Anda di halaman 1dari 31

LAPORAN TUTORIAL

BLOK KEPERAWATAN KRITIS

Disusun oleh:
Kelompok 2
Reguler 2016 A

Ketua : Resi Yuliantina (04021181621004)


Moderator : Raudhatun Nur (04021181621011)
Sekretaris I : Yunita (04021181621006)
Sekretaris II : Cristina Meidianti (04021281621021)
Sekretaris III : Anggun Oktaviani Putri
(04021381621039)
Anggota : Halimil Umami (04021181621010)
Utami Melyana Sari (04021281621019)
Vianti Nandeswari (04021281621020)
Reisti Aan Savitri (04021281621029)
Indah Lestari Sitanggang (04021281621087)
Vita Sitoluna (04021281621088 )
Ojika Olanda (04021381621037)
Billa Yuliati (04021381621040)

Fasilitator : Eka Yulia Fitri,S.Kep., Ns., M.Kep

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2019
KATA PENGANTAR

1
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan hidayah-Nya
penulis dapat menyelesaikan makalah tutorial yang berjudul “Laporan Tutorial Keperawatan
Kritis” tanpa ada hambatan apapun dan selesai sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.
Penulis menyadari bahwa makalah ini tidak akan tersusun dengan baik tanpa adanya
bantuan dari pihak-pihak terkait. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam
pembuatan makalah ini, terutama kepada Eka Yulia Fitri,S.Kep., Ns., M. Kep selaku
fasilitator.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca. Penulis sadar bahwa
makalah ini masih belum baik, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat
penulis harapkan sebagai bahan evaluasi untuk makalah berikutnya.

Indralaya, 23 September 2019

Kelompok 2

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................................... 2
BAB I PEMBAHASAN
1.1 Skenario.........................................................................................................................

2
1.2 Klarifikasi Istilah...........................................................................................................
1.3 Identifikasi Masalah......................................................................................................
1.4 Prioritas Masalah...........................................................................................................
1.5 Analisis Masalah............................................................................................................
1.6 Asuhan Keperawatan.....................................................................................................
1.7 Meninjau Ulang Masalah dan Menyusun Keterkaitan antar Masalah...........................
1.8 Hipotesis........................................................................................................................
1.9 Kerangka Konsep..........................................................................................................
1.10 Sintesis.........................................................................................................................
1.11 Learning Issue..............................................................................................................
BAB II PENUTUP
2.1 Kesimpulan....................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................

BAB I
SISTEMATIKA

1.1 Skenario
Seorang laki-laki berusia 38 tahun dirawat di ruang intensif dengan post op
craniotomy di ruang critical care hari ke-1. Hasil pengkajian didapatkan penurunan
kesadaran, tingkat kesadaran sopor dengan GCS E2M4Vt, TD 104/94 mmHg,
frekuensi napas 28x/menit, frekuensi nadi 118x/menit. Terpasang ETT dan ventilator

3
mekanik mode simV, terdengar ronchi pada bagian aspek kanan dan kiri, gurgling,
terpasang infus NaCl 0,9%, 24 tpm, balance cairan ±500 cc/24 jam, terpasang kateter
folley, CVP, posisi tidur head up 30-40.

1.2 Klarifikasi Istilah


1. Craniotomy :
Tindakan pembedahan dengan membuka tulang tengkorak untuk memberikan
akses secara langsung ke otak.
Tindakan bedah yang paling sering dilakukan pada manajemen neoplasma primer
dan metastasis neoplasma pada otak. (Clinical Anesthesiology, 2006)
2. Ruang intensif :
Ruang khusus untuk pasien krisis yang memerlukan perawatan intensif dan
observasi berkelanjutan. ( KBBI)

3. Sopor :
Tidur yang terlalu dalam, abnormal (Dorland)
4. Ruang critical care :
Ruang critical care merupakan nama lain dari ruang intensif care unit. Ruang
intensif care unit adalah bagian dari bangunan rumah sakit dengan kategori
pelayanan kritis selain instalansi bedah dan instalasi gawat darurat. (Depkes RI,
2011)
5. Ventilator mekanik :
Alat bantu nafas secara mekanik yang menghasilkan aliran udara terkontrol pada
jalan nafas pasien untuk mempertahankan ventilasi dan pemberian oksigen dalam
jangka waktu lama. (Mbaubederi, 2011. Tesis Universitas Indonesia)
6. Gurgling :
Gurgling adalah suara tambahan yang menunjukkan adanya obstruksi jalan napas,
suara (berkumur) karena ada cairan atau darah. (Buku Pertolongan Pertama Gawat
Darurat, 2019).
7. Kateter folley :
Selang yang dimasukkan ke dalam kandung kemih untuk mengalirkan urine,
pemasangan kateter dapat bersifat sementara (straight kateter) atau menetap
(folley kateter). Kateter foley digunakan untuk periode waktu yang lebih lama.
(Buku Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia, 2006)
8. CVP :
Tekanan dari darah di atrium kanan jantung dan vena kava (Buku Akses Vena
Sentral)
9. ETT :
Pipa Endotrakeal atau Endotracheal tube, disingkat sebagai ETT, adalah salah
satu alat yang digunakan untuk mengamankan jalan nafas atas. (Jurnal
Anestisiologi Indonesia).
4
1.3 Identifikasi Masalah
No. Pernyataan Harapan Konsen

1. Seorang laki-laki berusia 38 tahun


Sesuai Harapan
dirawat di ruang intensif dengan post
-
op craniotomy di ruang critical care
hari ke-1.

2. Hasil pengkajian didapatkan


penurunan kesadaran, tingkat
kesadaran sopor dengan GCS
E2M4Vt, TD 104/94 mmHg, frekuensi Tidak Sesuai √√
napas 28x/menit, frekuensi nadi Harapan
118x/menit.

3. Terpasang ETT dan ventilator mekanik


mode simV, terdengar ronchi pada
Tidak Sesuai √
bagian aspek kanan dan kiri, gurgling,
Harapan
terpasang infus NaCl 0,9%, 24 tpm,
balance cairan ±500 cc/24 jam,
terpasang kateter folley, CVP, posisi
tidur head up 30-40.

1.4 Prioritas Masalah


1. Hasil pengkajian didapatkan penurunan kesadaran, tingkat kesadaran sopor
dengan GCS E2M4Vt, TD 104/94 mmHg, frekuensi napas 28x/menit, frekuensi
nadi 118x/menit. Terpasang ETT dan ventilator mekanik mode simV, terdengar
ronchi pada bagian aspek kanan dan kiri, gurgling, terpasang infus NaCl 0,9%, 24
tpm, balance cairan ±500 cc/24 jam, terpasang kateter folley, CVP, posisi tidur
head up 30-40.

