar 18. Pengaruh konsentrasi alkali terhadap densitas larutan surfaktan MES stearin. .............. 30
Gambar 19. Tampilan hasil uji kompatibilitas surfaktan terhadap air injeksi Lapangan Ty .............. 31
Gambar 20. Hasil pengujian IFT pada uji thermal stability. .............................................................. 32
Gambar 21. Hasil pengujian viskositas formula dalam uji thermal stability. ..................................... 32
Gambar 22. Hasil pengujian densitas formula dalam uji thermal stability. ....................................... 33
Gambar 23. Uji phase behaviour T0, T7, T14, T21, T30. ................................................................. 33
Gambar 24. Grafik kelarutan minyak-surfaktan dalam phase behaviour. .......................................... 34
Gambar 25. Grafik filtrasi menggunakan filter 500 mesh pada suhu ruang. ...................................... 35
Gambar 26. Grafik filtrasi menggunakan kertas saring 22 µm pada suhu ruang. .............................. 36
Gambar 27. Grafik filtrasi menggunakan membran 0.45 µm pada suhu ruang. ................................. 36
Gambar 28. Grafik filtrasi menggunakan membran 0.22 µm pada suhu ruang. ................................. 37
Gambar 29. Pengaruh perlakuan filtrasi terhadap IFT larutan surfaktan MES stearin. ...................... 38
Gambar 30. Hasil pengamatan molekul surfaktan MES stearin sawit setelah uji filtrasi. .................. 39
Gambar 31. Core sintetik batu pasir/sandstone. ................................................................................. 40
Gambar 32. Hasil uji asphaltin minyak bumi Lapangan Ty ............................................................... 42
Gambar 33. Skematik peralatan core flooding yang digunakan dalam penelitian. ............................ 43
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Prosedur Pengujian Formula Surfaktan .................................................................. 53


Lampiran 2. Diagram Alir Proses Transesterifikasi Stearin. ........................................................ 56
Lampiran 3. Diagram Alir Proses Sulfonasi Metil Ester Stearin .................................................. 57
Lampiran 4. Prosedur Persiapan Core Sintetik dan Fluida Reservoir Lapangan Ty
untuk Core flooding Test ....................................................................................... 58
Lampiran 5. Prosedur Perhitungan Porositas dan Permeabilitas Core .......................................... 60
Lampiran 6. Prosedur Core Flooding Test ................................................................................. 61
Lampiran 7. Reaktor Singletube Falling Film Reaktor (STFR) ................................................... 62
Lampiran 8. Peralatan/Instrument yang Digunakan .................................................................... 64
Lampiran 9. Hasil Uji Formulasi Surfaktan ............................................................................... 66
Lampiran 10. Hasil Uji IFT Thermal Stability ........................................................................... 75
Lampiran 11. Tabel Hasil Uji Filtrasi........................................................................................ 76
Lampiran 12. Kelarutan Minyak pada Uji Kelakuan Fasa (Phase Behaviour) ............................... 78
Lampiran 13. Dimensi dan porositas Core Sintetik .................................................................... 79
Lampiran 14. Hasil Uji Core flooding Test ................................................................................ 80
Lampiran 15. Hasil Analisa Data Hasil Core Flooding ............................................................... 82
Lampiran 16. Dokumentasi Hasil Core Flooding Test ................................................................ 83
I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sampai saat ini minyak bumi masih memegang peranan penting sebagai sumber energi dunia,
diperkirakan permintaan minyak dunia akan naik dari tingkat 84 juta barrel per hari saat ini menjadi
99 juta barrel per hari pada tahun 2015 dan 116 juta barrel per hari pada tahun 2030. Sementara itu,
produksi minyak jauh lebih lambat daripada kebutuhan minyak dunia. Dari data statistik Kementerian
Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Indonesia pada tahun 2004, produksi minyak bumi dan
kondensat Indonesia tercatat sebesar 400.486 juta barel dan produksi terus berfluktuatif dan cenderung
menurun, sampai pada tahun 2010 produksi minyak bumi dan kondensat Indonesia tercatat sebesar
344.836 juta barel. Menurut Evita Legowo, Dirjen Migas Kementerian ESDM, penurunan produksi
minyak bumi terutama yang terjadi di Indonesia dikarenakan sebagian besar minyak bumi
diproduksikan dari lapangan/sumur tua (brown field) dimana dari tahun ke tahun mengalami
penurunan secara alamiah mencapai 15% dari total produksi. Pada kuartal pertama tahun 2011,
produksi rata-rata minyak bumi dan kondesat Indonesia tercatat sebesar 906.941 BOPD (barel per
hari/bph) sedangkan kebutuhan total rata-rata mencapai 1.4 juta BOPD. Defisit kebutuhan minyak
bumi tersebut membuat Indonesia mengimpor minyak bumi dari berbagai negara, yang
mengindikasikan krisis minyak bumi telah terjadi di Indonesia.
Krisis minyak bumi yang terjadi ini dapat diatasi dengan cara melakukan
penghematan/menurunkan penggunaan minyak bumi sebagai sumber energi utama, mencari sumber
energi alternatif, sumber energi alternatif yang telah digunakan antara lain: biodiesel, energi matahari,
energi dari alam (geothermal/panas bumi, angin, mikrohidro, dan lain sebagainya) namun
penggunaannya masih belum dapat optimal. Alternatif lain untuk mengatasi krisis energi adalah
peningkatan produksi minyak bumi yang dapat dilakukan dengan cara eksplorasi sumur baru
(cekungan hidrokarbon) dan meningkatkan perolehan kembali (recovery) minyak bumi yang terdapat
pada lapangan minyak tua (brown field). Eksplorasi untuk menemukan lapangan/sumur baru cukup
sulit karena daerah yang belum dieksplorasi kebanyakan berada di laut dalam (deep sea) yang
beresiko tinggi. Oleh karena itu, pengembangan teknologi pengurasan tahap lanjut/enhanced oil
recovery (EOR) menjadi suatu keharusan dalam usaha meningkatkan produksi/recovery minyak bumi
dari lapangan minyak yang saat ini telah melewati tahap perolehan primer dan sekunder (water
flooding).
Beberapa lapangan minyak bumi di Indonesia yang telah menerapkan teknologi injeksi
air/water flooding, saat ini kinerja produksinya mempunyai water cut yang sangat tinggi (95-99%).
Sedangkan menurut Lake (1995) residu minyak bumi yang terdapat pada sumur yang telah diproduksi
masih besar, berkisar 40-70% dari original oil in place (OOIP). Minyak bumi yang tertinggal tersebut
merupakan minyak bumi yang terperangkap pada pori-pori batuan dan tidak dapat diproduksikan
dengan teknologi konvensional (tahap primer dan sekunder/waterflooding). Oleh karena itu
diperlukan penerapan metode produksi tahap lanjut/enhanced oil recovery untuk memperbaiki dan
mengoptimalkan tingkat pengurasan pada kondisi tersebut, mengurangi water cut dan meningkatkan
tenaga reservoir dari ladang minyak tua. Salah satu cara meningkatkan perolehan kembali adalah
dengan menurunkan tegangan antarmuka minyak-air dengan menambahkan surfaktan dengan
konsentrasi rendah ke dalam air injeksi yang dapat memperbaiki mekanisme pendesakan dan merubah
sifat fisik fluida reservoir, metode ini merupakan injeksi air tahap lanjut/enhanced water flooding
yang merupakan tahap awal penerapan injeksi surfaktan (chemical injection). Surfaktan yang biasa

1
digunakan dalam EOR adalah surfaktan berbasis petrokimia seperti alkil benzene sulfonat (ABS),
linear alkilbenzene sulfonate (LAS), alpha-olefin sulfonat (AOS), petroleum sulfonate dan internal
olefin sulfonate (IOS). Namun karena keterbatasan kinerja surfaktan dari petrokimia yang cenderung
tidak tahan terhadap kesadahan dan salinitas yang tinggi dan cenderung tidak tahan terhadap
kesadahan tinggi, hal itu mendorong perlunya pengembangan surfaktan dari sumber bahan baku yang
memiliki ketersediaan, biaya bahan baku dan produksi yang jauh lebih rendah/ekonomis, dan
memiliki kinerja yang baik seperti surfaktan metil ester sulfonat (MES).
Pengembangan teknologi produksi dan aplikasi surfaktan MES untuk EOR di Indonesia
memiliki prospek yang sangat baik karena melimpahnya ketersediaan bahan baku metil ester (minyak
sawit, minyak kelapa, minyak jarak, dll), yang dapat disintesis menjadi surfaktan MES. Dari banyak
sumber minyak nabati. Minyak sawit (olein dan stearin) merupakan sumber bahan baku metil ester
yang memiliki produktifitas paling tinggi, didukung dengan semakin baiknya penguasaan teknologi
pemurnian minyak membuat kapasitas produksi olein dan stearin dalam negeri juga terus meningkat.
Stearin merupakan hasil proses fraksinasi yang padat pada suhu ruang dan banyak digunakan sebagai
bahan baku pembuatan shortening dan margarine, namun dengan komponen kimia stearin dominan
memiliki ikatan C16-C18 berbanding 2:1 memungkinkan stearin untuk disintesis menjadi surfaktan
MES yang memiliki daya deterjensi tinggi dan memiliki kinerja baik dalam menurunkan tegangan
antarmuka. Harga stearin (US$ 1.080 per ton) yang lebih murah dibanding olein (US$ 1.181 per ton)
membuat pengembangan dan produksi surfaktan MES dari metil ester stearin menjadi menarik untuk
diteliti.

1.2 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:


1. Mendapatkan formula terbaik surfaktan MES stearin yang optimal dalam menurunkan
nilai tegangan antarmuka (IFT) antara air-minyak bumi pada lapangan Ty.
2. Mengetahui peforma surfaktan terhadap kestabilan nilai IFT terhadap suhu reservoir
(thermal stability), kelakuan fasa (phase behaviour), uji filtrasi.
3. Mendeskripsikan batuan pasir sintetik yang memiliki porositas, permeabilitas dan
karakteristik seperti native core Lapangan Ty.
4. Mendapatkan hasil perolehan minyak core flooding dari surfaktan MES stearin.

1.3 Ruang Lingkup

Ruang lingkup penelitian ini adalah sebagai berikut :


1. Formulasi larutan surfaktan MES dari stearin sawit untuk EOR.
2. Uji kinerja formula larutan surfaktan MES dari stearin sawit meliputi uji compatibility, uji
IFT (interfacial tension), pengukuran densitas, pengukuran viskositas, uji phase
behaviour, uji thermal stability dan uji filtrasi.
3. Persiapan core sandstone sintetik.
4. Core Flooding Test formula surfaktan MES dari stearin.

2
II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Surfaktan

Surfaktan (surface active agent) adalah suatu zat yang bersifat aktif permukaan yang dapat
menurunkan tegangan antar muka, antara minyak dan air karena strukturnya yang amphifilik, yaitu
adanya dua gugus yang memiliki derajat polaritas yang berbeda pada molekul yang sama. Gugus
hidrofilik bersifat mudah larut dalam air, sedangkan gugus hidrofobik bersifat mudah larut dalam
minyak (Pratomo 2005).
Surfaktan biasanya senyawa organik yang amphifilik, berarti mereka terdiri dari hidrokarbon
rantai (kelompok hidrofobik, "ekor") dan kelompok hidrofilik ("kepala"). Oleh karena itu, mereka
larut dalam pelarut organik dan air. Mereka mengadsorpsi atau berkonsentrasi di permukaan atau
antarmuka fluida/cairan untuk mengubah sifat permukaan secara signifikan, khususnya untuk
mengurangi tegangan permukaan atau tegangan antar muka (IFT) (Sheng 2011).
Surfaktan anionik adalah yang paling banyak digunakan dalam injeksi kimia untuk Enhanced
Oil Recovery karena mereka menunjukkan adsorpsi yang relatif rendah pada batuan pasir yang
permukaannya bermuatan negatif. Surfaktan non ionik terutama berfungsi sebagai co-surfaktan untuk
memperbaiki kelakuan fasa. Meskipun surfaktan non ionik lebih toleran terhadap salinitas yang tinggi,
tetapi sebagian besar tidak tahan terhadap panas yang tinggi, yang membuat IFT-nya naik pada suhu
yang tinggi. Cukup sering, campuran anionik dan nonionik digunakan untuk meningkatkan toleransi
terhadap salinitas. Surfaktan kationik jarang digunakan dalam reservoir batu pasir karena adsorpsinya
yang tinggi pada bautan pasir, surfaktan kationik sering digunakan pada batuan digunakan dalam
batuan karbonat untuk mengubah wettability dari oil wet menjadi water wet. Surfaktan zwitterionic
mengandung dua kelompok aktif. Jenis surfaktan nonionik zwitterionic dapat-anionik, atau non ionic
tergantung pH medianya. Surfaktan ini tahan terhadap suhu dan salinitas, tetapi harganya relatif mahal
(Lake 1989).
Molekul surfaktan dapat divisualisasikan seperti berudu yang terdiri atas bagian kepala dan
ekor (Gambar 1). Bagian kepala bersifat hidrofilik (suka air), merupakan bagian yang polar,
sedangkan bagian ekor bersifat hidrofobik (tidak suka air/suka minyak), merupakan bagian non polar.
Kepala dapat berupa kation atau anion. Sedangkan ekor dapat berupa rantai linier atau cabang
hidrokarbon (Hui 1996).

Gambar 1. Skematik ilustrasi molekul surfaktan (Holmberg et al. 2003).

Surfaktan berdasarkan gugus hidrofilnya dibagi menjadi empat kelompok yaitu surfaktan
anionik, surfaktan kationik, surfaktan non-ionik, dan surfaktan amfoterik (Rosen 2004). Data jumlah
konsumsi surfaktan dunia menunjukkan bahwa surfaktan anionik merupakan surfaktan yang paling
banyak digunakan yaitu sebesar 50%, kemudian disusul non-ionik 45%, kationik 4%, dan amfoterik
1% (Watkins 2001).

3
Menurut Matheson (1996) surfaktan anionik adalah molekul yang bermuatan negatif pada
bagian hidrofilik atau aktif permukaan (surface-active). Sifat hidrofilik disebabkan karena keberadaan
gugus ionik yang sangat besar, seperti gugus sulfat atau sulfonat. Beberapa contoh surfaktan anionik
yaitu linear alkilbenzen sulfonate (LAS), alkohol sulfat (AS), alkohol eter sulfat (AES), alfa-olefin
sulfonate (AOS), parafin (secondary alkane sulfonate, SAS), dan metil ester sulfonat (MES).
Menurut Sadi (1994) surfaktan pada umumnya dapat disintesis dari minyak nabati melalui
senyawa antara metil ester dan fatty alcohol. Proses-proses yang diterapkan untuk menghasilkan
surfaktan diantaranya, yaitu asetilasi, etoksilasi, esterifikasi, sulfonasi, sulfatasi, amidasi, sukrolisis,
dan saponifikasi.
Menurut Flider (2001) surfaktan berbasis bahan alami dapat dibagi ke dalam empat kelompok
dasar, yaitu : (a) berbasis minyak-lemak, seperti monogliserida, digliserida, poligliserol ester, fatty
alkohol sulfat, fatty alkohol etoksilat, Metil Ester Sulfonat (MES), dietanolamida, sukrosa ester, dan
sebagainya, (b) berbasis karbohidrat, seperti alkil poliglikosida dan N-metil glukamida, (c) ekstrak
bahan alami, seperti lesitin dan saponin, serta (d) biosurfaktan yang diproduksi oleh mikroorganisme,
seperti rhamnolipida, sophorolipida, lipopeptida, threhaloslipida, dan sebagainya.
Menurut Hui (1996) karena karakteristik detergensi yang cukup baik dari metil ester C16-C18,
maka fraksi stearin merupakan sumber bahan baku yang sesuai dan murah untuk memproduksi MES.
Karakteristik deterjensi MES yang berbahan baku stearin diketahui mirip dengan LAS (linier
alkylbenzene sulfonates). Metil ester stearin sawit memiliki rasio distribusi asam lemak dari C 16
hingga C18 sebesar 2:1. Bahan ini menghasilkan produk MES dengan nilai merupakan nilai
maksimum kelarutan dibandingkan dengan kombinasi C16 dan C18 lainnya. MES dengan karakteristik
ini sangat berguna untuk menghasilkan deterjen pada suhu rendah (Sheat dan MacArthur 2002).
Saat larutan surfaktan diinjeksikan kedalam sebuah sistem minyak dan air, surfaktan akan
mendesak minyak bergerak hingga surfaktan terserap atau hilang karena adsorpsi batuan. Untuk
memperoleh kondisi residual oil yang rendah dengan mengabaikan perubahan sifat kebasahan
wettability oleh surfaktan, tegangan antarmuka antara minyak dan air formasi harus diturunkan dari
20-30 mN/m ke 0.001-0.01 mN/m (Schramm 2000).
Surfaktan yang biasa digunakan dalam proses EOR adalah petroleum sufonate yang merupakan
turunan dari minyak bumi. Kelemahan surfaktan tersebut adalah sifatnya yang tidak memiliki
ketahanan terhadap kondisi sadah dan salinitas yang tinggi, sedangkan kelebihannya adalah
mempunyai kinerja maksimal dalam menurunkan tegangan antar muka, bahkan dilaporkan mencapai
0.1 µN/m atau 10-4 dyne/cm (Salager 2002). Dengan semakin tingginya harga minyak dunia dan
perhatian dunia terhadap persoalan-persoalan lingkungan maka diperlukan surfaktan yang berbasis
renewable resources, seperti methyl ester sulfonate (MES) (Eka 2008).

2.2 Metil Ester Sulfonat (MES)

Surfaktan Metil Ester Sulfonat (MES) termasuk golongan surfaktan anionik, yaitu surfaktan
yang bermuatan negatif pada gugus hidrofiliknya atau bagian aktif permukaan (surface-active). (Hui
1996). Surfaktan metil ester sulfonat (MES) diproduksi dengan mereaksikan antara metil ester dengan
gas SO3 (Rosen 2004). Penelitian pembuatan MES telah dilakukan oleh Chemiton Corporation, Inc.
Sheats dan MacArthur (2002), menyampaikan bahwa metil ester sulfonat dapat disintesis dari
beberapa minyak seperti minyak kelapa, minyak sawit (CPO dan PKO), tallow (lemak sapi), dan
minyak kedelai. Metil Ester termasuk ke dalam golongan ester, ester dibuat dengan mereaksikan asam
karboksilat dan alkohol. Cox dan Weerasoriya (2001) melaporkan bahwa sebagian besar metil ester
diproduksi dari oleokimia.

4
Metil ester dapat diproduksi melalui esterifikasi dan transesterifikasi asam lemak dengan
metanol. Reaksi transesterifikasi dapat dilihat di Gambar 2. Metil ester juga dapat diperoleh melalui
reaksi esterifikasi antara asam lemak dengan alkohol, seperti pada reaksi yang terlihat pada Gambar 3.
(Hart 1990).

Minyak/Lemak Metanol Metil ester Gliserin

Gambar 2. Reaksi transesterifikasi antar trigliserida dan methanol.

RCOOH + R’OH RCOOR’ + H2O


Asam lemak Alkohol Ester Air

Gambar 3. Reaksi esterifikasi asam lemak dan alkohol.

MacArthur et al. (2001) menyatakan bahwa studi tentang MES dengan rantai C16-C18
menunjukkan bahwa MES memiliki sifat yang lebih baik dari pada surfaktan LAS atau AS dalam hal
pencucian di air dingin dan air sadah hingga 100 ppm. Hal tersebut menyebabkan metil ester sulfonat
pada masa mendatang diindikasikan akan menjadi surfaktan anionik yang paling penting (Watkins
2001). Struktur kimia metil ester sulfonat dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Struktur kimia MES (Watkins 2001).

Kelebihan surfaktan MES dibanding surfaktan yang berbasis petrokimia adalah sifatnya yang
renewable, mudah didegradasi (good biodegradability), biaya produksi lebih rendah, karakteristik
dispersi yang baik, sifat deterjensi yang baik walaupun berada pada air dengan tingkat kesadahan yang
tinggi (hard water) dan tidak adanya fosfat, daya deterjensi sama dengan petroleum sulfonat pada
konsentrasi MES yang lebih rendah, dapat mempertahankan aktivitas enzim yang lebih baik, toleransi
yang lebih baik terhadap keberadaan kalsium, dan kandungan garam (disalt) lebih rendah (Matheson
1996).
Panjang molekul sangat kritis untuk keseimbangan kebutuhan gugus hidrofilik dan lipofilik.
Apabila rantai hidrofobik terlalu panjang, akan terjadi ketidakseimbangan, terlalu besar afinitas untuk
gugus minyak atau lemak atau terlalu kecilnya afinitas untuk gugus air. Hal ini ditunjukkan oleh
keterbatasan kelarutan dalam air. Demikian juga sebaliknya, apabila rantai hidrofobiknya terlalu
pendek, komponen tidak akan terlalu bersifat aktif permukaan (surface active) karena ketidakcukupan

5
gugus hidrofobik dan akan memiliki keterbatasan kelarutan dalam minyak. Pada umumnya, panjang
rantai terbaik untuk surfaktan adalah asam lemak dengan 10-18 atom karbon (Swern 1979).
Menurut Hovda (1994) karakteristik bahan baku memberikan pengaruh terhadap kualitas
produk MES yang dihasilkan. Adapun sifat fisikokimia metil ester stearin yang dapat diuji meliputi:
bilangan asam, bilangan iod, kadar gliserol total, total kadar gliserol bebas, kadar gliserol terikat,
bilangan penyabunan dan komposisi asam lemak metil ester stearin. Menurut Watkins (2001)
komposisi asam lemak metil ester stearin didominasi oleh C16 (ester asam lemak palmitat) dan C18:1
(ester asam lemak oleat) yaitu 51.05% dan 25.19 %. Asam lemak C16 dan C18 memiliki sifat deterjensi
yang baik sehingga sesuai untuk dimanfaatkan sebagai bahan baku pada proses produksi surfaktan.
Komposisi asam lemak metil ester seperti di atas dimiliki oleh stearin sawit seperti pada Tabel 1.

