Anda di halaman 1dari 10

BAB III

LAPORAN KASUS

3.1 Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien perempuan berusia 19 tahun datang ke Rumah Sakit Dustira dengan
keluhan nyeri hebat pada seluruh bagian perut sejak + 1 hari yang lalu. Nyeri perut
bertmbah hebat hingga meliputi seluruh bagian perut. Nyeri pada seluruh bagian
perut bisa di diagnosis differential dengan peritoneum. Kelainan dari peritoneum
dapat disebabkan oleh bermacam hal, antara lain: 1. Perdarahan, misalnya pada
ruptur lien, ruptur hepatoma, kehamilan ektopik terganggu 2. Asites, yaitu adanya
timbunan cairan dalam rongga peritoneal sebab obstruksi vena porta pada sirosis
hati, malignitas. 3. Adhesi, yaitu adanya perlekatan yang dapat disebabkan oleh
corpus alienum, misalnya kain kassa yang tertinggal saat operasi, perforasi, radang,
trauma 4. Radang, yaitu pada peritonitis.1,2
Keluhan nyeri perut dirasakan terus menerus seperti nyeri ditusuk-tusuk dan
semakin sakit apabila bergerak. Keluhan nyeri ini menunjukkan adanya proses
inflamasi yag mengenai peritoneum parietalis (nyeri somatik).1 Pasien juga
mengeluhkan adanya demam tinggi disertai dengan minggigil. Hal ini disebabkan
akibat adanya inflamasi lalu pengeluaran mediator-mediator seperti TNFα, IL6, dan
interferon sehingga mempengaruhi pusat termoregulasi hipotalamus, mengeluarkan
prostaglandin sehingga terjadi peningkatan suhu.1,4
Sejak + 3 hari yang lalu keluhan berupa nyeri perut yang dirasakan di ulu hati
kemudian berpindah ke perut kanan bawah. Keluhan disertai dengan demam tidak
terlalu tinggi, mual muntah, serta penurunan nafsu makan. Merupakan gejala dari
appendisitis. Hal ini menggambarkan bahwa adanya riwayat appendisitis
sebelumnya. Pada anamnesis penderita akan mengeluhkan nyeri perut kanan
bawah. Keadaan ini disebabkan karena peradangan yang timbul meluas dan
mengenai peritoneum setempat sehingga menimbulkan nyeri di daerah perut kanan
bawah, keadaan ini disebut dengan apendisitis supuratif akut. Bila kemudian aliran
arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti dengan gangren.
Stadium ini disebut dengan apendisitis gangrenosa. Bila dinding yang telah rapuh

12
13

itu pecah, akan terjadi apendisitis perforasi. Muntah atau rangsangan viseral akibat
aktivasi nervus vagus. Obstipasi karena penderita takut untuk mengejan. Panas
akibat infeksi akut.3,4
Pasien menyangkal adanya trauma pada perut sebelumnya. Hal ini
menggambarkan bahwa dapat menyingkirkan diagnosis differential peritonitis ec
perdarahan intra abdomen. Bila suatu organ viseral mengalami perforasi, maka
tanda-tanda perforasi ,tanda-tanda iritasi peritonium cepat tampak. Tanda-tanda
dalam trauma abdomen tersebut meliputi nyeri tekan , nyeri spontan ,nyeri lepas
dan distensi abdomen, telah terjadi peritonitis4,5
Pasien juga menyangkal adanya keluar darah dari jalan lahir yang disertai
adanya pingsan, HPHT 17 april 2019. Diagnosis differential peritonitis ec KET
disingkirkan. KET dapat menyebabkan inflamasi pada peritoneum karena
perdarahan yang disebabkan dari KET mengenai peritoneum sehingga menjadi
peritonitis.4,5

3.2 Pemeriksaan Fisik


Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik didapatkan suhu tubuh pasien 38,7 °C
menandakan suhu pasien febris. Pada pemeriksaan kepala, leher, abdomen dalam
batas normal.
Hasil pemeriksaan abdomen didapatkan abdomen terlihat cembung serta pada
saat palpasi didapatkan nyeri tekan (+), nyeri lepas (+), NT Mc Burney (+), rovsing
sign (+) menandakan adanya apendisitis. Fluid wave (+) defans muskular seperti
papan (+), dan saat auskultasi bising usus (-) menandakan adanya perforasi. Hepar
dan lien tidak dapat dinilai. Perkusi abdomen didapatkan pekak samping (+), pekak
pindah (+) menandakan perforasi. Pada kasus ini, asites dapat disebabkan karena
peritonitis atau disebut juga dengan peritonitis difusa.
Pada pemeriksaan ekstremitas didapatkan akral hangat dan CRT <2 detik
menandakan pasien tidak dalam kondisi syok.

