Anda di halaman 1dari 20

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Biologi Ikan


Ikan lele sangkuriang (Clarias gariepinus) merupakan salah satu jenis ikan
air tawar yang sudah banyak dibudidayakan di Indonesia. Asal-usul dari lele
sangkuriang, yaitu Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar (BBPBAT)
memutuskan untuk melakukan pemurnian kembali dengan tujuan untuk
memperbaiki kualitas ikan lele dumbo yang mengalami penurunan. Ikan lele betina
keturunan kedua yang merupakan lele dumbo asli dari Afrika Selatan (F2)
dikawinkan dengan ikan lele jantan keturunan keenam (F6) yang merupakan
sediaan induk yang ada di BBPBAT Sukabumi, sehingga anakan yang dihasilkan
kemudian dinamakan Lele Sangkuriang (Amri & Khairuman 2008).
Tubuh ikan lele sangkuriang mempunyai bentuk tubuh memanjang, berkulit
licin, berlendir, dan tidak bersisik. Bentuk kepala menggepeng (depress) dengan
mulut yang relatif lebar, dan mempunyai empat pasang sungut. Ikan lele
sangkuriang memiliki tiga sirip tunggal, yaitu sirip punggung, sirip ekor, dan sirip
dubur. Sirip dada dijumpai sepasang patil atau duri keras yang dapat digunakan
untuk mempertahankan diri dan dapat dipakai untuk berjalan di permukaan tanah
atau pematang. Bagian atas ruangan rongga insang terdapat alat pernapasan
tambahan (organ arborescent) berbentuk seperti batang pohon yang penuh dengan
kapiler-kapiler darah untuk membantu mengikat oksigen dari udara (Najiyati 1992).
Mulutnya terdapat di bagian ujung dan terdapat empat pasang sungut. Insangnya
berukuran kecil dan terletak pada kepala bagian belakang. Ikan lele mempunyai
kebiasaan makan di dasar perairan dan bersifat karnivora dan kanibal, yaitu
memangsa jenisnya sendiri jika kekurangan jumlah pakan dan lambat memberikan
pakan (Najiyati 1992).

2.1.1 Klasifikasi
Klasifikasi ikan lele sangkuriang (Clarias gariepinus) menurut Kordi (2010)
adalah sebagai berikut :

3
4

Filum : Chordata
Kelas : Pisces
Sub kelas : Teleostei
Ordo : Ostariophysi
Sub ordo : Siluroidae
Famili : Claridae
Genus : Clarias
Spesies : Clarias gariepinus

2.1.2 Morfologi
Lele sangkuriang (Clarias gariepinus) memiliki ciri-ciri identik yang mirip
dengan lele dumbo. Umumnya ikan lele sangkuriang dikenal sebagai ikan berkumis
atau catfish. Tubuh ikan lele sangkuriang ini berlendir dan tidak bersisik serta
memiliki mulut yang relatif lebar yakni ¼ dari panjang total tubuhnya. Ciri khas
dari lele sangkuriang adalah adanya empat pasang sungut yang terletak di sekitar
mulutnya. Keempat pasang sungut tersebut terdiri dari dua pasang sungut
maxiral/rahang atas dan dua pasang sungut mandibula/rahang bawah. Fungsi
sungut bawah adalah sebagai alat peraba ketika berenang dan sebagai sensor ketika
mencari makan. Sirip lele sangkuriang terdiri atas lima bagian yaitu sirip dada, sirip
perut, sirip dubur, sirip ekor, dan sirip punggung. Sirip dada lele sangkuriang
dilengkapi dengan patil (sirip yang keras) yang berfungsi untuk alat pertahanan diri
(Lukito 2002).
Alat pernafasan lele sangkuriang berupa insang yang berukuran kecil
sehingga lele sangkuriang sering mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan
oksigen. Ikan lele sangkuriang mengalami kesulitan dan memenuhi kebutuhan
oksigen, akibatnya lele sangkuriang sering mengambil oksigen dengan muncul ke
permukaan. Alat pernafasan tambahan terletak di rongga insang bagian atas, alat
berwarna kemerahan penuh kapiler darah dan mempunyai tujuk pohon rimbun yang
biasa disebut “arborescent organ”. Lele sangkuriang (Clarias gariepinus)
menggunakan sirip tunggal dan sirip berpasangan. Sirip tunggal adalah sirip
punggung dan sirip ekor . Sedangkan sirip berpasangan adalah sirip perut dan sirip
dada. Sirip dada yang keras disebut patil (Khairuman dan Amri 2009).
5

2.1.3 Habitat
Ikan Lele sangkuriang memiliki habitat di air tawar, walau air yang terbaik
untuk memelihara lele sangkuriang adalah air sungai, air saluran irigasi, air tanah
dari mata air, maupun air sumur, tetapi lele sangkuriang relatif tahan terhadap
kondisi air yang menurut ukuran kehidupan ikan dinilai kurang baik. Lele
sangkuriang juga dapat hidup dengan padat penebaran tinggi maupun dalam kolam
yang kadar oksigennya rendah, karena ikan lele sangkuriang mempunyai alat
pernapasan tambahan yang disebut arborescent yang memungkinkan lele
sangkuriang mengambil oksigen langsung dari udara untuk pernapasan (Djoko
2006).
Faktor-faktor yang berhubungan dengan lingkungan hidup ikan harus dijaga
dan diperhatikan. Faktor-faktor tersebut antara lain adalah: suhu berkisar antara 24
– 300C, pH 6,5 – 7,5, oksigen terlarut 5 – 6 mg/l. Dengan kondisi perairan tersebut
di atas ikan lele dapat hidup dengan baik mengenai kepesatan tubuhnya maupun
kemampuan dalam menghasilkan benih ikan (Djoko 2006).

