Anda di halaman 1dari 15

TUGAS MAKALAH

MATA KULIAH PRODUKSI SATWA HARAPAN

“ Manajemen Pemeliharaan Ternak Rusa “

Disusun Oleh :

Fajar Asyadira 200110110273

Nadya Addina Tantyhartsa 200110110291

Netty Siboro 200110120005

Reza Ardian 200110120014

Rolan Sinaga 200110120015

Indra Kurniawan 200110120016

Kelas B

Kelompok 1

FAKULTAS PETERNAKAN

UNIVERSITAS PADJAJARAN

SUMEDANG

2015
I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Untuk memenuhi kebutuhan protein hewani yang berasal dari daging, susu dan
telur di Indonesia, kebutuhan protein hewani yang berasal dari daging, masih
terbatas dari ternak konvensional, misalnya sapi, kerbau, kambing, domba, babi
dan unggas. Dengan demikian, upaya pemenuhan kebutuhan daging sebesar 7,6
kg/kapita/tahun baru dapat dipenuhi 75% saja, padahal Indonesia mempunyai
potensi sumber daging yang cukup besar dan belum digarap, yaitu rusa (Jacoeb
dan Wiryosuhanto, 1994). Usaha pembudidayaan ternak rusa secara besar-besaran
seperti yang telah dilaksanakan dinegara-negara yang telah maju, sampai saat ini
belum dilakukan di Indonesia. Sedangkan negara-negara yang sudah
membudidayakan rusa sebagai penghasil daging antara lain adalah: Skandinavia,
Rusia, China, Australia, Jerman, Selandia Baru, Amerika Serikat. Kebanyakan
rusa yang dipelihara di Eropa adalah rusa yang berasal dari daerah beriklim
sedang, seperti Rusa Fallow (Dama dama), Rusa Merah (Cervus elaphus) dan Rus
Wapiti/Elk (Cervus elaphus spp.), sedangkan sekitar tahun 1985, diversifikasi
mulai berkembang dengan menggunakan rusa yang berasal dari daerah tropika,
seperti Rusa Timor (Cervus timorensis), Rusa Sambar (Cervus unicolor ) dan
Rusa Chital (Axis axis). Perkembangan rusa dari daerah tropika ini, banyak
dicoba dikembangkan di Australia dan Kaledonia Baru (Chardonnet, 1988; van
Mourik, 1985; Mylrea, 1992; Woodford dan Dunning, 1992)

Rusa Bawean (A xis kuhli),Rusa Timor (Cervus timorensis) serta Rusa


Sambar (Cervus unicolor), merupakan satwa langka yang dilindungi sesuai
dengan UU no 5 tahun 1990 mengenai Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya, berdasarkan undang-undang tersebut untuk menjaga agar rusa
tidak punah, maka Menteri Pertanian mengeluarkan Surat Keputusan Nomor
362/Kpts/TN, 120/5/1990 tertanggal 20 Mei 1990, antara lain memasukkan rusa
ke dalam kelompok aneka ternak yang dapat dibudidayakan sebagaimana halnya
ternak lainnya, termasuk di dalamnya tentang pengaturan ijin usaha (Jacoeb dan
Wiryosuhanto, 1994). Dengan adanya Surat Keputusan Menteri Pertanian
tersebut, maka sudah saatnya dipikirkan dan dikaji beberapa aspek yang
menyangkut mengenai kemungkinan peternakan rusa, misalnya, dalam hal
penyediaan bibit, pakan, kesehatan, reproduksi, tingkah laku, penanganan pasca
panen dan pemasarannya. Karena penelitian mengenai rusa sangat sedikit
dilakukan di Indonesia, sehingga banyak hal yang belum diketahui mengenai
potensi rusa di Indonesia, baik mengenai produktifitas, tingkah laku, serta
manajemennya (pengelolaannya). Manajemen yang berbeda-beda tentu akan
memberi pengaruh terhadap produksi, dan reproduksi, bahkan tingkah laku rusa
tersebut. Selain dari pada itu, akibat kurangnya informasi mengenai produksinya
berupa daging, kulit dan tanduk, reproduksi, prospek serta kemungkinan
pemasaran produk-produk rusa tersebut, merupakan hambatan bagi kemungkinan
usaha pengembangan peternakan rusa tersebut.