1.5 Analisis Masalah


1. Hasil pengkajian didapatkan penurunan kesadaran, tingkat kesadaran sopor
dengan GCS E2M4Vt, TD 104/94 mmHg, frekuensi napas 28x/menit, frekuensi
nadi 118x/menit.
a. Berapa nilai TTV normal ?

5
Jawaban :
a) Suhu
Pengukuran suhu dapat dilakukan secara oral, rektal atau aksila.
Rentang nilai suhu pada dewasa:
- Hipotermi : < 36oC
- Normal : 36,5 oC-37,5 oC
- Febris : > 37,5 oC-40 oC
- Hipertermi : > 40 oC
Suhu oral : 0,2-0,5 lebih rendah dari suhu rektal
Suhu aksila : 0,5 oC lebih rendah dari suhu oral
b) Nadi
Pemeriksaan denyut nadi dapat dilakukan pada daerah arteri radialis
(pergelangan tangan), arteri brakhialis (siku bagian dalam), arteri karotis
(pada leher), arteri temporalis, arteri femoralis, arteri dorsalis pedis.
Nilai nadi normal :
- Bayi baru lahir (0-1 bulan) : 120-160 x/ menit
- Bayi (1 bulan- 1 tahun) : 100-160 x/ menit
- Batita (1-3 tahun) : 90- 150 x/ menit
- Prasekolah (4-5 tahun) : 80-140 x/ menit
- Anak-anak (5-12 tahun) : 70-120 x/ menit
- Remaja (12-18 tahun) : 60-100 x/ menit
- Dewasa (> 18 tahun) : 60-100 x/ menit
c) Pernafasan
Nilai pernafasan normal :
- Bayi : 30-60 x/ menit
- Bayi tahun pertama : 25-30 x/ menit
- Bayi tahun kedua : 20-26 x/ menit
- Anak usia 14 tahun : 20-30 x/ menit
- Wanita dewasa : 18-20 x/ menit
- Laki-laki dewasa : 16-18 x/ menit
- Orang tua 50 tahun : 14-16 x/ menit
- Orang tua 70 tahun : 12-14 x/ menit
d) Tekanan darah
Nilai tekanan darah normah dewasa :

Kategori Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)


Optimal <120 < 80
Normal < 130 < 85
Normal tinggi 130-139 85-89
Hipertensi derajat ringan 140- 159 90-99
Hipertensi derajat sedang 160-179 100-109
Hipertensi derajat berat ≥180 ≥ 110
e) MAP :
Untuk menilai perfusi jaringan : sistol + 2 diastol / 3
Nilai normal : 65-100 mmHg
Kesimpulan :
Dari data pada skenario dapat diketahui bahwa tekanan darah Tn.X (38 tahun)
104/94 mmHg, tekanan darah tidak normal dimana nilai diastol meningkat,

6
frekuensi nafas meningkat 28x/menit (takipnea), frekuensi nadi meningkat
118x/menit (takikardi) serta MAP dalam rentang normal (97,3 mmHg)

Sumber : Latifin, K., Kusuma, S Y. (2014). Panduan dasar klinik keperawatan.


Malang : Gunung Samudera

b. Bagaimana cara mengukur tingkat kesadaran dan interpretasi (GCS)?


Jawaban :
Langkah awal :
1. Perhatikan : faktor-faktor yang mempengarui komunikasi, kemampuan
memberi respon, dan cedera penyerta lain
2. Observasi : membuka mata, kualitas isi pembicaraan dan kemampuan
menggerakkan sisi kiri dan kanan
3. Stimulasi : kemampuan mengeluarkan suara : diminta dengan suara biasa
atau suara keras, perangsangan nyeri
4. Berikan penilaian : ditentukan setelah pengamatan respon yang tertinggi

Penilaian kesadaran menurut Skala Glasgow (GCS) :


- Eye/ Membuka mata

Kriteria Tingkatan Skor


Membuka tanpa stimulus Spontan 4
Membuka setelah Respon terhadap suara 3
rangsangan suara/
perintah
Membuka setelah Rangsang terhadap 2
rangsang nyeri tekanan
Tidak membuka mata Tidak ada 1
sama sekali tanpa faktor
penghalang
Tertutup oleh faktor Tidak dapat dinilai NT
lokalis
Lokasi stimulisasi secara fisik :
 Tekanan pada ujung jari/ kuku
 Tekanan pada sternum menggunakan buku-buku jari
 Tekanan/ cubitan pada trapezius

- Respon verbal

Kriteria Tingakatan Skor


Menyebutkan nama, Orientasi baik 5
tempat dan tanggal
Orientasi tidak baik Bingung 4
namun komunikasi jelas

7
Kata-kata jelas Kalimat 3
Mengerang Suara 2
Tidak ada suara, tanoa Tidak ada 1
faktor pengganggu
Faktor penghalang Tidak dapat dinilai NT
komunikasi

- Respon motorik

Kriteria Tingkatan Skor


Mematuhi dua perintah Menuruti perintah 6
Mengangkat tangan Melokalisasi 5
diatas clavikula pada
rangsangan kepala/ leher
Gerakan melipat siku Fleksi normal 4
lengan dengan cepat
namun gerakan kurang
normal
Gerakan melipat siku Fleksi abnormal 3
lengan namun gerakan
tidak normal
Ekstensi siku lengan Ekstensi 2
Tidak ada gerakan Tidak ada 1
lengan/ tungkai, tanpa
faktor gangguan
Paralisis/ faktor Tidak dapat dinilai NT
penghambat lain
Tingkat kesadaran :
 Komposmentis : GCS : 14-15, kesadara normal, sadar sepenuhnya, dapat
menjawab pertanyaan tentang keadaan sekelilingnya
 Apatis : GCS : 13-12, keadaan kesadaran yang segan untuk berhubungan
dengan sekitarnya, sikapnya acuh tak acuh
 Delirium : GCS : 11-10, keadaan gelisah, disorientasi (orang, tempat,
waktu), memberontak, berteriak-teriak, berhalusianasi, kadang berkhayal.
 Somnolen/ letargi : GCS : 9-7, keadaan menurun, respon psikomotor yang
lambat, mudah tidur, namun kesadaran dapat pulih bila dirangsang (mudah
dibangunkan) tetapi jatuh tertidur lagi, mampu memberi jawaban verbal.
 Stupor/ sopor : GCS : 6-5, keadaan seperti tertidur lelap, tetapi ada respon
terhadap nyeri
 Semi coma : GCS : 4

8
 Coma : GCS : 3, tidak ada respon terhadap rangsangan apapun (tidak ada
respon kornea, reflek muntah dan mungkin tidak ada respon pupil terhadap
cahaya)

Kesimpulan : pada kasus skenario dapat disimpulkan bahwa Tn. X (38 tahun)
GCS E2M4Vt, sopor berarti keadaan pasien seperti tertidur lelap, tetapi ada
respon terhadap nyeri, verbal tidak terkaji karena terpasang ETT dan
ventilator.