2.1.4 Pertumbuhan
Faktor yang sangat mempengaruhi pertumbuhan benih ikan lele sangkuriang
yaitu kandungan nutrisi dalam pakan. Pemanfaatan pakan oleh ikan sangat
dipengaruhi oleh kualitas pakan dari segi kandungan nutrisi atau tingkat kecernaan
pakan itu sendiri. Pakan berkualitas selain berperan sebagai sumber energi utama
juga diharapkan mampu meningkatkan daya cerna ikan sehingga pertumbuhan
menjadi optimum. Kandungan nutrisi terpenting dalam pakan salah satunya yaitu
protein, dimana protein merupakan faktor penting dalam pertumbuhan ikan
(Ahmadi dkk 2012).
Menurut Krisnando (2013) pemberian pakan cacing sutra akan
mempengaruhi pertumbuhan benih ikan lele sangkuriang daripada perlakuan
pemberian pakan pelet yang digunakan dalam penelitian. Sehingga dapat
disimpulkan pemberian pakan alami lebih baik dibandingkan dengan pemberian
pakan buatan.
6

Selain makanan, pertumbuhan benih ikan lele juga dapat dipengaruhi dengan
perubahan suhu, kandungan oksigen, pH, atau sifat air yang lain akan sangat mudah
menyebabkan stres. Hal yang terpenting dalam pertumbuhan benih ikan lele adalah
kebutuhan pakan dalam setiap harinya. Menurut Najiyati (1992:29) menyatakan
bahwa ikan lele sangkuriang membutuhkan makanan 3-5% dari berat lele
keseluruhan.

2.1.5 Reproduksi
Menurut Sito (2009) reproduksi merupakan hal yang sangat penting bagi
kelangsungan hidup suatu organisme. Menurut Suyanto (1986) mengemukakan
bahwa Ikan lele pertama kali matang gonad pada ukuran panjang tubuh sekitar 20
cm dan ukuran bobot tubuh 100 sampai 200 gram. Tingkat kematangan gonad
tersebut dipengaruhi oleh kondisi genetik ikan dan kandungan nutrisi pada pakan.
Gonad ikan lele jantan dapat dibedakan dari ciri-cirinya yang memiliki gerigi pada
salah satu sisi gonadnya, warna lebih gelap, dan memiliki ukuran gonad lebih kecil
dari pada betinanya. Sedangkan, gonad betina ikan lele berwarna lebih kuning,
terlihat bintik-bintik telur yang terdapat di dalamnya, dan kedua bagian sisinya
mulus tidak bergerigi. Ciri induk ikan betina yang telah matang gonad dapat dilihat
dari bentuk perut yang membesar sangat lembut, dapat juga dengan mengurut perut
ikan tersebut. Bila telur yang keluar secara pengurutan berbentuk bulat utuh,
berwarna agak kecoklatan atau hijau kekuningan maka induk dalam kondisi siap
pijah. Pada gonad ikan jantan dapat dilihat dari papilla genitalnya yang terletak
dibelakang dan mendekati sirip anus, berwarna merah, meruncing dan menyebar
kearah pangkalan, makan ikan tersebut telah matang kelamin (Sambas 2010).
Ikan lele yang hidup di alam memijah pada musim penghujan dari bulan Mei
sampai Oktober. Ikan lele juga dapat memijah sewaktu-waktu sepanjang tahun,
apabila keadaan air kolam sering berganti. Pemijahan juga di pengaruhi oleh
makanan yang diberikan. Makanan yang bermutu baik akan meningkatkan vitalitas
ikan sehingga ikan lele lebih sering memijah (Sambas 2010).
Menurut Suyanto (1999), lele sangkuriang mulai dapat dijadikan induk pada
umur (8 – 9) bulan dengan massa minimal 500 gram. Telur akan menetas dalam
7

tempo 24 jam setelah memijah dengan kemampuan memijah sepanjang tahun tanpa
mengenal musim. Menurut Prihartono, dkk (2000), tanda-tanda induk jantan yang
telah siap memijah diantaranya alat kelamin tampak jelas (meruncing), perutnya
tampak ramping, jika perut diurut akan keluar spermanya, tulang kepala agak
mendatar dibanding dengan betinanya, jika warna dasar badannya hitam (gelap),
warna itu menjadi lebih gelap lagi dari biasanya. Sedangkan untuk induk betina alat
kelaminnya bentuknya bulat dan kemerahan, lubangnya agak membesar, tulang
kepala agak cembung, gerakannya lamban, warna badannya lebih cerah dari
biasanya.
Perkembangan telur dan sperma berlangsung di dalam tubuh lele dengan
mekanisme pengaturan oleh zat yang disebut hormone kelamin gonadotropin atau
gonade stimulating hormone (GSH). Bila lele mencapai tingkat dewasa, hormone
gonadotropin secara alami akan terbentuk di dalam kelenjar hipofisa yang terletak
di bawah otak kecil. Awalnya hormone gonadotropin yang terbentuk sedikit
kemudian dialirkan melalui darah ke dalam indung telur, sehingga terbentuklah
telur-telur yang semakin besar dan banyak jumlahnya di dalam indung telur.
Sampai suatu saat telur-telur menjadi matang untuk dibuahi oleh sperma
(fertilisasi). Namun kematangan telur yang terjadi dalam indung telur belum tentu
segera diikuti oleh kemauan induk untuk memijah sehingga diperlukan rangsangan
yaitu dengan mengubah iklim atau sifat-sifat air yang dapat membei rangsangan
bagi lele untuk membentuk hormone gonadotropin lebih banyak lagi (Sambas
2010).
Golongan ovipar yaitu ikan yang mengeluarkan telur pada waktu pemijahan.
ikan jantan dan betina megeluarkan sperma dan telur secara bersama dalam suatu
lingkungan yang cocok. Jumlah telur yang banyak dibiarkan hanyut dalam perairan
terbuka, terbawa dan terapung oleh turbulensi arus, kemudian menempel pada
substrat. Spesies lain memiliki kebiasaan berpasangan dalam memijah setelah satu
atau dari pasangan tersebut keduanya menyiapkan tempat untuk meletakkan telur.
Beberapa jenis ikan memendam telurnya di krikil dan kemudian meninggalkannya,
sedangkan jenis lain akan menjaga (mengawal) sarangnya (Sito 2009).
8

