Anda di halaman 1dari 40

LAPORAN PRAKTIKUM

FORMULASI DAN EVALUASI SEDIAAN INFUS DENGAN


BAHAN AKTIF KCL 0,38%

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Kuliah Praktikum Farmasetika Sediaan Steril

Oleh:

1. Afin Sugi.R (16020201003)


2. Aulia Wahyu R (1602020)
3. Erlinda Nur F (1602020)
4. M.Dwi Danu (16020201051)
5. M.Riyadi Surya (1602020)
6.Nur Hidayati (1602020)

PROGRAM STUDI S1 FARMASI


STIKES RUMAH SAKIT ANWAR MEDIKA
2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan rahmat, taufik, hidayah dan karunia-Nya kepada kita semua sehingga
penulis dapat menyelesaikan Laporan yang berjudul “Formulasi Dan Evaluasi
Sediaan Infus Dengan Bahan Aktif Kcl 0,38%” Penulis mengucapkan banyak
terimakasih kepada :
1. Dr. Abdul Syakur, M.Pd, selaku ketua STIKES Rumah Sakit Anwar
Medika.
2. Ibu Yani Ambari, M. Farm., Apt, selaku ketua prodi S1 Farmasi STIKES
Rumah Sakit Anwar Medika.
3. Ibu Yani Ambari, M. Farm., Apt, selaku ketua Dosen Pengampu Mata
Kuliah Praktikum Farmasetika Sediaan Steril.
4. Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang telah membantu
sehingga kunjungan dan laporan ini dapat terlaksana.

Penulis menyadari makalah ini jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, segala
kritik serta saran yang membangun dari para pembaca demi perbaikan untuk
masa yang akan datang.

Sidoarjo, 29 Oktober 2019

Penulis
DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR TABEL
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Steril ialah suatu kondisi dari bahan, alat, dan sediaan yang mutlak bebas dari
semua jenis mikroorganisme baik yang patogen, non patogen, beserta sporanya.
Sedangkan sterilisasi adalah salah satu cara atau proses untuk menciptakan atau
menghasilkan kondisi yang steril. Peracikan sediaan steril perlu memperhatikan
beberapa aspek kritis yang dapat mempengaruhi kualitas sediaan steril yang
dihasilkan. Aspek kritis yang perlu diperhatikan yaitu personil yang melakukan
peracikan, sarana dan prasarana yang menunjang, serta prosedur peracikan.
Disamping itu, kondisi pengelolan hasil sediaan steril racikan perlu diperhatikan
untuk menjamin stabilitas obat tetap terjaga sehingga dapat menjamin kualitas obat
yang dihasilkan (Agoes, 2006)
Sediaan steril adalah sediaan terapetis dalam bentuk terbagi – bagi yang bebas
dari mikroorganisme hidup. Sterilisasi adalah proses yang dirancang untuk
menciptakan keadaan steril. Secara tradisional keaadan steril adalah kondisi mutlak
yang tercipta sebagai akibat penghancuran dan penghilangan semua
mikroorganisme hidup. Konsep ini menyatakan bahwa steril adalah istilah yang
mempunyai konotasi relative, dan kemungkinan menciptakan kondisi mutlak bebas
dari mikroorganisme hanya dapat diduga atas dapat proyeksi kinetis angka
kematian mikroba (Agoes, 2006)
Infus KCl merupakan salah satu sediaan steril dengan volume besar yang dapat
digunakan untuk mencegah atau mengobati hipokalemia/kekurangan kalium dan
biasanya digunakan sebagai tonicity agent (Rowe et al., 2006). Kalium merupakan
kation yang terpenting dalam cairan intraseluler dan sangat essensial untuk
mengatur keseimbangan asam basa serta isotonisitas sel. Glukosa yang ada dalam
infus berfungsi sebagai pengganti kehilangan cairan tubuh sehingga tubuh
mempunyai energi kembali untuk melakukan metabolismenya dan juga sebagai
sumber kalori (Rowe et al., 2006)
Salah satu sediaan yang termasuk sediaan steril adalah sediaan infus. Infus
adalah larutan dalam jumlah besar terhitung mulai dari 10 ml yang diberikan
melalui intravena tetes demi tetes dengan bantuan peralatan yang cocok. Di Jerman
dan Inggris, diperkirakan sekitar 34-48% kesalahan peracikan terletak pada proses
penyiapan dan pemberiannya, meliputi pelarut yang tidak tepat, kesalahan
perhitungan dosis, kesalahan pelabelan dan berbagai inkompatibilitas antara
campuran bahan 9–11 (Agoes, 2006)
Oleh karena itu, kami berharap dengan adanya pembuatan sediaan infus KCl
0,38% ini dapat menjadi salah satu pilihan terapi defisiensi ion kalium yang efektif,
efisien, dan aman untuk digunakan melalui rute parenteral.

1.2 Rumusan Masalah


Rumusan masalah dari penyusunan laporan ini adalah :
1. Bagaimana formulasi sediaan steril volume besar infus sebagai pengobatan
defisiensi ion kalium dari bahan aktif KCl 0,38% ?
2. Apa saja evaluasi yang dilakukan untuk sediaan steril volume besar infus
sebagai pengobatan defisiensi ion kalium dari bahan aktif KCl 0,38% ?

1.3 Tujuan
Tujuan dari penyusunan laporan ini adalah :
1. Untuk mengetahui dan memahami formulasi sediaan steril volume besar
infus sebagai pengobatan defisiensi ion kalium dari bahan aktif KCl 0,38%.
2. Untuk mengetahui dan memahami stabilitas fisik sediaan steril volume
besar infus sebagai pengobatan defisiensi ion kalium dari bahan aktif KCl
0,38%.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Sediaan Steril