Sumber :
Teasdale, G., Frej, M. (2015). Penilaian kesadaran menurut skala Glasgow.
Institut Ilmu Saraf NHS Greater Glasgow dan Clyde.

c. Apa saja faktor yang menyebabkan penurunan tingkat kesadaran ?


Kemungkinan – kemungkinan penyebab penurunan kesadaran dikenal dengan
istilah “ SEMENITE “ yaitu :

S : Sirkulasi
Meliputi stroke dan penyakit jantung lain, Syok (shock) adalah kondisi medis
tubuh yang mengancam jiwa yang diakibatkan oleh kegagalan sistem sirkulasi
darah dalam mempertahankan suplai darah yang memadai. Berkurangnya
suplai darah mengakibatkan berkurangnya suplai oksigen ke jaringan tubuh.
Jika tidak teratasi maka dapat menyebabkan kegagalan fungsi organ penting
yang dapat mengakibatkan kematian. Kegagalan sistem sirkulasi dapat
disebabkan oleh Kegagalan jantung memompa darah, terjadi pada serangan
jantung.

E : Ensefalitis
Infeksi system saraf pusat oleh bakteri, virus, atau fungi

M : Metabolik
Gangguan metabolik sistemik yang menekan kerja otak. Misalnya koma
hiperglikemia, koma hipoglikemia, koma hipoksia, koma uremikum, dan
koma hepatikum.

E : Elektrolit

9
Gangguan keseimbangan elektrolit. Misalnya diare dan muntah yang
berlebihan. Diare akut karena infeksi dapat disertai muntah-muntah, demam,
tenesmus, hematoschezia, nyeri perut dan atau kejang perut. Akibat paling
fatal dari diare yang berlangsung lama tanpa rehidrasi yang adekuat adalah
kematian akibat dehidrasi yang menimbulkan renjatan hipovolemik atau
gangguan biokimiawi berupa asidosis metabolik yang berlanjut. Seseorang
yang kekurangan cairan akan merasa haus, berat badan berkurang, mata
cekung, lidah kering, tulang pipi tampak lebih menonjol, turgor kulit menurun
serta suara menjadi serak. Keluhan dan gejala ini disebabkan oleh deplesi air
yang isotonik.

N : Neoplasma
Tumor otak baik primer maupun metastasis.

I : Intoksikasi
Penurunan kesadaran disebabkan oleh gangguan pada korteks secara
menyeluruh misalnya pada gangguan metabolik, dan dapat pula disebabkan
oleh gangguan ARAS di batang otak. Pada penurunan kesadaran, gangguan
terbagi menjadi dua, yakni gangguan derajat (kuantitas, arousal wake f ulness)
kesadaran dan gangguan isi (kualitas, awareness alertness kesadaran). Adanya
lesi yang dapat mengganggu interaksi ARAS dengan korteks serebri,
apakahlesi supratentorial, subtentorial dan metabolik akan mengakibatkan
menurunnya kesadaran.
Intoksikasi berbagai macam obat maupun bahan kimia dapat menyebabkan
penurunan kesadaran, Menentukan kelainan neurologi perlu untuk evaluasi
dan manajemen penderita. Pada penderita dengan penurunan kesadaran, dapat
ditentukan apakah akibatkelainan struktur, toksik atau metabolik. Pada koma
akibat gangguan struktur mempengaruhi fungsi ARAS langsung atau tidak
langsung.

T : Trauma
Terutama trauma kapitis : komusio, kontusio, perdarahan epidural, perdarahan
subdural, dapat pula trauma abdomen dan dada. Cedera pada dada dapat
mengurangi oksigenasi dan ventilasi walaupun terdapat airway yang paten.
E : Epilepsi

10
Pasca serangan Grand Mall atau pada status epileptikus dapat menyebabkan
penurunan kesadaran.
Sumber : Harsono. (1996). Buku ajar neurologi klinis. Yokyakarta :Gajah
Mada University Press.

2. Terpasang ETT dan ventilator mekanik mode simV, terdengar ronchi pada bagian
aspek kanan dan kiri, gurgling, terpasang infus NaCl 0,9%, 24 tpm, balance cairan
±500 cc/24 jam, terpasang kateter folley, CVP, posisi tidur head up 300 – 400.

a. Apa indikasi dan rasionalisasi posisi tidur head up 300 – 400?


Jawaban :
Indikasi :
1. Menurunkan TIK pada kasus trauma kepala, lesi otak atau gangguan
neurologi
2. Memfasilitasi venos drainage dari kepala

Tujuan : Tujuan dari posisi head up yakni untuk menurunkan tekanan


intrakranial (TIK) tanpa menurunkan CPP (Cerebral perfusion pressure), jika
elevasi lebih tinggi dari 300 maka tekanan perfusi otak menurun.

Sumber : Anggraeni, Atika Dhiah., & Kusuma, Arif Hendra. (2019).


Pengaruh posisi head up 30 derajat terhadap nyeri kepala pada pasien cedera
kepala ringan. Jurnal Ilmu Keperawatan dan Kebidanan Vol.10. No.2. hal
417-422.

b. Sebutkan dan jelaskan jenis-jenis bunyi napas ?


Jawaban :
Suara paru-paru normal, dapat dibagi lagi menjadi 4 bagian. Pembagian ini
didasarkan pada posisi stetoskop pada saat auskultasi (Ramadhan, M,Z.
2012).. Pembagian yang dimaksud adalah sebagai berikut :

1. Tracheal Sound, yaitu suara yang terdengar pada bagian tracheal, yaitu
pada bagian larik dan pangkal leher.
2. Bronchial Sound, yaitu suara yang terdengar pada bagian bronchial, yaitu
suara pada bagian percabangan antara paru-paru kanan dan paru-paru kiri.
3. Bronchovesicular Sound, suara ini didengar pada bagian ronchus, yaitu
tepat pada bagian dada sebelah kanan atau kiri.
4. Vesicular Sound, suara yang dapat didengar pada bagian vesicular, yaitu
bagian dada samping dan dada dekat perut.

11
Pada saat dilakukan auskultasi, tidak jarang dapat didengar suara paru-paru
yang normal (normal sound) namun terdengar di tempat yang tidak seharusnya
pada bagian interior dan posterior. Hal ini menyebabkan suara paru-paru yang
didengar digolongkan pada suara abnormal. Beberapa bagian dari suara
abnormal menurut Ramadhan,M,Z (2012) seperti berikut :

1. Decreased Breath Sound (Absent)


Sering ditemukan suara paru-paru tidak terdengar pada bagian dada
atau dapat dikatakan suara menghilang yang dapat berarti terdapat suatu
masalah pada bagian tersebut. Masalah yang terjadi dapat disebabkan oleh
penyakit seperti daging yang tumbuh hingga paru-paru yang mengecil.
2. Harsh Vesicular
Suara pernafasan vesikular merupakan suara pernafasan normal yang
paling umum dan terdengar hampir di semua permukaan paru-paru.
Suaranya lembut dan pitch rendah. Suara inspirasi lebih panjang dibanding
suara ekspirasi. Apabila suara terdengar lebih kuat dari biasanya dapat
berarti tergolong suara abnormal dan dapat digolongkan sebagai harsh
vesicular.
3. Ronchi
Ronchi merupakan jenis suara yang bersifat kontiniu, pitch rendah,
mirip seperti Wheeze. Tetapi dalam ronchi jalan udara lebih besar, atau
sering disebut coarse ratling sound. Suara ini menunjukkan halangan pada
saluran udara yang lebih besar oleh sekresi.