2.1.6 Kebiasaan Makanan


Menurut Suyanto (2006), ikan lele digolongkan sebagai ikan carnivora.
Pakan alami yang baik untuk benih ikan lele adalah jenis zooplankton seperti
Moina sp., Daphnia sp., cacing-cacing, larva (jentik-jentik serangga), siput-siput
kecil dan sebagainya. Pakan alami biasanya digunakan untuk pemberian pakan lele
pada fase larva sampai benih. Selain pakan alami, lele juga memerlukan pakan
tambahan untuk pertumbuhan dan mempercepat kematangan gonad. Jenis pakan
tambahannya harus banyak mengandung protein hewani yang mudah dicerna.
Pakan tambahan tersebut harus dapat mempercepat pertumbuhan sehingga
produksi yang diharapkan dapat tercapai. Pakan tambahan yang digunakan dapat
berupa pelet komersial yang mengandung protein di atas 20% (Prihartono et al.
2000).
Ikan lele biasanya mencari makanan di dasar kolam (Suyanto 2006).
Peningkatan nafsu makan ikan lele sangkuriang seiring dengan peningkatan suhu
air dan kebiasaan hidupnya. Ikan lele sangkuriang lebih banyak beraktivitas pada
malam hari atau sering disebut nokturnal terutama dalam hal mencari makan.
Namun, karena sudah menjadi kebiasaan, maka tidak jarang lele sangkuriang yang
beraktivitas pada siang hari. Oleh karena itu, pemberian pakan sebaiknya dilakukan
antara 2-3 kali sehari, yaitu pada pagi sekitar puku 09.00 WIB, sore menjelang
malam sekitar pukul 17.00-18.00 WIB dan malam sekitar pukul 20.00-22.00 WIB
(Prihartono et al. 2000).

2.2 Pertumbuhan
Pertumbuhan bisa dirumuskan sebagai pertambahan panjang atau bobot
dalam suatu waktu, sedangkan pertumbuhan bagi populasi sebagai pertambahan
jumlah. Pertumbuhan pada individu merupakan pertambahan jaringan akibat dari
pembelahan sel secara mitosis. Hal tersebut terjadi apabila ada kelebihan input
energi dan asam amino (protein) yang berasal dari makanan (Effendi 2002).
Pertumbuhan ikan merupakan perubahan dimensi (panjang, bobot, volume,
jumlah dan ukuran) persatuan waktu baik itu individu, stok maupun komunitas,
sehingga pertumbuhan banyak di pengaruhi oleh beberapa faktor. Umumnya
9

pertumbuhan di pengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor intrinsik dan faktor
ekstrinsik. Faktor intrinsik meliputi sifat keturunan, umur atau ukuran, ketahanan
terhadap penyakit, dan kemampuan untuk mendapatkan makanan serta faktor
ekstrinsik meliputi makanan, kondisi lingkungan, dan kompetisi (Rahardjo 2011).
Tanpa menghilangkan efek faktor intrinsik pertumbuhan, faktor ekstrinsik pada
dasarnya yang sangat mempengaruhi laju pertumbuhan dari ikan. Faktor ekstrinsik
utama yang mempengaruhi pertumbuhan adalah suhu dan makanan, tetapi untuk
daerah tropic makanan merupakan faktor yang lebih penting dari pada suhu
(Effendie 1997). Menurut Haryanti dan Khalik (1994), Pemberian kombinasi pakan
yang tepat dapat mendukung pertumbuhan, pencegahan infeksi, dan dapat
meningatkan tingkat kelangsungan hidup. lingkungan yang sesuai diindikasikan
kelimpahan makanan dan pertumbuhan yang cepat (Moyle dan Cech 2004 dalam
Herawati 2017).

2.2.1 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan


Menurut Effendie (1971) faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dapat
dikelompokan menjadi 2 yaitu faktor dalam dan faktor luar.
a. Faktor dalam umumnya sukar dikontrol, diantaranya ialah keturunan, sex, dan
umur. Tercapainya kematangan gonad untuk pertama kali mempengaruhi
pertumbuhan yaitu kecepatan pertumbuhan menjadi lebih lambat.
Pertumbuhan cepat terjadi pada ikan ketika berumur 3-5 tahun. Sedangkan
pada ikan yang sudah tua proses pertumbuhan berjalan lambat.
b. Faktor luar yang utama mempengaruhi pertumbuhan ialah makanan dan suhu
perairan. Didaerah yang 4 musim, jika suhu perairan turun dibawah 10ºC ikan
perairan panas yang berada didaerah tadi akan berhenti mengambil makanan
atau mengambil makanan hanya sedikit sekali untuk keperluan
mempertahankan kondisi tubuh. Sedangkan untuk daerah tropik suhu perairan
berada dalam batas kisar optimum untuk pertumbuhan. Selain itu penyakit
dan parasit juga berpengaruh terhadap petumbuhan ikan terutama bila
penyakit atau parasit tersebut menyerang bagian organ pencernaan atau organ
10

