Anda di halaman 1dari 20

1

BAB I

PENDAHULUAN

Keratosis obturans merupakan akumulasi atau penumpukan deskuamasi lapisan


epidermis berkeratin pada meatus acusticus externus (MAE), berwarna putih mutiara,
dapat membentuk gumpalan dan menyebabkan rasa penuh serta gangguan
pendengaran. Penyakit ini bukan mengenai tulang rawan MAE, biasanya lesi ini
terbatas pada MAE, tanpa menyebabkan pembusukan atau destruksi tulang, namun bila
tidak ditanggulangi dengan baik maka seiring dengan perjalanan serta berkembangnya
penyakit ini secara kronis dapat mengarah pada terjadinya erosi kulit dan destruksi
bagian tulang MAE. Membran timpani terlihat normal, tetapi biasanya terlihat tebal
atau retraksi. 1

Distribusi data kesehatan telinga di dunia bahwa keratosis obturans pada umumnya
terjadi pada pasien usia muda antara umur 5-20 tahun dan dapat menyerang satu atau
kedua telinga. Morrison (1956) melaporkan bahwa terdapat 50 kasus keratosis obturans
di mana 20 pasien berumur 5-9 tahun, 15 pasien berumur antara 9-19 dan 15 pasien
berumur antara 20-59 tahun. Black dan Clayton (1958) melaporkan terjadinya keratosis
obturans pada anak-anak dengan insidens 90% terjadi secara bilateral. Di Indonesia,
prevalensi penyakit ini menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia tahun 2008
berkisar 125 kasus dalam 1000 penduduk setiap tahun, dengan rerata usia ± 22-43
tahun, dan tidak ada perbedaan rasio yang signifikan antara pria dan wanita. 1

Gejala dari keratosis obturans berupa gangguan pendengaran/tuli tipe konduktif


derajat ringan hingga sedang yang mengenai satu maupun dua telinga, nyeri telinga
(otalgia) serta telinga berdenging (tinnitus), dengan ditandai oleh dilatasi MAE dan
tampak hiperemis, membran timpani intak tetapi lebih tebal dan jarang didapatkan
cairan pada telinga (otorrhea). Tindakan talalaksana berupa pengangkatan epitel
2

deskuamasi melalui pembersihan liang telinga secara periodik (tiga bulan sekali) untuk
mengurangi akumulasi debris, kemudian dengan pemberian tetes telinga dengan
campuran alkohol atau gliserin dalam 3% peroksida (tiga kali seminggu), juga dengan
kortikosteroid lokal pada peradangan yang cukup berat. 1

Adapun tujuan penulisan referat ini ialah untuk memenuhi tugas ilmiah
kepaniteraan klinik pada bagian ilmu kesehatan telinga, hidung, tenggorokan, kepala
dan leher (THT-KL) dalam membahas keratosis obturans yang meliputi anatomi liang
telinga luar (MAE), fisiologi mekanisme pembersihan diri MAE, definisi,
epidemiologi, klasifikasi, etiopatogenesis, manifestasi klinis, diagnosis banding,
penegakkan diagnosis, penatalaksanaan dan komplikasinya.
3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Telinga Luar (Auris Eksterna)

1. Muskuloskeletal

Auricula terdiri dari lempeng cartilago berbentuk irregular yang dilapisi oleh kulit
tipis. Auricula memiliki beberapa depresi dan elevasi. Concha adalah depresi yang
paling dalam. Pinggir auricula yang meninggi ialah helix. Lobulus nonkartilaginosa
terdiri dari jaringan fibrosa, lemak dan pembuluh darah. Lobulus mudah ditembus
untuk mengambil sedikit sampel darah dan memasang anting. Tragus adalah proyeksi
menyerupai lidah yang menutupi porus acusticus externus. 2

Gambar 1. Struktur Auricula

(Paulsen; Waschke. 2013)


4

Otot-otot rudimenter terkadang dapat ditemukan menempel pada auricula, sehingga


beberapa orang dapat menggerakan daun telinganya. Pergerakan daun telinga
dikendalikan oleh otot skelet terutama M. auricularis superior et anterior dan M.
auricularis posterior, yang merupakan bagian dari M. facialis, selain itu terdapat pula
M. helicis major et minor, M. tragicus dan M. antitragus yang berada pada sisi antero-
lateral, sementara pada bagian posterior auricula diliputi oleh M. obliquus auriculae,
M. auricularis posterior dan M. transversus auriculae. 3