Tabel 1. Perbandingan komposisi asam lemak pada ME dari beberapa jenis minyak

Asam Lemak Kelapa Inti Sawit Stearin Sawit Tallow


C12-C14 C8-C18 C16-C18 C16-C18
Kaplirat (C8) - 5.2 - -
Kaprat (C10) - 4.4 - -
Laurat (C12) 71.5 51.0 0,2 -
Miristat (C14) 28.0 15.0 1,5 3.1
Palmitat (C16) 0.6 7.2 65.4 31.6
Stearat (C18) - 17.2 32.2 63.6
Arakidat (C20) - - 0.7 1.8
Sumber: Sheat dan MacArthur (2002)

Stearin merupakan produk hasil dari proses fraksinasi CPO, proses fraksinasi CPO
menghasilkan 73% olein, 21% stearin, 5% destilat asam lemak minyak sawit (palm fatty acid destilate
/PFAD) dan 0.5% losses. Saat ini stearin banyak digunakan sebagai bahan baku pembuat margarin
dan shortening, dengan produktifitas CPO yang tinggi stearin prospektif untuk dikembangkan menjadi
surfaktan MES karena memiliki availability/ketersedian bahan baku yang selalu tersedia dan
terbaharui. Stearin termasuk ke dalam lemak nabati yang memiliki rantai ikatan C 16-C18 dominan,
yang memiliki daya deterjensi tinggi sehingga memungkinkan akan berkemampuan tinggi dalam
memperkecil nilai interfacial tension (IFT) apabila diproduksi menjadi surfaktan MES (LIPI 2008).
Menurut MacArthur (2002) asam lemak yang mempunyai atom C12-C14 berperan terhadap
pembusaan, sedangkan asam lemak yang mempunyai C 16-C18 berperan terhadap kekerasan dan
deterjensi. Metil ester palm stearin memiliki rasio distribusi asam lemak dari C 16 hingga C18 sebesar
2:1. Bahan ini menghasilkan produk MES dengan nilai krafft point minimum 17°C dan ini merupakan
nilai maksimum kelarutan dalam air dingin, dibandingkan dengan kombinasi C16 dan C18 lainnya.
Proses produksi surfaktan MES dilakukan dengan mereaksikan metil ester dengan agen
sulfonasi. Pereaksi yang dapat dipakai pada proses sulfonasi antara lain asam sulfat (H 2SO4), oleum
(larutan SO3 di dalam H2SO4), sulfur trioksida (SO3), NH2SO3H, dan ClSO3H (Bernardini 1983).
Proses sulfonasi berbeda dengan proses sulfatasi, walaupun secara struktur memiliki kesamaan. Pada
proses sulfonasi, SO3 terikat langsung pada atom karbon C sedangkan pada sulfatasi membentuk
ikatan karbon-oksigen-sulfur (Foster 1996).
Dari penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Rahmi (2010) melaporkan analisis sifat
fiskokimia dari metil ester dari stearin sawit adalah sebagai berikut:

6
Tabel 2. Hasil Analisis sifat fisikokimia metil ester stearin

Sifat fisikokimia Metil Ester Stearin Referensi


Bilangan asam (mg KOH/ g ME) 0.21 Maks. 0.5*
Bilangan iod (mg I/g ME) 29.91 Maks. 3.0 **
Kadar gliserol total (%b) 0.20 Maks. 0.5*
Kadar gliserol bebas (%b) 0.018 -
Kadar gliserol terikat (%b) 0.19 -
Bilangan penyabunan (mg KOH/g ME) 207.39
Komposisi ester asam lemak (%)
C12:0 0.07
C14:0 1.12
C16:0 51.05
C18:0 2.27
C18:1 25.19
C18:2 10.31
Keterangan: *Moretti dan Adami (2001), ** Sheat dan MacArthur (2002)

Menurut Speight (2002) dan Kucera (2001) reaksi sulfonasi adalah reaksi pembentukan asam
sulfonat (SO3H) pada molekul organik dengan menggunakan agen sulfonasi. Agen sulfonasi
didefinisikan sebagai komponen atau bahan yang dapat menggantikan ikatan hidrogen dalam suatu
senyawa dengan gugus sulfonat (SO3H). Karakteristik MES dari stearin sawit C16-C18 dapat dilihat
pada Tabel 3.

Tabel 3. Karakteristik MES dari stearin sawit C16-C18

Analisa Nilai
Metil ester sulfonat (MES) (%b/b) 83
Disodium karboksi sulfonat (di-salt) (%b/b) 3.5
Metanol (%b/b) 0.07
Hidrogen peroksida (% b/b) 0.13
pH 5.3
Klett color 5% aktif 310
Sodium metil sulfat (%) 7.2
Petroleum ether extractables (PEX) (% b/b)` 2.4
Sodium karboksilat (% b/b) 0.3
Sodium sulfat (% b/b) 7.2
Sumber: Sheats dan MacArthur (2002)

Menurut Watkins (2001) proses produksi metil ester sulfonat dilakukan dengan mereaksikan
metil ester dengan gas SO3 dalam falling film reactor pada suhu 80-90°C. Proses sulfonasi ini akan
menghasilkan produk berwarna gelap, sehingga dibutuhkan proses pemurnian meliputi pemucatan dan
netralisasi. Untuk mengurangi warna gelap tersebut, pada tahap pemucatan ditambahkan H 2O2 atau
larutan methanol, yang dilanjutkan dengan proses netralisasi dengan menambahkan larutan alkali
(KOH atau NaOH). Setelah melewati tahapan netralisasi, produk yang berbentuk pasta dikeringkan
sehingga produk akhir yang dihasilkan berbentuk concentrated pasta, solid flake, atau granula.
Menurut Hovda (1994) semakin tinggi suhu reaksi dalam reaksi sulfonasi maka produk yang
dihasilkan menjadi semakin gelap warnanya. Selain itu warna gelap dikarenakan reaksi gas SO 3

7
terhadap ikatan rangkap metil ester stearin sehingga terbentuk senyawa polisulfonat yang memiliki
ikatan rangkap terkonjugasi. Pada pembentukan warna, ikatan rangkap terkonjugasi berperan sebagai
kromofor, yaitu gugus fungsi yang dapat menyerap gelombang elektromagnetik pada senyawa
pemberi warna (Robert et al. 2008).
Menurut Matheson (1996) metil ester sulfonat (MES) telah mulai dimanfaatkan sebagai bahan
aktif pada produk-produk pembersih (washing and cleaning products). Pemanfaatan surfaktan jenis
ini pada beberapa produk adalah karena metil ester sulfonat memperlihatkan karakteristik dispersi
yang baik, sifat deterjensi yang baik terutama pada air dengan tingkat kesadahan yang tinggi (hard
water) dan tidak adanya fosfat, ester asam lemak C14, C16, dan C18 memberikan tingkat deterjensi
terbaik serta bersifat mudah didegradasi (good biodegradability). Dibandingkan petroleum sulfonat,
surfaktan MES menunjukkan beberapa kelebihan diantaranya yaitu pada konsentrasi MES yang lebih
rendah daya deterjensinya sama dengan petroleum sulfonat, dapat mempertahankan aktivitas enzim
yang lebih baik, toleransi yang lebih baik terhadap keberadaan kalsium, dan kandungan garam (disalt)
lebih rendah.

2.3 Produksi Tahap Lanjut/Enhanced Oil Recovery (EOR)

Peningkatan pengurasan minyak tahap lanjut/enhanced oil recovery merupakan usaha terkini
untuk meningkatkan produksi minyak pada lapangan tua yang telah mengalami penurunan produksi
yang signifikan, dimana water cut sudah sangat tinggi mendekati angka 99% di beberapa lapangan.
Pada kondisi ini, harus dilakukan implementasi teknologi pengurasan tahap lanjut agar dapat
menaikkan produksi minyak. Mengingat sebagian besar lapangan minyak di Indonesia telah
mengalami penurunan produksi atau pada tahap akhir dari primary dan secondary recovery,
sedangkan untuk menemukan lapangan-lapangan baru sangat sulit karena daerah yang belum
dieksplorasi kebanyakan berada di laut dalam yang beresiko tinggi. Oleh karena itu, pengembangan
teknologi pengurasan tahap lanjut merupakan keharusan (Eni et al. 2007).
Menurut Rachmat (2009) terdapat berbagai cara perolehan minyak tahap lanjut, yaitu dengan
cara injeksi fluida tak tercampur (non miscible flood); injeksi air, injeksi gas, injeksi fluida tercampur
(miscible flood), injeksi gas CO2, injeksi gas tak reaktif, injeksi gas yang diperkaya, injeksi gas kering,
injeksi kimiawi (chemical injection), injeksi alkalin, injeksi polimer, injeksi surfaktan, injeksi termal
(thermal injection); injeksi air panas, injeksi uap air, pembakaran di lubang sumur dan lain-lain.
Proses recovery minyak bumi dapat dikelompokkan atas tiga fase, yaitu fase primer (primer
phase), fase skunder (skunder phase), dan fase tersier (teritiary phase). Pada fase primer di terapkan
proses alami yang tergantung pada kandungan energi alam pada reservoir dan proses stimulasi
menggunakan asam (acidizing, metode fracturing, dan metode sumur horizontal), pada fase sekunder
diterapkan proses immiscible gas flood dan waterflood. Metode pada fase tersier sering juga disebut
sebagai metode enhanced oil recovery (EOR). Metode EOR didefinisikan sebagai suatu metode yang
melibatkan proses penginjeksian material yang menyebabkan perubahan dalam reservoir seperti
komposisi minyak, suhu, rasio mobilitas, dan karakteristik interaksi batuan fluida (Gomaa 1997).
Menurut Emegwalu (2009) EOR mengacu pada recovery minyak yang tertinggal setelah
metode pemulihan primer dan sekunder.
 Produksi primer adalah dimana pertama kali minyak keluar (easy oil). Setelah sumur dibor
dan diselesaikan di zona reservoir hidrokarbon, tekanan alami pada kedalaman reservoir yang
akan menyebabkan minyak mengalir melalui batuan menuju lubang sumur yang tekanan
rendah, sehingga menyebabkan minyak terangkat ke permukaan dengan sendirinya. Recovery
pada tahap ini berada pada kisaran 10-15% dari OOIP.

8
 Metode recovery sekunder (secondary recovery)digunakan ketika ada tekanan bawah tanah
cukup untuk memindahkan sisa minyak. Teknik yang paling umum adalah waterflooding,
yang menggunakan sumur injektor untuk memasukkan air dalam jumlah besar ke dalam
reservoir untuk menjaga tekanan dan menyapu minyak ketika air bergerak melalui reservoir.
Recovery yang diperoleh adalah antara 10-30% dari OOIP.
 Proses tersier yang diperoleh setelah recovery sekunder menggunakan miscible gases, bahan
kimia/termal recovery untuk mendapatkan additional oil setelah proses recovery sekunder
menjadi tidak ekonomis.

Menurut Wahyono (2009) EOR dilakukan pada tahap kedua dan ketiga. Karena dilakukan di
lapangan-lapangan yang secara primary recovery sudah susah ditingkatkan. Untuk kepentingan ini
maka dilakukanlah injeksi air/waterflooding dan kemudian injeksi kimia/chemical injection.
Mekanisme perolehan minyak bumi dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Mekanisme perolehan minyak bumi (Wahyono 2009).

Dalam metode injeksi kimia, surfaktan flooding merupakan proses yang sangat efektif untuk
me-recovery sebagian besar minyak konvensional (25°API atau lebih tinggi) yang tersisa di reservoir
setelah waterflood yang mampu mendapatkan sebanyak 60% OOIP. Prinsip dasar dari penggunaan
surfaktan flooding adalah untuk memulihkan sifat kapiler minyak yang tersisa/residual oil yang masih
terjebak saat waterflooding dengan menginjeksikan larutan surfaktan. Residual oil dapat didesak
bergerak melalui pengurangan tegangan antarmuka (IFT) antara minyak dan air. Jika IFT dapat
dikurangi antara minyak dan air, resistansi terhadap aliran pasti berkurang. Jika surfaktan yang dipilih
adalah tepat, penurunan IFT dapat sebanyak 10-3 dyne/cm, dan recovery yang dihasilkan berkisar 10-
20% dari OOIP, jika tidak producible oleh teknologi lainnya, secara teknis dan ekonomis layak
dengan surfaktan flooding.
Menurut Nummedal et al. (2003) peningkatan perolehan minyak bumi (oil recovery) dapat
dilakukan dengan cara menambahkan surfaktan ke dalam air injeksi. Proses perolehan minyak bumi

9
menggunakan surfaktan disebut dengan surfaktan flooding, karakteristik air/fluida yang diinjeksikan
ke dalam sumur minyak bumi harus sesuai dengan karakteristik air formasi yaitu air yang berada di
dalam cekungan minyak bumi. Demikan pula dengan penginjeksian surfaktan (umumnya bahan
kimia), disyaratkan tidak mengubah kondisi formasi yang telah ada di dalam reservoir minyak bumi.
Menurut Ayirala (2002) ketika surfaktan diinjeksikan, surfaktan menyebar ke dalam minyak
dan air dan tegangan antarmuka yang rendah meningkatkan capillary number. Hasilnya, lebih banyak
minyak yang tadinya dalam kondisi immobile berubah menjadi mobile. Menyebabkan perbaikan rasio
mobilitas yang efektif. Technology Assesment Board (1978) menyatakan bahwa surfactant flooding
merupakan proses yang sangat kompleks, namun demikian mempunyai potensi peningkatan recovery
minyak.
Pemilihan surfaktan merupakan proses yang penting dalam mempengaruhi keberhasilan
enhanced oil recovery. Sebelum proses implementasi, dibutuhkan penelitian laboratorium yang
intensif untuk mendapatkan surfaktan yang cocok pada reservoir. Selain itu, parameter lain seperti
konsentrasi optimal, laju injeksi, dan kelakuan surfaktan pada kondisi reservoir, harus telah diuji
dengan baik. Beberapa percobaan yang dapat dilakukan dalam memilih surfaktan di antaranya adalah:
uji kelarutan minyak, efek dari elektrolit, uji densitas dan uji viskositas larutan surfaktan, identifikasi
formula optimal surfaktan-cosolvent, dan identifikasi formulasi optimal untuk percobaan core flood
(Lake 1989). Ilustrasi injeksi surfaktan dalam EOR dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Skematik enhanced water flooding pada aplikasi di lapangan minyak (Gurgel et al. 2008).

Ayirala (2002) menjelaskan bahwa faktor yang mempengaruhi interaksi antara surfaktan
dengan permukaan pori batuan yang berpengaruh terhadap wettability/sifat kebasahan adalah: struktur
surfaktan, konsentrasi surfaktan, komposisi permukaan pori, stabilitas thermal surfaktan, co-surfaktan,
elektrolit, pH dan temperatur, porositas dan permeabilitas batuan serta karakteristik reservoir.
Adsorpsi surfaktan pada antar muka padat-cair merupakan kondisi yang tidak diperlukan tetapi
dibutuhkan untuk perubahan kebasahan/wettability. Sejumlah penelitian telah menunjukkan bahwa
wettability berubah dari oil-wet ke water-wet karena adsorpsi surfaktan.
Water flooding merupakan injeksi air yang dilakukan pada tahap kedua produksi (secondary
recovery) yang menjadi salah satu pilihan EOR Pertamina saat ini. Injeksi air merupakan salah satu
metode peningkatan perolehan minyak yang banyak digunakan di industri perminyakan. Hal ini
karena air mudah diperoleh, murah dan memiliki mobilitas yang cukup rendah sehingga diharapkan

10
pendesakannya baik.Sedangkan yang menggunakan bahan kimia yang dicampur dengan air dilakukan
pada tertiary recovery/EOR (Wahyono 2009).

2.4 Formula Surfaktan untuk Enhanced Oil Recovery

Pemilihan surfaktan merupakan proses terpenting yang mempengaruhi keberhasilan proses


injeksi surfaktan. Sebelum proses implementasi, pengkajian laboratorium secara ekstensif diperlukan
dalam rangka memastikan surfaktan yang dipilih tepat untuk suatu reservoir. Juga, parameter seperti
konsentrasi surfaktan, laju injeksi, dan kelakuan surfaktan pada kondisi reservoir, harus diuji dan
dipastikan. Ini memberikan pengetahuan terhadap kelebihan dan kekurangan surfaktan dengan
memperhatikan keuntungan terhadap reservoir, dan dapat membantu dalam prediksi perolehan
minyak. Beberapa uji dapat digunakan dalam rangka pemilihan surfaktan diantaranya: uji kelarutan
minyak, pengaruh elektrolit, uji densitas larutan surfaktan, uji viskositas larutan surfaktan, uji waktu
kelarutan, identifikasi formulasi optimal surfaktan-co-solvent, dan core flood (Lake 1989).
Untuk mendapatkan gambaran peningkatan recovery minyak, sejumlah penelitian di
laboratorium harus dilaksanakan, uji kompatibilitas, pengukuran IFT (sebagai parameter terpenting),
uji kelakuan fasa, injektifitas, dan adsorbsi surfaktan oleh batuan, sebelum implementasi surfaktan di
lapangan (Eni et al. 2007). Adapun karakteristik formula surfaktan yang diharapkan untuk EOR
menurut BPMIGAS (2009) adalah sebagai berikut:
 Kompatibilitas : Positif
 Adsorpsion : < 400 µg/gr batuan
 IFT : 10-2 – 10-4 dyne/cm
 Temperatur : stabil, sesuai suhu reservoir
 pH : 6-8
 Bentuk fasa : tipe III (fasa tengah) atau minimal tipe II (-)
 Recovery oil : 10-20 % incremental
 Filtration Rate : < 1.2

Subjek penting lainnya pada surfaktan untuk enhanced water flooding adalah adsorpsi
surfaktan. Adsorpsi surfaktan merupakan pertimbangan penting dalam semua penerapan dimana
surfaktan akan kontak dengan permukaan padat. Banyak surfaktan teradsorpsi pada sela batuan hingga
terjadi interaksi elektrostatik antara lokasi aplikasi pada permukaan padat dan surfaktan. Faktor yang
mempengaruhi adsorpsi surfaktan dalam sebuah reservoir meliputi temperatur, pH, salinitas, tipe
surfaktan, dan tipe batuan. Seperti biasa, satu-satunya faktor yang dapat dimanipulasi untuk tujuan
enhanced oil recovery adalah tipe surfaktan, yang disesuaikan dengan kondisi reservoir (Ayirala
2002).
Surfaktan dapat menghasilkan ultra-low IFT antara air dan minyak, yang dapat menarik
minyak yang terperangkap di batuan. Kinerja surfaktan tergantung pada berbagai kondisi seperti sifat
minyak, temperatur reservoir dan kondisi ionik. Oleh karena itu formulasi surfaktan harus dirancang
dan diuji secara spesifik pada kondisi reservoir, tidak kalah pentingnya adalah kemampuan untuk
menyebarkan surfaktan dan bahan kimia lain yang diperlukan melalui media berpori dalam tekanan
rendah dan mempertahankan kontrol mobilitas (Leviit 2006). Sugihardjo et al. (2002) menambahkan
bahwa efektifitas surfaktan dalam menurunkan tegangan antar muka minyak-air dipengaruhi oleh
beberapa faktor, diantaranya jenis surfaktan yang digunakan, konsentrasi surfaktan dan co-surfaktan
yang digunakan, kadar garam larutan dan adsorpsi larutan co-surfaktan.
Menurut Nuraini et al. (2004) dengan turunnya tegangan antarmuka minyak-air, maka tekanan
kapiler yang bekerja pada daerah penyempitan pori-pori akan berkurang, sehingga sisa minyak yang

11
terperangkap dalam pori-pori batuan mudah didesak dan diproduksikan. Surfaktan bila dilarutkan di
dalam air atau minyak, akan membentuk micelle yang merupakan mikroemulsi dalam air atau minyak.
Micelle berfungsi sebagai media yang bercampur (miscible) baik dengan minyak maupun air secara
serentak. Untuk mendapatkan nilai tegangan antarmuka minyak-air yang lebih rendah, maka
ditambahkan co-surfaktan. Pada umumnya co-surfaktan yang digunakan adalah alkohol/ROH (C4, C5
dan C6). Menurut Ayirala (2002) co-surfaktan yang ditambahkan ke dalam surfaktan dapat
berinteraksi dengan surfaktan didalam larutan untuk memperbaiki karakteristik surfaktan. Beberapa
alkohol dapat menurunkan tegangan antarmuka. Pencampuran surfaktan seperti anionik dan non
anionik dapat menurunkan adsorpsi surfaktan.
Penurunan nilai IFT yang timbul dari penambahan surfaktan ke suatu larutan akan mengurangi
pengaruh gaya kapiler. Jika IFT dapat diturunkan mencapai nilai yang cukup, mobilisasi minyak
secara fisik dapat terjadi. Nilai IFT antar minyak dan air berada pada kisaran nilai 35-36mN/m
(1mN/m = 1dyne/cm), dengan menambahkan surfaktan ke dalam system, nilai tersebut dapat
diturunkan secara signifikan mencapai ultra-low IFT 1 x 10-3 mN/m (Nasiri 2011).
Tegangan antarmuka (IFT) antara minyak/air merupakan salah satu parameter utama dalam
EOR. Pengukuran nilai IFT menggunakan alat spiningdrop interfacial tension pada suhu sekitar 70°C.
Indikasi dari kinerja surfaktan adalah menurunnya tegangan antar muka minyak-air, semakin rendah
semakin baik. Nilai IFT yang diyakini agar surfaktan tersebut layak untuk diinjeksikan adalah sekitar
10-3 dyne/cm (Eni et al. 2007).
Leviit (2006) menyatakan bahwa ultra-low IFT pada nilai 10-3 dyne/cm diperlukan untuk
memobilisasi residual oil yang terdapat dalam batuan reservoir dan mengurangi jumlah residual oil
yang jenuh menuju nol pada reservoir. Ditambahkankan oleh Drelich et al. (2002) produksi minyak
dengan menggunakan proses surfactant flooding sangat dipengaruhi oleh kemampuan surfaktan dalam
menurunkan tegangan antarmuka (IFT).
Menurut Technology Assessment Board (1978) larutan yang diinjeksikan pada umumnya
mengandung 95% air formasi/air injeksi (brine), 4% surfaktan, dan 1% aditif. Aditif biasanya berupa
alkali yang ditambahkan untuk mengatur viskositas larutan.
Sugihardjo et al. (2002) menyatakan bahwa alkali/aditif yang boleh dipergunakan adalah
natrium hidroksida (NaOH) dan natrium karbonat (Na2CO3) dengan batas maksimal penggunaan 1%
untuk memaksimalkan kinerja surfaktan dalam menurunkan tegangan antarmuka. Menurut Jackson
(2006) penggunaan alkali juga harus mempertimbangkan sifat kimia dari reservoir. Bahkan ketika
natrium karbonat memiliki kinerja yang baik pada phase behaviour, tetap harus diuji dengan contoh
batuan reservoir karena reaksi kimia yang rumit dapat terjadi dengan mineral-mineral batuan.
Menurut Sheng (2011) terdapat 6 alkali yang dapat digunakan untuk menurunkan IFT adalah
NaOH, Na2SiO3, Na4SiO4, Na3PO4, NaHCO3, dan Na2CO3. Alkali dalam terkait injeksi kimia,
penambahan alkali seperti natrium karbonat meningkatkan kekuatan ion (salinitas). Konsentrasi alkali
meningkat, menyebabkan salinitas optimum menurun. Hal tesebut membuat anjuran untuk
mengurangi salinitas optimal. Menurut Hirasaki dan Zhang (2009) alasan memilih natrium karbonat
sebagai alkali dalam formulasi surfaktan diantaranya adalah:
1. pH yang cukup tinggi menghasilkan surfaktan alami dari reaksi penyabunan in situ dari
kandungan asam naftenat dalam minyak mentah.
2. Natrium karbonat menekan konsentrasi ion kalsium (Ca2+).
3. Natrium karbonat lebih dapat mengurangi tingkat pertukaran ion dan pelepasan mineral
(dalam batu pasir) dibandingkan dengan natrium hidroksida.
4. Adsorpsi surfaktan anionik rendah dengan penambahan alkali, khususnya dengan natrium
karbonat.

12
5. Endapan karbonat tidak mempengaruhi permeabilitas dibandingkan dengan hidroksida dan
silikat.
6. Natrium karbonat adalah alkali yang tidak mahal.

Selain itu Jackson (2006) juga menyatakan bahwa penambahan natrium karbonat/sodium
carbonate digunakan karena dapat menurunkan adsorpsi surfaktan anionik pada batuan reservoir.
Karenanya, perambatan/aliran surfaktan dapat lebih cepat dan memungkinkan lebih sedikit surfaktan
yang diinjeksi. Besarnya nilai pH yang dihasilkan dari penambahan natrium karbonat telah membantu
menjaga kestabilan beberapa surfaktan dan dapat pula digunakan dalam memperbaiki hidrasi polimer.
Surfaktan diharapkan dapat menurunkan tegangan antar muka antara minyak dan air sehingga
tekanan kapiler minyak dan batuan berkurang. Menurut Emegwalu (2009) tekanan kapiler yang tinggi
menyebabkan recovery factor yang rendah. Tekanan kapiler yang rendah diperlukan untuk me-
recovery sebagian besar sisa minyak yang masih terjebak setelah waterflooding. Dengan turunnya
tegangan antarmuka tersebut, minyak akan terkonsentrasi pada permukaan batuan. Pada akhirnya,
surfaktan dapat mengikat minyak dan minyak dapat diproduksi.
Pengaruh dari IFT dalam recovery minyak dimodelkan oleh kurva capillary desaturation,
dimana saturasi residual oil berkorelasi dengan fungsi capillary number. Capillary number (Nc)
didefinisikan sebagai rasio viskositas dan gaya kapiler. Capillary number secara umum dapat dihitung
dari persamaan di bawah ini:

𝑣𝜇
𝑁𝑐 =
𝜎 cos ø

Keterangan:
v = laju alir efektif (cm/s)
µ = viskositas larutan pendesak (cp)
σ = tegangan antarmuka (dyne/cm)
Ø= sudut kontak kebasahan/wetting angle

Menurut Emegwalu (2010) peningkatan nilai capilary number mengindikasikan peningkatan


recovery minyak sisa/residual oil. Peningkatan viskositas dari fluida menyebabkan peningkatan
kecepatan perpindahan yang tidak efektif. Namun, nilai Nc yang besar dapat dicapai dengan cara
mengurangi tegangan antarmuka (IFT) antara air dan minyak dengan menggunakan surfaktan.
Korelasi antara minyak yang dapat diperoleh dan nilai capillary number dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7. Hubungan capillary number dengan oil recovery (Chatzis dan Morrow 1994).

