Anda di halaman 1dari 49

LAPORAN LENGKAP

FITOKIMIA I
“EKSTRAKSI DAN SKRINING FITOKIMIA AKAR ALANG-ALANG
(Imperata cylindrica. L)”

OLEH:
TRANSFER A 2018
KELOMPOK V

ASISTEN: AYULISTIKA SUMANTRI SULTAN

LABORATORIUM BIOLOGI FARMASI


SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI
MAKASSAR
2019
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Masyarakat di Indonesia telah lama mengenal dan menggunakan
tanaman berkhasiat obat sebagai obat penanggulangan masalah
kesehatan. Pengetahuan tentang tanaman berkhasiat obat berdasarkan
pada pengalaman dan keterampilan vang diwariskan secara turun
temurun dari generasi satu ke generasi berikutnya.
Saat ini banyak obat tradisional yang digunakan di Indonesia
sebagai obat untuk menurunkan demam, reumatik, kencing manis dan
lainnya. Salah satu abat tradisional yang telah diteliti memiliki efek
tersebut adalah akar alang-alang (Imperata cylndrica. L). Pada penelitian
Yulinah dkk, (2011). Akar alang-alang (Imperata cylndrica. L) memiliki
kandungan mannitol, sukrosa, glukosa, malic acid, sitrit acid, coixol,
arundoin, silindrin, fernenol, simiarenol, saponin, tannin, polifenol.
Simplisia adalah tanaman yang tidak mengalami pengolahan
apapun kecuali dinyatakan lain merupakan bahan yang dikeringkan (FI I,
1979), Proses pembuatan simplisia sangat memepengaruhi kandungan
kimia yang nanti dihasilkan sehingga sangat penting untuk diketahui
proses pembuatan simplisia yang baik dan benar. Banyaknya manfaat dan
kandungan kimia yang terkandung dalam akar alang-alang,
menyebabkan perlunya dilakukan suatu proses mulai dari pembuatan
simplia, identifikasi, ekstraksi dan pengujian KLT yang baik dan benar
untuk menghasilkan bahan obat dari alam yang nantinya akan dijadikan
precursor awal obat tradisional dan bisa juga dijadikan obat semi sintesis.
1.2 Maksud dan Tujuan
1.2.1 Maksud Percobaan
1. Mengetahui dan memahami proses pembuatan simplisia yang baik dan
benar
2. Mengetahui dan memahami proses ekstraksi akar alang-alang
(Imperata cylndrica. L)
3. Mengetahui dan memahami skrining fitokimia dari akar alang-alang
(Imperata cylndrica. L)
4. Mengetahui dan memahami proses partisi akar alang-alang (Imperata
cylndrica. L)
5. Mengetahui dan memahani pengujian KLT (Kromatografi Lapis Tipis)
dari akar alang-alang (Imperata cylndrica. L)
1.2.2 Tujuan Percobaan
1. Mampu membuat simplisia akar alang-alang (Imperata cylndrica. L)
2. Mampu mengekstraksi akar alang-alang (Imperata cylndrica. L) dengan
menggunakan metode maserasi.
3. Mampu menentukan kandungan senyawa kimia di dalam akar alang-
alang (Imperata cylndrica. L)
4. Mampu mempartisi sampel dengan menggunakan pelarut N-heksan
dan etil asetat
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Uraiaan Tanaman

II.1.1 Klasifikasi

Klasifikasi tanaman (Wunderlin, Franck, and Essig, 2018)

Kedudukan taksonomi :
Kingdom : Plantae
Filum : Magnoliophyta
Kelas : Liliopsida
Ordo : Cyperales Famili : Poaceae
Genus : Imperata
Species :Imperata cylindrica (L.)
II.1.2 Deskripsi Tanaman

Alang- alang atau Imperata cylindrica (L.) Beauv merupakan salah


satu jenis rumput yang tumbuh tersebar di seluruh daerah tropis dan
subtropis di dunia. Alang-alang merupakan gulma yang biasanya
menyerang lahan pertanian dan dapat menghambat atau mengganggu
pertumbuhan suatu tanaman, umumnya alang-alang dapat dimanfaatkan
sebagai pakan ternak. Alang- alang memiliki ciri fisik yaitu : daun yang
masih muda berwarna hijau, sedangkan daun yang lebih tua berwarna
oranye-coklat. Alang-alang dapat tumbuh hingga membentuk tandan yang
tipis atau padat. Setiap tandan berisi beberapa daun yang tumbuh dari
permukaan tanah (Macdonald et al., 2006), bagian pinggir daun datar dan
bergerigi, dengan pelepah putih menonjol di bagian tengah, tinggi daun
dapat mencapai 2-6 kaki, bunga dari alang-alang berwarna putih dan
berbentuk seperti bulu. Rimpang alang- alang berwarna putih,
tersegmentasi (memiliki simpul), dan ada yang bercabang, ujung rimpang
tajam dan bisa menembus akar tanaman lainnya (Sellers et al., 2015).
II.1.3 Kandungan Kimia
Alang-alang memiliki rasa manis dan dapat memberikan rasa sejuk.
Tanaman alang-alang memiliki beberapa kandungan metabolit seperti
manitol, sukrosa, glukosa, coixol, anemonin, asam kresik, logam alkali,
saponin, ,tanin dan polifenol (Hariana, 2013), sedangkanakar alang-alang
diketahui memiliki beberapa kandungan metabolit antara lain: arundoin,
fernenol, isoarborinol, sillindrin, simiarenol, kampesterol, stigmasterol, β-
sitosterol, skopoletin, skopolin, p-hidroksibenzaldehida ,katekol, asam
klorogenat, asam isoklorogenat, asam p-kumarat, asam neoklorogenat,
asam asetat, asam oksalat, asam d-malat, asam sitrat, potassium (0,75%
dari berat kering), kalsium, 5-hidroksitriptamin (Herbie, 2015), kalium,
flavonoid, graminone B (Delima and Yemima, 2014).
II.1.4 Manfaat Farmakologi
Akar alang-alang memiliki efek farmakologis antara lain diuretik
(peluruh kencing), mengobati kencing berdarah, kencing nanah, muntah
darah, mimisan, hepatitis akut dan radang ginjal akut (Hariana, 2013),
juga hipertensi (Delima and Yemima, 2014).
II.2 Definisi Simplisia
Simplisia adalah bahan alam yang telah dikeringkan yang
digunakan untuk pengobatan dan belum mengalami pengolahan, kecuali
dinyatakan lain suhu pengeringan tidak lebih dari 60 oC (BPOM, 2014).
II.2.1 Jenis-Jenis Simplisia
1. Simplisia nabati: simplisia yang berupa tumbuhan utuh, bagian
tumbuhan atau eksudat tumbuhan. Eksudat tumbuhan adalah isi sel
yang secara spontan keluar dari tumbuhan atau isi sel yang dengan
cara tertentu dipisahkan dari tumbuhannya dan belum berupa senyawa
kimia murni.
2. Simplisia hewani.
3. Simplisia pelikan (mineral).
Simplisia yang aman dan berkhasiat adalah simplisia yang tidak
mengandung bahaya kimia, mikrobiologis, dan bahaya fisik, serta
mengandung zat aktif yang berkhasiat. Ciri simplisia yang baik adalah
dalam kondisi kering (kadar air < 10%), untuk simplisia daun, bila diremas
bergemerisik dan berubah menjadi serpihan, simplisia bunga bila diremas
bergemerisik dan berubah menjadi serpihan atau mudah dipatahkan, dan
simplisia buah dan rimpang (irisan) bila diremas mudah dipatahkan. Ciri
lain simplisia yang baik adalah tidak berjamur, dan berbau khas
menyerupai bahan segarnya (Herawati, Nuraida, dan Sumarto, 2012).
Proses pemanenan dan preparasi simplisia merupakan proses
yang menentukan mutu simplisia dalam berbagai artian, yaitu komposisi
senyawa kandungan, kontminasi dan stabilitas bahan. Namun demikian
simplisia sebagai produk olahan, variasi senyawa kandungan dapat di
perkecil, diatur atau dikonstankan (Depkes RI, 2000).
Dalam hal simplisia sebagai bahan baku dan produk siap konsumsi
langsung dapat dipertimbangkan 3 konsep untuk menyusun parameter
standar umum:
1. Simplisia sebagai bahan kefarmasian seharusnya memenuhi 3
parameter mutu umum suatu bahan (material), yaitu kebenaran jenis
(identifikasi), kemurnian (bebas dari kontaminasi kimia dan biologis)
serta aturan penstabilan (wadah, penyimpanan dan transportasi).
2. Simplisia sebagai bahan dan produk konsumsi manusia sebagai obat
tetap diupayakan memenuhi 3 paradigma produk kefarmasian, yaitu
Quality–Safety-Efficacy (mutuaman-manfaat).
3. Simplisia sebagai bahan dengan kandungan kimia yang bertanggung
jawab terhadap respon biologis harus mempunyai spesifikasi kimia,
yaitu informasi komposisi (jenis dan kadar ) senyawa kandungan.
(Depkes RI, 2000).
Standarisasi suatu simplisia tidak lain pemenuhan terhadap
persyaratan sebagai bahan dan penetapan nilai berbagai parameter
dari produk seperti yang ditetapkan sebelumnya. Standarisasi simplisia
mempunyai pengertian bahwa simplisia yang akan digunakan yang
tercantum dalam monografi terbitan resmi Departemen Kesehatan
(Materia Medika Indonesia). Sedangkan sebagai produk yang langsung
dikonsumsi (serbuk jamu dsb.) masih harus memenuhi persyaratan
produk kefarmasian sesuai dengan peraturan yang berlaku. (Depkes
RI, 2000).
II.2.2 Proses Pembuatan Simplisia
Proses pembuatan simplisia atau penyiapan sampel memerlukan
berbagai tahapan, yaitu (Depkes RI, 1985):
1. Pengumpulan Bahan Baku meliputi:
a. Umur tumbuhan atau bagian tumbuhan
Umur tumbuhan atau bagian tumbuhan yang dipanen berpengaruh
pada kadarsenyawa aktif. Ini berartu mutu dari bahan baku yang
dihasilkan tidak sama karena umur umur pada saat panen tidak
sama.
b. Jenis (Spesies)
Perbedaan jenis tumbuhan akan memberikan perbedaan
kandungan senyawa aktif yang berarti mutu bahan baku yang
dihasilkan akan berbeda pula. Sering terjadi kekeliruan dalam
menetapkan suatu jenis tumbuhan, karena dua jenis tumbuhan
dalam satu marga (genus) sering mempunyai bentuk morfologi
yang sama.
c. Waktu panen
Waktu panen sangat erat hubungannya dengan pernbentukan
senyawa aktif di dalam bagian tanaman yang akan dipanen. Waktu
panen yang tepat pada saat bagian tanaman tersebut mengandung
senyawa aktif dalam jumlah yang terbesar. Senyawa aktif terbentuk
secara maksimal di dalam bagian tanaman atau tanaman pada
umur tertentu. Dengan demikian untuk menentukan waktu panen
dalam sehari perlu dipertimbangkan stabilitas kimiawi dan fisik
senyawa aktif dalam simplisia terhadap panas sinar
matahari.Panen dapat dilakukan dengan tangan, menggunakan
alat atau menggunakan mesin. Dalam hal ini ketrampilan pemetik
diperlukan, agar diperoleh simplisia yang benar, tidak tercampur
dengan bagian lain dan tidak merusak tanaman induk. Alat atau
mesin yang digunakan untuk memetik perlu dipilih yang sesuai. Alat
yang terbuat dari logam sebaiknya tidak digunakan bila
diperkirakan akan merusak senyawa aktif siniplisia seperti fenol,
glikosida dan sebagainya.
d. Lingkungan tempat tumbuh
Lingkungan tempat tumbuh yang berbeda sering kali
mengakibatkan perbedaan kadar kandungan senyawa aktif.
Pertumbuhan tumbuhan dipengaruhi tinggi tempat, keadaan tanah
dan cuaca.
2. Sortasi Basah
Sortasi basah dilakukan untuk memisahkan kotoran-kotoran atau
bahan-bahan asing lainnya dari bahan baku. Misalnya pada simplisia
yang dibuat dari akar suatu tanaman obat, bahan-bahan asing seperti
tanah, kerikil, rumput, batang, daun, akar yang telah rusak, serta
pengotoran lainnya harus dibuang. Tanah mengandung bermacam-
macam mikroba dalam jumlah yang tinggi, oleh karena itu
pembersihan dari tanah yang terikut dapat mengurangi jumlah mikroba
awal.
3. Pencucian
Pencucian dilakukan untuk menghilangkan tanah dan pengotoran
lainnya yang melekat pada bahan simplisia. Pencucian tidak dapat
membersihkan simplisia dari semua mikroba karena air pencucian
yang digunakan biasanya mengandung juga sejumlah mikroba. Cara
sortasi dan pencucian sangat mempengaruhi jenis dan jumlah rnikroba
awal simplisia.
4. Perajangan
Beberapa jenis bahan baku perlu mengalami proses perajangan.
Perajangan bahan baku dilakukan untuk mempermudah proses
pengeringan, pengepakan, dan penggilingan. Tanaman yang baru
diambil jangan langsung dirajang tetapi dijemur dalam keadaan utuh
selama1 hari. Perajangan dapat dilakuakn dengan pisau, dengan alat
atau mesin perajang khusus sehingga diperoleh irisan tipis atau
potongan dengan ukuran yang dikehendaki.
5. Pengeringan
Pengeringan perlu dilakukan untuk mendapatkan simplisia yang
tidak mudah rusak, sehingga dapat disimpan dalam waktu yang lebih
lama. Dengan mengurangi kadar air dan menghentikan reaksi
enzimatik, penurunan mutu atau perusakkan simplisia dapat dicegah.
Karena enzim tertentu dalam sel, masih dapat bekerja menguraikan
senyawa aktif sesaat setelah sel mati dan selama masih mengandung
kadar air tertentu. Proses pengeringan sudah dapat menghentikan
proses enzimatik dalam sel bila kadar airnya dapat mencapai <10%.
Terdapat 2 metode pengeringan yaitu pengeringan alami dan
pengeringan buatan.
a. Pengeringan alamiah
Tergantung dari senyawa aktif yang dikandung dalam bagian
tanaman yang dikeringkan, dapat dilakukan dua cara
pengeringan:
 Dengan panas sinar matahari langsung
Cara ini dilakukanuntuk mengeringkan bagian tanaman yang
relatif keras seperti kayu, kulit kayu, biji dan sebagainya, dan
rnengandung senyawa aktif yang relatif stabil. Pengeringan
dengansinar matahari yang banyak dipraktekkan di Indonesia
merupakan suatu cara yang mudah dan murah, yang dilakukan
dengan cara membiarkan bagian yang telah dipotong-potong di
udara terbuka di atas tampah-tampah, tanpakondisi yang
terkontrol sepertl suhu, kelembaban dan aliran udara. Dengan
cara ini kecepatan pengeringan sangattergantung kepada
keadaan iklim, sehingga cara ini hanyabaik dilakukan di daerah
yang udaranya panas atau kelembabannya rendah, serta tidak
turun hujan. Hujan atau cuaca yang mendung dapat
memperpanjang waktu pengeringan sehingga memberi
kesempatan pada kapang atau mikroba lainnya untuk tumbuh
sebelum simplisia tersebut kering.
 Dengan diangin-anginkan dan tidak dengan sinar matahari
langsung
Cara ini terutama digunakan untuk mengeringkan bagian
tanamanyang lunak seperti bunga,daun, dan sebagainya dan
mengandung senyawa aktif mudah menguap.
Pada kedua cara tersebut, tempat pengeringan
mempunyaidasar berlubang-lubang seperti anyaman bambu, kain
kasadan sebagainya. Umumnya dasar tempat pengeringan
tersebutbukan dari logam karena logam akan bereaksi dan merusak
senyawa aktif tertentu. Letak pengering juga diatur
sehinggamemungkinkan terjadinya aliran udara dari atas ke bawah
atausebaliknya. Ini berarti bahwa bahan baku yang dikeringkanharus
dihamparkan setipismungkin di atas ternpat pengeringan dan di
bawah tempat pengering diberijarak tertentu dengan lantai atau
dengan pengering di bawahnya sehinggamemungkinkan terjadinya
sirkulasi udara.
b. Pengeringan Buatan
Kerugian yang mungkin terjadi jika melakukan pengeringan
dengan sinar matahari dapat diatasi jika melakukan pengeringan
buatan, yaitu dengan menggunakan suatu alat atau mesin
pengering yang suhu kelembaban, tekanan dan aliran udaranya
dapat diatur. Prinsip pengeringan buatan adalah sebagaiberikut:
udara dipanaskan oleh suatu sumber panas sepertilampu,
kompor, mesin disel atau listrik, udara panas dialirkan dengan
kipas ke dalam ruangan atau lemari yangberisibahan yang akan
dikeringkan yang telah disebarkan di atasrak-rak pengering.
Contohnya oven, microwave, dan lain-lain. Dengan prinsip ini
dapat diciptakan suatualat pengering yang sederhana, praktis dan
murah, dengan hasil yang cukup baik. Cara yang lain misalnya
dengan menempatkan bahan-bahan yang akan dikeringkan di
atas pita atauban berjalan dan melewatkannya melalui suatu
lorong atauruangan yang berisi udara yang telah dipanaskan dan
diaturalirannya. Dengan menggunakan pengeringan buatan
dapatdiperolehsimplisia dengan mutu yang lebih baik karena
pengeringanakan lebih merata dan waktu pengeringan akan lebih
cepat,tanpa dipengaruhi oleh keadaan cuaca.
6. Sortasi kering
Sortasi setelah pengeringan sebenarnya merupakan tahap akhir
pembuatan simplisia. Tujuan sortasi untuk memisahkan benda-benda
asing seperti bagian-bagian tanaman yang tidak diinginkan dan
pengotoran-pengotoran lain yang masilh ada dan tertinggal pada
sirnplisia kering. Proses ini dilakukan sebelum sirnplisia dibungkus
untuk kernudian disimpan.
7. Penyimpanan
Bahan baku yang telah diolah menjadi simplisia harus disimpan
dengan baik. Simplisa dapat rusak, mundur atau berubah mutunya
karena berbagai faktor luar dan dalam, antara lain cahaya, oksigen
udara, reaksi kimia intern, dehidrasi, penyerapan air, pengotoran
serangga, kapang. Oleh karena itu pada penyimpanan siniplisia perlu
diperhatikan beberapa hal yang dapat rnengakibatkan kerusakan
simplisia, yaitu cara pengepakan, pembungkusan dan pewadahan,
persyaratan gudang simplisia, cara sortasi dan pemeriksaan mutu,
serta cara pengawetannya. Penyebab kerusakan pada simplisia yang
utama adalah air dan kelembaban. Jika mutu simplisia rusak maka ada
kemungkinan terjadi perubahan pada kandungan atau kadar senyawa
aktif dari bahan baku dan hal tersebut dapat mempengaruhi aktivitas
farmakologinya nanti.