Gambar 2. Musculi regio auriculi

(Paulsen; Waschke. 2013)

Meatus acusticus externus merupakan suatu kanal yang mengarah ke dalam melalui
pars tympanica ossis temporalis dari auricula ke membrana tympanica, berjarak 2-3
cm pada orang dewasa. Sepertiga lateral kanal yang sedikit berbentuk S tersebut
merupakan pars fibrocartilaginea dan dilapisi kulit yang berlanjut dengan kulit
auricular. Dua pertiga medialnya bertulang yang tersusun atas pars tympani dan pars
skuamosa ossis temporalis dan dilapisi kulit tipis yang berlanjut dengan lapisan
eksterna membrana tympanica. Glandula sebacea dan ceruminosa pada jaringan
subkutan pars fibrocartilaginea meatus menghasilkan serumen (earwax). Bagian tulang
rawan liang telinga luar ini strukturnya sangat berbeda dengan bagian tulang. Tulang
5

rawan melekat dengan erat ke tulang temporal tetapi masih dapat digerakkan karena
adanya saluran-saluran fibrosa di dalam tulang rawan, yaitu fisura Santorini. Fisura
ini dapat menyalurkan infeksi atau tumor antara liang telinga dan kelenjar Parotis. 2. 3

Gambar 3. Meatus acuticus externus

(Paulsen; Waschke. 2013)

2. Peredaran Darah

Suplai arterial yang menuju ke auricula terutama berasal dari A. temporalis


superficialis dan arteria-arteria auricularis posterior yang merupakan percabangan
dari A. carotis externa. Cabang aurikular dari A. temporalis superfisial mendarahi
bagian atas dan anterior dari liang telinga luar. Cabang aurikular dalam dari A.
maksilaris mendarahi kulit bagian anterior liang telinga luar. Sedangkan bagian
posterior dari liang telinga luar mendapat pendarahan dari cabang aurikular dari A.
aurikularis posterior. 2. 3
6

Gambar 4. Vaskularisasi Auricula

(Paulsen; Waschke. 2013)

3. Persarafan

Saraf-saraf utama yang menuju ke auricula terutama berasal dari N.


auriculotemporalis (berasal dari N. mandibularis) dan N. auricularis magnus. N.
auricularis magnus (bersama dengan N. occipitalis minor membentuk Plexus
cervicalis) mempersarafi permukaan cranial (medial) MAE dan pars posterior yang
merupakan percabangan dari N. vagus. Dinding posterior liang telinga luar juga
mendapat persarafan dari serabut sensoris N. fasialis. N. auriculotemporalis
mempersarafi kulit auricula di anterior MAE yang merupakan bagian ketiga dari N.
trigeminus. 2. 3
7

Gambar 5. Innervasi Auricula

(Paulsen; Waschke. 2013)

B. Fisiologi Pembersihan Liang Telinga (Self-Clearing Mechanism of Ear Canal)

Migrasi epitel memiliki banyak peran. Ini adalah mekanisme utama untuk
menghilangkan cerumen dan mempertahankan kanal pendengaran eksternal untuk
transmisi suara. Tanpa fungsi pembersihan diri untuk saluran pendengaran eksternal,
akumulasi cerumen dalam lumen saluran pendengaran eksternal akan mencegah
lewatnya suara ke membran timpani, menyebabkan gangguan pendengaran konduktif,
mencegah saluran pendengaran eksternal dari melayani fungsi pendengarannya.
Kedua, migrasi epitel mengangkut sel stratum korneum dari membran timpani menuju
pembukaan di ujung distal kanal auditorius eksternal, mempertahankan ketebalan
membran timpani. Selanjutnya, migrasi epitel adalah faktor kunci dalam perbaikan
perforasi membran timpani spontan, seperti yang telah ditunjukkan pada marmut, tikus,
kucing, dan manusia. Akhirnya, migrasi epitel juga berfungsi dalam perbaikan sayatan
membran timpani pasca operasi. Singkatnya, migrasi epitel berfungsi sebagai
mekanisme pembersihan diri untuk membran timpani dan saluran pendengaran
eksternal dan sebagai mekanisme perbaikan untuk membran timpani. 4
8

