Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

KEBIJAKAN PAJAK UNTUK UMKM


Untuk memenuhi tugas mata kuliah Kebijakan Pajak

Disusun Oleh Kelompok 7 :


1. Lutfina Putri Indraswari (175030400111010)
2. Seta Pratama (175030400111027)
3. Dania Dewanti (175030401111014)
4. Ainin Fauziatuz Zuroida (175030401111015)
5. Melati Sari Wilujeng (175030407111012)

Dengan Dosen Pengampu :


Priandhita Sukowidyanti Asmoro, SE., MSA, Ak

PRODI ADMINISTRASI PERPAJAKAN


FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2019
KATA PENGANTAR

Penulis panjatkan puja dan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas
limpahan berkat dan rahmat-Nya atas selesainya makalah mata kuliah Kebijakan Pajak
yang berjudul “Kebijakan Pajak Terhadap UMKM”.
Penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada dosen pengampu Ibu Priandhita
Sukowidyanti Asmoro, SE., MSA, Ak dan teman-teman yang telah memberikan
semangat, serta pihak-pihak yang membantu menyelesaikan makalah ini.
Makalah ini disusun untuk mengisi penilaian mata kuliah Kebijakan Pajak untuk
mengetahui aspek-aspek dalam implementasi kebijakan perpajakan untuk rakyat .
Adapun manfaat makalah ini adalah sebagai wahana pembelajaran mata kuliah
Kebijakan Pajak agar dapat dipelajari oleh seluruh mahasiswa/mahasiswi khususnya
jurusan Administrasi Perpajakan.
Penulis berharap semoga makalah ini bermanfaat dan melatih diri untuk berfikir
secara logika dan rasional, kritis dan cermat serta kreatif dan efektif. Semua saran
ataupun pesan kritik yang bersifat positif sangat penulis harapkan guna lebih
sempurnanya makalah ini.
Semoga makalah ini bermanfaat dan berguna untuk masa yang akan datang bagi
penulis dan pembaca lainnya.