13
Waterflood pada kondisi water-wet biasanya memiliki nilai Nc berkisar antara 10-7-10-5.
Critical capillary number berada pada kisaran 10-5-10-4 . Namun pada kondisi desaturasi oil-wet nilai
Nc berada pada kisaran 10-2-10-1 (Emegwalu 2010).

2.5 Uji Kinerja Surfaktan

2.5.1 Kestabilan Terhadap Panas (Thermal Stability)

Salah satu faktor yang mempengaruhi efektifitas formula surfaktan selama mengalir
dalam media berpori adalah degradasi molekul surfaktan. Salah satu jenis degradasi surfaktan
adalah degradasi thermal yang disebabkan oleh suhu yang tinggi (Sugihardjo et al. 2001).
Menurut Ayirala (2002) secara normal dibutuhkan waktu yang lama untuk surfaktan
berpindah melewati pori batuan reservoir dan mengubah wettability permukaan pori batuan.
Surfaktan harus menjaga struktur kimia dan tegangan antarmuka. Stabilitas surfaktan pada
temperatur reservoir dalam fluida reservoir dapat ditentukan melalui pengukuran interfacial
tension di laboratorium.

2.5.2 Kelakuan Fasa (Phase Behaviour)

Pengamatan di laboratorium terhadap kelakuan fasa fluida campuran antara surfaktan, air
injeksi dan minyak dilakukan dengan cara uji tabung, yaitu mencampurkan masing-masing
fluida tersebut kedalam tabung reaksi dengan perbandingan volume dan kombinasi konsentrasi
tertentu. Campuran yang terbentuk tersebut dikocok dan kemudian dipanaskan dalam oven
hingga mencapai suhu reservoir, sehingga terbentuk fasa yang stabil, yang kemudian diamati
kondisi fasanya (Sugihardjo et al. 2002). Menurut Leviit (2006) transisi pada phase behaviour
dapat disebabkan oleh perubahan variabel seperti salinitas, temperatur, struktur surfaktan, atau
equivalen alkane carbon number (EACN) dari minyak.
Penentuan kelakuan fasa campuran surfaktan-air-minyak merupakan faktor penting dalam
memperkirakan kinerja peningkatan perolehan minyak dengan proses injeksi surfaktan. Proses
emulsifikasi dapat menurunkan tegangan antar muka antara fluida pendorong dengan minyak.
Pada dasarnya campuran surfaktan-air-minyak dapat membentuk beberapa macam jenis emulsi
yang diantaranya dapat menurunkan tegangan antar muka ke tingkat yang sangat rendah, yaitu
dengan orde 10-2 sampai dengan 10-4 dyne/cm, yang dapat digunakan dalam injeksi kimia
(Sugihardjo et al. 2002).
Kelakuan fasa larutan surfaktan sangat dipengaruhi oleh salinitas air formasi. Secara
umum, meningkatkan kosentrasi salinitas menurunkan kelarutan surfaktan anionik dalam air
formasi/injeksi. Surfaktan didorong keluar dari air formasi dengan meningkatnya konsentrasi
elektrolit (Sheng 2011).
Menurut Sugihardjo et al. (2002) secara umum kondisi fasa campuran yang terbentuk dan
setelah dilakukan pengamatan secara kasat mata diklasifikasikan dalam 4 kategori.
1. Emulsi fasa bawah: emulsi yang terbentuk dalam fasa air, dalam kondisi dua fasa,
berwarna translucent (jernih tembus cahaya) pada umumnya terbentuk pada kadar
salinitas rendah, dan Vw/Vs>Vo/Vs.
2. Mikroemulsi atau emulsi fasa tengah: emulsi terbentuk di fasa tengah, dalam kondisi tiga
fasa (air-mikroemulsi-minyak), berwarna translucent, terbentuk pada kadar salinitas
optimum, Vw/Vs=Vo/Vs.

14
3. Emulsi fasa atas: emulsi yang terbentuk di fasa minyak, dalam kondisi dua fasa, berwarna
jernih, pada kadar salinitas di atas optimal salinitas cenderung membentuk emulsi di fasa
atas, Vw/Vs<Vo/Vs. (keterangan: Vw= volume air, Vs= volume surfaktan, Vo= volume
minyak)
4. Makroemulsi: emulsi yang terbentuk kental, berwarna putih susu (milky), ukuran
makroemulsi sangat besar (2000-100.000 A).

Kelarutan fasa dan proses kelarutan dapat digambarkan dalam diagram ternery yang
terdiri dari tiga komponen yaitu: minyak, surfaktan dan air injeksi/brine. Diagram ternery yang
sederhana terdiri dari sistem tiga komponen (pseudoternary diagram): surfaktan-minyak-air.
Dalam proses EOR, bagian penting diagram ternery adalah daerah tiga fasa. Bentuk umum
diagram ternery tersebut dapat diklasifikasikan sebagai: tipe II (-), yaitu emulsi fasa bawah dan
kelebihan fasa minyak; tipe II (+), yaitu emulsi fasa atas dengan kelebihan fasa air/larutan
surfaktan; dan tipe III, yaitu mikroemulsi fasa tengah. Diagram ternery tersebut dapat dilihat
pada Gambar 8.

Salinitas rendah Salinitas optimum Salinitas tinggi


Fasa bawah/tipe II (-) Fasa tengah/tipe III Fasa atas/tipe II (+)

Gambar 8. Diagram ternery air-surfaktan-minyak (Pope 2007).

Jenis emulsi yang paling diharapkan dalam proses EOR/injeksi surfaktan adalah emulsi
fasa tengah (phase form III) atau mikroemulsi atau paling tidak emulsi fasa bawah (Sugihardjo
et al. 2002). Pada kondisi tersebut nilai tegangan antar muka yang dihasilkan adalah nilai IFT
yang sangat rendah sehingga proses pendesakan minyak bumi dapat dipastikan berjalan efektif.
Pada penelitian ini digunakan uji tabung untuk mengetahui kelakuan fasa yang terjadi pada
campuran minyak-air-surfaktan setelah perlakuan suhu.
Sugihardjo et al. (2001) menyatakan dalam fasa campuran yang membentuk
mikroemulsi, mempresentasikan kondisi pendesakan terbaur (miscible displacement).
Sedangkan dalam fasa campuran yang membentuk emulsi (fasa atas atau fasa bawah),
mempresentasikan kondisi pendesakan tak berbaur (immiscible displacement). Kelakuan fasa
campuran tersebut, sangat dipengaruhi oleh: salinitas air pelarut, jenis dan konsentrasi alkohol,
suhu, jenis dan konsentrasi surfaktan serta jenis minyak.

15
2.5.3 Uji Filtrasi (Filtration Test)

Tujuan uji filtrasi adalah untuk memberikan gambaran apakah surfaktan yang akan
dinjeksikan akan membentuk pluging atau tidak. Uji filtrasi dilakukan dengan melewatkan 500
ml larutan surfaktan melalui membran saring ukuran 0.22 mikron dengan diberi tekanan 1.5 bar.
Setiap 50 ml larutan surfaktan yang melewati kertas saring, dicatat waktunya. Kemudian dibuat
grafik volume (ml) versus waktu (detik) (Eni et al. 2000).

2.6 Core Flooding Test

2.6.1 Formasi Reservoir

Hampir semua aplikasi kimia EOR berada pada reservoir batu pasir, dan beberapa
proyek stimulasi pada reservoir batu karbonat. Salah satu alasan sedikitnya aplikasi surfaktan
di reservoir karbonat adalah karena surfaktan anionik memiliki adsorpsi yang tinggi dalam
karbonat. Alasan lain adalah bahwa anhidrit sering ada di karbonat, yang menyebabkan
presipitasi/endapan dan kebutuhan alkali yang tinggi (Sheng 2011).
Kebanyakan formasi reservoir terdiri dari campuran silika, clays, batu gamping dan
dolomit. Berdasarkan kecenderungan wettability dari komponen matrik silika, sering
diasumsikan kebanyakan reservoir minyak bersifat suka air/water-wet. Walau begitu banyak
reservoir yang bersifat oil wet ditemukan melalui analisis laboratorium dengan mengukur sudut
kontak antara fluida dan batuan reservoir dari berbagai daerah di dunia (Ayirala 2002).
Menurut Lake (1987) reservoir-reservoir minyak bumi berbeda dalam hal geologis
alamnya, kandungan air dalam reservoir, dan sebagainya. Berdasarkan hal tersebut, metode
optimum untuk me-recovery minyak bumi dalam jumlah yang maksimum pada suatu reservoir
berbeda terhadap reservoir yang lain.
Banyak hal yang mempengaruhi perolehan minyak dari sumur, diantaranya adalah
porositas, dan permeabelitas dari batuan reservoir. Porositas adalah kemampuan untuk
menyimpan, sedangkan permeabilitas yaitu kemampuan untuk melepaskan fluida tanpa
merusak partikel pembentuk atau kerangka batuan. Porositas dan permeabilitias sangat erat
hubungannyan sehingga dapat dikatakan bahwa permeabilitas tidak mungkin ada tanpa adanya
porositas, walaupun sebaliknya belum tentu demikian (Nurwidiyanto et al. 2005). Gambaran
struktur batu pasir dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9. Penampang batu pasir/sandstone (Loehardjo et al. 2007).

Menurut Rachmat (2009) batuan reservoir didefinisikan sebagai suatu wadah yang di isi
dan di jenuhi minyak dan/atau gas, merupakan lapisan berongga/berpori-pori. Secara teoritis
semua batuan, baik batuan beku maupun batuan metaforf dapat bertindak sebagai batuan
reservoir, tetapi pada kenyataan ternyata 99% batuan reservoir adalah batuan sedimen.

16
Batuan reservoir adalah wadah di bawah permukaan bumi yang mengandung minyak
dan gas, sedangkan bila berisi air disebut aquifer. Batu pasir merupakan batuan yang penting
pada reservoir maupun aquifer. Sekitar 60% dari reservoir minyak terdiri atas batu pasir dan
30% terdiri atas batu gamping dan sisanya adalah batuan lain.
Menurut Rachmat (2008) temperatur reservoir merupakan fungsi dari kedalaman.
Hubungan ini dinyatakan oleh gradient geothermal. Harga gradient geothermal itu berkisar
antara 0.3°F/100 ft sampai dengan 4°F/100 ft. Tekanan reservoir didefinisikan sebagai tekanan
fluida didalam pori-pori reservoir, yang berada dalam keadaan setimbang, baik sebelum
maupun sesudah dilakukannya suatu proses produksi. Berdasarkan hasil penyelidikan, besar
tekanan reservoir mengikuti suatu hubungan yang linear dengan kedalaman reservoir tersebut
ke permukaan, sehingga reservoir menerima tekanan hidrostatis fluida pengisi formasi.
Berdasarkan ketentuan ini, maka pada umumnya gradient tekanan berkisar antara 0.435 psi/ft.
Menurut Wahyono (2009) porositas adalah suatu besaran yang menyatakan
perbandingan antara volume ruang kosong (pori-pori) di dalam batuan terhadap volume total
batuan (bulk volume). Porositas dinyatakan dalam fraksi atau dalam persen (%). Permeabilitas
didefinisikan sebagai suatu ukuran kemampuan batuan berpori untuk melalukan fluida
(memindahkan dari suatu tempat ke tempat lain). Permeabilitas dinyatakan dalam Darcy atau
mdarcy, 1 darcy adalah ukuran kemampuan batuan untuk melalukan fluida pada kecepatan
1cm3/detik dengan viskositas 1 centipoise melalui penampang pipa/pori 1 cm2 sepanjang 1 cm,
pada perbedaan tekanan sebesar 1 atmosfir.
Beberapa reservoir secara alami bersifat padat dan memperlihatkan permeabilitas yang
rendah yang diakibatkan oleh kandungan endapan lumpur dan lempung yang tinggi serta
ukuran butiran yang kecil. Pada beberapa kasus, permeabilitas yang rendah terjadi pada daerah
sekitar sumur bor yang mengalami penyumbatan selama proses pengeboran (drilling)
berlangsung. Sumur yang mengalami kerusakan akibat pengeboran dan ditambah dengan
reservoir yang padat akibat kandungan mineralnya memperlihatkan laju produksi yang rendah
sehingga sering menjadi tidak ekonomis. Kondisi ini tetap akan ada walaupun tekanan
reservoir tinggi. Pada kondisi ini, pemberian tekanan menggunakan injeksi fluida tidak akan
memberikan keuntungan. Injeksi tekanan akan menjadi terlalu tinggi akibat permeabilitas
reservoir yang rendah (Economides dan Nolte 1989).
Menurut Koesoemadinata (1978) porositas dikelompokkan menjadi diabaikan
(negligible) 0–5%, buruk (poor) 5–10%, cukup (fair) 10–15%, baik (good) 15–20%, sangat
baik (very good) 20–25% dan istimewa (excellent) > 25 %. Permeabilitas beberapa reservoir
dikelompokkan menjadi ketat (tight) < 5 mD, cukup (fair) 5–10 mD, baik (good) 10–100 mD,
baik sekali 100–1000 mD dan (very good) >1000 mD.
Menurut Allen and Robert (1993) selain porositas dan permeabelitas sifat reservoir juga
dipengaruhi oleh sifat kebasahan/ wettability, wettability merupakan sifat kebasahan
permukaan batuan. Batuan bersifat water-wet berarti batuan tersebut lebih mudah dibasahi oleh
air daripada minyak. Demikian juga sebaliknya batuan oil-wet maksudnya batuan tersebut lebih
mudah dibasahi oleh minyak daripada air. Hal ini menyebabkan batuan yang bersifat oil wet
atau sifat kebasahan terhadap minyak besar menyebabkan minyak mudah terperangkap
sehingga mengakibatkan residual oil.
Boneau and Clampitt (1977) melakukan percobaan core flooding baik pada batuan pasir
yang bersifat oil-wet dan water-wet dengan permeabilitas, porositas dan struktur pori yang
sama menggunakan surfaktan dan mendapatkan recovery minyak tersier dalam range 55-65%
pada batuan pasir yang bersifat oil-wet dan 90-95% pada batuan pasir yang bersifat water-wet.

17
Surfaktan mendesak lebih sedikit minyak dari batuan pasir yang bersifat sangat oil-wet karena
tiga sampai lima kali lebih banyak jumlah sulfonat teradsorpsi pada batuan pasir yang bersifat
oil-wet daripada batuan pasir yang bersifat water-wet.
Menurut Kristanto (2010) prinsip dasar dari soaking surfaktan ini adalah
menginjeksikan sejumlah tertentu chemical ke dalam reservoir dengan anggapan minyak yang
dapat terdorong oleh air (waterflooding) akan bergerak menjauhi lubang sumur dan yang akan
bereaksi hanya residual oil yang tidak terkuras/tersapu oleh air, setelah itu surfaktan yang
diinjeksikan akan bekerja dan bereaksi dengan menurunkan tegangan antarmuka pada saat
perendaman/soaking dilakukan karena surfaktan mempunyai kemampuan untuk menurunkan
tegangan antarmuka (IFT).

2.6.2 Fluida Reservoir

Menurut Rachmat (2008) fluida reservoir terdiri dari minyak, gas dan air formasi.
Minyak dan gas kebanyakan merupakan campuran rumit dari berbagai senyawa hidrokarbon,
yang terdiri dari golongan naftan, paraffin, aromatik dan sejumlah kecil gabungan oksigen,
nitrogen, dan belerang. Sheng (2011) menambahkan bahwa komposisi minyak sangat penting
untuk alkali-surfaktan flooding karena surfaktan yang berbeda harus dipilih untuk minyak yang
berbeda.
Air formasi merupakan fluida reservoir yang tercampur dan terangkat bersama minyak
bumi kepermukaan, bersifat asin dengan salinitas rata-rata diatas air laut, kandungan utama air
formasi adalah unsur Ca (kalsium), Na (natrium), dan Chlor (Cl) yang dapat ditemukan dalam
jumlah besar. Sedangkan air injeksi adalah air yang memiliki komposisi dan konsentrasi yang
berbeda dengan air formasi. Air injeksi merupakan air yang telah diolah untuk diinjeksikan
kembali ke dalam batuan reservoir melalui sumur injeksi untuk meningkatkan perolehan
minyak pada fase sekunder/waterflooding. Perbandingan Air formasi dan air injeksi secara
umum dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Contoh Kandungan Mineral Air Formasi/Injeksi Lapangan X


Jenis Air Air Formasi Air Injeksi
Kation mg/L mg/L
Sodium 5763 9862
Kalsium 296.6 256.5
Magnesium 41.3 1079.8
Ferrum 6.7 6.7
Anion
Klorida 9041.5 17019.4
Bikarbonat 842 134.2
Sulfat - 2317.3
Karbonat - -
Total 15,991.10 30,675.90
Sumber: Sugihardjo et al. (2002).

Menurut Sugihardjo et al. (2002) air formasi sumur minyak di Indonesia memiliki kadar
garam bervariasi antara 2000 sampai dengan 30.000 ppm NaCl (b/b). Salinitas adalah besarnya
kandungan garam-garam yang terdapat di dalam air formasi. Menurut Koesoemadinata dan

18
Speight (1980) secara garis besar minyak bumi mempunyai komposisi seperti terlihat pada
Table 5.

Tabel 5. Komposisi minyak bumi secara umum


Komponen % Bobot
Karbon 83,9-86,8
Hidrogen 11,4-14,0
Belerang 0,06-0,08
Nitrogen 0,11-1,70
Oksigen ± 0,50
Logam ± 0,03

Menurut Danesh (1998) fluida hidrokarbon minyak bumi pada reservoir dapat terdiri
dari ribuan komponen. Komponen tersebut tidak bisa semua didentifikasi dan diukur. Namun,
konsentrasi komponen hidrokarbon memiliki struktural kelas yang sama dan kadang-kadang di
ukur dan dilaporkan sebagai suatu kelompok.

19
III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dimulai pada bulan Februari hingga Agustus 2011, dilakukan di Laboratorium
Surfaktan dan Polimer - Pusat Penelitian Surfaktan dan Bioenergi (Surfactant and Bioenergy Research
Center-IPB), Bogor.

3.2 Alat dan Bahan

Pada penelitian ini terdapat 3 pengelompokan alat yang digunakan yaitu peralatan formulasi
larutan surfaktan, peralatan pengujian kinerja surfaktan, dan peralatan core flooding test. Pada tahapan
formulasi surfaktan digunakan neraca analitik, sudip, magnetic stirrer, pipet, gelas piala, botol vial
dan tabung erlenmeyer. Pada pengujian kinerja surfaktan peralatan yang digunakan adalah spinning
drop interfacial tensiometer model TX500C, pH meter, density meter Anton Paar DMA 4500,
viscometer brookfield DV-III Ultra, oven, vakum filter, pompa vakum 1.5 bar. Sementara itu pada
pengujian core flooding peralatan yang digunakan adalah seperangkat core holder apparatus, soxhlet
extraction cleaning system, pressure gauge, gelas ukur, pencetak core sintetik, labu pemisah, dan
kompresor.
Bahan yang digunakan adalah MES (metil ester sulfonat) dari stearin sawit, NaCl, NaOH,
Na2CO3, pasir kuarsa, semen, minyak mentah (crude oil) lapangan Ty, air formasi lapangan Ty, air
injeksi lapangan Ty, toluene, core sintetik, gas nitrogen (N2), filter 500 mesh, membran 0.45 µm,
membran 0.22 µm.

3.3 Metode Penelitian

3.3.1 Pembuatan Surfaktan MES dari Stearin Sawit

Pembuatan surfaktan MES stearin ini mengacu pada metode sulfonasi yang telah
dikembangkan oleh Hambali et al. (2009) dimana proses sulfonasi dilakukan dengan
menggunakan Singletube Falling Film Reactor (STFR) dengan tinggi 6 meter dan sistem
kontinyu. Gas SO3 yang digunakan merupakan produk antara yang dihasilkan pada proses
produksi di PT. Mahkota Indonesia. Produk antara yang dihasilkan ini memiliki konsentrasi
26%, sehingga dilakukan pencampuran gas SO3 dengan udara kering (dry air) untuk
menghasilkan campuran gas SO3 dengan konsentrasi 5-7% (v/v), gas SO3 dengan konsentrasi
5-7% diinputkan ke dalam reaktor. Proses sulfonasi dilakukan dengan rasio mol metil ester dan
gas SO3 yaitu 1:1.3 dan suhu sufonasi 100°C. proses sulfonasi ini berlangsung selama ± 3-4
jam. Kemudian dilanjutkan dengan proses aging pada suhu 90°C selama 60 menit dan
pengadukan 150 rpm hingga diperoleh methyl ester sulfonic acid (MESA). MESA kemudian
dinetralisasi dengan NaOH 50% hingga dihasilkan MES dengan pH netral. Diagram alir
pembuatan MES dapat dilihat di Lampiran 4.

3.3.2 Formulasi Larutan Surfaktan MES Stearin untuk EOR

Sampel surfaktan MES stearin yang diperoleh dari tahapan pembuatan surfaktan
diformulasikan pada tahap ini. Formulasi ini ditujukan untuk memperoleh formula larutan

20
surfaktan yang terbaik, yaitu formula yang memiliki nilai terkecil/terbaik ultra-low interfacial
tension (10-3 dyne/cm). Formula terpilih adalah formula yang dapat menurunkan tegangan
antarmuka mencapai ultra-low interfacial tension.

3.3.2.1 Uji Kompatibilitas Surfaktan MES terhadap Air Injeksi Lapangan Ty


Tahap awal yang perlu dilakukan adalah melihat kompatibilitas surfaktan dengan
fluida reservoir, dengan mencampurkan surfaktan dengan air injeksi lapangan Ty jika
bernilai positif (tidak ada gumpalan ataupun endapan), hal tersebut menunjukkan surfaktan
lolos screening dan dapat dilakukan formulasi lanjut untuk mendapatkan formula surfaktan
yang optimal menurunkan IFT.

3.3.2.2 Penentuan Konsentrasi Optimal Surfaktan MES


Penentuan konsentrasi MES 0.3% didasari dari penelitian terdahulu yang dilakukan
oleh Hambali et al. (2009) bahwa nilai interfacial tension (IFT) terbaik/terkecil dari MES
diperoleh pada tingkat konsentrasi 0.3% pada tingkat salinitas/NaCl air injeksi 1000 -
15.000 ppm.

3.3.2.3 Penentuan Salinitas Optimal Larutan Surfaktan MES


Formulasi tahap pertama dilakukan dengan mendapatkan nilai optimal salinitas
surfaktan MES stearin sawit dalam air injeksi lapangan Ty dengan variasi salinitas air
injeksi 0 - 15000 ppm, dengan interval 1000 ppm. Analisis yang dilakukan meliputi nilai
tegangan antarmuka dan densitas, sampel dengan nilai IFT terkecil terpilih untuk dijadikan
nilai optimal salinitas surfaktan tersebut. Pada tahap ini analisis yang dilakukan adalah IFT
dan densitas larutan.