1.2 Identifikasi Masalah

1. Bagaimana kebutuhan nutrisi pada rusa


2. Bagaimana reproduksi dan produksi pada rusa
3. Bagaimana perkandangan yang baik pada rusa

1.3 Maksud dan Tujuan

Dalam makalah ini bertujuan untuk :

1. Untuk mengetahui kebutuhan nutrisi pada rusa


2. Untuk mengetahui reproduksi dan produksi pada rusa
3. Untuk mengetahui perkandangan yang baik pada rusa
II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Jenis – Jenis Rusa

Walau rusa telah dekat dengan kehidupan manusia sejak 500 tahun yang
lampau, khususnya di masyarakat China dan daerah kutub, tetapi baru tahun
1960-an dikembangkan dalam konsep pemeliharaan secara modern (intensif),
mengikuti kaidah ilmu peternakan. Dalam kurun waktu kurang dari 40 tahun sejak
pengembangannya yang dilakukan di Inggris dan Selandia Baru, peminat
pemelihara rusa sebagai hewan ternak demikian cepat berkembang dan diadopsi
di berbagai negara. Indonesia memiliki beberapa jenis keluarga rusa, dua
diantaranya di luar negeri telah dikembangkan sebagai hewan ternak, yaitu Rusa
timorensis (Rusa Timor/Jawa) dan Rusa unicolor (Rusa Sambar; WILSON dan
REEDER, 2005). Penyebaran asli rusa di Indonesia, untuk jenis rusa Sambar
sangat terbatas hanya di Pulau Sumatera dan Kalimantan, sedangkan untuk rusa
Timor sangat luas, hampir di seluruh pulau besar dan kecil terkecuali di Pulau
Sumatera, Kalimantan dan Papua. Kendatipun pada awalnya Pulau Papua tidak
memiliki rusa, namun dengan adanya introduksi rusa Timor ke daerah Wasur,
wilayah tersebut menjadi demikian padat populasinya. Di tahun 1992 populasi
rusa yang ada di kawasan Wasur mencapai setidaknya 8.000 ekor
(FRANZMANN et al., 1995) dan bila digabungkan dengan populasi rusa yang
bermigrasi ke PNG, jumlah ini menjadi jauh lebih tinggi lagi. Ini membuktikan
tentang daya adapatsi yang sangat tinggi dari rusa Timor sehingga mampu
berkembang sampai pada akhirnya mengganggu keseimbangan ekosistem pada
satwa asli setempat. Sedangkan di luar negeri, rusa Timor telah tersebar meluas di
setidaknya tiga negara besar (Australia, Mauritius, New Caledonia).
2.2 Perkembangan Peternakan Rusa