Malang, 28 Oktober 2019

Penulis,
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
UMKM adalah Usaha Mikro Kecil dan Menengah. Tidak ada definisi tunggal yang
disepakati tentang UKM. Berbagai definisi diterapkan di antara negara-negara OECD, dan
jumlah karyawan bukan satu-satunya kriteria. UMKM umumnya dianggap bukan anak
perusahaan, perusahaan independen yang mempekerjakan kurang dari jumlah karyawan
tertentu. Jumlah ini bervariasi antar negara. Batas atas paling sering menunjuk UKM adalah
250 karyawan, seperti yang direkomendasikan oleh Komisi Eropa (Rekomendasi 2003/361 /
EC pada 6 Mei 2003). Namun, beberapa negara anggota menetapkan batas 200, sedangkan
Amerika Serikat menganggap UMKM sebagai perusahaan yang memiliki kurang dari 500
karyawan. Perusahaan kecil sebagian besar dianggap sebagai perusahaan dengan kurang dari
50 karyawan sementara usaha mikro memiliki paling banyak 10, atau dalam beberapa kasus,
lima karyawan.
Definisi yang digunakan dalam menentukan definisi UMKM didasarkan pada berbagai
faktor. Misalnya, kelayakan untuk mengurangi tarif pajak terhadap UMKM di Luksemburg
didasarkan pada tingkat penghasilan kena pajak, sedangkan di Jepang didasarkan pada modal
bisnis. Prancis dan Spanyol sebagai gantinya menggunakan omset kotor untuk menentukan
UMKM. Usaha kecil di Belgia, untuk memenuhi syarat sebagai UMKM jika mereka memenuhi
persyaratan yang terkait tidak hanya dengan penghasilan kena pajak, tetapi juga dengan
kegiatan perusahaan, kepemilikan saham, hasil dividen, dan remunerasi perusahaan. manajer
bisnis. (OECD, 2009).
Berdasarkan definisi dari UKM yang digunakan oleh Komisi Eropa (kurang dari 250
karyawan dan omzet kurang dari EUR 50), tanggapan terhadap kuesioner menunjukkan bahwa
akun UKM untuk hampir semua perusahaan, mewakili lebih dari 99% dari semua perusahaan
di masing-masing negara. Di semua negara, perusahaan mikro (didefinisikan sebagai
perusahaan dengan kurang dari 10 orang yang dipekerjakan) adalah bentuk perusahaan yang
paling umum: mereka menyumbang antara 78% perusahaan di Jepang dan Jepang 96% dari
semua perusahaan di Denmark, India, Belanda, Spanyol dan Swedia) . UKM adalah kelompok
entitas yang beragam, berbeda dalam hal ukuran, dari usaha mikro hingga perusahaan
menengah. Mereka beroperasi di berbagai sektor, UKM juga sangat bervariasi dalam hal
persaingan mereka, kecenderungan untuk berinovasi dan potensi pertumbuhan. Beberapa
UKM adalah perusahaan baru yang cenderung tumbuh dengan cepat sementara banyak yang
tetap perusahaan kecil. Di semua perusahaan, OECD (2014) memperkirakan bahwa perusahaan
dengan pertumbuhan tinggi (didefinisikan sebagai perusahaan dengan pertumbuhan karyawan
rata-rata lebih dari 20% per tahun selama tiga tahun dan dengan lebih dari sepuluh karyawan
pada awalnya) bertanggung jawab antara dua dan enam persen dari populasi perusahaan,
dengan 1% dari populasi perusahaan adalah perusahaan "gazelle" - perusahaan dengan
pertumbuhan tinggi dalam lima tahun pertama mereka mempekerjakan staf.
Bagian ini mempertimbangkan pentingnya UKM dalam ekonomi sehubungan dengan
sejumlah karakteristik, termasuk kontribusi mereka terhadap lapangan kerja, nilai tambah,
ekspor dan inovasi. Itu menyimpulkan dengan melihat tingkat kelangsungan hidup mereka.
Informasi dalam bagian ini telah diambil dari database Statistik Bisnis Struktural dan
Demografis, Sekilas tentang Kewirausahaan (OECD, 2015) dan tanggapan kuesioner.
1.2.Rumusan Masalah
1.2.1. Apa itu konsep Hard to Tax?
1.2.2. Apa Definisi UMKM untuk tujuan perpajakan?
1.2.3. Bagaimana administrasi pajak untuk UMKM?
1.2.4. Bagaimana Dampak sistem perpajakan terhadap UMKM?
1.2.5. Apa aspek politik dalam kebijakan pajak UMKM?
1.2.6. Apa saja kesulitan dalam pemajakan UMKM?
1.2.7. Bagaimana perumusan kebijakan pajak UMKM?
1.2.8. Bagaimana aspek PPh atas UMKM?
1.2.9. Bagaimana penjelasan kepatuhan pajak UMKM?
1.2.10. Bagaimana kasus kebijakan pajak UMKM
1.3. Tujuan
1.3.1. Untuk mengetahui konsep Hard to Tax.
1.3.2. Untuk mengetahui definisi UMKM untuk tujuan perpajakan.
1.3.3. Untuk mengetahui apa saja administrasi pajak untuk UMKM.
1.3.4. Untuk mengetahui mpak sistem perpajakan terhadap UMKM.
1.3.5. Untuk mengetahui aspek politik dalam kebijakan pajak UMKM.
1.3.6. Untuk mengetahui Apa saja kesulitan dalam pemajakan UMKM.
1.3.7. Untuk mengetahui perumusan kebijakan pajak UMKM.
1.3.8. Untuk mengetahui aspek PPh atas UMKM.
1.3.9. Untuk mengetahui penjelasan kepatuhan pajak UMKM.
1.3.10. Untuk mengetahui kasus yang terjadi di kebijakan pajak UMKM.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Konsep Hard to Tax
Pengertian hard-to-tax sector dapat diklasifikasikan ke dalam dua kategori.
a. Pertama, kegiatan ekonomi yang dilakukan secara ilegal, seperti penyelundupan,
perjudian, prostitusi, dan perdagangan narkotika.
b. Kedua, kegiatan ekonomi yang memiliki sifat legal, tetapi pendapatan yang diterima
tidak dilaporkan kepada otoritas pajak, sehingga tidak terkena pajak.
Dengan klasifikasi seperti itu, tidak heran bila hard-to-tax-sector bahkan disebut sebagai
fenomena ‘hantu’ sekaligus ‘gunung es’ karena otoritas pajak tidak mengetahui siapa mereka
dan hanya dapat melihat sebagian kecil dari aktivitasnya (Bird & Wallace, 2004).
2.2. Definisi UMKM untuk Tujuan Perpajakan
Tidak ada definisi tunggal yang disepakati tentang UKM. Berbagai definisi diterapkan di
antara negara-negara OECD, dan jumlah karyawan bukan satu-satunya kriteria. UMKM
umumnya dianggap bukan anak perusahaan, perusahaan independen yang mempekerjakan
kurang dari jumlah karyawan tertentu. Jumlah ini bervariasi antar negara. Batas atas paling
sering menunjuk UKM adalah 250 karyawan, seperti yang direkomendasikan oleh Komisi
Eropa (Rekomendasi 2003/361 / EC pada 6 Mei 2003). Namun, beberapa negara anggota
menetapkan batas 200, sedangkan Amerika Serikat menganggap UMKM sebagai perusahaan
yang memiliki kurang dari 500 karyawan. Perusahaan kecil sebagian besar dianggap sebagai
perusahaan dengan kurang dari 50 karyawan sementara usaha mikro memiliki paling banyak
10, atau dalam beberapa kasus, lima karyawan.
Definisi yang digunakan dalam menentukan definisi UMKM didasarkan pada berbagai
faktor. Misalnya, kelayakan untuk mengurangi tarif pajak terhadap UMKM di Luksemburg
didasarkan pada tingkat penghasilan kena pajak, sedangkan di Jepang didasarkan pada modal
bisnis. Prancis dan Spanyol sebagai gantinya menggunakan omset kotor untuk menentukan
UMKM. Usaha kecil di Belgia, untuk memenuhi syarat sebagai UMKM jika mereka memenuhi
persyaratan yang terkait tidak hanya dengan penghasilan kena pajak, tetapi juga dengan
kegiatan perusahaan, kepemilikan saham, hasil dividen, dan remunerasi perusahaan. manajer
bisnis. (OECD, 2009)
2.3. Administrasi pajak UMKM
Di Indonesia, kebijakan untuk hard-to-tax sector seringkali bersifat presumptive tax. Ini
berarti, pemajakan untuk sektor ini menggunakan metode basis perhitungan yang tidak
langsung, yang berbeda dari aturan umum.
Teknik ini digunakan karena beragam alasan, salah satunya untuk tujuan simplifikasi
administrasi pajak. Presumptive tax memang menjadi alternatif kebijakan di berbagai negara,
terutama jika didominasi oleh WP yang tergolong hard-to-tax sector.
WP tersebut sebagian besar tidak mempunyai transparansi keuangan yang
memungkinkan pengenaan pajak yang efektif oleh pemerintah. Oleh sebab itu, pemerintah
mengestimasi atau mengasumsikan besar pendapatan yang seharusnya dikenakan pajak.
Di Indonesia, presumptive tax yang berlaku untuk Pajak Penghasilan (PPh) pada hard-
to-tax sector adalah Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018. Dasar pengenaan pajak yang
digunakan untuk menghitung PPh yang bersifat final adalah jumlah peredaran bruto setiap
bulan dikalikan tarif 0,5%.
2.4. Dampak Sistem Perpajakan Terhadap UMKM
Dalam sistem pajak saat ini, sulit untuk mencapai tax compliance dari sektor UMKM
yang tinggi karena jumlah UMKM yang banyak membuat fiskus membutuhkan biaya
