BAB I
PENDAHULUAN
Distribusi data kesehatan telinga di dunia bahwa keratosis obturans pada umumnya
terjadi pada pasien usia muda antara umur 5-20 tahun dan dapat menyerang satu atau
kedua telinga. Morrison (1956) melaporkan bahwa terdapat 50 kasus keratosis obturans
di mana 20 pasien berumur 5-9 tahun, 15 pasien berumur antara 9-19 dan 15 pasien
berumur antara 20-59 tahun. Black dan Clayton (1958) melaporkan terjadinya keratosis
obturans pada anak-anak dengan insidens 90% terjadi secara bilateral. Di Indonesia,
prevalensi penyakit ini menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia tahun 2008
berkisar 125 kasus dalam 1000 penduduk setiap tahun, dengan rerata usia ± 22-43
tahun, dan tidak ada perbedaan rasio yang signifikan antara pria dan wanita. 1
deskuamasi melalui pembersihan liang telinga secara periodik (tiga bulan sekali) untuk
mengurangi akumulasi debris, kemudian dengan pemberian tetes telinga dengan
campuran alkohol atau gliserin dalam 3% peroksida (tiga kali seminggu), juga dengan
kortikosteroid lokal pada peradangan yang cukup berat. 1
Adapun tujuan penulisan referat ini ialah untuk memenuhi tugas ilmiah
kepaniteraan klinik pada bagian ilmu kesehatan telinga, hidung, tenggorokan, kepala
dan leher (THT-KL) dalam membahas keratosis obturans yang meliputi anatomi liang
telinga luar (MAE), fisiologi mekanisme pembersihan diri MAE, definisi,
epidemiologi, klasifikasi, etiopatogenesis, manifestasi klinis, diagnosis banding,
penegakkan diagnosis, penatalaksanaan dan komplikasinya.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Muskuloskeletal
Auricula terdiri dari lempeng cartilago berbentuk irregular yang dilapisi oleh kulit
tipis. Auricula memiliki beberapa depresi dan elevasi. Concha adalah depresi yang
paling dalam. Pinggir auricula yang meninggi ialah helix. Lobulus nonkartilaginosa
terdiri dari jaringan fibrosa, lemak dan pembuluh darah. Lobulus mudah ditembus
untuk mengambil sedikit sampel darah dan memasang anting. Tragus adalah proyeksi
menyerupai lidah yang menutupi porus acusticus externus. 2
Meatus acusticus externus merupakan suatu kanal yang mengarah ke dalam melalui
pars tympanica ossis temporalis dari auricula ke membrana tympanica, berjarak 2-3
cm pada orang dewasa. Sepertiga lateral kanal yang sedikit berbentuk S tersebut
merupakan pars fibrocartilaginea dan dilapisi kulit yang berlanjut dengan kulit
auricular. Dua pertiga medialnya bertulang yang tersusun atas pars tympani dan pars
skuamosa ossis temporalis dan dilapisi kulit tipis yang berlanjut dengan lapisan
eksterna membrana tympanica. Glandula sebacea dan ceruminosa pada jaringan
subkutan pars fibrocartilaginea meatus menghasilkan serumen (earwax). Bagian tulang
rawan liang telinga luar ini strukturnya sangat berbeda dengan bagian tulang. Tulang
5
rawan melekat dengan erat ke tulang temporal tetapi masih dapat digerakkan karena
adanya saluran-saluran fibrosa di dalam tulang rawan, yaitu fisura Santorini. Fisura
ini dapat menyalurkan infeksi atau tumor antara liang telinga dan kelenjar Parotis. 2. 3
2. Peredaran Darah
3. Persarafan
Migrasi epitel memiliki banyak peran. Ini adalah mekanisme utama untuk
menghilangkan cerumen dan mempertahankan kanal pendengaran eksternal untuk
transmisi suara. Tanpa fungsi pembersihan diri untuk saluran pendengaran eksternal,
akumulasi cerumen dalam lumen saluran pendengaran eksternal akan mencegah
lewatnya suara ke membran timpani, menyebabkan gangguan pendengaran konduktif,
mencegah saluran pendengaran eksternal dari melayani fungsi pendengarannya.