vital sehingga efisiensi berkurang karena karena ikan kekurangan makanan


yang berguna untuk pertumbuhan.
Padat tebar yang dilakukan pada sistem budidaya resirkulasi, dengan wadah
indoor akan memberikan hasil yang lebih baik, bila dibandingkan dengan cara
konvensional, karena lingkungan (kualitas air) mudah dikontrol. Menurut Bardach
et al. (1972) tingkat padat penebaran akan mempengaruhi keagresifan ikan. Ikan
yang dipelihara dalam kepadatan yang rendah akan lebih agresif, sedang ikan yang
dipelihara dalam kepadatan yang tinggi akan lambat pertumbuhannya karena
tingginya tingkat kompetisi dan banyaknya sisa-sisa metabolisme yang
terakumulasi dalam media air.
Menurut Hepher dan Pruginin (1984), peningkatan kepadatan ikan tanpa
disertai dengan peningkatan jumlah pakan yang diberikan dan kualitas air yang
terkontrol akan menyebabkan penurunan laju pertumbuhan ikan (critical standing
crop) dan jika telah sampai pada batas tertentu (carrying capacity) maka
pertumbuhannya akan terhenti sama sekali.
Benih yang dipelihara dengan kepadatan tinggi dalam wadah sistem
konvensional menyebabkan terjadinya persaingan makanan dan kanibalisme
apabila makanan yang tersedia terbatas. Padat penebaran ikan yang tinggi dapat
meningkatkan biomassa ikan sebagai total hasil produksi, tetapi belum tentu dapat
mempertahankan bobot rata-rata ikan. Hal ini dimungkinkan karena pada padat
penebaran yang tinggi tingkat persaingan ikan untuk mendapatkan pakan juga
meningkat, sedangkan pemanfaatan pakan oleh ikan untuk pertumbuhannya akan
menurun (Suresh dan Lin, 1992).

2.2.2 Pola Pertumbuhan


Pola pertumbuhan ikan mas dapat dilihat dari hubungan panjang dan berat.
Regresi pertumbuhan ikan pada saat b=3 (isometrik) maka pertumbuhan panjang
dan berat seimbang, alometrik (b≠3) maka pertumbuhan panjang dan berat tidak
seimbang, alometrik negatif (b < 3) maka pertumbuhan berat lebih kecil
dibandingkan dengan pertumbuhan panjang, dan jika alometrik positif (b>3) maka
pertumbuhan berat lebih besar dibandingkan dengan pertumbuhan panjang.
11

Pengukuran panjang ikan dalam penelitian biologi perikanan sebaiknya suatu


ketentuan sudah lazim digunakan. Dalam hal ini panjang ikan dapat diukur dengan
menggunakan sistem metrik ataupun sistem lainnya (Effendie 1979).
Menurut Ricker (1975) dalam Efendie (1979), jika nilai b = 3 disebut pola
pertumbuhan isometrik yaitu pertambahan panjang dan berat seimbang. Jika nilai
b ≠ 3 di sebut pola pertumbuhan Allometrik yaitu pertambahan berat dan panjang
tidak seimbang. Jika nilai b < 3 maka pertambahan panjang lebih cepat dari
pertambahan berat ( Allometrik minor). dan jika nilai b > 3 maka pertambahan berat
lebih cepat dari pertambahan panjang (Allometrik mayor).

2.2.3 Faktor Kondisi


Keadaan yang menyatakan ikan secara kualitas merupakan pengertian dari
faktor kondisi, yang perhitungannya didasarkan pada panjang dan berat ikan. Faktor
kondisi atau indeks ponderal dan sering juga disebut faktor K merupakan hal yang
penting pada pertumbuhan ikan, karena dalam menganalisis populasi faktor kondisi
dapat digunaakan untuk mempermudah analisa. Beragamnya faktor kondisi
disebabkan oleh pengaruh makanan, umur, jenis kelamin dan kematangan
gonadnya (Effendie 2002).
Faktor kondisi atau indeks ponderal dan sering disebut pula sebagai faktor K
adalah satu derivat penting dari pertumbuhan ialah. Faktor kondisi dapat
menunjukkan keadaan ikan dari segi kapasitas fisik untuk survival dan reproduksi.
Penggunaan dalam bidang komersil, kondisi ini memnandai kualitas dan kuantitas
daging ikan yang tersedia untuk dapat dimakan. Faktor kondisi memiliki arti dapat
memberi keterangan baik secara biologis atau secara komersial (Effendie 2002).

2.3 Reproduksi
Kemampuan suatuu individu untuk menghasilkan keturunan sebagai upaya
untuk melestarikan jenisnya atau kelompoknya adalah pengertian dari reproduksi.
Melakukan kegiatan reproduksi diperlukan adanya gamet jantan dan betina.
Menurut Effendie (2002), gamet jantan dan betina yang bersatu akan membentuk
zigot yang akan berkembang menjadi generasi baru.
12