administrasi yang besar dalam memajaki UMKM, dari Sektor UMKM juga tidak bisa
disalahkan akan tax compliance yang rendah karena biaya compliance juga besar dibandingkan
dengan pendapatan yang diterima.
(FIAS, 2008) studi dengan menggunakan Marginal Effective Tax Rate (METR) dan
Average Effectice Tax Rate (AETR) menunjukan bahwa dalam sistem pajak sekarang, sektor
UMKM yang paling besar menanggung beban pajak (tax burden).
Survei informalitas menunjukkan bahwa perusahaan kecil tidak memiliki kapasitas atau
informasi untuk mematuhi sistem pajak dan karenanya memutuskan lebih mudah untuk tetap
menjadi informal daripada mematuhi hukum.
2.5. Aspek Politik Dalam Kebijakan Pajak UMKM
Pemerintah menyusun aturan main agar setiap warga negara memiliki kewajiban
membayar pajak. Tak hanya orang pribadi dan badan usaha yang memiliki penghasilan besar,
usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) juga dibebankan kewajiban pajak sejak beberapa
tahun lalu. Sayangnya, tingkat kepatuhan pelaku UMKM dalam membayar pajak masih
rendah. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu)
pada 2017, jumlah pembayar pajak dari wajib pajak UMKM hanya 1,5 juta wajib pajak dengan
total nilai pajak yang disetor sebesar Rp5,82 triliun. Meskipun telah meningkat dibandingkan
2016 dengan jumlah pembayar pajak 1,01 juta orang senilai total Rp4,3 triliun, angka itu tak
sampai dua persen dari total pelaku UMKM yang kini mencapai hampir 60 juta.
Pada bulan Juni 2018, pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) merealisasikan pemangkasan
Pajak Penghasilan (PPh) Final bagi pelaku UMKM. Sesuai PP Nomor 23 Tahun 2018, PPh
final UMKM ditetapkan sebesar 0,5 persen. Aturan yang berlaku mulai 1 Juli 2018 itu
ditujukan bagi usaha dengan omzet maksimal Rp4,8 miliar dalam setahun. Persentase PPh
lebih rendah dari aturan sebelumnya yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor
46 Tahun 2013, yakni 1 persen. Pemangkasan pajak merupakan salah satu bentuk insentif fiskal
yang bisa menarik simpati, khususnya pelaku UMKM. Mengingat tahun 2018 merupakan
tahun politik, kebijakan ini bisa dianggap sebagai investasi politik Jokowi untuk menarik
simpati dari pelaku usaha UMKM yang berkontribusi sekitar 99 persen dari total pelaku usaha
di Indonesia. Rencana pemangkasan tarif pajak final UMKM sebenarnya telah digodok sejak
dua tahun lalu. Namun, baru tahun ini terealisasi. Dalam pembahasannya, ada pro kontra
mengenai pemangkasan tarif pajak Salah satunya, kekhawatiran pelaku usaha besar akan
memecah usahanya untuk mendapatkan tarif yang lebih rendah. Untuk itu, pemerintah
memberikan batas waktu tarif pajak 0,5 persen hanya berlaku tujuh tahun. Kendati demikian,
investasi politik bisa menjadi sia-sia jika pemerintah hanya mengandalkan penurunan tarif
pajak belaka. Bahkan, negara dapat kehilangan potensi penerimaan pajak. Seperti diperkirakan
oleh Direktur Jenderal Pajak Robert Pakpahan, pemangkasan tarif pajak final bisa menggerus
dompet negara hingga Rp1,5 triliun. Selain penurunan tarif pajak, pemerintah juga perlu gencar
dalam memberikan sosialisasi, penyederhanaan prosedur pajak dan pendampingan bagi wajib
pajak UMKM.
Di sisi lain, dalam jangka pendek, kebijakan ini menguntungkan bagi pelaku UMKM
yang selama ini telah taat pajak. Pasalnya, porsi pembayaran pajak dari penghasilannya
mengecil. Artinya, pelaku UMKM memiliki modal lebih untuk melakukan ekspansi usaha
yang akan berkontribusi positif pada perekonomian.
Sehingga dengan ini, aspek politik dalam kebijakan pajak untuk UMKM adalah
pemerintah berlomba-lomba memenangkan hati rakyat dengan membuat kebijakan-kebijakan
pajak yang menguntungkan baik bagi rakyat maupun pemerintah. Dengan adanya kebijakan
yang dijanjikan ini, masyarakat akan memandang pemerintah baik karena telah memenuhi
keinginannya. Sehingga pemerintah mencapai tujuan politiknya di dalam kebijakan pajak.
2.6. Kesulitan Dalam Pemajakan UMKM
Didalam pemajakan UMKM terdapat beberapa kesulitan. Seperti :
- Penghasilan Kecil
- Sering untuk tidak patuh
 Berbasis uang tunai
 Probabilitas audit yang rendah
 Biaya rendah untuk menghindari
 Menangani lebih sedikit pajak
- Memberlakukan kepatuhan pajak yang lebih tinggi dengan biaya untuk pembayar pajak
dan Administrasi Pajak
- Pengetahuan Pajak Buruk
- Moral Pajak yang Buruk
- Rendahnya kapasitas dan infrastruktur untuk membuat dan mengelola, serta
memperkuat rezim pajak
 Lemahnya basis informasi untuk mengelola pajak
 Pergeseran basis pajak: pergerakan perusahaan masuk dan keluar dari sektor
informal dan otoritas pendapatan tidak memiliki sumber daya maupun motivasi
untuk berkonsentrasi pada UKM untuk menghasilkan pendapatan
2.7. Perumusan kebijakan pajak UMKM
2.7.1 Isu pokok (key issues)
Pertama terminologi UMKM sendiri perlu lebih diperjelas. Undang-Undang
(UU) Nomor 20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah mengatur
kriteria usaha Mikro, Kecil, dan Menengah hanya berdasarkan kekayaan bersih dan
penjualan yang dihasilkan dalam satu tahun pajak. Di mana batasan untuk
usaha Mikro maksimal kekayaan bersih yang dimilki adalah sebesar Rp50 juta dan
penjualan yang dihasilkan dalam satu tahun maksimal Rp300 juta. Sedangkan untuk
kriteria usaha Kecil maksimal kekayaan bersih dan penjualan setahun yang diatur
adalah: Rp50 juta sampai dengan Rp500 juta dan Rp300 juta sampai dengan Rp2,5
miliar. Sementara untuk usaha Menengah batasan kekayaan bersih adalah sebesar
Rp500 juta sampai dengan Rp10 miliar dan penjualan setahun sebesar Rp2,5 miliar
sampai dengan Rp50 miliar.
UU ini menetapkan kriteria UMKM hanya berdasarkan kepemilikan aset dan
omset saja, tidak melihat kondisi lapangan usaha yang ada. Sementara ada profesi yang
memerlukan keahlian khusus untuk menjalankannya, meski dari segi kekayaan bersih
dan penjualan termasuk dalam kriteria UMKM. Contohnya kantor advokat, pengacara
atau konsultan hukum terkenal tentu didirikan oleh mereka yang mempunyai
pendidikan tinggi dan keahlian khusus. Pertanyaannya pantaskah jika mereka
dikategorikan sebagai UMKM?
Kedua UMKM versus informalitas. Persoalan klasik UMKM di negara-negara
berkembang pada dasarnya hampir tak berbeda jauh, di mana sebagian besar wirausaha
yang berada di tataran usaha kecil ini banyak yang masih berkutat di sektor informal
yang tidak tersentuh hukum. Sebuah studi yang dilakukan oleh Bank Dunia di Amerika
Latin dan Karibia pada tahun 2007 bisa dijadikan sebagai referensi dan perbandingan.
Dalam laporan penelitian para ahli ekonomi Bank Dunia yang diberi judul: Informality
Exit and Exclusion, mereka menangkap sebuah fenomena di negara-negara Amerika
Latin dan Karibia pengusaha yang bergerak di sektor informal ini terbagi dalam dua
kelompok yaitu: wirausaha di sektor informal yang jumlahnya mencapai 24 persen dari
jumlah pekerja di perkotaan, dan para buruh yang bekerja di sektor informal di mana
jumlahnya bahkan mencapai 30 persen dari jumlah pekerja di kota-kota tersebut.
Banyak dari mereka yang berusaha membatasi pertumbuhan potensial usahanya,
karena tak ingin terdeteksi negara. Di sisi lain informalitas berarti membawa
permasalahan sosial yang sulit untuk diuraikan, karena mereka berada di luar sistem.
Tak adanya jaminan hukum dan kesehatan untuk pekerja, bahkan tak jarang mereka
harus menderita kemiskinan di hari tua karena tak mendapat jaminan sosial yang
seharusnya diterima menjadi permasalahan yang harus dicarikan solusinya.
Fenomena ini tak jauh berbeda dengan Indonesia. Berdasarkan data Ditjen Pajak
pada tahun 2015 lalu jumlah penduduk usia produktif yang bekerja mencapai 93,72
juta orang tetapi yang memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) hanya sekitar 30
juta Wajib Pajak. Jumlah tersebut terdiri dari 2,4 juta Wajib Pajak Badan, 5,2 juta Wajib
Pajak Orang Pribadi Non Karyawan, dan sisanya 22,4 juta merupakan Wajib Pajak
Orang Pribadi Karyawan. Berarti sekitar 63,72 juta orang masih berusaha ataupun
bekerja di sektor informal.
2.7.2 Faktor penentu (determinant)