Suara paru-paru tambahan ini muncul karena adanya kelainan pada paru-
paru yang disebabkan oleh penyakit. Beberapa contoh suara tambahan pada
paru-paru menurut Ramadhan,M,Z (2012), yaitu :
1. Crackles
Crackles adalah jenis suara yang bersifat discontinuous (terputus-putus),
pendek, dan kasar. Suara ini umumnya terdengar pada proses inspirasi. Suara
crackles ini juga sering disebut dengan nama rales atau crepitation.
Suara crackles dihasilkan akibat dua proses yang terjadi. Proses pertama
yaitu ketika terdapat saluran udara yang sempit tiba-tiba terbuka hingga
menimbulkan suara mirip seperti suara “plop” yang terdengar saat bibir yang
dibasahi tiba-tiba dibuka. Apabila terjadi di daerah bronchioles maka akan
tercipta fine crackles. Proses kedua, ketika gelembung udara keluar pada
pulmonary edema. Kondisi yang berhubungan dengan terjadinya crakle :
• Asma
• Bronchiectasis

12
• Chronic bronchitis
• ARDS
• Early CHF
• Consolidation
• Interstitial lung disease
• Pulmonary edema

2. Wheeze
Suara ini dihasilkan oleh pergerakan udara turbulen melalui lumen
jalan nafas yang sempit. Wheeze merupakan jenis suara yang bersifat
kontiniu, memiliki pitch tinggi, lebih sering terdengar pada proses
ekspirasi. Terdapat dua macam suara Wheeze, yaitu :
• Suara monophonic yaitu suara yang terjadi karena adanya blok pada
satu saluran nafas, biasanya sering terjadi saat tumor menekan dinding
bronchioles.
• Suara polyphonic yaitu suara yang terjadi karena adanya halangan pada
semua saluran nafas pada saat proses ekspirasi.

Kondisi yang menyebakan wheezing :


• Asthma
• CHF
• Cronic bronchitis
• COPD
• Pulmonary edema
3. Stridor merupakan suara Wheeze pada saat inspirasi yang terdengar keras
pada trachea. Stridor menunjukkan indikasi luka pada trachea atau pada
larynx sehingga sangat dianjurkan pertolongan medis.

4. Pleural Rub merupakan suara yang terdengar menggesek atau menggeretak


yang terjadi saat permukaan pleural membengkak atau menjadi kasar dan
bergesekan satu dan lainnya. Beberapa kondisi yang menyebabkan pleural
rub:
• Pleurisy
• Pneumonia
• Tuberculosis
• Pleural effusion
Suara napas tambahan :
1. Snoring (mendengkur), karena lidah jatuh kebelakang
2. Grugling (berkumur), karena ada cairan atau darah
3. Stridor (serak/parau), karena ada sumbatan parsial pada laring/faring

Kesimpulan : Dari skenario diatas didapatkan pengkajian auskultasi suara


napas tambahan (gurgling) dan suara abnormal (ronchi) Tn.X.

13
Sumber : Kurniawan, D., Sayekti, B., & Suprayitno, E.A. (2017). Rancang
bangun alat deteksi suara paru-paru untuk menganalisa kelainan paru-paru
berbasis android. Elinvo (Electronics, Informatics, and Vocational Education),
2(2), Hal 156-16.

c. Sebutkan dan jelaskan macam-macam mode ventilator mekanik ?


Jawaban :
Mode ventilasi adalah salah satu dari beberapa merode yang digunakan
oleh ventilator untuk membantu ventilasi. Mode –mode tersebut akan
menghasilkan tekanan jalan napas, volume, dan pola-pola respirasi yang
berbeda-beda sehingga akan memberikan bantuan ventilasi yang berbeda pula.
Mode ventilasi yang diberikan tergantung dari kebutuhan pasien dan penyebab
gangguan pernapasan. Berikut beberapa mode ventilator mekanik
a. Control ventilation
Pada mode kontrol mesin secara terus menerus membantu pernafasan
pasien. Ini diberikan pada pasien yang pernafasannya masih sangat jelek,
lemah sekali atau bahkan apnea. Pada mode ini ventilator mengontrol
pasien, pernafasan diberikan ke pasien pada frekuensi dan volume yang
telah ditentukan pada ventilator, tanpa menghiraukan upaya pasien untuk
mengawali inspirasi. Bila pasien sadar, mode ini dapat menimbulkan
ansietas tinggi dan ketidaknyamanan dan bila pasien berusaha nafas
sendiri bisa terjadi fighting (tabrakan antara udara inspirasi dan ekspirasi),
tekanan dalam paru meningkat dan bisa berakibat alveoli pecah dan terjadi
pneumothorax. Contoh mode control ini adalah: CR (Controlled
Respiration), CMV (Controlled Mandatory Ventilation), IPPV (Intermitten
Positive Pressure Ventilation).
b. Assist- control ventilation
Mode ventilasi ini menjamin bahwa jumlah dan volume pernapasan
tertentu yang diberika oleh ventialator setiap menit mengharuskan pasien
untuk tidak memulai respirasi dengan frekuensi itu atau lebih. Apabila
pasien berusaha memulai pernapasan dengan frekuensi yang lebih tinggi
dari nilai minimum yang telah ditentukan, maka ventilator akan
memberikan awal pernapasan secara spontan. Assist- control ventilation
sering digunakan apabila pasien sebelumnya diintubasi, untuk bantuan
ventilasi jangka pendek misalnya post anastesi, dan sebagai mode bantuan
pernapasan apabila level ventilasi yang dibutuhkan cukup tinggi.