3.3.2.4 Penentuan Optimal Alkali


Jika nilai IFT belum memenuhi nilai IFT yang diharapkan, maka dapat dilakukan
pemilihan/penambahan alkali maksimal 1%, pada tahapan ini digunakan dua jenis alkali
yaitu NaOH dan Na2CO3, dengan variasi konsentrasi 0.1 - 0.9%, dengan interval 0.1%.
analisis yang dilakukan meliputi tegangan antarmuka, dan densitas.

3.3.3 Uji Kinerja Formula Surfaktan MES Stearin

Pengujian kinerja formula larutan surfaktan yang dilakukan dalam penelitian ini
meliputi uji IFT (interfacial tension), uji kelakuan fasa/phase behaviour, uji ketahanan
panas/thermal stability dan uji filtrasi.

3.3.3.1 Tegangan Antarmuka (IFT)


Dengan melakukan uji IFT, kinerja formula dalam menurunkan IFT minyak-air
dapat diukur dan diketahui secara cepat, formula surfaktan MES stearin yang memiliki
kinerja baik adalah formula yang mampu menurunkan tegangan antarmuka/IFT mencapai
nilai < 10-2 dyne/cm.

3.3.3.2 Kelakuan Fasa/Phase Behaviour


Pengujian kelakuan fasa menunjukkan jenis emulsi yang terjadi antara surfaktan dan
fasa minyak, fasa yang diharapkan adalah fasa tengah/fasa III (mikroemulsi) yang
mengindikasikan rancangan fluida berbaur (misicible displacement). Kelarutan minyak
terhadap fasa surfaktan (emulsi) juga menjadi indikasi kinerja surfaktan.

21
3.3.3.3 Kestabilan Terhadap Panas/Thermal Stability
Pengujian ketahanan panas/themal stability merupakan simulasi suhu reservoir
sumur yang dilakukan dalam jangka waktu tertentu (± 1-3 bulan), surfaktan diharapkan
mampu mempertahankan nilai IFT dengan kecenderungan stabil atau peningkatan nilai IFT
yang kecil, selain itu dilakukan analisa terhadap nilai viskositas dan densitas larutan selama
pemanasan.

3.3.3.4 Uji Filtrasi/Filtration Test


Pengujian filtrasi diupayakan untuk melihat laju alir fluida (air injeksi & formulasi
surfaktan) dalam melewati dinding permeable dengan ukuran celah/pori tertentu yang
mempresentasikan keadaan formasi/batuan reservoir yang permeabel. Diharapkan laju alir
surfaktan berada pada nilai filtration rate (FR) < 1.2.

Prosedur uji kinerja formula surfaktan MES stearin secara lengkap dapat dilihat
pada Lampiran 1.

3.3.4 Core Flooding Test

Tahapan akhir dari penelitian ini adalah aplikasi formula larutan surfaktan untuk injeksi
air tahap lanjut/enhanced water flooding berupa core flooding test.

3.3.4.1 Persiapan Core Sintetik & Fluida Reservoir Lapangan Ty


Core sintetik merupakan batuan buatan yang diupayakan memiliki sifat-sifat batuan
reservoir (porositas, permeabelitas, wettability) sehingga dapat menggantikan keberadaan
core asli (native core) yang sulit didapatkan untuk berbagai keperluan pengujian.
Persiapan core sintetik dan fluida reservoir lapangan Ty yang terdiri dari pembuatan core
sintetik , pencucian core, pengeringan dan saturasi core dengan air formasi, penghitungan
porositas dan permeabelitas core sintetik serta settling minyak bumi untuk memisahkan
minyak dan air formasi serta filtrasi air injeksi dan air formasi lapangan Ty.

3.3.4.2 Core Flooding


Core flooding test diawali dengan penginjeksian minyak bumi kedalam core
sintetik yang telah disaturasi (oil flood), hingga air formasi yang berada pada pori-pori
batuan terdesak dan digantikan oleh minyak secara keseluruhan. Setelah core jenuh
terhadap minyak, selanjutnya core sintetik diinjeksi air injeksi (waterflood), mencapai
limit/minyak yang diperoleh ± 2%. Langkah selanjutnya adalah injeksi formula larutan
surfaktan MES stearin ke dalam core dengan tiga perlakuan volume injeksi surfaktan
yang berbeda yaitu sebesar 0.1 PV, 0.2 PV, dan 0.3 PV, kemudian core direndam/soaking
dengan lama perendaman ± 12 jam. Penentuan lama perendaman 12 jam merujuk pada
penelitian yang telah dilakukan Mwangi (2008), lama perendaman selama 12 jam mampu
memberikan additional recovery yang optimal. Setelah mengalami soaking, core sintetik
sandstone diinjeksikan kembali dengan menggunakan air injeksi untuk menyapu minyak
sisa/residual oil di dalam core hingga minyak benar-benar tidak ada yang dihasilkan.
Prosedur core flooding test dapat dilihat pada Lampiran 6.

Secara keseluruhan tahapan penelitian ini dapat dilihat pada diagram alir penelitian
pada Gambar 10.

22
Surfaktan MES
Persiapan core dari Stearin
sandstone sintetik Sawit

Formulasi

Formula larutan
surfaktan
Core sandstone
sintetik
Uji kinerja meliputi uji kompatibilitas, IFT,
pH, densitas, viskositas, phase behaviour,
thermal stability dan filtrasi

Coreflooding test dengan injeksi formula larutan


surfaktan sebanyak 0.1 PV, 0.2 PV dan 0.3 PV
dengan lama perendaman/soaking 12 jam

Air Injeksi, dan


Minyak bumi
Lapangan Ty Perhitungan
Recovery (%)

Gambar 10. Diagram alir penelitian.

3.4 Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap. Faktor yang
divariasikan adalah volume larutan surfaktan. Faktor volume larutan surfaktan terdiri dari tiga taraf
yaitu 0.1 PV, 0.2 PV, dan 0.3 PV. Model matematika yang digunakan adalah:

Yij = µ + αi + εij

dengan :
Yij = Nilai recovery minyak yang diperoleh dari injeksi formula surfaktan pada taraf
ke-i dan ulangan ke-j, dengan i= 1,2,3; j= 1,2
µ = Rata-rata
αi = Pengaruh faktor volume larutan surfaktan yang diinjeksikan pada
taraf ke-i (i = 1,2,3)
έij = Galat percobaan pada perlakuan level ke-i ulangan ke-j

Hipotesis yang diuji:


H0 = α1 = α2 = α3= 0
Volume larutan surfaktan yang diinjeksikan memberikan pengaruh yang sama terhadap
incremental recovery yang dihasilkan.

H1 = Setidaknya ada satu i dengan αi ≠ 0, i=1,2,3

23
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Pembuatan Surfaktan MES dari Stearin Sawit

Pembuatan surfaktan MES melalui proses sulfonasi pada penelitian ini dilakukan dengan bahan
baku metil ester dari fraksi stearin. Stearin sawit merupakan salah satu hasil fraksinasi RBDPO
(refined bleached and deodorized palm oil) berbentuk padat pada suhu ruang dari CPO (crude palm
oil). Fraksi stearin tersebut terlebih dahulu diproses melalui proses transesterifikasi dengan
mereaksikan trigliserida (stearin sawit) dengan metanol dengan menggunakan katalis KOH untuk
menghasilkan metil ester (ME) stearin sawit. Diagram alir proses transesterifikasi/esterifikasi dapat
dilihat pada Lampiran 2. Setelah diperoleh ME stearin, kemudian dilakukan proses sulfonasi, untuk
mengubah ME menjadi surfaktan MES. Molekul trigliserida pada dasarnya merupakan triester dari
gliserol dan tiga asam lemak. RBD stearin dan ME (biodiesel) stearin hasil transesterifikasi dapat
dilihat pada Gambar 11 dibawah ini.

Gambar 11. Stearin dan metil ester/biodiesel stearin.

Proses produksi surfaktan MES Stearin Sawit dalam penelitian ini dilakukan menggunakan
singletube faling film reaktor (STFR) milik Laboratorium SBRC kapasitas 250 kg/hari, berukuran
tinggi 6 m dengan diameter tube 25 mm, sulfonasi dilakukan dengan reaktan gas SO 3. Instalasi STFR
milik Laboratorium SBRC ini berada di PT. Mahkota Indonesia, dimana reaktan gas SO 3 diperoleh
dari proses produksi H2SO4 oleh PT. Mahkota Indonesia, H2SO4 diperoleh melalui proses pencairan
sulfur pada suhu 140-150°C, kemudian dilakukan pembakaran sulfur cair dengan udara kering pada
suhu 600-800°C untuk menghasilkan sulfur dioksida (SO2), untuk merubahnya menjadi sulfur
trioksida (SO3) dilakukan reaksi oksidasi SO2 dalam empat bed converter dengan menggunakan
katalis V2O5 pada suhu 400-500°C dan dihasilkan gas SO3 dengan konsentrasi 25-26%. Oleh karena
itu diperlukan instalasi pensuplai udara kering untuk mengencerkan gas SO 3 menjadi 4-7% agar dapat
digunakan dalam proses sulfonasi metil ester. Diagram alir sulfonasi MES dapat di lihat pada
Lampiran 3.
Proses sulfonasi metil ester stearin sawit dilakukan pada suhu 70-80°C (suhu reaktor) dan suhu
umpan (feed) berupa metil ester pada proses sulfonasi diatur konstan pada suhu 80-100°C. Kontak gas
metil ester dengan gas SO3 berlangsung pada laju alir 100 ml/menit. Gas SO3 yang telah di encerkan
dengan udara kering disalurkan ke dalam reaktor. Feed dipompa naik ke reaktor masuk ke liquid
chamber lalu mengalir turun membentuk film (lapisan) tipis dengan ketebalan tertentu. Ketebalan
yang dihasilkan sesuai dengan bentuk corong head pada reaktor. Kontak metil ester dengan gas SO3
pada puncak reaktor STFR harus berlangsung secara kontinyu sepanjang tube dengan aliran laminar
dan ketebalan film harus konstan agar reaksi yang terjadi sepanjang tube merata. Reaksi sulfonasi

24
berlangsung selama 3–6 jam. Reaksi sulfonasi adalah tahapan utama dalam proses pembuatan MES
dimana pada proses ini ME direaksikan menjadi MESA/MES. Reaksi sulfonasi melibatkan penyisipan
ion SO3 kedalam struktur ME. Rantai karbon pada ME akan berikatan langsung dengan gugus sulfur
dari SO3 sehingga membentuk gugus RCHSO3HCOOCH3. Pada molekul RCHSO3HCOOCH3, gugus
SO3 bertindak sebagai gugus aktif bersifat aktif permukaan yang suka air, sementara itu ester asam
lemak bersifat hidrofobik.
Reaksi sulfonasi membentuk produk antara berupa MESA (methyl ester sulfonate acid).
Selanjutnya, MESA yang telah dihasilkan mengalami proses aging. Proses aging berlangsung dalam
reaktor aging pada suhu 70-80°C selama 75 menit dengan putaran reaktor 150 rpm. Kemudian MESA
mengalami proses netralisasi dengan penambahan NaOH 50%. Proses netralisasi pada suhu 30-40°C
selama 40 menit. Setelah proses netralisasi, diperoleh surfaktan MES (metil ester sulfonat). Methyl
Ester Sulfonic Acid (MESA) yang dihasilkan bersifat asam dan memiliki warna gelap dan kental.
Hasil sulfonasi metil ester stearin disajikan pada Gambar 12. Pengukuran pH MESA stearin sawit
terukur 1.3 dan setelah proses netralisasi pH MES terukur 7.7.

Gambar 12. MESA dan MES stearin sawit

Selama ini surfaktan MES dimanfaatkan untuk produk sabun dan deterjen, sehingga
disyaratkan produk dengan warna pucat, namun untuk aplikasi EOR tidak disyaratkan warna surfaktan
yang pucat, sehingga pemucatan surfaktan MES stearin untuk aplikasi EOR tidak diperlukan.
Karakteristik surfaktan MES stearin sawit dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Karakteristik surfaktan MES stearin sawit


No. Karakteristik Nilai Satuan
1 Warna > 3.759 A
2 Densitas 0.9836 g/cm3
3 Viskositas 0.975 cP
4 pH 7.20 -

4.2 Formulasi Larutan Surfaktan MES Stearin Untuk EOR

Dalam penelitian ini, formula surfaktan MES stearin diformulasikan sepenuhnya menggunakan
fluida (air injeksi, air formasi, dan minyak bumi) yang berasal dari Lapangan Ty untuk mendapatkan
nilai IFT terbaik dan sesuai dengan kebutuhan reservoir Lapangan Ty. Hal tersebut dikarenakan
rancangan formula akan berbeda-beda untuk tiap-tiap sumur/lapangan tergantung pada kondisi
geologisnya, selain itu jika formulasi dilakukan menggunakan fluida yang bukan berasal dari lapangan
Ty maka hasil pengujian tersebut akan memberi hasil yang tidak sesuai/tidak valid.

25
Pembuatan formula merupakan tahapan awal penelitian yang bertujuan untuk mendapatkan
formula surfaktan yang stabil dan memenuhi ketentuan untuk dapat diaplikasikan pada lapangan.
Dalam formulasi larutan MES stearin, langkah pertama adalah mengamati kompatibilitas surfaktan
terhadap air injeksi Lapangan Ty (uji kompatibilitas) dengan cara melarutkan sejumlah surfaktan
kedalam air injeksi, apabila surfaktan larut sempurna dan tidak terdapat presipitasi/endapan yang
terbentuk, menandakan surfaktan cocok/kompatibel terhadap air injeksi/formasi lapangan Ty.
Dilanjutkan dengan tahapan terstruktur dalam penentuan optimal salinitas dan optimal alkali untuk
formula surfaktan, diharapkan formula tersebut mampu menurunkan tegangan antar muka minyak-
driving fluid (air formasi/injeksi) mencapai nilai terrendah yang mencapai nilai ultra-low interfacial
tension (< 10-2 dyne/cm). Hal ini disyaratkan karena dengan nilai IFT yang sangat rendah akan
memperbesar nilai capillary number, serta merubah kondisi batuan suka minyak (oil wet) menjadi
suka air (water wet) agar produksi minyak dapat mencapai potensi yang optimal.
Dalam formulasi, MES stearin dilarutkan dalam air injeksi lapangan Ty dengan konsentrasi
MES 0.3%. Penentuan konsentrasi MES pada 0.3% ini didasari dari penelitian terdahulu yang
dilakukan oleh Hambali et al. (2009) bahwa nilai tegangan antarmuka (IFT) terbaik/terkecil dari MES
diperoleh pada tingkat konsentrasi 0.3% di tingkat salinitas/NaCl air injeksi 0-15.000 ppm. Dalam
tahap formulasi, konsentrasi MES 0.3% surfaktan MES dari stearin sawit dilakukan pengujian nilai
optimal salinitas dengan menguji nilai IFT formula MES 0.3% pada tingkat salinitas pada 0-15000
ppm dengan interval 1000 ppm untuk mengetahui nilai optimal yang menurunkan tegangan antar
muka formula pada nilai terkecil. Penentuan optimal salinitas ditujukan untuk mendapatkan nilai
salinitas optimal NaCl untuk larutan surfaktan dalam mendapatkan nilai IFT terbaik/kecil. Penentuan
salinitas optimal juga dilakukan untuk melihat sejauh mana ketahanan surfaktan MES stearin terhadap
pengaruh salinitas.
Dalam tahap formulasi diperbolehkan penambahan alkali, alkali yang dipergunakan dalam
penelitian ini adalah NaOH, dan Na2CO3 dengan batas penggunaan maksimal 1%. Penggunaan alkali
ini bertujuan untuk membantu penurunan nilai tegangan antar muka/IFT pada formula MES 0.3%
pada salinitas optimal air injeksi surfaktan dengan cara menekan konsentrasi ion Ca2+ dalam larutan
dan melalui pembentukan petroleum soap dari reaksi in situ dari asam naftenat minyak bumi. Dari
kedua alkali yang digunakan, dilakukan pemilihan alkali yang paling baik dan cocok terhadap larutan
surfaktan MES stearin, karena belum dapat dipastikan penambahan alkali akan memberikan reaksi
menurunkan atau meningkatkan nilai IFT larutan surfaktan dan minyak lapangan Ty, jika alkali yang
ditambahkan dapat menurunkan IFT mencapai nilai terendah yang dapat diperoleh, maka jenis alkali
tersebutlah yang terpilih dan dapat digunakan sampai batas maksimal 1%. Formula dengan nilai ultra-
low interfacial tension (< 10-2 dyne/cm) merupakan formula yang diharapkan dalam aplikasi EOR,
formula tersebut selanjutnya akan di uji dengan menggunakan beberapa uji kinerja formula surfaktan
(kelakuan fasa/phase behaviour, thermal stability, filtration test, dan core flooding test).
Pengujian salinitas optimal larutan surfaktan MES stearin sawit dilakukan pada tingkat
salinitas air injeksi 0-15000 ppm NaCl dengan interval 1000 ppm, dan minyak bumi/crude oil
lapangan Ty. Dari hasil pengukuran IFT didapati penurunan nilai IFT dihasilkan dengan penambahan
konsentrasi NaCl/salinitas pada larutan surfaktan MES stearin 0.3%. Nilai IFT larutan surfaktan MES
stearin sebelum penambahan NaCl adalah 2.97E-02 dyne/cm, berubah menjadi 1.43E-02 dyne/cm
setelah penambahan tingkat salinitas 3000 ppm. Hasil pengukuran nilai IFT ini membuktikan bahwa
nilai salinitas pada tingkat tertentu mempengaruhi nilai IFT suatu larutan surfaktan. Nilai IFT pada
tingkat salinitas 3000 ppm merupakan tingkat salinitas optimal dengan nilai IFT rata-rata terrendah
yang diperoleh dari pengujian, sehingga nilai salinitas optimal larutan surfaktan MES stearin berada

26
ditingkat salinitas 3000 ppm. Pengaruh tingkat salinitas terhadap dari nilai IFT dapat di lihat pada
Gambar 13.

3.50E-02
3.00E-02
2.50E-02
IFT (dyne/cm)

2.00E-02
1.50E-02
1.00E-02
5.00E-03
0.00E+00
0 3000 6000 9000 12000 15000
Salinitas (ppm)
Gambar 13. Pengaruh salinitas terhadap nilai IFT formula surfaktan MES dari stearin.

Pada konsentrasi 3000 ppm nilai IFT yang berada pada nilai terendah, diduga pada konsentrasi
itu elektrolit dari NaCl (ion Na+ dan Cl-) yang ditambahkan mampu menstabilkan mikroemulsi dan
mempengaruhi kelakuan fasa larutan surfaktan, sehingga nilai IFT optimal dapat dicapai. Peningkatan
konsentrasi NaCl (ion monovalent) berhubungan erat dengan peningkatan kekuatan ikatan ionik
surfaktan MES meningkat untuk mengikat dan mengadsorpsi ion divalent Ca2+ dan Mg2+ dari air
injeksi kedalam micelle melalui pertukaran kation. Penambahan konsentrasi salinitas NaCl lebih tinggi
dari 3000 ppm tidak menyebabkan nilai IFT surfaktan MES menjadi lebih rendah daripada nilai yang
dicapai pada 3000 ppm, hal tersebut menandakan konsentrasi NaCl optimal pada 3000 ppm. Demikian
pula dengan nilai densitas, penambahan tingkat salinitas yang makin besar akan meningkatkan nilai
densitas formula. Nilai densitas menyatakan kerapatan antar molekul dalam suatu material yang
didefinisikan sebagai rasio (perbandingan) antara massa dan volume material (g/cm 3). Grafik nilai
densitas larutan surfaktan pada tahap salinitas optimal dapat dilihat pada Gambar 14.

0.9960
0.9940
Densitas (gram/cm3)

0.9920
0.9900
0.9880
0.9860
0.9840
0.9820
0 3000 6000 9000 12000 15000
Salinitas (ppm)
Gambar 14. Pengaruh salinitas terhadap densitas larutan surfaktan MES stearin
dalam air injeksi Lapangan Ty.

Berdasarkan grafik di atas diketahui bahwa peningkatan salinitas berbanding lurus dengan nilai
densitas larutan surfaktan. Semakin tinggi tingkat salinitas yang digunakan maka semakin tinggi pula
nilai densitas yang dihasilkan oleh larutan surfaktan. Peningkatan densitas mengindikasikan telah

27
terjadinya peningkatan bobot molekul akibat adanya pengikatan senyawa lain. Nilai densitas larutan
surfaktan MES stearin 0.3% tanpa penambahan salinitas/NaCl memiliki densitas 0.9841 gr/cm3, dan
terjadi kenaikan nilai densitas larutan pada penambahan salinitas pada 0-15000 ppm dengan interval
1000 ppm dihasilkan densitas larutan yang berada pada kisaran nilai 0.9850 - 0.9946 gr/cm3.
Kenaikan densitas larutan surfaktan akibat penambahan salinitas berpengaruh terhadap peningkatan
nilai IFT formula, dikarenakan perbedaan densitas antara larutan surfaktan dan densitas minyak yang
semakin besar saat pengukuran nilai IFT. Perbedaan densitas antara fasa dua fasa tersebut
menyebabkan nilai IFT yang terukur makin meningkat dengan mengikuti persamaan Y=1/4.w2.D3.Δρ,
dimana y= IFT (dyne/m), w= kecepatan angular (rpm), D= radius droplet pada axis (m), dan
Aρ=perbedaan densitas antara dua fasa (kg/m3).
Tahapan selanjutnya adalah tahap pemilihan alkali, dilakukan dengan mengkombinasikan
alkali NaOH (natrium hidroksida) atau Na2CO3 (natrium karbonat) ke dalam larutan MES stearin
0.3% pada optimal salinitas. Diharapkan dengan penambahan diantara kedua alkali tersebut,
diharapkan menghasilkan nilai IFT formula surfaktan MES stearin yang sangat rendah yang
mengindikasikan surfaktan MES memiliki kinerja yang baik. Kinerja yang baik tersebut didasarkan
pada kombinasi dari alkali dan surfaktan (alkaline-surfactant flooding) yang memungkinkan surfaktan
dan alkali yang mampu untuk bekerja dengan sinergis dalam menurunkan IFT. Dari hasil pengukuran
nilai IFT, penambahan NaOH menghasilkan nilai IFT pada kisaran 2.67E-02 - 1.57E-01 dyne/cm,
sementara penambahan Na2CO3 menghasilkan kisaran IFT yang lebih rendah yaitu 7.88E-03 - 1.33E-
02 dyne/cm, berdasarkan nilai IFT yang dihasilkan, disimpulkan bahwa alkali baik yang cocok untuk
dikombinasikan pada surfaktan MES stearin adalah Na2CO3, grafik hasil pengukuran nilai IFT
terhadap alkali NaOH dan Na2CO3 dapat dilihat pada Gambar 15 dan Gambar 16.

3.00E-01
2.50E-01
IFT (dyne/cm)

2.00E-01
1.50E-01
1.00E-01
5.00E-02
0.00E+00
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1
Konsentrasi NaOH (%)
Gambar 15. Pengaruh alkali NaOH pada berbagai konsentrasi terhadap nilai IFT
larutan surfaktan MES stearin pada salinitas 3000 ppm.

Dari hasil pengukuran diketahui bahwa nilai IFT seperti pada Gambar 15, dari grafik
menunjukkan bahwa penambahan NaOH memberikan efek meningkatnya nilai IFT ketika
penambahan konsentrasi NaOH dalam larutan surfaktan. Berbeda halnya dengan penambahan alkali
Na2CO3, pengukuran nilai IFT memberikan hasil yang lebih rendah nilai IFT tersebut telah memenuhi
nilai IFT yang diharapkan untuk formulasi surfaktan untuk EOR (10-3 dyne/cm). Hasil pengujian
terhadap larutan surfaktan MES stearin yang ditambahkan alkali Na2CO3 dapat dilihat di Gambar 13
dibawah ini.

