Anda di halaman 1dari 8

HADIS MARFU’, MAUQUF, DAN MAQTHU’

1-Hadis Marfu’

AlMarfu’ menurut bahasa merupakan isim maf’ul dari kata rafa’a (mengangkat), dan ia sendiri berarti
“yang diangkat”. Dinamakan marfu’ karena disandarkannya ia kepada yang memiliki kedudukan tinggi,
yaitu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam.

Hadits Marfu’ menurut istilah adalah “sabda, atau perbuatan, atau taqrir (penetapan), atau sifat yang
disandarkan kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam, baik yang bersifat jelas ataupun secara hukum
(disebut marfu’ = marfu’ hukman), baik yang menyandarkannya itu shahabat atau bukan, baik sanadnya
muttashil (bersambung) atau munqathi’ (terputus).

Dari definisi di atas, jelaslah bahwa hadits marfu’ ada 8 macam, yaitu : berupa perkataan, perbuatan,
taqrir, dan sifat. Masing-masing dari yang empat macam ini mempunyai bagian lagi, yaitu : marfu’ secara
tashrih (tegas dan jelas), dan marfu’ secara hukum.

Marfu’ secara hukum maksudnya adalah isinya tidak terang dan tegas menunjukkan marfu’, namun
dihukumkan marfu’ karena bersandar pada beberapa indikasi.

Contohnya;

a) Perkataan yang marfu’ tashrih : seperti perkataan sahabat,”Aku mendengar Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wasallam bersabda begini”; atau “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam menceritakan kepadaku
begini”; atau “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda begini”; atau “Dari Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wasallam bahwasannya bersabda begini”; atau yang semisal dengan itu.

b) Perkataan yang marfu’ secara hukum : seperti perkataan dari shahabat yang tidak mengambil dari
cerita Israilliyaat berkaitan dengan perkara yang terjadi di masa lampau seperti awal penciptaan
makhluk, berita tentang para nabi. Atau berkaitan dengan masalah yang akan datang seperti tanda-
tanda hari kiamat dan keadaan di akhirat. Dan diantaranya pula adalah perkataan shahabat : “Kami
diperintahkan seperti ini”; atau “kami dilarang untuk begini”; atau termasuk sunnah adalah melakukan
begini”.

c) Perbuatan yang marfu’ tashrih : seperti perkataan seorang shahabat : “Aku telah melihat Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wasallam melakukan begini”.
d) Perbuatan yang marfu’ secara hukum : seperti perbuatan shahabat yang tidak ada celah berijtihad di
dalamnya dimana hal itu menunjukkan bahwa perbuatan tersebut bukan dari shahabat semata
(melainkan dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam). Sebagaimana disebutkan dalam riwayat Al-
Bukhari,”Adalah Ibnu ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhum berbuka puasa dan mengqashar
shalat pada perjalanan empat burud [Burud merupakan jamak dari bard, yaitu salah satu satuan jarak
yang digunakan di jaman itu (sekitar 80 km)].

e) Penetapan (taqrir) yang marfu’ tashrih : seperti perkataan shahabat,”Aku telah melakukan perbuatan
demikian di hadapan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam”; atau “Si Fulan telah melakukan perbuatan
demikian di hadapan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam – dan dia (shahabat tersebut) tidak
menyebutkan adanya pengingkaran Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam terhadap perbuatan itu.

f) Penetapan yang marfu’ secara hukum : seperti perkataan shahabat,”Adalah para shahabat
begini/demikian pada jaman Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam”.

g) Sifat yang marfu’ tashrih : seperti perkataan seorang shahabat yang menyebutkan sifat Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wasallam sebagaimana dalam hadits Ali radliyallaahu ‘anhu,”Nabi shallallaahu ‘alaihi
wasallam itu tidak tinggi dan tidak pula pendek”; atau “Adalah Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam berkulit
cerah, peramah, dan lemah lembut”.

h) Sifat yang marfu’ secara hukum : seperti perkataan shahabat,”Dihalalkan untuk kami begini”; atau
“Telah diharamkan atas kami demikian”. Ungkapan seperti secara dhahir menunjukkan bahwa Nabi
shallallaahu ‘alaihi wasallam yang menghalalkan dan mengharamkan. Ini dikarenakan sifat yang secara
hukum menunjukkan bahwa perbuatan adalah sifat dari pelakunya, dan Rasulullah shalllallaahu ‘alaihi
wasallam adalah yang menghalalkan dan mengharamkan; maka penghalalan dan pengharaman itu
merupakan sifat baginya. Poin ini sebenarnya banyak mengandung unsur tolerir yang tinggi, meskipun
bentuk seperti ini dihukumi sebagai sesuatu yang marfu’.
Dalam penyampaianya ada beberapa kalimat yang bisa menjadi tanda dari Hadits Marfu diantaranya:

Jika yang berbicara sahabat:

Kami telah diperintah (‫) امرنا‬.

