Tutorial Kritis (-Askep, Sintesis, Kesimpulan, Kerangka Konsep)
Tutorial Kritis (-Askep, Sintesis, Kesimpulan, Kerangka Konsep)
Disusun oleh:
Kelompok 2
Reguler 2016 A
1
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan hidayah-Nya
penulis dapat menyelesaikan makalah tutorial yang berjudul “Laporan Tutorial Keperawatan
Kritis” tanpa ada hambatan apapun dan selesai sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.
Penulis menyadari bahwa makalah ini tidak akan tersusun dengan baik tanpa adanya
bantuan dari pihak-pihak terkait. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam
pembuatan makalah ini, terutama kepada Eka Yulia Fitri,S.Kep., Ns., M. Kep selaku
fasilitator.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca. Penulis sadar bahwa
makalah ini masih belum baik, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat
penulis harapkan sebagai bahan evaluasi untuk makalah berikutnya.
Kelompok 2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.......................................................................................................... 2
BAB I PEMBAHASAN
1.1 Skenario.........................................................................................................................
2
1.2 Klarifikasi Istilah...........................................................................................................
1.3 Identifikasi Masalah......................................................................................................
1.4 Prioritas Masalah...........................................................................................................
1.5 Analisis Masalah............................................................................................................
1.6 Asuhan Keperawatan.....................................................................................................
1.7 Meninjau Ulang Masalah dan Menyusun Keterkaitan antar Masalah...........................
1.8 Hipotesis........................................................................................................................
1.9 Kerangka Konsep..........................................................................................................
1.10 Sintesis.........................................................................................................................
1.11 Learning Issue..............................................................................................................
BAB II PENUTUP
2.1 Kesimpulan....................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................
BAB I
SISTEMATIKA
1.1 Skenario
Seorang laki-laki berusia 38 tahun dirawat di ruang intensif dengan post op
craniotomy di ruang critical care hari ke-1. Hasil pengkajian didapatkan penurunan
kesadaran, tingkat kesadaran sopor dengan GCS E2M4Vt, TD 104/94 mmHg,
frekuensi napas 28x/menit, frekuensi nadi 118x/menit. Terpasang ETT dan ventilator
3
mekanik mode simV, terdengar ronchi pada bagian aspek kanan dan kiri, gurgling,
terpasang infus NaCl 0,9%, 24 tpm, balance cairan ±500 cc/24 jam, terpasang kateter
folley, CVP, posisi tidur head up 30-40.
3. Sopor :
Tidur yang terlalu dalam, abnormal (Dorland)
4. Ruang critical care :
Ruang critical care merupakan nama lain dari ruang intensif care unit. Ruang
intensif care unit adalah bagian dari bangunan rumah sakit dengan kategori
pelayanan kritis selain instalansi bedah dan instalasi gawat darurat. (Depkes RI,
2011)
5. Ventilator mekanik :
Alat bantu nafas secara mekanik yang menghasilkan aliran udara terkontrol pada
jalan nafas pasien untuk mempertahankan ventilasi dan pemberian oksigen dalam
jangka waktu lama. (Mbaubederi, 2011. Tesis Universitas Indonesia)
6. Gurgling :
Gurgling adalah suara tambahan yang menunjukkan adanya obstruksi jalan napas,
suara (berkumur) karena ada cairan atau darah. (Buku Pertolongan Pertama Gawat
Darurat, 2019).
7. Kateter folley :
Selang yang dimasukkan ke dalam kandung kemih untuk mengalirkan urine,
pemasangan kateter dapat bersifat sementara (straight kateter) atau menetap
(folley kateter). Kateter foley digunakan untuk periode waktu yang lebih lama.
(Buku Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia, 2006)
8. CVP :
Tekanan dari darah di atrium kanan jantung dan vena kava (Buku Akses Vena
Sentral)
9. ETT :
Pipa Endotrakeal atau Endotracheal tube, disingkat sebagai ETT, adalah salah
satu alat yang digunakan untuk mengamankan jalan nafas atas. (Jurnal
Anestisiologi Indonesia).
4
1.3 Identifikasi Masalah
No. Pernyataan Harapan Konsen
5
Jawaban :
a) Suhu
Pengukuran suhu dapat dilakukan secara oral, rektal atau aksila.