II.3 Ekstraksi
Ekstraksi adalah proses penyarian zat-zat berkhasiat atau zat-zat
aktif dan bagian tumbuhan obat, hewan dan beberapa jenis ikan termasuk
biota laut. Zat-zat aktif tersebut terdapat di dalam sel, namun sel
tumbuhan dan hewan memiliki perbedaan begitu pula ketebalannya
sehingga diperlukan metode ekstraksi dan pelarut tertentu untuk
mengekstraksinya (Tobo, 2001).
Ekstraksi adalah pemurnian suatu senyawa. Ekstraksi cairan-cairan
merupakan suatu teknik dalam suatu larutan (biasanya dalam air) dibuat
bersentuhan dengan suatu pelarut kedua (biasanya organik), yang pada
dasarnya tidak saling bercampur dan menimbulkan perpindahan satu atau
lebih zat terlarut (solut) ke dalam pelarut kedua itu. Pemisahan itu dapat
dilakukan dengan mengocok-ngocok larutan dalam sebuah corong
pemisah selama beberapa menit (Shevla, 1985).
Ada beberapa metode sederhana yang dapat dilakukan untuk
mengambil komponen berkhasiat ini; diantaranya dengan melakukan
perendaman, mengaliri simplisia dengan pelarut tertentu ataupun yang
lebih umum dengan melakukan perebusan dengan tidak melakukan
proses pendidihan (Makhmud, 2001).
Umumnya zat aktif yang terkandung dalam tumbuhan maupun
hewan lebih mudah tarut dalam petarut organik. Proses terekstraksinya
zat aktif dimulai ketika pelarut organik menembus dinding sel dan masuk
ke dalam rongga set yang mengandung zat aktif, zat aktif akan terlarut
sehingga terjadi perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam
sel dan pelarut organik di luar sel, maka larutan terpekat akan berdifusi ke
luar sel, dan proses ini akan berulang terus sampai terjadi keseimbangan
antara konsentrasi zat aktif di dalam dan di luar sel (Tobo, 2001).
II.3.1 Proses Ekstrak bahan alam
1. Pemilihan pelarut (Dirjen POM, 1992)
Dalam memilih pelarut yang akan dipakai harus diperhatikan sifat
kandungan kimia (metabolit sekunder) yang akan diekstraksi. Sifat yang
penting adalah sifat kepolaran, dapat dilihat dari gugus polar senyawa
tersebut yaitu gugus OH, COOH. Senyawa polar lebih mudah larut dalam
pelarut polar, dan senyawa non polar akan lebih mudah larut dalam
pelarut non polar. Derajat kepolaran tergantung kepada ketetapan
dielektrik, makin besar tetapan dielektrik makin polar pelarut tersebut
Syarat-syarat pelarut adalah sebagai berikut (Ditjen POM, 1992):
a) Kapasitas besar
b) Selektif
c) Volabilitas cukup rendah (kemudahan menguap/titik didihnya cukup
rendah) Cara memperoleh penguapannya adalah dengan cara
penguapan diatas penangas air dengan wadah lebar pada
temperature 60oC, destilasi, dan penyulingan vakum.
d) Harus dapat diregenerasi
e) Relative tidak mahal
f) Non toksik, non korosif, tidak memberikan kontaminasi serius dalam
keadaan uap
g) Viskositas cukup rendah
2. Pemilihan metode ekstraksi
Pemilihan metode ekstraksi tergantung bahan yang digunakan, bahan
yang mengandung mucilago dan bersifat mengembang kuat hanya boleh
dengancara maserasi. sedangkan kulit dan akar sebaiknya di perkolasi.
untuk bahan yang tahan panas sebaiknya diekstrasi dengan
cara refluks sedangkan simplisia yang mudah rusak karna pemanasan
dapat diekstrasi dengan metode soxhlet (Agoes, 2007).
Hal-hal yang dipertimbangkan dalam pemilihan metode ekstraksi (Agoes,
2007):
a) Bentuk/tekstur bahan yang digunakan
b) Kandungan air dari bahan yang diekstrasi
c) Jenis senyawa yang akan diekstraksi
d) Sifat senyawa yang akan diekstraksi
3. Pembagian Jenis Ekstraksi
a) Ekstraksi Secara Dingin
Proses ektraksi secara dingin pada prinsipnya tidak memerlukan
pemanasan. Hal ini diperuntukkan untuk bahan alam yang
mengandung komponen kimia yang tidak tahan pemanasan dan bahan
alam yang mempunyai tekstur yang lunak. Yang termasuk ekstraksi
secara dingin adalah (Ditjen POM, 1986):
 Metode Maserasi
Metode maserasi merupakan cara penyarian yang sederhana yang
dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia dalam cairan
penyari selama beberapa hari pada temperatur kamar dan terlindung
dari cahaya (Ditjen POM, 1986).Metode ini digunakan untuk menyari
simplisia yang mengandung komponen kimia yang mudah larut dalam
cairan penyari, tidak mengandung zat yang mudah mengembang
seperti benzoin, stiraks dan lilin. Penggunaan metode ini misalnya
pada sampel yang berupa daun, contohnya pada penggunaan pelarut
eter atau aseton untuk melarutkan lemak/lipid (Ditjen POM, 1986).
Maserasi umumnya dilakukan dengan cara: memasukkan simplisia
yang sudah diserbukkan dengan derajat halus tertentu sebanyak 10
bagian dalam bejana maserasi yang dilengkapi pengaduk mekanik,
kemudian ditambahkan 75 bagian cairan penyari ditutup dan dibiarkan
selama 5 hari pada temperatur kamar dan terlindung dari cahaya
sambil berulang-ulang diaduk. Setelah 5 hari, cairan penyari disaring
ke dalam wadah penampung, kemudian ampasnya diperas dan
ditambah cairan penyari lagi secukupnya dan diaduk kemudian
disaring lagi sehingga diperoleh sari 100 bagian. Sari yang diperoleh
ditutup dan disimpan pada tempat yang terlindung dari cahaya selama
2 hari, endapan yang terbentuk dipisahkan dan filtratnya dipekatkan
(Ditjen POM, 1986).
Keuntungan cara penyarian dengan maserasi adalah cara
pengerjaan dan peralatan yang digunakan sederhana dan mudah
diusahakan. Selain itu, kerusakan pada komponen kimia sangat
minimal. Adapun kerugian cara maserasi ini adalah pengerjaannya
lama dan penyariannya kurang sempurna (Ditjen POM, 1986).
Maserasi dapat dilakukan dengan modifikasi, misalnya:
a. Digesti Digesti adalah cara maserasi yang mengandung
pemanasan lemah, yaitu pada suhu 40 – 50◦C. Cara maserasi ini
hanya digunakan untuk simplisia yang zat aktifnya tahan terhadap
pemanasan.
b. Maserasi dengan menggunakan mesin pengaduk Penggunaan
mesin pengaduk yang berputar terus menerus, waktu proses
maserasi dapat dipersingkat menjadi 6 sampai 24 jam.
c. Remaserasi Cairan penyari dibagi 2 Seluruh serbuk simplisia
dimaserasi dengan cairan penyari pertama, sesudah dienap
tuangkan dan diperas, ampas dimaserasi lagi dengan cairan
penyari yang kedua.
d. Maserasi melingkar Penyarian yang dilakukan dengan cairan
penyari yang selalu bergerak dan menyebar sehingga kejenuhan
cairan penyari dapat merata.
 Metode Perkolasi
Perkolasi adalah cara penyarian dengan mengalirkanpenyari
melalui serbuk simplisia yang telah dibasahi. Prinsip ekstraksi dengan
perkolasi adalah serbuk simplisia ditempatkan dalam suatu bejana
silinder, yang bagian bawahnya diberi sekat berpori, cairan penyari
dialirkan dari atas ke bawah melalui serbuk tersebut, cairan penyari
akan melarutkan zat aktif dalam sel-sel simplisia yang dilalui sampel
dalam keadaan jenuh. Gerakan ke bawah disebabkan oleh kekuatan
gaya beratnya sendiri dan tekanan penyari dari cairan di atasnya,
dikurangi dengan daya kapiler yang cenderung untuk menahan
gerakan ke bawah (Ditjen POM, 1986).
Cara perkolasi lebih baik dibandingkan dengan cara maserasi
karena (Ditjen POM, 1986) :
1. Aliran cairan penyari menyebabkan adanya pergantian larutan
yang terjadi dengan larutan yang konsentrasinya lebih rendah
sehingga meningkatkan derajat perbedaan konsentrasi.
2. Ruangan diantara butir – butir serbuk simplisia membentuk
saluran tempat mengalir cairan penyari. Karena kecilnya
saluran kapiler tersebut, maka kecepatan pelarut cukup untuk
mengurangi lapisan batas, sehingga dapat meningkatkan
perbedaan konsentrasi.
Adapun kerugian dari cara perkolasi ini adalah serbuk kina
yang mengadung sejumlah besar zat aktif yang larut, tidak baik bila
diperkolasi dengan alat perkolasi yang sempit, sebab perkolat akan
segera menjadi pekat dan berhenti mengalir (Ditjen POM, 1986).
Kekuatan yang berperan pada perkolasi antara lain: gaya berat,
kekentalan, daya larut, tegangan permukaan, difusi, osmosa, adesi,
daya kapiler dan daya geseran (friksi) (Ditjen POM, 1986).
Alat yang digunakan untuk perkolasi disebut perkolator, cairan
yang digunakan untuk menyari disebut cairan penyari atau
menstrum, larutan zat aktif yang keluar dari perkolator disebut sari
atau perkolat, sedangkan sisa setelah dilakukannya penyarian
disebut ampas atau sisa perkolasi (Ditjen POM, 1986).
b) Ekstraksi Secara Panas
Ekstraksi secara panas dilakukan untuk
mengekstraksi komponen kimia yang tahan terhadap pemanasan
seperti glikosida, saponin dan minyak-minyak menguap yang
mempunyai titik didih yang tinggi, selain itu pemanasan juga
diperuntukkan untuk membuka pori-pori sel simplisia sehingga pelarut
organik mudah masuk ke dalam sel untuk melarutkan komponen kimia.
Metode ekstraksi yang termasuk cara panas yaitu (Tobo, 2001).
 Metode Soxhletasi
Soxhletasi merupakan penyarian simplisia secara
berkesinambungan, cairan penyari dipanaskan sehingga menguap,
uap cairan penyari terkondensasi menjadi molekul-molekul air oleh
pendingin balik dan turun menyari simplisia dalam klongsong dan
selanjutnya masuk kembali ke dalam labu alas bulat setelah melewati
pipa sifon. Proses ini berlangsung hingga penyarian zat aktif sempurna
yang ditandai dengan beningnya cairan penyari yang melalui pipa sifon