Kedua, migrasi epitel mengangkut sel stratum korneum dari membran timpani menuju
pembukaan di ujung distal kanal auditorius eksternal, mempertahankan ketebalan
membran timpani. Selanjutnya, migrasi epitel adalah faktor kunci dalam perbaikan
perforasi membran timpani spontan, seperti yang telah ditunjukkan pada marmut, tikus,
kucing, dan manusia. Akhirnya, migrasi epitel juga berfungsi dalam perbaikan sayatan
membran timpani pasca operasi. Singkatnya, migrasi epitel berfungsi sebagai
mekanisme pembersihan diri untuk membran timpani dan saluran pendengaran
eksternal dan sebagai mekanisme perbaikan untuk membran timpani. 4
8
(Tabacca. 2015)
9
BAB III
KERATOSIS OBTURANS
A. Definisi
Keratosis obturans adalah akumulasi besar plak dari deskuamasi keratin di MAE.
Keratosis obturans merupakan suatu bentuk dermatitis (dengan peradangan yang
ditandai dan peningkatan vaskularisasi kulit MAE). Peradangan kronis menyebabkan
peningkatan deskuamasi kulit MAE dan mengurangi migrasi epitel abnormal. Epitel
MAE dan membran timpani keduanya ditandai dengan penebalan yang jelas sebagai
akibat dari peradangan kulit, dengan akumulasi laminar keratin pada MAE hadir
sebagai bentuk deskuamasi yang paling umum. 1
(Piepergerdes. 1980)
membungkus kulit MAE dengan gambaran onion-like (gambar 2.A), dengan sumbatan
jaringan debris yang meliputi hampir sepanjang MAE (gambar 2.B). Tampak jaringan
debris/deskuamasi epitel kulit berkeratin yang berbentuk lempengan setelah diangkat
dari MAE (gambar 2.C). 4
B. Epidemiologi
Distribusi data kesehatan telinga di dunia bahwa keratosis obturans pada umumnya
terjadi pada pasien usia muda antara umur 5-20 tahun dan dapat menyerang satu atau
kedua telinga. Morrison (1956) melaporkan bahwa terdapat 50 kasus keratosis obturans
di mana 20 pasien berumur 5-9 tahun, 15 pasien berumur antara 9-19 dan 15 pasien
berumur antara 20-59 tahun. Black dan Clayton (1958) melaporkan terjadinya keratosis
obturans pada anak-anak dengan insidens 90% terjadi secara bilateral. Di Indonesia,
prevalensi penyakit ini menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia tahun 2008
berkisar 125 kasus dalam 1000 penduduk setiap tahun, dengan rerata usia ± 22-43
tahun, dan tidak ada perbedaan rasio yang signifikan antara pria dan wanita. 2
C. Klasifikasi
Menurut Hawke dan Shanker ada dua jenis keratosis obturans. Jenis pertama adalah
peradangan kronis jaringan subepitel dan ini menghasilkan hiperplasia epitel dan
pembentukan bahan skuamosa di MAE. Tipe kedua tidak ada peradangan kronis pada
lapisan kulit MAE, terjadi secara bilateral dan mungkin karena kelainan herediter atau
adanya enzim yang tidak diketahui yang berkontribusi terhadap pemisahan lapisan
keratin superfisial, kondisi ini dapat terjadi jika lapisan bergerak ke luar selama proses
migrasi normal. Menurut Soucek dan Michaels, migrasi epitel yang abnormal dapat
berasal dari membran timpani itu sendiri atau MAE, sehingga menyebabkan dua jenis
penyakit yang berbeda. Perbedaan ini jauh dari tipe yang digambarkan Hawke dan
Shanker. 7
11
D. Etiopatogenesis
Penyebab keratosis obturans hingga saat ini belum diketahui. Namun, mungkin
disebabkan akibat dari eksema, seboroik dan furonkulosis. Penyakit ini kadang-kadang
dihubungkan dengan bronkiektasis dan sinusitis kronik. 8
Keratosis obturans terjadi karena migrasi abnormal epitel pada lapisan kulit MAE.