Pertama, usaha dengan karakteristik tersebut mengalami kendala utama dalam


bidang administrasi. Secara umum perkembangan Usaha Mikro Kecil dan Menengah
(UMKM) dimulai dari usaha perorangan, yang jika berkembang, berbentuk badan
dengan skala kecil menengah. Beban administrasi yang kompleks akan meningkatkan
biaya kepatuhan pajak yang dapat menurunkan daya saing Usaha Mikro Kecil dan
Menengah (UMKM), yang berdampak terhadap tingkat kepatuhan pajak yang rendah.
Kedua, tarif pajak yang tidak kompetitif bagi pembayar pajak Usaha Mikro Kecil
dan Menengah (UMKM) untuk berkompetisi dengan non-Usaha Mikro Kecil dan
Menengah (UMKM). Sebagai contoh, bagi para pelaku Usaha Mikro Kecil dan
Menengah (UMKM) pajak merupakan komponen biaya dalam penghitungan
sederhana. Jika tingkat keuntungan sebelum pajak 10% dengan Pajak Penghasilan
(PPh) 1% dan PPN 3% , akan dihasilkan keuntungan 6%. Dengan penghitungan
sederhana ini, para pengusaha Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) akan mudah
melaksanakan pemenuhan kewajiban pajaknya, tentu saja dengan memprediksi
keuntungan yang dapat direalisasikan.
Ketiga, pengaruh etika dan lingkungan terhadap tingkat kepatuhan pembayar
pajak Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Pengaruh lingkungan seperti
adanya ketidakjujuran Wajib Pajak Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM)
lainnya dan pengaruh keluarga .
Keempat, kecil kemungkinan untuk terdeteksi aparat pajak karena jumlah
pemeriksa pajak yang masih terbatas. Pemeriksaan pajak menjadi menjadi hal yang
penting karena adanya kemungkinan diperiksa oleh otoritas pajak atau terdeteksi atas
kewajiban pajak dalam memungut, menyetor dan melaporkan, berdampak terhadap
tingkat kepatuhan wajib pajak.
2.7.3 Karakteristik sistem pajak UMKM yang baik
Dengan penerapan tarif yang mudah dan ringan bagi UMKM. Berdasarkan
Peraturan Pemerintah No. 46/2013 tentang Pajak Final UMKM, pemerintah telah
memberikan skema khusus berupa pajak penghasilan final 1 persen dari total
penghasilan yang diperoleh bagi UMKM dengan omzet hingga Rp4,8 milliar. Tak
berhenti disitu, pada tahun 2018 pemerintah berencana akan memberikan insentif
spesial bagi UMKM dengan menurunkan tarif tersebut hingga menjadi 0,25 persen
sebagai upaya merangkul partisipasi perpajakan UMKM agar menjadi lebih luas.
Menciptakan perpajakan yang ramah bagi UMKM bukan hanya dilakukan
dengan memberikan tarif pajak yang rendah. Inovasi yang dikembangkan oleh
Pemerintah adalah menciptakan aplikasi perpajakan bagi UMKM yang memiliki fungsi
untuk merekapitulasi pendapatan UMKM sekaligus sebagai kasir online. Aplikasi
pintar tersebut juga diciptakan agar mampu terintegrasi dengan perhitungan dan
pembayaran PPH Final bagi UMKM. Tujuan dari aplikasi perpajakan bagi UMKM
tersebut adalah untuk memudahkan pengusaha UMKM dalam mengenali omzet
usahanya, memberikan kepraktisan pembukuan, hingga kemudahan perhitungan
perpajakan bagi usaha mereka. Saat ini, Kemenkeu melalui Direktorat Jenderal Pajak
telah menggandeng empat perusahaan sebagai penyedia jasa aplikasi perpajakan atau
Application Service Provider (ASP). Diharapkan aplikasi digital ini dapat memangkas
beragam kesulitan mitra UMKM selama ini dalam perhitungan dan pembayaran pajak.

2.8. PPh atas UMKM


2.8.1. Framework dan asumsi

2.8.2. Penyederhanaan PPH (Presumptive tax systems, lumpsum tax, indicator-based tax,
turnover tax)
Secara umum, model perpajakan UMKM dapat dibagi dalam dua kelompok
besar, sebagaimana ditunjukkan pada gambar II.1. Kelompok pertama adalah sistem
standard regime dan kedua sistem presumptive regime. Dalam standard regime,
UMKM tidak dibedakan perlakuan perpajakannya. Namun demikian terdapat beberapa
negara yang menerapkan standard regime dengan penyederhanaan formulir perpajakan,
tata cara pembayaran, atau dengan pengurangan tarif. Negara-negara yang menerapkan
standard regime untuk UMKM pada umumnya adalah negara-negara maju, yang
komunitas UMKM nya telah memiliki efisiensi administrasi tinggi dan mempunyai
kemampuan book-keeping yang memadai.
Sementara itu, dalam model presumptive regime, PPh dikenakan berdasarkan
pada presumsi kondisi tertentu dari Wajib Pajak. Presumtive regime biasa digunakan
terutama di negara di mana mayoritas pembayar pajaknya adalah kelompok yang susah
untuk dipajaki (“hard to tax”), dan sumber daya adminstrasinya yang tidak memadai.
Di negara tersebut sebagian besar wajib pajaknya tidak memiliki transparansi
keuangan yang memungkinkan untuk pengenaan pajak secara efektif oleh pemerintah.
Oleh karenanya, pemerintah perlu membuat perkiraan atau presumsi atas batasan
pendapatan yang tepat untuk dikenai pajak. Presumptive regime lebih banyak
diterapkan di negaranegara non-OECD. Regime ini pada umumnya digunakan dengan
tujuan untuk meningkatkan compliance dan mendorong record keeping Wajib Pajak.
Penerapan presumptive regime pada umumnya menggunakan turnover based system,
indicator based system, atau gabungan keduanya. Namun demikian di negara transisi,
turnover system merupakan model yang umum digunakan2 . Sebelum berlakunya PP
46 Tahun 2013, Indonesia menerapkan model standard regime dengan kemudahan dan
fasilitas tertentu (standard regime-simplified/reduced rate). Kemudahan diberikan
kepada Wajib Pajak Orang Pribadi (WP OP), sebagaimana di atur dalam Pasal 14 ayat
(2) UU PPh, yaitu WP OP yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang
peredaran brutonya dalam satu tahun kurang dari Rp4,8 miliar, diperkenankan untuk
menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN) dalam penghitungan
penghasilan kena pajak nya. Sedangkan reduced rate diberlakukan untuk Wajib Pajak
Badan, sebagaimana diatur dalam Pasal 31E UU PPh, bahwa WP Badan dalam negeri
dengan peredaran bruto satu tahun sampai dengan Rp50 miliar, Pusat Kebijakan
Pendapatan Negara-Badan Kebijakan Fiskal mendapat fasilitas berupa pengurangan
tarif sebesar 50% dari tarif normal PPh yang dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak
dari bagian peredaran bruto sampai dengan Rp4,8 miliar.