atau jika diidentifikasi dengan kromatografi lapis tipis tidak memberikan
noda lagi. (Ditjen POM, 1986).
Metode soxhletasi bila dilihat secara keseluruhan termasuk cara
panas, karena pelarut atau cairan penyarinya dipanaskan agar dapat
menguap melalui pipa samping dan masuk ke dalam kondensor,
walaupun pemanasan yang dilakukan tidak langsung tapi hanya
menggunakan suatu alat yang bersifat konduktor sebagai penghantar
panas. Namun, proses ekstraksinya secara dingin karena pelarut yang
masuk ke dalam kondensor didinginkan terlebih dahulu sebelum turun
ke dalam tabung yang berisi simplisia yang akan dibasahi atau di sari.
Hal tersebutlah yang mendasari sehingga metode soxhlet digolongkan
dalam cara dingin. Pendinginan pelarut atau cairan penyari sebelum
turun ke dalam tabung yang berisi simplisia dilakukan karena simplisia
yang disari tidak tahan terhadap pemanasan. (Ditjen POM, 1986).
Sampel atau bahan yang akan diekstraksi terlebih dahulu
diserbukkan dan ditimbang kemudian dimasukkan ke dalam klongsong
yang telah dilapisi dengan kertas saring sedemikian rupa (tinggi
sampel dalam klongsong tidak boleh melebihi pipa sifon), karena dapat
mempengaruhi kesetimbangan pergerakan eluen yang telah terelusi
keluar dari pipa sifon, dimana jika tinggi sampel melebihi kertas saring
(pipa sifon), maka eluen hasil elusi akan keluar melalui pipa aliran uap
yang berada diatas sampel, bukan keluar melalui pipa sifon .
Selanjutnya labu alas bulat diisi dengan cairan penyari yang sesuai
kemudian ditempatkan di atas waterbath atau heating mantel dan
diklem dengan kuat kemudian klongsong yang telah diisi sampel
dipasang pada labu alas bulat yang dikuatkan dengan klem dan cairan
penyari ditambahkan untuk membasahkan sampel yang ada dalam
klongsong. Setelah itu kondensor dipasang tegak lurus dan diklem
pada statif dengan kuat. Aliran air dan pemanas dijalankan hingga
terjadi proses ekstraksi dimana pada saat pelarut telah mendidih,
maka uapnya akan melalui pipa samping lalu naik ke kondensor. Di
sini uap akan didinginkan sehingga uap mengembun dan menjadi
tetesan- tetesan cairan yang akan menetes turun ke klongsong dan
membasahi simplisia. Tetesan – tetesan uap air cairan penyari inIIi
akan ditampung di dalam klongsong hingga suatu ketika ekstrak
mencapai ketinggian ujung sifon sehingga pelarut ini akan turun
kembali ke dalam wadah pelarut secara cepat. Proses ini berulang
hingga penyarian yang dilakukan sempurna dalam hal ini, cairan
penyari yang pada awalnya berwarna, di dalam pipa sifon sudah tidak
berwarna lagi atau jika cairan penyari pada awalnya memang tidak
berwarna maka biasanya dilakukan 20-25 kali sirkulasi. Ekstrak yang
diperoleh dikumpulkan dan dipekatkan dengan rotavapor (Ditjen POM,
1986).
Adapun keuntungan dari proses soxhletasi ini adalah cara ini lebih
menguntungkan karena uap panas tidak melalui serbuk simplisia,
tetapi melalui pipa samping. Kerugiannya adalah jumlah ekstrak yang
diperoleh lebih sedikit dibandingkan dengan metode maserasi (Ditjen
POM, 1986).
 Metode Refluks
Metode refluks adalah termasuk metode berkesinambungan
dimana cairan penyari secara kontinyu menyari komponen kimia dalam
simplisia cairan penyari dipanaskan sehingga menguap dan uap
tersebut dikondensasikan oleh pendingin balik, sehingga mengalami
kondensasi menjadi molekul-molekul cairan dan jatuh kembali ke labu
alas bulat sambil menyari simplisia. Proses ini berlangsung secara
berkesinambungan dan biasanya dilakukan 3 kali dalam waktu 4 jam
(Ditjen POM, 1986).
Simplisia yang biasa diekstraksi adalah simplisia yang mempunyai
komponen kimia yang tahan terhadap pemanasan dan mempunyai
tekstur yang keras seperti akar, batang, buah, biji dan herba (Ditjen
POM, 1986).Serbuk simplisia atau bahan yang akan diekstraksi secara
refluks ditimbang kemudian dimasukkan ke dalam labu alas bulat dan
ditambahkan pelarut organik misalnya methanol sampai serbuk
simplisia terendam kurang lebih 2 cm di atas permukaaan simplisia
atau 2/3 dari volume labu, kemudian labu alas bulat dipasang kuat
pada statif pada waterbath atau heating mantel, lalu kondendor
dipasang pada labu alas bulat yang dikuatkan dengan klem dan statif.
Aliran air dan pemanas (water bath) dijalankan sesuai dengan suhu
pelarut yang digunakan. Setelah 4 jam dilakukan penyarian. Filtratnya
ditampung pada wadah penampung dan ampasnya ditambah lagi
pelarut dan dikerjakan seperti semula, ekstraksi dilakukan selama 3-4
jam. Filtrat yang diperoleh dikumpulkan dan dipekatkan dengan
rotavapor, kemudian dilakukan pengujian selanjutnya (Ditjen POM,
1986).
Keuntungan dari metode ini adalah (Ditjen POM, 1986):
a) Dapat mencegah kehilangan pelarut oleh penguapan selama
proses pemanasan jika digunakan pelarut yang mudah menguap
atau dilakukan ekstraksi jangka panjang.
b) Dapat digunakan untuk ekstraksi sampel yang tidak mudah rusak
dengan adanya pemanasan.
Adapun kerugian dari metode ini adalah prosesnya sangat lama
dan diperlukan alat – alat yang tahan terhadap pemanasan (Ditjen
POM, 1986).
 Metode Destilasi Uap Air
Metode destilasi uap air diperuntukkan untuk menyari simplisia
yang mengandung minyak menguap atau mengandung komponen
kimia yang mempunyai titik didih tinggi pada tekanan udara normal,
misalnya pada penyarian minyak atsiri yang terkandung dalam
tanaman Sereh (Cymbopogon nardus). Pada metode ini uap air
digunakan untuk menyari simplisia dengan adanya pemanasan kecil
uap air tersebut menguap kembali bersama minyak menguap dan
dikondensasikan oleh kondensor sehingga terbentuk molekul-molekul
air yang menetes ke dalam corong pisah penampung yang telah diisi
air. Penyulingan dilakukan hingga sempurna (Ditjen POM, 1986).
Sampel yang akan diekstraksi direndam dalam gelas kimia selama
2 jam setelah itu dimasukkan ke dalam bejana B, bejana A diisi air dan
pipa-pipa penyambung serta kondensor dan penampung corong pisah
dipasang dengan kuat. Api Bunsen bejana A dinyalakan sehingga
airnya mendidih dan diperoleh uap air yang selanjutnya masuk ke
dalam bejana B melalui pipa penghubung untuk menyari sampel
dengan adanya bantuan api kecil pada bejana B, minyak menguap
yang telah tersari selanjutnya menguap menuju kondensor, karena
adanya pendinginan balik uap dari minyak menguap ini, maka uap air
yang terbentuk menetes ke dalam corong pisah penampung yang telah
berisi air (Ditjen POM, 1986).
Prinsip fisik destilasi uap yaitu jika dua cairan tidak bercampur
digabungkan, tiap cairan bertindak seolah – olah pelarut itu hanya
sendiri, dan menggunakan tekanan uap. Tekanan uap total dari
campuran yang mendidih sama dengan jumlah tekanan uap parsial,
yaitu tekanan yang digunakan oleh komponen tunggal, karena
pendidihan yang dimaksud yaitu tekanan uap total sama dengan
tekanan atmosfer, titik didih dicapai pada temperatur yang lebih rendah
daripada jika tiap – tiap cairan berada dalam keadaan murni (Ditjen
POM, 1986).
Keuntungan dari destilasi uap ini adalah titik didih dicapai pada
temperatur yang lebih rendah daripada jika tiap– tiap cairan berada
dalam keadaan murni. Selain itu, kerusakan zat aktif pada destilasi
langsung dapat diatasi pada destilasi uap ini. Kerugiannya adalah
diperlukannya alat yang lebih kompleks dan pengetahuan yang lebih
banyak sebelum melakukan destilasi uap ini (Ditjen POM : 1986).
 Metode Infudasi
Infudasi adalah proses penyarian yang umumnya digunakan untuk
menyari zat aktif yang larut dalam air dari bahan nabati, yang dilakukan
dengan cara membasahi dengan air. Biasanya dua kali bobot bahan,
kemudian ditambah dengan air secukupnya dan dipanaskan dalam
tangas air selama 15 menit dengan suhu 90 – 980 C, sambil sekali-kali
diaduk. Untuk mencukupi kekurangan air, ditambahkan melalui
ampasnya. Umumnya 100 bagian sari diperlukan 10 bagian bahan
( Depkes, 1986).
II.4 Skrining Fitokimia
Skrining fitokimia merupakan tahap pendahuluan dalam satu
penelitihan fitokimia yang bertujuan untuk memberikan gambaran tentang
golongan senyawa yang terkadang dalam tanaman yang sedang diteliti.
Metode skirining fitokimia dilakukan dengan melihat reaksi pengujian
warna degan menggunakan suatu pereaksi warna. Hal penting yang
berperan penting dalam skring fitokimia adalah pemilihan pelarut dan
metode ekstraksi (Kristianti dkk, 2008).
Pendekatan fitokimia meliputi analisis kualitatif kandungan kimia
dalam tumbuhan atau bagian tumbuhan (akar, batang, daun, bunga, buah
dll). Dengan tujuan pendekatan skring fitokimia dalam untuk mensurvei
tumbuhan untuk mendapatkan kandungan bioaktif atau kandungan yang
berguna untuk pengobatan (Robinso,1995).
Adapun metode yang digunakan atau dipilih untuk melakukan
skrining fitokimia harus memenuhi beberapa persyaratan antara lain
(Robinson,1995).
1) Sederhana
2) Cepat
3) Dapat dilakukan dengan peralatan minimal
4) Selektif terhadap golongan senyawa yang dipelajari
5) Bersifat semikuantitatif yaitu memiliki batas kepekaan untuk senyawa
yang dipelajari
6) Dapat memberikan keterangan tambahan ada/tidaknya senyawa dari
golongan yang dipelajari