Rentang nilai suhu pada dewasa:
- Hipotermi : < 36oC
- Normal : 36,5 oC-37,5 oC
- Febris : > 37,5 oC-40 oC
- Hipertermi : > 40 oC
Suhu oral : 0,2-0,5 lebih rendah dari suhu rektal
Suhu aksila : 0,5 oC lebih rendah dari suhu oral
b) Nadi
Pemeriksaan denyut nadi dapat dilakukan pada daerah arteri radialis
(pergelangan tangan), arteri brakhialis (siku bagian dalam), arteri karotis
(pada leher), arteri temporalis, arteri femoralis, arteri dorsalis pedis.
Nilai nadi normal :
- Bayi baru lahir (0-1 bulan) : 120-160 x/ menit
- Bayi (1 bulan- 1 tahun) : 100-160 x/ menit
- Batita (1-3 tahun) : 90- 150 x/ menit
- Prasekolah (4-5 tahun) : 80-140 x/ menit
- Anak-anak (5-12 tahun) : 70-120 x/ menit
- Remaja (12-18 tahun) : 60-100 x/ menit
- Dewasa (> 18 tahun) : 60-100 x/ menit
c) Pernafasan
Nilai pernafasan normal :
- Bayi : 30-60 x/ menit
- Bayi tahun pertama : 25-30 x/ menit
- Bayi tahun kedua : 20-26 x/ menit
- Anak usia 14 tahun : 20-30 x/ menit
- Wanita dewasa : 18-20 x/ menit
- Laki-laki dewasa : 16-18 x/ menit
- Orang tua 50 tahun : 14-16 x/ menit
- Orang tua 70 tahun : 12-14 x/ menit
d) Tekanan darah
Nilai tekanan darah normah dewasa :
6
frekuensi nafas meningkat 28x/menit (takipnea), frekuensi nadi meningkat
118x/menit (takikardi) serta MAP dalam rentang normal (97,3 mmHg)
- Respon verbal
7
Kata-kata jelas Kalimat 3
Mengerang Suara 2
Tidak ada suara, tanoa Tidak ada 1
faktor pengganggu
Faktor penghalang Tidak dapat dinilai NT
komunikasi
- Respon motorik
8
Coma : GCS : 3, tidak ada respon terhadap rangsangan apapun (tidak ada
respon kornea, reflek muntah dan mungkin tidak ada respon pupil terhadap
cahaya)
Kesimpulan : pada kasus skenario dapat disimpulkan bahwa Tn. X (38 tahun)
GCS E2M4Vt, sopor berarti keadaan pasien seperti tertidur lelap, tetapi ada
respon terhadap nyeri, verbal tidak terkaji karena terpasang ETT dan
ventilator.
Sumber :
Teasdale, G., Frej, M. (2015). Penilaian kesadaran menurut skala Glasgow.
Institut Ilmu Saraf NHS Greater Glasgow dan Clyde.
S : Sirkulasi
Meliputi stroke dan penyakit jantung lain, Syok (shock) adalah kondisi medis
tubuh yang mengancam jiwa yang diakibatkan oleh kegagalan sistem sirkulasi
darah dalam mempertahankan suplai darah yang memadai. Berkurangnya
suplai darah mengakibatkan berkurangnya suplai oksigen ke jaringan tubuh.
Jika tidak teratasi maka dapat menyebabkan kegagalan fungsi organ penting
yang dapat mengakibatkan kematian. Kegagalan sistem sirkulasi dapat
disebabkan oleh Kegagalan jantung memompa darah, terjadi pada serangan
jantung.
E : Ensefalitis
Infeksi system saraf pusat oleh bakteri, virus, atau fungi
M : Metabolik
Gangguan metabolik sistemik yang menekan kerja otak. Misalnya koma
hiperglikemia, koma hipoglikemia, koma hipoksia, koma uremikum, dan
koma hepatikum.