Dalam upaya pemanfaatan rusa di Indonesia, kita patut menengok kebelakang


tentang latar belakang perkembangan industry peternakan rusa. Peternakan rusa
berkembang oleh karena dua hal, dari sisi orang Barat, daging rusa (venison)
memiliki nilai gizi yang baik karena rendah kalori dan kolesterol sehingga
menjadi pilihan konsumen modern saat ini (DRYDEN, 1997; HOFFMAN dan
WIKLUND, 2006). Dari sisi orang Timur (Korea, China), ranggah muda rusa
(tanduk muda, dalam tata bahasa yang salah) memiliki harga jual yang tinggi
sebagai bahan racikan obat tradisional mereka dan kemudian dikembangkan lebih
lanjut oleh peneliti Barat sebagai food suplement atau functional food dan mulai
diteliti secara mendalam sebagai nutraceutical (bahan makanan yang dapat
berfungsi sebagai obat). Karena adanya dua komoditas (venison dan ranggah
muda) ini, industri peternakan rusa secara modern berkembang. Bahkan industri
pengolahan daging rusa di Selandia Baru telah mematenkan nama produk daging
rusa asal Selandia Baru dengan nama CERVENA (Cervus venison grade A).
Adapun negara termaju dalam industri peternakan rusa asal daerah dingin saat ini
adalah Selandia Baru, diikuti Australia, Inggris dan beberapa negara Eropa
lainnya. Setelah peternakan rusa asal daerah dingin berkembang dengan pesat,
sekitar akhir tahun 1985-an dimulai pengembangan penangkaran rusa asal daerah
tropis di Australia, Mauritius dan Kaledonia Baru, kemudian disusul oleh negara
di kawasan Asia Tenggara seperti Malaysia dan Thailand di awal tahun 1990-an.

Saat ini di setiap benua telah berdiri peternakan ataupun penangkaran rusa
baik dalam bentuk standar suatu peternakan ataupun bentuk ranching yang
intensif. Sehingga peternakan rusa merupakan satu-satunya industri peternakan
yang baru tetapi telah demikian kuat dengan populasi tinggi dan jenis rusa yang
beragam, serta teknologi dan model tatalaksana pemeliharaan yang mapan.
Hingga saat ini secara resmi di Indonesia belum ada kegiatan peternakan rusa
ataupun penangkaran rusa yang bersifat komersial dan mengarah pada
pemanfaatan produknya secara luas. Satu satunya peternakan rusa yang
memberlakukan konsep peternakan baru ada satu dan dimiliki oleh Pusat
Pembibitan dan Inseminasi Buatan, Dinas Peternakan Propinsi Kalimantan Timur.
III

PEMBAHASAN

3.1 Kebutuhan Nutrisi

Dari kumpulan hasil penelitian yang ada, setidaknya 60% membicarakan


aspek biologi umum (taksonomi, sebaran, perilaku, habitat, breeding, genetik) dan
40% aspek yang mengarah pada kepentingan peternakan (produksi, pakan,
reproduksi dan kesehatan). Namun, hampir semua penelitian (80%) dilakukan di
kawasan sub tropik (Kaledonia Baru, Mauritius, Australia, Selandia Baru) dan
beriklim sedang. Intensitas penelitian rusa tropis pada aspek peternakan mencapai
titik tertingginya pada era tahun 1985 – 1995 dan menurun dengan tajam setelah
itu. Oleh sebab itu, mengandalkan penelitian-penelitian baru dari luar negeri pada
era tahun 2000-an sudah sangat jarang sekali. Hal ini pada akhirnya membutuhkan
beberapa penyesuaian dan kegiatan penelitian pembanding agar dapat dengan
benar-benar dikembangkan pada kondisi iklim Indonesia.
Diantara jenis rusa tropik yang paling banyak mendapat perhatian penelitian
untuk tujuan peternakan adalah rusa Timor, disusul rusa Sambar dan rusa Totol
(Axis axis). Ini selaras dengan tingginya populasi rusa Timor yang diternakkan.
Tingkat konsumsi bahan kering pada rusa Timor bervariasi antara 52 – 75
g/kgBB0,75, dan rusa Sambar antara 44 – 53,5 g/kgBB0,75, tergantung pada
bahan pakan dan kandungan energi (Tabel 1). Selain itu status fisiologi serta umur
individu rusa juga sangat berpengaruh terhadap nilai konsumsinya. Data lain
menyebutkan bahwa konsumsi bahan kering pada rusa Timor antara 25 – 32
gBK/kgBB/hari.
Hasil penelitian pakan kondisi di NTB, rusa Timor jantan mengkonsumsi
pakan per hari sebanyak 140 – 150 g bahan kering/kg BB0,75, sedangkan rusa
Timor betina mengkonsumsi pakan per hari sebanyak 90 – 120 g/kg BB0,75.
Sesuai dengan bobot hidup rusa, maka konsumsi bahan kering rusa Timor jantan
8,7 kg dan betina 5 kg per hari.
Berdasarkan kebutuhan energinya baik untuk maintenance ataupun
pertumbuhan diperoleh nilai yang tidak terlalu berbeda diantara rusa Sambar dan
rusa Jawa. Pada musim kawin, rusa Timor jantan membutuhkan ME sekitar 40%
lebih tinggi dari kebutuhan untuk maintenance. Sedangkan dilihat dari sudut
kandungan protein pada pakan yang dibutuhkan, pada rusa Jawa lepas sapih
hingga remaja (6 – 12 bulan) adalah 15% BK, dan sesudahnya adalah 19% BK,
terlebih pada fase pertumbuhan ranggah pada yang jantan. Defisiensi protein akan
menurunkan kenaikan bobot badan, terutama dimulai dari kandungan 10% ke
bawah. Efisiensi pemanfaatan pakan pada rusa Sambar menunjukkan variasi yang
cukup besar dengan rusa Merah
Tabel 1. Kisaran tingkat konsumsi bahan kering rusa tropik
Bahan pakan Konsumsi bahan kering (g/kgBB0,75)
Rusa Timor
68 – 71% hijauan segar + 29 – 32% hay 120 – 160 (kelamin campur)
dan konsentrat
75 – 88% konsentrat, 12 – 25% limbah 60 – 75 (jantan); 68 – 70 (betina)
sorgum
49,6% oat; 49,3% isolat protein 101,5 (jantan)
Hay Lucerne (Medicago sativa} 63,6 – 66,9 (jantan)
Hay barley (Hordeum sp.) 60,8 (jantan)
Hay soybean (Glycine max) 73,3 (jantan)
Rusa Sambar
Hay Lucerne 43,9 – 58,7 (kelamin campur)