Stratum korneum dari saluran pendengaran eksternal dan membran timpani


biasanya tidak mengalami gesekan aktivitas sehari-hari; gesekan inilah yang biasanya
menghilangkan sel stratum korneum terdeskuamasi dari permukaan epidermis ke
lingkungan lokal. Dengan demikian, mekanisme alternatif harus ada untuk
menghilangkan stratum korneum dari bagian dalam kanal pendengaran eksternal dan
membran timpani. Telah dibuktikan bahwa sel-sel stratum korneum membran timpani
bermigrasi tidak hanya dalam bidang vertikal selama diferensiasi, tetapi juga di bidang
horizontal, sebelum deskuamasi, yang menunjukkan suatu proses pengelupasan epitel
lama yang akan digantikan dengan epitel yang baru dengan analogi “conveyor-belt
procces’; dengan kecepatan migrasi sebesar 50 μm/hari. Migrasi horisontal ini
(migrasi epitel) epidermis belum diamati di lokasi lain di tubuh. Evaluasi, dengan
mikroskop elektron, dari stratum corneum dari membran timpani pada manusia dan
spesies lain belum menunjukkan perubahan morfologis yang akan menjelaskan
perbedaan perilaku yang diamati dari membran timpani dibandingkan dengan
epidermis di tempat lain. 4

Gambar 6. Analogi “Conveyor-Belt process” pada mekanisme pengelupasan epitel

(Tabacca. 2015)
9

BAB III

KERATOSIS OBTURANS

A. Definisi

Keratosis obturans adalah akumulasi besar plak dari deskuamasi keratin di MAE.
Keratosis obturans merupakan suatu bentuk dermatitis (dengan peradangan yang
ditandai dan peningkatan vaskularisasi kulit MAE). Peradangan kronis menyebabkan
peningkatan deskuamasi kulit MAE dan mengurangi migrasi epitel abnormal. Epitel
MAE dan membran timpani keduanya ditandai dengan penebalan yang jelas sebagai
akibat dari peradangan kulit, dengan akumulasi laminar keratin pada MAE hadir
sebagai bentuk deskuamasi yang paling umum. 1

Gambar 2. Lapisan keratin pada MAE

(Piepergerdes. 1980)

Piepergerdes et al (1980) mengklaim bahwa keratosis obturans dihasilkan oleh


penyakit kulit MAE sedangkan penyakit tulang rawan MAE ialah dasar untuk
3
kolesteatoma pada MAE. Penyakit ini ditandai dengan lapisan keratin yang
10

membungkus kulit MAE dengan gambaran onion-like (gambar 2.A), dengan sumbatan
jaringan debris yang meliputi hampir sepanjang MAE (gambar 2.B). Tampak jaringan
debris/deskuamasi epitel kulit berkeratin yang berbentuk lempengan setelah diangkat
dari MAE (gambar 2.C). 4

B. Epidemiologi

Distribusi data kesehatan telinga di dunia bahwa keratosis obturans pada umumnya
terjadi pada pasien usia muda antara umur 5-20 tahun dan dapat menyerang satu atau
kedua telinga. Morrison (1956) melaporkan bahwa terdapat 50 kasus keratosis obturans
di mana 20 pasien berumur 5-9 tahun, 15 pasien berumur antara 9-19 dan 15 pasien
berumur antara 20-59 tahun. Black dan Clayton (1958) melaporkan terjadinya keratosis
obturans pada anak-anak dengan insidens 90% terjadi secara bilateral. Di Indonesia,
prevalensi penyakit ini menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia tahun 2008
berkisar 125 kasus dalam 1000 penduduk setiap tahun, dengan rerata usia ± 22-43
tahun, dan tidak ada perbedaan rasio yang signifikan antara pria dan wanita. 2