3.3 Pemeriksaan Penunjang


Pada pasien didapatkan nilai leukosit 20.000/Ul dari nilai rujukan 4000-
11.000/Ul hal ini sesuai dengan adanya keadaan pasien yang terkena infeksi pada
14

apendistis .Pemeriksaan sedimen urin didapatkan peningkatan pada leukosit dengan


jumlah leukosit 4-6 dengan nilai rujukan leukosit normal 3-5/Lpb dan didapatkan
peningkatan eritrosit 3-5/Lpb dari nilai normal 0-3/Lpb hal ini dapat terjadi karena
apendiks yang meradang menempel pada ureter atau vesika. Pemeriksaan leukosit
meningkat sebagai respon fisiologis untuk melindungi tubuh terhadap
mikroorganisme yang menyerang. Pada apendisitis akut dan perforasi terjadi
leukositosis yang lebih tinggi . Hb (hemoglobin) nampak normal. Laju endap darah
(LED) normal pada pasien sehingga dapat menghilangkan kecurigaan terhadap
apendisitis infiltratif.7

3.4 Diagnosis

Penegakkan diagnosis apendisitis akut berdasarkan Alvarado Score:


Gejala Nilai Pada pasien
Nyeri berpindah pada fossa iliaca 1 √
Anorexia 1 √
Mual/muntah 1 √
Tanda
Nyeri tekan RLQ 2 √
Nyeri lepas RLQ 1 √

Febris 1 √
Pemeriksaan lab
Leukosistosis 2 √
Shift to the left 1 √
Total 10 10

Interpretasi:
 Score 0-4 : tidak dipertimbangkan apendisitis akut
 Score 5-6 : dipertimbangkan kemungkinan apendisitis akut
 Score 7-8 : sangat mungkin apendisitis akut
15

 Score 9-10: hampir definitif mengalami apendisitis akut dan dibutuhkan


tindakan bedah segera

Pada hasil laporan operasi, disebutkan bahwa ditemukan apendiks kesan


inflamasi berwarna kemerahan ukuran 10 x 1 cm disertai fecalith. Oleh sebab itu
dapat ditegakkan diagnosis berupa apendisitis akut kataralis. Apendisitis kataralis
atau apendisitis sederhana merupakan suatu apendisitis akut nonkomplikata di
mana gambaran apendiks dengan mukosa inflamasi, submukosa edema dan
dikeliling oleh round cells sehingga bentuk apendik terlihat bengkak dan kaku.
Proses peradangan terjadi di mukosa dan sub mukosa yang disebabkan oleh
obstruksi yaitu fecalith yang ditemukan pada saat operasi. Sekresi mukosa
menumpuk dalam lumen apendik dan terjadi peningkatan tekanan dalam lumen
yang mengganggu aliran limfe, mukosa apendiks jadi menebal, edema, dan
kemerahan. Gambaran apendiks yang dideskripsikan pada laporan operasi sesuai
dengan gambaran apendiks pada apendisitis akut kataralis.

Penegakkan diagnosis peritonitis difusa berdasarkan:


1. Anamnesis
- Nyeri pada seluruh bagian perut yang dirasakan terus menerus
2. Pemeriksaan fisik khas peritonitis difusa pada abdomen
- Bising usus (-) atau paralitik biasanya disebabkan oleh peritonitis
- Defans muscular (+) dan perut papan menandakan adanya peritonitis
- Tanda asites berupa pekak samping, pekak pindah, dan fluid wave (+)
menandakan peritonitis difusa