Kami telah dilarang (‫)نهينا عن‬.

Telah diwajibkan atas kami (‫)اوجب علينا‬.

Telah diharamkan atas kami (‫)حرم علينا‬.

Telah diberi kelonggaran kepada kami (‫)رخص لنا‬.

Telah lalu dari sunnah (‫)مضت السنة‬.

Menurut sunnah (‫)من السنة‬.

Kami berbuat demikian di zaman Nabi (‫)كنا نفعل كذا فى عهد النبي ص‬.

Kami berbuat demikian padahal Rasulullah masih hidup(‫)كنا نفعل كذا و النبي‬

Jika yang meriwayatkanya tabi`in:

Ia merafa`kanya kepada Nabi SAW (‫)يرفعه‬.

Ia menyandarkanya kepada Nabi SAW (‫)ينميه‬.

Ia meriwayatkanya dari Nabi SAW (‫)يرويه‬.

Ia menyampaikanya kepada Nabi SAW (‫)يبلغ به‬.

Dengan meriwayatkan sampai Nabi SAW (‫)رواية‬.

Jika di akhir sanad ada sebutan (‫ )مرفوعا‬artinya: keadaanya diMarfu`kan.


Hadis Mauquf

Mauquf menurut bahasa berasal dari kata waqf yang berarti berhenti. Seakan-akan perawi
menghentikan sebuah hadis pada sahabat.[1] Mauquf menurut

pengertian istilah ulama hadis adalah:

ِ َّ‫ص َحا ِب ْي مِ ْن قَ ْو ٍل أ َ ْو ِف ْع ٍل أ َ ْو نَحْ ٍو ُمت‬


‫ص اًل كَانَ ُم ْنقَطِ اعا‬ َ ‫ْف ِإلَي ال‬ ِ ُ ‫َما ا‬
َ ‫ضي‬

“Sesuatu yang disandarkan kepada sahabat, baik dari perkataan, perbuatan, atau taqrir, baik
bersambung sanadnya maupun terputus.”

Sebagian ulama mendefinisikan hadis mauquf adalah:

‫الحديث الذي اسند إلى الصحابي دون النبي صل هللا عليه وسلم‬

“Hadis yang disandarkan seseorang kepada sahabat, tidak sampai kepada Rasulullah SAW”[2]

Dari berbagai definisi di atas dapat kita fahami bahwa segala sesuatu yang disandarkan kepada seorang
sahabat atau segolongan sahabat, baik perkataan, perbuatan, atau persetujuannya, bersambung
sanadnya maupun terputus disebut dengan hadis mauquf. Sandaran hadis ini hanya sampai kepada
sahabat, tidak sampai kepada Rasulullah saw.

Contoh Hadis Mauquf

Berikut ini adalah contoh hadis mauquf antara lain:

a)Hadis mauquf qauli (yang berupa perkataan)

‫ حدّثوا الناس بما يعرفون أن يكذّب هللا ورسوله ؟‬: ‫قال علي بن طالب رضي هللا عنه‬

Ali bin Abi Thalib ra. berkata, ”Berbicaralah kepada manusia sesuai dengan apa yang mereka ketahui,
apakah kalian ingin mereka mendustakan Allah dan Rasul-Nya?”
b) Hadis mauquf fi‟li (yang berupa perbuatan) seperti perkataan Imam Bukhari

“Ibnu Abbas menjadi imam sedangkan dia (hanya) bertayammum.”

c) Hadis mauquf taqriri (yang berupa persetujuan) seperti perkataan tabi‟in

‫ي‬
ّ ‫فعلت كذا أمام أحد الصحابة ولم ينكر عل‬

“Aku telah melakukan begini di hadapan salah seorang sahabat dan dia tidak mengingkariku”

Kehujjahan Hadis Mauquf

ada prinsipnya hadis mauquf tidak dapat dijadikan hujjah, kecuali ada qarinah yang menunjukkan
(menjadikan) marfu’,[3] karena ia hanya perkataan atau perbuatan sahabat semata, tidak disandarkan
kepada Rasulullah saw.