Untuk identifikasi metabolit sekunder yang terdapat pada suatu


ekstrak yang digunakan berbagai metode berikut (Harbone,1987):
a. Identifikasi senyawa golongan alkaloid
Alkaloid merupakan senyawa nitrogen yang sering terdapat dalam
tumbuhan. Atom nitrogen yang terdapat pada molekul alkaloid pada
umumnya merupakan atom nitrogen sekunder ataupun tersier dan
kadang- kadang terdapat sebagai atom nitrogen kuarterner. Salah
satu pereaksi untuk mengidentifikasi adanya alkaloid menggunakan
pereaksi Dragendorff dan pereaksi mayer.
b. Identifikasi senyawa golongan flavonoid
Flavonoid merupakan senyawa yang umumnya terdapat pada
tumbuhan berpembuluh, terikat pada glukosida dan aglikon flavonoid.
Dalam menganalisis flavonoid. Yang diperiksa adalah aglikon dalam
ekstrak tumbuhan yang sudah dihidrolisis. Proses ekstraksi senyawa
ini dilakukan dengan etanol mendidih untuk menghindari oksidasi
enzim.
c. Identifikasi senyawa golongan saponin
Saponin adalah suatu golongan gliosida yang larut dalam air dan
mempunyai karateristik, dapat membentuk busa apabila dikocok, serta
mempunyai kemamampuan menghemolisis sel darah merah.
d. Identifikasi senyawa tanin
Tanin terdapat luas dalam tumbuhan berpembuluh. Secara kimia
terdapat dua jenis tannin, yaitu tannin terkondensasi hamper semua
terdapat didalam paku–pakuan, tersebar luas dalam angiospermae
terutama pada tumbuhan berkayu. Tanin terhidrolisis, penyebarannya
terbatas pada tumbuhan berkeping dua. Salah satu fungsi tanin dalam
tumbuhan ialah sebagai penolak hewan pemakan tumbuhan.
e. Identifikasi senyawa steroid
Steroid adalah senyawa yang kerangka karbonilnya berasal dari
enam satuan isoprene. Senyawa berstruktur siklik, kebanyakan
berupa alcohol, aldehid, atau asam karboksilat. Umumnya berupa
senyawa tidak berwarna, berbentuk kristal, bertitik leleh tinggi dan
optik aktif. Uji yang banyak dilakukan adalah reaksi Lieberman
Buchard, steroid merupakan senyawa triterpen yang terdapat dalam
bentuk glikosida (Harbone, 1987).
II.5 Partisi
Partisi adalah proses penarikan senyawa dimana senyawa ditarik
berdasarkan kepolaran terhadap suatu pelarut, dimana menggunakan dua
jenis pelarut yang tidak saling bercampur dalam mengekstraksi (Leba,
2017). Tujuan dilakukan partisi yaitu untuk memisahkan komponen kimia
dari sampel berdasarkan tingkat kepolarannya. Ekstraksi pelarut
menyangkut distribusi suatu zat terlarut (solute) diantara dua fase cair
yang tidak saling bercampur. Teknik ekstraksi sangat berguna untuk
pemisahan secara cepat dan “bersih” baik untuk zat organic maupun zat
anorganik. Cara ini juga dapat digunakan untuk analisis mikro maupun
makro. Selain itu untuk kepentingan analisis kimia, ekstraksi juga banyak
digunakan untuk pekerjaan-pekerjaan preparative dalam bidang kimia
organik, biokimia dan anorganik dilaboratorium. Alat yang digunakan
dapat berupa corong pisah, alat ekstraksi soxhlet sampai yang paling
rumit berupa alat “Counter Current Craig”. (Khamidinal, 2009)
Berdasarkan bentuk campuran yang diekstraksi, suatu ekstraksi
dibedakan menjadi ekstraksi padat cair dan ekstraksi cair-cair (Yazid,
2005):
II.5.1 Ekstraksi Cair-cair
Ekstraksi cair-cair digunakan untuk memisahkan senyawa atas dasar
perbedaan kelarutan pada dua jenis pelarut yang tidak saling bercampur.
Jika analit berada dalam pelarut anorganik, maka pelarut yang digunakan
adalah pelarut organik, dan sebaliknya (Almin, 2007). Pada metode
ekstraksi cair-cair, ekstraksi dapat dilakukan dengan cara bertahap (batch)
atau dengan cara kontinyu. Cara paling sederhana dan banyak dilakukan
adalah ekstraksi bertahap. Tekniknya cukup dengan menambahkan
pelarut pengekstrak yang tidak bercampur dengan pelarut pertama melalui
corong pisah, kemudian dilakukan pengocokan sampai terjadi
keseimbangan konsentrasi solute pada kedua pelarut. Setelah didiamkan
beberapa saat akan terbentuk dua lapisan dan lapisan yang berada
dibawah dengan kerapatan lebih besar dapat dipisahkan untuk dilakukan
analisis selanjutnya. (Almin, 2007)
Ekstraksi akan semakin efektif jika dilakukan berulang kali
menggunakan pelarut dengan volume sedikit demi sedikit (Underwood,
2001). Terjadinya proses pemisahan dapat terjadi dengan cara yaitu
(Anonim, 2012):
a. Adsorbsi; adsorbsi komponen atau senyawa diantara permukaan
padatan dengan cairan (Solid liquid interface) agar terjadi pemisahan
dengan baik, maka komponen-komponen tersebut harus mempunyai
afinitas yang berbeda terhadap adsorben dan ada interaksi antara
komponen dengan asdorben
b. Partisi; fase diam dan fase gerak berupa cairan yang tidak saling
bercampur. Senyawa yang akan dipisahkan akan berpartisi antara fase
diam dan fase gerak. Karna fase diam memberikan daerah yang sangat
luas bagi fase gerak, maka pemisahan berlangsung lebih baik
Ekstraksi cair-cair selalu terdiri atas sedikitnya dua tahap, yaitu
pencampuran secara intensif bahan ekstraksi dengan pelarut dan
pemisahan kedua fase cair itu sesempurna mungkin. Pada saat
pencampuran terjadi perpindahan massa, yaitu ekstrak meninggalkan
pelarut yang pertama (media pembawa) dan masuk kedalam pelarut
kedua (media ekstraksi). Sebagai syarat ekstraksi ini, bahan ekstraksi dan
pelarut tidak saling melarut (atau hanya dalam daerah yang sempit). Agar
terjadi perpindahan masa yang baik yang berarti performansi ekstraksi
yang besar haruslah diusahakan agar terjadi bidang kontak yang seluas
mungkin diantara kedua cairan tersebut. Untuk itu salah satu cairan
distribusikan menjadi tetes-tetes kecil (Zenta, 2006).
Kelebihan dari ekstraksi cair-cair adalah pelarut yang digunakan
sedikit akan dapat diperoleh substansi yang relative banyak, peralatan
yang sederhana, pemisahan cepat dan selektif. Sedangkan kerugiannya
adalah tidak dapat menggunakan zat yang termobbil, karna akan
mengubah bentuk kimia sehingga koefisien distribusi dan efektivitas
pelarut pun berubah dan dapat membentuk emulsi saat pengocokan
sehingga tidak akan jelas pemisahannya (Rahman, Abdul; 2014).
Beberapa masalah dalam ekstraksi cair-cair yaitu (Rahman, Abdul;
2014):
 Terbentuknya emulsi
 Analit tertarik kuat pada partikulat
 Analit terjerap oleh partikulat yang mungkin ades
 Analit terikat pada senyawa yang mempunyai berat molekul tinggi
 Adanya kelarutan analit secara bersama dalam kedua fase
Terjadinya emulsi dalam pelarut ekstraksi cair-cair dapat diatasi
dengan ; (Rahman, Abdul; 2014):
 Penambahan garam kedalam fase air
 Pemanasan atau pendinginan corong pisah
 Penyaringan melalui glass wool
 Penyaringan dengan menggunakan kertas saring
 Penambahan sedikit pelarut organic yang berbeda
 Sentrifugasi
II.5.2 Ekstraksi padat-cair
Ekstraksi padat cair merupakan proses pemisahan untuk
memperoleh komponen zat terlarut dari campurannya dalam padatan
dengan menggunakan pelarut yang sesuai. Dapat juga didefenisikan
sebagai disperse komponen kimia dari ekstrak yang telah dikeringkan
dalam suatu pelarut yang sesuai berdasarkan kelarutan dari komponen
kimi dan zat-zat yang tidak diinginkan seperti garam-garam tidak dapat
larut. Ekstraksi ini dapat dilakukan dengan mengaduk suspense padatan
didalam wadah dengan atau tanpa pemanasan. (Najib,2013)