Peritonitis pada pasien apendisitis akut disebabkan karena perforasi dari organ
apendiks sehingga bakteri yang menginfeksi apendiks keluar dari lumen apendiks
yang menginfeksi jaringan di sekitarnya seperti peritoneum. Oleh sebab itu,
diagnosis pasien yang menyebabkan peritonitis adalah apendisitis perforatif.
Diagnosis divertikulitis Merkel berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik
mirip dengan diagnosis apendisitis. Oleh sebab itu, diagnosis yang pasti dapat
16

ditegakkan saat melakukan apendiktomi dan ditemukan adanya divertikulitis


Merkel. Pada pasien ini, laporan operasi menyatakan terdapat perforasi pula pada
divertikel Merkel yang terinfeksi. Penegakkan diagnosis sepsis berdasarkan:
Istilah Kriteria Pada
pasien
SIRS 2 dari 4 kriteria :
 Temperatur >38oC √
 Laju nasi >90x/menit √
 Hiperventilasi dengan laju nafas >20x/menit √
atau CO2 arterial <32 MMhG
Sel darah putih >12.000 sel/Ul atau <4.000 sel/uL √
Sepsis SIRS dengan adanya infeksi (diduga atau sudah √
terbukti)
Sepsis Sepsis dengan disfungsi organ -
berat
Syok Sepsis dengan hipotensi walaupun sudah diberikan -
septik resusitasi yang adekuat
Disfungsi Ditemukan ≥ 2 kerusakan organ -
organ
multipel

Berdasarkan pengamatan di atas, pasien dapat didiagnosis dengan:


Peritonitis difusa ec divertikulitis Merckeli perforatif + apendisitis akut kataralis +
sepsis.

3.5 Penatalaksanaan

Dikatakan bahwa pada saat di IGD, pasien mendapatkan penatalaksanaan


berupa:
- Terapi cairan yang diberikan dapat berupa cairan maintenance
dikarenakan pasien tidak dalam keadaan syok. Pada pasien dengan
17

keadaan sepsis berat atau syok sepsis, pemberian terapi cairan harus
dilakukan dengan lebih agresif berdasarkan guideline dari The
Surviving Sepsis Campaign.
- Antibiotik dan analgetik / antipiretik dapat diberikan pada pasien
apendisitis yang sudah didiagnosis. Pada pasien yang diagnosisnya
masih diragukan, pemberian antibiotik dan analgetik / antipiretik tidak
dianjurkan karena dapat menghilangkan gejala klinis yang digunakan
untuk menegakkan diagnosis. Antibiotik juga diberikan untuk
mempersiapkan pasien menjalani operasi.
- Obat lain seperti antiemetik dan obat lambung lainnya dapat diberikan
untuk mengurangi gejala mual dan muntah.

Penatalaksanaan operatif:

Pada laporan operasi, tindakan yang dilakukan adalah laparotomi eksprolasi


+ peritoneal toilet + adhenolysis + ileocecectomy

Pasien yang mengalami peritonitis dilakukan tindakan operasi berupa


laparatomi eksplorasi dibandingkan apendiktomi. Pada apendiktomi, insisi
dilakukan dengan arah oblik melalui titik Mc Burney tegak lurus antara SIAS dan
umbilikus (irisan Gridiron) sementara tindakan laparotomi eksplorasi dilakukan
insisi pada midline abdomen di bawah umbilikus. Insisi midline abdomen ini
memudahkan tindakan peritoneal toilet dan adhenolisis. Tindikan ini berfungsi
untuk membersihkan kavitas peritoneum dari benda asing yang pada kasus berupa
cairan peritoneum yang bercampur dengan pus enteric content berwarna kuning
kehijauan. Adhesi pada hampir seluruh usus dapat disebabkan karena peradangan
dan cairan peritoneum yang bercampur dengan pus, oleh sebab itu dilakukan pula
tindakan adhenolysis selain pembersihan ruang peritoneum.