28
1.60E-02
1.40E-02
1.20E-02
IFT (dyne/cm) 1.00E-02
8.00E-03
6.00E-03
4.00E-03
2.00E-03
0.00E+00
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1
Konsentrasi Na2CO3 (%)
Gambar 16. Pengaruh alkali Na2CO3 pada berbagai konsentrasi terhadap nilai IFT
larutan surfaktan MES stearin pada salinitas 3000 ppm.

Grafik perbandingan pengukuran nilai IFT kedua alkali tersebut dapat dilihat pada Gambar 17.

3.00E-01

2.50E-01
IFT (dyne/cm)

2.00E-01

1.50E-01
Natrium Hidroksida
1.00E-01
Natrium Karbonat
5.00E-02

0.00E+00
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1
Konsentrasi (%)

Gambar 17. Grafik perbandingan penambahan alkali NaOH dan Na2CO3 terhadap nilai IFT
larutan MES stearin pada salinitas 3000 ppm.

Dari Gambar 17 di atas menunjukkan perbandingan pengaruh peningkatan konsentrasi alkali


(Na2CO3/NaOH) pada larutan surfaktan MES stearin terhadap nilai IFT yang dihasilkan, hasil
pengukuran IFT pada tingkat konsentrasi yang sama memberikan nilai IFT yang berbeda. Nilai IFT
lebih rendah diperoleh dari penambahan Na2CO3, sedangkan dengan penambahan NaOH nilai IFT
cenderung meningkat pada tiap peningkatan konsentrasi. Dari hasil perbandingan nilai IFT tersebut
dapat disimpulkan bahwa penambahan Na2CO3 dapat membantu menurunkan nilai IFT larutan
surfaktan MES stearin dalam air injeksi lapangan Ty. Nilai terendah yang didapat dari penambahan
konsentrasi optimal Na2CO3 berada pada konsentrasi 0.1 % dengan nilai IFT rata-rata yang dihasilkan
mampu mencapai 7.88E-03 dyne/cm, lebih rendah dibanding nilai tegangan antarmuka terbaik
sebelum penambahan alkali, yaitu sebesar 1.43E-02 dyne/cm. Penambahan konsentrasi Na2CO3 lebih
tinggi dari 0.1% tidak berdampak pada penurunan nilai IFT, bahkan nilai IFT cenderung mengalami
peningkatan. Dari hasil pengukuran nilai IFT tersebut dapat disimpulkan bahwa konsentrasi optimal
alkali Na2CO3 berada pada 0.1%, dan formula larutan surfaktan MES stearin terpilih adalah larutan

29
surfaktan MES dengan konsentrasi 0.3%, pada salinitas 3000 ppm NaCl, dan alkali 0.1% Na2CO3,
karena memiliki nilai IFT terbaik.
Salinitas optimal pada 3000 ppm membuat surfaktan MES stearin dapat digolongkan kedalam
surfaktan yang memiliki kemampuan optimal pada tingkatan low salinity (< 10.000 ppm), hal tersebut
membuat surfaktan MES stearin tidak membutuhkan banyak NaCl untuk mengkondisikan formula
pada salinitas optimalnya (ekonomis). Begitupula dengan pada optimal alkali, hasil pengujian
menunjukkan bahwa penambahan 0.1% Na2CO3 merupakan kombinasi konsentrasi optimal alkali
untuk larutan surfaktan, sehingga formula dapat dikatakan merupakan formula yang ekonomis namun
memiliki kinerja baik dalam menurunkan nilai IFT. Sama halnya dengan peningkatan nilai densitas
yang terjadi pada peningkatan konsentrasi NaCl/salinitas, dengan peningkatan konsentrasi alkali yang
digunakan (Na2SO3 dan NaOH) berdampak pada peningkatan densitas. Peningkatan densitas larutan
surfaktan diakibatkan penambahan bobot molekul formula dari konsentrasi alkali yang juga
meningkat. Penambahan konsentrasi NaOH kedalam larutan MES stearin menyebabkan peningkatan
pH yang cukup besar berkisar 9.23 - 10.31, hal tersebut dikarenakan NaOH merupakan basa kuat yang
memiliki alkalinitas yang tinggi sehingga ketika dilarutkan akan meningkatkan kekuatan ionik larutan
dan meningkatkan pH larutan, dan menghasilkan kisaran densitas berkisar 0.9873 - 0.9956 gr/cm3.
Sementara itu penambahan Na2CO3 menghasilkan larutan kisaran pH 8.86 – 9.15 lebih rendah dari pH
yang dihasilkan oleh NaOH pada larutan serta menghasilkan densitas larutan yang juga lebih kecil
yang berkisar pada 0.9868 - 0.9941 gr/cm3. Hasil pengukuran densitas larutan surfaktan MES stearin
terhadap konsentrasi penambahan alkali dapat dilihat pada Gambar 18.

0.9980
0.9960
Densitas (gram/cm3)

0.9940
0.9920
0.9900 Natrium Hidroksida
Natrium Karbonat
0.9880
0.9860
0.9840
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1
Konsentrasi Alkali (%)
Gambar 18. Pengaruh konsentrasi alkali terhadap densitas larutan surfaktan MES stearin.

Dari Gambar 18 diketahui bahwa penambahan NaOH menyebabkan kenaikan densitas yang
lebih besar dibandingkan dengan penambahan Na2CO3. Faktor densitas merupakan salah satu
parameter yang dapat mempengaruhi nilai IFT antara fasa minyak dan larutan surfaktan, hal ini
berkaitan dengan selisih densitas antara fasa minyak dan surfaktan. Semakin kecilnya perbedaan
densitas kedua fasa maka nilai IFT cenderung menghasilkan nilai IFT yang rendah.

4.3 Uji Kinerja Formula Surfaktan MES

4.3.1 Uji Kompatibilitas (Compatibility Test)

Uji kompatibilitas merupakan uji kinerja paling awal untuk mengetahui apakah suatu
jenis surfaktan compatible dengan air injeksi/formasi suatu reservoir dan menjadi salah satu
pertimbangan terpenting dalam pemilihan surfaktan untuk aplikasi EOR. Idealnya, surfaktan
akan larut sempurna dan membentuk larutan yang jernih dengan air injeksi. Uji kompatibilitas

30
dinyatakan positif/baik apabila surfaktan dan air injeksi dapat bercampur sempurna tanpa
terjadi gumpalan pada larutan. Dan bernilai negatif/tidak dapat digunakan sebagai formula
surfaktan pada EOR, jika terjadi presipitasi atau tidak bercampur. Hasil pengujian
menunjukkan bahwa surfaktan MES stearin terhadap air injeksi Lapangan Ty memiliki hasil uji
compatibility yang positif. Dibuktikan dengan tidak adanya presipitasi/endapan yang terbentuk,
ini menunjukkan surfaktan dapat larut sempurna. Hasil pengujian kompatibilitas surfaktan
MES stearin sawit dapat dilihat pada Gambar 19.

(a) (b) (c)


a) Surfaktan MES 0.3% pada air injeksi Lapangan Ty
b) Surfaktan pada salinitas optimal 3000 ppm
c) Surfaktan pada penambahan alkali 0.1% Na2CO3

Gambar 19. Tampilan hasil uji kompatibilitas surfaktan terhadap air injeksi Lapangan Ty.

Surfaktan yang tidak larut sempurna atau mengindikasikan terbentuknya endapan


dengan sendirinya atau disebabkan oleh komponen lain dalam air injeksi yang membentuk
padatan terlarut tidak dapat digunakan sebagai surfaktan untuk aplikasi EOR. Hal tersebut
dikarenakan selain hilangnya materi yang berguna, beberapa endapan memungkinkan
penyumbatan atau menyebabkan plugging pada sumur injeksi yang dapat menyebabkan
kerusakan reservoir/formation damage. Oleh karena itu kompatibilitas surfaktan yang akan
digunakan merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi untuk menentukan surfaktan yang
sesuai sebagai surfaktan untuk surfaktan enhanced water flooding, jika kompatibel/positif dan
dapat dilakukan pengujian lebih lanjut terhadap larutan MES untuk mengetahui kinerjanya.

4.3.2 Uji Kestabilan terhadap Panas (Thermal Stability)

Uji kestabilan panas/thermal stability dilakukan untuk mengetahui ketahanan formula


surfaktan terhadap suhu terutama kestabilan nilai IFT formula surfaktan, densitas, serta
viskositas pada temperatur reservoir Lapangan Ty. Uji ini dilakukan dalam temperatur
reservoir lapangan Ty yaitu pada suhu 70°C. Nilai IFT yang cenderung stabil mengindikasikan
bahwa formula surfaktan tersebut akan dapat mempertahankan kinerjanya dalam menurunkan
tegangan antarmuka di dalam reservoir yang memiliki temperatur cukup tinggi seperti
Lapangan Ty, disamping banyak faktor lain yang dapat mengurangi kinerja surfaktan ketika
didalam reservoir, seperti adsorpsi batuan reservoir.
Dalam pengujiannya larutan formula surfaktan MES stearin dimasukkan dalam
tabung/ampul yang ditutup rapat dan dikondisikan pada suhu reservoir Lapangan Ty dengan
menggunakan oven, dan sampel diambil pada hari ke 1, 3, 7, 14, 30 untuk diukur nilai IFT-nya.
Hasil pengamatan nilai IFT formula selama uji thermal stability dapat dilihat pada Gambar 20.

31
3.00E-01

2.50E-01

IFT (dyne/cm)
2.00E-01

1.50E-01

1.00E-01

5.00E-02

0.00E+00
0 5 10 15 20 25 30
Durasi pengamatan (hari)

Gambar 20. Hasil pengujian IFT pada uji thermal stability.

Berdasarkan pada Gambar 20 di atas diketahui bahwa terjadi peningkatan nilai IFT dan
peningkatan cukup besar pada hari ke 14 yang menyebabkan fluktuasi nilai IFT yang
dihasilkan. Seharusnya nilai IFT yang dihasilkan memiliki kecenderungan stabil, penurunan
atau peningkatan seiring dengan lama pemanasan, peningkatan IFT ini dikarenakan terjadinya
kerusakan sampel yang di akibatkan oleh adanya oksigen didalam tabung sampel selama uji
thermal stability. Fluktuasi hasil pengujian nilai IFT dapat disebabkan oleh sampel yang tidak
homogen.
Degradasi sampel surfaktan pada uji kestabilan terhadap panas dapat juga diketahui
dengan melakukan uji viskositas. Viskositas merupakan suatu sifat fluida yang dipengaruhi
oleh ukuran dan gaya antar molekul fluida tersebut. Viskositas menunjukkan tingkat
kekentalan suatu fluida. Semakin tinggi nilai viskositas maka semakin tinggi pula tingkat
kekentalan suatu fluida, yang mengindikasikan berubahnya struktur dan ikatan antar molekul
surfaktan. Terikatnya gugus sulfonat pada MES selama proses formulasi menyebabkan formula
surfaktan memiliki ukuran molekul yang lebih besar. Ukuran molekul yang lebih besar
berpengaruh terhadap nilai viskositas yang lebih tinggi dibandingkan dengan air injeksi Ty
(sebagai pelarut). Pengukuran nilai viskositas sampel dilakukan untuk mengetahui pengaruh
nilai viskositas larutan surfaktan selama uji kestabilan panas dilakukan. Pengaruh lama
pemanasan terhadap nilai viskositas dapat dilihat pada Gambar 21.

0.7500
0.7400
0.7300
Viskositas (cP)

0.7200
0.7100
0.7000
0.6900
0.6800
0.6700
0.6600
0 5 10 15 20 25 30
Durasi pengamatan (hari)
Gambar 21. Hasil pengujian viskositas formula dalam uji thermal stability.

Dari Gambar 16 terlihat peningkatan nilai viskositas cukup tinggi terjadi pada
pengukuran nilai viskositas pada hari ke-7, dan kemudian nilai viskositas mulai stabil pada hari

32
ke–14 hingga hari ke–30. Peningkatan nilai viskositas menunjukkan hubungan terhadap nilai
IFT larutan, peningkatan nilai IFT larutan surfaktan MES stearin terhadap pemanasan
dibarengi dengan peningkatan nilai viskositas larutan yang menandakan struktur surfaktan
MES stearin selama pemanasan mengalami perubahan. Sifat densitas suatu fluida juga
memiliki hubungan dengan viskositas larutan, dimana semakin rendah nilai densitas maka
semakin rendah pula nilai viskositas suatu fluida. Pengaruh pemanasan terhadap nilai densitas
formula dalam uji thermal stability dapat dilihat pada Gambar 22.

0.9890
0.9885
Densitas (g/cm3)

0.9880
0.9875
0.9870
0.9865
0.9860
0.9855
0.9850
0 5 10 15 20 25 30
Durasi pengamatan (hari)
Gambar 22. Hasil pengujian densitas formula dalam uji thermal stability.

Dari Gambar 22 disimpulkan bahwa nilai densitas larutan surfaktan MES stearin
cenderung stabil terhadap temperatur reservoir lapangan Ty, ditandai dengan nilai densitas
larutan surfaktan MES stearin yang relatif konstan pada saat sebelum pemanasan hingga
pengukuran densitas larutan pada hari ke 21, penurunan nilai densitas mulai terjadi pada
pengukuran densitas pada pengamatan hari ke-30. Hal tersebut mengindikasikan tidak adanya
perubahan bobot molekul yang dapat saja terjadi karena degradasi oleh panas.

4.3.3 Uji Kelakuan Fasa (Phase Behaviour)

Berdasarkan pengamatan visual terhadap kelakuan fasa campuran antara minyak bumi
dan formula surfaktan MES stearin pada suhu reservoir (70°C), disimpulkan bahwa terbentuk
mikroemulsi fasa bawah/tipe II (-), seperti pada hasil pengamatan pada Gambar 23.

T0 T7 T 14 T 21 T30

Gambar 23. Uji phase behaviour T0, T7, T14, T21, T30.

33
Dari hasil pengamatan visual diatas, dapat dilihat bahwa mikroemulsi terbentuk pada
fasa bawah ditandai dengan berlebihnya larutan surfaktan pada campuran minyak dan
surfaktan menunjukkan bahwa jenis mikroemulsi fasa bawah/tipe II (-), yang mengindikasikan
bahwa larutan surfaktan berada pada tingkat salinitas rendah (low salinity), selain
mengindikasikan tingkat salinitas yang rendah, hal tersebut juga diduga terjadi karena faktor
karakteristik minyak dan surfaktan MES stearin itu sendiri.
Dari gambar diketahui bahwa pada hari ke-0 dari kedua tabung A dan B yang diamati,
belum terbentuk fasa antara larutan surfaktan dengan minyak. Proporsi jumlah larutan
surfaktan dan minyak masih sama yaitu 2.5 ml. Lain halnya pada hari ke-7 dimana telah terjadi
excess water yang ditandai dengan penambahan volume larutan surfaktan pada tabung A
sebesar 0.15 ml dan pengurangan volume minyak sebesar 0.15 ml pula, sedangkan
penambahan volume fasa surfaktan pada tabung B sebesar 0.05 ml begitu pula dengan
pengurangan volume minyak. Penambahan volume tersebut menandakan telah terbentuk fasa
bawah. Pada pengamatan visual hari ke-14 tidak terjadi perubahan apapun dari hari ke-7
sehingga masih terbentuk fasa bawah hingga hari ke-14 dan begitu pula pada pengamatan hari
ke-21 dan ke-30. Hal tersebut mengindikasikan bahwa kinerja larutan surfaktan yang kurang
baik hingga hari ke-30.
Pada uji ini juga dilihat rasio kelarutan minyak dan air terhadap lama pemanasan dari
penghitungan tampak dari pipet-pipet pengujian phase behaviour. Kelarutan minyak ditentukan
oleh volume minyak dari volume surfaktan dalam mikroemulsi. Rasio kelarutan minyak
digunakan untuk kelakuan fasa tipe I dan tipe III. Selama 30 hari pengamatan yang telah
dilakukan diketahui bahwa kelakuan fasa yang terbentuk adalah fasa bawah. Pada fasa bawah
hanya terbentuk dua fasa yaitu fasa air dan fasa minyak. Oleh karena itu, diihat kelarutan
minyak terhadap lama pemanasan. Berikut ini Gambar 24, yang menampilkan grafik hubungan
antara kelarutan minyak (Po) terhadap lama pemanasan :

0.1800
0.1600
0.1400
Kelarutan (Po)

0.1200
0.1000
0.0800
0.0600
0.0400
0.0200
0.0000
0 5 10 15 20 25 30
Durasi pengamatan (hari)
Gambar 24. Grafik kelarutan minyak-surfaktan dalam phase behaviour.

Berdasarkan Gambar 24 di atas diketahui bahwa kelarutan minyak (Po) meningkat dan
kemudian stabil. Kelarutan yang stabil tersebut mengindikasikan bahwa mikroemulsi telah
optimal. Kelarutan minyak tersebut menunjukkan kinerja formula surfaktan yang baik karena
formula surfaktan mampu membentuk mikroemulsi.

34
4.3.4 Uji Filtrasi (Filtration Test)

Didalam reservoir surfaktan akan melewati membran permeabel pori-pori batuan


reservoir untuk bergerak dan menyapu residual oil karena desakan dari sumur injeksi, hal
tersebut memungkinkan surfaktan untuk melewati pori-pori batuan yang bersifat heterogen
yang memiliki permeabilitas berbeda yang mempengaruhi kecepatan aliran atau memperlambat
laju alir surfaktan dalam menyebar. Untuk mengantisipasi itu dilakukan uji filtrasi dalam upaya
melihat kemampuan surfaktan dalam melewati membran semi permeabel yang dalam
pengujian ini dilakukan dengan menggunakan instrument saring dan kertas saring membran
dalam berbagai ukuran.
Uji filtrasi yang dilakukan dalam penelitian ini dilakukan menggunakan filter 500 mesh,
kertas saring 21 µm, membran 0.45 µm, dan terakhir kertas saring membran 0.22 µm, yaitu
dengan cara mencatat waktu yang diperlukan untuk melewatkan sejumlah fluida melalui
masing-masing media saring tersebut. Selain larutan formula surfaktan, air injeksi juga diukur
sebagai pembanding. Pengujian ini dilakukan terhadap dua jenis fluida yaitu air injeksi dari
lapangan Ty dan formula larutan surfaktan. Hasil pengujian dari kedua fluida tersebut dengan
menggunakan filter 500 mesh, dapat dilihat pada Gambar 25.

600

500
Volume (ml)

400

300
Air Injeksi
200
Surfaktan
100

0
0 200 400 600 800 1000
Waktu Alir (detik)

Gambar 25. Grafik filtrasi menggunakan filter 500 mesh pada suhu ruang.

Berdasarkan grafik di atas garis air injeksi yang terbentuk cenderung mendatar yang
mempunyai kemiringan tidak konstan, yang berarti memiliki kecendrungan penyumbatan.
Sedangkan garis surfaktan menunjukkan kemiringan slope yang konstan hal ini berarti
molekul-molekul surfaktan tidak menyumbat filter. Laju alir formula larutan surfaktan tercatat
lebih cepat dibandingkan dengan laju alir air injeksi dari Lapangan Ty pada filter 500 mesh dan
berdasarkan tabel pada Lampiran 9 diketahui bahwa nilai Fr yang dimiliki oleh formula larutan
surfaktan lebih kecil dibandingkan dengan nilai Fr yang dimiliki oleh air injeksi dari lapangan
Ty, nilai Fr yang dihasilkan air injeksi lapangan Ty sebesar 25.36 sedangkan formula larutan
surfaktan yaitu 2.39, walau begitu formula larutan surfaktan dikatakan masih memiliki kinerja
kurang baik karena nilai Fr yang dihasilkan belum mencapai < 1.2. Kedua hal tersebut
membuktikan bahwa surfaktan menurunkan tegangan antar muka sehingga lebih mudah
mengalir pada suatu media. Selain itu, diketahui juga air injeksi dari lapangan Ty memiliki
butiran yang lebih banyak dibandingkan dengan formula larutan surfaktan.

35
Filtrasi menggunakan kertas saring 21 µm pada suhu ruang telah dilakukan. Grafik
perbandingan antara air injeksi dari lapangan Ty dan formula larutan surfaktan tersaji pada
Gambar 26 sedangkan tabel perbandingan antara air injeksi dari lapangan Ty dan formula
larutan surfaktan tersaji pada Lampiran 10.

600

500
Volume (ml)

400

300
Air Injeksi
200 Surfaktan

100

0
0 500 1000 1500 2000 2500 3000
Waktu Alir (detik)
Gambar 26. Grafik filtrasi menggunakan kertas saring 22 µm pada suhu ruang.

Berdasarkan grafik di atas diketahui bahwa laju alir formula larutan surfaktan lebih
lambat dibadingkan dengan laju alir air injeksi dari lapangan Ty sedangkan berdasarkan tabel
pada Lampiran 10 diketahui bahwa nilai Fr yang dimiliki oleh formula larutan surfaktan lebih
kecil dibandingkan dengan nilai Fr yang dimiliki oleh air injeksi dari lapangan Ty yaitu 3.17
serta nilai Fr yang dihasilkan formula larutan surfaktan yaitu 1.35 sehingga formula larutan
surfaktan dikatakan memiliki kinerja baik telah mendekati nilai Fr yang diharapkan < 1.2.
Filtrasi menggunakan membran 0.45 µm pada suhu ruang telah dilakukan. Grafik
perbandingan antara air injeksi dari lapangan Ty dan formula larutan surfaktan tersaji pada
Gambar 27 sedangkan tabel perbandingan antara air injeksi dari lapangan Ty dan formula
larutan surfaktan tersaji pada Lampiran 11.

600

500
Volume (ml)

400

300
Air Injeksi
200 Surfaktan

100

0
0 1000 2000 3000 4000 5000
Waktu Alir (detik)
Gambar 27. Grafik filtrasi menggunakan membran 0.45 µm pada suhu ruang.

Berdasarkan grafik di atas diketahui bahwa laju alir formula larutan surfaktan lebih
lambat dibandingkan dengan laju alir air injeksi dari lapangan Ty sedangkan berdasarkan tabel
pada Lampiran 11, nilai FR yang dimiliki oleh air injeksi dari lapangan Ty serta nilai Fr yang

36
dihasilkan formula larutan surfaktan hampir setara yaitu 6.42 dan 7.63 sehingga walau
demikian kinerja formula surfaktan kurang baik karena nilai Fr yang dihasilkan masih > 1.2.
Laju alir formula surfaktan lebih lambat dikarenakan formula tersebut memiliki miscella yang
tidak tersaring pada kertas saring 21 µm. Miscella ini menempel dan menyumbat kertas saring
yang berpori-pori lebih kecil sehingga memperlambat laju alir formula larutan surfaktan.
Filtrasi menggunakan membran 0.22 µm pada suhu ruang telah dilakukan. Grafik
perbandingan antara air injeksi dari lapangan Ty dan formula larutan surfaktan tersaji pada
Gambar 28 sedangkan tabel perbandingan antara air injeksi dari lapangan Ty dan formula
larutan surfaktan tersaji pada Lampiran 9.

600

500
Volume (ml)

400

300
Air Injeksi
200
Surfaktan
100

0
0 50 100 150 200
Waktu Alir (detik)

Gambar 28. Grafik filtrasi menggunakan membran 0.22 µm pada suhu ruang.