Pola Pertumbuhan
Pada rusa Sambar, kenaikan bobot hidup yang cepat terjadi dari sejak lahir
hingga umur 28 bulan, untuk kemudian melambat. Pada umur 12 bulan, jantan
mempunyai bobot hidup 17% lebih berat dari betina. Pencapaian bobot hidup 100
kg pada betina dapat dicapai pada umur 452 hari dan jantan pada umur 343 hari.
Laju pertumbuhan anak rusa Sambar pada pemeliharaan buatan dari umur 24 jam
hingga lepas sapih (70 hari) adalah 347 g/hari, dengan bobot sapih mencapai 30
kg.Pertumbuhan pada rusa Totol jantan terus berlangsung hingga umur 5 tahun
tanpa terlihat adanya penurunan bobot hidup yang berarti pada saat pergantian
musim. Kalaupun ada variasi nilai kenaikan bobot hidup diantara pejantan rusa
Totol, ini lebih dikarenakan oleh bulan kelahiran yang berbeda.
Pengamatan pada kelompok rusa betina Timor di Australia menunjukkan
pertumbuhan bobot hidup tertinggi dicapai antara umur 2 – 10 bulan, dengan
kisaran kenaikan antara 121 – 169 g/hari pada betina dan 150 – 214 g/hari pada
jantan. Setelah itu kenaikan bobot hidup menurun hingga mencapai umur 26
bulan. Laju kenaikan bobot hidup terendah dicapai pada umur sekitar 300 – 360
hari. Tabel 2. Pertumbuhan anak rusa Timor hingga berumur 18 minggu (umur
sapih alami) yang disusui induknya dapat mencapai 184 – 205 g/hari, dan yang
dibesarkan oleh manusia dengan menggunakan susu sapi hanya mencapai 80 –
133 g/hari. Pada rusa Timor liar di Papua, diperoleh gambaran pertumbuhan bobot
hidup antara 61,20 – 67,78 g/ekor/hari. Adanya perlakuan kastrasi pada rusa
jantan Timor memberikan selisih perbedaan persentase karkas sebesar 1%.