E : Elektrolit
9
Gangguan keseimbangan elektrolit. Misalnya diare dan muntah yang
berlebihan. Diare akut karena infeksi dapat disertai muntah-muntah, demam,
tenesmus, hematoschezia, nyeri perut dan atau kejang perut. Akibat paling
fatal dari diare yang berlangsung lama tanpa rehidrasi yang adekuat adalah
kematian akibat dehidrasi yang menimbulkan renjatan hipovolemik atau
gangguan biokimiawi berupa asidosis metabolik yang berlanjut. Seseorang
yang kekurangan cairan akan merasa haus, berat badan berkurang, mata
cekung, lidah kering, tulang pipi tampak lebih menonjol, turgor kulit menurun
serta suara menjadi serak. Keluhan dan gejala ini disebabkan oleh deplesi air
yang isotonik.
N : Neoplasma
Tumor otak baik primer maupun metastasis.
I : Intoksikasi
Penurunan kesadaran disebabkan oleh gangguan pada korteks secara
menyeluruh misalnya pada gangguan metabolik, dan dapat pula disebabkan
oleh gangguan ARAS di batang otak. Pada penurunan kesadaran, gangguan
terbagi menjadi dua, yakni gangguan derajat (kuantitas, arousal wake f ulness)
kesadaran dan gangguan isi (kualitas, awareness alertness kesadaran). Adanya
lesi yang dapat mengganggu interaksi ARAS dengan korteks serebri,
apakahlesi supratentorial, subtentorial dan metabolik akan mengakibatkan
menurunnya kesadaran.
Intoksikasi berbagai macam obat maupun bahan kimia dapat menyebabkan
penurunan kesadaran, Menentukan kelainan neurologi perlu untuk evaluasi
dan manajemen penderita. Pada penderita dengan penurunan kesadaran, dapat
ditentukan apakah akibatkelainan struktur, toksik atau metabolik. Pada koma
akibat gangguan struktur mempengaruhi fungsi ARAS langsung atau tidak
langsung.
T : Trauma
Terutama trauma kapitis : komusio, kontusio, perdarahan epidural, perdarahan
subdural, dapat pula trauma abdomen dan dada. Cedera pada dada dapat
mengurangi oksigenasi dan ventilasi walaupun terdapat airway yang paten.
E : Epilepsi
10
Pasca serangan Grand Mall atau pada status epileptikus dapat menyebabkan
penurunan kesadaran.
Sumber : Harsono. (1996). Buku ajar neurologi klinis. Yokyakarta :Gajah
Mada University Press.
2. Terpasang ETT dan ventilator mekanik mode simV, terdengar ronchi pada bagian
aspek kanan dan kiri, gurgling, terpasang infus NaCl 0,9%, 24 tpm, balance cairan
±500 cc/24 jam, terpasang kateter folley, CVP, posisi tidur head up 300 – 400.
1. Tracheal Sound, yaitu suara yang terdengar pada bagian tracheal, yaitu
pada bagian larik dan pangkal leher.
2. Bronchial Sound, yaitu suara yang terdengar pada bagian bronchial, yaitu
suara pada bagian percabangan antara paru-paru kanan dan paru-paru kiri.
3. Bronchovesicular Sound, suara ini didengar pada bagian ronchus, yaitu
tepat pada bagian dada sebelah kanan atau kiri.
4. Vesicular Sound, suara yang dapat didengar pada bagian vesicular, yaitu
bagian dada samping dan dada dekat perut.
11
Pada saat dilakukan auskultasi, tidak jarang dapat didengar suara paru-paru
yang normal (normal sound) namun terdengar di tempat yang tidak seharusnya
pada bagian interior dan posterior. Hal ini menyebabkan suara paru-paru yang
didengar digolongkan pada suara abnormal. Beberapa bagian dari suara
abnormal menurut Ramadhan,M,Z (2012) seperti berikut :
Suara paru-paru tambahan ini muncul karena adanya kelainan pada paru-
paru yang disebabkan oleh penyakit. Beberapa contoh suara tambahan pada
paru-paru menurut Ramadhan,M,Z (2012), yaitu :
1. Crackles
Crackles adalah jenis suara yang bersifat discontinuous (terputus-putus),
pendek, dan kasar. Suara ini umumnya terdengar pada proses inspirasi. Suara
crackles ini juga sering disebut dengan nama rales atau crepitation.