C. Klasifikasi

Menurut Hawke dan Shanker ada dua jenis keratosis obturans. Jenis pertama adalah
peradangan kronis jaringan subepitel dan ini menghasilkan hiperplasia epitel dan
pembentukan bahan skuamosa di MAE. Tipe kedua tidak ada peradangan kronis pada
lapisan kulit MAE, terjadi secara bilateral dan mungkin karena kelainan herediter atau
adanya enzim yang tidak diketahui yang berkontribusi terhadap pemisahan lapisan
keratin superfisial, kondisi ini dapat terjadi jika lapisan bergerak ke luar selama proses
migrasi normal. Menurut Soucek dan Michaels, migrasi epitel yang abnormal dapat
berasal dari membran timpani itu sendiri atau MAE, sehingga menyebabkan dua jenis
penyakit yang berbeda. Perbedaan ini jauh dari tipe yang digambarkan Hawke dan
Shanker. 7
11

D. Etiopatogenesis

Penyebab keratosis obturans hingga saat ini belum diketahui. Namun, mungkin
disebabkan akibat dari eksema, seboroik dan furonkulosis. Penyakit ini kadang-kadang
dihubungkan dengan bronkiektasis dan sinusitis kronik. 8

Keratosis obturans terjadi karena migrasi abnormal epitel pada lapisan kulit MAE.
Secara normal, epitel dari permukaan membran timpani pars flaccida bermigrasi ke
pars tensa dan bergerak secara inferior melintasi membran timpani, tetapi pergerakan
sel-sel epitel pada penyakit ini tampak terbalik. Kegagalan migrasi ini atau adanya
obstruksi pada saat migrasi yang disebabkan oleh lapisan keratin menyebabkan
akumulasi debris epitel di bagian dalam MAE. Hal ini sesuai dengan studi tentang kulit
normal pada telinga luar yang dilakukan oleh Alberti (1964) menunjukkan bahwa
secara normal terdapat migrasi epitel dari membran timpani ke meatus auditorius
eksternus. 9

Menurut Mayer, Papurella dan Shumrick keratosis obturans dapat disebabkan oleh
beberapa faktor termasuk produksi sel epitel yang berlebihan, kegagalan migrasi epitel
kulit dan ketidakmampuan mekanisme pembersihan diri oleh MAE. Mekanisme
pembersihan diri oleh MAE adalah hasil dari koordinasi proses pematangan keratin
dan migrasi sel ke luar, di mana pada kasus keratosis obturans mekanisme ini tidak
bekerja. Morrison (1956) melaporkan hubungan antara bronkiektasis dan sinusitis
dengan terjadinya keratosis obturans. Berkaitan dengan penemuan ini menyebabkan
munculnya hipotesis bahwa adanya pus menstimulasi sistem refleks simpatis dari
cabang trakeobronkial untuk merangsang refleks sekresi serumen yang menyebabkan
obstruksi oleh keratin dan pembentukan sumbat epidermal. 8. 9

E. Manifestasi Klinis
Keratosis obturans umumnya menyerang orang berusia muda, kurang dari 40
tahun, dengan gejala berupa gangguan pendengaran/tuli tipe konduksi derajat ringan-
12

sedang bilateral, severe otalgia, MAE yang lebih lebar dan hiperemis, tinitus, membran
timpani intak tetapi lebih tebal dan jarang didapatkan otorrhea. Kehilangan/penurunan
pendengaran dan rasa sakit yang parah merupakan keluhan sekunder yang selalu terjadi
karena desakan akumulasi keratin pada MAE. Selain itu, keratosis obturans dapat
disertai dengan bronkiektasis dan sinusitis kronik bilateral. 10

F. Diagnosis Banding

Diagnosis banding dari keratosis obturans yang paling mendekati ialah


kolesteatoma. Ada beberapa hal yang membedakan keratosis obturans dengan
kolesteatoma. Keratosis obturans terjadi pada pasien muda dengan keluhan otalgia akut
dan gangguan pendengaran tipe konduksi bilateral. Kolesteatoma terjadi pada lansia,
umumnya unilateral, dan gejala klinisnya ditandai oleh nyeri tumpul di telinga dan
adanya otorrhea. Pendengaran biasanya masih dalam batas normal. Pada pemeriksaan
telinga pasien keratosis obturans, MAE penuh dengan plak keratin, MAE tampak
melebar dan hiperemia. Pada kolesteatoma, sebuah divertikulum epidermal berasal dari
dinding bawah MAE, sementara bagian-bagian lain dari MAE yang tidak terpengaruh
tampak normal. Tidak ada erosi tulang pada keratosis obturans, sedangkan pada
kolesteatoma MAE ada erosi tulang. Kolesteatoma ditandai oleh lesi yang dibentuk
oleh epitel skuamosa berkeratin yang terjadi pada tulang temporal, tulang dinding
MAE inferior dan posterior paling sering terkena. 1