3.2 Reproduksi dan Produksi Rusa


Perkawinan terjadi setelah proses mencumbu. Tingkah laku reproduksi
pejantan saat kawin dengan usaha menaiki (mounting) rusa timor betina, dengan
cara menaiki punggung betina dari arah samping dengan kaki depannya, dagunya
diletakkan diatas punggung betina, kemudian intromission dan akhirnya ejakulasi,
yang berlangsung singkat antara 2-3 detik. Waktu yang diperlukan dari mulai
menaiki betina sampai terjadinya ejakulasi berlangsung selama 2-3 menit. Setelah
ejakulasi rusa timor jantan turun dari punggung betina (Semiadi, 2002).
Rusa timor (Cervus Timorensis) betina siap untuk kawin ( mating), setelah
terangsang seksual. Tingkah laku rusa betina pada saat kawin yaitu dengan berdiri
tegak, bagian belakang pantatnya agak direndahkan, dan membiarkan dirinya
dinaiki oleh pejantan. Menurut penelitian Alexander et.al,1980 rusa betina yang
masih muda dan dalam keadaan berahi, umumnya agak ”takut” untuk dikawini
rusa pejantan. Hal ini dibuktikan pada saat jantan berusaha mendekat untuk
mengawini rusa betina muda, rusa betina sering kali berlari cepat bahkan
seringkali merebahkan dirinya ketanah, kemudian rusa jantan akan mendorongnya
untuk bangun. Sedangkan rusa betina dewasa dan telah beranak, pada umumnya
lebih tenang menghadapi rusa jantan. Rusa betina muda memiliki pola kurang
sempurna, pada respon perkawinan dan tidak mencari pejantan
Hal lain yang perlu diketahui mengenai tingkah laku rusa timor selain tingkah
laku reproduksinya adalah tingkah laku keseharian rusa timor (Cervus timorensis).
Adapun tingkah laku harian rusa meliputi, tingkah laku makan dan minum
(Ingesti), investigative, grooming (membersihkan diri), bergerak (movement)
serta tingkah laku sosial.
Rusa Cervus timorensis dan Cervus unicolor merupakan hewan domestikasi
yang memiliki potensi cukup baik untuk dikembangkan dan dimanfaatkan dalam
sistem agribisnis produk peternakan di Indonsia. Namun tidak optimalnya
pengembangan subsistem hulu terutama aplikasi teknologi untuk meningkatkan
efisiensi produksi dan reproduksi menjadi kendala rendahnya struktur dan
dinamika populasi sehingga peranan ternak rusa dalam sistem agroindustri praktis
dapat dikatakan tidak ada.
Industri peternakan rusa di luar negeri khususnya Selandia Baru dan USA
dapat berkembang pesat, salah satu faktor penentunya adalah adanya konsep
pengembangan yang terintegrasi (holistik) dan aplikasi teknologi yang tepat.
Pemanfaatan plasma nutfah (AnGR) secara terencana melalui aplikasi
bioteknologi (pada konservasi secara in situ dan ex situ) akan mendorong
peningkatan dinamika populasi. Secara empiris, konservasi satwa liar secara in
situ seringkali tidak dapat secara optimal meningkatkan dinamika populasi secara
efisien dan efektif karena kurangnya dukungan teknologi khususnya dalam
zooteknis ilmu peternakan. Pengembangan secara integral melalui pelestarian
secara in situ dan ex situ didukung konsep sistem produksi berkelanjutan terbukti
pada akhirnya akan mendorong tumbuhnya agribisnis dari suatu AnGR (Animal
Genetic Resources) dan berkembang menjadi suatu agroindustri baru. Secara
umum kewajiban pemerintah adalah (a) mempertahankan populasi rusa hidup, (b)
melakukan penyimpanan beku materi genetik berupa haploid (n) seperti gamet
yaitu semen, oocyte atau berupa diploid (2n) seperti embrio dan (c) menyimpan
DNA. Namun pemerintah sebaiknya juga menyediakan akses untuk
pengembangan materi genetik tersebut bagi semua pihak sesuai dengan peraturan
perundangan yang berlaku.
Dalam perspektif sosial ekonomi, strategi pembangunan pertanian yang
berwawasan agribisnis pada dasarnya untuk menarik dan mendorong munculnya
industri baru di sektor pertanian. Untuk mengubah potensi menjadi harapan
berbagai aspek lingkungan strategis ekternal dan internal harus dirancang,
dikelola dan dikaji secara intens. Sistem produksi berkelanjutan merupakan
jaminan pelestarian dan pemanfaatan plasma nutfah.
Oleh karenanya sistem pengembangan yang selama ini dianut di Indonesia yaitu
konsep penangkaran dan budidaya sebaiknya dikajiulang dan dirumuskan kembali
sejauhmana efektivitasnya. Sistem produksi berkelanjutan dengan pendekatan
ecoefisiensi dalam manajemen teknologi dan manajemen agribisnis merupakan
salah satu alternatif untuk menjadi pilihan konsep pengembangan ternak rusa,
karena setidaknya akan lebih memberikan ruang untuk pemanfaatan suatu AnGR
secara maksimal.