2.8.3. Incorporated vs unincorporated business


Perbedaan utama antara bisnis yang berbadan hukum dan yang tidak berbadan
hukum adalah status hukum keduanya. Ada kelebihan dan kekurangan untuk kedua
struktur bisnis.
- Keuntungan Hukum untuk Memasukkan
Manfaat signifikan dari menggabungkan bisnis adalah status hukum yang
diperoleh perusahaan. Setelah perusahaan menjadi resmi didirikan, kewajiban
hukum pribadi pemilik bisnis berkurang secara signifikan. Perusahaan
diperlakukan sebagai entitas yang berdiri sendiri secara terpisah dalam masalah
hukum dan pajak, terlepas dari jumlah pemilik atau pemegang saham yang
mungkin dimiliki perusahaan. Bisnis yang didirikan bertanggung jawab atas
urusan keuangan mereka sendiri, sehingga kreditor tidak dapat mengejar sumber
daya pribadi pemilik untuk menyelesaikan akun.
- Manfaat Pajak Pendirian
Manfaat signifikan kedua untuk bergabung adalah mendapatkan status
pajak korporasi, karena kewajiban pajak perusahaan juga terpisah dari
pemiliknya. Mengklaim potongan biaya yang diperlukan untuk menjalankan
bisnis dapat sangat mengurangi penghasilan kena pajak bagi perusahaan karena
entitas dikenakan pajak atas laba. Terlepas dari pajak yang terhutang, tanggung
jawab jatuh ke perusahaan dan tidak mengalir ke pemegang saham.
- Kredibilitas
Lembaga keuangan lebih suka meminjamkan dana kepada perusahaan
berbadan hukum dibandingkan perusahaan yang tidak berbadan hukum, menurut
Masyarakat Akuntan Publik California. Salah satu alasannya adalah bahwa bisnis
berbadan hukum dapat menerbitkan saham saham jika perlu untuk meningkatkan
arus kas dan hutang layanan. Kreditor melihat ini sebagai sumber keuangan
tambahan.
- Manfaat Tetap Tidak Berikat
Satu keuntungan dari bisnis yang tidak berhubungan adalah pemilik tidak
harus berurusan dengan biaya dan dokumen yang diperlukan untuk menjalani
proses penggabungan. Tetap tidak berhubungan juga sangat mengurangi waktu
dan uang yang dihabiskan untuk menyimpan catatan dan melapor ke badan
federal dan negara bagian, karena pelaporan rutin tidak diperlukan sampai pada
taraf yang sama dengan korporasi. Selain itu, pemilik dan manajer bisnis tidak
berbadan hukum tidak harus menjawab kepada pemegang saham. Pemilik
mengendalikan keuangan perusahaan dan dapat melakukan apa yang mereka pilih
dengan keuntungan. Akhirnya, menjalankan bisnis berbadan hukum
membutuhkan lebih banyak waktu dan uang daripada menjalankan bisnis yang
tidak berbadan hukum, menurut Administrasi Bisnis Kecil A.S. SBA menyebut
korporasi dengan organisasi rumit yang sangat teregulasi dan lebih cocok untuk
bisnis besar dengan banyak karyawan.
2.8.4 Single vs double level taxation