Seksualitas pada hewan terdiri dari dua jenis kelamin yaitu jantan dan betina
(Sito, 2009). Ikan jantan adalah ikan yang mempunyai organ penghasil sperma,
sedangkan ikan betina adalah ikan yang mempunyai organ penghasil telur. Suatu
populasi terdiri dari ikan-ikan yang berbeda seksualitasnya, maka populasi tersebut
disebut populasi heteroseksual, bila populasi tersebut terdiri dari ikan-ikan betina
saja maka disebut monoseksual. Sifat seksual primer pada ikan tandai dengan
adanya organ yang secara langsung berhubungan dengan proses reproduksi, yaitu
ovarium dan pembuluhnya pada ikan betina, dan testis dengan pembuluhnya pada
ikan jantan. Sifat seksual sekunder ialah tanda-tanda luar yang dapat dipakai untuk
membedakan ikan jantan dan ikan betina.
Cara dalam membedakan jenis kelamin suatu individu ikan merupakan ikan
jantan atau betina berdasarkan warna yang dimiliki tubuh dan organ pelengkap
lainnya disebut seksual dichromatisme, yang umumnya ikan jantan mempunyai
warna yang lebih cerah dan lebih menarik dari pada ikan betina. Sedangkan cara
membedakan suatu ikan jantan atau betina berdasarkan morphometrik yang dimiliki
seperti ukuran tubuh atau bentuk sirip punggung adalah seksual dimorphisme.
Beberapa jenis ikan memiliki dua buah alat kelamin pada tubuhnya yang disebut
dengan ikan hermafrodit. Ikan hermafrodit dibagi menjadi tiga jenis yaitu
hermafrodit sinkroni, hermafrodit protandri, dan hermafrodit protogini.
Hermafrodit sinkroni yaitu apabila di dalam gonad individu terdapat sel sex betina
dan sel sex jantan yang dapat masak bersama-sama, misalnya pada ikan famili
Serranidae. Hermafrodit protandri yaitu ikan yang dalam tubuhnya mempunyai
gonad yang mengadakan proses diferensiasi dari fase jantan ke fase betina,
misalnya pada ikan Kakap (Lates calcarifer). Sedangkan ikan hermafrodit protogini
yaitu ikan yang dalam tubuhnya mempunyai gonad yang mengadakan proses
diferensiasi dari fase betina ke fase jantan, misalnya pada ikan belut sawah
(Monopterus albus) (Effendie 2002).
Gonokhorisme merupakan kondisi seksual berganda dimana pada ikan
bertahap juvenile gonadnya tidak memiliki jaringan yang jelas status jantan dan
betinanya. Gonad tersebut akan berkembang sebagian menjadi ovarium dan
sebagian lagi menjadi testes tapi tidak terjadi masa diferensiasi atau intersex yang
13

spontan.. Faktor yang mempengaruhi kematangan gonad diantaranya umur dan


fisiologi induk ikan itu sendiri. Perkembangan gonad ikan secara garis besar dibagi
atas dua tahap perkembangan utama yaitu pertumbuhan gonad sehingga ikan
mencapai tingkat dewasa kelamin (sexually mature) dan tahap pematangan produk
seksual/gamet (Sito 2009) .

2.3.1 Rasio Kelamin


Perbandingan antara jantan dan betina dalam suatu populasi merupakan
pengertian dari rasio kelamin. Menggunakan pengetahun mengenai rasio kelamin
dapat diketahui kemampuan induk ikan jantan untuk membuahi induk betina
sehingga didapatkan larva yang optimal. Komposisi jantan dan betina berpengaruh
teerhadap perilaku pemijahan yang berbeda (Musrin 2014 dalam Herawati 2017).
Perilaku pemijahan terbagi menjadi tiga kategori, yaitu promiscuous,
poligami dan monogami (Rahardjo 2011 dalam Herawati 2017). Sifat reproduksi
pada ikan yaitu hermaprodit sinkroni, hermaprodit protandri, hermaprodit
protogoni sampai ke gonokorisme yang berdiferensiasi dan tidak berdiferensiasi
(Effendie, 1997). Penyimpangan dan kondisi ideal tersebut disebabkan oleh faktor
tingkah laku ikan, perbedaan laju mortalitas dan pertumbuhannya (Ball dan Rao,
1984). Poligami pada ikan yaitu perbandingan betina lebih banyak dibanding jantan
pada proses perkawinan (Priyono et al. 2013), sedangkan Poliandri pada ikan yaitu
perbandingan jantan lebih banyak dibanding betina pada proses perkawinan,
(Simbolon et al. 2015).

2.3.2 Tingkat Kematangan Gonad (TKG)


Tingkat kematangan gonad merupakan tahap-tahap perkembangan gonad
sebelum dan sesudah ikan memijah. Pencatatan tahap-tahap kematangan gonad
diperlukan untuk mengetahui perbandingan ikan-ikan yang akan melakukan
reproduksi dengan yang tidak. Tahap perkembangan gonad terdiri dari dua tahap,
yaitu tahap pertumbuhan gonad dan tahap pematangan gonad. Pendugaan ukuran
pertama kali matang gonad merupakan salah satu cara untuk mengetahui
perkembangan populasi dalam suatu perairan, ikan akan memijah, baru memijah
atau sudah selesai memijah (Effendie 2002).
14

Tingkat kematangan gonad menunjukkan suatu tingkatan kematangan


seksual ikan. HGasil metabolisme digunakan selama fase perkembangkan gonad.
Umumnya pertambahan berat gonad pada ikan betina sebesar 10-25% dari berat
tubuh, sedangkan untuk ikan jantan berkisar antara 5-10%. Dalam mencapai
kematangan gonad, dapat dibagi dalam beberapa tahapan. Tahap tersebut adalah
akan memijah, baru memijah atau sudah selesai memijah. Ukuran ikan saat pertama
kali matang gonad (length at first maturity) bergantung pada pertumbuhan ikan itu
sendiri dan faktor lingkungan. Pembagian tahap kematangan gonad dibagi menjadi
dalam dua cara, yakni analisis laboratorium dan pengamatan visual. Cara yang
umum digunakan ialah metode pengamatan visual berdasarkan ukuran dan
penampakan gonad, metode ini bersifat subyektif (Muslim, 2007).
Penentuan tingkat kemantangan gonad dilakukan secara morfologi dengan
mengacu pada kriteria tingkat kematangan gonad (TKG) menurut Effendi (1979)
yang ditunjukan pada tabel berikut.