Secara normal, epitel dari permukaan membran timpani pars flaccida bermigrasi ke
pars tensa dan bergerak secara inferior melintasi membran timpani, tetapi pergerakan
sel-sel epitel pada penyakit ini tampak terbalik. Kegagalan migrasi ini atau adanya
obstruksi pada saat migrasi yang disebabkan oleh lapisan keratin menyebabkan
akumulasi debris epitel di bagian dalam MAE. Hal ini sesuai dengan studi tentang kulit
normal pada telinga luar yang dilakukan oleh Alberti (1964) menunjukkan bahwa
secara normal terdapat migrasi epitel dari membran timpani ke meatus auditorius
eksternus. 9
Menurut Mayer, Papurella dan Shumrick keratosis obturans dapat disebabkan oleh
beberapa faktor termasuk produksi sel epitel yang berlebihan, kegagalan migrasi epitel
kulit dan ketidakmampuan mekanisme pembersihan diri oleh MAE. Mekanisme
pembersihan diri oleh MAE adalah hasil dari koordinasi proses pematangan keratin
dan migrasi sel ke luar, di mana pada kasus keratosis obturans mekanisme ini tidak
bekerja. Morrison (1956) melaporkan hubungan antara bronkiektasis dan sinusitis
dengan terjadinya keratosis obturans. Berkaitan dengan penemuan ini menyebabkan
munculnya hipotesis bahwa adanya pus menstimulasi sistem refleks simpatis dari
cabang trakeobronkial untuk merangsang refleks sekresi serumen yang menyebabkan
obstruksi oleh keratin dan pembentukan sumbat epidermal. 8. 9
E. Manifestasi Klinis
Keratosis obturans umumnya menyerang orang berusia muda, kurang dari 40
tahun, dengan gejala berupa gangguan pendengaran/tuli tipe konduksi derajat ringan-
12
sedang bilateral, severe otalgia, MAE yang lebih lebar dan hiperemis, tinitus, membran
timpani intak tetapi lebih tebal dan jarang didapatkan otorrhea. Kehilangan/penurunan
pendengaran dan rasa sakit yang parah merupakan keluhan sekunder yang selalu terjadi
karena desakan akumulasi keratin pada MAE. Selain itu, keratosis obturans dapat
disertai dengan bronkiektasis dan sinusitis kronik bilateral. 10
F. Diagnosis Banding
G. Penegakkan Diagnosis
1. Anamnesis
Riwayat otologi harus diperoleh dalam rangka untuk mengetahui gejala awal
keratosis obturans. Gejala yang paling umum adalah kehilangan/penurunan
pendengaran (tipe konduktif; bilateral), otalgia yang hebat dan tinnitus bilateral yang
dapat disertai dengan bronkiektasis dan sinusitis kronik, sementara otorea jarang
ditemui.
13
2. Pemeriksaan Fisis
(Persaud. 2004)
Di samping itu, dilakukan pula tes penala (Rinne dan Weber) menggunakan garpu
tala (512 Hz) untuk menentukan adanya tuli konduksi dan dibandingkan dengan
pemeriksaan audiometri. 11
14
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Radiologi
(Beatriz. 2013)
b. Histopatologi
tengah dan hasilnya adalah lamelar (onion skin-layer) yang seluruhnya terdiri dari
keratin padat. Selebaran padat seperti daun dan bahan keratin ortokeratotik dan
kurangnya lapisan epitel di dalamnya. 13
(Lesser. 2008)
H. Penatalaksanaan
(Soucek. 1993)
I. Komplikasi
Keratosis obturans umumnya merupakan suatu kondisi yang tidak berbahaya tetapi
dapat menyebabkan komplikasi serius. Keratosis obturans dapat menyebabkan erosi
tulang yang luas tetapi tidak ada komplikasi intrakranial yang diperoleh. Sumbatan dari
debris skuamosa berkeratin perlahan-lahan menjadi besar dan dapat menekan tulang
MAE hingga menyebabkan reabsorpsi yang cukup besar. Setelah pengangkatan
sumbatan yang cukup besar, MAE akan terlihat jelas. Pasien yang memiliki plak
keratin berlapis pada MAE secara berulang selama lima tahun akan menyebabkan