Pada literatur, disebutkan bahwa pada tindakan operatif dilakukan


konservasi caecum sebisa mungkin dikarenakan adanya ileocaecal valve. Ileocaecal
valve berada pada terminal ileum. Ileocaecal valve berperan dalam mengatur waktu
18

transit feses dari ileum yang akan masuk ke dalam colon melalui caecum. Hal ini
memberikan kesempatan bagi usus halus untuk dapat mengabsorpsi makanan
dengan maksimal.8

Tanpa adanya fungsi dari ileocaecal valve, waktu transport feses akan
meningkat dan menyebabkan diare, steatorrhea, hipoalbuminemia, dehidrasi, dan
kekurangan atau kehilangan mineral. Ileocaecal valve juga memiliki fungsi
mencegah reflux. Apabila fungsi ini hilang, feses yang sudah masuk ke dalam kolon
dapat bergerak berbalik ke arah ileum. Feses yang sudah masuk ke kolon kaya akan
bakteri. Bakteri ini akan masuk ke ileum bersamaan dengan feses yang bergerak
retrograd dan menyebabkan infeksi mukosa ileum.8

Gambar 1. Anatomi caecum.

Pada laporan operasi disebutkan bahwa pasien mengalami perforasi dari


divertikulum Merckel dan apendiks yang mengalami inflamasi tanpa disertai
dengan perforasi. Mengingat pentingnya fungsi dari ileocaecal valve, tindakan
operatif yang dapat dilakukan adalah ileostomy untuk membuang daerah ileum
yang perforasi dilanjutkan dengan menghubungkan kembali dua bagian ileum yang
19

terpisah disertai dengan apendiktomi. Caecum dilakukan preservasi semaksimal


mungkin untuk mempertahankan ileocaecal valve.

Tindakan ileostomy dengan apendiktomi juga lebih menguntungkan bagi


pasien mengingat pasien tidak memerlukan stoma dan tindakan operasi lanjutan
untuk menghubungkan dua bagian usus yang terpisah. Tindakan penyambungkan
usus halus dan usus besar juga memiliki risiko komplikasi berupa kebocoran karena
perbedaan ukuran lumen kedua usus tersebut.

Oleh sebab itu, penulis mengusulkan tindakan operatif yang dilakukan


adalah laparotomi eksploratif + adhenolysis + apendiktomi + ileostomi.

Setelah dilakukan operasi, pasien diberikan tatalaksana pasca bedah


diantaranya yaitu:

1. Injeksi Ceftriaxon 1x2 gram/hari


Pada kasus, pemberian obat ceftriaxon sudah sesuai dengan indikasi dan dosis
yang diberikan sudah tepat secara teori. Dimana obat ceftriaxon ini merupakan obat
antibiotik spektrum luas golongan cephalosporin generasi ke 3 dengan fungsi untuk
mengobati berbagai macam infeksi bakteri. Ceftriaxone bekerja dengan
menghambat sintesis mucopeptide di dinding sel bakteri. Ceftriaxone mempunyai
stabilitas yang tinggi terhadap beta-laktanase, baik terhadap penisilinase maupun
sefalosporinase yang dihasilkan oleh kuman gram negatif maupun gram positif.7,9
Ceftriaxone tersedia dalam bentuk larutan injeksi dan injeksi bubuk. Dosis yang
tersedia dalam bentuk larutan injeksi adalah 1 gram/50 ml) dan 2 gram/50 ml,
sedangkan dosis yang tersedia dalam bentuk injeksi bubuk adalah 250 mg, 500 mg,
1 gram, 2 gram, 10 gram, dan 100 gram. Adapun dosis Ceftriaxone pada orang
dewasa dan anak > 12 tahun yaitu 1-2 gram satu kali sehari. dosis dapat dinaikkan
sampai 4 gram satu kali sehari. Ceftriaxone dapat diberikan secara injeksi intra vena
dan intra muskular.10
Efek samping paling umum dari obat antibiotik ceftriaxone adalah bengkak,
nyeri, dan kemerahan di tempat suntikan, reaksi alergi, mual atau muntah, sakit
20

perut, sakit kepala atau pusing, berkeringat. Namun tidak semua pasien yang
mengonsumsi ceftriaxone akan mengalami efek samping tersebut.11,12