Sesuatu yang disandarkan pada seseorang selain Rasulullah saw tidak bisa dijadikan hujjah, dan tidak
halal menyandarkan hal tersebut kepada Rasulullah saw, karena tergolong ihtimal (dugaan yang
kecenderungan salahnya lebih besar) dan bukan dzan (dugaan yang kuat kebenarannya). Ihtimal tidak
bernilai apa-apa.[4]

Di antara hadis mauquf terdapat hadis yang lafaz dan bentuknya mauquf, namun setelah dicermati
hakikatnya bermakna marfu’, yaitu berhubungan dengan Rasulullah saw. Hadis yang demikian dinamai
oleh para ulama hadis dengan alMauquf Lafzhan al-Marfu’ Ma’nan, yaitu secara lafaz berstatus mauquf
namun scara makna berstatus marfu’ (hadis marfu’ hukmi), sebagaimana yang telah dijelaskan pada
pembahasan hadis marfu’ sebelumnya.
Hadis Maqthu’

ْ ‫ط ُع َق‬
ُ ‫ط اعا َقاطِ ٌع َو َم ْق‬
Menurut bahasa kata maqthu‟ berasal dari akar kata ٌ‫ط ْوع‬ ّ ِ ‫ط َع ُي َق‬
َّ ‫ َق‬yang berarti terpotong
atau teputus, lawan dari maushul yang berarti bersambung. Kata terputus di sini dimaksudkan tidak
sampai kepada Rasulullah saw, hanya sampai kepada tabi’in saja.

Menurut istilah hadis maqthu‟ adalah

‫ْف ِإلَيالتابعي أو من دونه من قول أو فعل‬ ِ ُ ‫َما ا‬


َ ‫ضي‬

“Sesuatu yang disandarkan kepada seorang tabi‟in dan orang setelahnya daripada Tabi’in kemudian
orang-orang setelah mereka, baik berupa perkataan atau perbuatan dan sesamanya.[5]

Perbedaan antara hadis maqthu’ dengan munqathi’ adalah bahwasannya al-maqthu’ adalah bagian dari
sifat matan, sedangkan al-munqathi’ bagian dari sifat sanad. Hadis yang maqthu’ itu merupakan
perkataan tabi’in atau orang yang di bawahnya, dan bisa jadi sanadnya bersambung sampai kepadanya.
Sedangkan munqathi’ sanadnya tidak bersambung dan tidak ada kaitannya dengan matan.[6]

Dari berbagai definisi di atas dapat kita fahami bahwa segala sesuatu yang disandarkan kepada tabi‟in
atau orang setelahnya, baik perkataan, perbuatan, atau persetujuannya, bersambung sanadnya maupun
terputus disebut dengan hadis maqthu’.

Contoh Hadis Maqthu’

a) Hadis maqthu’ qauli (yang berupa perkataan) seperti perkataan Hasan al Bashri tentang sholat di
belakang ahli bid’ah:

‫صل وعليه بدعته‬

“Shalatlah dan dialah yang menanggung bid’ahnya”


b) Hadis maqthu’ fi’li (yang berupa perbuatan) seperti perkataan Ibrahim bin Muhammad al-Muntasyir

‫كان مسروق يرخي الستر بينه وبين أهله ويقبل على صًلته ريخليهم ودنياهم‬

“Masruq membentangkan pembatas antara dia dan keluarganya (istrinya) dan menghadapi shalatnya,
dan membiarkan mereka dengan dunia mereka”

c) Hadis maqthu‟ taqriri (yang berupa persetujuan) seperti perkataan Hakam bin

‘Utaibah, ia berkata: “Adalah seorang hamba mengimami kami dalam mesjid itu, sedang syuraih (juga)
shalat disitu.”

Syuraih adalah seorang tabi`in. Riwayat hadis ini menunjukan bahwa Syuraih membenarkan seorang
hamba tersebut untuk menjadi imam.

Kehujjahan Hadis Maqthu’

Hadis maqthu’ tidak dapat dijadikan hujjah dalam hukum syara‟ karena ia bukan yang datang dari
Rasulullah saw, hanya perkataan atau perbuatan sebagian atau salah seorang umat Islam.

Dengan demikian, hadis maqthu’ tidak dapat dijadikan sebagai hujjah atau dalil untuk menetapkan suatu
hukum dan bahkan lebih lemah dari hadis mauquf, karena status dari perkataan tabi’in sama dengan
perkataan ulama lainnya.
Kesimpulan

a) Hadis marfu’ adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Rasulullah saw, baik perkataan,
perbuatan, ataupun taqrir. baik yang bersifat jelas ataupun secara hukum (disebut marfu’ =
marfu’hukman), baik yang menyandarkannya itu sahabat atau bukan, baik sanadnya muttashil
(bersambung) atau munqathi’ (terputus).

b) Hadis mauquf adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada seorang sahabat atau segolongan
sahabat, baik perkataan, perbuatan, atau ketetapannya, baik bersambung sanadnya maupun terputus.
Sandaran hadis ini hanya sampai kepada sahabat, tidak sampai kepada Rasulullah saw.

c) Hadis maqthu’ adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada tabi’in atau orang setelahnya, baik
perkataan, perbuatan, atau ketetapannya, baik bersambung sanadnya maupun terputus.

Anda mungkin juga menyukai