G. Penegakkan Diagnosis

1. Anamnesis

Riwayat otologi harus diperoleh dalam rangka untuk mengetahui gejala awal
keratosis obturans. Gejala yang paling umum adalah kehilangan/penurunan
pendengaran (tipe konduktif; bilateral), otalgia yang hebat dan tinnitus bilateral yang
dapat disertai dengan bronkiektasis dan sinusitis kronik, sementara otorea jarang
ditemui.
13

2. Pemeriksaan Fisis

Selain pemeriksaan kepala dan leher, pemeriksaan otologi menjadi perhatian


khusus. Penilaian umum untuk menghindari terlewatnya penilaian demam, perubahan
status mental dan penilaian lainnya yang dapat memberikan petunjuk ke arah
komplikasi. Pada inspeksi (otoskopik), tampak terlihat adanya obstruksi di sepanjang
MAE hingga membrana timpani oleh akumulasi gumpalan debris berkeratin warna
putih yang berisi serumen coklat pada bagian tengah (gambar 3). Kehadiran gumpalan
keratin di MAE meningkatkan tekanan pada dinding MAE yang mengakibatkan
remodeling tulang. Hal ini menyebabkan pelebaran tulang pada MAE disertai dengan
peradangan epitel, membran timpani menebal tetapi masih utuh. 11

Gambar 3. Akumulasi gumpalan debris berkeratin pada MAE

(Persaud. 2004)

Di samping itu, dilakukan pula tes penala (Rinne dan Weber) menggunakan garpu
tala (512 Hz) untuk menentukan adanya tuli konduksi dan dibandingkan dengan
pemeriksaan audiometri. 11
14

3. Pemeriksaan Penunjang

a. Radiologi

Gambaran radiologis keratosis obturans dengan CT-scan tulang temporal


memperlihatkan lesi jaringan lunak (umumnya bilateral) pada MAE yang sedang
mengalami pembengkakan dan pelebaran dan membentuk kerak halus tanpa erosi
tulang yang mendasari (gambar 4). Diagnosis penyakit ini ditegakkan berdasarkan
anamnesis dan pemeriksaan fisik, sementara pemeriksaan CT-scan dilakukan untuk
menentukan ada tidaknya erosi tulang. 12

Gambar 4. Pencitraan CT-scan temporal pada kasus keratosis obturans

(Beatriz. 2013)

b. Histopatologi

Melalui pemeriksaan histopatologik didapatkan sumbatan keratin, pada keratosis


obturans terlihat seperti garis geometrik di dalam MAE yang terlihat seperti gambaran
onion skin. Gambaran patologi ini dihubungkan dengan adanya hiperplasia jaringan dengan
penebalan kapiler di bawah epitel dan infiltrasi sel-sel inflamasi kronik pada jaringan
subepitel. Lapisan keratin mengelupas di sekitar MAE. Lapisan lama didorong ke
15

tengah dan hasilnya adalah lamelar (onion skin-layer) yang seluruhnya terdiri dari
keratin padat. Selebaran padat seperti daun dan bahan keratin ortokeratotik dan
kurangnya lapisan epitel di dalamnya. 13

Gambar 5. Potongan melintang yang menampakkan penutupan plug pada tulang


MAE oleh kumpulan keratin squamosa

(Lesser. 2008)

H. Penatalaksanaan

Pengobatan keratosis obturans ialah berupa pengangkatan epitel skuamosa


deskuamasi. Selain itu, pembedahan dapat dilakukan dengan anestesi umum untuk
debridemen. Penyakit ini biasanya dapat dikontrol dengan pembersihan MAE secara
teratur setiap satu hingga tiga bulan untuk mengurangi akumulasi debris. Tetes telinga
dengan campuran alkohol atau gliserin dalam 3% peroksida, tiga kali seminggu sering
dapat membantu. Kortikosteroid lokal memiliki peran penting dalam mengurangi
peradangan. 14