Tabel 1. Kriteria Tingkat Kematangan Gonad


TKG Betina Jantan
I - Ovari seperti benang, - Testis seperti benang
panjang sampai lebih pendek (terbatas)
kerongga tubuh dan terlihat ujungnya
- Warna jernih dirongga tubuh
- Permukaan licin - Warna jernih
II - Ukuran ovari lebih - Ukuran testis lebih
besar besar
- Pewarnaan lebih gelap - Pewarnaan putih
kekuningan seperti susu
- Telur belum terlihat - Bentuk lebih jelas
jelas daripada tingkat I
III - Ovari berwarna kuning - Permukaan testes
tampak bergerigi
15

- Secara morfologi telur - Warna makin putih,


mulai kelihatan testes makin besar
butirnya dengan jelas - Dalam keadaan
diformalin mudah
putus

IV - Ovari makin besar, - Sampai pada tingkat III


telur berwarna kuning, tampak lebih jelas
mudah dipisahkan - Testis semakin pejal
- Butir minyak tidak
tampak, mengisi ½-
2/3 rongga perut, usus
terdesak
V - Ovari berkerut, - Testes bagian belakang
dinding tebal, butir kempis dan dibagian
telur sisa terdapat dekat pelepasan masih
didekat pelepasan berisi
- Banyak telur seperti
pada tingkat II

Tingkat kematangan gonad yang telah diketahui dapat dihubungkan dengan


ukuran ikan dan dapat mengarah kepada identifikasi panjang saat pertama kali
matang gonad (length of first maturity) (Sjafei dan Susilawati 2001). Informasi
tersebut dapat dijadikan dasar pengaturan besarnya mata jaring.

2.3.3 Indeks Kematangan Gonad (IKG)


Puncak pemijahan dapat diduga dengan berdasarkan persentase jumlah ikan
yang matang gonad pada suatu waktu (Sulistiono et al 2001). Umumnya semakin
meningkatnya tingkat TKG, maka panjang dan berat suatu ikan pun semakin
meningkat. Hal tersebut disebabkan oleh lingkungan dimana ikan tersebut hidup
(Yustina dan Arnentis, 2002).
16

Secara morfologi perubahan-perubahan kondisi tersebut dinyatakan dengan


tingkat kematangan, tetapi masih menyatakan suatu perhitungan secara kualitatif
belum secara kuantitatif. Mengetahui perubahan yang terjadi dalam gonad ikan
secara kuantitatif dapat dinyatakan dengan indeks kematangan gonad, atau IKG.
Indeks ini dinamakan juga maturity atau gonad somatic indeks yaitu suatu nilai
dalam persen sebagai hasil dari perbandingan berat gonad dengan berat tubuh ikan
termasuk gonad dikalikan dengan 100% (Makmur dan Prasetyo 2006).
Ikan betina umumnya memiliki nilai indeks kematangan gonad lebih besar
dibandingkan dengan ikan jantan. Indeks kematangan gonad dapat dihubungkan
dengan tingkat kematangan gonad yang pengamatannya berdasarkan ciri-ciri
morfologi kematangan gonad. Bergantung pada jenis dan pola pemijahannya, maka
akan didapatkan nilai indeks yang sangat bervariasi (Solang 2010).
Penentuan tingkat kematangan gonad ikan jantan dan betina ditentukan
secara morfologis mencakup warna, bentuk, dan ukuran gonad (Saputra et al 2016).
Perkembangan gonad secara kualitatif ditentukan dengan mengamati TKG IV
berdasarkan morfologi gonad. Indeks kematangan gonad adalah suatu nilai dalam
persen yang merupakan perbandingan antara bobot gonad dan bobot tubuh ikan
total dikalikan 100%.
Indeks kematangan gonad atau gonado somatic index akan semakin
meningkat nilainya dan dapat mencapai batas maksimum pada saat terjadi
pemijahan. Nilai indeks kematangan gonad akan sangat bervariasi setiap saat
tergantung pada macam dan pola pemijahannya (Wahyuningsih dan Barus 2006).

2.3.4 Hepato Somatik Indeks (HSI)


Hepato somatik indeks atau yang biasa dikenal dengan HSI dihubungkan
dengan cadangan energi hati dan aktivitas metabolik. Makanan yang tersedia dalam
jumlah besar dan kondisi yang menguntungkan, berdampak terhadap peningkatan
nilai HSI (Ghaffari 2011). Peningkatan HIS berhubungan dengan peningkatan berat
badan sehari-hari tubuh berkaitan dengan, nilai HSI juga tergantung pada siklus
musiman. Hati merupakan organ vital di dalam tubuh dan melakukan berbagai
fungsi fisiologis seperti mengubah kelebihan gula menjadi glikogen,
mendetoksifikasi zat beracun, juga bertindak sebagai organ haemopoietik,
17

menghancurkan RBC lama yang menyebabkam kondisinya sangat penting


terhadap pertumbuhan ikan. Peningkatan berat badan dan berat hati meningkat
beriringan.
HSI memberikan informasi tentang kondisi hati dan tubuh dan juga tentang
dampak pencemaran air di atasnya. HSI juga memberikan indikasi tentang status
cadangan energi pada ikan. Di lingkungan yang buruk ikan biasanya memiliki hati
yang lebih kecil dengan lebih sedikit energi yang disimpan di hati. HSI akan
mengalami penurunan pada ikan yang terpapar polusi air. Nilai HSI juga
memberikan informasi mengenai kondisi kesehatan ikan dan juga tentang kualitas
air.
HSI juga berkaitan dengan GSI karena proses vitelogenesis yang mensintesis
vitelogenin. Pada ikan, vitelogenin adalah prekursor kuning yang disintesis di hati
dan diindikasikan oleh estradiol 17β Vitelogenin disekresikan dalam darah dan
diangkut dalam oosit menyebabkan akumulasi kuning telur. Akumulasi ini
menyebabkan perubahan ukuran oosit dan peningkatan bobot ovarium. Aktivitas
vitelogenesis ini dapat meningkatkan HSI dan GSI. Beberapa peneliti mulai
melakukan pengamatan pada HSI di vitelogenesis dan tahap pematangan, yaitu
ketika sel berubah menjadi oosit vitellogenic (Jayadi et al 2010).