Sediaan steril merupakan salah satu bentuk sediaaan farmasi yang banyak
dipakai, terutama saat pasien dirawat di rumah sakit. Sediaan steril sangat
membantu pada saat pasien dioperasi, diinfus, disuntik, mempunyai luka terbuka
yang harus diobati, dan sebagainya (Lukas, 2006)
Sediaan yang termasuk sediaan steril yaitu sediaan obat suntik bervolume kecil
atau besar, cairan irigasi yang dimaksudkan untuk merendam luka atau lubang
operasi, larutan dialisa dan sediaan biologis seperti vaksin, toksoid, antitoksin,
produk penambah darah dan sebagainya. Sterilitas sangat penting karena cairan
tersebut langsung berhubungan dengan cairan dan jaringan tubuh yang merupakan
tempat infeksi dapat terjadi dengan mudah (Ansel, 1989)
Parenteral menunjukkan pemberian lewat suntikan seperti berbagai sediaan
yang diberikan dengan disuntikkan (Ansel, 1989). Sediaan parenteral adalah bentuk
sediaan untuk injeksi atau sediaan untuk infus. Injeksi adalah pemakaian dengan
cara penyemprotan larutan atau suspensi ke dalam tubuh untuk tujuan terapeutik
atau diagnostik. Injeksi dapat dilakukan langsung ke dalam aliran darah, jaringan,
atau organ (Ansel, 1989)
Pada umumnya pemberian dengan cara parenteral dilakukan bila diinginkan
kerja obat yang cepat seperti pada keadaan gawat, bila penderita tidak dapat diajak
bekerja sama dengan baik, tidak sadar, tidak dapat atau tidak tahan menerima
pengobatan melalui mulut (oral) atau bila obat itu sendiri tidak efektif dengan cara
pemberian lain. Hampir semua suntikan dilakukan oleh dokter atau asisten dokter
atau perawat dalam pemberian pengobatan. Bearti, suntikansuntikan terbanyak
dilakukan di rumah sakit, rumah perawatan dan klinik, sangat sedikit dilakukan
dirumah. Ahli farmasi menyediakan sediaan-sediaan yang disuntikkan untuk dokter
dan perawat sesuai dengan yang dibutuhkan mereka di lembaga, klinik, kantor, atau
program perawatan rumah (Ansel, 1989)
2.2 Jenis-jenis Sediaan Steril
1. Injeksi
Suatu larutan obat dalam pembawa yang cocok dengan atau tanpa bahan
tambahan yang dimaksudkan untuk penggunaan parenteral (Moko, 2008)
2. Infus
Merupakan injeksi khusus karena cara pemberiannya dan volumenya besar
berguna untuk Nutrisi dasar, contoh : infus dekstrosa. Perbaikan
keseimbangan elektrolit, contoh : infus ringer mengandung ion Na+, K+,
Ca2+ dan Cl- . Pengganti cairan tubuh, contoh iInfus dekstrosa dan NaCl.
Membantu diagnosis, contoh untuk penentuan fungsi ginjal : injeksi mannitol
(Moko, 2008)
3. Radiofarmasi
Suatu injeksi yang mengandung bahan radioaktif. Berfungsi untuk
diagnosis dan pengobatan dalam jaringan organ. Pembuatan dan
penggunaannya berbeda dengan bahan obat biasa (non radioaktif) (Moko,
2008)
4. Zat Padat Kering atau Larutan Pekat
Bahan yang tidak stabil dalam bentuk cair/larut disimpan dalam bentuk zat
padat kering yang dilarutkan pada waktu akan digunakan. _ Jika bahan padat
kering tidak mengandung dapar, pengencer atau zat tambahan lain, dan bila
ditambah pelarut lain yang sesuai, memberikan larutan yang memenuhi
semua aspek persyaratan untuk obat suntik. Sediaan diberi label obat steril.
Contoh : Ampicillin Sodium Steril Jika bahan padat kering mengandung satu
atau lebih, dapar, pengencer atau zat tambahan lain, sediaan diberi label obat
suntik/injeksi. Contoh : Amphotericin B Injeksi (Moko, 2008)
5. Larutan Irigasi
Persyaratan seperti larutan parenteral adalah dikemas dalam wadah
volume besar dengan tutup dapat berputar. Digunakan untuk merendam
luka/mencuci luka, sayatan bedah atau jaringan/organ tubuh. Diberi label
sama seperti injeksi. Contoh : Sodium chlorida untuk irigasi, Ringers untuk
irigasi, Steril water untuk irigasi, label/etiket : “bukan untuk obat suntik”
(Moko, 2008)
6. Larutan Dialisis
Untuk menghilangkan senyawa-senyawa toksis yang secara normal
disekresikan oleh ginjal. Pada kasus keracunan atau gagal ginjal atau pada
pasien yang menunggu transplantasi ginjal, dialysis adalah prosedur darurat
untuk menyelamatkan hidup. Dialisis adalah proses, dimana senyawa-
senyawa dapat dipisahkan satu dengan lainnya dalam larutan berdasarkan
perbedaan kemampuan berdifusi lewat membran. Larutan yang tersedia di
perdagangan mengandung dekstrosa sebagai sumber utama kalori, vitamin,
mineral, elektrolit, dan asam amino/peptida sebagai sumber nitrogen(Moko,
2008)
7. Larutan Diagnostik
Diagnostik merupakan salah satu metode pemeriksaan dalam ilmu
pengobatan pencegahan (preventive medicine) penyakit infeksi, didasarkan
atas reaksi antara suatu antibodi dengan antigen yang bersangkutan. Untuk
ini digunakan suntikan intrakutan diatas kulit (imunity skin test) dengan suatu
antigen dengan kadar serendah-rendahnya yang masih memungkinkan
adanya reaksi. Reaksi positif dalam bentuk semacam benjolan diatas kulit,
menunjukkan bahwa tubuh sudah mengandung antibodi tertentu. Hasil
negatif, berarti tubuh tidak memiliki antibodi tersebut, dalam keadaan ini
orang harus diberi vaksin untuk mengebalkan tubuh secara aktif Reaksi
Tuberkulin, merupakan salah satu tes kekebalan yg terkenal untuk
mendiagnosa penyakit tuberculose (Mantoux skin test ). Zat-zat yang
diberikan kepada pasien secara oral/parenteral untuk menentukan keadaan
fungsional dari suatu organ tubuh atau untuk membantu dokter menentukan
diagnosa penyakit dan juga digunakan dalam reaksi imunisas. Contoh :
Injeksi Evans Blue, yang digunakan dalam penentuan volume darah (Moko,
2008)
8. Larutan, Suspensi, Salep untuk Mata
Obat-obatan dalam larutan atau suspensi yang diberikan dengan
meneteskan ke dalam mata termasuk sediaan steril, meskipun batasan steril
biasanya tidak dimasukkan dalam pada namanya, seperti : “Sulfacetamide
larutan mata” atau Hydrocortison Acetat Suspensi mata (Moko, 2008)
9. Pellet atau Implant Steril
Pelet atau implan steril merupakan tablet berbentuk silindris, kecil, padat
dengan diameter lebih kurang 3,2 mm dan panjang 8 mm, dibuat dengan
mengempa dan dimaksud untuk ditanam subkutan (paha atau perut) untuk
tujuan menghasilkan pelepasan obat terus menerus selama jangka waktu
panjang.3-5 bln. Obat antihamil dlm bentuk inplan dapat bekerja sampai 3
thn. (Implanon mengandung etonogestrel 68 mg/susuk KB). Menggunakan
penyuntikan khusus (trocar)/dengan sayatan digunakan untuk hormon yang
kuat sampai 100x dari pemakaian biasa (oral/parenteral). Pelet tidak boleh
mengandung bahan pengikat, pengencer atau pengisi yang ditujukan untuk
memungkinkan seluruhnya melarut dari absorbsi pelet di tempat penanaman.
Contoh : pelet estradiol, biasanya mengandung 10 dan 25 mg estrogen
estradiol (dosis lazim oral dan parenteral 250 mcg) (Moko, 2008)
10. Antikoagulan
Larutan untuk mencegah pembekuan darah, butuh syarat seperti injeksi
dan bebas pirogen. Contoh : Larutan Natrium sitrat Steril, ACDP, Heparin,
ACD (Moko, 2008)
11. Vaksin
Merupakan produk biologi (pembantu diagnostik) untuk tujuan mencegah
penyakit dan pengobatan (Moko, 2008)

2.3 Keuntungan dan Kerugian Sediaan Steril


2.3.1 Keuntungan
Berikut ini adalah beberapa keuntungan sediaan steril (Agoes, 2006) :
1. Aksi obat lebih cepat
2. Cocok untuk obat inaktif jika diberikan oral
3. Obat yang mengiritasi bila diberikasn secara oral
4. Kondisi pasien (pingsan, dehidrasi) sehingga tidak memungkinkan obat
diberikan secar oral.
5. Dapat digunakan secara depo terapi.
6. Kemurniaan dan takaran zat berkhasiat lebih terjamin
2.3.2 Kerugian
Berikut ini adalah beberapa keuntungan sediaan steril (Agoes, 2006) :
1. Karena bekerja cepat, jika terjadi kekeliruan sukaar dilakukan pencegahan.
2. Secara ekonomi lebih mahal dibandingkan sediaan per oral
3. Risiko, kalau alergi atau salah obat maka tidak bisa langsung dighilangkan
4. Cara pemberian lebih sukar, butuh personil khusus, misal di rumah sakit
oleh dokter atau perawat.