3.3 Perkandangan

Kandang merupakan sarana yang penting untuk penangkaran rusa. Kandang


berfungsi sebagai tempat beristirahat (tidur) berlindung dari gangguan binatang
buas dan hujan serta sebagai tempat uber Selain itu kandang juga dapat
mempermudah pengawasan kesehatan ternak terutama untuk melakukan vaksinasi
secara teratur.

Model kandang penangkaran yang digunakan antara lain dapat berupa:


1. Kandang biasa

Penangkaran rusa dapat menggunakan beberapa model kandang biasa. Bila lahan
terbatas digunakan kandang model panggung, ukuran kandang untuk satu individu
1,5 m x 2 m x 2,5 m, untuk satu pasang dikalikan dua. Dinding dan lantai dapat
menggunakan bahan dari bambu dan atap alang-alang (Gambar 2). Sistem
pemeliharaan dengan model kandang panggung digunakan untuk penangkaran
atau budidaya skala kecil

2. Kandang Permanen

Dinding menggunakan batako atau bata dengan tinggi 1,5 m yang diatasnya
dipasang kawat harmoni dan kawat duri setinggi 1,5 m serta lantai dibiarkan
berupa tanah urug. Luasan total kandang disesuaikan dengan luas lahan, biasanya
di bawah 1 ha, dan dapat digunakan untuk rusa dengan jumlah maksimal 10 ekor.

3. Padang umbaran (Ranch)

Jika lahan, dana dan tenaga memungkinkan penangkaran dapat menggunakan


sistem ranch (Gambar 3), yaitu rusa dilepas dalam areal terbuka yang
disekelilingnya dipagari, luas areal tergantung ketersediaan lahan idealnya untuk
10 individu rusa diperlukan 1 ha, pakan diberikan secara cut and carry

Model penangkaran dengan ranch membutuhkan prasarana lain:

a.Bangunan peneduh/shelter

Di dalam ranch harus terdapat tempat bernaung berupa pohon dan semak
atau peneduh (naungan buatan) yang atapnya terbuat dari ijuk, alang-alang atau
seng. Dengan luas 1 ha untuk 10 individu rusa tetap harus diberi rumput dari luar
dan pakan tambahan terutama pada musim kemarau. Bila dalam ranch
ketersediaan pakan cukup tidak perlu diberi rumput dari luar tetapi pakan
tambahan berupa konsentrat seperti jagung dan dedak harus tetap diberikan.
Peneduh (selter) berfungsi sebagai tempat bernaung dari hujan dan panas,
dan diperlukan dalam penangkaran rusa sistem ranch, terutama bila didalam ranch
tidak terdapat pohon. Atap bangunan peneduh menggunakan alang-alang atau
seng.