14
c. Synchronized intermitten mandatory ventilation (SIMV)
Mode SIMV memastikan bahwa jumlah oksigen yang telah ditentukan
sebelumnya sesuai dengan Ventilasit yang di pilih yang akan diberikan
setiap menit. Pada SIMV pengaturan volume tidal disesuaikan dengan
usaha napas spontan penderita atau jika tidak ada napas spontan volume
tidal yang akan dikeluarkan oleh akan disesuaikan dengan mengatur
frekuensi napas, sehingga volume minimal terpenuhi. Bila pasien bernapas
spontan maka bantuan ventilator untuk memberikan volume tidal tidak
ada, akan tetapi mesin akan tetap mengalirkan oksigen. Dengan demikan
dapat dihasilkan volume semenit yang lebih tinggi. SIMV digunakan untuk
menyapi pasien dari CMV dengan mengurangi secara bertahap frekuensi
napas sehingg merangsang ventilasi spontan.
d. Controlled Minute Ventilation (CMV)
Mode ventilasi ini digunakan bila napas spontan tidak dapat atau
minimal dan dapat diberikan kepada pasien dengan hipoksia berat
e. Pressure Controlledventilator (PVC)
PVC digunakan untuk melimitasi tekanan pada jalan napas pada paru-
paru dengan komplians yang rendah atau resistensi yang tinggi untuk
mencegah risikobarotraum. Dengan demikian akan diperoleh volume tidal
dan minute vulome yang bervariasi sesuai dengan perubahan komplians
dan resistensi
f. Assist Control Ventilator (ACV)
Bila pasien sudah mempunyai napas spontan maka CMV atau PVC
akan menjadi ACV. Pada saat ini beresiko untuk terjadinya hiperventilasi
g. Pressure Support
Pada keadaan ini terdapat napas spontan pasien dan tidak ada pengatur
frekuensi napas. Ventilator akan memberikan tekanan positif pada jalan
napas sebagai repon terhadap upaya pernapasan.
h. Positive End Expiratory Pressure (PEEP) dan Continuous Positive Airway
Pressure (CPAP)
Pada mode ini mesin hanya memberikan tekanan positif dan diberikan
pada pasien yang sudah bisa bernafas dengan adekuat. Tujuan pemberian
mode ini adalah untuk mencegah atelektasis dan melatih otot-otot
pernafasan sebelum pasien dilepas dari ventilator.Kesimpula

15
Kesimpulan : Tn. X dipasang ventilasi mekanik jenis SIMV yang
bertujuan untuk menyapi pasien dari CMV dengan mengurangi secara
bertahap frekuensi napas sehingg merangsang ventilasi spontan.

Sumber : Pilbem, s. (1998). Ventilasi mekanik: psikologi dan aplikasi


klinis. Lippincot Williams, volume 2.

d. Bagaimana cara menghitung balance cairan ?


Jawaban:
Pengukuran intake dan output cairan merupakan suatu tindakan yang
dilakukan untuk mengukur jumlah cairan yang keluar dari tubuh (output)
(Kusyati, dkk. 2003).
Prosedur:
a. Tentukan jumlah cairan yang masuk ke dalam tubuh. Cairan yang masuk
ke dalam tubuh melalui air minum, air dalam makanan, air hasil oksidasi
(metabolisme) dan cairan intravena.
b. Tentukan jumlah cairan yang keluar dari tubuh klien. Cairan yang keluar
dari tubuh terdiri atas urine, Insensible Water Loss (IWL), feses, dan
muntah.
c. Tentukan keseimbangan cairan tubuh klien dengan rumus: intake-output.
Hal yang perlu diperhatikan:
a. Rata-rata intake cairan per hari:
1) Air minum : 1500-2500ml
2) Air dari makanan : 750ml
3) Air hasil metabolism oksidatif : 300 ml
b. Rata-rata output cairan per hari:
1) Urine : 1-2 cc/KgBB/jam
2) Insensible Water Loss (IWL) : - Dewasa : IWL = 10 – 15cc/KgBB/hari
- Anak-anak : IWL = 30 – umur (th)
cc/KgBB/hari
- Bila ada kenaikan suhu : IWL = 200
(suhu sekarang – 36,8o C)
3) Feses : 100 – 200ml
Rumus balance cairan = intake cairan – output cairan

16
a. Intake cairan = mulai cari cairan infus, minum, kandungan cairan
dalam makanan pasien, volume obat-obatan, termasuk obat suntik, obat
drip, albumin, dll.
b. Output cairan = urine dalam 24 jam, jika pasien dipasang kateter maka
hitung dalam ukuran urinbag, jika tidak terpasang maka pasien harus
menampung urinenya sendiri, biasanya ditampung dalam air mineral
dengan ukuran 1,5 liter kemudian dari feses.
c. IWL = jumlah cairan keluar yang tidak disadari dan sulit dihitung,
yaitu jumlah cairan, dan uap hawa napas.

Interpretasi:
1. Jika hasil penghitungan balance cairan adalah positif maka menunjukkan
adanya penambahan cairan dalam tubuh yaitu cairan yang masuk lebih
banyak dari pada cairan yang keluar (I>O)
2. Jika hasil penghitungan balance cairan adalah negative maka
menunjukkan adanya pengurangan cairan dalam tubuh yaitu cairan yang
keluar lebih banyak dari pada cairan yang masuk (O>I)

Kesimpulan : Dalam kasus Tn. X memiliki balance cairan kurang lebih


500cc/24 jam. Tn. X mengalami kelebihan cairan dimana input>output.

Sumber : Asmadi. (2008). Teknik prosedur keperawatan konsep dan aplikasi


kebutuhan dasar klien. Jakarta: Salemba Medika.
Dwi, S. & Mustika, S. (2018). Pojok baca balance cairan untuk survivor
hemodialisi. Jurnal pengabdian kepada masyarakat, 2(2).

e. Bagaimana prosedur perawatan ETT pada pasien dengan penurunan kesadaran


?
Jawaban :
Prosedur Perawatan ETT pada pasien dengan penurunan Kesadaran:
Intubasi endotrakeal atau endotracheal tube (ETT) intubation adalah
metode yang direkomendasikan untuk penatalaksanaan jalan nafas pada pasien
henti nafas.
Prosedur Ini membutuhkan latihan, persiapan dan keterampilan. Intubasi
endotrakeal adalah prosedur dua tangan di mana perawat memegang
laringoskop dengan tangan kiri dan memposisikan kepala pasien dengan
tangan kanan. Setelah kepala ditengahdahkan ke belakang dan posisi terakhir

17
terlihat maka pipa endotrakeal (ETT) dimasukkan melalui sisi kanan mulut
yang menyebabkan pembukaan glotis melalui pita suara. Ada beberapa
keadaan dimana intubasi endotrakeal (ETT) lebih direkomendasikan.