Ekstraksi padat cair terdiri dari 2 langkah, yaitu (Najib,2013):


a. Kontak antara padatan dan pelarut untuk mendapatkan perpindahan
solute kedalam pelarut
b. Pemisahan larutan yang terbentuk dan padatan sisa
Berdasarkan metode ekstraksi padat cair dikenal 4 jenis, yaitu
(Najib,2013):
a. Operasi dengan system bertahap tunggal
b. Operasi dengan system bertahap banyak dengan aliran sejajar atau
aliran silang
c. Operasi secara kontinu dengan aliran berlawanan
d. Operasi secara batch dengan system bertahap dengan aliran yang
berlawanan
Ekstraksi padat cair digunakan untuk memisahkan analit yang
terdapat pada padatan menggunakan pelarut organic (Yazid, 2005).
Adapun kelebihan dari ekstraksi padat cair adalah zat yang diekstraksi
terbentuk padatan, digunakan untuk mengisolasi zat steroid, hormon,
antibiotika dan lipida pada biji-bijian. Kerugiannya adalah peralatan yang
digunakan banyak serta proses pemisahan nya lama.
Pemilihan pelarut dalam partisi yaitu ; (Yazid, 2005):
a. Heksan petroleum
Jenis senyawa terlarut lemak, terpenoid, atau minyak atsiri, aglikon
triterpene, aglikon antrakuinon, flavonoid dan klorofil
b. Toluen, kloroform, diklorometan
Jenis senyawa terlarut semua senyawa diatas, isoflavon, alkaloid
bebas, kurkumin, dan fenol.
c. Dietil eter
Jenis senyawa terlarut semua senyawa diatas, flavonoid, glikosida
antarkuinon, steroid, glikosida, kurkumin
d. Etil asetat
Jenis senyawa terlarut semua senyawa diatas, flavonoid, glikosida,
steroid, kurkumin glikosida
e. Methanol, alcohol
Jenis senyawa terlarut semua senyawa diatas, flavonoid, glikosida,
tanin, saponin
f. Air panas
Jenis senyawa terlarut semua senyawa yang larut dalam penyari dietil
eter sampai etanol, alkaloid, asam amino dan protein
Kriteria cairan penyari yang baik adalah ;( Yazid, 2005):
 Murah dan mudah diperoleh
 Stabil secara fisika dan kimia
 Bersifat netral
 Tidak mudah menguap dan tidak mudah terbakar
 Tidak mempengaruhi zat yang berkhasiat.

II.6 KLT
Kromatografi lapis tipis (KLT) adalah metode kromatografi cair yang
paling sederhana. KLT merupakan teknik kromatografi yang berdasar
pada prinsip adsorbsi, bedanya dengan kromatografi kolom yaitu
konfigurasi KLT yang berbentuk planar (Plate). Fase diam berupa padatan
yang diaplikasikan berbentuk datar pada permukaan kaca atau alumunium
sebagai penyangganya sedangkan fase gerak berupa zat cair seperti
yang digunakan dalam kromatografi kolom dan kromatografi kertas
(Rubiyanto, 2017).
a. Fase Diam
Fase diam merupakan lapisan tipis penyerapan yang seragam atau
media terpilih digunakan sebagai media pembawa. Penjerap dilekatkan
pada penyangga sebagai pelapis untuk mendapatkan lapisan yang stabil
dengan ukuran yang sesuai. Penyangga yang sering digunakan terbuat
dari bahan gelas, plastic dan alumunium, sedangkan penjerap yang paling
sering digunakan anatara lain silica gel, alumina, dan selulosa
(Touchstone dan Dobbins, 1983).
Lapisan tipis (Plat silica Gel F254) yang sering digunakan
mengandung indikator flourosensi yang ditambahkan untuk membantu
penampakkan bercak tak warna pada plat yang telah dikembangkan.
Indikator fluorosensi adalah senyawa yang memancarkan sinar (lampu
UV). Jika senyawa pada bercak yang akan ditampakkan mengandung
ikatan rangkap terkonjugasu atau cincin aromatik berbagai jenis, sinar UV
aka tereksitasi dari tingkat energi dasar ke tingkat energi yang lebih tinggi
kemdian kemabali ke keadaan semula sambal melepaskan energi (Gritter
et al., 1991)
b. Fase Gerak
Baik fase diam dan fase gerak hanya digunakan bersama-sama
dalam KLT ketika proses kromatografi berlangsung melalui kesetimbangan
yang melibatkan lapisan tipis adsorben, fase pelarut dan fase uap pelarut.
Dengan demikian, pelarut tidak selalu ekuivalen denagn fase gerak
karena sering komposisi keduanya berbeda sepanjang jalur plat meskipun
digunaan fase gerak yang sama dengan pelarut (Rubiyanto, 2017).
Sifat-sifat ideal pelarut yang digunakan dalam KLT antara lain
(Rubiyanto, 2017) :
1. Tersedian dalam bentuk yang sangat murni dengan harga yang
memadai
2. Tidak bereaksi dengan komponen dalam sampel maupun material
fase diam
3. Memiliki viskositas dan tegangan permukaan yang sesuai
4. Memiliki titik didih yang rendah untuk memudahkan pengeringan
setelah pengembangan
5. Mempunyai kelarutan yang ideal pada berbagai campuran solvent
6. Tidak toksik dan mudah pembuangan limbahnya.
c. Penotolan Sampel
Larutan sampel yang akan diaplikasikan hendaknya berisi antara
0,1– hinggan 1 % sebanyak 1 hingga 20 uL. Pelarut yang sangat polar
atau tidak menguap sebaiknya tidak digunakan pada KLT untuk
melarutkan sampel (Stahl, 1985).
d. Pengembangan
Pengembangan ialah proses pemisahan campuran cuplikat akibat
pelarut pengembang merambat naik dalam lapisan. Setelah sampel
ditotolkan pada salah satu ujung lempeng, ujung tersebut dibenamkan
dalam fase gerak dengan sampel di atas cairan. Gaya kapiler akan
menyebabkan fase gerak bergerak melewati media dalam proses yang
disebut pengembangan. Setelah fase gerak telah hampir mencapai ujung
lainnya dari lempeng, maka lempeng dipindahkan dan dikeringkan
sebelum prosedur pendeteksian. Pengembangan lapis tipis biasanya
dilakukan dengan membiarkan fase gerak bermigrasi pada lempeng yang
mana berat berada pada bejana dengan ukuran sesuai yang telah
dijenuhkan (Touchsone dan Dobbins, 1983).
e. Metode Deteksi
Tidak setiap proses pengembangan dengan serta merta
menghasilkan noda-noda yang langsung terlihat. Adalalanya bantuan
pereaksi kimia atau cara-cara tambahan yang diperlukan untuk dapat
mengamati profil pemisahan yang dihasilkan melalui KLT (Rubiyanto,
2017).

Cara-cara semacam ini dikenal dengan istilah viasualisasi. Visualisasi


yaitu untuk menampilkan noda-noda yang terbentuk dari proses
pengembangan. Visualisasi ada yang bersifat dekstruktif dan non
dektruktif. Beberapa cara yang banyak digunakan ialah (Rubiyanto, 2017):
1. Uap Iodium
Plat yang telah kering ditempatkan pada wadah yang telah diisi
iodium, uap iodium yang mengenai permukaan plat yang mengandung
senyawa-senyawa yang terpisah akan membentuk spot/bercak coklat
dengan dasar putih. Cara ini bersifat aman dan tidak merusak
komponen serta dapat dikenakan pada hamper semua senyawa
organik.
2. Sinar UV
Cara ini memberikan efek fluorosensi pada plat sehingga noda dari
senyawa-senyawa akan terlihat.
3. Penyemprotan
Plat yang sudah dikembangkan kemudian disemprot dengan asam
sulat dan dipanaskan pada temperature 125 OC. Senyawa organik akan
teroksidasi sehingga berwarna hitam. Cara ini bersifat merusak.
f. Identifikasi dan Nilai Rf
Identifikasi dari senyawa-senyawa yang telah dipisahkan pada
lapiran tipis lebih baik dikerjakan dengan pereaksi kimia dan reaksi-reaksi
warna. Namun lazimnya untuk identifikas menggunakan nilair Rf.
Nilai Rf adalah jarak yang digerakkan oleh senyawa dari titik asal
dibagi dengan jarak yang digerakkan oleh pelarut dari titik asal. Nilai Rf
sangat ditentukan oleh kelancaran pergerakan bercak dalam KLT, adapun
faktor yang mempengaruhi pergerakan bercak adalah (Sastrohamidjojo,
1985):
1. Struktur kimia dari senyawa yang dipisahkan
2. Sifat dari penjerap dan derajat aktivitasnya
3. Tebal dan kerataan dari lapisan penjerap
4. Pelarut dan derajat kemurniaanya
5. Derajat kejenuhan dari uap pelarut dalam bejana elusi
6. Teknik percobaan
7. Jumlah sampel yang digunakan
8. Suhu
9. Kesetimbangan
BAB III
METODE KERJA
III.1 Alat dan Bahan
III.1.1 Alat
Alat yang digunakan yaitu cangkul, wadah pencucian, gunting, pisau
dan Koran, Aluminium foil, batang pengaduk, blender, toples, Kertas
Saring dan wadah untuk penguapan (Pyrex), Aluminium foil, batang
pengaduk, cawan porselin, pipet tetes, rak tabung, tabung reaksi dan
sendok tanduk, Batang pengaduk, corong pisah, cawan porselen, corong
kaca, gelas kimia, gelas ukur, kertas saring pipet tetes, Sendok tanduk,
timbangan analitik dan vial, cawan porselin, gelas kimia, cawan porselin,
chamber, gunting, penggaris, pensil, pipet tetes, pinset, pipa kapiler, vial,
lampu UV 266 dan 366 dan sendok tanduk.
III.1.2 Bahan
Bahan yang digunakan yaitu air dan sampel akar alang-alang.
Simplisia dan etanol 95%, Air panas, aquadest, asam asetat, ekstrak akar
alang-alang, etanol 95%, eter, FeCl 3 1 N, HCl 0,5 N, HCL 2N, H 2SO4,
kloroform, KOH 10%, pereaksi Dragendorf, pereaksi Mayer, pereaksi
wagner, reagen Liebermann – buchard dan serbuk Mg, Aquadest, Ekstrak
akar alang-alang, etil asetat dan N – Heksan, aluminium foil, eluen N -
Heksan : metanol (3:7), lempeng KLT, ekstrak n-heksan dan etil asetat
akar alang-alang, metanol, dan tissu.
III.2 Cara Kerja
III.2.1 Penyiapan Sampel
1. Pengambilan/pengumpulan bahan baku (panen)
2. Sortasi basah
3. Pencucian
4. Perajangan
5. Pengeringan
6. Sortasi kering
III.2.2 Ektraksi dengan Metode Maserasi
1. Disiapkan alat dan bahan yang dibutuhkan
2. Ditimbang 600 g sampel yang telah dipotong-potong kecil kemudian
dimasukkan ke dalam toples
3. Ke dalam toples yang berisi yang berisi sampel, dimasukkan pelarut
etanol 95% sebanyak 1,5 liter
4. Toples kemudian ditutup dengan menggunakan aluminium foil
kemudian ditutup rapatr dengan penutupnya
5. Proses maserasi didiamkan selama 3 hari dengan sesekali
pengadukan, dilanjutkan dengan remaserasi selama 3 hari agar semua
zat aktif terekstraksi,
6. Sampel disaring dan ditampung, kemudian uapkan dengan
menggunakan rotavapor.
III.2.3 Skrining Fitokimia
1. Uji pendahuluan
b. Ekstrak 5 mg