Suara crackles dihasilkan akibat dua proses yang terjadi. Proses pertama
yaitu ketika terdapat saluran udara yang sempit tiba-tiba terbuka hingga
menimbulkan suara mirip seperti suara “plop” yang terdengar saat bibir yang
dibasahi tiba-tiba dibuka. Apabila terjadi di daerah bronchioles maka akan
tercipta fine crackles. Proses kedua, ketika gelembung udara keluar pada
pulmonary edema. Kondisi yang berhubungan dengan terjadinya crakle :
• Asma
• Bronchiectasis
12
• Chronic bronchitis
• ARDS
• Early CHF
• Consolidation
• Interstitial lung disease
• Pulmonary edema
2. Wheeze
Suara ini dihasilkan oleh pergerakan udara turbulen melalui lumen
jalan nafas yang sempit. Wheeze merupakan jenis suara yang bersifat
kontiniu, memiliki pitch tinggi, lebih sering terdengar pada proses
ekspirasi. Terdapat dua macam suara Wheeze, yaitu :
• Suara monophonic yaitu suara yang terjadi karena adanya blok pada
satu saluran nafas, biasanya sering terjadi saat tumor menekan dinding
bronchioles.
• Suara polyphonic yaitu suara yang terjadi karena adanya halangan pada
semua saluran nafas pada saat proses ekspirasi.
13
Sumber : Kurniawan, D., Sayekti, B., & Suprayitno, E.A. (2017). Rancang
bangun alat deteksi suara paru-paru untuk menganalisa kelainan paru-paru
berbasis android. Elinvo (Electronics, Informatics, and Vocational Education),
2(2), Hal 156-16.
14
c. Synchronized intermitten mandatory ventilation (SIMV)
Mode SIMV memastikan bahwa jumlah oksigen yang telah ditentukan
sebelumnya sesuai dengan Ventilasit yang di pilih yang akan diberikan
setiap menit. Pada SIMV pengaturan volume tidal disesuaikan dengan
usaha napas spontan penderita atau jika tidak ada napas spontan volume
tidal yang akan dikeluarkan oleh akan disesuaikan dengan mengatur
frekuensi napas, sehingga volume minimal terpenuhi. Bila pasien bernapas
spontan maka bantuan ventilator untuk memberikan volume tidal tidak
ada, akan tetapi mesin akan tetap mengalirkan oksigen. Dengan demikan
dapat dihasilkan volume semenit yang lebih tinggi. SIMV digunakan untuk
menyapi pasien dari CMV dengan mengurangi secara bertahap frekuensi
napas sehingg merangsang ventilasi spontan.
d. Controlled Minute Ventilation (CMV)
Mode ventilasi ini digunakan bila napas spontan tidak dapat atau
minimal dan dapat diberikan kepada pasien dengan hipoksia berat
e. Pressure Controlledventilator (PVC)
PVC digunakan untuk melimitasi tekanan pada jalan napas pada paru-
paru dengan komplians yang rendah atau resistensi yang tinggi untuk
mencegah risikobarotraum. Dengan demikian akan diperoleh volume tidal
dan minute vulome yang bervariasi sesuai dengan perubahan komplians
dan resistensi
f. Assist Control Ventilator (ACV)
Bila pasien sudah mempunyai napas spontan maka CMV atau PVC
akan menjadi ACV. Pada saat ini beresiko untuk terjadinya hiperventilasi
g. Pressure Support
Pada keadaan ini terdapat napas spontan pasien dan tidak ada pengatur
frekuensi napas. Ventilator akan memberikan tekanan positif pada jalan
napas sebagai repon terhadap upaya pernapasan.
h. Positive End Expiratory Pressure (PEEP) dan Continuous Positive Airway
Pressure (CPAP)
Pada mode ini mesin hanya memberikan tekanan positif dan diberikan
pada pasien yang sudah bisa bernafas dengan adekuat. Tujuan pemberian
mode ini adalah untuk mencegah atelektasis dan melatih otot-otot
pernafasan sebelum pasien dilepas dari ventilator.Kesimpula
15
Kesimpulan : Tn. X dipasang ventilasi mekanik jenis SIMV yang
bertujuan untuk menyapi pasien dari CMV dengan mengurangi secara
bertahap frekuensi napas sehingg merangsang ventilasi spontan.