2.4 Rute Pemberian


1. Intravena
Merupakan larutan yang dapat mengandung cairan yang tidak
menimbulkan iritasi yang dapat bercampur dengan air, volume 1 ml sampai
10 ml. Larutan ini biasanya isotonis dan hipertonis. Bila larutan hipertonis
maka disuntikkan perlahan-lahan. Larutan injeksi intravena harus jernih
betul, bebas dari endapan atau partikel padat, karena dapat menyumbat
kapiler dan menyebabkan kematian. Penggunaan injeksi intravena tidak
boleh mengandung bakterisida dan jika lebih dari 10 ml harus bebas pirogen
(Ansel, 1989)
2. Intramuskular
Intramuskuler artinya diantara jaringan otot. Cara ini keceparan
absorbsinya terhitung nomor 2 sesudah intravena. Jarum suntik ditusukkan
langsung pada serabut otot yang letaknya dibawah lapisan subkutis.
Penyuntikan dapat di pinggul, lengan bagian atas. Volume injeksi 1 sampai
3 ml dengan batas sampai 10 ml (PTM—volume injeksi tetap dijaga kecil,
biasanya tidak lebih dari 2 ml, jarum suntik digunakan 1 samai 1 ½ inci.
Problem klinik yang biasa terjadi adalah kerusakan otot atau syaraf,
terutama apabila ada kesalahan dalam teknik pemberian (ini penting bagi
praktisi yang berhak menyuntik). Yang perlu diperhatikan bagi Farmasis
anatara lain bentuk sediaan yang dapat diberikan intramuskuler, yaitu
bentuk larutan emulsi tipe m/a atau a/m, suspensi dalam minyak atau
suspensi baru dari puder steril. Pemberian intramuskuler memberikan efek
“depot” (lepas lambat), puncak konsentrasi dalam darah dicapai setelah 1-2
jam. Faktor yang mempengaruhi pelepasan obat dari jaringan otot (im)
anatar lain : rheologi produk, konsentrasi dan ukuran partikel obat dalam
pembawa, bahan pembawa, volume injeksi, tonisitas produk dan bentuk
fisik dari produk. Persyaratan pH sebaiknya diperhatikan, karena masalah
iritasi, tetapi dapat dibuat pH antara 3-5 kalau bentuk suspensi ukuran
partikel kurang (Ansel, 1989)
3. Subkutan
Lapisan ini letaknya persis dibawah kulit, yaitu lapisan lemak (lipoid)
yang dapat digunakan untuk pemberian obat antara lain vaksin, insulin,
skopolamin, dan epinefrin atau obat lainnya. Injeksi subkutis biasanya
diberikan dengan volume samapi 2 ml (PTM membatasi tak boleh lebih dari
1 ml) jarum suntik yang digunakan yang panjangnya samapi ½ sampai 1
inci (1 inchi = 2,35 cm) Cara formulasinya harus hati-hati untuk
meyakinkan bahwa sediaan (produk) mendekati kondisi faal dalam hal pH
dan isotonis. Larutannya isotoni dan dapat ditambahkan bahan
vasokontriktor seperti Epinefrin untuk molekulisasi obat (efek obat). Cara
pemberian subkutis lebih lambat apabila dibandingkan cara intramuskuler
atau intravena. Namun apabila cara intravena volume besar tidak
dimungkinkan cara ini seringkali digunakan untuk pemberian elektrolit atau
larutan infuse i.v sejenisnya. Cara ini disebut hipodermoklisis, dalam hal ini
vena sulit ditemukan. Karena pasti terjadi iritasi maka pemberiannya harus
hati-hati. Cara ini dpata dimanfaatkan untuk pemberian dalam jumlah 250
ml sampai 1 liter (Agoes, 2006)
4. Intratekal dan Intaspinal
Penyuntikan langsung ke dalam cairan serebrospinal pada beberapa
temapt. Cara ini berbeda dengan cara spinal anastesi. Kedua pemberian ini
mensyaratkan sediaan dengan kemurniaannya yang sangat tinggi, karena
daerah ini ada barier (sawar) darah sehingga daerahnya tertutup. Sediaan
intraspinal anastesi biasanya dibuat hiperbarik yaitu cairannya mempunyai
tekanan barik lebih tinggi dari tekanan barometer. Cairan sediaan akan
bergerak turun karena gravitasi, oleh sebab itu harus pada posisi pasien
tegak (Agoes, 2006)
5. Intraperitoneal
Penyuntikan langsung ke dalam rongga perut, dimana obat secara cepat
diabsorbsi. Sediaan intraperitoneal dapat juga diberikan secara intraspinal,
im,sc, dan intradermal (Agoes, 2006)
6. Intradermal
Cara penyuntikan melalui lapisan kulit superficial, tetapi volume
pemberian lebih kecil dari sc, absorbsinya sangat lambat sehingga onset
yang dapat dicapai sangat lambat (Agoes, 2006)

2.5 Sterilisasi
Sterilisasi merupakan suatu proses untuk membunuh mikroorganisme sampai
ke sporasporanya, yang terdapat di dalam bahan makanan. Proses ini dilakukan
dengan cara memanaskan makanan sampai temperatur 121oC, selama watu 15
menit. Salah satu contoh alat untuk melakukan sterilisasi adalah Autoclave. Pada
alat Autoclave ini, bahan makanan dipanaskan sampai temperatur 121-134oC.
makanan diproses selama 15 menit, untuk temperatur 121oC, atau pada temperatur
134oC selama 3 menit. Setelah pemanasan ini, dilakukan pendinginan secara
perlahan untuk menghindari over-boiling ketika tekanan diberikan pada makanan.
(Hendrawati and Utomo, 2017)
Proses sterilisasi digunakan untuk menghilangkan atau mengurangi mikrob
yang tidak diinginkan pada bahan pembawa. Teknik sterilisasi media yang
umumnya dapat meningkatan kelarutan Fe, Mn, Zn. Peningkatan logam-logam
berat dalam jumlah besar ini akan berpengaruh negatif terhadap pada viabilitas
mikrob dalam bahan pembawa. Sterilisasi bahan pembawa merupakan tahap yang
harus dilakukan sebelum penginokulasian. Pemilihan digunakan adalah sterilisasi
autoklaf dan radiasi sinar Gamma. Sterilisasi autoklaf mempunyai kelemahan
yaitu mampu meningkatkan kelarutan logam Mn pada bahan pembawa sterilisasi
tanah menggunakan autoklaf metode sterilisasi diperlukan agar bahan pembawa
tidak mengalami kerusakan yang dapat mempengaruhi viabilitas inokulan.
Metode sterilisasi bahan pembawa yang umum digunakan adalah metode fisik
yaitu meliputi pemanasan, pengeringan dan radiasi. Metode sterilisasi pemanasan
(panas lembab) biasanya menggunakan autoklaf yang memanfaatkan panas dalam
suatu ruangan bertekanan dengan temperatur 121oC selama 60 menit. Autoklaf
memiliki kekurangan yaitu menimbulkan kerusakan sifat kimia bahan pembawa
dan menghasilkan unsur beracun intensitas sterilisasi tanah menggunakan
autoklaf dapat meningkatkan kelarutan Fe, Mn dan Zn yang tinggi sehingga dapat
meracuni mikrob yang ada di dalamnya. (Nurrobifahmi et al., 2017).
Metode sterilisasi fisik lainnya adalah radiasi. Radiasi sinar Gamma Co-60
yang memanfaatkan gelombang elektromagnetik untuk meradiasi bahan
pembawa. Radiasi sinar Gamma memiliki efektivitas yang berbeda dalam
mematikan mikrob tergantung pada besaran dosis yang diberikan di dalam media
pembawa. Semakin besar dosis yang diberikan, maka daya mematikan akan
semakin besar (Nurrobifahmi et al., 2017).
Autoklaf adalah alat untuk mensterilkan berbagai macam alat dan bahan yang
digunakan dalam mikrobiologi menggunakan uap air panas bertekanan. Tekanan
yang digunakan pada umumnya 15 Psi atau sekitar 2 atm dan dengan suhu 121 0C
(2500F). Jadi tekanan yang bekerja ke seluruh permukaan benda adalah 15 pon
tiap inchi2 (15 Psi = 15 pounds per square inch). Lama sterilisasi yang dilakukan
biasanya 15 menit untuk 121 0C. (Handayani et al., 2013).
Pada saat sumber panas dinyalakan, air dalam autoklaf lama kelamaan akan
mendidih dan uap air yang terbentuk mendesak udara yang mengisi autoklaf.
Setelah semua udara dalam autoklaf diganti dengan uap air, katup uap/udara
ditutup sehingga tekanan udara dalam autoklaf naik. Pada saat tercapai tekanan
dan suhu yang sesuai, maka proses sterilisasi dimulai dan timer mulai menghitung
waktu mundur. Setelah proses sterilisasi selesai, sumber panas dimatikan dan
tekanan dibiarkan turun perlahan hingga mencapai 0 Psi. Autoklaf tidak boleh
dibuka sebelum tekanan mencapai 0 Psi. (Handayani et al., 2013).
Metode sterilisasi bahan pembawa yang umum digunakan adalah metode fisik
yaitu meliputi pemanasan, pengeringan dan radiasi. Metode sterilisasi pemanasan
(panas lembab) biasanya menggunakan autoklaf yang memanfaatkan panas dalam
suatu ruangan bertekanan dengan temperatur 121oC selama 60 menit. Autoklaf
memiliki kekurangan yaitu menimbulkan kerusakan sifat kimia bahan pembawa
dan menghasilkan unsur beracun. (Nurrobifahmi et al., 2017)