c. Ditambah air 10 mL dipanaskan dengan suhu 30 C diatas penangas

air mendidih
d. Larutan yang jadi disaring dengan kertas saring. Bila larutan yang
dihasilkan berwarna kuning sampai merah menunjukkan adanya
senyawa yang mengandung kromofor. Bila larutan ditambah dengan
KOH warna menjadi lebih intensif
2. Uji alkaloid
a. Ekstrak kental ditimbang 5 mg dimasukkan ke dalam tabung reaksi
b. Ditambahkan dengan etanol 70%, kemudian ditambah 2 mL HCl 2N
dan dipanaskan selama 2-3 menit, dinginkan
c. Dibagi menjadi 3 bagian dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi
 Larutan I kemudian ditambahkan dengan 3 tetes pereaksi Mayer,
reaksi positif ditandai dengan terbentuknya endapan putih (putih
kekuningan).
 Larutan II kemudian ditambahkan dengan 3 tetes pereaksi
dragendorf, reaksi positif ditandai dengan terbentuknya endapan
jingga (merah jingga).
 Larutan III kemudian ditambahkan dengan 3 tetes pereaksi wagner,
reaksi positif ditandai dengan terbentuknya endapan coklat.
3. Uji saponin
a. Diambil ekstrak 5 mg kemudian dimasukkan ke dalam tabung

ditambah dengan etanol 70%,


b. Ditambahkan air hangat 10 mL, dikocok kuat-kuat selama 1 menit
dengan kekuatan konstan
c. Didiamkan, apabila busa terbentuk dengan tinggi 1-10 cm stabil
selama 10 menit, maka ditambahkan 2-3 tetes HCl 2N melalui
dinding tabung. Apabila tetap berbusa berarti positif mengandung
saponin.
4. Uji tanin
a. Diambil ekstrak 5 mg, ditambahkan dengan etanol 70%,
b. Ditambahkan air hangat 3 mL, lalu dikocok sampai homogen.
c. Disaring, ambil filtrate kemudian ditambahkan pereaksfi FeCl 3 3-4
tetes. Jika berwarna hijau biru (hijau hitam) berarti positif adanya
tannin katekol sedangkan jika berwarna biru hitam berarti postifif
adanya tannin pirogalol.
5. Uji Flavonoid
a. Diambil ekstrak 5 mg
b. Ditambahkan dengan 3 tetes HCl pekat dan serbuk Mg. Hasil positif
jika menunjukkan warna merah keunguan (flavonoid), merah muda
(flavon) dan hijau (aglikol).
6. Uji steroid
a. Diambil ekstrak 5 mg
b. Ditambahkan dengan 5 tetes methanol dan ditambah lagi 10 tetes
c. Diuapkan hingga kering
d. Ditambahkan dengan kloroform dan dimasukkan ke dalam tabung
reaksi.
e. Ditambah 3 tetes asam asetat dan H 2SO4. Hasil positif menunjukkan
jika terbentuk cincin ungu violet (triterpenoid) dan terbentuk warna
hijau (steroid)
III.2.4 Partisi
III.2.4.1 Ekstraksi Cair-cair (ECC)
1. Ekstrak etanol ditimbang sebanyak 5 g
2. Ekstrak disuspensikan dengan 25 mL air dan dimasukkan ke dalam
corong pisah
3. Dimasukkan kedalam corong pisah
4. Ditambahkan dengan 25 mL pelarut n-heksan
5. Corong pisah dikocong hingga homogen dan didiamkan selama
beberapa saat hingga terbentuk 2 lapisan pelarut
6. Lapisan N–Heksan kemudian ditampung dan lapisan air dimasukkan
kembali dan ditambahkan 25 mL n-hexan yang baru, penggantian
pelarut N-Heksan yang baru dilakukan sebanyak 3 kali
7. Lapisan N-Heksan yang diperoleh kemudian diuapkan, ekstrak N-
Heksan yang diperoleh kemudian ditimbang dan sebagian
dimasukkan ke dalam vial.
8. Lapisan air kemudian ditambahkan dengan pelarut etil asetat
sebanyak 25 mL di dalam corong pisah dan kemudian dikocok
9. Corong pisah didiamkan selama beberapa saat hingga terbentuk 2
lapisan pelarut
10. Lapisan N–Heksan kemudian ditampung dan lapisan air dimasukkan
kembali dan ditambahkan 25 etil asetat yang baru, penggantian
pelarut etil asetat yang baru dilakukan sebanyak 3 kali
11. Ektrak etil asetat diuapkan hingga terbentuk ekstrak yang kental
12. Ekstrak kental ditimbang dan kemudian sebagian dimasukkan ke
dalam vial
13. Dilakukan identifikasi senyawa dengan menggunakan metode
Kromatografi Lapis Tipis (KLT) dengan menggunakan eluen polar dan
non polar dengan penampak nodaoleh sinar UV serta pereaksi H 2SO4.
III.2.5 Kromatografi Lapis Tipis
1. Penyiapan lempeng silika gel
a) Lempeng silika gel F254 yang berukuran 20 x20 cm, dipotong dengan
ukuran 7 cm x 1 cm (untuk satu ekstrak).
b) Lempeng diberi garis penotolan menggunakan pensil 2B pada
bagian bawah dengan jarak 1 cm dengan garis batas elusi 0,5 cm
dari bagian atas.
2. Penjenuhan chamber
a) Disiapkan chamber yang bersih lengkap dengan tutupnya.
b) Chamber diisi dengan eluen dengan kepolaran yang berbeda.
c) Dimasukkan potongan kertas saring yang panjangnya lebih dari
tinggi chamber kemudian ditutup.
d) Eluen dibiarkan hingga naik melalui kertas saring hingga melewati
penutup kaca (chamber dianggap telah jenuh).
3. Penotolan sampel pada lempeng
a) Disiapkan alat adan bahan yang akan dibutuhkan.
b) Ekstrak N-heksan (dilarutkan dalam pelarut N-heksan), ekstrak etil
etanol (dilarutkan dalam pelarut etil asetat) serta ekstrak air.
c) Ekstrak diambil dengan menggunakan pipa kapiler, kemudian
ditotolkan hati-hati pada lempeng.
d) Lempeng yang telah ditotol diangin-anginkan sebentar untuk
menguapkan pelarutnya lalu dimasukkan kedalam chamber yang
telah dijenuhkan.
e) Bila eluen telah mencapai batas atas dari lempeng silika gel, maka
lempeng tersebut dapat dikeluarkan.
f) Diamati secara langsung dan dengan menggunakan penampak
bercak UV254, UV366 dan asam sulfat 10 %.

BAB IV
PEMBAHASAN
IV.1 Penyiapan Sampel Dan Ekstraksi
Alang-alang (Imperata cylindrica L.) Sudah sejak lama dikenal
sebagai tanaman uang banyak sekali memiliki manfaat. Beberapa daerah
mengenal alang-alang sebagai ilalang atau padang. Selain ilalang
ternyata akar alang-alang juga memiliki manfaat untuk kesehatan seperti
penurun panas, peluruh kencing (diuretik), menghentikan pendarahan,
menghilangkan haus, untuk meridiam paru-paru, lambung dan usus
( Arief, 2013)
Pada praktikum ini terdapat beberapa percobaan yang dilakukan
pada sampel akar alang-alang diantaranya pembuatan simplisia,
pembuatan ekstrak, pengujian skrining fitokimia, partisi ekstrak dan
pengujian kromatografi lapis tipis (KLT).
Pada percobaan pembuatan simplisia akar alang-alang terdapat
beberapa metode pembuatan yaitu :
1. Pengumpulan sampel alang-alang, pada proses pengumpulan sampel
waktu panen menjadi salah satu faktor paling berperan dalam tahap ini,
pengambilan dilakukan pada pagi hari pada saat tumbuhan melakukan
proses fotosintesis, tumbuhan diambil secara manual, diambil bagian
akar dari tanaman yang berada dibawah permukaan tanah yang diambil
di daerah Makassar.
2. Sortasi Basa, dilakukan untuk memisahkan kotoranatau bahan-bahan
asing lainnya dari tanaman alang-alang dengan cara membuang
bagian-bagian yang tidak perlu sebelum dilakukan pengeringan
sehinnga didapatkan herba yang layak untuk digunakan.
3. Pencucian
Dilakukan untuk menghilangkan tanaman dari pengotor-pengotor.
Pencucian akar alang-alang dilakukan dibawa air yang mengalir untuk
menghilangkan pengotor-pengotor pengganggudari sampel seperti
tanah atau kotoran yang menempel pada sampel.
4. Perajangan
Dilakukan untuk mempermudah proses pengeringan. Bagian akar
alang-alang dipotong kecil-kecil sekitar 2 atau 3 cm dengan
menggunakan pisau atau gunting dengan ukuran yang seragam.
5. Pengeringan
Dilakukan dilakukan dibawah sinar matahari langsung dengan bagian
atas sampel ditutup dengan kain hitam atau dengan menggunakan
oven selama kurang lebih 2 sampai 3 hari, agar di dapatkan simplisia
yang tidak mudah rusak dan tahan selama penyimpanan.
6. Sortasi kering
Dilakukan untuk memisahkan bagian-bagian tanaman yang masih
tertinggal namun tidak digunakan seperti akar-akar kecil dan serabut
kecil pengbungkus akar.
7. Penyimpanan
Dilakukan untuk melindungi simplisia agar tidak mudah rusak dan
merubah mutunya karena adanya faktor cahaya, oksigen, dan reaksi
kimia.
Pada percobaan pembuatan ekstrak akar alang-alang, metode
ekstraksi yang digunakan adalah ekstrasi secara dingin yaitu dengan
metode maserasi. Metode ini dilakukan dengan merendam serbuk bahan
dalam larutan penyari. Metode ini memiliki keuntungan karena
peralatannya mudah ditemukan dan pengerjaannya sederhana.
Simpliasia akar dari tanaman alang-alang (Imperata cylindrica L.)
tang sudah dipotong-potong, ditimbang dan diekstraksi secara maserasi
dengan menggunakan pelarut etanol 95%. Etanol digunakan sebagai
pelarut karena bersifat polar, universal dan mudah di dapat. Senyawa
metabolit sekunder yang yang akan diambil pada akar alang-alang bersifat
polar sehingga proses ekstraksi menggunakan pelarut polar. Prinsip
maserasi adalah ekstraksi zat aktif yang dilakukan dengan merendam
serbuk dalam pelarut yang sesuai selama 6 hari pada temperatur kamar
dan terlindung dari cahaya, pelarut akan masuk kedalam sel tanaman
melewati dinding sel. Isi sel akan larut karena adanya perbedaan
konsentrasi antara larutan di dalam sel dan di luar sel. Larutan yang
konsentrasinya tinggi akan terdesak dan digantikan oleh pelarut dengan
konsentrasi rendah. Peristiwa tersebut akan berulang sampai terjadi
keseimbangan di dalam dan di luar sel (Ansel, 2012).
IV.2 Skrining Fitokimia
Tanaman mengandung metabolit primer dan metabolit sekunder.
Metabolit primer adalah senyawa pembangunan yang diperlukan untuk
pertumbuhan dan perkembangan tanaman seperti asam amino,
karbohidrat, dan asam lemak ( Hasnani, 2015 ). Sedangkan metabolit
sekunder adalah senyawa fungsi langsung pada fotosintesis,
pertumbuhan, atau respirasi, transport solu, translokasi, sintesis protein,
asimilasi nutrien, diferensiasi, pembentukan karbohidrat, protein dan lipid.
Metabolit sekunder seringkali hanya dijumpai pada satu spesies atau
sekelompok spesies, metabolit sekunder juga merupakan hasil samping
atau intermediet metabolisme primer ( Mastuti, 2016 ). Untuk memastikan
metabolit yang terdapat pada tumbuhan, dilakukan skrining fitokimia.
Skrining fitokimia adalah tahap awal untuk mengidentifikasi kandungan
kimia yang terkandung dalam tumbuhan (krisniati, dkk, 2008). Skrining
fitokimia yang dilakukan uji pendahuluan, alkaloid, tanin, saponin,
flavonoid dan steroid.
 Uji pendahuluan
Dilakukan untuk menentukan ada tidaknya gugus kromofor dalam
sampel . gugus kromofor adalah gugus senyawa yang terdiri dari ikatan
ganda terkonjugasi yang mengandung elektron terdelokalisasi. Gugus
kromofor ini merupakan gugus penyusun dalam golongan senyawa
yang akan dianalisis, sehingga sebelumnya dilakukan analisis
pendahuluan ( Krisniati, dkk, 2008 ).
 Alkaloid
Alkaloid merupakan golongan zat tumbuhan sekunder yang terbesar.
Alkaloid mencakup senyawa bersifat basa yang mengandung satu atau
lebih atom nitrogen, biasanya dalam golongan, sebagai bagian dan
sistem siklik. Alkaloid memiliki kemampuan sebagai antibakteri.
Mekanisme yang diduga adalah dengan cara mengganggu komponen
penyusun peptidoglikan pada sel bakteri, sehingga lapisan dinding sel
tidak tebentuk secara utuh dan menyebabkan kematian sel tersebut
(Rivai, 2012).
 Tanin
Tanin merupakan golongan senyawa aktif tumbuhan yang bersifat fenol,
mempunyai rasa sepat dan mempunyai kemampuan menyamak kulit,
tanin memiliki aktivitas antibakteri dengan cara mengkerutkan dinding
sel atau membran sel sehingga mengganggu permeabilitas sel tidak
dapat melakukan aktivitas hidup sehingga pertumbuhan terhambat
bahkan mati (Rivai, 2012).
 Saponin
Saponin adalah senyawa glikosida triterpenoida ataupun glikosida
steroida yang merupakan senyawa aktif permukaan dan bersifat sabun
(Rivai, 2012)
 Flavanoid
Flavanoid adalah senyawa polar yang umumnya mudah larut pelarut
polar seperti etanol, merupakan golongan terbesar dan senyawa fenol
yang mempunyai sifat efektif yang menghambat pertumbuhan virus,
bakteri, jamur, flavanoid juga bersifat antioksidan (Pratiwi, 2016).
 Steroid
Steroid adalah senyawa organik lemak sterol tidak terhidrolisis yang
dapat dihasilkan dari reaksi penurunan dan terpena atau sketalena
(Pratiwi, 2016).