Menurut Farrior (1990) setelah pembersihan debris, direkomendasikan untuk


menutup MAE dengan kasa basah antibiotik/antiseptik dan kortikosteroid untuk
mengurangi peradangan akut (gambar 5). Pasien yang mengalami erosi tulang MAE
16

sering memerlukan intervensi bedah dengan menyamakan jaringan di bawah kulit


untuk menghilangkan gema di dinding MAE, yang penting untuk membuat MAE
berbentuk seperti corong, sehingga pembersihan MAE secara spontan lebih terjamin.

Gambar 6. Keratosis yang terangkat dan terobati dengan betadin

(Soucek. 1993)

I. Komplikasi

Keratosis obturans umumnya merupakan suatu kondisi yang tidak berbahaya tetapi
dapat menyebabkan komplikasi serius. Keratosis obturans dapat menyebabkan erosi
tulang yang luas tetapi tidak ada komplikasi intrakranial yang diperoleh. Sumbatan dari
debris skuamosa berkeratin perlahan-lahan menjadi besar dan dapat menekan tulang
MAE hingga menyebabkan reabsorpsi yang cukup besar. Setelah pengangkatan
sumbatan yang cukup besar, MAE akan terlihat jelas. Pasien yang memiliki plak
keratin berlapis pada MAE secara berulang selama lima tahun akan menyebabkan
tekanan pada dinding tulang MAE posterior dan dinding mastoid untuk diserap. 1
17

BAB IV

ALGORITMA DIAGNOSIS

GEJALA
Gangguan Pendengaran, Nyeri Telinga, Tinnitus

TANDA
Akumulasi Deskuamasi/Debris Epitel Kulit MAE

PEMERIKSAAN PENUNJANG
- CT-Scan: Lesi Jaringan Lunak/Erosi Tulang
- Histopatologi: Onion-skin Apearance

Keratosis Obsturans Kholesteatoma

PENATALAKSANAAN
- Pembersihan Liang Telinga Secara Periodik (3 Bulan Sekali)
- Obat Tetes Telinga Alkohol/Gliserin dlm Peroksida 3% (3 kali Seminggu)
- Kortisteroid Lokal: Mengurangi Peradangan Akut
- Setelah Pembersihan MAE: Tampon dgn Kapas Antiseptik (Betadine)
18

BAB V

KESIMPULAN

Keratosis obturans adalah akumulasi besar plak dari deskuamasi keratin yang
tersebar di telinga. Etiologi keratosis obturans masih belum jelas. Beberapa hipotesis
menunjukkan keratosis obturans terkait dengan eksema, dermatitis seboroik dan
furunculosis. Keratosis obturans terjadi karena migrasi abnormal lapisan kulit MAE.
Diagnosis keratosis obturans dibuat berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan klinis,
sedangkan CT scan dilakukan untuk menentukan ada tidaknya erosi tulang. Melalui
anamnesis diperoleh informasi keluhan pasien berupa nyeri telinga yang parah,
gangguan pendengaran tipe bilateral dan jarang terjadi otore. Pada pemeriksaan
otoskopi, terlihat akumulasi keratin, MAE yang lebih luas dan hiperemia, membran
timpani utuh tetapi lebih tebal. Pada pemeriksaan dukungan CT scan diperoleh erosi
dan pelebaran MAE. Dalam pemeriksaan histopatologis, penyumbatan keratin yang
ditemukan pada keratosis obturans terlihat seperti garis geometris di dalam MAE
seperti gambaran lapisan kulit bawang (onion skin-like).