Indikasi intubasi endotrakeal (ETT) meliputi :


 Melindungi jalan nafas
 Menghilangkan obstruksi
 Rute untuk ventilasi mekanik dan pemberian oksigen
 Gagal nafas
 Stok
 Hipertensi intrakranial
 Mengurangi usaha napas
 Memfasilitasi pengisapan jalan napas

Peran asisten selama prosedur intubasi:


 Memberikan peralatan pada tenaga kesehatan yang akan melakukan
prosedur intubasi
 Memegang kepala pasien pada posisi intubasi
 Menahan sudut kanan mulut tetap terbuka selama intubasi

SOP Tindakan Pemasangan ETT (Endo Tracheal Tube)/ Intubasi


A. Pengertian
Pemasangan Endotracheal Tube (ETT) atau Intubasi adalah
memasukkan pipa jalan nafas buatan kedalam trachea melalui mulut.
Tindakan Intubasi baru dapat di lakukan bila : cara lain untuk
membebaskan jalan nafas (airway) gagal, perlu memberikan nafas buatan
dalam jangka panjang, ada resiko besar terjadi aspirasi ke paru.
B. Tujuan
1. Membebaskan jalan nafas
2. Untuk pemberian pernafasan mekanis (dengan ventilator).
C. Persiapan alat yang digunakan
1. Laryngoscope
2. Endotracheal tube (ETT) sesuai ukuran (Pria : no. 7,7.5, 8 ) (Wanita
no. 6.5, 7)
3. Mandrin
4. Xylocain jelly

18
5. Sarung tangan steril
6. Xylocain spray
7. Spuit 10 cc
8. Orofaringeal tube (guedel)
9. Stetoskop
10. Bag Valve Mask (ambubag)
11. Suction kateter
12. Plester
13. Gunting
14. Masker

D. Persiapan Tindakan

1. Posisi pasien terlentang dengan kepala ekstensi (bila dimungkinkan


pasien di tidurkan dengan obat pelumpuh otot yang sesuai).
2. Petugas mencuci tangan
3. Petugas memakai masker dan sarung tangan
4. Melakukan suction
5. Melakukan intubasi dan menyiapkan mesin pernafasan (Ventilator)
 Buka blade pegang tangkai laryngoskop dengan tenang
 Buka mulut pasien
 Masukan blade pelan-pelan menyusuri dasar lidah-ujung blade sudah
sampai di pangkal lidah- geser lidah pelan-pelan ke arah kiri
 Angkat tangkai laryngoskop ke depan sehingga menyangkut ke seluruh
lidah ke depan sehingga rona glotis terlihat
 Ambil pipa ETT sesuai ukuran yang sudah di tentukan sebelumnya
 Masukkan dari sudut mulut kanan arahkan ujung ETT menyusur ke rima
glotis masuk ke cela pita suara
 Dorong pelan sehingga seluruh balon ETT di bawah pita suara
 Cabut stylet
19
 Tiup balon ETT sesuai volumenya
 Cek adakah suara keluar dari pipa ETT dengan Menghentak dada pasien
dengan ambu bag
 Cek ulang dengan stetoskop dan dengarkan aliran udara yang masuk
leawt ETT apakah sama antara paru kanan dan kiri
 Fiksasi ETT dengan Plester
 Hubungkan ETT dengan konektor sumber oksigen
5. Pernafasan yang adekuat dapat di monitor melalui cek BGA (Blood Gas
Analysis) ± ½ – 1jam setelah intubasi selesai.
6. Mencuci tangan sesudah melakukan intubasi
7. Catat respon pernafasan pasien pada mesin ventilator

Sumber : Prasenohadi. (2010). Manajemen jalan napas; pulmonology


intervensi dan gawat darurat napas. Jakarta: FK UI.

f. Apa dampak yang timbul jika terpasang ETT, ventilator mekanik, dan kateter
folley ?
Jawaban :
1. ETT
Komplikasi yang sering terjadi pada intubasi antara lain trauma jalan
nafas, salah letak dari ETT, dan tidak berfungsinya ETT. Komplikasi yang
biasa terjadi adalah:
A. Saat Intubasi
 Salah letak : Intubasi esofagus, intubasi endobronkhial, posisi balon di
laring.
 Trauma jalan nafas : Kerusakan gigi, laserasi mukosa bibir dan lidah,
dislokasi mandibula, luka daerah retrofaring.
 Reflek fisiologi : Hipertensi, takikardi, hipertense intra kranial dan intra
okuler, laringospasme.
 Kebocoran balon.

B. Saat ETT di tempatkan


 Malposisi (kesalahan letak)
 Trauma jalan nafas : inflamasi dan laserasi mukosa, luka lecet mukosa
hidung.
 Kelainan fungsi : Sumbatan ETT.

C. Setelah ekstubasi
 Trauma jalan nafas : Udema dan stenosis (glotis, subglotis dan
trakhea), sesak, aspirasi, nyeri tenggorokan.
 Laringospasme.

20
2. Ventilator mekanik
A. Komplikasi saluran nafas
1) Aspirasi
2) Trauma jalan nafas, kerusakan pipa suara
3) Dislokasi pipa ETT
4) Infeksi

B. Komplikasi paru
1) Barotrauma, volutrauma, biotrauma
2) Keracunan Oksigen

C. Komplikasi sistem hemodinamik


1) Penurunan curah jantung
2) Perfusi jaringan terganggu
3) Balance cairan positif

D. Komplikasi saluran cerna


1) Distensi abdomen
2) Hipomutilitas usus

E. Gangguan fungsi ginjal


F. Sedasi dan kelumpuhan otot nafas
G. Gangguan psikososial

3. Kateter Folley
Komplikasi utama yang dapat terjadi pada pemasangan kateter adalah
infeksi dan trauma. Setelah 48 jam pemasangan kateter, kebanyakan
bakteri akan mulai berkolonisasi di dalam kateter, yang dapat memicu
terjadinya infeksi. Komplikasi yang dapat timbul akibat kateter uretra yang
terpasang di antaranya:
 Masalah pada kateter: alergi terhadap bahan kateter, kebocoran urin,
obstruksi kateter
 Masalah pada uretra: striktur uretra, perforasi uretra, perdarahan
 Masalah saluran kemih lainnya: infeksi pada saluran kemih, termasuk
uretritis, sistitis, pielonefritis, dan bakteremia transien, parafimosis
yang disebabkan oleh kegagalan kuit preputium untuk kembali ke
posisi awal setelah dilakukan pemasangan kateter, batu saluran kemih,

21
gross hematuria, kerusakan ginjal. Kerusakan ginjal umumnya terjadi
pada pasien yang menggunakan kateter uretrasecara jangka panjang
Sumber : Sartika, D. (2012). Mengenal Kateterisasi Urine Dalam Bidang
Keperawatan. Jurnal Kesehatan, 50-62.

g. Apa indikasi dan rasionalisasi dilakukan CVP ?


Jawaban :
Tekanan vena sentral (central venous pressure, CVP) adalah tekanan
dari darah di atrium kanan jantung dan vena kava. Nilai normal berkisar 3-15
cm air (3-10 mmHg) (Higgins, 2004). Pengukuran dapat dilakukan di dua titik,
yaitu sudut sternal dan titik midaksila. CVP memberikan informasi mengenai
hal-hal dibawah ini (Higgins, 2004) :
1. Volume darah dalam hubungannya dengan kapasitas saat ini
2. Tonus vaskuler
3. Keefektifan fungsi jantung kanan
4. Resistensi vaskular paru
5. Tekanan intratoraks

Indikasi pemasangan CVP:


1. Pasien dengan trauma berat disertai dengan perdarahan yang banyak yang
dapat menimbulkan syok
2. Pasien dengan tindakan pembedahan yang besar
3. Pasien dengan kelainan ginjal
4. Pasien dengan gagal jantung

Sumber :
Tinia, Stella. (2010). Akses vena sentral perawatan dan tata laksana. Jakarta:
Erlangga.

h. Apa indikasi dan rasionalisasi kateter folley ?