16
a. Intake cairan = mulai cari cairan infus, minum, kandungan cairan
dalam makanan pasien, volume obat-obatan, termasuk obat suntik, obat
drip, albumin, dll.
b. Output cairan = urine dalam 24 jam, jika pasien dipasang kateter maka
hitung dalam ukuran urinbag, jika tidak terpasang maka pasien harus
menampung urinenya sendiri, biasanya ditampung dalam air mineral
dengan ukuran 1,5 liter kemudian dari feses.
c. IWL = jumlah cairan keluar yang tidak disadari dan sulit dihitung,
yaitu jumlah cairan, dan uap hawa napas.
Interpretasi:
1. Jika hasil penghitungan balance cairan adalah positif maka menunjukkan
adanya penambahan cairan dalam tubuh yaitu cairan yang masuk lebih
banyak dari pada cairan yang keluar (I>O)
2. Jika hasil penghitungan balance cairan adalah negative maka
menunjukkan adanya pengurangan cairan dalam tubuh yaitu cairan yang
keluar lebih banyak dari pada cairan yang masuk (O>I)
17
terlihat maka pipa endotrakeal (ETT) dimasukkan melalui sisi kanan mulut
yang menyebabkan pembukaan glotis melalui pita suara. Ada beberapa
keadaan dimana intubasi endotrakeal (ETT) lebih direkomendasikan.
18
5. Sarung tangan steril
6. Xylocain spray
7. Spuit 10 cc
8. Orofaringeal tube (guedel)
9. Stetoskop
10. Bag Valve Mask (ambubag)
11. Suction kateter
12. Plester
13. Gunting
14. Masker
D. Persiapan Tindakan
f. Apa dampak yang timbul jika terpasang ETT, ventilator mekanik, dan kateter
folley ?
Jawaban :
1. ETT
Komplikasi yang sering terjadi pada intubasi antara lain trauma jalan
nafas, salah letak dari ETT, dan tidak berfungsinya ETT. Komplikasi yang
biasa terjadi adalah:
A. Saat Intubasi
Salah letak : Intubasi esofagus, intubasi endobronkhial, posisi balon di
laring.
Trauma jalan nafas : Kerusakan gigi, laserasi mukosa bibir dan lidah,
dislokasi mandibula, luka daerah retrofaring.
Reflek fisiologi : Hipertensi, takikardi, hipertense intra kranial dan intra
okuler, laringospasme.
Kebocoran balon.
C. Setelah ekstubasi
Trauma jalan nafas : Udema dan stenosis (glotis, subglotis dan
trakhea), sesak, aspirasi, nyeri tenggorokan.
Laringospasme.
20
2. Ventilator mekanik
A. Komplikasi saluran nafas
1) Aspirasi
2) Trauma jalan nafas, kerusakan pipa suara
3) Dislokasi pipa ETT
4) Infeksi
B. Komplikasi paru
1) Barotrauma, volutrauma, biotrauma
2) Keracunan Oksigen
3. Kateter Folley
Komplikasi utama yang dapat terjadi pada pemasangan kateter adalah
infeksi dan trauma. Setelah 48 jam pemasangan kateter, kebanyakan
bakteri akan mulai berkolonisasi di dalam kateter, yang dapat memicu
terjadinya infeksi. Komplikasi yang dapat timbul akibat kateter uretra yang
terpasang di antaranya:
Masalah pada kateter: alergi terhadap bahan kateter, kebocoran urin,
obstruksi kateter
Masalah pada uretra: striktur uretra, perforasi uretra, perdarahan
Masalah saluran kemih lainnya: infeksi pada saluran kemih, termasuk
uretritis, sistitis, pielonefritis, dan bakteremia transien, parafimosis
yang disebabkan oleh kegagalan kuit preputium untuk kembali ke
posisi awal setelah dilakukan pemasangan kateter, batu saluran kemih,
21
gross hematuria, kerusakan ginjal. Kerusakan ginjal umumnya terjadi
pada pasien yang menggunakan kateter uretrasecara jangka panjang
Sumber : Sartika, D. (2012). Mengenal Kateterisasi Urine Dalam Bidang
Keperawatan. Jurnal Kesehatan, 50-62.