2.3.5 Fekunditas
Fekunditas ikan merupakan jumlah telur yang terdapat pada ovarium sebelum
berlangsungnya pemijahan. Fekunditas berhubungan erat dengan berat badan,
panjang badan, umur ukuran butir telur dan naluri penjagaan (parental care). Ikan
yang tidak menjaga telur – telurnya setelah memijah, umumnya mempunyai
fekunditas yang tinggi. Ikan dengan fekunditas yang tinggi juga dimiliki oleh ikan
– ikan yang mempunyai ukuran telur yang relatif kecil. Fekunditas ikan dapat
dihitung dengan cara yaitu metode jumlah, metode volumetrik, metode grafimetrik
atau metode berat dan metode van bayer (Sutisna et al. 1995) .
Secara umum fekunditas meningkat dengan meningkatnya ukuran ikan betina
(Nikolsky 1963). Semakin banyak makanan maka pertumbuhan ikan semakin cepat
dan fekunditasnya semakin besar. Fekunditas pada setiap individu betina
18

bergantung pada umur, ukuran, spesies, dan kondisi lingkungan, seperti


ketersediaan pakan (suplai makanan) (Andy Omar 2004). Menurut Djuhanda
(1981), besar kecilnya fekunditas dipengaruhi oleh makanan, ukuran ikan dan
kondisi lingkungan, serta dapat juga dipengaruhi oleh diameter telur.

2.3.6 Diameter Telur


Diameter telur adalah garis tengah yang memanjang pada sebuah telur yang
diukur dengan mikrometer berskala yang sudah ditera dan dilihat di bawah
mikroskop. Frekuensi pemijahan dapat diperikrakan dari penyebaran diameter telur
ikan pada gonad yang sudah matang, yaitu dengan melihat modus penyebarannya.
Lama pemijahan dapat diduga dari frekuensi ukuran diameter telur. Ovarium yang
mengandung telur masak berukuran sama semua menunjukkan waktu
pemijahannya pendek, sebaliknya waktu pemijahan yang panjang dan terus
menerus ditandai dengan banyaknya ukuran telur yang berbeda di dalam ovarium.
(Effendie 1973) Ukuran diameter telur digunakan untuk melihat kuantitas telur.
Effendie (1997) menyatakan, pada umumnya sudah dapat diduga bahwa semakin
meningkat tingkat kematangan gonad maka diameter telur yang ada di dalam
ovarium semakin besar pula. Diameter telur digunakan untuk melihat frekuensi
pemijahan dari ikan-ikan dengan TKG III dan IV.

2.3.7 Tingkat Kematangan Telur (TKT)


Proses kematangan telur atau oocyte maturation (OM) ditentukan lewat
kriteria pergeseran posisi inti telur menuju kutub (germinal vesicle migration) dan
peluruhan atau penghancuran membran telur. Menurut Yaron dan Levavi (2011),
terdapat empat buah kriteria posisi inti telur sebelum telur tersebut dapat
diovulasikan yaitu central germinal vesicle (cGV) atau tahap inti ditengah,
migrating germinal vesicle (mGV) atau tahap inti yang bermigrasi dari tengah
menuju tepi, peripheral germinal vesicle (pGV) atau tahap inti di tepi dan germinal
vesicle breakdown (GVBD) atau tahap inti yang telah melebur berdasarkan
pergeseran posisi inti tersebut.
19

Berdasarkan posisi inti tingkat kematangan telur (TKT) atau oocyte


maturation (OM) dibagi menjadi dua tahap yaitu fase vitelogenik yang ditandai
dengan posisi inti telur yang berada ditengah (cGV) dan fase pematangan telur
(final oocyte maturation). Fase pematangan telur dibagi kembali menjadi dua yaitu
fase awal matang yang ditandai dengan adanya pergerakan atau migrasi posisi inti
telur (mGV dan pGV) dan fase akhir kematangan telur yang ditandai dengan adanya
peluruhan membran inti telur atau germinal vesicle breakdown (GVBD) (Mylonas
et al. 2010). Folikel ovarium yang telah berkembang melalui reseptor spesifik
(VtgRs) kemudian dilapisi oleh vesikel dan bergerak ke oolema perifer (Hiramatsu
et al . 2006 dalam Mylonas et al. 2010). Vesikel tersebut bergabung dengan lisosom
sehingga membentuk badan multivesikular (Multivesicular Body/MVB ) yang akan
berkembang (bertambah besar) dan secara bertahap berubah menjadi butiran kuning
telur kecil (yolk granules) dan kemudian menjadi ke butiran kuning telur besar (yolk
globules) (Le Menn et al 2007 dalam Mylonas et al 2010). Badan multivesikuar
tersebut juga mengandung enzim lisosom berupa cathepsin D yang berfungsi
memecah vitelogenin menjadi polipeptida kuning telur. (Cerda et al. 2007 dalam
Mylonas et al. 2010). Hasil akhir dari pemecahan vitelogenin secara enzimatik
tersebut terdiri dari lipovitellin (Lv), phosvitin (Pv) dan komponen β (β -c).
Lipovitelin adalah protein kuning telur banyak mengandung lipid dan terdiri dari
dua polipeptida yaitu rantai panjang lipovitellin (lipovitellin heavy chain/LvH) dan
rantai pendek lipovitellin (lipovitellin light chain/LvL). Phosvitin adalah protein
kuning telur yang lebih kecil dimana lebih dari setengah residu asam amino yang
terkandung di dalamnya banyak mengandung fosfor sehingga vitelogenin
mempunyai sifat mengikat kalsium.
Komponen β adalah protein kuning telur ketiga yang biasanya tidak
mengandung lipid atau fosfor (Hiramatsu et al. 2006 dalam Mylonas et al. 2010).
Lipovitellin berfungsi sebagai sumber nutrisi asam amino dan lipid untuk
perkembangan embrio, phosvitin berfungsi sebagai sumber mineral yang
diperlukan untuk perkembangan rangka dan system metabolik, sedangkan fungsi
dari komponen β baik secara fisiologis atau nutrisi sampai sejauh ini belum
ditemukan (Hiramatsu et al. 2006 dalam Mylonas et al. 2010).
20