Berdasarkan grafik pada Gambar 28 di atas diketahui bahwa laju alir formula larutan
surfaktan lebih cepat dibandingkan dengan laju alir air injeksi dari lapangan Ty dan
berdasarkan tabel pada Lampiran 9 diketahui bahwa nilai Fr yang dimiliki oleh air injeksi
lapangan Ty adalah 0.98 lebih kecil dibandingkan dengan nilai Fr yang dihasilkan formula
larutan surfaktan yaitu 1.49 sehingga formula larutan surfaktan dikatakan memiliki kinerja
cukup baik karena mendekati nilai Fr yang diharapkan yaitu < 1.2. Kedua hal tersebut
membuktikan bahwa surfaktan menurunkan tegangan antar muka sehingga lebih mudah
mengalir pada suatu media. Selain itu, diketahui juga air injeksi dari lapangan Ty memiliki
butiran yang lebih banyak dibandingkan dengan formula larutan surfaktan.
Berdasarkan grafik hasil filtrasi menggunakan berbagai jenis ukuran membran seperti di
atas diketahui bahwa hasil uji filtrasi terhadap air injeksi lapangan Ty dan surfaktan memiliki
perbedaan, uji filtrasi air injeksi menunjukkan kemiringan garis (slope) yang relatif konstan.
Hal ini berarti air injeksi tidak mengakibatkan adanya penyumbatan. Berbeda dengan formula
surfaktan tidak sama dengan air injeksi, garis (slope) yang terbentuk cenderung mendatar,
berarti mempunyai harga kemiringan yang tidak konstan, yang berarti ada kecenderungan
terjadi penyumbatan molekul-molekul surfaktan saat melewati membran. Kemungkinan hal ini
akan terjadi juga pada saat core flooding melewati batuan berpori yang tentunya sangat tidak
diharapkan. Kemiringan slope tersebut juga berarti laju filtrasi terhadap surfaktan kecil, dan
memiliki nilai FR (filtration rate) yang besar dibandingkan dengan nilai Fr yang dimiliki oleh
air injeksi dari lapangan Ty.
Nilai Fr yang dihasilkan formula larutan surfaktan dan air injeksi pada uji filtrasi
dengan menggunakan kertas saring dapat dilihat pada Tabel 7.

37
Tabel 7. Nilai FR hasil uji filtrasi
Nilai Filtration Rate (FR)
Saring Air Injeksi Formula Surfaktan
Filter 500 mesh 25.36 2.39
Membran 21 µm 3.17 1.35
Membran 0.45 µm 6.42 7.63
Membran 0.22 µm 0.98 1.49

Laju alir formula surfaktan lebih lambat dikarenakan formula surfaktan memiliki bahan
terlarut/miscella yang tersaring dan menutupi pori membran, miscella ini menempel dan
menyumbat membran yang berpori-pori sehingga laju alir formula larutan surfaktan sedikit
terhambat. Untuk mengamati perubahan nilai IFT larutan setelah melewati membran maka
dilakukan pengujian IFT, sampel surfaktan yang telah melewati membran menunjukkan nilai
IFT yang cenderung meningkat ketika melewati membran yang memiliki ukuran pori lebih
kecil. Hasil pengujian nilai IFT tersebut dapat dilihat pada Gambar 29.

4.00E-01 3.59E-01
3.50E-01
3.00E-01 2.77E-01
IFT (dyne/cm)

2.50E-01
2.00E-01
1.50E-01
8.64E-02
1.00E-01
5.00E-02 2.38E-02
7.88E-03
0.00E+00
tanpa saring 500 mesh membran 21 membran membran
µm 0.45 µm 0.22 µm
Media Filtrasi

Gambar 29. Pengaruh perlakuan filtrasi terhadap nilai IFT larutan surfaktan MES stearin.

Dari Gambar 29 menunjukkan bahwa nilai IFT semakin membesar dengan semakin
kecilnya pori membran yang digunakan. Naiknya nilai IFT larutan surfaktan yang disaring
dengan kertas saring membran 21 µm, 0.45µm, 0.22µm diduga karena penggunaan membran
yang terbuat dari nitrat selulosa, yang memiliki kecenderungan untuk menyerap bahan-bahan
yang berminyak seperti surfaktan. Membran nitrat selulosa memiliki karakteristik ukuran pori-
pori yang homogen, kuat dan stabil yang mampu menyaring dan menahan bahan terlarut
(extractables) dengan baik. Kemampuan membran tersebut memungkinkan sejumlah tertentu
bahan terlarut yang terkandung didalam fluida tertahan pada membran.
Pengujian ini dapat mengilustrasikan core sintetik yang memiliki permebilitas tertentu
yang memiliki kemampuan meloloskan fluida dan bahan terlarut didalamnya. Jika
penyumbatan terjadi pada membran yang digunakan dalam filtrasi sehingga membuat laju alir
larutan terhambat, kemungkinan hal tersebut juga akan terjadi pada injeksi didalam reservoir
dan dapat menjadi faktor kerusakan formasi/formation damage. Sehingga pengujian larutan
surfaktan harus memiliki nilai laju alir penyaringan yang baik sebelum diaplikasikan.

38
Pengamatan terhadap perubahan ukuran dan bentuk molekul surfaktan dari perlakukan
penyaringan dilakukan untuk mengetahui karakteristik dan bentuk molekul yang diambil pada
tiap filtrasi yang dilakukan. Pengamatan molekul surfaktan dilakukan dengan menggunakan
mikroskop, Hasil pengamatan tersebut dapat dilihat pada Gambar 30.

(a) (b)

(c) (d)

(e)

Gambar 30. Hasil pengamatan molekul surfaktan MES stearin sawit setelah uji filtrasi.
(a) Sebelum penyaringan, (b) Setelah penyaringan 500 mesh.
(c) Setelah penyaringan 0.45µm, (d) Setelah penyaringan 0.45µm.
(e ) Setelah penyaringan 0.22 µm.

Dari pengamatan larutan surfaktan MES hasil uji filtrasi menggunakan mikroskop,
dapat diamati bahwa ukuran micelle/droplet emulsi larutan surfaktan MES stearin yang dapat
diamati berkisar antara 24 -78µm, micelle terjadi karena reaksi surfaktan-bahan berminyak.

4.4 Core Sandstone Sintetik dan Fluida Reservoir Lapangan Ty

Untuk melakukan uji core flood diperlukan contoh/sampel minyak, batuan dan fluida reservoir
dari struktur tersebut. Percontohan/sampel minyak, air formasi, dan air injeksi diambil dari sumur
lapangan Ty. Sedangkan percontohan batuan dari struktur reservoir/native core tersebut tidak ada,
oleh karena itu sebagai penggantinya dibuatkan batu buatan (core sintetik) yang dirancang dari

39
struktur yang terdekat untuk memiliki sifat/karakteristik yang hampir/mendekati native core.
Komposisi dari sampel native core diketahui menunjukkan dominan kuarsa (sandstone) sehingga core
sintetik dibuat dengan bahan pasir kuarsa. Sampel fluida dan batuan lapangan Ty dapat dilihat pada
Table 8.

Tabel 8. Batuan dan fluida reservoir Lapangan Ty


Fluida pada suhu 70°C
Salinitas Air Formasi 2526 mg/L
Densitas Minyak 0.7918 gr/cm3
Densitas Air Injeksi 0.9840 gr/cm3
Densitas Air Formasi 0.9876 gr/cm3
Viskositas Air Injeksi 1.08 cp
Viskositas Minyak 0.66 cp
Batuan Reservoir (Native core)
Tipe Batuan Batu pasir/sandstone
Porositas 20-24%
Permeabilitas 100-525 mD
Wettability Water-wet

4.4.1 Persiapan Core Sandstone Sintetik

Dalam penelitian ini core sintetik yang diperisapkan adalah core sintetik batu pasir
(sandstone) yang diusahakan memiliki porositas berkisar 22-30%, kisaran porositas tersebut
dibuat berdasarkan porositas batuan asli/native core dari reservoir lapangan Ty.
Pada uji core flooding, formula surfaktan akan diinjeksikan untuk memperoleh/menyapu
residual oil yang tersisa setelah tahap waterflood. Oleh karena pengukuran semakin akurat jika
core sintetik dapat menyerupai batuan reservoir aslinya, sehingga pengujian dapat
mendeskripsikan kondisi yang sebenarnya pada lapisan reservoir lapangan Ty.
Dalam pembuatan core sintetik lapangan Ty digunakanlah pasir kuarsa sebagai bahan
utama pembuat core sintetik, dibantu dengan perekat semen (perbandingan pasir kuarsa dan
semen adalah 5:2). Core sintetik sandstone Lapangan Ty yang dicetak memiliki diameter rata-
rata 2.3 cm dan panjang 3.1 cm. Diagram alir pembuatan core sintetik dapat dilihat pada
Lampiran 4. Contoh core sintetik yang telah dibuat dapat dilihat pada Gambar 31.

Gambar 31. Core sintetik batu pasir/sandstone.

Sebelum digunakan, core sintetik dicuci terlebih dahulu untuk menghilangkan pengotor
dari core sintetik yang telah dibuat, pengotor-pengotor tersebut dapat berupa debu, silika, sisa

40
semen, kandungan air, dll. Pencucian tersebut dilakukan dengan pelarut toluene, dengan
menggunakan distilasi metode soxhlet, sehingga core sintetik yang dibersihkan terendam dan
tercuci berulang kali untuk memastikan pengotor terbawa dengan toluene ke bawah dan lepas
dari core. Penggunaan toluene sebagai pelarut didasarkan penelitian terdahulu yang dilakukan
Mwangi (2008) karena kemampuan toluene dalam menghilangkan senyawa hidrokarbon,
silika, termasuk aspal, dan pengotor lainnya dengan baik dan mengembalikan wettability
batuan. Pencucian ini memerlukan waktu kurang lebih 8 jam untuk menghasilkan core yang
bebas pengotor. Setelah pencucian ini core sintetik tersebut dikeringkan di dalam oven, dan
setelah itu diukur volumenya.
Setelah diukur volume dan bobot keringnya, core kemudian dijenuhkan/saturasi,
penjenuhan core dilakukan dua tahap, tahap pertama penjenuhan adalah tabung vakum yang
telah diisi core di dalamnya selama 2 jam untuk menghilangkan kemungkinan adanya uap air
di dalam tabung vakum, dan setelah itu core sintetik dijenuhkan/disaturasi dengan ditetesi oleh
air formasi lapangan Ty untuk menghasilkan core yang jenuh/membuat tiap rongga (pore)
dalam core terisi oleh air formasi, tujuannya agar core tersebut memiliki sifat batuan di dalam
reservoir lapangan Ty yang jenuh terhadap air formasi. Pensaturasian membutuhkan waktu
yang cukup lama, minimal 6 jam, semakin lama disaturasi maka core sintetik akan semakin
jenuh dan baik. Dari hasil pengukuran volume, bobot kering dan bobot basah maka porositas
core sintetik dapat diketahui, dan permeabilitas batuan juga dapat diukur dengan menggunakan
instrument permeameter (lihat Lampiran 5).
Core sintetik yang digunakan sebagai pengganti native core/batuan pasir asli, dan telah
dibuat sedemikian rupa untuk memiliki porositas, permeabelitas, dan karakteristik core asli
dengan berbagai pendekatan, diantaranya dalam pembuatan core sintetik digunakan bahan
baku pasir kuarsa yang merupakan komponen dominan batuan pasir dengan ukuran 500 mesh
yang homogen, adonan dan cetakan core yang sama, pembilasan core sintetik menggunakan
toluene untuk menghilangkan pengotor, sampai dengan pensaturasian batuan dengan air
formasi yang bertujuan untuk memberikan karakteristik batuan reservoir. Namun, walaupun
begitu nilai porositas yang dihasilkan tidak mungkin identik sama. Dari hasil pengukuran
porositas core sintetik yang telah dibuat, porositas masih cukup besar namun telah cukup
mendekati porositas Lapangan Ty (22-30%). Hasil pengukuran porositas dan permeabilitas
batuan dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Data porositas dan permeabilitas core sintetik yang digunakan dalam penelitian.
Kode Core Porositas (%) Permeabilitas (mD)
1 34.70 45.9
2 33.97 48.6
3 33.78 46.2
4 33.79 50.2
5 35.37 50.4
6 35.37 48.6

4.4.2 Fluida Reservoir Lapangan Ty

Fluida reservoir lapangan Ty dalam penelitian ini meliputi, minyak bumi/crude oil, Air
formasi, dan air injeksi. Persiapan fluida diperlukan untuk keperluan dalam uji formula,
saturasi core sintetik, maupun untuk core flooding test. Minyak bumi lapangan Ty yang

41
diperlukan untuk berbagai keperluan pengujian haruslah minyak bumi yang telah dipisahkan
dari kandungan air formasinya, pemisahan dapat dilakukan dengan cara settling menggunakan
labu pemisah yang dipanaskan beberapa saat di dalam oven pada suhu reservoir lapangan Ty
(70°C). Begitu pula dengan air formasi dan air injeksi yang diperlukan dalam pembuatan
formula, saturasi core, maupun untuk keperluan core flooding. Penyaringan air formasi dan air
injeksi yang telah dilakukan tidak terlepas dari kebutuhan akan air formasi yang bebas
pengotor untuk saturasi core sintetik dan air injeksi untuk melarutkan dan membuat formula
larutan surfaktan MES. Penyaringan dilakukan bertahap yaitu menggunakan filter saring 500
mesh, membran 0.45 µm dan membran 0.22 µm dan telah memenuhi standar yang ditetapkan
Lemigas. Penyaringan menggunakan filter 500 mesh dilakukan pada ruang terbuka sedangkan
dua penyaringan lainnya dilakukan secara vakum. Hasil analisis terhadap air formasi, air
injeksi dan minyak bumi lapangan Ty secara umum dapat dilihat pada Tabel 9.
Minyak bumi yang keluar dari perut bumi mengandung berbagai macam senyawa
hidrokarbon, air dan mineral. Minyak bumi yang berasal dari berbagai sumur minyak bumi
mempunyai komposisi yang berbeda. Minyak bumi lapangan Ty sebelum digunakan terlebih
dahulu dianalisis menggunakan uji aspaltin, uji aspaltin merupakan uji yang dilakukan dengan
melarutkan minyak dengan pelarut hexan dengan perbandingan minyak dan hexan berturut-
turut sebesar 1:10, 1:13, 1:15 dan kemudian dilakukan sentrifugasi pada 3000 rpm. Uji tersebut
bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya kandungan aspal pada minyak, adanya kandungan
aspal yang mengindikasikan bahwa minyak bersifat polar dan begitu sebaliknya. Minyak yang
bersifat polar akan lebih banyak mengikat air dalam formasinya. Sehingga akan lebih mudah
tersapu/terbawa oleh air. Berdasarkan uji aspaltin diketahui bahwa minyak Ty memiliki
kandungan aspal (fraksi berat). Hal ini dibuktikan dengan terdapatnya endapan pada bagian
bawah minyak. Berikut ini adalah gambar sebelum dan setelah uji aspaltin dengan sentrifugasi:

(a) (b)
(a) sebelum sentrifugasi (minyak larut sempurna dalam pelarut hexan)
(b) setelah sentrifugasi (endapan aspal terlihat di bagian bawah tabung)
Gambar 32. Hasil uji asphaltin minyak bumi Lapangan Ty

Sebelum dilakukan sentrifugasi, minyak dan hexan telah dipastikan telah larut
sempurna. Dari hasil sentrifugasi pada 3000 rpm selama ± 10 menit diperoleh endapan aspal
yang relatif sama jumlahnya pada tiap-tiap tabung, hal tersebut menunjukkan bahwa minyak
lapangan Ty mengandung fraksi aspal dan menandakan bahwa minyak lapangan Ty memiliki
kepolaran tinggi.

42
4.5 Core Flooding Test

Core flooding test dalam penelitian ini merupakan uji pendesakan fluida kedalam core sintetik,
hal ini dilakukan untuk menguji kinerja formula surfaktan dalam proses pengambilan minyak/residual
oil. Tujuan utama dari core flooding test di laboratorium ini adalah untuk menentukan perkiraan
perolehan minyak yang akan dihasilkan dari penggunaan injeksi surfaktan. Dalam core flooding test
terdapat parameter-parameter yang perlu diperhatikan yaitu core sintetik (porositas, permeabilitas),
volume dan laju alir fluida yang diinjeksikan dan recovery factor. Bahan yang digunakan dalam core
flooding test pada penelitian ini adalah contoh batuan (core sintetik), fluida lapangan Ty, dan formula
surfaktan MES stearin.
Contoh batuan yang digunakan adalah batuan yang memiliki kesamaan dengan batuan di
lapangan sedangkan sifat fluida disesuaikan dengan karakteristik reservoir (berupa temperatur dan
tekanan) dimana pada sumur Ty berada pada temperatur 70 oC sehingga selama proses core flooding
test harus berada pada temperatur 70oC dan tekanan 1.5 bar. Sementara itu, recovery factor yang
dimaksud adalah faktor-faktor yang mempengaruhi besar kecilnya recovery minyak yang diperoleh.
Faktor-faktor tersebut adalah jenis surfaktan, konsentrasi surfaktan dan lama soaking/perendaman
surfaktan di dalam batuan.
Rangkaian uji coreflooding yang dilakukan dalam penelitian ini berturut-turut adalah saturasi
core sintetik dengan air formasi, injeksi minyak, injeksi air, dan penginjeksian surfaktan 0.1 PV, 0.2
PV, 0.3 PV (PV=pore volume/volume pori) lalu dilakukan perendaman/soaking selama 12 jam.
Prosedur pengujian core flooding dapat dilihat pada Lampiran 6. Alat yang digunakan untuk
coreflooding test pada penelitian ini adalah seperangkat coreflooding apparatus. Coreflooding
apparatus terdiri dari pompa hidrolik, oven besar, core holder, silinder gas N2 dan gelas ukur
penampung hasil flooding. Peralatan ini dirancang untuk memberikan kondisi vakum dan memastikan
fluida yang diinjeksikan melewati core yang jepit pada core holder, sehingga hasil pengujian memiliki
akurasi yang baik. Skematik peralatan core flooding yang digunakan dapat dilihat pada Gambar 33.

Gambar 33. Skematik peralatan core flooding yang digunakan dalam penelitian.

43
Dari skematik bagan alir alat pengujian core flooding, transfer vessel terdiri dari dua tabung
injeksi fluida yang berfungsi untuk menginjeksikan fluida minyak bumi, air injeksi dan surfaktan ke
core holder. Penginjeksian dilakukan pada suhu 70°C dengan tekanan 1.5 bar (P2) dengan gas
Nitrogen (N2). Begitu pula tekanan untuk mencengkram core dalam core holder digunakan gas N2
kedalam core holder, diberi tekanan 100 psi atau (± 7 bar) (P1) untuk mencegah kebocoran fluida.
Core holder dalam pengoperasiannya dikondisikan pada suhu 70°C (temperatur reservoir lapangan
Ty) dengan mengatur temperatur pada heater panel pada 70°C, maka filament pemanas akan
membuat temperatur core holder konstan pada suhu 70°C. Fluida yang diinjeksikan akan melewati
core sintetik yang berada di tengah core holder melalui pori-pori batuan dan fluida yang dikeluarkan
akan ditampung pada gelas ukur yang tepat berada dibawah saluran keluaran fluida. Fluida yang
keluar ini akan diukur volumenya sebagai hasil injeksi pada core flood. Secara berturut-turut
rangkaian core flood yang dilakukan dijelaskan pada tiap point dibawah ini:

4.5.1 Injeksi Minyak

Penginjeksian minyak bumi terhadap core sintetik yang telah disaturasi air formasi
memberikan fluida hasil desakan/flooding berupa air formasi yang terpindahkan keluar batuan
karena minyak yang diinjeksikan, air formasi yang terdesak keluar dari core sintetik tersebut
menjadi indikator bahwa minyak yang diinjeksikan telah memasuki atau mengisi pori-pori core
sintetik yang sebelumnya terisi/tersaturasi oleh air formasi.
Penginjeksian minyak bumi ke dalam core sintetik dalam penelitian ini dilakukan
menggunakan core holder pada tekanan konstan (1.5 bar kedalam core) pada temperatur reservoir
Lapangan Ty (70°C). Laju alir konstan ( ± 1 ml/menit) juga digunakan dimana diatur mengalir
secara perlahan melalui saluran keluar menggunakan katup. Injeksi minyak diperlukan untuk
membuat minyak bumi menggantikan keberadaan air formasi didalam core dari atas kebawah dan
keluaran yang dihasilkan ditampung menggunakan gelas ukur. Volume keluaran diamati secara
teliti untuk memastikan sampai tidak ada lagi air formasi yang keluar bersama minyak yang di
injeksikan.
Kejenuhan atau keberadaan minyak didalam core sintetik ditentukan dengan pengukuran
volume air formasi yang dihasilkan pada gelas ukur. Injeksi minyak akan dihentikan ketika
mencapai kondisi tetap dan mencapai hasil water cut kurang dari 2%, dengan kata lain jumlah
minyak yang ada di dalam core adalah setara dengan air formasi yang terpindahkan/terdesak
keluar oleh injeksi minyak, sehingga jumlah tersebut dapat menjadi jumlah minyak mula-mula
(original oil in place/OOIP) yang berada di dalam core sintetik.

4.5.2 Injeksi Air/Waterflooding

Injeksi air/waterflooding dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan air injeksi
Lapangan Ty, atau dapat juga mengunakan air formasi yang digunakan untuk saturasi core
sintetik. Hal ini karena air formasi dianggap sebagai air dari reservoir yang digunakan untuk
membentuk gradient salinitas di dalam core sintetik untuk mendapatkan karakteristik reservoir.
Water flood dilakukan dengan laju (1 ml/menit) alir lambat dan diharapkan tidak melebihi
tekanan reservoir sebenarnya. Injeksi air yang dilakukan akan dihentikan saat minyak yang
dihasilkan telah menurun mencapai ± 2% oil cut dan tidak mengalami peningkatan.
Perolehan minyak pada waterflooding menggunakan air injeksi Lapangan Ty terbukti
produktif dengan diperolehnya hasil recovery waterflood yang tinggi mencapai kisaran 55-64%
dari jumlah minyak mula-mula/OOIP. Hasil recovery waterflood yang tinggi tersebut dipengaruhi
oleh banyak faktor, diantaranya adalah porositas, permeabilitas yang baik dan karakteristik yang

44
homogen dari core sintetik yang digunakan. Minyak sisa/residual oil yang masih berada di dalam
core dan tidak dapat diproduksikan melalui injeksi air ditentukan dengan mengukur volume
minyak yang telah dihasilkan dalam gelas ukur.

4.5.3 Injeksi Surfaktan

Perolehan minyak menggunakan metoda enhanced waterflooding merupakan metoda


recovery dengan menambahkan surfaktan dengan konsentrasi rendah ke dalam air injeksi
sehingga menggunakan/memerlukan konsep surfactant soaking. Hal yang mendasari konsep
tersebut adalah pergerakan fluida reservoir pada saat pendesakan hampir sama dengan aliran
fluida saat diproduksikan (aliran fluida ke lubang sumur) hal ini yang mendasari dari konsep
dasar dari soaking surfactant yang dilakukan dengan system soak injection methods (metode
injeksi dan perendaman), dimana melalui perendaman diharapkan surfaktan bekerja secara
optimum dengan memberikan waktu untuk pembentukan interfacial tension (IFT) yang baru
antara minyak dan air serta tersaturasi didalamnya sehingga minyak yang terperangkap dalam
pori akan terlepas dan akan terproduksikan dengan pergerakan yang sama dengan saat
pendesakan.
Pemberian waktu soaking juga harus optimal (tidak berlebih/tidak kurang) sehingga
surfaktan diharapkan mampu meningkatkan recovery minyak yang optimal. Lamanya
perendaman sumur (soaking period) pada penelitian ini didasarkan pada penelitian yang telah
dilakukan oleh Mwangi (2008) dimana larutan surfaktan yang akan diinjeksikan setelah beberapa
lama akan terjadi emulsi, perendaman yang terlalu singkat dapat menghasilkan penurunan IFT
yang kurang maksimal dan apabila terlalu lama juga akan terjadinya emulsi yang akan
menyebabkan plugging pada pori-pori batuan. Waktu ideal untuk merendam/soaking surfaktan
dalam uji core flooding yaitu dengan waktu soaking 12 jam pada 0.1 PV, 0.2PV, 0.3 PV.