2.6 Sediaan Infus


Infus merupakan larutan steril dan umumnya diberikan melalui intravena untuk
menambah cairan tubuh, elektrolit, untuk memberi nutrisi atau sebaqgai pembawa
obat. Biasanya diberikan dalam voume besar dengan penetesan lambat melalui
intravena. Infus intravena dapat digunakan untuk pemberian obat agar bekerja
cepat, seperti pada keadaan gawat darurat karena obat tidak di adsorbs secara oral.
Dapat pula digunakan pada penderita yangtidak sadar atau pada penderita yang
tidak dapat atau tidak tahan menerima pengobatan oral (Ansel, 1989)
Sediaan infus sangatlah penting, dari penggunaannya ini semua infus sangat
sering digunakan pada pasien-pasien di rumah sakit. Infus ini berguna untuk
menggantikan cairan-cairan tubuh yang hilang karena disebabkan oleh kekurangan
cairan akibat muntah, diare yang berkepanjangan, sebagai penambah energi, serta
pengganti makanan bila seorang penderita penyakit tidak dapat lagi mengkonsumsi
makanan seperti biasanya (Ansel, 1989)
Maka untuk mengganti makanan tersebut digunakan infus. Karena di dalam
sediaan infus terdapat zat-zat yang berfungsi sebagai kalorigenik yang dapat
menghasilkan energi, juga dapat menjaga kestabilan cairan dalam tubuh, karena
infus ini merupakan salah satu sediaan obat dalam bidang farmasi, maka seorang
farmasis wajib mengetahui cara pembuatan infus dan bagaimana pula cara
pemakaiannya untuk itulah praktikum dengan percobaan pembuatan sediaan infus
perlu dilaksanakan (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1979a)
Sediaan infus harus memenuhi persyaratan yaitu steril, bebas pirogen,
jernih dan praktis bebas partikel. Oleh karena itu, sediaan ini lebih mahal jika
dibandingkan dengan sediaan nonsterilnya karena ketatnya persyaratan yang
harus dipenuhi.
Infus dapat berfungsi sebagai (Ansel, 1989) :
1. Dasar nutrisi, kebutuhan kalori untuk pasien di rumah sakit harus disuplai via
intravenous seperti protein dan karbohidrat.
2. Keseimbangan elektrolis digunakan pada pasien yang schock, diare, mual,
muntah membutuhkan cairan intravenous.
3. Pengganti cairan tubuh, seperti dehidrasi.
4. Pembawa obat contohnya sebagai antibiotik.
Infus merupakan sediaan steril berupa larutan atau emulsi dengan air sebagai
fase kontinu dan biasanya dibuat isotonis dengan darah. Prinsipnya infus
dimaksudkan untuk pemberian dalam volume yang besar. Infus tidak
mengandung tambahan berupa pengawet antimikroba. Larutan untuk infus
diperiksa secara visibel pada kondisi yang sesuai adalah jernih dan praktis bebas
partikel-partikel (Ansel, 1989)
Etiket pada larutan yang diberikan secara intra vena untuk melengkapi cairan,
makanan bergizi, atau elektrolit dan injeksi manitol sebagai diuretika osmotik,
disyaratkan untuk mencantumkan kadar osmolarnya. Jika keterangan mengenai
osmolalitas diperlukan dalam monografi masing-masing, pada etiket hendaknya
disebutkan kadar osmolar total dalam miliosmol per liter (Ansel, 1989)
2.6.1 Syarat Sediaan Infus
Berikut merupakan bebearap syarat sediaan infus (Lukas, 2006) :
1. Sediaan (dapat berupa larutan/emulsi) harus steril.
2. Injeksi harus memenuhi syarat Uji Sterilitas yang tertera pada Uji Keamanan
Hayati.
3. Bebas pirogen.
4. Untuk sediaan lebih dari 10 ml, memenuhi syarat Uji Pirogenitas yang tertera
pada Uji Keamanan Hayati.
5. Isotonis.
6. Isohidris.
7. Larutan untuk infus intravena harus jernih dan praktis bebas partikel.
8. Infus intravena tidak mengandung bakterisida dan zat dapar.
9. Penyimpanan dalam wadah dosis tunggal.
10. Volume netto / volume terukur tidak kurang dari nilai nominal.
11. Penandaan.
2.6.2 Penggolongan Infus Berdasarkan Kegunaan
Berikut penggolongan sedian infus berdasarkan kegunaanya :
1. Larutan elektrolit
Tubuh manusia mengandung 60% air dan terdiri atas cairan intraselular
(di dalam sel) 40% yang mengandung ion-ion K+, Mg++ , sulfat, fosfat,
protein, serta senyawa organik asam fosfat seperti ATP, heksosa
monofosfat, dan lain-lain. Air pun mengandung cairan ekstraselular (diluar
sel) 20% yang kurang lebih mengandung 3 liter air dan terbagi atas cairan
interstisial ( di antara kapiler dan sel) 15% dan plasma darah 5% dalam
sistem peredaran darah serta mengandung beberapa ion seperti Na+, klorida,
dan bikarbonat (Moko, 2008)
Tabel 2.1 Jenis elektrolit dalam plasma darah (Moko, 2008)
Ion Jumlah normal mV/Liter
Na 137,0 – 148,0
K 3,9 – 5,0
Ca 4,8 – 5,4
Mg 1,7 – 3,3
Cl 98,0 – 108,0
HCO3 24,0 – 28,0
HPO4 1,5 -2,3
SO4 1 – 2,0
Protein 14,6 – 19,4
Penyebab berkurangnya elektrolit plasma adalah kecelakaan,
kebakaran, operasi atau perubahan patologis organ, gastroenteritis, demam
tinggi, atau penyakit lain yang menyebabkan output dan input tidak
seimbang. Kehilangan natrium disebut hipovolemia, sedangkan kekurangan
H2O disebut dehidrasi. Kemudian, kekurangan HCO3 disebut asidosis
metabolik dan kekurangan K+ disebut hipokalemia. Asidosis berbeda
dengan asidemia. Asidosis berkaitan dengan proses fisiologis yang
menyebabkan penurunan pH darah, sedangkan asidemia adalah keadaan pH
arteri < 7,35 (Moko, 2008)