b.Tempat minum dan pakan

Tempat minum dapat berupa bak yang terbuat dari bata/batako yang
dilapisi semen berukuran 100 x 50 x 30 cm yang dibenamkan dalam tanah atau
juga dapat berupa kolam yang dilengkapi saluran pembuangan air. Rusa
memerlukan air selain untuk minum juga untuk berkubang. Tempat pakan dibuat
apabila pakan dalam kandang/ranch kurang mencukupi sehingga perlu tambahan
dari luar. Tempat pakan dapat berupa kotak yang terbuat dari papan atau bambu,
disusun dengan rapat dengan ukuran 200 x 50 x 30 cm atau berbentuk segi 6
ukuran 50 x 75 dan tinggi 30 cm dari permukaan tanah.

c. Kandang perawatan

Kandang perawatan adalah kandang kecil berbentuk lonjong atau


berbentuk persegi dengan ukuran 10 m x 10 m yang tertutup rapat berdinding
papan, beratap seng atau rumbia serta berlantai semen atau biasa disebut yard
kemudian didalamnya dipasang kandang jepit. Kandang perawatan dapat
digunakan untuk merawat rusa bunting, anak rusa, rusa sakit, rusa melahirkan,
atau untuk memeriksa kesehatan rusa.
IV
KESIMPULAN

Disimpulkan bahwa :
 Tingkat konsumsi bahan kering pada rusa Timor bervariasi antara 52 – 75
g/kgBB0,75, dan rusa Sambar antara 44 – 53,5 g/kgBB0,75, tergantung
pada bahan pakan dan kandungan energi.
 Tingkah laku reproduksi pejantan saat kawin dengan usaha menaiki
(mounting) rusa timor betina, dengan cara menaiki punggung betina dari
arah samping dengan kaki depannya, dagunya diletakkan diatas punggung
betina, kemudian intromission dan akhirnya ejakulasi, yang berlangsung
singkat antara 2-3 detik.
 Kandang berfungsi sebagai tempat beristirahat (tidur) berlindung dari
gangguan binatang buas dan hujan serta sebagai tempat uber Selain itu
kandang juga dapat mempermudah pengawasan kesehatan ternak terutama
untuk melakukan vaksinasi secara teratur. Model kandang rusa terdiri dari
kandang permanen, kandang biasa dan kandang umbaran.
DAFTAR PUSTAKA

Daud Samsudewa dan Siti Susanti. 2006. Studi Tingkah Laku Reproduksi
Rusa Timor (Cervus timorensis) di Kepulauan Karimun Jawa. Fakultas
Peternakan Undip. Semarang.

Franzmann A.W., Craven I., Hadisepoetro, S and Sorondanya, C.K. 1995


Management strategies for rusa deer in Wasur National Park, Irian Jaya. In:
Intergrating people and wildlife for a sustainable future. Bissonatte, J.A. and P.R.
Krausman (edits.). The Wildlife Society pp. 516 – 519.

Semiadi, G and Y. Jamal. 2002. Gambaran Awal Mengenai Kualitas


Venison Aal Rusa Sambar yang Diperjualbelikan di Pasar Tradisional di
Kalimantan Timur. Laporan Penelitian. Puslit Biologi LIPI.

Semiadi, G. And R.T.P Nugraha. 2004. Panduan Pemeliharaan Rusa


Tropis. Puslit Biologi LIPI. 282 hlm.

Semiadi, G. 2002. Potensi Industri Peternakan Rusa Tropik dan Non


Tropik. Prosiding Seminar.
Wilson, d.e and D.M. reeder. 2005. Mammal: Species of the world. A
taxonomic and geographical references. The Johns Hopkins University Press.
Baltimore.

Anda mungkin juga menyukai