4.5.4 Rekap Hasil Uji Core Flooding

Penginjeksian formula surfaktan MES stearin yang dilakukan pada 0.1 PV mampu
meningkatkan additional recovery minyak dari pori-pori core sintetik mencapai 13.4% OOIP,
begitu pula dengan penginjeksian 0.2 PV larutan formula surfaktan MES stearin mampu
meningkatkan recovery sebesar 13.11% OOIP dan 0.3 PV sebesar 14.48% OOIP. Dari hasil
tersebut, menunjukkan bahwa injeksi formula surfaktan MES stearin dengan jumlah tertentu
mampu mendesak/menyapu minyak yang masih tersisa/residual oil dari dalam pori batuan core
sintetik sehingga memberikan recovery minyak berkisar 13-14%. Hasil rekap data core flooding
secara lengkap dapat dilihat di Lampiran 14 dan dokumentasi pengujian dapat dilihat pada
Lampiran 17. Hasil rata-rata recovery waterflood dan injeksi surfaktan dapat dilihat pada Tabel
10 dan Gambar 32.

Tabel 10. Recovery minyak rata-rata pada tiap perlakuan

Volume Recovery minyak Recovery minyak setelah injeksi


Injeksi waterflood (%) dan soaking surfaktan (%) Total recovery (%)
0.1PV 55.77 13.46 69.23
0.2 PV 64.37 13.15 77.51
0.3 PV 56.46 14.48 70.94

45
Untuk mengetahui pengaruh banyaknya injeksi surfaktan yang dilakukan terhadap
recovery minyak yang diperoleh, maka dilakukan analisis statistik berupa rancangan acak
lengkap (RAL) dengan satu faktor. Analisis statistik ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh
faktor terhadap respon. Faktor yang dimaksud adalah pore volume (PV) formula surfaktan
yang digunakan dan respon yang dimaksud adalah recovery minyak yang dihasilkan. Analisis
data ini dilakukan untuk mengetahui tingkat perbedaan yang diperoleh dengan sistem injeksi
pore volume/volume pori yang diterapkan. Analisis data dilakukan dengan menggunakan
software SAS dengan melihat trend dan uji beda terhadap data yang dihasilkan. Hasil analisis
statistik menunjukkan adanya pengaruh pore volume formula surfaktan terhadap recovery
minyak yang diperoleh. Pada tingkat kepercayaan 95% (α = 0.05), pore volume formula
surfaktan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap recovery minyak yang diperoleh. Hasil
recovery minyak mengalami peningkatan seiring dengan meningkatnya surfaktan yang
diinjeksikan. Hasil analisis statistik dapat dilihat pada Lampiran 16.

46
V. SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan:

 Campuran surfaktan MES stearin dan air injeksi/formasi dari Lapangan Ty bernilai positif
atau kompatibel dengan tidak terbentuknya presipitasi/endapan pada larutan, sehingga
surfaktan MES stearin dapat diaplikasikan sebagai surfaktan untuk keperluan EOR.
 Larutan surfaktan MES stearin 0.3% dalam air injeksi Lapangan Ty, 3000 ppm NaCl, dan
alkali 0.1 % Na2CO3 mampu menurunkan tegangan antarmuka (IFT) mencapai nilai rata-rata
7.88 x 10-3 dyne/cm, sehingga memenuhi kriteria IFT untuk EOR.
 Dari pengukuran IFT, formula larutan surfaktan MES stearin cenderung kurang stabil
terhadap termperatur tinggi (thermal stability), nilai IFT mengalami peningkatan selama
pemanasan.
 Kelakuan fasa surfaktan MES stearin dan minyak bumi memberikan hasil visual mikroemulsi
bentuk fasa bawah/tipe II (-).
 Pengujian filtrasi surfaktan MES stearin dengan.menggunakan membran membran 0.45 µm,
mennghasilkan nilai FR larutan yang besar, dan peningkatan nilai IFT.
 Recovery waterflood berkisar antara 54-64% OOIP. Perolehan yang sangat tinggi tersebut
dapat dihubungkan dengan contoh core sintetik yang memiliki porositas dan permeabilitas
yang baik, sehingga membuat pendesakan minyak sangat efisien.
 Incremental recovery setelah injeksi formula surfaktan dan soaking berkisar 12-14% OOIP.
Recovery minyak mengalami peningkatan seiring peningkatan pore volume formula yang
diinjeksikan, sehingga formula surfaktan MES stearin dapat dikategorikan memiliki kinerja
yang baik untuk aplikasi enhanced waterflooding pada lapangan Ty.

5.2 Saran

Perlu dilakukan pengujian menggunakan native core/batuan reservoir asli dari


Lapangan Ty untuk memberikan gambaran yang lebih tepat tentang incremental recovery yang
akan diperoleh, serta pengujian surfaktan MES stearin terhadap adsorbsi batuan.

47
DAFTAR PUSTAKA

Allen TO, Robert AP. 1993. Production Operation 2 : Well Completions, Workover and Stimulation.
Oil & Gas Consultants International (OGCI) Inc., Tulsa, Oklohoma, USA.

Ayirala S. 2002. Surfactant-Induced Relative Permeability Modifications for Oil Recovery


Enhancement.[tesis]. Lousiana State University and Agricultural and Mechanical College.

Bernardini E. 1983. Vegetable Oils and Fats Processing. Volume II. Interstampa, Rome.

Boeau DF, dan Clampitt RL. 1977. A Surfactant system for the Oil-Wet Sandstone of the North
Burbank Unit. Paper SPE 5820, Journal Petroleum Technology.

Danesh A. 1998. PVT and Phase Behaviour of Petroleum Reservoir Fluids (Developments in
Petroleum Science). Department of Petroleum Engineering, Heriot Watt University,
Edinburgh, Scotland.

Drelich J, Fang CH, White CL. 2002. Measurement of Interfacial Tension in Fluid-Fluid Systems.
Marcel Dekker, Inc. http://www.iqm.unicamp.br. [30-07-2011].

Chatzis, Morrow. 1994. Vicolastic Surfactant for EOR. Society of Petroleum Engineers -56.
http://www.onepetro.org. [15-11-2011].

Economides MJ, Nolte KG. 1989. Reservoir Stimulation. Schlumberger Education Services. Di dalam
Gomaa, E. E. 2003. Enhanced Oil Recovery. Paper for Kinanti Training and Conference
Organizer (KTCO), Yogyakarta, Tanggal 19–22 Agustus 2003.

Eni H, Suwartiningsih, Sugihardjo. 2007. Studi Penentuan Fluida Injeksi Kimia. Prosiding Simposium
Nasional IATMI 2001 25 - 28 Juli 2007, UPN “Veteran” Yogyakarta.

[ESDM] Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral, Indonesia. 2010. Statistik Minyak Bumi.
http://prokum.esdm.go.id/. [12-06-2011].

Emegwalu CC. 2009. Enhanced Oil Recovery: Surfactant Flooding As A Possibility For The Norne E-
Segment. [tesis] Department Of Petroleum Engineering And Applied Geophysics. Norwegian
University of Science and Technology. http://www.ipt.ntnu.no. [23-10-2011].

Foster NC. 1996. Sulfanation and Sulfation Processes. In : Spitz, L. (Ed). Soap and Detergents : A
Theoretical and Practical Review, AOCS Press, Champaign, Illinois.

Gardener JE, dan ME Hayes. 1983. Spinning Drop Interfacial Tensiometer Instruction Manual.
Department of Chemistry. The University of Texas, Austin.

Georgeiou G. 1992. Surface Active Compounds from Microorganism. Bio/tech 10 : 60-65.

Gomaa EE. 1997. Enhanced Oil Recovery : Modern Management Approach. Paper for IATMI-
IWPL/MIGAS Conference. Surakarta, 28 Juli–1 Agustus 1997.

Gurgel A, Moura MCPA, Dantas TNC, Barros EL, Dantas AA. 2008. A Review on chemical flooding
Methods applied in Enhanced Oil Recovery. Brazilian Journal of Petroleum and Gas. v.2, n.2,
p. 83-95, 2008. ISSN 1982-0593. http:// www.portalabpg.org.br/ . [12-07-2011].

48
Hambali E. Suarsana P, Sugihardjo, Rivai M, Zulchaidir E. 2009. Peningkatan Nilai Tambah Minyak
Sawit Melalui Pengembangan Teknologi Proses Produksi Surfaktan MES dan Aplikasinya
untuk Meningkatkan Produksi Minyak Bumi Menggunakan Metode Huff and Puff. Laporan
Hibah Kompetitif Penelitian Unggulan Strategis Nasional Batch I, Dikti, Jakarta.

Hui YH. 1996. Bailey’s Industrial Oil and Fat Products. 5th Edition. Volume 5. New York; John
Wiley & Sons Inc.

Hirasaki GJ. 2005. Surfactant Based Enhanced Oil Recovery and Foam Mobility Control. 2nd Annual
Technical Report, Department of Chemical Engineering, Rice University, Houston.
http://www.owlnet.rice.edu. [12-07-2011].

Hirasaki GJ, Zhang DL. 2003. Surface Chemistry of Oil Recovery From Fractured, Oil-Wet,
Carbonate Formations. SPE 80988- International Symposium on Oilfield Chemistry held in
Houston, Texas, U.S.A, 5-8 February 2003. http://www.owlnet.rice.edu/. [21-07-2011].

Holmberg K, Kronberg B, Lindman B. 2003. “Surfactant and Polimer in Aques Solution”.Ed ke-2.
Chichester: J Wiley.

Jackson AC. 2006. Experimental Study of the Benefits of Sodium Carbonate on Surfactant for
Enhanced Oil Recovery. [tesis] The University of Texas at Austin.

Kristanto D, Widiyarso A, Wibowo. 2010. Pilot project implementasi injeksi surfactant di lapangan
minyak “X” Sumatera Bagian Selatan. Prosiding Seminar Nasional Teknik Kimia
“Kejuangan” Pengembangan Teknologi Kimia untuk Pengolahan Sumber Daya Alam
Indonesia. Yogyakarta, 26 Januari 2010. ISSN 1693-4393. http://repository.upnyk.ac.id . [30-
07-2011].

Koesoemadinata RP. 1978. Geologi Minyak Bumi. Penerbit ITB, Bandung.

Levitt DB. 2006. Experimental Evaluation Of High Performance EOR Surfactants For A Dolomite Oil
Reservoir. [tesis]. The University of Texas at Austin.

[LIPI] Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 2007. Pembuatan Metil Ester Sulfonat dari Refined
Bleached Dodorized Stearin Minyak Sawit Menggunakan Oleum. Jurnal Sains Materi
Indonesia. Vol. 8, N0., Juni 2007, hal: 220-225. ISSN: 1411-1098.

Loehardjo N, Xie X, Yin P, Norman. 2007. Low Salinity Waterflooding of A Reservoir Rock.
International Symposium of the society of Core Analysts held in Calgary, Canada, 10-12
September, 2007. University of Wyoming. http://www.scaweb.org [30-07-2011].

MacArthur B. 2009. Methyl Ester Sulfonate Products. http://www.chemithon.com/. [20-06-2011].

MacArthur B. 2001. Meeting the Challenge of Methylester Sulfonation. Chemiton, USA.

Matheson KL. 1996. Surfactant Raw Materials : Classification, Synthesis, and Uses. In : Soap and
Detergents : A Theoretical and Practical Review. Spitz, L. (Ed). AOCS Press, Champaign,
Illinois.

Mwangi P. 2008. An Experimental Study Of Surfactant Enhanced Waterflooding. [tesis]. University of


Rochester.

Nasiri H. 2011. Enzymes for Enhanced Oil Recovery (EOR). [disertasi]. University of Bergen,
Norway.

49
Nuraini, Sugihardjo, Tjuwati Makmur. 2004. Uji Kelakuan Fase dan Tegangan Antarmuka Minyak-
Surfaktan-Kosurfaktan-Air Injeksi. Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak
dan Gas Bumi .http://www.dbriptek.ristek.go.id. [25-10-2011].

Nurwidiyanto MI, Noviyanti I, Widodo S. 2005. Estimasi hubungan porositas dan permeabilitas
Pada batupasir (study kasus formasi Kerek, Ledok, Selorejo). Berkala Fisika Vol.8, No.3,
Juli 2005, hal 87-90. ISSN: 1410-9662. http://eprints.undip.ac.id. [12-06-2011].

Pratomo A. 2005. Pemanfaatan Surfaktan Berbasis Minyak Sawit Pada Industri Perminyakan.
Prosiding Seminar Nasional Pemanfaatan Oleokimia Berbasis Minyak sawit pada Berbagai
lndustri. Bogor, 24 November 2005.

Pore J. 1976. Oil and Fats Manual. Intercept Ltd. Andover, New York.

Pope GA. 2007. Overview of Chemical EOR. Center for Petroleum and Geosystems Engineering. The
University of Texas at Austin. http://www.uwyo.edu/ . [12-06-2011].

Rachmat S. 2009. Reservoir Minyak dan Gas Bumi. http://www.migas-indonesia.net/. [02-02-2011].

Rahmi ID. 2011. Proses Aging Pasca Sulfonasi Metil Ester Stearin Sawit Dan Pengaruhnya Terhadap
Sifat Fisikokimia Surfaktan yang di Hasilkan. [tesis] Bogor, Institut Pertanian Bogor.

Rieger MM. 1985. Surfactant In Cosmetics. Surfactant Science Series, Marcel Draker, Inc., New
York. 488 p.

Robert DW, L Giusti, A Forcella. 2008. Chemistry of Methyl Ester Sulfonates. Biorenewable
Resources 5: 2-19.

Rosen JM. 2004. Surfactant and Interfacial Phenomena. Third Edition. John Willey & Sons Inc., New
York.

Sugiharjdo,Tobing E, Pratomo SW. 2001. Kelakuan Fasa Campuran Antara “Reservoir-Injeksi-


Surfaktan” Untuk Implementasi Enhanced Water Flooding. Prosiding Simposium Nasional
IATMI. Yogyakarta 3-5 Oktober 2001.

Speight JG. 2002. Chemical And Process Design Handbook. McGraw-Hill. New York.

Salager JL. 1977. Physico-Chemical Properties Of Surfactant-Water-Oil Mixture: Phase Behaviour,


Microemulsion Formation And Interfacial Tension. [disertasi]. Texas. The University of The
Texas At Austin.

Salager JL. 2002. Surfactants Types and Uses. Version 2. FIRP Booklet#E300-A: Teaching Aid in
Surfactant Science & Engineering in English. Universidad De Los Andes, Merida-Venezuela.
http://www.firp.ula.ve/. [20 Maret 2011].

Swern D. 1979. Bailey’s Industrial Oil and Fat Products. Vol. I 4th Edition. John Willey & Sons Inc.,
New York.

Sheats WB, MacArthur BW. 2002. Methyl Ester Sulfonate Products. The Chemithon Corporation.
USA. http://www.chemithon.com/. [02-02-2011].

Sheng JJ. 2011. Modern Chemical Enhanced Oil Recovery:Theory and Practice. Gulf Professional
Publishing is an imprint of Elsevier. 30 Corporate Drive, Suite 400. Burlington, MA 01803,
USA.

50
Technology Asessment Board. 1978. Enhanced Oil Recovery Potential in The United States.
http://govinfo.library.unt.edu. [02-02-2011].

Wahyono K. 2009. Warta Pertamina. http://www.pertamina.com/. [02-02-2011].

Watkins C. 2001. Surfactant and Detergent : All Eyes are On Texas. Inform 12 : 1152 – 1159.

Zhang YP, Sayegh SG, dan Huang S. 2007. The Role of Effective Interfacial Tension in
Alkaline/Surfactant/Polymer Flooding. Journal of Petroleum Science and Engineering
Presented at The Canadian International Petroleum Conference. Calgary, Alberta, June 2007

51
LAMPIRAN

52
Lampiran 1. Prosedur Pengujian Formula Surfaktan

1. Tegangan Antar Permukaan Metode Spinning Drop (Gardener and Hayes, 1983)
Cara kerja Spinning Drop Interfacial sebagai berikut : hidupkan power dan tombol lampu pada
alat. Panaskan alat spinning drop, kemudian set pada suhu 70oC (kondisi percobaan). Setelah kondisi
tersebut stabil, ke dalam glass tube diisikan larutan surfaktan dengan konsentrasi yang telah dibuat.
Ke dalam glass tube yang telah berisi larutan surfaktan, diberi tetesan minyak (crude oil). Dalam glass
tube tidak boleh ada gelembung udara. Masukan glass tube ke dalam alat spinning drop, dengan
permukaan glass tube menghadap ke arah luar, kecepatan putaran instrument diatur stabil pada 9000
rpm. Pembacaan radius tetesan dilakukan jika suhu alat telah mencapai 70 oC. Ulangi pembacaan ini
sampai didapatkan harga yang konstan dari pembacaan radius tetesan. Bila pembacaan kurang jelas,
fokus lensa dapat diatur.

𝟏
Perhitungan : 𝑰𝑭𝑻 = 𝟒 . 𝒘𝟐 𝑫𝟑 ∆𝝆

Keterangan :

IFT = nilai tegangan antar muka (dyne/m)


Δρ = perbedaan densitas fluida minyak dan larutan surfaktan (kg/m3)
D = radius drop (m)
w = kecepatan angular (rpm)

Fluida A= minyak bumi (sampel)


Fluida B= larutan surfaktan

Gambar. Skematik metode spinning drop.

2. Uji Kompatibilitas/Compatibility test


Formula surfaktan dicampur dengan air injeksi/formasi sumur minyak. Selanjutnya sebanyak
8–10 ml larutan tersebut dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang telah diberi label. Seluruh tabung
reaksi disimpan pada suhu reservoir. Setelah satu hari, larutan dalam seluruh tabung reaksi diamati
secara visual (perubahan yang terjadi) dan didokumentasikan.

3. Pengukuran Densitas
Hidupkan power alat densitymeter. Pastikan sel pengukuran bersih dengan membilasnya
dengan aquades. Masukkan larutan surfaktan ke dalam sel pengukuran yang terdapat pada alat dengan
alat suntik fluida yang tersedia. Tekan tombol start dan tunggu beberapa menit hingga hasil
pengukuran terlihat pada monitor alat. Catat hasil pengukuran berupa densitas dan specific gravity
yang diperoleh.

53
4. Pengukuran Viskositas
Hidupkan power alat viscosimeter. Kalibrasi alat tersebut. Masukkan nomor spindle dengan
memilih kunci spindle. Masukkan larutan surfaktan ke dalam spindle lalu spindle ditutup rapat dengan
mur. Kecepatan putaran diset pada alat dimana kecepatan putaran sesuai dengan kebutuhan. Catat %
tenaga putaran dan viskositas yang diperoleh.

5. Uji Kelakuan Fasa/Phase Behaviour


Minyak mentah disaring dengan menggunakan filter berukuran 10 mikron untuk memisahkan
partikel seperti pasir dari minyak mentah. Masukkan 2 ml surfaktan ke dalam graduated pipette
berukuran 5 ml lalu ditambahkan 2 ml minyak mentah. Bagian bawah dan atas pipet diseal dengan bor
api. Tempatkan pipet pada rak dan disimpan pada suhu reservoir selama 30 menit. Bolak-balikkan
tiap pipet sebanyak 3 kali hingga cairan tercampur. Jangan dikocok. Selanjutnya, diamati perubahan
pada antar muka cairan setelah dari hari ke 0, 7, 14, 21, dan 30 apakah terbentuk emulsi tipe II (-),
tipe II (+), atau tipe III. Cairan dikatakan berada di titik keseimbangan ketika antar muka cairan tidak
berubah secara signifikan.
Volume kelarutan minyak dibaca dan diukur dari perubahan antara level air awal dan excess oil
(top). Parameter kelarutan minyak dihitung dengan perhitungan sebagai berikut :

𝑉𝑜 − 𝑉𝑜′
𝑃𝑜 =
𝑉𝑠

Keterangan : Po = Kelarutan minyak


Vo = Volume minyak awal
Vo’ = Volume minyak selama pengamatan
Vs = Volume larutan surfaktan

Rasio kelarutan air ditentukan oleh volume air yang terbagi menjadi volume surfaktan dalam
mikroemulsi. Rasio kelarutan air digunakan untuk Winsor tipe III dan tipe II. Volume kelarutan
diketahui dengan membaca perubahan antara larutan dan excess water (bottom). Jika selama
pengamatan terbentuk tiga fasa maka digunakan perhitungan sebagai berikut :

𝑉𝑤 − 𝑉𝑤′
𝑃𝑤 =
𝑉𝑠

Keterangan : Pw = Kelarutan larutan surfaktan


Vw = Volume larutan surfaktan awal
Vw’ = Volume larutan surfaktan selama pengamatan
Vs = Volume larutan surfaktan

Berikut ini adalah ilustrasi kelakuan fasa dalam perhitungan :

Vo Vo’ Vo’

mikroemulsi

Vw Vw’ Vw’

(a) (b) (c) (d)

(a) fasa awal, (b) terbentuk fasa II (-), (c) terbentuk fasa II (+), (d) terbentuk fasa III

54
6. Pengkuran pH
Hidupkan power alat pH-meter. Pastikan sel pengukuran bersih dan kering. Masukkan larutan
surfaktan ke dalam sel pengukuran yang terdapat pada alat. Tekan tombol start dan tunggu beberapa
menit hingga hasil pengukuran terlihat pada monitor alat. Catat nilai pH yang diperoleh.

7. Uji Ketahanan Panas/Thermal Stability


Sebanyak 25 ml formula surfaktan dimasukkan ke dalam botol yang telah diberi label.
Selanjutnya dimasukkan ke dalam oven pada suhu reservoir. Setelah satu hari, diamati perubahan
yang terjadi dan didokumentasikan serta diukur densitas, viskositas dan IFT dari masing-masing
larutan. Seluruh botol disimpan kembali pada oven bersuhu reservoir lalu diamati dan
didokumentasikan serta diukur densitas, viskositas dan IFT dari masing-masing larutan. Buatkan plot
hubungan antara IFT dan perubahan yang terjadi akibat pemanasan. Uji termal dalam penelitian ini
dilakukan selama 1 bulan dengan pengamatan dilakukan tiap minggu.