Formula Larutan Dasar Elektrolit


Nama Bahan Jumlah
Na+ 130 mEq
K+ 4 mEq
Cl- 109 mEq
Ca ++ 3 mEq
Asetat 28 mEq Tabel
Aqua p.i. 1000 ml 2.2
Formula
Larutan Elektrolit Dasar

2. Infus Kabohidrat
Infus karbohidrat adalah sediaan infus berisi larutan glukosa atau
dekstrosa yang cocok untuk donor kalori. Kita menggunakannya untuk
memenuhi glikogen otot kerangka, hipoglikemia, dan lain-lain. Kegunaan
: 5% isotonis, 20% untuk diuretika, dan 30-50% terapi oedema di otak.
Contoh : larutan manitol 15-20% digunakan untuk menguji fungsi ginjal
(Moko, 2008)

Tabel 2.3 Formula Infus Karbohidrat


Formula Infus Karbohidrat
Nama Bahan Jumlah
Na+ 30 mEq
K+ 8 mEq
Cl 28 mEq
Laktat 10 mEq
Glukosa 37,5 gram
Aqus p.i 1000 ml

3. Larutan Irigasi
Larutan irigasi adalah sediaan larutan steril dalam jumlah besar (3
liter). Larutan tidak disuntikkan ke dalam vena, tetapi digunakan di luar
sistem peredaran dan umumnya menggunakan jenis tutup yang diputar
atau plastik yang dipatahkan, sehingga memungkinkan pengisian larutan
dengan cepat. Kita menggunakan larutan untuk merendam atau mencuci
luka-luka sayatan bedah atau jaringan tubuh dan dapat pula mengurangi
pendarahan. Kita biasa menggunakannya dalam kegiatan Laparatomy,
Arthroscopy, Hysterectomy, dan Turs (urologi) (Moko, 2008)
4. Larutan Dialisis Peritoneal
Larutan dialisis peritoneal merupakan suatu sediaan parental steril
dalam jumlah besar (2 liter). Larutan tidak disuntikkan ke dalam vena, tetapi
dibiarkan mengalir ke dalam ruangan peritoneal dan umumnya
menggunakan tutup plastik yang dipatahkan, sehingga memungkinkan
larutan dengan cepat turun ke bawah. Penggunaan cairan demikian
bertujuan menghilangkan menghilangkan senyawa-senyawa toksik yang
secara normal dikeluarkan atau diekskresikan ginjal. Pada kasus keracunan
atau kegagalan ginjal, penggunaaan larutan dialisis peritoneal merupakan
pilihan lain yang dapat dilakukan. Larutan diabsorbsi dalam membran
peritoneal mengikuti peredaran darah. Kemudian, di dalam ujung sel
peritoneal terjadi penarikan zat toksin dari darah ke dalam cairan dialisis,
yang bekerja sebagai membran semipermeabel (Moko, 2008)
5. Larutan Plasma
Larutan plasma expander adalah suatu sediaan larutan steril yang
digunakan untuk menggantikan plasma darah yang hilang akibat
perdarahan,luka bakar,operasi, dan lain-lain (Moko, 2008)

2.6.3 Evaluasi Sediaan Infus


1. Uji Bahan Partikulat dalam Infus
Tujuan yakni menghitung partikel asing subvisibel dalam rentang
ukuran tertentu. Prinsipnya yakni prosedurnya dengan cara memanfaatkan
sensor penghamburan cahaya, jika tidak memenuhi batas yang ditetapkan
maka dilakukan pengujian mikroskopik. Pengujian mikroskopik ini
menghitung bahan partikulat subvisibel setelah dikumpulkan pada
penyaring membran mikropori. Hasil berupa penghamburan cahaya: hasil
perhitungan jumlah total butiran baku yang terkumpul pada penyaring
harus berada dalam batas 20% dari hasil perhitungan partikel kumulatif
rata-rata per ml. Mikroskopik: injeksi memenuhi syarat jika partikel yang
ada (nyata atau menurut perhitungan) dalam tiap unit tertentu diuji
melebihi nilai yang sesuai dengan yang tertera pada FI (Departemen
Kesehatan Republik Indonesia, 1995)
2. Penetapan pH
Alat yang digunakan adalah pH meter. Tujuanya yakni untuk
mengetahui pH sediaan sesuai dengan persyaratan yang telah ditentukan.
Prinsipnya adalah pengukuran pH cairan uji menggunakan potensiometri
(pH meter) yang telah dibakukan sebagaimana mestinya yang mampu
mengukur harga pH sampai 0,02 unit pH menggunakan elektrode indikator
yang peka, elektrode kaca, dan elektrode pembanding yang sesuai
(Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1995)
3. Uji Kejernihan
Uji kejernihan untuk larutan steril adalah dengan menggunakan latar
belakang putih dan hitam di bawah cahaya lampu untuk melihat ada
tidaknya partikel viable (Departemen Kesehatan Republik Indonesia,
1995)
4. Uji Kebocoram
Tujuan : Memeriksa keutuhan kemasan untuk menjaga sterilitas dan
volume serta kestabilan sediaan. Prinsip : Untuk cairan bening tidak
berwarna (a) wadah takaran tunggal yang masih panas setelah selesai
disterilkan dimasukkan ke dalam larutan metilen biru 0,1%. Jika ada
wadah yang bocor maka larutan metilen biru akan masuk ke dalam karena
perubahan tekanan di luar dan di dalam wadah tersebut sehingga larutan
dalam wadah akan berwarna biru. Untuk cairan yang berwarna (b) lakukan
dengan posisi terbalik, wadah takaran tunggal ditempatkan diatas kertas
saring atau kapas. Jika terjadi kebocoran maka kertas saring atau kapas
akan basah. Hasil : Sediaan memenuhi syarat jika larutan dalam wadah
tidak menjadi biru (prosedur a) dan kertas saring atau kapas tidak basah
(prosedur b) (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1995)
5. Uji Sterilitas
Tujuan : menetapkan apakah sediaan yang harus steril memenuhi syarat
berkenaan dengan uji sterilitas seperti tertera pada masing-masing
monografi. Prinsip : Menguji sterilitas suatu bahan dengan melihat ada
tidaknya pertumbuhan mikroba pada inkubasi bahan uji menggunakan
cara inokulasi langsung atau filtrasi secara aseptik. Media yang digunakan
adalah Tioglikonat cair dan Soybean Casein Digest Hasil : memenuhi
syarat jika tidak terjadi pertumbuhan mikroba setelah inkubasi selama 14
hari. Jika dapat dipertimbangkan tidak absah maka dapat dilakukan uji
ulang dengan jumlah bahan yang sama dengan uji aslinya (Agoes, 2006)
6. Uji Kejernihan dan Warna
Tujuan : memastikan bahwa setiap larutan obat infus dan bebas
pengotor Prinsip : wadah-wadah kemasan akhir diperiksa satu persatu
dengan menyinari wadah dari samping dengan latar belakang hitam untuk
menyelidiki pengotor berwarna putih dan latar belakang putih untuk
menyelidiki pengotor berwarna. Hasil : memenuhi syarat bila tidak
ditemukan pengotor dalam larutan (Agoes, 2006)
7. Uji Endotoksin Bakteri
Tujuan : mendeteksi atau kuantisasi endotoksin bakteri yang mungkin
terdapat dalam suatu sediaan. Prinsip : pengujian dilakukan menggunakan
Limulus Amebocyte Lysate (LAL). Teknik pengujian dengan
menggunakan jendal gel dan fotometrik. Teknik Jendal Gel pada titik
akhir reaksi dibandingkan langsung enceran dari zat uji dengan enceran
endotoksin yang dinyatakan dalam unit endotoksin FI. Teknik fotometrik
(metode turbidimetri) yang didasarkan pada pembentukan kekeruhan.
Hasil : bahan memenuhi syarat uji jika kadar endotoksin tidak lebih dari
yang ditetapkan pada masing-masing monografi(Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, 1995)
2.7 Uraian Bahan
2.7.1 Bahan Aktif
Nama Bahan : KCl (Kalium Klorida) (Rowe et al ., 2006)
Definisi : KCL merupakan garam kalium yang
paling banyak digunakan. Hal ini
disebabkan karena hypochloramic
alkalosis yang sering berhubungan dengan
hipoglikemia dapat diatasi dengan ion
klorida dari senyawa ini (Sweetman,
2002)
Farmakologi : Untuk pencegahan dan pengobatan
defisiensi kalium, sumber ion kalium,
untuk pengobatan hipokalemia atau
hipochloremic alkalis, untuk pengobatan
keracunan digitalis (Sweetman, 2002)
Efek Samping : Perdarahan saluran cerna, mual dan
muntah, perut kembung, sakit perut
diare, hipersensitivitas, hiperkalemia
berat, infus/injeksi: nyeri, perih, dan
radang pada pembuluh darah.
Berpotensi fatal: hiperkalemia (kadar
kalium tinggi dalam darah (Sweetman,
2002)
Pemerian : Kristal atau serbuk kristal putih atau tidak
berwarna, tidak berbau, tidak berasa atau
berasa asin (Rowe et al., 2006)
Kelarutan : Larut dalam air, sangat mudah larut dalam
air panas, praktis tidak larut dalam eter,
etanol dan alkohol (Rowe et al., 2006)
pH : 4-8
Konsentrasi : 2.5 – 11.5 %
Dosis : Konsentrasi kalium pada rute iv tidak
lebih dari 40 mEq/L dengan kecepatan 20
mEq/jam ( untuk hipokalemia). Untuk
mempertahankan konsentrasi kalium pada
plasma 4 mEq/L ( DI 2003 hal 1410). K+
dalam plasma = 3,5-5 mEq/L (Sweetman,
2002)
Stabilitas : Stabil dan harus disimpan dalam wadah
tertutup rapat, ditempat sejuk dan kering
(Rowe et al., 2006)
Kegunaan : Biasa digunakan dalam sediaan parenteral
sebagai senyawa pengisotonis(Rowe et
al., 2006)
OTT : Larutan KCl IV inkompatibel dengan
protein hidrosilat, perak dan garam
merkuri (Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, 1979)
Sterilisasi : Dengan autoklaf atau filtrasi (Departemen
Kesehatan Republik Indonesia, 1995)
Ekivalen : 0, 76