Akumulasi protein kuning telur telah mencapai batas maksimum serta mRNA
untuk perkembangan embrio telah selesai dibentuk di dalam oosit menandai akhir
dari fase vitelogenik. Proses setelah fase vitelogink adalah terjadinya fase
pematangan telur (oocyte maturation/OM) yang distumulasi oleh hormon (Kinsey
et al. 2007 dalam Mylonas et al. 2010). Pada fase pematangan telur terjadi
perubahan morfologi secara drastis pada oosit yang disertai dengan perkembangan
meiosis. Perubahan yang paling mencolok adalah peleburan lipid droplet dan globul
kuning telur yang menyebabkan perubahan pada sitoplasma dari oosit tersebut
sehingga inti telur (germinal vesicle/GV) mengalami migrasi dari tengah menuju
tepi oosit dan kemudian membran inti mengalami peleburan (germinal vesicle
breakdown/GVBD ). Perubahan lain yang terjadi adalah adanya peningkatan
volume telur yang disebabkan oleh adanya aktivitas penyerapan air (Cerda et al.
2007 dalam Mylonas et al. 2010).

2.4 Kebiasaan Makanan


Effendie (1997) Menyatakan, Kebiasaan makan atau food habits merupakan
kualitas dan kuantitas makanan yang dimakan ikan. Menurut Nikolsky (1963)
menyatakan bahwa kebiasaan makanan ikan dipengaruhi oleh beberapa faktor
antara lain habitat, ukuran, umur ikan, periode harian mencari makanan, serta
kompetitor makanan ikan. Kebiasaan makan dan cara makan ikan secara alami
bergantung kepada lingkungan tempat ikan itu hidup. Kebiasaan makan ikan
mencakup jenis, kualitas, dan kuantitas makanan yang dimakan oleh ikan.
Kebiasaan makan dan cara makan ikan serta alami bergantung kepada lingkungan
tempat ikan itu hidup (Effendie 1997).
Kebiasaan makan ikan dipengaruhi oleh ukuran tubuh ikan, bentuk organ
pencernaan, umur, lingkungan hidup ikan, dan penyebaran organisme pakan.
Tingkat kesukaan makan mencakup jenis, kualitas dan kuantitas makanan yang
dimakan oleh ikan. Makanan pertama ikan pada fase juvenile adalah plankton
(Effendie 1997). Cara makan ikan adalah tingkah laku ikan dalam mendapatkan
makanan hingga masuk ke dalam mulut. Tingkah laku ikan berbeda-beda yang
sering dihubungkan dengan bentuk tubuh yang khusus dan fungsional morfologis
21

(Effendie 1997). Adaptasi dan morfologis dan tingkah laku ikan berkaitan erat
dengan makanan yang dikonsumsinya ( Malcolm 1995 dalam Sadiah 2006).
Cara makan ikan dapat digolongkan menjadi 5 bagian (Mudjiman 2008) :
pemakan tumbuhan (herbivore), pemakan daging (carnivore), pemakan segalanya
atau campuran (omnivore), pemakan plankton, dan pemakan detritus.
Menurut Effendie (1997), berdasarkan kepada jumlah variasi dari macam-macam
makanan tadi ikan dapat dibagi menjadi 3 bagian: Euryphagic (pemakan
bermacam-macam makanan), Stenophagic (pemakan sedikit macam makanan),
monophagic (pemakan satu macam makanan).

2.4.1 Indeks Bagian Terbesar


Indeks bagian terbesar atau indeks of preponderance (IP) merupakan
gabungan dari metode frekuensi kejadian dan metode volumetrik (Sulistiono,
2010). Menurut Effendie (1997), kriteria pakan utama pada ikan yaitu ikan
menyesuaikan makanan dengan ukuran mulutnya, ketika stadia larva ikan
memakan plankton karena mulutnya bisa memakan plankton, ketika dewasa ikan
makan mengikuti kebiasaan induknya. Effendie (1997) juga menyatakan, faktor
kebiasaan makan pada ikan yaitu penyebaran organisme sebagai makanan ikan,
ketersediaan makanan, pilihan dari ikan itu sendiri, dan faktor-faktor fisik yang
mempengaruhi perairan.

2.4.2 Indeks Ivlev


Indeks Ivlev merupakan perbandingan antara organisme pakan ikan yang
terdapat dalam lambung dengan organisme pakan ikan yang terdapat dalam
perairan. Nilai indeks ini berkisar antara +1 sampai -1, jika 0<E<1 berarti pakan
digemari, jika nilai -1<E<0 berarti pakan tersebut tidak digemari dan jika nilai E=0
berarti tidak ada seleksi oleh ikan terhadap pakannya (Effendie 2002).

2.4.3 Tingkat Trofik


Tingkat trofik (trophic level) merupakan urutan tingkat pemanfaatan pakan
atau material dan energi seperti yang tergambarkan oleh rantai makanan (food
chain) (Almohdar dan Souisa 2017). Tingkatan trofik menggambarkan tahapan
22

transfer material atau energi dari setiap tingkat atau kelompok ke tingkat
berikutnya, yang dimulai dengan produsen primer, konsumen primer (herbivora),
sekunder, tersier, dan predator puncak

Anda mungkin juga menyukai