8. Uji Filtrasi
Pengujian filtrasi dilakukan dengan menggunakan filter apparatus. Tetapi sebelumnya,
pastikan seluruh bagian apparatus dalam keadaaan bersih. Hubungkan tangki nitrogen, pressure
vessel, dan membrane filter holder dengan tabung dan valve. Selanjutnya hubungkan dengan tabung
drain. Masukkan membran filter ke dalam membrane filter holder secara tepat. Basahi membran filter
dan jangan sampai ada udara yang keluar. Masukkan 550–600 ml larutan surfaktan dengan salinitas
optimal ke dalam pressure vessel lalu tutup hingga rapat bagian atas dan bagian suplai. Selanjutnya
valve ditutup dan diberikan tekanan 20 psig melalui regulator nitrogen. Tempatkan graduated cylinder
di bawah outlet filter lalu valve pada dasar filter pressure vessel dibuka dan hitung waktu dengan
menggunakan stopwatch. Tekanan yang digunakan (20 psig) harus konstan. Pastikan larutan dalam
filter sesuai dengan suhu reservoir. Catat kumulatif waktu dari tiap kenaikan filter sebanyak 50 ml.
Filtrasi dilanjutkan sampai 500 ml larutan sudah terfiltrasi atau filtrasi telah berhenti atau 600 detik
kemudian. Periksa membran filter apakah terdapat sobekan atau kerusakan lainnya seperti bagian
yang tidak terbasahi dari filter. Jika terdapat kerusakan maka prosedur harus diulangi. Adanya
material lain pada filter dicatat. Ulangi prosedur untuk formula surfaktan lainnya.
Untuk mengetahui laju alir dari bahan dan mengetahui filtration rate (Fr) dari fluida yang
digunakan perhitungan Fr, perhitungannya dijabarkan pada rumus di bawah ini:

𝑡500 − 𝑡400
𝐹𝑟 = < 1.2
𝑡200 − 𝑡100

Keterangan:
𝑡500 = waktu yang dibutuhkan untuk filtrasi fluida mencapai 500 ml
𝑡400 = waktu yang dibutuhkan untuk filtrasi fluida mencapai 400 ml
𝑡200 = waktu yang dibutuhkan untuk filtrasi fluida mencapai 200 ml
𝑡100 = waktu yang dibutuhkan untuk filtrasi fluida mencapai 100 ml

55
Lampiran 2. Diagram Alir Proses Transesterifikasi Stearin.

RBD Stearin

Pengukuran FFA

Tidak
FFA <2%
Metanol (225%
FFA minyak) FFA <2%
Ya

Esterifikasi (suhu 55-60°C, 1 Pemanasan minyak


Mixing
jam, pengadukan 300-500 rpm) hingga suhu 55-60°C

Asam sulfat (5% Settling


FFA minyak)
Pemisahan

Sisa methanol, Campuran FAME


pengotor dan minyak
Metanol
(15% v/v)
minyak
Transesterifikasi (suhu 55-
60°C 1 jam, pengadukan
300-500 rpm) Mixing

KOH (1%
Recovery metanol Settling m/v minyak)

Pemisahan

Metil ester kasar Gliserin kasar

Pemurnian

Metil ester Murni

56
Lampiran 3. Diagram Alir Proses Sulfonasi Metil Ester Stearin

Metil Ester Stearin

Sulfonasi dengan reaktan gas SO3 pada singletube faling film reaktor
(STFR) dengan laju alir input 50 ml/menit dan suhu input 100 °C

Methyl Ester Sulfonic Acid


(MESA)

Aging selama 60 menit, pada suhu


80°C selama 45 menit

MESA pasca aging

Netralisasi MESA pasca aging


(NaOH 50%)

MES (MESA netral)

57
Lampiran 4. Prosedur Persiapan Core Sintetik dan Fluida Reservoir Lapangan
Ty untuk Core flooding Test

a. Persiapan Core Sintetik

Pasir Kuarsa
(500 mesh) Semen Air

Pencampuran
perbandingan (5 : 2 :1)

Pencetakan

Pengeringan

Perataan/Pengecilan
Ukuran

Core Sintetik
Kotor

Pencucian Core Toluene +


Toluene
(Soxhlet Destilation) Silika, debu, dll

Pengeringan dalam
Oven 70 °C

Core Bersih
Pengukuran Dimensi &
Penimbangan Berat Kering
Core Sintetik
Saturasi/penjenuhan dengan
Air Formasi (AF)

Penimbangan Berat Basah


Core Sintetik

Penentuan Porositas
Core Sintetik
Core Sintetik siap
digunakan Berat basah-berat
kering core

58
Lampiran 4. Prosedur Persiapan Core Sintetik dan Fluida Reservoir Lapangan
Ty untuk Core flooding Test (Lanjutan)

b. Persiapan Fluida Reservoir Lapangan Ty


Minyak bumi Lapangan Ty di lakukan settling beberapa saat menggunakan labu
pemisah untuk memisahkan air formasi yang mungkin masih terdapat pada minyak,
sehingga setelah settling di dapat minyak bumi mentah/crude oil yang bebas dari
keberadaan air formasi.

59
Lampiran 5. Prosedur Perhitungan Porositas dan Permeabilitas Core

Core bersih yang telah dikeringkan dalam oven dengan suhu 70 oC diukur dimensinya.
Dimensi yang diukur berupa panjang dan diameter dengan 3 kali ulangan menggunakan jangka
sorong. Selanjutnya, dihitung volume dari core dengan menggunakan rumus volume tabung. Core
tersebut juga diukur bobot kering dengan 3 kali ulangan menggunakan timbangan analitik.
Selanjutnya, core dijenuhkan dengan menggunakan air formasi. Core yang telah dijenuhkan diukur
bobot basah dengan 3 kali ulangan menggunakan timbangan analitik. Setelah itu, dilakukan
perhitungan volume air formasi yang terdapat pada core dengan mengurangi bobot basah dengan
bobot kering lalu dibagi dengan densitas air formasi.

Perhitungan :
𝑉𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑎𝑖𝑟 𝑓𝑜𝑟𝑚𝑎𝑠𝑖
𝑃𝑜𝑟𝑜𝑠𝑖𝑡𝑎𝑠 % = 𝑥 100
𝑉𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑐𝑜𝑟𝑒

Core bersih yang telah dikeringkan dalam oven dengan suhu 70 oC diukur permeabilitasnya
dengan menggunakan alat permeameter. Permeameter yang digunakan masih sangat sederhana yaitu
berupa buret dengan skala 10 ml, bulb, core holder dan tabung gas nitrogen beserta pengukur tekanan.
Buret dihubungkan dengan tabung gas nitrogen yang telah diberi pengatur tekanan dan yang telah
dihubungkan dengan core holder. Buret juga dihubungkan dengan bulb yang telah berisi air sabun.
Setelah rangkaian telah siap dipakai. Tempatkan core di dalam core holder. Buka valve pada tabung
nitrogen untuk mengalirkan udara ke core lalu ke buret. Selanjutnya, buatlah gelembung udara dari air
sabun dengan memencet bulb. Gelembung udara tidak boleh pecah selama dihembuskan gas nitrogen
hingga mencapai volume buret. Hitung waktu yang dibutuhkan.

Perhitungan :
𝑣𝑥𝜇𝑥𝐿
𝑃𝑒𝑟𝑚𝑒𝑎𝑏𝑖𝑙𝑖𝑡𝑎𝑠 𝑘 = 𝑥 1000
𝑡 𝑥 𝐴 𝑥 ∆𝑝
Keterangan:
k = permeabilitas (mDarcy)
v = volume buret (ml)
µ = viskositas nitrogen pada suhu ruang (cP)
L = tinggi core (cm)
t = waktu yang dibutuhkan gelembung udara mencapai volume buret (second)
A = luas core (cm2)
Δp = perbedaan tekanan (atm)

60
Lampiran 6. Prosedur Core Flooding Test

Core Sintetik

Minyak bumi
Lapangan Ty

Injeksi Core oleh minyak Pengukuran Volume


Lapangan Ty pada suhu 70oC AF yang keluar (III)
Air Injeksi
Lapangan Ty
Injeksi Core oleh Air Injeksi Pengukuran Volume
pada suhu 70oC Minyak yang keluar
Formula (Waterflood)
Surfaktan
MES
Injeksi Core 0.1 PV, 0.2 PV,
0.3 PV oleh Larutan
Surfaktan pada suhu 70oC

Soaking/Perendaman 12 Jam

Air Injeksi
Lapangan Ty
Injeksi Core oleh Air Injeksi
pada suhu 70 oC

Pengukuran Volume
Minyak yang keluar
(Recovery Factor)

61
Lampiran 7. Reaktor Singletube Falling Film Reaktor (STFR)

(Lab. SBRC Pulo Gadung) (Reaktor Tampak Atas)

(Reaktor Tampak Bawah) (Reaktor Tampak samping)

(Tube Atas) (Bagian Bawah Reaktor/Output)

62
Lampiran 7. Reaktor Singletube Falling Film Reaktor (STFR). (Lanjutan)

(Saluran Gas SO3 dan udara kering) (Bak Umpan/Metil Ester)

(Pemeriksaan Pompa) (Bypass dan Siklon Gas)

63
Lampiran 8. Peralatan/Instrument yang Digunakan

Timbangan Analitik Spining Drop Interfacial Tension TX 500C

Densti meter DMA 4500M pH Meter Schott

Viskosimeter Brookfield Oven

Soxhlet Saturasi/Penjenuhan Core.

64
Lampiran 8. Peralatan/Instrument yang Digunakan (Lanjutan)

(Core Holder Apparatus)

(Core Holder Apparatus)Bagian Dalam Filtrasi Vakum

65
Lampiran 9. Hasil Uji Formulasi Surfaktan

Rekap Optimal Salinitas, (Densitas Minyak Lapangan Ty: 0,79183 gr/cm3)

Densitas Rata-Rata IFT Rata-Rata


Sampel 3
(g/cm ) Densitas (dyne/cm) IFT
MES STEARIN 0.3% (1) 0.98408 2.28E-02
0.9841 2.97E-02
MES STEARIN 0.3% (2) 0.98409 3.65E-02
MES STEARIN 0.3% (1000ppm) (1) Ty 0.98496 1.90E-02
0.9850 1.66E-02
MES STEARIN 0.3% (1000ppm) (2) Ty 0.98499 1.42E-02
MES STEARIN 0.3% (3000ppm) (1) Ty 0.98641 1.05E-02
0.9863 1.43E-02
MES STEARIN 0.3% (3000ppm) (2) Ty 0.98626 1.80E-02
MES STEARIN 0.3% (5000ppm) (1) Ty 0.98765 2.20E-02
0.9877 1.70E-02
MES STEARIN 0.3% (5000ppm) (2) Ty 0.98767 1.20E-02
MES STEARIN 0.3% (7000ppm) (1) Ty 0.98919 1.24E-02
0.9891 1.53E-02
MES STEARIN 0.3% (7000ppm) (2) Ty 0.98908 1.81E-02
MES STEARIN 0.3% (9000ppm) (1) Ty 0.99047 1.57E-02
0.9904 1.47E-02
MES STEARIN 0.3% (9000ppm) (2) Ty 0.9904 1.36E-02
MES STEARIN 0.3% (11000ppm) (1) Ty 0.99174 1.17E-02
0.9917 1.48E-02
MES STEARIN 0.3% (11000ppm) (2) Ty 0.99175 1.78E-02
MES STEARIN 0.3% (13000ppm) (1) Ty 0.99314 1.94E-02
0.9932 1.56E-02
MES STEARIN 0.3% (13000ppm) (2) Ty 0.99327 1.17E-02
MES STEARIN 0.3% (15000ppm) (1) Ty 0.99458 1.30E-02
0.9946 1.64E-02
MES STEARIN 0.3% (15000ppm) (2) Ty 0.9947 1.98E-02

Rekap Data Optimal Alkali

% Densitas (g/cm3) Rata-Rata Densitas IFT (dyne/cm) Rata-Rata IFT


Alkali NaOH Na2CO3 NaOH Na2CO3 NaOH Na2CO3 NaOH Na2CO3
0.1% (I) 0.98738 0.98707 3.25E-02 6.21E-03
0.9873 0.9868 2.67E-02 7.88E-03
0.1% (II) 0.98729 0.98660 2.08E-02 9.55E-03
0.3% (I) 0.98956 0.98894 4.68E-02 1.63E-02
0.9895 0.9890 6.23E-02 1.23E-02
0.3% (II) 0.9895 0.98907 7.77E-02 8.29E-03
0.5% (I) 0.99177 0.99087 9.19E-02 1.08E-02
0.9915 0.9909 1.53E-01 1.18E-02
0.5% (II) 0.99119 0.99084 2.14E-01 1.27E-02
0.7% (I) 0.99414 0.99253 1.39E-01 1.13E-02
0.9940 0.9927 2.58E-01 1.48E-02
0.7% (II) 0.99393 0.99286 3.77E-01 1.83E-02
0.9% (I) 0.99557 0.99409 8.93E-02 1.35E-02
0.9956 0.9941 1.57E-01 1.33E-02
0.9% (II) 0.99559 0.9941 2.25E-01 1.31E-02

66
Lampiran 9. Hasil Uji Formulasi Surfaktan (Lanjutan)

Visual Droplet Minyak-Larutan Surfaktan dalam pengujian IFT (Optimal Salinitas)

67
68
69
70
Lampiran 9. Hasil Uji Formula Surfaktan (Lanjutan)
Visual Droplet Minyak-Larutan Surfaktan dalam pengujian IFT, Optimal Alkali  NaOH

71
72
Lampiran 9. Hasil Uji Formula Surfaktan (Lanjutan)

Visual Droplet Minyak-Larutan Surfaktan dalam pengujian IFT, Optimal AlkaliNa2CO3

73
74
Lampiran 10. Hasil Uji IFT Thermal Stability

Pengamatan IFT Densitas Viskositas


Hari ke- (dyne/cm) (g/cm3) (Cp)
1 5.71E-02 0.98775 0.6733
0 2 3.54E-02 0.98794 0.6733
Rata-Rata 4.63E-02 0.9878 0.6733
1 2.83E-02 0.98837 0.6733
7 2 1.84E-01 0.98815 0.8067
Rata-Rata 1.06E-01 0.9883 0.7400
1 3.55E-01 0.98850 0.7533
14 2 1.60E-01 0.98634 0.6933
Rata-Rata 2.58E-01 0.9874 0.7233
1 2.13E-01 0.98830 0.7133
21 2 2.13E-01 0.98840 0.72
Rata-Rata 2.13E-01 0.9884 0.7167
1 1.11E-01 0.98418 0.72
30 2 2.87E-01 0.98630 0.7133
Rata-Rata 1.99E-01 0.9852 0.7167

75
Lampiran 11. Tabel Hasil Uji Filtrasi
WIP Tanjung Surfaktan
Volume
Filter Waktu Alir (detik) Waktu Alir (detik)
(ml) Rerata Fr Rerata Fr
I II I II
0 0 0 0.00 0 0 0.00
50 15 7 11.00 39 40 39.50
100 27 13 20.00 189 91 140.00
150 41 18 29.50 301 137 219.00
200 57 27 42.00 372 175 273.50
500
250 96 46 71.00 25.36 455 211 333.00 2.39
mesh
300 173 85 129.00 514 365 439.50
350 287 194 240.50 561 531 546.00
400 483 358 420.50 671 722 696.50
450 722 542 632.00 794 1125 959.50
500 1056 901 978.50 842 1190 1016.00

WIP Tanjung Surfaktan


Volume
Filter Waktu Alir (detik) Waktu Alir (detik)
(ml) Rerata Fr Rerata Fr
I II I II
0 0 0 0.00 0 0 0.00
50 33 35 34.00 91 203 147.00
100 72 71 71.50 230 386 308.00
150 121 114 117.50 430 653 541.50
200 188 152 170.00 644 1058 851.00
WH 41 250 263 190 226.50 3.17 911 1514 1212.50 1.35
300 351 232 291.50 1215 1935 1575.00
350 467 307 387.00 1555 2351 1953.00
400 571 397 484.00 1860 2725 2292.50
450 746 497 621.50 2199 3111 2655.00
500 931 662 796.50 2443 3611 3027.00

WIP Tanjung Surfaktan


Volume
Filter Waktu Alir (detik) Waktu Alir (detik)
(ml) Rerata Fr Rerata Fr
I II I II
0 0 0 0.00 0 0 0.00
50 6 6 6.00 8 8 8.00
100 12 13 12.50 16 66 41.00
150 18 19 18.50 32 167 99.50
200 26 25 25.50 78 467 272.50
0.45
250 36 36 36.00 6.42 176 1093 634.50 7.63
mikron
300 51 50 50.50 427 2069 1248.00
350 65 65 65.00 917 3185 2051.00
400 88 88 88.00 1850 3526 2688.00
450 121 123 122.00 3276 3867 3571.50
500 167 176 171.50 4702 4208 4455.00

76
WIP Tanjung Surfaktan
Volume
Filter Waktu Alir (detik) Waktu Alir (detik)
(ml) Rerata Fr Rerata Fr
I II I II
0 0 0 0.00 0 0 0.00
50 11 10 10.50 19 17 18.00
100 20 21 20.50 33 30 31.50
150 31 31 31.00 43 44 43.50
200 42 41 41.50 61 63 62.00
0.22
250 50 49 49.50 0.98 74 77 75.50 1.49
mikron
300 61 60 60.50 89 92 90.50
350 69 69 69.00 107 105 106.00
400 77 79 78.00 126 126 126.00
450 89 89 89.00 147 149 148.00
500 98 99 98.50 168 175 171.50

Hasil Uji IFT

Sampel
Densitas Diff. Densitas IFT Rerata
MES STEARIN 0.3%, 0.1% Na2CO3 (tanpa saring) 1 0.98812 0.1963 6.21E-03
7.88 E-03
MES STEARIN 0.3%, 0.1% Na2CO3 (tanpa saring) 2 0.9882 0.1964 9.55E-03
MES STEARIN 0.3%, 0.1% Na2CO3 (saring 500 mesh) 1 0.98781 0.1960 2.45E-02
2.38E-02
MES STEARIN 0.3%, 0.1% Na2CO3 (saring 500 mesh) 2 0.98815 0.1963 2.32E-02
MES STEARIN 0.3%, 0.1% Na2CO3 (Saring 21 µm) 1 0.98807 0.1962 2.55E-02
8.64E-02
MES STEARIN 0.3%, 0.1% Na2CO3 (Saring 21 µm) 2 0.98816 0.1963 1.47E-01
MES STEARIN 0.3%, 0.1% Na2CO3 (Saring 0.45 µm) 1 0.98819 0.1964 3.06E-01
2.77E-01
MES STEARIN 0.3%, 0.1% Na2CO3 (Saring 0.45 µm) 2 0.98821 0.1964 2.49E-01
MES STEARIN 0.3%, 0.1% Na2CO3 (Saring 0.22 µm) 1 0.98818 0.1964 3.79E-01
3.59E-01
MES STEARIN 0.3%, 0.1% Na2CO3 (Saring 0.22 µm) 2 0.98819 0.1964 3.39E-01

77
Lampiran 12. Kelarutan Minyak pada Uji Kelakuan Fasa (Phase Behaviour)

Viskositas
Densitas: 0.98 gr/cm3 minyak: 0.6100

Hari Volume (ml) Po Keterangan


ke- Larutan Surfaktan Minyak Tx
I 2.5 2.5
0 II 2.5 2.5 - -
Rata-Rata 2.5 2.5
I 2.6 2.4 Fase atas
7 II 2.55 2.45 0.1230 dengan excess
larutan surfaktan
Rata-Rata 2.575 2.425
0.5 ml
I 2.65 2.35
Tidak terjadi
14 II 2.55 2.45 0.1639
perubahan
Rata-Rata 2.6 2.4
I 2.65 2.35
Tidak terjadi
21 II 2.55 2.45 0.1639
perubahan
Rata-Rata 2.6 2.4
I 2.65 2.35
Tidak terjadi
30 II 2.55 2.45 0.1639
perubahan
Rata-Rata 2.6 2.4

78
Lampiran 13. Dimensi dan porositas Core Sintetik

Diameter Tinggi Volume a b b –a Vol.


Core
(cm) (cm) (ml) Core (gram) (gram) (gram) (b-a)
1 2.3600 3.3300 1 29.3108 34.3671
1 2 2.3500 3.3100 1 2 29.3098 34.5702
3 2.5600 3.3000 3 29.2096 34.5440
Rata-Rata 2.4233 3.3133 15.2743 Rata-Rata 29.2767 34.4938 5.2170 5.3008
1 2.3900 3.3900 1 31.4267 36.4518
2 2 2.3800 3.3800 2 2 31.4262 36.5648
3 2.3800 3.4200 3 31.4260 36.4559
Rata-Rata 2.3833 3.3967 15.1458 Rata-Rata 31.4263 36.4908 5.0645 5.1458
1 2.3500 3.1900 1 29.1245 33.7805
3 2 2.3800 3.1800 3 2 29.1233 33.7726
3 2.3800 3.1900 3 29.1227 33.8322
Rata-Rata 2.3700 3.1867 14.0509 Rata-Rata 29.1235 33.7951 4.6716 4.7466
1 2.3500 3.4400 1 32.3511 37.3476
4 2 2.3800 3.4800 4 2 32.3506 37.5228
3 2.3800 3.4800 3 32.3508 37.4341
Rata-Rata 2.3700 3.4667 15.2855 Rata-Rata 32.3508 37.4348 5.0840 5.1656
1 2.3900 3.3800 1 31.4951 36.4865
5 2 2.3000 3.3800 5 2 31.4943 36.5364
3 2.3100 3.3600 3 31.4943 36.5175
Rata-Rata 2.3333 3.3733 14.4173 Rata-Rata 31.4946 36.5135 5.0189 5.0995
1 2.3900 3.3000 1 29.2590 34.2970
6 2 2.3900 3.3300 6 2 29.2581 34.3085
3 2.3000 3.3500 3 29.2580 34.3593
Rata-Rata 2.3600 3.3267 14.5446 Rata-Rata 29.2584 34.3216 5.0632 5.1445

Kode Permeabelitas Volume


Porositas (%)
Core (darcy) Injeksi
1 34.7040 0.0459
2 33.9753 0.0486 0.2 PV
3 33.7815 0.0462
4 33.7943 0.0502 0.1 PV
5 35.3706 0.0504
6 35.3705 0.0486 0.3 PV

79
Lampiran 14. Hasil Uji Core flooding Test

Densitas Recovery Total


Kode a b b -a Recovery setelah
Surfaktan Air c (ml) d (ml) e (ml) f (ml) setelah Injeksi Recovery
Core (gram) (gram) (gram) waterflooding (%)
di Injeksi Formasi Surfaktan (%) (%)
1 32.3511 37.3476
4 2 32.3506 37.5228
0.1 PV (I)
3 32.3508 37.4341
Rata-Rata 32.3508 37.4348 5.0840 5.1656 2.6000 1.6000 53.85 0.4000 15.38 69.23
1 29.1245 33.7805
3 2 29.1233 33.7726
0.1 PV (II)
3 29.1227 33.8322
Rata-Rata 29.1235 33.7951 4.6716 4.7466 2.6000 1.5000 57.69 0.3000 11.54 69.23
1 29.3108 34.3671
1 2 29.3098 34.5702
0.2 PV (I)
3 29.2096 34.5440
Rata-Rata 29.2767 34.4938 5.2170 0.98761 5.3008 2.9000 1.8000 62.07 0.4000 13.79 75.86
1 31.4267 36.4518
2 2 31.4262 36.5648
0.2 PV (II)
3 31.4260 36.4559
Rata-Rata 31.4263 36.4908 5.0645 5.1458 2.4000 1.6000 66.67 0.3000 12.50 79.17
1 31.4951 36.4865
5 2 31.4943 36.5364
0.3 PV (I)
3 31.4943 36.5175
Core 31.4946 36.5135 5.0189 5.0995 3.0000 1.7000 56.67 0.4000 13.33 70.00
0.3 PV (II) 1 29.2590 34.2970
6 2 29.2581 34.3085
3 29.2580 34.3593
Rata-Rata 29.2584 34.3216 5.0632 5.1445 3.2000 1.8000 56.25 0.5000 15.63 71.88
80

80
Keterangan :
a = berat kering core
b = berat basah core
b - a = berat air formasi
c = volume air formasi
d = volume air formasi yang keluar = volume minyak dalam core
e = volume minyak yang keluar setelah air injeksi
f = volume minyak yang keluar setelah larutan surfaktan

81
Lampiran 15. Hasil Analisa Data Hasil Core Flooding

 Data Hasil Coreflooding Test

Perlakuan Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-Rata ± SD


0.1 PV 0.1538 0.1154 0.1346 ± 0.02715
0.2 PV 0.1379 0.1250 0.1315 ± 0.01591
0.3 PV 0.1333 0.1563 0.1448 ± 0.00912

 Hasil Sidik Ragam

Sumber F-Tabel
dB JK KT F-Hitung
Variasi 0.05
Porevolume 2 0.00019479 0.00009740 0.27 9.55
Kekeliruan 3 0.00108498 0.00036166
Jumlah 5 0.00127977

Keterangan : F-hitung lebih kecil dari F-tabel


Terima H0, hasil recovery minyak dengan variasi perlakuan injeksi surfaktan tidak
berpengaruh nyata.

82
Lampiran 16. Dokumentasi Hasil Core Flooding Test
0.1 PV Ulangan 1

1 2 3

0.1PV Ulangan 2

1 2 3

0.2 PV Ulangan 1

1 2 3

83
Lampiran 16. Dokumentasi Hasil Core Flooding Test (Lanjutan)

0.2 PV Ulangan 2

1 2 3

0.3 PV Ulangan 1

1 2 3

0.3 PV Ulangan 2

1 2 3

Keterangan: 1= hasil injeksi minyak, 2= hasil injeksi air (waterflood), 3=hasil recovery menggunakan
surfaktan.

84

Anda mungkin juga menyukai