2.7.2 Bahan Tambahan


1. Glukosa

Gambar 2.1 Struktur Glukosa


Nama : Glukosa
Rumus Kimia : C6H12O6
Pemerian : Hablur tidak berwarna serbuk hablur
atau serbuk granul putih, tidak berbau
rasa manis (Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, 1979)
Kelarutan : Mudah larut dalam air, sangat mudah
larut dalam air mendidih, larut dalam
etanol mendidih, sedikit larut dalam
alkohol (Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, 1979)
Ekivalen NaCl : 0,16
Kadar : 2.5 – 11.5 %
Kegunaan : Sebagai sumber kalori dan zat
pengisotonis (Rowe et al., 2006)
Osmolaritas : 5,51% w/v larutan air sudah isotonis
dengan serum (Sweetman, 2002)
Stabilitas : Stabil dalam bentuk larutan, dekstrosa
stabil dalam keadaan penyimpanan yang
kering, dengan pemanasan tinggi dapat
menyebabkan reduksi pH dan
karamelisasi dalam larutan (Rowe et al
.,2006)
OTT : Sianokobalamin, kanamisin SO4,
novobiosin Na dan wafarin
Na,Eritromisin, Vit B komplek (Rowe et
al., 2006)
Sterilisasi : Autoklaf (Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, 1995)
Efek Samping : Larutan glukosa hipertonik dapat
menyebabkan sakit pada tempat
pemberian (lokal), tromboklebitise,
larutan glukose untuk infus dapat
menyebabkan gangguan cairan dan
elektrolit termasuk edema,
hipokalemia,hipopostemia,
hipomagnesia.
pH : 3,5 -6,5 (Rowe et al., 2006)

2. Norit
Nama Resmi : Carbi Adsorben (Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, 1979)
Pemerian : Serbuk sangat halus, bebas dari butiran :
hitam, tidak berbau, tidak berasa
(Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, 1979)
Kelarutan : Praktis tidak larut dalam air dan etanol
(95%) P (Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, 1979)
Stabilitas : Stabil ditempat yang tertutup dan kedap
udara (Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, 1979)
Inkompatibilitas : Interaksi dengan oksidator kuat, hindari
kontak dengan asam kuat (Rowe et al.,
2006)
Konsentrasi : 0,1-0,3 %

3. Aqua Bebas Pirogen

Gambar 2.2 Struktur Aquades (Rowe et al., 2006)

Nama Resmi : Aquadestilata (Departemen Kesehatan


Republik Indonesia, 1979)
Pemerian : Cairan jernih, tidak berwarna, tidak
berbau (Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, 1979)
Sterilisati : Kalor basah (autoklaf) (Departemen
Kesehatan Republik Indonesia, 1979)
Kelarutan : Larut dalam semua pelarut polar
(Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, 1979)
Kegunaan : Pelarut atau pembawa

4. HCl

Gambar 2.3 Struktur HCl (Rowe et al., 2006)


Rumus Kimia : HCl
Nama Lain : Asam klorida (Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, 1979)
Pemerian : Kristal putih atau serbuk kristal, praktis
tidak berbau (Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, 1979)
Kelarutan : Larut dalam air (1 g dalam 5 mL) , agak
larut dalam 28lcohol panas (Departemen
Kesehatan Republik Indonesia, 1979)
pH : Dalam larutan 9,5 – 10 % pH nya 5-5,5
(Rowe et al., 2006)
Sterilisasi : Autoklaf (Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, 1995)
Stabilitas : Stabil pada suhu kamar (Departemen
Kesehatan Republik Indonesia, 1979)
BAB III
METODOLOGI PERCOBAAN

3.1 Waktu dan Tempat


Penelitian ini di lakukan di Laboratorium Teknologi Farmasi STIKES Rumah
Sakit Anwar Medika yang terletak di Jalan Raya By Pass Krian KM. 33 Kabupaten
Sidoarjo. Penelitian ini dilakukan selama 2 minggu mulai 15 sampai dengan 22
Oktober 2019.

3.2 Alat dan Bahan


3.2.1 Alat
Alat yang digunakan dalam praktikum pembuatan infus KCl 0,38% terdiri dari
autoklaf, oven, kaca arloji, gelas beker, labu erlenmeyer, batang pengaduk, corong,
kertas saring, gelas ukur, cawan porselen, spatel logam, pipet tetes, indikator pH,
cawan petri, mikroskop, botol infus, tutup karet, alumunium foil.
3.2.2 Bahan
Bahan yang digunakan dalam praktikum pembuatan infus KCL 0,38% terdiri
dari bahan aktif yakni KCl (Kalium Klorida), dan bahan tambahan lainya seperti
glukosa sebagai pengisotonis, HCl sebagai penstabil pH, norit sebagai adsorben dan
aqua steril bebas pirogen sebagai pelarut atau pembawa.