2. Inj. Ketorolac 2x30 mg/hari


Pada kasus, pemberian dosis obat ketorolac sudah sesuai dengan teori.
Ketorolac merupakan obat penatalaksanaan jangka pendek terhadap nyeri akut
sedang sampai berat setelah prosedur bedah. Durasi total ketorolac tidak boleh lebih
dari lima hari, ketorolac secara parenteral dianjurkan diberikan segera setelah
operasi. Harus diganti ke analgesik alternatif sesegera mungkin, asalkan terapi
ketorolac tidak melebihi 5 hari. Ketorolac tidak dianjurkan untuk digunakan sebagai
obat prabedah obstetri atau untuk analgesia obstetri karena belum diadakan
penelitian yang adekuat mengenai hal ini dan karena diketahui mempunyai efek
menghambat biosintesis prostaglandin atau kontraksi rahim dan sirkulasi fetus.12
Ketorolac ampul ditujukan untuk pemberian injeksi intramuskular atau bolus
intravena. Dosis untuk bolus intravena harus diberikan selama minimal 15 detik.
Ketorolac ampul tidak boleh diberikan secara epidural atau spinal. Mulai timbulnya
efek analgesia setelah pemberian IV maupun IM serupa, kira-kira 30 menit, dengan
maksimum analgesia tercapai dalam 1 hingga 2 jam. Durasi median analgesia
umumnya 4 sampai 6 jam. Dosis sebaiknya disesuaikan dengan keparahan nyeri
dan respon pasien. Pemberian dosis harian multipel yang terus-menerus secara
intramuskular dan intravena tidak boleh lebih dari 2 hari karena efek samping dapat
meningkat pada penggunaan jangka panjang. Dosis awal Ketorolac yang dianjurkan
adalah 10 mg diikuti dengan 10–30 mg tiap 4 sampai 6 jam bila diperlukan. Harus
diberikan dosis efektif terendah. Dosis harian total tidak boleh lebih dari 90 mg
untuk orang dewasa dan 60 mg untuk orang lanjut usia, pasien gangguan ginjal dan
pasien yang berat badannya kurang dari 50 kg. Lamanya terapi tidak boleh lebih
dari 2 hari. Pada seluruh populasi, gunakan dosis efektif terendah dan sesingkat
mungkin. Untuk pasien yang diberi Ketorolac ampul, dosis harian total kombinasi
tidak boleh lebih dari 90 mg (60 mg untuk pasien lanjut usia, gangguan ginjal dan
pasien yang berat badannya kurang dari 50 kg).10,11,12
21

3. Metronidazole 3x500 mg iv
Pada kasus, pemberian obat metronidazole sudah sesuai dengan teori.
Metronidazol merupakan antibiotik yang efektif sebagai agen antibakteri pada gram
negatif dan pada bakteri anaerobik seperti Bacteroides fragiles yang umumnya
menyebabkan kejadian infeksi pada luka operasi. Beberapa antibiotik ada yang
menggabungkan dengan penggunaan metronidazole. Penggunaan antibiotik
cephalosporin contohnya ceftriaxone ideal sebagai profilaksis, hal tersebut
disebabkan karena beberapa keunggulan dari cephalosporin, yaitu memiliki
sprektrum aktivitas yang luas, respon alergi rendah, dan menguntungkan dari segi
biaya.11,13

4. Omeprazole 2x40 mg
Pada kasus, pemberian obat omeprazole sudah sesuai dengan indikasi dan dosis
yang diberikan sudah tepat secara teori. Omeprazole merupakan basa lemah, dan
secara khusus berkonsentrasi dalam kanalikuli sekretori asam dari sel parietal,
dimana diaktifkan dengan proses proton-katalis untuk menghasilkan sulphenamide.
Sulphenamide berinteraksi kovalen dengan kelompok sulphydryl residu sistein
dalam domain ekstraselular dari H + K + -ATPase - khususnya Cys 813 - sehingga
menghambat aktifitasnya. Omeprazol mempunyai mekanisme kerja yang unik
karena mempunyai tempat kerja dan bekerja langsung pada pompa asam (H+/K+
ATPase) yang merupakan tahap akhir proses sekresi asam lambung dari sel-sel
parietal. Enzim gastrik atau pompa proton atau disebut juga pompa asam ini banyak
terdapat dalam sel-sel parietal. Pompa proton ini berlokasi di membran apikal sel
parietal. Dalam proses ini, ion H dipompa dari sel parietal ke dalam lumen dan
terjadi proses pertukaran dengan ion K. Omeprazol memblok sekresi asam lambung
dengan cara menghambat H+/K+ ATPase pump dalam membran sel parietal.11,12

Anda mungkin juga menyukai