Perpajakan adalah salah satu aspek bisnis yang paling penting yang harus
dipahami pengusaha ketika memulai. Ada dua jenis perpajakan utama untuk entitas
bisnis, yang masing-masing akan dibahas dalam artikel ini. Perpajakan flow-through
berlaku untuk perseroan terbatas (LLC), dan S-Corporations. Perusahaan C, di sisi lain,
dikenakan "pajak berganda". Kami harap penjelasan berikut membantu menjelaskan
perbedaan penting antara kedua jenis perpajakan ini untuk mengurangi kerumitan bagi
Anda.
Aliran melalui perpajakan berarti bahwa tidak ada pajak tingkat entitas.
Sebaliknya, untung dan rugi “mengalir melalui” ke pemilik. Karena itu, ketika bisnis
membayar dividen kepada pemiliknya, mereka harus membayar pajak atas
distribusinya, tetapi bisnis tidak membayar pajak atas keuntungannya. Ini pada
dasarnya mengurangi keseluruhan beban pajak, dan memungkinkan pemilik
menyimpan lebih banyak uang mereka daripada model pajak berganda. Jika sebuah
LLC mendapat untung $ 1.000, ia akan memiliki $ 1.000 dolar yang bisa dibagikan
kepada para pemegang saham. Jika ada 4 pemegang saham, masing-masing dengan
persentase yang sama memegang di perusahaan, mereka masing-masing akan
menerima $ 250 dan akan membayar pajak atas dividen mereka pada tarif pajak masing-
masing.
Perpajakan ganda berarti bahwa laba dikenakan pajak dua kali - entitas membayar
pajak atas laba, dan pemegang saham membayar pajak lagi ketika mereka menerima
distribusi. Oleh karena itu, di bawah skema pengenaan pajak berganda, seorang
pemegang saham akan membayar pajak atas dividennya bahkan setelah korporasi C
telah membayar pajak atas keuntungannya. Skema perpajakan ini mengurangi jumlah
yang disimpan oleh pemegang saham jika dibandingkan dengan perpajakan pass-
through. Untuk menggunakan angka yang sama seperti yang digunakan dalam contoh
mengenai perpajakan flow-through di atas, jika C-corporation menghasilkan $ 1000
dalam laba dan dikenakan pajak 20% di tingkat perusahaan, itu akan memiliki $ 800
untuk dibayarkan kepada pemegang saham setelah ia membayar pajak atas laba $ 1.000
itu. Namun, di bawah pajak berganda, para pemegang saham juga akan membayar pajak
atas distribusi mereka. Jika ada 4 pemegang saham dengan persentase saham yang
sama, mereka masing-masing akan menerima dividen $ 200. Jika mereka masing-
masing dikenakan pajak pada level 10%, mereka masing-masing akan mendapatkan $
180, dan bukannya $ 225 yang akan mereka bersihkan di bawah sistem pass-through.
Penting untuk diingat bahwa skema pajak hanyalah sebutan IRS. Dengan kata
lain, LLC dapat dikenakan pajak sebagai kemitraan atau S-Corps (atau bahkan sama
dengan korporasi-C, meskipun itu relatif jarang). Perusahaan dapat dikenakan pajak
sebagai S-Corporation atau C-Corporations. Penting juga untuk diingat bahwa S-
Corporations memiliki batasan tertentu, dan bahwa akuntansi kemitraan ... sangat
rumit. Jadi, sementara C-Corp menderita pajak berganda, seperti dibahas di atas, sisi
akuntansi bisa jauh lebih sederhana - dan pemegang saham di C-Corp hanya membayar
pajak atas dividen yang sebenarnya mereka terima. Karena C-Corporation membayar
pajak penghasilannya sendiri, C-Corporation dapat memperoleh laba perusahaan
(sampai batas tertentu - silakan berkonsultasi dengan CPA atau penasihat pajak Anda
!!) dan melindungi pemegang saham dari kewajiban pajak. Di sisi lain, model pajak
pass-through (kemitraan atau S-Corp) mengharuskan pemilik ekuitas untuk membayar
pajak pada jumlah laba yang dialokasikan kepada mereka berdasarkan persentase
kepemilikan mereka, terlepas dari apakah perusahaan benar-benar membayar distribusi
atau tidak. Inilah sebabnya mengapa perjanjian operasi yang dirancang dengan baik
akan mengharuskan Manajer untuk membuat "distribusi pajak" kepada anggota setiap
tahun dalam jumlah yang akan mencakup kewajiban pajak anggota dalam kelompok
pajak tertinggi.
2.9. Kepatuhan pajak UMKM
Kepatuhan memiliki arti suatu tindakan yang sesuai aturan serta berperilaku disiplin
dengan mematuhi norma-norma yang berlaku. Hal ini sama dengan perlakuan pada perpajakan.
Wajib Pajak dapat dikatakan patuh jika Wajib Pajak tersebut tidak melanggar dan menerapkan
secara disiplin peraturan perpajakan yang berlaku. Selain itu seperti yang dijelaskan Nurmantu
(2005:148) bahwa hak dan kewajiban perpajakan yang telah dilaksanakan dengan disiplin,
maka Wajib Pajak dapat dikatakan patuh.
2.9.1 Faktor yang mempengaruhi
1. Pemahaman Perpajakan
Arikunto (2009:118) menyatakan bahwa “pemahaman (comprehension)
adalah bagaimana seorang mempertahankan, membedakan, menduga (estimates),
menerangkan, memperluas, menyimpulkan, menggeneralisasikan, memberikan
contoh, menuliskan kembali, dan memperkirakan”. Pemahaman Perpajakan adalah
segala hal terkait perpajakan yang dimengerti dengan baik dan benar oleh Wajib
Pajak dan dapat menerjemahkan dan/atau menerapkan yang telah dipahaminya.
2. Pengawasan
Pengawasan adalah suatu usaha sistematis yang dilakukan oleh aparat pajak
untuk melakukan Pengawasan untuk menganalisis kinerja Wajib Pajak, rencana,
atau tujuan yang telah ditentukan terlebih dahulu untuk menentukan apakah kinerja
sejalan dengan rencana. “Pengawasan dalam konteks pajak, terdiri dari Intensifikasi
dan Ekstensifikasi. Intesfikasi adalah memaksimalkan apa yang sudah ada yang
berarti usaha menambah penerimaan pajak tanpa menambah objek pajak. Sementara
Ekstensifikasi adalah menambah objek pajak yang berarti usaha menambah
penerimaan pajak dengan menambah objek pajak yang sebelumnya tidak ada”
(Djuanda, 2012).
3. Sosialisasi
Basalamah (2004:196) menjelaskan “Sosialisasi dapat diartikan sebagai
suatu proses dimana orang-orang mempelajari sistem nilai, norma dan pola perilaku
yang diharapkan oleh kelompok sebagai bentuk transformasi dari orang tersebut
sebagai orang luar menjadi organisasi yang efektif”. Sehingga Sosialisasi perpajakan
dapat diartikan sebagai suatu upaya dari Direktorat Jendral Pajak untuk memberikan
pengertian, informasi, dan pembinaan kepada masyarakat pada umumnya dan Wajib
Pajak khususnya mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan perpajakan.
2.9.2 Compliance cost
Compliance cost adalah biaya-biaya yang dikeluarkan oleh wajib pajak dalam
rangka melakukan pemenuhan kewajiban pajak. Biaya kepatuhan pajak terbagi atas 3
yaitu direct money cost, time cost dan psychological cost. Besarnya biaya-biaya yang
harus dikeluarkan Wajib Pajak dalam menyelenggarakan kewajiban perpajakannya,
turut menentukan tingkat kepatuhan perpajakan. Compliance cost meliputi biayabiaya
yang dikeluarkan oleh Wajib Pajak untuk memenuhi kewajibannya sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Direct money cost adalah biaya-biaya
cash money (uang tunai) yang dikeluarkan Wajib Pajak dalam rangka pemenuhan
kewajiban pajak, seperti pembayaran kepada konsultan pajak dan biaya perjalanan ke
bank untuk melakukan penyetoran pajak. Sandford mengelompokkan direct money cost
sebagai biaya yang timbul sebagai dari adanya sistem pemungutan pajak self
assessment. Time cost adalah waktu yang terpakai oleh Wajib Pajak dalam melakukan
pemenuhan kewajiban pajak, antara lain waktu yang digunakan untuk membaca
formulir SPT dan buku petunjuknya, waktu yang digunakan untuk berkonsultasi dengan
akuntan atau konsultan pajak dalam mengisi SPT, dan waktu yang digunakan untuk
pergi dan pulang ke kantor pajak.
Psychological cost meliputi ketidakpuasan, rasa frustasi, serta keresahan Wajib
Pajak dalam berinteraksi dengan sistem dan otoritas pajak. Pendapat senada
disampaikan oleh Sandford yang mengatakan bahwa psychological cost adalah rasa
stress dan berbagai rasa takut atau cemas karena melakukan tax evasion. Biaya
kepatuhan pajak merupakan biayabiaya yang ditanggung oleh wajib pajak terkait
dengan pemenuhan kewajiban pajak. Karena Wajib Pajak telah berusaha patuh untuk
membayar pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan
yang berlaku, maka Wajib Pajak berharap agar dapat mengeluarkan biayabiaya
seminimal mungkin yang terkait dengan pemenuhan kewajiban pajaknya, meliputi
direct money cost maupun time cost dan psychological cost. Namun, apabila jumlah
biaya kepatuhan pajak yang dikeluarkan lebih besar daripada ekspektasi wajib pajak,
maka timbul potensi dalam diri Wajib Pajak untuk menjadi tidak patuh dalam
melakukan pemenuhan kewajiban pajaknya. Pada penelitian ini indikator untuk
mengukur biaya kepatuhan pajak adalah direct money cost dan time cost. Psychological
cost tidak digunakan sebagai indikator karena memiliki sifat berbanding terbalik
dengan direct money cost dan time cost. Berdasarkan pernyataan sebelumnya dan
penelitian yang dilakukan oleh Prasetyo (2008) di mana hasil penelitiannya menyatakan
bahwa biaya kepatuhan pajak berpengaruh negatif terhadap kepatuhan Wajib Pajak,
maka penulis merumuskan hipotesis sebagai berikut: H0: Biaya Kepatuhan Pajak secara
parsial tidak berpengaruh signifikan terhadap kepatuhan Wajib Pajak UMKM. H3:
Biaya Kepatuhan Pajak secara parsial berpengaruh signifikan terhadap kepatuhan
Wajib Pajak UMKM.
2.9.3 Efek tax aggressive atas compliance cost
Penurunan tarif dari 1 persen menjadi 0,5 persen diharapkan dapat meringankan
pelaku UMKM karena membantu menjaga cash-flow sehingga dapat digunakan
sebagai tambahan modal usaha. penurunan tarif pajak UMKM ini akan menggerus
penerimaan pajak dalam jangka pendek, kurang lebih Rp 2,5 triliun setahun.
Kebijakan ini menegaskan bahwa pemerintah peka, tidak agresif dan zalim
terhadap masyarakat wajib pajak sebagaimana sering dituduhkan. Sebaliknya,