3.3 Formula
Tabel 3.1 Formula infus KCL 0,38%
No Nama Bahan Fungsi Kadar Jumlah
(gram)

1 KCl Bahan aktif 0,38 % 0,95 gram


untuk
defisiensi
kalium
2 Glukosa Pengatur q.s (ekivalen 9,9 gram
tonisitas NaCl) (berdasarkan
perhitungan)

3 HCl Penstabil pH Adjust ad pH Ad pH 5-6


5-6
4 Norit Adsorben 0,1 % 0,25 gram

5 Aqua bebas pirogen Pelarutt/ Ad 100% Ad 250 ml


pembawa

3.4 Prosedur Kerja


3.4.1 Pencucian alat
3.4.1.1 Pencucian alat gelas
Pencucian alat gelas dilakukan dengan pertama adalah dicuci dengan HCl
encer, kemudian direndam tepol1% dan Na2CO3 0,5% dan didiamkan selama 1 hari,
diulang sampai larutan jernih (maksimal 3 kali) terakhir dibilas dengan aquades.
3.4.1.2 Pencucian alat karet
Pencucian alat karet dilakukan dengan direndam HCl 2% selama 2 hari,
direndam dalam tepol 1% Na2CO3 0,5% didiamkan selama 1 hari. Perendaman
diulangi sampai larutan jernih (maksimal 3 kali), direndam dalam aquades dan
didihkan, dibilas dan diulangi sampai larutan jernih.
3.4.1.3 Pencucian alumunium
Pencucian alat alumunium dilakukan dengan tepol 1 % selang 10 menit,
direndam Na2CO3 sebanyak 5% selama 5 menit, dibilas dengan aqua mengalir dan
didihkan selama 15 menit dan terakhir dibilas aquades sebanyak 3 kali.

3.4.2 Pengeringan alat


Alat dimasukan kedalam oven suhu 100-105 ºC selama 10 menit dalam
keadaan terbalik. Kemudian oven ditutup rapat untuk menghindari debu selama
pengeringan.

3.4.3 Pembungkusan alat


Semua alat yang telah kering dibungkus dengan alumunium foil dan kemudian
dibungkus dengan dua rangkap agar terbebas dari mikroba dan zat lainya.

3.4.4 Sterilisasi alat dan bahan


3.4.4.1 Sterilisasi alat
Tabel 4.2 Sterilisasi alat
No Daftar alat Keterangan Metode sterilisasi
1 Kaca arloji Bentuk alat padat berpori halus Oven 150ºC selama 1 jam
Bahan pembentuk kaca (Departemen Kesehatan
Republik Indonesia,
1995)
2 Gelas beker Benyuk alat padat berpori halus Oven 150ºC selama 1 jam
Bahan pembentuk kaca (Departemen Kesehatan
Republik Indonesia,
1995)
Oven 250ºC selama 15
menit (Departemen
Kesehatan Republik
Indonesia, 1979)
3 Labu erlenmeyer Bentuk alat padat berpori halus Oven 150ºC selama 1 jam
Bahan pembentuk kaca (Departemen Kesehatan
Republik Indonesia,
1995)
Oven 250ºC selama 15
menit (Departemen
Kesehatan Republik
Indonesia, 1979)
4 Batang pengaduk Bentuk alat padat berpori halus Direndam alkohol 70%
Bahan pembentuk kaca selama 30 menit
(Departemen Kesehatan
Republik Indonesia,
1979)
5 Pinset Bentuk alat padat berpori halus Direndam alkohol 70%
Bahan pembentuk logam besi selama 30 menit
(Departemen Kesehatan
Republik Indonesia,
1979)
6 Sendok porselen Bentuk alat padat berpori halus Oven 150ºC selama 1 jam
Bahan pembentuk porselen (Departemen Kesehatan
Republik Indonesia,
1995)
7 Botol infus Bentuk alat padat berpori halus Oven 150ºC selama 1 jam
Bahan pembentuk kaca (Departemen Kesehatan
Republik Indonesia,
1995)
8 Pipet tetes Bentuk alat padat berpori halus Direndam alkohol 70%
Bahan pembentuk kaca selama 30 menit
(Departemen Kesehatan
Republik Indonesia,
1979a)
9 Corong Bentuk alat padat berpori halus Oven 150ºC selama 1 jam
Bahan pembentuk kaca (Departemen Kesehatan
Republik Indonesia,
1995)
Oven 250ºC selama 15
menit (Departemen
Kesehatan Republik
Indonesia, 1979a)
10 Sumbat karet Bentuk alat padat berpori halus Direndam alkohol 95 %
Bahan pembentuk karet selama 1 hari
(Departemen Kesehatan
Republik Indonesia,
1979a)
11 Gelas ukur Bentuk alat padat berpori halus Oven 150ºC selama 1 jam
Bahan pembentuk kaca (Departemen Kesehatan
Republik Indonesia,
1995)
Oven 250ºC selama 15
menit (Departemen
Kesehatan Republik
Indonesia, 1979a)
12 Alumunium foil Bentuk alat padat berpori halus Oven 150ºC selama 1 jam
Bahan pembentuk alumunium (Departemen Kesehatan
Republik Indonesia,
1995)
Oven 250ºC selama 15
menit (Departemen
Kesehatan Republik
Indonesia, 1979a)
13 Kertas coklat Bentuk alat padat berpori halus Oven 150ºC selama 1 jam
Bahan pembentuk kertas (Departemen Kesehatan
Republik Indonesia,
1995)

3.4.4.2 Sterilisasi bahan


Tabel 4.3 Sterilisasi bahan
No Daftar bahan Uraian bahan dan putaka Metode sterilisasi
1 KCl Bentuk hablur kubus prisma tidak Autoklaf 121ºC selama
berawarna serbuk butir putih, tidak 30 menit
berbau, tidak berasa (Rowe et al.,
2006)
Rentang seabilitas suhu 84 – 125ºC
(Rowe et al., 2006)
2 Glukosa Bentuk serbuk putih, bentuk kristal, Autoklaf 120ºC selama
dan rasa manis (Departemen 30 menit
Kesehatan Republik Indonesia,
1979)
Stabil hingga suhu 84ºC
3 HCl Bentuk bahan cair tidak berawarna Autoklaf 120ºC selama
bau khas pada suhu kamar 30 menit
berbentuk gas yang tidak berwarna
bau menyengat (Rowe et al., 2006)
Stabiltas suhu 38-118ºC (Rowe et
al., 2006)
4 Norit Bentuk bahan serbuk hitam dan Autoklaf 120ºC selama
tidak berbau (Departemen 30 menit
Kesehatan Republik Indonesia,
1995)
Stabilitas suhu 150ºC (Rowe et al.,
2006)
5 Aqua bebas Bentuk bahan cair, tidak berawrna, Autoklaf 120ºC selama
pirogen tidak berbau dan berasa 30 menit

3.4.5 Prosedur peracikan


Prosedur pembuatan sediaan steril volume besar pertama kali yang dilakukan
adalah kalibrasi botol hingga tanda batas. Kemudian KCl yang sudah disterilkan di
larutkan dengan aquades hingga homogen. Selanjutnya, glukosa yang sudah
disterilkan dengan aquades hingga homogen. Larutan KCl dan larutan glukosa
dicampur dan diaduk hingga homogen. Campuran diukur pH 5-6 jika belum
tercapai di adjust dengan HCl hingga pH 5-6. Kemudian ditambah aqua bebas
pirogen hingga 250 ml dan diaduk hingga homogen. Campuran dipanaskan pada
suhu 80-90ºC selama 15 menit. Kemudian campuran ditambah norit dan diaduk
selama 15 menit. Panaskan kembali hingga 70-80ºC selama 10 menit. Campuran
disaring dengan kertas saring rangkap dua dengan menggunakan corong.
Dipanaskan kembali hasil saring pertama, disaring lagi dengan kertas saring yang
sama dan filtrat ditampung. Disaring dengan kertas saring yang baru satu lapis dan
filtrat ditampung. Kemudian diambil 102 ml (v’+2%) dimasukan dalam botol infus
ditutup dengan karet dan diikat. Kemudian sterilisasi dengan autoklaf 115ºC selama
30 menit beri etiket dan label.