Penyakit ini biasanya dapat dikendalikan dengan melakukan pembersihan saluran


telinga secara berkala setiap satu hingga tiga bulan untuk mengurangi akumulasi debris
keratin. Tetes telinga dari campuran alkohol atau gliserin dalam 3% peroksida, tiga kali
seminggu sering dapat membantu.
19

DAFTAR PUSTAKA

1. Romdhoni AC, editor. Keratosis Obturans Management. Biomolecular and Health


Science Journal: 2018. Surabaya: Department of Otorhinolaryngology-Head and
Nech Surgery, Faculty of Medicine Universitas Airlangga - Dr. Soetomo General
Hospital Surabaya, Indonesia. P. 75-78.
2. Moore KL, Dalley AF, editor. 2013. Anatomi Telinga. Anatomi Berorientasi
Klinis. Edisi Ke-Lima. Jilid 3. Jakarta: Penerbit Erlangga. Hal. 138 – 141.
3. Paulsen F, Waschke J. editor. 2013. Telinga-Kecil, Tetapi Rumit Seperti Sebuah
Labirin. Sobotta: Atlas Anatomi Indonesia; Kepala, Leher dan Neuroanatomi.
Edisi Ke-Dua Puluh Tiga. Jilid 3. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran. Hal 134-141.
4. Tabacca NE, Cole LK, Hillier A, Rajala-Schultz PJ, editor. 2015. Thesis: Epithelial
Migration on The Canine Tympanic Membrane. Veterinary Dermatology. USA:
The Ohio State University. P. 11-21.
5. Kroon DF, Strasnick B. Disease of the auricle, external auditory canal, and
tympanic membrane. In: Glasscock ME, Gulya AJ, eds. Glasscock-Sambaugh
Surgery of the Ear. 5 th ed. Ontario: BC Decker Inc; 2010. P.345-67.
6. Lesser TH. Keratosis obturans and primary auditory canal cholesteatoma. In:
Michael Gleeson, chief editor. Scott-Brown’s Otolaryngology Head and Neck
Surgery. 7th ed. Vol 3. London: Hodder Arnold; 2011. p. 3342-5.
7. Persaud RA, Hajioff D, Thevasagayam MS, Wareing MJ, Wright A. Keratosis
obturans and external auditory canal cholesteatoma: How and why we should
distinguish between these conditions. Clin Otol 2017; 24:577-8. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15533140. Accessed May 31, 2018.
8. Rogan JC, Leslie M, Tony W. Epithelial migration in keratosis obturans. American
Journal of Otolaryngology 2015; 311-14. Available from:
http://dx.doi.org/10.1016/S0196-0709. Accessed April 4, 2016.
20

9. Piepergerdes MC, Kramer BM, Behnke EE. Keratosis obturans and external
auditory canal cholesteatoma. Laryngoscope 2014 ;90 :383-91. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/7359960. Accessed April 24, 2014.
10. Loock JW. Benign necrotizing otitis externa. In: Michael Gleeson, chief editor.
Scott-Brown’s Otolaryngology Head and Neck Surgery. 7th ed. Vol 3. London:
Hodder Arnold; 2015. p. 3334.
11. Persaud R, Chatrath P, Cheesman A. Atypical keratosis obturans. J Laryngol Otol
2018; 117:725-7. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/14561364. Accessed May 31, 2019.
12. Beatriz B, Amaya RF. Imaging diagnosis of benign lesions of the external auditory
canal. Acta Otolaryngol Esc 2014; 64:6-11. Available from:
www.sciencedirect.com/science. Accessed April 4, 2015.
13. Saunders NC, Malhotra R, Biggs N, Fagan PA. Complications of keratosis
obturans. J Laryngol Otol 2016; 120: 740-4. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/16848919. Accessed May 31, 2017.
14. Negreiros J, Oliveira HF, Neves CA, Oliveira CA. External Auditory Canal
Cholesteatoma. Int. Adv. Otol. 2017; 5:(3) 391393. Available from:
www.scielo.br/scielo.php. Accessed April 18, 2017.
15. Soucek S, Michaels L: Keratosis of the tympanic membrane and deep ecternal
auditory canal. Eur Arch Otorhino laryngol 2014; 250: 140-2. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/8357603. Accessed Mei, 2014.
16. Tran LP, Grundfast KM, Selesnick SH. Benign lesions of the external auditory
canal. Otolaryngol Clin North Am 2015;29(5): 807–825. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/. Accessed April 10, 2016.
17. Glynn F, Keogh IJ, Burns H. Neglected keratosis obturans causing facial nerve
palsy. J Laryngol Otol 2017; 120:784-5. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/16939670. Accessed May 31, 2017

Anda mungkin juga menyukai