pemerintah berbaik hati dan memberikan perhatian pada pelaku UMKM setelah
memberikan tax holiday bagi perusahaan menengah atas di banyak sektor
2.9.4 Keuntungan dan kerugian atas ketidakpuasan
Pemerintah khususnya aparatur pajak dan pihak terkait perlu untuk melakukan
pembinaan wajib pajak untuk meningkatkan kesadaran pajak mereka. Kesadaran pajak
yang tinggi berujung pada kepatuhan pajak sukarela ( tax voluntary compliance ),
terlebih konsep pemungutan pajak peraturan ini bersifat presumptive tax. Konsep ini
mengarah pada tata cara pemajakan dimana pajak yang dipungut berdasarkan pada
dugaan sehingga kejujuran wajib pajak adalah sumber utama. Selain meningkatkan
kesadaran pajak, aparatur pajak perlu melakukan pembinaan untuk tatacara
pembukuan. Salah satu pembinaan yang dapat diberikan adalah pembinaan terkait
aplikasi Laporan Keuangan Usaha Mikro (Lamikro) dengan dukungan APBN. Aplikasi
tersebut merupakan laporan akuntansi sederhana secara online khusus usaha mikro.
Adapun tugas pemerintah yang terakhir adalah melakukan upaya agar PP 23/2018
terimplementasi dengan benar, diantaranya adalah dengan meningkatkan kapasitas
aparatur pajak dan melakukan penegakan hukum perpajakan. Penegakan hukum akan
semakin dibutuhkan ketika batas waktu penggunaan PP 23/2013 sudah berakhir,
diharapkan nantinya sudah tidak ada lagi wajib pajak yang melakukan penghindaran
pajak.
2.10. Intensif Pajak Bagi UMKM
Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan menerbitkan Surat Edaran (SE) kepada
para pemimpin Kantor Wilayah (Kanwil) DJP maupun Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP).
Dalam surat bernomor S-421/PJ.03/2018 tentang pedoman surat keterangan bebas
pemotongan atau pemungutan pajak penghasilan bagi wajib pajak yang dikenakan tarif PPh
final 0,5%. Berikut enam pedoman utama yang diberikan DJP kepada seluruh Kanwil DJP
maupun KPP di berbagai wilayah Indonesia :
1. SKB PP 46/2013 yang telah diterbitkan sebelum tanggal 1 Juli 2018 diperlakukan sebagai
surat keterangan bahwa wajib pajak dikenai PPh berdasarkan PP 23/2018 (surat
keterangan).
2. Dalam hal wajib pajak yang telah memiliki SKB PP 46/2013 sebagaimana dimaksud
pada angka 1 bertransaksi dengan pemotong atau pemungut pajak, tidak dilakukan
pemotongan PPh atas transaksi tersebut sepanjang wajib pajak dapat menyerahkan bukti
penyetoran PPh atas transaksi tersebut kepada pemotong atau pemungut pajak.
3. SKB PP 46/2013 sebagaimana dimaksud pada angka 1 berlaku sampai dengan batas
waktu yang tercantum dalam SKB tersebut.
4. Permohonan SKB PP 46/2013 yang diajukan sebelum tanggal 1 Juli 2018 namun belum
selesai ditindaklanjuti, diterbitkan Surat Keterangan sepanjang memenuhi syarat sebagai
wajib pajak yang dikenai PPh berdasarkan PP 23/2018. Permohonan SKB PP 46/2013
dan legalisasi SKB PP 46/2013 yang diajukan sejak tanggal 1 Juli 2018 tidak dapat
diproses dan wajib pajak dapat mengajukan permohonan Surat Keterangan.
5. Pedoman sebagaimana dimaksud pada angka 1 sampai dengan angka 6 berlaku sampai
dengan berlakunya peraturan pelaksanaan PP 23/2018.
Otoritas pajak sendiri memastikan, para pelaku usaha bisa mendapatkan fasilitas tersebut
meskipun aturan teknis belum terbit. Aturan yang dimaksud, saat ini hanya tinggal menunggu
tanda tangan, dan rencananya akan diluncurkan pekan depan.(Muhammad Iqbal).
2.11. Kasus
Kalangan pengusaha yang tergabung dalam pengusaha mikro kecil dan menengah
meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) menurunkan tarif pajak UMKM menjadi nol persen
alias tak dipungut pajak. Saat ini, tarif pajak penghasilan (PPh) final UMKM yang diatur
dalam peraturan perundang-undangan perpajakan sebesar 0,5%. Angka tersebut telah
diturunkan dari yang sebelumnya berada di angka 1%.
"Pajak yang sudah diturunkan 1% menjadi 0,5% tapi dari sisi omzet itu terasa masih
terlalu berat bagi kami," kata Ketua Asosiasi UMKM Ikhsan. Maka kami minta sama dengan
negara China yang pada 2020 itu usaha mikro dan kecil itu minta 0%," jelas Ikhsan.
Permintaan tersebut disampaikan Ikhsan saat bertemu dengan Jokowi bersama pengusaha
mikro lainnya. Pertemuan tersebut digelar di Istana Merdeka, Selasa (18/9/2019).
Para pengusaha UMKM juga menyinggung pidato Jokowi, yaitu konsisten dalam
menjalankan keuangan syariah untuk ekonomi kerakyatan. Mereka menilai yang paling cocok
bagi UMKM adalah keuangan syariah. "Nah inilah yang kami minta upaya kosisten bahwa
di kita ada Bank Mualamat yang paling pertama menerapkan sistem syariah itu paling cocok
untuk UMKM," katanya. "Termasuk hal-hal seperti BI checking, juga kalau boleh di UMKM
jangan ada BI checking lah terus dengan fintech yang terasa bahwa bunganya terlalu besar,"
jelasnya. Ikhsan dan pengusaha mikro lainnya pun menyampaikan, bahwa sejumlah
pengusaha menyampaikan usulan tentang perlunya revisi Undang-Undang (UU) Nomor 20
tahun 2008 tentang UMKM. Presiden, Ikshan, menegaskan akan mengundang kembali para
pengusaha UMKM sekitar 2-3 bulan untuk melakukan review atau membahas kebijakan yang
akan dikeluarkan.
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
3.1.1 Pengertian hard-to-tax sector dapat diklasifikasikan ke dalam dua kategori.
a. Pertama, kegiatan ekonomi yang dilakukan secara ilegal, seperti
penyelundupan, perjudian, prostitusi, dan perdagangan narkotika.
b. Kedua, kegiatan ekonomi yang memiliki sifat legal, tetapi pendapatan yang
diterima tidak dilaporkan kepada otoritas pajak, sehingga tidak terkena pajak.
3.1.2 UMKM umumnya dianggap bukan anak perusahaan, perusahaan independen yang
mempekerjakan kurang dari jumlah karyawan tertentu. Jumlah ini bervariasi antar negara.
Batas atas paling sering menunjuk UKM adalah 250 karyawan, seperti yang
direkomendasikan oleh Komisi Eropa (Rekomendasi 2003/361 / EC pada 6 Mei 2003).
Namun, beberapa negara anggota menetapkan batas 200, sedangkan Amerika Serikat
menganggap UMKM sebagai perusahaan yang memiliki kurang dari 500 karyawan.
Perusahaan kecil sebagian besar dianggap sebagai perusahaan dengan kurang dari 50
karyawan sementara usaha mikro memiliki paling banyak 10, atau dalam beberapa kasus,
lima karyawan.
3.1.3 Di Indonesia, kebijakan untuk hard-to-tax sector seringkali bersifat presumptive tax. Ini
berarti, pemajakan untuk sektor ini menggunakan metode basis perhitungan yang tidak
langsung, yang berbeda dari aturan umum. Di Indonesia, presumptive tax yang berlaku
untuk Pajak Penghasilan (PPh) pada hard-to-tax sector adalah Peraturan Pemerintah
Nomor 23 Tahun 2018. Dasar pengenaan pajak yang digunakan untuk menghitung PPh
yang bersifat final adalah jumlah peredaran bruto setiap bulan dikalikan tarif 0,5%.
3.1.4 Dalam sistem pajak saat ini, sulit untuk mencapai tax compliance dari sektor UMKM yang
tinggi karena jumlah UMKM yang banyak membuat fiskus membutuhkan biaya
administrasi yang besar dalam memajaki UMKM, dari Sektor UMKM juga tidak bisa
disalahkan akan tax compliance yang rendah karena biaya compliance juga besar
dibandingkan dengan pendapatan yang diterima.
3.1.5 Pemerintah menyusun aturan main agar setiap warga negara memiliki kewajiban
membayar pajak. Tak hanya orang pribadi dan badan usaha yang memiliki penghasilan
besar, usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) juga dibebankan kewajiban pajak sejak
beberapa tahun lalu. Sayangnya, tingkat kepatuhan pelaku UMKM dalam membayar pajak
masih rendah. Pada bulan Juni 2018, pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) merealisasikan
pemangkasan Pajak Penghasilan (PPh) Final bagi pelaku UMKM. Sesuai PP Nomor 23
Tahun 2018, PPh final UMKM ditetapkan sebesar 0,5 persen. Aturan yang berlaku mulai
1 Juli 2018 itu ditujukan bagi usaha dengan omzet maksimal Rp4,8 miliar dalam setahun.
Persentase PPh lebih rendah dari aturan sebelumnya yang tercantum dalam Peraturan
Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun 2013, yakni 1 persen. Pemangkasan pajak merupakan
salah satu bentuk insentif fiskal yang bisa menarik simpati, khususnya pelaku UMKM.
Mengingat tahun 2018 merupakan tahun politik, kebijakan ini bisa dianggap sebagai
investasi politik Jokowi untuk menarik simpati dari pelaku usaha UMKM yang
berkontribusi sekitar 99 persen dari total pelaku usaha di Indonesia. Sehingga dengan ini,
aspek politik dalam kebijakan pajak untuk UMKM adalah pemerintah berlomba-lomba
memenangkan hati rakyat dengan membuat kebijakan-kebijakan pajak yang
menguntungkan baik bagi rakyat maupun pemerintah. Dengan adanya kebijakan yang
dijanjikan ini, masyarakat akan memandang pemerintah baik karena telah memenuhi
keinginannya. Sehingga pemerintah mencapai tujuan politiknya di dalam kebijakan pajak.
3.1.6 Didalam pemajakan UMKM terdapat beberapa kesulitan. Seperti :
- Penghasilan Kecil
- Sering untuk tidak patuh
 Berbasis uang tunai
 Probabilitas audit yang rendah
 Biaya rendah untuk menghindari
 Menangani lebih sedikit pajak
- Memberlakukan kepatuhan pajak yang lebih tinggi dengan biaya untuk pembayar pajak
dan Administrasi Pajak
- Pengetahuan Pajak Buruk
- Moral Pajak yang Buruk
- Rendahnya kapasitas dan infrastruktur untuk membuat dan mengelola, serta
memperkuat rezim pajak
 Lemahnya basis informasi untuk mengelola pajak
 Pergeseran basis pajak: pergerakan perusahaan masuk dan keluar dari sektor
informal dan otoritas pendapatan tidak memiliki sumber daya maupun motivasi
untuk berkonsentrasi pada UKM untuk menghasilkan pendapatan
3.2 SARAN
Penulis juga mengharapkan mendapat kritik dan saran supaya dapat membuat makalah lebih baik
lagi.
DAFTAR PUSTAKA
OECD. 2009. OECD Tax Policy Studies, Taxation of SMEs.