Jawaban:
Menurut Hooton et al (2010), jenis-jenis pemasangan kateter urine terdiri dari
kateter indwelling, kateter intermitten dan kateter suprapubik. Kateter indwelling
atau disebut juga dengan kateter folley adalah alat medis yang biasanya disertai
dengan penampungan urine yang berkelanjutan pada pasien yang mengalami
disfungsi bladder. Kateter folley ditempatkan dalam kandung kemih untuk
22
beberapa mingggu pemakaian sebelum dilakukan pergantian kateter. Pemasangan
kateter ini dilakukan sampai pasien mampu berkemih dengan tuntas dan spontan
atau selama pengukuran urine akurat dibutuhkan (Potter dan Perry, 2006).
Tujuan pemasangan kateter folley :
1. Menentukan perubahan jumlah urine sisa dalam kandung kemih setelah pasien
buang air kecil
2. Memintas suatu obstruksi yang menyumbat aliran urine
3. Menghasilkan drainase pasca operatif pada kandung kemih, daerah vagina atau
prostat
4. Memantau pengeluaran urine setiap jam pada pasien yang sakit berat (Hooton
et al, 2010; Makic et al, 2011).

Indikasi pemasangan kateter folley :


1. Retensi/obstruksi urine
2. Dibutuhkan pengukuran input dan output cairan yang akurat pada pasien yang
tidak dapat menggunakan urinal
3. Emergensi bedah
4. Trauma mayor
5. Prosedur urologi
6. Irigasi bladder
7. Manajemen pressure ulcer derajat III atau lebih dan
8. Perawatan yang nyaman pada pasien penyakit terminal
9. Skin rash, ulcer dan luka yang iritatif apabila kontak dengan urin

Sumber : Sepalanita, W. (2012). Pengaruh perawatan kateter urine indwelling


model american association of critical care nurses (AACN) terhadap bakteriuria
di rsu raden mattaher jambi. Tesis. Universitas Indonesia

3. Seorang laki-laki berusia 38 tahun dirawat di ruang intensif dengan post op


craniotomy di ruang critical care hari ke-1.
a. Apa saja indikasi dilakukannya operasi craniotomy ?
Jawaban :
Indikasi Kraniotomi
1. Segera (emergency)
- Hematoma ekstraserebral (epidura, subdura) dengan efek desak ruang
(ketebalan lebih dari 10 mm, dan atau dengan garis tengah yang

23
bergeser lebih dari 5 mm, dan atau ada penyempitan cisterna
perimencephalic atau ventriculus tertius). ·
- Hematoma intraserebral dengan efek pendesakan dan di lokasi yang
dapat dilakukan tindakan bedah.
- Fraktur terbuka, dengan fragmen impresi, dengan atau tanpa robekan
dura.
- Tanda-tanda kompresi saraf optik.
2. Elektif / terprogram ·
- Fraktur impresi tertutup, dengan defisit neurologik minimal dan pasien
stabil.
- Hematoma intrakranial dengan efek masa dan defisit neurologik yang
minimal, dan pasien stabil.
Sumber : Hendra, Teguh, P. (2012). Angka kematian pasien kraniotomi di
ICU dan HCU RSUP DR. Kariadi. Karya Tulis Ilmiah. Universitas
Diponegoro.

b. Bagaimana perawatan pada pasien post op craniotomy ?


Jawaban :
Tujuan perawatan post operatif adalah untuk menghilangkan rasa nyeri,
sedini mungkin mengidentifikasi masalah dan mengatasinya sedini mungkin.
Mengantisipasi dan mencegah terjadinya kornplikasi lebih baik dari pada
sudah terjadi komplikasi. Yang perlu dilakukan pada perawatan post operatif ;
1. Memberi dukungan pada pasien.. Menghilangkan rasa sakit.. Antisipasi
dan atasi segera komplikasi.
2. Memelihara komunikasi yang baik dengan tim. Komunikasi yang tidak
baik merupakan masalah yang sering rnenyebabkan kegagalan dalam
perawatan post operatif.
3. Rencana perawatan. Menyesuaikan perawatan dengan kebutuhan pasien.
Setiap pasien membutuhkan modifikasi yang sesuai dengan protokol
perawatan, yang mempunyai-problem unik tersendiri.
4. Jika akan dilakukan inspeksi pada luka, maka harus dilakukan dalam
keadaan steril.

Perawatan pasca pembedahan


1. Tindakan keperawatan post operasi
a). Monitor kesadaran, tanda – tanda vital, CVP, intake dan out
put
b). Observasi dan catat sifat drain (warna, jumlah) drainage.

24
c). Dalam mengatur dan menggerakkan posisi pasien harus hati –
hati jangan sampai drain tercabut.
2. Perawatan luka operasi secara steril
3. Makanan: pada pasien pasca pembedahan biasanya tidak
diperkenankan menelan makanan sesudah pembedahan, makanan
yang dianjurkan pada pasien post operasi adalah makanan tinggi
protein dan vitamin C. Protein sangat diperlukan pada proses
penyembuhan luka, sedangkan vitamin C yang mengandung
antioksidan membantu meningkatkan daya tahan tubuh untuk
pencegahan infeksi.
Pembatasan diit yang dilakukan adalah NPO (nothing peroral)
Biasanya makanan baru diberikan jika:
a. Perut tidak kembung
b. Peristaltik usus normal
c. Flatus positif
d. Bowel movement positif
5. Mobilisasi Biasanya pasien diposisikan untuk berbaring ditempat tidur
agar keadaanya stabil.Biasanya posisi awal adalah terlentang, tapi juga
harus tetap dilakukan perubahan posisi agar tidak terjadi dekubitus. Pasien
yang menjalani pembedahan abdomen dianjurkan untuk melakukan
ambulasi dini.
6. Pemenuhan kebutuhan eliminasi
a. Sistem Perkemihan
1) Control volunteer fungsi perkemihan kembali setelah 6 – 8 jam post
anesthesia inhalasi, IV, spinal
2) Anesthesia, infus IV, manipulasi operasi → retensio urine.
3) Pencegahan : inpeksi, palpasi, perkusi → abdomen bawah (distensi
buli – buli)
4) Dower catheter → kaji warna, jumlah urine, out put urine <30
ml/jam → komplikasi ginjal
b. System Gastrointestinal
1) Mual muntah → 40 % klien dengan GA selama 24 jam pertama
dapat menyebabkan stress dan iritasi luka GI dan dapat
meningkatkan TIK pada bedah kepala dan leher serta TIO
mneingkat
2) Kaji fungsi gastro intestinal dengan auskultasi suara usus
3) Kaji paralitik ileus → suara usus (-), distensi abdomen, tidak flatus
4) Jumlah warna, konsistensi isi lambung tiap 6 – 8 jam
5) Insersi NGT intra operatif mencegah komplikasi post operatif
dengan decompresi dan drainase lambung :
 Meningkatkan istirahat.