Sumber :
Tinia, Stella. (2010). Akses vena sentral perawatan dan tata laksana. Jakarta:
Erlangga.
23
bergeser lebih dari 5 mm, dan atau ada penyempitan cisterna
perimencephalic atau ventriculus tertius). ·
- Hematoma intraserebral dengan efek pendesakan dan di lokasi yang
dapat dilakukan tindakan bedah.
- Fraktur terbuka, dengan fragmen impresi, dengan atau tanpa robekan
dura.
- Tanda-tanda kompresi saraf optik.
2. Elektif / terprogram ·
- Fraktur impresi tertutup, dengan defisit neurologik minimal dan pasien
stabil.
- Hematoma intrakranial dengan efek masa dan defisit neurologik yang
minimal, dan pasien stabil.
Sumber : Hendra, Teguh, P. (2012). Angka kematian pasien kraniotomi di
ICU dan HCU RSUP DR. Kariadi. Karya Tulis Ilmiah. Universitas
Diponegoro.
24
c). Dalam mengatur dan menggerakkan posisi pasien harus hati –
hati jangan sampai drain tercabut.
2. Perawatan luka operasi secara steril
3. Makanan: pada pasien pasca pembedahan biasanya tidak
diperkenankan menelan makanan sesudah pembedahan, makanan
yang dianjurkan pada pasien post operasi adalah makanan tinggi
protein dan vitamin C. Protein sangat diperlukan pada proses
penyembuhan luka, sedangkan vitamin C yang mengandung
antioksidan membantu meningkatkan daya tahan tubuh untuk
pencegahan infeksi.
Pembatasan diit yang dilakukan adalah NPO (nothing peroral)
Biasanya makanan baru diberikan jika:
a. Perut tidak kembung
b. Peristaltik usus normal
c. Flatus positif
d. Bowel movement positif
5. Mobilisasi Biasanya pasien diposisikan untuk berbaring ditempat tidur
agar keadaanya stabil.Biasanya posisi awal adalah terlentang, tapi juga
harus tetap dilakukan perubahan posisi agar tidak terjadi dekubitus. Pasien
yang menjalani pembedahan abdomen dianjurkan untuk melakukan
ambulasi dini.
6. Pemenuhan kebutuhan eliminasi
a. Sistem Perkemihan
1) Control volunteer fungsi perkemihan kembali setelah 6 – 8 jam post
anesthesia inhalasi, IV, spinal
2) Anesthesia, infus IV, manipulasi operasi → retensio urine.
3) Pencegahan : inpeksi, palpasi, perkusi → abdomen bawah (distensi
buli – buli)
4) Dower catheter → kaji warna, jumlah urine, out put urine <30
ml/jam → komplikasi ginjal
b. System Gastrointestinal
1) Mual muntah → 40 % klien dengan GA selama 24 jam pertama
dapat menyebabkan stress dan iritasi luka GI dan dapat
meningkatkan TIK pada bedah kepala dan leher serta TIO
mneingkat
2) Kaji fungsi gastro intestinal dengan auskultasi suara usus
3) Kaji paralitik ileus → suara usus (-), distensi abdomen, tidak flatus
4) Jumlah warna, konsistensi isi lambung tiap 6 – 8 jam
5) Insersi NGT intra operatif mencegah komplikasi post operatif
dengan decompresi dan drainase lambung :
Meningkatkan istirahat.
25
Memberi kesempatan penyembuhan pada GI trac bawah.
Memonitor perdarahan.
Mencegah obstruksi usus.
Irigasi atau pemberian obat.
Sumber: Lestari, S. (2006). Perawatan post operatif. Padang: FK Universitas
Andalas.
Post operasi
craniotomy
Terdengar gurgling
dan ronchi pada
apeks kanan dan kiri
1.7 Hipotesis
26
Tn.X mengalami penurunan kesadaran sehingga masalah keperawatan yang dapat
muncul yakni bersihan jalan napas tidak efektif, risiko aspirasi, dan risiko infeksi.