3.4.6 Evaluasi sediaan infus KCl 0,38%


1. Uji Kebocoran
Menggunakan kertas saring dengan cara botol dibalik diatas kertas saring
diamkan selama 1 menit.
2. Uji Kejernihan
Memakai bayground putih untuk mengamati apakah terdapat partikel-
partikel yang tidak larut (partikel berwarna hitam) dalam ruang gelap dan
flash dengan senter. Memakai bayground hitam untuk mengamati apakah
terdapat partikel-partikel yang tidak larut (warna putih)
3. Uji Sterilisasi
Larutan diambil dan diletakkan pada media agar,dilakukan pada
laboratorium mikrobiologi di LAP, diamkan selama 1 hari apakah tumbuh
mikroba / jamur.
4. Uji pH
Didiamkan larutan dalam beaker glass diamati Ph nya
BAB IV
DATA HASIL

4.1 Data Hasil Proses Produksi Sediaan Steril Volume Besar


Tabel 4.1 Data Hasil Produksi Sediaan Infus KCl
No Perlakuan Pengamatan
1 Kalibrasi botol 150 + 2% Botol terkalibrasi
2 KCl 0,95 gram + aq ‒‒› ad larut KCl serbuk dilarutkan aquadest larut
sempurna
3 Glukosa 9,9 gram + aq ‒› ad larut Glukosa serbuk terlarut pada
aquadest
4 (2) + (3) ‒› aduk ad homogen Terbentuk larutan KCl + glukosa
tepat larut & homogen
5 Ditambah aquadest bebas Aquadest tertambah pada larutan
pirogen ad 250 ml hingga 250 ml
6 Diukur Ph 5-6 Ph larutan tanpa penambahan apapun
Ph diukur hasilnya 5
7 Ditambah aqua bebas pirogen ad Larutan menjadi 250 ml volumenya
250 ml
8 Dipanaskan suhu 80-90˚C Larutan berwarna jernih dan dinding
selama 15 menit gelas terasa panas
9 Norit 0,25 gram + (8) ‒› aduk ada Norit warna hitam ‒› sebagai
homogen adsorben dan norit tidak larut
10 Dipanaskan suhu 70-80˚C Larutan panas
11 Disaring kertas saring rangkap 2 Didapat larutan jernih
12 Dipanaskan suhu 70-80˚C Larutan panas & jernih
selama 10 menit
13 Disaring dengan kertas saring Larutan tersaring & jernih
yang sama
14 Disaring dengan kertas saring Larutan tersaring dan diperoleh filtrat
baru 1 lapis
15 Diambil 102 ml (100+2) / 0,38 % dalam botol infus
(v+2%) dimasukan salam botol
infus
16 Ditutup botol + tali+Bungkus Botol tertutup dan ditali serta
dibungkus
17 Sterilisasi autoklaf 15˚C selama Sediaan tersterilisasi
30 menit
18 Beri label dan etiket Terdapat label dan etiket dalam botol

4.2 Data Hasil Evaluasi Sediaan Steril Volume Besar


Tabel 4.2 Data Hasil Evaluasi Sediaan Infus KCl
No Perlakuan Pengamatan
A Uji Kebocoran Larutan tidak bocor
Menggunakan kertas saring
dengan cara botol dibalik diatas
kertas saring diamkan selama 1
menit
B Uji kejernihan
1.Memakai bayground putih Jernih tidak terdapat partikel (hitam)
untuk mengamati apakah
terdapat partikel-partikel yang
tidak larut (partikel berwarna
hitam) dalam ruang gelap dan
flash dengan senter
Jernih tidak terdapat partikel (putih)
2.Memakai bayground hitam
untuk mengamati apakah
terdapat partikel-partikel yang
tidak larut (warna putih)

C Uji Sterilisasi

1.Larutan diambil dan diletakkan Diletakkan dalam media agar dan


pada media agar,dilakukan pada didiamkan selama 1 hari
laboratorium mikrobiologi di
LAP Tidak tumbuh mikroba / jamur
2.Didiamkan selama 1 hari
apakah tumbuh mikroba / jamur
D Uji Ph

Didiamkan larutan dalam beaker Ph 5,76


glass diamati Ph nya
BAB V
PEMBAHASAN

5.1 Prinsip Percobaan


Pada praktikum pembuatan infus kalium klorida ini digunakan kcl sebagai
zat aktif, sediaan ini mengandung kcl 0,38%. Adapun khasiat dari kcl yaitu
sebagai sumber Ion Kalium yaitu akibat ketidak seimbangan elektrolit. Dalam
sediaan infus ini digunakan norit yang bertujuanya untuk menyerap pirogen norit
juga digunakan untuk menyerap bahan-bahan pengotor yang mungkin ada dalam
sediaan infus. Dengan pengocokkan menggunakan karbon 1% selama 15 menit,
pirogen dapat hilangkan. Dalam sediaan infus ini dugunakan glukosa sebagai
pengisotonis yang bertujuan agar tekanan osmosis cairan infus yang masuk
kedalam tubuh sama dengan tekanan osmosis tubuh. Dalam sediaan infus kcl ini
, digunakan juga aqua bebas pirogen sebagai pembawa atau pelarut pada sediaan.
Tujuannya yaitu sebagai pelarut dan pembawa karena bahan-bahan larut dalam
air.
5.2 Analisa Prosedur
Steril adalah istilah yang mempunyai kondisi konotasi realtaif, dan
kemungkinan menciptakan kondisi mutlak bebas dari mikroorganisme hanya
dapat diduga atas dasar proyeksi kinetis angka kematian mikroba. Produk steril
adalah sediaan terapetis dalam bentuk terbagai-bagi yang bebas dari
mikroorganisme hidup. Semua komponen dan proses yang terlibat dalam
penyediaan produk ini harus dipilih dan dirancang untuk menghilangkan semua
jenis kontaminasi secara fisik (Agoes, 2006)
Infus adalah sediaan parenteral volume besar yang ditujukan untuk diberikan
secara intravena yang sering disebut “Intravena” (i.v) cairan atau cairan infus.
Infus atau cairan infus dikemas dalam wadah yang mempunyai kapasitas dari 150
sampai 1000 ml. Infus tipe ini dengan wadah kapasitas 250 ml tersedia dengan
pengisian 50 ml dan 100 ml larutan obat ketika digunakan dalam teknik
“piggyback” . Syarat-syarat dari injeksi volume besar ialah harus steril, bebas
pirogen dan bebas dari bahan partilukat, dikemas dalam wadah dosis tunggal
dalam wadah gelas atau plastik yang sesuai. Kecuali dinyatakan lain, infus
intravena tidak boleh mengandung bakterisida dan zat dapar larutan untuk
intravena harus jernih dan praktis (Departemen Kesehatan Republik Indonesia,
1979)
Sebelum dilakukan produksi atau peracikan sediaan, sebelumnya dilakukan
pembuatan rancangan formulasi atau pre formulasi. Rancangan Formulasi
digunakan untuk memilih bahan aktif serta bahan tambahan yang tepat guna untuk
menjaga stabilitas dan efektivitas dari sediaan tersebut. Rancangan formula
dilakukan dengan studi literatur dari beberapa sumber baik buku maupun jurnal
mengenai aspek farmakologi dan aspek fisika kimia. Berdasarkan aspek fisika
kimia yang dimiliki oleh zat aktif tersebut maka akan menentukan bentuk sediaan
yang akan dibuat.

Anda mungkin juga menyukai