ME Taxation: SMEs – Specific Problems and Opportunities On-going Reforms and Challenges
(Sebastian James/Paul Barbour/Richard Stern) (FIAS) (Cairo, Egypt June 20th, 2007

SME taxation: Good practice and Guidelines for Design Presentation for the OECD
Conference on Investment Paris April 27-28, 2008 (Sebastian James)

https://news.ddtc.co.id/antara-tax-amnesty--hard-to-tax-sector-6548?page_y=0

https://www.cnbcindonesia.com/news/20180815113618-4-28697/penjelasan-lengkap-djp-
soal-insentif-pajak-umkm-05

http://perpajakan.studentjournal.ub.ac.id/index.php/perpajakan/article/view/60

https://www.neliti.com/id/publications/193045/pengaruh-kualitas-pelayanan-petugas-pajak-
sanksi-perpajakan-dan-biaya-kepatuhan

https://www.pajak.go.id/artikel/dari-pp-462013-hingga-pp-232018

https://www.liputan6.com/bisnis/read/3566545/tarif-pajak-umkm-turun-potensi-kehilangan-
penerimaan-rp-25-triliun-per-tahun

https://pajak.go.id/id/artikel/polemik-pajak-atas-umkm

https://www.researchgate.net/publication/326724573_PENGARUH_FAKTOR-
FAKTOR_PELAKSANAAN_PP_46_TAHUN_2013_TERHADAP_KEPATUHAN_WAJIB
_PAJAK_UMKM_Studi_Kasus_UMKM_Pusat_Grosir_Tanah_Abang_Jakarta_Pusat

https://www.kemenkeu.go.id/publikasi/artikel-dan-opini/menciptakan-pajak-yang-ramah-
untuk-umkm/
https://www.kemenkeu.go.id/sites/default/files/kajian%20pph%20final%20umkm_pkpn.pdf

https://id.businessemt.com/95-about-7497965-incorporated-vs-unincorporated-businessl-
88148

https://fourscorelaw.com/single-vs-double-taxation/

https://www.cnbcindonesia.com/news/20190619105630-4-79252/pajak-sudah-turun-jadi-05-
umkm-tak-puas-minta-0-ke-jokowi

Anda mungkin juga menyukai