Posisi head up
300-400
Penurunan elastisitas Meningkatnya sekresi
pembuluh darah asam urat
1.10 Sintesis
27
1.11 Learning issue
What I What I What I Have
Topik
Know Don’t Know To Prove
TTV normal √
BAB II
KESIMPULAN
1.1 Kesimpulan
28
Proses penuaan membuat terjadinya penurunan fungsi tubuh, salah satunya pada sistem
muskuloskletal. Terjadinya penumpukan purin pada sendi akan berakibat pada timbulnya
pembengkakan, kemerahan dan menimbulkan rasa nyeri, sehingga aktivitas lansia dapat
terhambat. Masalah keperawatan yang muncul antara lain nyeri kronis dan gangguan
mobilitas fisik. Tindakan yang dapat dilakukan sebagai implementasi keperawatan antara lain
kompres hangat mengunakan jahe untuk meneredakan keluhan yang dirasakan tersebut,
sehingga lansia dapat kembali beraktivitas secara mandiri. Selain itu, pemberian penkes pada
lansia dan keluarga pun dapat diberikan untuk meningkatkan pengetahuan sehingga dapat
merawat klien.
DAFTAR PUSTAKA
29
Anggraeni, Atika Dhiah., & Kusuma, Arif Hendra. (2019). Pengaruh posisi head up 30
derajat terhadap nyeri kepala pada pasien cedera kepala ringan. Jurnal Ilmu
Keperawatan dan Kebidanan Vol.10. No.2. hal 417-422.
Asmadi. (2008). Teknik prosedur keperawatan konsep dan aplikasi kebutuhan dasar klien.
Jakarta: Salemba Medika.
Dwi, S. & Mustika, S. (2018). Pojok baca balance cairan untuk survivor hemodialisi. Jurnal
pengabdian kepada masyarakat, Vol 2. No.2.
Harsono. (1996). Buku ajar neurologi klinis. Yokyakarta :Gajah Mada University Press.
Hendra, Teguh, P. (2012). Angka kematian pasien kraniotomi di ICU dan HCU RSUP DR.
Karidari. Karya Tulis Ilmiah. Universitas Diponegoro.
Hidayat. (2006). Pengantar kebutuhan Dasar manusia. Aplikasi konsep dan proses
keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.
Kurniawan, D., Sayekti, B., & Suprayitno, E.A. (2017). Rancang bangun alat deteksi suara
paru-paru untuk menganalisa kelainan paru-paru berbasis android. Elinvo (Electronics,
Informatics, and Vocational Education), 2(2), Hal 156-16.
Kurniati, A. Trisyani, Y & Theresia, S, I, M. (2018). Keperawatan gawat darurat dan
bencana sheehy, ed. Indonesia pertama. Indonesia: Elsevier.
Latifin, K., Kusuma, S Y. (2014). Panduan dasar klinik keperawatan. Malang : Gunung
Samudera
Lestari, S. (2006). Perawatan post operatif. Padang: FK Universitas Andalas.
Morgan, G., Edward, S., dan Mikhail. (2006). Clinical anesthesiology. New York: MC Graw
Hill.
Pilbem, s. (1998). Ventilasi mekanik: psikologi dan aplikasi klinis. Lippincot Williams,
Volume 2.
Prasenohadi. (2010). Manajemen jalan napas; pulmonology intervensi dan gawat darurat
napas. Jakarta: FK UI.
Rini, I. S, dkk. (2019). Pertolongan pertama gawat darurat. Malang: Universitas Brawijaya
Press.
Sartika, D. (2012). Mengenal Kateterisasi Urine Dalam Bidang Keperawatan. Jurnal
Kesehatan, 50-62.
Sepalanita, W. (2012). Pengaruh perawatan kateter urine indwelling model american
association of critical care nurses (AACN) terhadap bakteriuria di rsu raden mattaher
jambi. Tesis. Universitas Indonesia.
30
Teasdale, G., Frej, M. (2015). Penilaian kesadaran menurut skala glasgow. Institut Ilmu
Saraf NHS Greater Glasgow dan Clyde.
Tinia, Stella. (2010). Akses vena sentral perawatan dan tata laksana. Jakarta: Erlangga
31