tekanan pada dinding tulang MAE posterior dan dinding mastoid untuk diserap. 1
17
BAB IV
ALGORITMA DIAGNOSIS
GEJALA
Gangguan Pendengaran, Nyeri Telinga, Tinnitus
TANDA
Akumulasi Deskuamasi/Debris Epitel Kulit MAE
PEMERIKSAAN PENUNJANG
- CT-Scan: Lesi Jaringan Lunak/Erosi Tulang
- Histopatologi: Onion-skin Apearance
PENATALAKSANAAN
- Pembersihan Liang Telinga Secara Periodik (3 Bulan Sekali)
- Obat Tetes Telinga Alkohol/Gliserin dlm Peroksida 3% (3 kali Seminggu)
- Kortisteroid Lokal: Mengurangi Peradangan Akut
- Setelah Pembersihan MAE: Tampon dgn Kapas Antiseptik (Betadine)
18
BAB V
KESIMPULAN
Keratosis obturans adalah akumulasi besar plak dari deskuamasi keratin yang
tersebar di telinga. Etiologi keratosis obturans masih belum jelas. Beberapa hipotesis
menunjukkan keratosis obturans terkait dengan eksema, dermatitis seboroik dan
furunculosis. Keratosis obturans terjadi karena migrasi abnormal lapisan kulit MAE.
Diagnosis keratosis obturans dibuat berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan klinis,
sedangkan CT scan dilakukan untuk menentukan ada tidaknya erosi tulang. Melalui
anamnesis diperoleh informasi keluhan pasien berupa nyeri telinga yang parah,
gangguan pendengaran tipe bilateral dan jarang terjadi otore. Pada pemeriksaan
otoskopi, terlihat akumulasi keratin, MAE yang lebih luas dan hiperemia, membran
timpani utuh tetapi lebih tebal. Pada pemeriksaan dukungan CT scan diperoleh erosi
dan pelebaran MAE. Dalam pemeriksaan histopatologis, penyumbatan keratin yang
ditemukan pada keratosis obturans terlihat seperti garis geometris di dalam MAE
seperti gambaran lapisan kulit bawang (onion skin-like).
DAFTAR PUSTAKA
9. Piepergerdes MC, Kramer BM, Behnke EE. Keratosis obturans and external
auditory canal cholesteatoma. Laryngoscope 2014 ;90 :383-91. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/7359960. Accessed April 24, 2014.
10. Loock JW. Benign necrotizing otitis externa. In: Michael Gleeson, chief editor.
Scott-Brown’s Otolaryngology Head and Neck Surgery. 7th ed. Vol 3. London:
Hodder Arnold; 2015. p. 3334.
11. Persaud R, Chatrath P, Cheesman A. Atypical keratosis obturans. J Laryngol Otol
2018; 117:725-7. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/14561364. Accessed May 31, 2019.
12. Beatriz B, Amaya RF. Imaging diagnosis of benign lesions of the external auditory
canal. Acta Otolaryngol Esc 2014; 64:6-11. Available from:
www.sciencedirect.com/science. Accessed April 4, 2015.
13. Saunders NC, Malhotra R, Biggs N, Fagan PA. Complications of keratosis
obturans. J Laryngol Otol 2016; 120: 740-4. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/16848919. Accessed May 31, 2017.
14. Negreiros J, Oliveira HF, Neves CA, Oliveira CA. External Auditory Canal
Cholesteatoma. Int. Adv. Otol. 2017; 5:(3) 391393. Available from:
www.scielo.br/scielo.php. Accessed April 18, 2017.
15. Soucek S, Michaels L: Keratosis of the tympanic membrane and deep ecternal
auditory canal. Eur Arch Otorhino laryngol 2014; 250: 140-2. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/8357603. Accessed Mei, 2014.
16. Tran LP, Grundfast KM, Selesnick SH. Benign lesions of the external auditory
canal. Otolaryngol Clin North Am 2015;29(5): 807–825. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/. Accessed April 10, 2016.
17. Glynn F, Keogh IJ, Burns H. Neglected keratosis obturans causing facial nerve
palsy. J Laryngol Otol 2017; 120:784-5. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/16939670. Accessed May 31, 2017