Pada praktikum ini, dilakukan skring fitokimia pada sampel akar


alang- alang ( Imperata cylindrica L. ) diperoleh hasil :

Uji Hasil percobaan Literatur


Uji pendahuluan Kuning (+) Kuning (+)
Alkaloid
Endapan coklat (-) Endapan coklat (-)
 Mayer
Endapan coklat (-) Endapan coklat (-)
 Wagner
Endapan jingga (+) Endapan jingga (+)
 Dragendorf
Saponin Tidak berbentuk busa (-) Tidak berbentuk busa (-)
Flavonoid Coklat (-) Merah (+)
Steroid Ungu (-) Merah jambu (+)
Tanin Coklat (-) Coklat (-)
Pada uji pendahuluan dilakukan penambahan KOH, dimana KOH
termasuk dalam gugus ausokrom yang mempunyai peranan untuk
memberikan warna lebih intensif pada suatu senyawa ( Hartono, 2015 )
sehingga diperoleh hasil positif yaitu terbetnuknya warna kuning setelah
pemanasan dan penambahan larutan KOH, hasil tersebut menunjukkan
adanya gugus kromofor pada sampel. Pada uji alkaloid bersifat basa,
sehingga penambahan HCl berfungsi untuk membentuk garam alkaloid,
dianalisis dengan reagen wagner, dragendrof, dan mayer. Dimana ketika 2
reagen positif maka dinyatakan positif adanya senyawa alkaloid. Pada
wagner terbentuk endapan coklat sedangkan pada dragendrof terbentuk
endapan jingga, diamana pereaksi tersebut dapat mengendapkan alkaloid
karena dalam senyawa alkaloid terdapat gugus nitrogen yang memiliki
satu pasang elektron bebas menyebabkan senyawa alkaloid bersifat
nukleofilik (basa) sehingga senyawa alkaloid mampu mengikat ion logam
berat (dragendrof) mempunyai muatan positif sehingga terbentuk endapan
jingga ( Hartono, 2015 ).
Pada uji tanin dilakukan penambahan air hangat untuk mempercepat
kelarutan dan tanin akan bereaksi dengan ion Fe 3+ membentuk kompleks
sehingga ditambah FeCl3. Reaksi yang terjadi adalah :
FeCl3 Fe3+ + 3Cl-
Menurut Setyawi ( 2014 ) uji tanin ditandai dengan terbentuknya warna
biru tua atau hijau kehitaman karena tanin berekasi dengan ion Fe 3+
membentuk kompleks namun pada sampel akar alang- alang ( Imperata
cylindrica L. ) diperoleh warna coklat yang menunjukkan hasil negatif.
Pada uji saponin ditambahkan air hangat kemudian dikocok menimbulkan
busa atau tidak, dengan penambahan HCl 2N diharapkan busa yang
terbentuk tetap konstan ( Putranri, 2013 ) namun pada praktikum sampel
akar alang- alang (Imperata cylindrica L.) diperoleh hasil yang negatif
karena tidak terbentuk busa/buih karena timbulnya buih menunjukkan
adanya glikosida yang mempunyai kemampuan membentuk buih dalam
air yang terhidrolisis menjadi glukosa dan senyawa lain (Pratiwi, 2016).
Pada uji flavanoid dilakukan penambahan HCl P dan serbuk Mg untuk
menghidrolisis flavonoid menjadi aglokonnya sehingga menghasilkan
seuatu senyawa yang kompleks. Menurut Sastromidjojo (2015) ketika
sampel direaksikan dengan HCl dan ion Mg akan terbentuk warna kuning,
senyawa flavonoid merupakan reaksi oksidasi dimana senyawa flavonoid
akan dioksidasi oleh Mg2+ dengan membentuk kompleks dengan ion
meganesium namun pada sampel akar alang- alang (Imperata cylindrica
L. ) diperoleh hasil negtif karena diperoleh hasil warna coklat. Pada uji
steroid penambahan H2SO4 P dimaksudkan karena senyawa steroid
memiliki kemampuan membentuk warna dengan H 2SO4 P membentuk
cincin merah jingga ( orange ) pada sampel akar alang- alang ( Imperata
cylindrica L.) diperoleh hasil negatif karena terbentuk warna ungu.
Adapun faktor kesalahan yang mungkin terjadi sehingga hasil yang
diperoleh negatif karena :
 Pereaksi yang digunakan telah terkontaminasi
 Alat yang digunakan tidak bersih
 Penggunaan pipet tetes secara bersamaan tiap pereaksi
 Ekstrak yang masih mengandung pelarut etanol yang belum menguap
secara sempurna.
IV.3 Partisi
Partisi adalah proses penarikan senyawa berdasarkah tingkat
kepolaran suatu pelarut, dimana menggunakan dua jenis pelarut yang
tidak saling bercampur ( Leba, 2017 ). Berdasarkan bentuk campuran
yang diekstraksi, suatu ekstraksi dibedakan menjadi ekstraaksi cair-cair
dan ekstraksi padat-cai (Yazid, 2005) :
1. Ekstraksi cair-cair
Ekstraksi cair-cair atau disebut juga ekstraksi pelarut merupakan
metode pemisahan yang didasarkan pada fenomena distribusi atau
partisi suatu analit diantara dua pelarut yang tidak saling bercampur.
Ekstraksi ini dilakukan untuk mendapatkan suatu senyawa dari
campuran berfase cair dengan pelarut lain yang juga berfase cair.
Prinsip dasar dari pemisahan ini adalah perbedaan kelarutan suatu
senyawa dalam dua pelarut yang berbeda. Selain itu metode ini
digunakan untuk keperluan pemisahan analit seperti menghilangkan
komponen pengganggu dan analisis kimia, memekatkan analit sebelum
analisis ( Leba, 2017 ).
Ekstraksi cair-cair digunakan untuk memisahkan senyawa atas
dasar perbedaan kelarutan pada dua jenis pelarut yang berbeda. Jika
analit berada dalam pelarut anorganik, maka pelarut yang digunakan
adalah pelarut organik atau sebaliknya ( Alimin, 2007 ).
Pada proses ekstraksi cair-cair alat yang digunakan corong pisah.
Corong pisah adalah alat yang digunakan untuk memisahkan
komponen-komponen dalam suatu campuran antar dua fase pelarut.
Corong pisah mempunyai penyumbat pada bagian atas dan kram
dibawahnya. Corong pisah terbuat dari kaca bersilikat yang kramnya
terbuat dari kaca/teflon ( Leba, 2017 ).
Ekstraksi cair-cair ditentukan oleh distribusi Nersnt yang
menyatakan bahwa pada suhu dan tekanan yang kosntan, senyawa-
senyawa akan terdistribusi dalam proporsi yang selalu sama diantara
dua pelarut yang tidak saling bercampur. Perbandingan konsentrasi
pada keadaan setimbang didalam fase disebut koefisien distribusi (KD)
atau koefisien partisi.
Kelebihan dari ekstraksi cair-cair adalah pelarut yang digunakan
sedikit akan dapat diperoleh substansi yang relatif banyak. Sedangkan
kerugian dari ekstraksi cair-cair adalah tidak dapat menggunakan zat
yang termolabil, karena akan mengubah bentuk kimia sehingga
koefisien distribusi dan efektivitas pelarut pun berubah dan dapat
membentuk emullsi saat pengocokan sehingga tidak akan jelas
pemisahannya ( Rohman, Abdul, 2014 ). Beberapa masalah dalam
ekstraksi cair-cair yaitu :
 Terbentuk emulsi
 Analit tertarik kuat pada partikulat
 Analit terikat pada senyawa yang mempunyai berat molekul tinggi
 Analit terjerap oleh partikuat yang mungkin ada
 Adanya kelarutan analit secara bersama dalam kedua fase
Terjadinya emulsi dalam pelarut ekstraksi cair-cair dapat diatasi
dengan :
 Penambahan garam kedalam fase air
 Pemanasan atau pendinginan corong pisah
 Penyaringan melalui glass woll
 Penyaringan dengan menggunkan kertas saring
 Penambahan sedikit pelarut organik yang berbeda
 Sentrifugasi
2. Ekstraksi cair-padat
Ekstraksi cair-padat merupakan pemisahan komponen dari padatan
dengan melarutkan dalam pelarut tetapi komponen lainnya tidak dapat
dilarutkan dalam pelarut tersebut. Zat yang diekstraksi terdapat didalam
campuran yang berbentuk padatan. Mekanisme ekstraksi cair-padat
dimulai dengan adsorpsi pelarut dari permukaan sampel, diikuti difusi
pelarut kedalam sampel dan pelarutan analit oleh pelarut. Selanjutnya
terjadinya difusi analit oleh pelarut ke permukaan sampel dan absorpsi
analit pelarut dari permukaan sampel kedalam pelarut. Kecepatan difusi
analit pelarut tergantung beberapa faktor yaitu :
 Temperatur
 Luas permukaan partikel
 Jenis pelarut
 Perbandingan analit dengan pelarut
 Kecepatan dan lama pengadukan
Agar kondisi optimun ekstraksi dapat tercapai, ada hal yang perlu
diperhatikan yaitu :
 Kemampuan atau daya larut analit dalam pelarut harus tinggi
 Pelarut yang digunakan harus selektif
 Konsentrasi analit dalam sampel harus cukup tinggi
 Tersedia untuk metode memisahkan kembali analit dan pelarut
pengekstraksi ( Leba. 2017 ).
Ekstraksi cair-padat digunakan untuk memisahkan analit yang
terdapat pada padatan menggunakan pelarut organic ( Yazid, 2005 ).
Kelebihan ekstraksi cair-padat yaitu zat yang diekstraksi berbentuk
padatan digunakan untuk mengisolasi zat steroid, hormon, antibiotika, dan
lipid pada biji-bijian. Kerugian yaitu digunakan peralatan yang banyak dan
proses pemisahannya lama. Kriteria cairan penyari yang baik, yaitu :
 Murah dan mudah diperoleh
 Stabil secara fisika dan kimia
 Bersifat netral
 Tidak mudah menguap dan tidak mudah terbakar
 Tidak mempengaruhi zat berkhasia
Pada praktikum ini digunakan sampel akar alang-alang ( Imperata
cylindrica L.) dengan metode ekstraksi cair-cair dengan menggunakan
pelarut n-heksan, etil asetat, dan air. Terlebih dahulu dilakukan uji
kelarutan dan dihasilkan bahwa sampel tidak larut dalam n-heksan dan etil
asetat. Pada praktikum ini dilakukan penambahan pelarut dimulai dari
nonpolar karena jka pada pengerjaan awal digunakan pelarut polar maka
dikhawatirkan adanya senyawa nonpolar yang ikut larut karena senyawa
polar mampu melarutkan senyawa nonpolar ( Rahayu, 2009 ).
Tahapan pengerjaan ekstraksi cair-cair yaitu 5 gram ekstrak akar
alang-alang ( Imperata cylindrica L.) dilarutkan terlebih dahulu dengan
etanol kemudian dilarutkan dengan aquadest dengan volume 25 ml.
Kepolaran dari aquadest dapat membuat ekstrak tidak terikat kuat dengan
etanol untuk mencegah terjadinya noda ( Rohman, A, 2009 ). Setelah itu
dimasukkan kedalam corong pisah dan ditambahkan n-heksan dan
dikocok pada satu corong pisah hingga homogen dan sesekali kran
corong dibuka agar tekanan dalam corong pisah tidak meningkat dan
mencegah meledaknya corong pisah. Kemudian didiamkan hingga
terbentuk 2 lapisan dimana lapisan yang diatas adalah n-heksan dan
dibawah adalah air. Hal ini disebabkan karena air memiliki massa jenis
yang lebih tinggi/besar daripada n-heksan. Selanjutnya lapisan n-heksan
diambil dan diuapkan. Dimana ekstraksi cair-cair ini dilakukan sebanyak 3
kali agar filtrat yang diperoleh lebih murni. Setelah itu filtrat yang diperoleh
dari hasil ekstraksi cair-cair dengan pelarut n-heksan diuapkan dan
dihitung % rendamen fraksinya ( Rizkia, 2015 ). Selanjutnya dilakukan
prosedur yang sama dengan menggunakan pelarut etil asetat. Rendamen
masing-masing fraksi dihitung dengan rumus :