25
 Memberi kesempatan penyembuhan pada GI trac bawah.
 Memonitor perdarahan.
 Mencegah obstruksi usus.
 Irigasi atau pemberian obat.
Sumber: Lestari, S. (2006). Perawatan post operatif. Padang: FK Universitas
Andalas.

1.6 Asuhan Keperawatan

1.7 Meninjau Ulang Masalah dan Menyusun Keterkaitan antar Masalah

Post operasi
craniotomy

Posisi tidur head Penurunan


up 300 – 400 kesadaran (sopor)

Terpasang kateter Terpasang ETT dan Terpasang infus NaCl


folley Ventilator Mekanik 0,9 %

Terdengar gurgling
dan ronchi pada
apeks kanan dan kiri

1.7 Hipotesis

26
Tn.X mengalami penurunan kesadaran sehingga masalah keperawatan yang dapat
muncul yakni bersihan jalan napas tidak efektif, risiko aspirasi, dan risiko infeksi.

1.9 Kerangka Konsep


Post Op Craniotomy

Risiko Penurununan Kesadaran


peningkatan TIK (Sopor, GCS E2M4Vt)

Posisi head up
300-400
Penurunan elastisitas Meningkatnya sekresi
pembuluh darah asam urat

Meningkatnya pembuluh Penumpukkan Purin


darah/resistensi perifer

Meningkatnya tekanan Terjadi peradangan


darah (Hipertensi) pada sendi ditandi
kemerahan dan nyeri
yang hilang timbul
Konsumsi Amlodipin

NSAID Nyeri Imobilitas

1.10 Sintesis

27
1.11 Learning issue
What I What I What I Have
Topik
Know Don’t Know To Prove

TTV normal √

Mengukur tingkat kesadaran (GCS) dan



interpretasi

Faktor-faktor penyebab penurunan



tingkat kesadaran

Indikasi dan rasionalisasi posisi tiudr



head up 30-40

Jenis-jenis bunyi napas √

Macam-macam mode ventilator



mekanik

Cara menghitung balance cairan √

Prosedur perawatan ETT √

Dampak yang timbul jika terpasang


ETT, ventilator mekanik dan kateter √
folley

Indikasi dan rasionalisasi dilakukan



CVP

Indikasi dan rasionalisasi kateter folley √

Indikasi dilakukan operasi craniotomy √

Perawatan pada pasien post op



craniotomy

BAB II
KESIMPULAN

1.1 Kesimpulan

28
Proses penuaan membuat terjadinya penurunan fungsi tubuh, salah satunya pada sistem
muskuloskletal. Terjadinya penumpukan purin pada sendi akan berakibat pada timbulnya
pembengkakan, kemerahan dan menimbulkan rasa nyeri, sehingga aktivitas lansia dapat
terhambat. Masalah keperawatan yang muncul antara lain nyeri kronis dan gangguan
mobilitas fisik. Tindakan yang dapat dilakukan sebagai implementasi keperawatan antara lain
kompres hangat mengunakan jahe untuk meneredakan keluhan yang dirasakan tersebut,
sehingga lansia dapat kembali beraktivitas secara mandiri. Selain itu, pemberian penkes pada
lansia dan keluarga pun dapat diberikan untuk meningkatkan pengetahuan sehingga dapat
merawat klien.

DAFTAR PUSTAKA

29
Anggraeni, Atika Dhiah., & Kusuma, Arif Hendra. (2019). Pengaruh posisi head up 30
derajat terhadap nyeri kepala pada pasien cedera kepala ringan. Jurnal Ilmu
Keperawatan dan Kebidanan Vol.10. No.2. hal 417-422.
Asmadi. (2008). Teknik prosedur keperawatan konsep dan aplikasi kebutuhan dasar klien.
Jakarta: Salemba Medika.
Dwi, S. & Mustika, S. (2018). Pojok baca balance cairan untuk survivor hemodialisi. Jurnal
pengabdian kepada masyarakat, Vol 2. No.2.
Harsono. (1996). Buku ajar neurologi klinis. Yokyakarta :Gajah Mada University Press.
Hendra, Teguh, P. (2012). Angka kematian pasien kraniotomi di ICU dan HCU RSUP DR.
Karidari. Karya Tulis Ilmiah. Universitas Diponegoro.
Hidayat. (2006). Pengantar kebutuhan Dasar manusia. Aplikasi konsep dan proses
keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.
Kurniawan, D., Sayekti, B., & Suprayitno, E.A. (2017). Rancang bangun alat deteksi suara
paru-paru untuk menganalisa kelainan paru-paru berbasis android. Elinvo (Electronics,
Informatics, and Vocational Education), 2(2), Hal 156-16.
Kurniati, A. Trisyani, Y & Theresia, S, I, M. (2018). Keperawatan gawat darurat dan
bencana sheehy, ed. Indonesia pertama. Indonesia: Elsevier.
Latifin, K., Kusuma, S Y. (2014). Panduan dasar klinik keperawatan. Malang : Gunung
Samudera
Lestari, S. (2006). Perawatan post operatif. Padang: FK Universitas Andalas.
Morgan, G., Edward, S., dan Mikhail. (2006). Clinical anesthesiology. New York: MC Graw
Hill.
Pilbem, s. (1998). Ventilasi mekanik: psikologi dan aplikasi klinis. Lippincot Williams,
Volume 2.
Prasenohadi. (2010). Manajemen jalan napas; pulmonology intervensi dan gawat darurat
napas. Jakarta: FK UI.
Rini, I. S, dkk. (2019). Pertolongan pertama gawat darurat. Malang: Universitas Brawijaya
Press.
Sartika, D. (2012). Mengenal Kateterisasi Urine Dalam Bidang Keperawatan. Jurnal
Kesehatan, 50-62.
Sepalanita, W. (2012). Pengaruh perawatan kateter urine indwelling model american
association of critical care nurses (AACN) terhadap bakteriuria di rsu raden mattaher
jambi. Tesis. Universitas Indonesia.

30
Teasdale, G., Frej, M. (2015). Penilaian kesadaran menurut skala glasgow. Institut Ilmu
Saraf NHS Greater Glasgow dan Clyde.
Tinia, Stella. (2010). Akses vena sentral perawatan dan tata laksana. Jakarta: Erlangga

31

Anda mungkin juga menyukai