% rendamen fraksi =

( Rizkia. 2015 )
Dari hasil partisi sampel akar alang-alang ( Imperata cylindrica L.)
diperoleh bahwa % rendamen fraksi n-heksan adalah 129,6 % dan %
rendamen fraksi etil asetat adalah 156,8 %.
 % rendamen fraksi n-heksan

% rendamen fraksi =

= 129,6 %
 % rendamen fraksi etil asetat

% rendamen fraksi =

= 156,8 %
IV. 4 KLT
Kromatografi Lapis Tipis (KLT) adalah salah satu metode
pemisahaan komponen menggunakan fasa diam berupa plat dengan
lapisan bahan adsorben inert. KLT merupakan salah satu jenis
kromatografi analitik. KLT sering digunakan untuk identifikasi awal, karena
banyak keuntungan menggunakan KLT diantaranya adalah sederhana
dan murah. KLT termasuk kromatografi planar, selain kromatografi kertas.
Kromatografi juga merupakan analisis cepat yang memerlukan bahan
sangat sedikit, baik penyerap maupun cuplikannya, Bahan lapis tipis
seperti silika gel adalah senyawa yang tidak bereaksi dengan pereaksi
pereaksi yang lebih reaktif seperti asam sulfat (Fessenden, 200).
Prinsip KLT adalah adsorpsi dan partisi dimana adsorpsi aadaalh
penyerapan pada permukaan, sedangkan partisi adalah penyebaran atau
kemampuan suatu zat yang bada dalam larutan untuk berpisah keedalam
pelarut yang digunakan, Kecepatan gerak senyawa-senyawa keatas pada
lempengan tergantung bagaimana kelarutan senyawa dalam pelarut, hal
ini bergantung pada bagaimana besar atraksin antar moloekul-molekul
senyawa dengan pelarut (Soebagio. 2002).
Adsorben tersebut berperan sebagai fasa diam. Fasa gerak yang
digunakan dalam KLT sering disebut dengan eluen. Pemilihan eluen
didasarkan pada polaritas senyawa dan biasanya merupakan campuran
beberapa cairan yang berbeda polaritas, sehingga didapkan perbandingan
tertentu. Eluen KLT dipilih dengan cara trial and error. Kepolaran eluen
sangat berpengaruh terhadap Rf (faktor retensi) yang diperoleh (Gandjar,
Ibnu Gholib dan Abdul Rohman. 2007).
Nilai Rf sangat karakteristik untuk senyawa tertentu pada eluen
tertentu. Hal tersebut dapat diguanakan untuk mengidentifikasi adanya
perbedaan senyawa dalam sampel. Senyawa yang mempunyai Rf lebih
besar berarti mempunyai kepolaran yang rendah, begitu juga sebaliknya.
Hal tersebut dikarenakan fasa diam bersifat polar. Senayawa yang lebih
polar akan tertahan kuat pada fasa diam, sehingga mengahsilkan nilai Rf
yang rendah. Rf KLT yang bagus berkisar antara 0,2-0,8. Jika Rf terlalu
tinggi, yang harus dilakukan adalah mengurangi kepolaran eluen, dan
sebaliknya diperoleh (Gandjar, Ibnu Gholib dan Abdul Rohman. 2007).
Pada praktikum ini pada sampel hasil fraksi akar alang-alang
(Imperta Cylindrica L) yaitu hasil fraksi etil asetat, n-heksan dan air.
Peratama-tama diaktifkan terlebih dahulu agar proses elusi lempeng dapat
menyerap dan beriaktan dengan sampel yang dilakukan pada suhu 110 oC
selama 30 menit (Rohman Abdul. 2007. Kimia Farmasi Analisis”. Pustaka
pelajar; Yogyakarta). Eluen yang digunakan yaitu metanol : n-heksan
(3:7)sebanyak 10 mL. Setelah itu eluen yang digunakan dijenuhkan.
Alasan penjenuhan chamber sebelum digunakan yaitu untuk
menghilangkan uap air diadalam chamber agar nantinya tidak
mempengaruhi perambatan noda pada lempeng yang mengisi fasa
penjerap yang akan menghalangi laju eluen (Rohman Abdul. 2007).
Tahap selanjutnya adalah penotolan sampel fraksi akarv alang-alang
etil asetat dan n-heksan dimana pada penotolan sampel jangan terlalu
pekat agar proses pemisahan tidak akan sulit kemudian lempeng yang
telah ditotolkan dimasukkan dalam eluen yang telah jenuh dan diamati
pergerakan nodanya. Setelah itu lempeng diamati pada lampu UV 254 nm
dan 366 nm dan ditentukan nilai Rf nya. Alasan digunakan lampu UV 254
nm ialah untuk pengamaatan pada lempeng atau diaktakan untuk melihat
fluoresensi pada lempeng. Mekanisme kerjanya ialah terjadinya
fluoresensi pada lempeng ini dikarenakan cahaya yang tampak
merupakan emisi cahaya yang dipancarkan oleh komponen tersebut.
Sehingga ketika elektron tereksitasi yakni perubahan suatu energi rendah
ketingkat energi tinggi ini menyebabkan energi yang dihasilkan akan
terlepas. Alasan dgnakan UV 366 nm ialah untuk menampakkan nodanya
atau dikatakan untuk melihat fluoresensi pada noda. Mekanisme kerjanya
ialah terjadinya fluoresensi pada noda atau penampakan pada noda, ini
disebabkan karena daya interaksi antara lampu UV 366 nm dengan gugus
kromofor yang terdapat pada sampel merupakan emisi cahaya yang
dipancarkan oleh komponen tersebut. Sehingga ketika elektron tereksitasi
yakni perubahan suatu energi rendah ketingkat energi tinggi ini dapat
menyebabkan energi yang dihasilkan akan terlepas.
Berdasarkan hasil praktikum didapatkan bahwa nilai Rf Fraksi n-
heksan yaitu 0,54 dan nilai Rf etil asetat yaitu 0,54. Diamana nilai Rf yang
baik adalah 0,2 -0,8. Adapun faktor-faktor kesalahan yang mungkin terjadi
yakni, rusaknya lempeng KLT, tidak jenuhnya larutan eluen, tidak
bersihnya alat yang digunakan.

BAB V
PENUTUP
V.1 kesimpulan
Berdasarkan hasil percobaan akar alang-alang (Imperata Cylindica.
L) di ekstraksi dengan metode maserasi dengan pelarut 1000ml dengan
berat simplisia 600g. hasil rendemen 149,21 g, pada uji skrining fitokimia
di dapat kan hasil bahwa sampel akar alang-alang (Imperata Cylindica. L)
mengandung senyawa metabolit sekunder yaitu gugus kromofor dan
Alkaloid, pada proses partisi menggunakan metode cair-cair dengan dua
pelarut yaitu N-Heksan dan etil asetat, dari hasil partisi tersebut di peroleh
% rendeman fraksi N-Heksan adalah 129,6% dan fraksi Etil asetat
156,8%, dan dianalisis dengan KLT menggunakan eluen N-heksan dan
methanol (7:3) dengan nilai Rf N-heksan yaitu 0,54 dan Rf etil asetat 0,54.

DAFTAR PUSTAKA
Alimin, M. Muh Yunus dan Irfan. 2007. “Kimia Analitik”. UIN Makassar :
Makassar.
Ansel C. Howard. 2012. “Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi Edisi ke 6”.
Penertbit Universitas Indonesi. Jakarta

Arief Hariana. 2013. ”Tumbuhan Obat dan Khasiatnya”. Jakarta

Hanani, E. 2015. “ Analisis Fitokimia “. EGC. Jakarta.

Hartono.2015.”Metode Fitokimia”. Penerbit ITB. Bandung.

Gritter, R.J., J.M. Bobbit, and A.E. Schwarting. 1991. Pengantar


Kromatografi ed 2. Terjemahan Kokasih Padmawinata. Bandung :
Penerbit ITB

Krisniati, dkk. 2008. “ Buku Ajar Fitokimia.” Jurusan Kimia Laboratorium


Kimia Organik FMIPA. Universitas Airlangga. Surabaya.

Leba, Mana. 2017. “ Buku Ajar dan Real Kromatografi”. Penerbit


Deepublish : Yogyakarta.

Pratiwi, Resa dewi. 2016.” Uji Kualitatif Fitokimia.” Universitas Indraprasta.


Semarang.

Putran, R. 2013 .” Skrining Fitokimia dan Aktivitas Antioksidan Ekstrak


Rumput laut Saigasum dan Turbina dan Japara”. Yogyakarta.

Raina. 2011. “ Ensiklopedia Tanaman Obat untuk Kesehatan”. Absolut :


Yogyakarta.

Rivai, Harri. 2018.” Analisis Kualitatif dan Kuantitatif Kandungan Senyawa


dari Ekstrak Heksan, Aseton, Etanol, dan air Herba Sambiloto.”
Padang.

Rohman, Abdul. 2014. “ Validasi dan Penjaminan Mutu Metode Analisis


Kimia”. Gadjah Mada University Press : Yogyakarta.

Rubiyanto, D. 2017. Metode Kromatografi Prinsip Dasar, Praktikum dan


Pendekatan Pembelajaran Kromatografi . Yogyakarta : Penerbit
Deepublish

Sastrohamidjojo, Hardjono. (1985). Kromatografi. Yogyakarta: Liberty


Yogyakarta.
Seniwati, dkk. 2009. “Physochemical Screening Of Seagres Plant
( Imperata cylindrica L. ) and Snake Toagtue.” FMIPA Universitas
Lampung. Banjarbaru.
Stahl, E., 1985, Analisis Obat secara Kromatografi dan Mikroskopi, Edisi
terjemahan (diterjemahkan oleh Kosasih Padmawinata, Iwang
Soediro), ITB press, Bandung

Touchstone, J.C., M.F. Dobbins. 1983. Practice of thin layer


chromatography. Canada : John Wiley & Sons, 2-12.

Yazid, Estien. 2005. “Kimia Fisika Untuk Paramedis”. Andi Press :


Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai