Anda di halaman 1dari 30

Tugas Ekologi Hewan

CRITICAL BOOK REPORT

Nama: Putri Arsila


NIM : 4162141003
Kelas : Biologi Pendidikan B 2016

JURUSAN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS NEGERI MEDAN

2018

1
KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur kehadirat Tuhan yang Maha Esa, berkat rahmat dan
karunia-Nya sehingga saya dapat menyusun makalah CBR (Critical Book Report).
Makalah ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Ekologi Hewan.

Saya berharap makalah ini dapat berguna bagi para pembaca. Saya
menyadari bahwa makalah ini masih belum sempurna. Oleh karena itu, saya
berharap agar para pembaca dapat memberikan kritik dan saran yang membangun
agar dapat dijadikan acuan untuk perbaikan dalam menyusun makalah di masa
mendatang.

Medan, 6 Oktober 2018

Penulis

2
DAFTAR ISI

halaman

Kata Pengantar i

Daftar Isi ii

Bab 1 Pendahuluan

1.1 Latar Belakang 1


1.2 Tujuan 2
1.3 Manfaat 2

Bab 2 Isi Buku

2.1 Identitas Buku 3

2.2 Ringkasan Buku Setiap Bab 5

Bab 3 Pembahasan

3.1 Kelebihan 25

3.2 Kekurangan 25

Bab 4 Penutup

4.1 Kesimpulan 26

4.2 Saran 26

Daftar Pustaka 27

ii

3
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Mengkritik merupakan kegiatan untuk memberi tanggapan yang disertai
dengan uraian atau penilaian baik buruk terhadap suatu hal. Kritik akan
muncul ketika seseorang dihadapkan pada situasi dimana ia tidak suka atau
kurang setuju akan suatu hal. Dalam kegaiatan belajar pada mahasiswa
Perguruan Tinggi, mengkritik sesuatu merupakan hal yang seharusnya dapat
dilakukan dengan baik dan benar. Salah satunya yaitu mengkritik sebuah buku
(Critical Book Report). Mengkritik sebuah buku merupakan kegiatan belajar
pada mahasiswa, dimana kegiatan ini bukan hanya membandingkan antara 1
buku dengan buku lainnya, tetapi mahasiswa juga diharapkan mampu untuk
menambah wawasan dan kajian keilmuannya dari buku yang dikritiknya.
Komponen yang akan menjadi hasil dalam mengkritik sebuah buku (Critical
Book Report) yaitu berisi hasil rangkuman, hasil kritikan setiap bab, kelebihan
dan kekurangan buku yang berjudul Khasiat dan Manfaat Mengkudu.
Buku pertama diterbitkan pada tahun 2018 oleh Unimed Press, Medan.
Buku ini di tulis oleh Prof. Dr. rer. nat. Binari Manurung, M.Si. Binari lahir di
Simalungun (Silakidir) 04 April 1964. Ia merupakan seorang dosen tetap di
Jurusan Biologi FMIPA UNIMED dan dosen di Program Magister Pendidikan
Biologi. Dan pada buku kedua diterbitkan pada tahun 2003 oleh UI Press,
Jakarta. Buku ini ditulis oleh Sambas Wirakusumah. Sambas lahir di Jambi 2
februari 1935. Jabatan structural terakhir pemerintahan ialah sebagai Direktur
PTS Ditjen Depdikbud dan Rektor di beberapa Perguruan Tinggi Negeri dan
Swasta, diantaranya Universitas Mulawarman, Universitas Sahid dan UPN
“Veteran” Jakarta dan kini Guru Besar PPs Unmul, PPs UI, dan PPs UPN
“Veteran” Jakarta.

4
1.2 Tujuan Makalah
Adapun tujuan dilakukannya kritikan terhadap sebuah buku yaitu sebagai
berikut.
1. Untuk mengetahui gambaran dan penilaian umum dari sebuah buku atau
hasil karya lainnya secara ringkas.
2. Untuk mengetahui kelebihan dan kelemahan buku yang dikritik.
3. Untuk mengetahui latar belakang dan alasan buku tersebut diterbitkan.
4. Untuk menguji kualitas buku dengan membandingkan terhadap karya dari
penulis yang sama atau penulis lainnya.
5. Untuk memberi masukan kepada penulis buku berupa kritik dan saran
terhadap cara penulisan, isi, dan substansi buku.

1.3 Manfaat
Adapun manfaat dari penulisan makalah ini yaitu sebagai berikut.
1. Untuk penulis sendiri, makalah ini bermanfaat untuk melatih dalam
mengkritik sebuah buku dengan baik dan benar.
2. Untuk pembaca, makalah ini dapat menjadi contoh atau pedoman dalam
penulisan kritikan sebuah buku.

5
BAB 2

ISI BUKU

2.1 Identitas Buku

Buku Pertama

Judul Buku : Ekologi Hewan

NO. ISBN : 978-602-9115-31-4

Pengarang : Prof. Dr. rer.nat. Binari Manurung, M.Si.

Penerbit : UNIMED PRESS

Tahun Terbit : 2018

Edisi : Ke-5

Tebal Buku : ix + 176 halaman; 15,5 x 24 cm

Bahasa Teks : Bahasa Indonesia

6
Buku Kedua

Judul Buku : Dasar-Dasar Ekologi Bagi Populasi dan Komunitas


Penulis : Sambas Wirakusumah
Editor : Sugiarta Sriwibawa
Desain Sampul : UI-Press
Penerbit : Universitas Indonesia Press
Tempat Terbit : Jakarta
Tahun Terbit : 2003
ISBN : 979-456-249-1
Jumlah Halaman : 149 Halaman

Daftar Isi Buku


BAB 1 : Pengertian dan Sifat-sifat Populasi
BAB 2 : Hubungan Populasi Dengan Lingkungannya
BAB 3 : Faktor-faktor Biotik dalam Interaksi Populasi

7
2.2 Ringkasan Buku Setiap Bab
Buku Pertama

A. Pengertian Populasi Hewan


Dalam ekologi hewan, populasi seringkali didefinisikan sebagai himpunan
dari individu-individu dari spesies tertentu pada suatu tempat dan waktu yang
tertentu. Jadi memiliki tiga kata sandi: sejumlah individu, satu spesies, pada
tempat dan waktu tertentu. Pengertian populasi jelas ditujukan hanya untuk
spesies yang sama atau homospesies atau monospesies (yakni kelompok
individu yang mmapu bertukar informasi genetik dan menghasilkan keturunan
yang subur atau fertil). Jadi yang dimaksud dengan populasi hewan adalah
himpunan dari individu-individu hewan dari spesies tertentu pada suatu tempat
dan waktu tertentu yang mmeiliki ciri indiivdu (biologi) dan ciri kelompok
(statistik).

B. Ciri-ciri Dasar Populasi


Populasi memiliki dua ciri dasar, yaitu ciri biologi dan ciri statistic. Ciri
biologi merupakan ciri yang dimilki oleh individu-individu penyusun populasi
itu , sedangkan ciri statistic merupakan ciri uniknya sebagai himpunan atau
kelompok individu-individu yang berinteraksi satu dengan lainnya.
1. Ciri-ciri Biologi
 Mempunyai struktur dan organisasi tertentu yang sifatnya ada yang
konstan dan adapula yang berfluktuasi sehubungan dengan berjalannya
waktu (umur).
 Ontogenitik, yakni mempunyai sejarah kehidupan (lahir, tumbuh,
berdiferensiasi, menjadi tua atau senesens dan mati).
 Dapat dikenal dampak lingkungan dan memberikan respons terhadap
perubahan lingkungan.
 Mempunyai hereditas (ditentukan oleh gene poolnya=genangan
gennya).
 Terintegrasi oleh faktor-faktor herediter (genetik) dan ekologi
(termasuk dalam hal ini adalah keadaptifan, ketegaran reproduktif dan

8
persistensi). Persistensi adalah kebolehjadian untuk meninggalkan
keturunan untuk waktu yang lama.

2. Ciri-ciri Statistik
 Kerapatan (kepadatan/densit) atau ukuran besar populasi berikut
parameter-parameter utama yang mempengaruhinya, seperti natalitas,
mortalitas, migrasi (imigrasi dan emigrasi).
 Sebaran (agihan, struktur) umur, yang dapat dinyatakan dalam bentuk
piramida.
 Komposisi genetic (gene pool atau lungkang gen atau kolam/genangan
gen).
 Disperse (sebaran individu intra-populasi).
 Natalitas (laju kelahiran).
 Mortalitas (laju kematian)

C. Kerapatan Populasi dan Cara pengukurannya


Kerapatan populasi ialah ukuran besar populasi yang berhubungan dengan
satuan ruang atau area, yang umumnya diteliti dan dinyatakan sebagai jumlah
atau cacah individu atau biomassa per satuan luas, per satuan isi atau volume,
atau per satuan berat medium lingkungan yang ditempatinya. Kerapatan
populasi dinyatakan dalam jumlah individu bilamana ukuran-ukuran individu
penyusun populasi itu relative sama. Sementara itu dinyatakan dalam
biomassa, jika ukuran-ukuran individu pembentuk populasi itu bervariasi
sekali.
Dalam studi ekologi, penting untuk membedakan kerapatan kasar dari
kerapatan kerapatan ekologik atau kerapatan spesifik. Kerapatan kasar adalah
kerapatan yang didasarkan atas satuan ruang total, sedangkan kerapatan
eekologik adalah kerapatan yang didasarkan atas ruang yang benar-benar
(sesungguhnya) ditempati atau mikrohabitatnya. Kerapatan populasi suatu
spesies hewan dapat bervariasi sekali, namun sampai batas-batas tertentu.
Batas atas kerapatan ditentukan oleh aliran energi atau produktivitas ekosistem

9
yang ditempatinya, serta tingkatan trofik, ukuran tubuh dan laju metabolism
spesies hewan tersebut.
Penentu batas bawah kerapatan populasi tidak diketahui dengan jelas,
namun pada ekosistem yang stabil diketahui bahwa mekanisme-mekanisme
homeostatic (seks ratio, probabilitas kontak yang beroperasi dalam populasi
memegang peranan penting dalam menentukan batas bawah tersebut. Lebih
lanjut, kerapatan populasi suatu hewan dapat dinyatakan dalam bentuk
kerapatan mutlak atau absolut dan kerapatan nisbi atau relative. Pada
penaksiran kerapatan mutlak diperoleh jumlah hewan persatuan area,
sedangkan pada penaksiran kerapatan nisbi hal itu tidak diperoleh, melainkan
hanya akan menghasilkan suatu indeks kelimpahan (lebih banyak atau lebih
sedikit, lebih berlimpah, atau kurang berlimpah).
a. Pengukuran Kerapatan Mutlak. Pengukuran mutlak dapat dilakukan
dengan cara:
1. Pencacahan total (perhitungan menyeluruh).
2. Metoda cuplikan.
a. Metode kuadrat
b. Metode menangkap-menandai-menangkap ulang.
3. Metode removal
a. Metode grafis
b. Analisis regresi
c. Metode singkat (Moran-Zippin)
b. Pengukuran Kerapatan Nisbi atau Relatif. Pengukuran nisbi atau relative
dapat dilakukan dengan cara:
1. Menggunakan perangkap
2. Menggunakan jala
3. Menghitung jumlah felet feses
4. Frekuensi vokalisasi
5. Tangkapan per satuan usaha
6. Jumlah artifakta
7. Daya makan
8. Kuesioner

10
9. Sensus tepi jalan
10. Umpan manusia
11. Penghitungan jejak

D. Kelangkaan
Kelangkaan suatu hewan dapat ditinjau dari aspek kelimpahan, yakni dari
intesitas (kerapatan) dan prevalensi (frekuensi kehadiran). Lebih jelasnya,
intensitas menunjukkan kerapatan populasi dalam area yang dihuni oleh
spesies, sedangkan prevalensi menunjukkan jumlah atau ukuran area-area yang
ditempati spesies atau cacah dan besarnya daerah yang didiami oleh makhluk
di dalam kawasan secara keseluruhan.
Suatu spesies hewan yang prevalensinya tinggi (=prevalen) dapat lebih
sering dijumpai, sebab daerah penyebarannya luas. Berbeda halnya dengan
suatu spesies yang prevalensinya rendah, hanya dapat dijumpai pada tempat-
tempat tertentu saja atau terlokalisasi sebab memang daerah penyebarannya
sempit. Dengan memperhatikan intensitas dan prevalensi, pengertian spesies
umum ataupun spesies jarang atau langka akan menjadi lebih jelas.
Sehubungan dengan kedua aspek kelimpahan di atas (intensitas dan
prevalensi), suatu spesies hewan dapat dikategorikan sebagai:
a. Prevalen dan intensitas tinggi
b. Prevalen dan intensitas rendah
c. Terlokalisasi dan intensitas tinggi
d. Terlokalisasi dan intensitas rendah

D.1 Penyebab Kelangkaan Hewan

a. Area (daerah)
b. Tempat-tempat yang secara potensial dapat dihuni menjadi tidak ditempati
akibat kehadiran spesies lain.
c. Tempat-tempat yang dihuni spesies hanya cocok untuk dihuni dalam
waktu yang sangat singkat atau tempat-tempat itu letaknya di luar
jangkauan daya menyebar spesies hewan itu.

11
d. Dalam tempat yang dapat dihuni ketersediaan sumber daya penting seperti
makanan, tempat yang aman, dan sebagainya rendah.
e. Variasi genetik spesies relative sempit sehingga kisaran tempat yang dapat
dihunyinya terbatas pula.
f. Individu-individu spesies hewan itu plastisitas fenotifiknya rendah
sehingga membatasi kisaran tempat yang dapat dihuni.
g. Kehadiran populasi-populasi spesies pesaing, predator dan parasit
menekan tingkat kelimpahan populasi spesies hewan jauh di bawah tingkat
yang dimungkinkan oleh ketersediaan sumber dayanya.

E. Parameter Utama Populasi


1. Natalitas: kemampuan populasi untuk bertambah atau untuk meningkatkan
jumlahnya, melalui produksi individu baru yang dilahirkan atau ditetaskan
dari telur melalui aktivitas perkembangbiakan.
 Fertilitas
 Fekunditas
2. Mortalitas: menunjukkan kematian dalam populasi.
 Mortalitas ekologik
 Mortalitas minimum
3. Migrasi (Emigrasi dan Imigrasi)
 Emigrasi: perpindahan keluar dari area suatu populasi dan
mengakibatkan menurunnya kerapatan populasi.
 Imigrasi: perpindahan masuk ke dalam suatu aea populasi dan
mengakibatkan meningkatnya kerapatan populasi.
 Migrasi: menyangkut perpindahan atau gerakan periodic, yakni
berangkat dari dan kembali ke populasi. Terjadinya perpindahan erat
kaitannya dengan adanya gangguan dari factor abiotik dan biotik.

F. Distribusi Individu dalam Populasi


1. Acak (random)
2. Teratur atau seragam (unity)
3. Mengelompok atau Teragregasi (clumped)

12
G. Struktur Umur Populasi: Nisbah Kelamin dan Kelompok Umur

G.1 Nisbah Kelamin

Nisbah kelamin adalah proporsi atau perbandingan antara jumlah individu


jantan dan betina dalam suatu populasi. Berdasarkan ontogeny, nisbah kelamin
ini dapat dibedakan menjadi nisbah kelamin primer, sekunder dan tertier.
Nisbah kelamin primer adalah nisbah kelamin dari zigot yang baru dibuahi.
Nisbah kelamin sekunder adalah nisbah kelamin dari individu-individu yang
baru menetas, sedangkan nisbah kelamin tertier adalah nisbah kelamin dari
individu-individu dewasa yang termasuk (sub) populasi berbiak.

G.2 Piramida Umur

Untuk menggambarkan sebaran umur dalam populasi dapat dilakukan dengan


mengatur data kelompok usia dalam bentuk polygon atau piramida umur.
Dalam hal ini, jumlah individu atau persentase jumlah individu dari tiap kelas
usia digambarkan sebagai balok-balok horizontal dengan panjang relative
tertentu. Secara hipoesis, ada 3 bentuk piramida umur populasi, yakni populasi
yang sedang berkembang, populasi yang stabil dan populasi yang senses (tua).

H. Piramida Ekologi

Piramida ekologi dapat dibedakan menjadi 3 tipe umum, yaitu:

1. Piramida jumlah atau cacah: menggambarkan jumlah individu dalam


struktur trofik.
2. Piramida biomasa: didasarkan atas bobot keirng, nilai kalori atau
ukuran lain yang menggambarkan keseluruhan jumlah bahan hidup.
3. Piramida energi: mempertunjukkan laju arus energy pada tingkat trofik
yang berurutan.

I. Pertumbuhan Populasi
Suatu populasi akan mengalami pertumbuhan apabila laju kelahiran di
dalam populasi itu lebih besar dari laju kematian, dengan mengasumsikan
bahwa laju emigrasi diimbangi oleh laju imigrasi. Dikenal 2 macam bentuk

13
pertumbuhan populasi, yaitu bentuk pertumbuhan eksponensial (berbentuk
kurva J) dan bentuk pertumbuhan sigmoid atau logistic (berbentuk kurva S).
1. Pertumbuhan eksponensial
Pertumbuhan populasi bentuk eksponensial ini terjadi bila populasi ada
dalam suatu lingkungan yang tergolong ideal, yaitu ketersediaan makanan,
ruang dna kondisi lingkungan lainnya tidak beroperasi membatasi, tanpa
mada persaingan, dan lain sebagainya. Pada pertumbuhan populasi yang
demikian, populasi menunjukkan potensi biotiknya dan oleh karena itu
kerapatan/ kepadatannya bertambah dengan cepat secara eksponensial dan
kemudian berhenti mendadak saat berbagai faktor pembatas mulai berlaku
mendadak.
2. Pertumbuhan Sigmoid
Pada pertumbuhan yang berbentuk sigmoid, populasi mula-mula
meningkat sangat lambat (fase akselerasi positif), kemudian makin cepat
sehingga mencapai laju peningkatan secara logarimtik (fase logaritmik),
namun segera menurun lagi secara perlahan dengan makin meningkatnya
tahanan lingkungan, misalnya yang berupa persaingan intraspesies (fase
akselerasi negatif) sehingga akhirnya mencapai suatu tingkat yang kurang
lebih seimbang (fase keseimbangan).

J. Dinamika Populasi
Populasi hewan di alama tidaklah senantiasa konstan, melainkan akan
mengalami perubahan dari masa ke masa. Perubahan populasi hewan dari masa
ke masa dlaam istilah ekologi hewan dikenal sebagai dinamika populasi.

K. Teori Dinamika Populasi


Diatas telah dikemukakan bahwa populasi hewan di alam senantiasa
mengalami kenaikan dan penurunan. Sehubungan dengan itu sejumlah teori
telah dikemukakan oleh para pakar untuk mnejalskan faktor-faktor yang
mengendalikan turun-naiknya populasi dan yang mempertahankan kerapatan
rata-rata populasi untuk jangka waktu yang panjang atau dengan kata lain yang

14
menjelaskan interaksi antara populasi hewan dengan lingkungannya. Berikut
beberapa teori tersebut:
1. Teori aliran biotik dan aliran iklim
2. Teori Nicholson (lebih menekankan terhadap kerapatan populasi dan
persaingan antar individu)
3. Teori Smith (faktor kerapatan)
4. Teori ekologi Andrewartha dan Birch (Cuaca, faktor makanan,
makhluk hidup lain, patogen dan tempat tinggal)
5. Teori Milne (persaingan intraspesies untuk mendapatkan sumber daya
merupakan satu-satunya faktor yang smepurna dari faktor lingkungan
terpaut kerapatan, sedangkan semua faktor mortalitas lainnya termasuk
faktor tak berpaut kerapatan atau faktor tak sempurna dari terpaut
kerapatan.

BUKU KEDUA (Dasar-Dasar Ekologi Bagi Populasi dan Komunitas)

Bab 1
Pengertian dan Sifat-sifat Populasi
Populasi adalah himpunan individu-individu suatu spesies organisme
yang terdapat di suatu tempat pada suatu waktu. Satuan terkecil pembangun
populasi adalah individu. Individu-individu suatu spesies hewan di suatu
tempat memperlihatkan variasi individu, yakni persamaan dan perbedaan
menyangkut aspek-aspek fisiologis, structural-morfologis, perilaku, baik yang
bersifat herediter maupun tidak. Pengertian populasi ditujukan untuk
individu-individu spesies yang sama (homospesies, monospesies). Namun,
dalam praktek sehari-hari istilah populasi adakalanya digunakan dalam
pengertian heterospesies (polispesies). Misal, populasi capung di
kampus,populasi burung di Kota Bandung. Istilah populasi juga digunakan
untuk individu-individu dari suatu kategori umur atau tingkat perkembangan
tertentu saja, terutama hewan-hewan yang berbeda stadium perkembangannya
menempati habitat yang berbeda pula. Misalnya, populasi nimfa lalat sehari
atau nimpa capung di suatu perairan.Masalah interaksi antara hewan dengan

15
faktor biotik dan abiotik lingkungannya sebenarnya berlangsung pada tahapan
individu, dan dapat diteliti pada tahapan itu. Namun, tidak akan
mencerminkan gambaran sebenarnya dari populasi, karena tidak
memperhitungkan variasi individual. Tahapan yang paling baik digunakan
sebagai satuan dan fokus bahasan dalam ekologi adalah populasi.
Tinggi rendahnya jumlah individu populasi suatu spesies hewan
menunjukkan besar kecilnya ukuran populasi atau tingkat kelimpahan
populasi itu. Area suatu populasi tidak dapat ditentukan batansnya secara
pasti, sehingga kelimpahan (ukuran) populasi pun tidak mungkin dapat
ditentukan. Hal demikian terutama berlaku bagi populasi alami hewan-hewan
bertubuh kecil, terlebih yang nocturnal atau tempat hidupnya sulit dijangkau.
Maka, digunakan pengukuran tingkat kelimpahan populasi per satuan ruang
dari yang ditempati yaitu kerapatannya (kepadatannya).
Kerapatan populasi suatu spesies hewan adalah rata-rata jumlah
individu per satuan luas area (m2, Ha, km2) atau per satuan volume medium
(cc, liter, air) atau per satuan berat medium (g, kg, tanah). Dalam hal-hal
tertentu. kerapatan lebih memberikan makna bila dinyatakan per satuan
habitat atau mirohabitat. Misalnya, sekian individu cacing usus per individu
inang atau sekian individu werwng per rumpun padi.Sehingga terdapat dua
pengertian. Kerapatan (kasar) diukur atas satuan ruang habitat secara
menyeluruh dan kerapatan ekologis (kerapatan spesifik) didasarkan atas
satuan ruang dalam habitat yang benar-benar ditempatinya (microhabitat).
Kerapatan spesifik lebih memberikan makna antar-hubungan ekologis.
Seperti, dengan makin turunnya permukaan air danau, kerapatan populasi
ikan dalam danau secara keseluruhan (kerapan kasar) menjadi berkurang,
sedang kerapatan ekologisnya makin bertambah. Kerapatn populasi tidak
selalu harus dinyatakan sebagai jumlah individu. Apabila ukuran tubuh
individu-individu sangat bervariasi, tingkat kerapatan populasi sering
dinyatakan sebagai kerapatan biomasa (B).

B= ∑_(i=1)^(i n)= b atau B=n x b ̅

16
b = berat tubuh individu
n = jumlah individu
b ̅ = rata-rata berat tubuh individu

Dalam bahasan produktivitas dan energetika di bidang ekologi,


adakalanya biomasa dinyatakan dalam satuan bera kering (bebas air)
Terdapat suatu kecenderungan umum hubungan berbnading terbalik antara
kerapatan dan ukuran tubuh hewan. Spesies hewan yang berukuran tubuh
kecil tingkat kerapatannya tinggi, sedang hewan berukuran besar tingkat
kerapatannya rendah Dalam habitat alami yang ditempatinya, kerapatan
populasi suatu spesies hewan dapat berubah-ubah sejalan dengan waktu
dalam batas-batas tertentu. Batas atas kerapatan ditentukan oleh berbagai
faktor, seperti aliran energi atau produktivitas ekosistem, ukuran tubuh, laju
metabolism, dan kedudukan tingkatan trofik spesies hewan. Batas bawah
kerapatan populasi belum diketahui dengan pasti. Namun, dalam ekosistem
yang stabil ada mekanisme homeostatis dalam populasi, yang diduga
memegang peranan penting dalam menentukan batas bawah kerapatan.
Intensitas, Prevalensi, dan Kelangkaan Kelimpahan populasi suatu spesies
mengandung dua aspek yang berbeda, yaitu aspek intensitas dan aspek
prevalensi. Intensitas menunjukkan aspek tinggi rendahnya kerapatan
populasi dalam area yang dihuni spesies. Prevalensi menunjukkan jumlah dan
ukuran area-area yang ditempati spesies dalam konteks daerah yang lebih
luas.
Suatu spesies hewan yang prevalensinya tinggi (=prevalen) dapat
lebih sering dijumpai. Spesies yang prevalensinya rendah, yang daerah
penyebarannya terbatas (terlokalisasi) hanya ditemui di tempat tertentu.
Spesies hewan dapat dimasukkan dalam salah satu dari empat kategori
berikut:
1. prevalensi tinggi (=prevalen) dan intensitasnya tinggi
2. prevalensi tinggi (=prevalen) tetapi intensitasnya rendah
3. prevalensi rendah (=terlokalisasi) tetapi intensitasnya tinggi

17
4. prevalensi rendah (=terlokalisasi) dan intensitasnya rendah.

Spesies yang terlokalisasi dan intensitasnya rendah dikategorikan


sebagai spesies langka. Adakalanya spesies yang intensitasnya tinggi namun
prevalensinya rendah pun dimasukkan dalam kategori tersebut. Kelangkaan
suatu spesies dapat diakibatkan oleh satu atau beberapa penyebab berikut:
 Area yang dihuni spesies menjadi sempit atau jarang. Suatu habitat
yang kondisi lingkungannya khas biasanya dihuni oleh spesies yang
telah teradaptasi secara khusus untuk lingkungan tersebut.
 Berubahnya kondisi lingkungan dapat mengakibatkan kepunahan
lokal dari spesies tersebut.
 Tempat-tempat yang dapat dihuni spesies hanya cocok huni dalam
waktu yang singkat, atau tempat itu letaknya di luar jangkauan daya
pemencaran (dispesal) spesies hewan.
 Tempat-tempat yang secara potensial dapat dihuni, menjadi tidak
dapat ditempati akibat kehadiran spesies lain yang merupakan
pesaing, parasit atau predatornya. Dalam area yang dapat dihuni,
ketersedian sumber daya penting seperti makanan dan tempat untuk
berbiak menjadi berkurang.
 Variasi genetik spesies relatif sempit sehingga kisaran tempat yang
dapat dihuninya pun terbatas.
 Plastisitas fenotipik individu-individu rendah, sehingga kisaran tempat
yang dapat diuninya pun terbatas.

Suatu populasi akan mengalami pertumbuhan, apabila laju kelahiran di


dalam populasi itu lebih besar dar laju kematian, dengan mengasumsikan bahwa
laju emigrasi. Dikenal dua macam bentuk pertumbuhan populasi, yakni bentuk
pertumbuhan eksponensial ( dengan bentuk kurva J) dan bentuk pertumbuhan
sigmoid (dengan bentuk kurva S)
1. Pertumbuhan Eksponensial
Pertumbuhan populasi bentuk eksponensial ini terjadi bilamana
populasi ada dalam sesuatu lingkungan ideal baik, yaitu ketersediaan

18
makanan, ruang dan kondisi lingkungan lainnya tidak beroperasi
membatasi, tanpa da persaingan dan lain sebagainya. Pada pertumbuhan
populasi yang demikian kerapatan bertambah dengan cepat secara
eksponensial dan kemudian berhenti mendadak saat berbagai faktor
pembatas mulai berlaku mendadak.
2. Pertumbuhan Sigmoid
Pada pertumbuhan populasi yang berbentuk sigmoid ini, populasi
mula-mula meningkat sangat lambat (fase akselerasi positif). Kemudian
makin capet sehingga mencapai laju peningkatan secara logaritmik (fase
logaritmik), namun segera menurun lagi secara perlahan dengan makin
meningkatnya pertahanan lingkungan, misalnya yang berupa persaingan
intra spesies (fase akselerasi negatif) sehingga akhirnya mencapai suatu
tingkat yang kurang lebih seimbang (fase keseimbangan). Tingkat
populasi yang merupakan asimptot atas dari kurva sigmod, yang
menandakan bahwa populasi tidak dapat meningkat lagi di sebut daya
dukung (K= suatu konstanta). Jadi daya dukung suatu habitat adalah
tingkat kelimpahan populasi maksimal (kerapatan jumlah atau biomasa)
yang kelulus hidupannya dapat di dukung oleh habitat tersebut. Faktor
pembatas pertumbuhan populasi :
 Tergantung kepadatan : makanan dan ruangan
 Tidak tergantung kepadatan : iklim dan bencana alam Faktor
pembatas menyebabkan spesies menerapkan strategi

BAB 2
Hubungan Populasi Dengan Lingkungannya
Energi dan Lingkungan Hidup adalah dua hal yang saling berkaitan.
Dimana keterkaitan ini menjadi suatu kunci untuk kelangsungan hidup manusia
di muka bumi ini. Bagaimana energi yang dihasilkan tidak mencemari
lingkungan hidup serta bagaimana lingkungan hidup dapat menghasilkan
energi yang baik yang nantinya dapat berguna untuk kehidupan kita sehari-
hari. Energi merupakan suatu kekuatan atau tenaga yang dihasilkan untuk
mempermudah kinerja bukan waktu yang mana energi selalu dibutuhkan oleh

19
setiap makhluk hidup untuk membantu kinerjanya untuk melakukan sesuatu.
Sedangkan Lingkungan Hidup merupakan suatu lingkup lingkungan yang
didalamnya terdapat makhluk hidup maupun makhluk tidak hidup yang berasal
dari alam. Lingkungan hidup menjadi tempat berkembangnya para makhluk
hidup dan manusia sebagai makhluk hidup yang paling unggul memnafaatkan
lingkungan hidup sebagai tempat mencari berbagai kebutuhan manusia sendiri.
Ketika kita menghubungkan antara energi dan lingkungan hidup maka kita
dapat memanfaatkan dua hal tersebut untuk membantu kita mendapatkan
manfaat dari lingkungan dan energi yang ada. Sebagai contoh kita sebagai
makhluk hidup yang konsumtif dan ketergantungan dengan yang namanya
energi dan lingkungan memanfaatkan mata air untuk minum. Energi yang
disebutkan diatas adalah energi yang berasal dari alam. Jika kita
menggunakannya dengan benar dan bijaksana maka kelangsungan lingkungan
hidup di sekitar kita juga dapat terjaga dengan baik. Untuk itu antara energi dan
lingkungan hidup tidak bisa dipisahkan untuk kepentingan masing-masing.
Dua hal ini harus saling keterkaitan dan kita sebagai manusia, harus menjaga
kedua keterkaitan tersebut agar ekosistem di bumi ini dapat terjaga dengan
baik.
Faktor-faktor iklim yang diduga berpengaruh terhadap hama menurut
Kisimoto dan Dyck (1976) di antaranya adalah suhu, kelembapan relatif, curah
hujan dan angin.

a. Curah hujan/presipitasi
Hujan adalah gejala gerak konveksi udara yang kemudian
mengalami pendinginan (di dalam atmosfer) sehingga terjadi
kondensasi dan akhirnya jatuh sebagai titik air. Unsur-unsur penting
dari hujan yang berhubungan dengan pertumbuhan hama adalah
jumlah volume curah hujan, jumlah hari hujan dan intensitas hujan.
Periodesitas timbulnya hama sangat berhubungan dengan periode
hujan tahunan dan perubahan-perubahan jangka panjang. Pengaruh
hujan terhadap perkembangan hama dapat secara langsung berupa
pengaruh mekanis, misalnya hujan lebat dapat menghanyutkan
serangga. Sedangkan banyak sedikitnya hujan dapat berpengaruh tak

20
langsung terhadap perkembangan hama, karena tinggi rendahnya hujan
erat hubungannya dengan suhu maksimum, minimum serta tekanan
udara.
b. Suhu
Pengaruh suhu udara terhadap hama dan penyakit tumbuhan antara
lain mengendalikan perkembangan, kelangsungan hidup dan
penyebaran serangga (Massenger, 1976). Suhu dinyatakan dalam
derajat panas, sumber pada permukaan tanah berasal dari radiasi
matahari. Tinggi rendahnya intensitas cahaya matahari berbanding
lurus dengan tinggi rendahnya suhu udara.
Tinggi rendahnya suhu tubuh serangga menyesuaikan suhu udara
lingkungannya (hyphothermal). Pengaruh suhu lingkungan terhadap
serangga hama dapat dikelompokkan menjadi 5 zona:

 Zona suhu maksimum: daerah suhu dimana serangga tak lagi


dapat bertahan maupun menyesuaikan diri sehingga mati karena
terlampau panas.
 Zona suhu tinggi inaktif atau estivasi: daerah suhu dimana
serangga masih dapat bertahan hidup tapi tak lagi aktif atau
bergerak dan tak pula mati karena proses fisiologis organ-organ
tubuh masih bekerja. Beristirahat/tidurnya serangga dalam
melakukan aktivitas kehidupan diebut estivasi/diapuze. Jika
suhu udara turun sampai titik tertentu maka serangga akan aktif
kembali dan hidup normal.
 Zona suhu optimum atau efektif, daerah suhu dimana serangga
hidup secara normal dan segala aktivitas berlangsung secara
lancar dan optimal sehingga perkembangan serangga terjadi
maksimal.
 Zona suhu rendah inaktif/hibernasi, daerah dimana serangga
masih dapat hidup tapi tak aktif atau bergerak karena keadaan
terlampau dingin. Serangga tidak mati karena proses fisiologis
organ-organ tubuhnya masih bekerja, hal ini disebut hibernisasi.

21
Jika suhu udara meningkat sampai titik panas tertentu maka
serangga akan aktif kembali dan hidup normal.
 Zona suhu minimum, daerah dimana serangga tak dapat
bertahan hidup atau menyesuaikan diri lagi terhadap lingkungan
sehingga mati kedinginan.

c. Kelembapan
Kebutuhan serangga akan air sangat dipengaruhi dan
berhubungan erat dengan keadaan lingkungan hidupnya terutama
kelembapan dan ketersediaan air. Untuk menyatakan kandungan air di
udara tau kelembapan udara dilakukan dengan cara antara lain lengas
udara mutlak, lengas udara spesifik, lengas udara nisbi dan tekanan
uap.

d. Cahaya
Semua cahaya sangat berhubungan erat dengan kehidupan
serangga. Umumnya serangga sangat tertarik dengan cahaya dan untuk
kebutuhan hidupnya memerlukan energi yang bersumber dari cahaya
matahari atau bulan. Penyesuaian serangga terhadap kondisi cahaya
selain dalam bentuk kebiasaan/karakteristik hidup juga dalam hal
fisiologis, anatomis, morfologis, indra penglihatan dan warna tubuh.

TANAH
Tanah adalah bagian yang terdapat pada kerak bumi yang tersusun atas
mineral dan bahan organik. Tanah merupakan salah satu penunjang yang
membantu kehidupan semua mahluk hidup yang ada di bumi. Tanah sangat
mendukung terhadap kehidupan tanaman yang menyediakan hara dan air di bumi.
selain itu, Tanah juga merupakan tempat hidup berbagai mikroorganisme yang
ada di bumi dan juga merupakan tempat berpijak bagi sebagian mahluk hidup
yang ada di darat. Dari segi klimatologi , tanah memegang peranan penting
sebagai penyimpan air dan mencegah terjadinya erosi. Meskipun tanah sendiri
juga bisa tererosi. Tanah adalah lapisan permukaan bumi yang secara fisik

22
berfungsi sebagai tempat tumbuh & berkembangnya perakaran penopang tegak
tumbuhnya tanaman dan menyuplai kebutuhan air dan udara; secara kimiawi
berfungsi sebagai gudang dan penyuplai hara atau nutrisi (senyawa organik dan
anorganik sederhana dan unsur-unsur esensial seperti: N, P, K, Ca, Mg, S, Cu, Zn,
Fe, Mn, B, Cl); dan secara biologi berfungsi sebagai habitat biota (organisme)
yang berpartisipasi aktif dalam penyediaan hara tersebut dan zat-zat aditif
(pemacu tumbuh, proteksi) bagi tanaman, yang ketiganya secara integral mampu
menunjang produktivitas tanah untuk menghasilkan biomass dan produksi baik
tanaman pangan, tanaman obat-obatan, industri perkebunan, maupun kehutanan.
1. TIPE TANAH
Tubuh tanah (solum) tidak lain adalah batuan yang melapuk dan
mengalami proses pembentukan lanjutan. Usia tanah yang ditemukan saat
ini tidak ada yang lebih tua daripada periode Tersier dan kebanyakan
terbentuk dari masa Pleistosen. Tubuh tanah terbentuk dari campuran
bahan organik dan mineral. Tanah non-organik atau tanah mineral
terbentuk dari batuan sehingga ia mengandung mineral. Sebaliknya, tanah
organik (organosol/humosol) terbentuk dari pemadatan terhadap bahan
organik yang terdegradasi. Tanah organik berwarna hitam dan merupakan
pembentuk utama lahan gambut dan kelak dapat menjadi batu bara. Tanah
organik cenderung memiliki keasaman tinggi karena mengandung
beberapa asam organik (substansi humik) hasil dekomposisi berbagai
bahan organik. Kelompok tanah ini biasanya miskin mineral, pasokan
mineral berasal dari aliran air atau hasil dekomposisi jaringan makhluk
hidup. Tanah organik dapat ditanami karena memiliki sifat fisik gembur
(sarang) sehingga mampu menyimpan cukup air namun karena memiliki
keasaman tinggi sebagian besar tanaman pangan akan memberikan hasil
terbatas dan di bawah capaian optimum. Tanah non-organik didominasi
oleh mineral. Mineral ini membentuk partikel pembentuk tanah. Tekstur
tanah demikian ditentukan oleh komposisi tiga partikel pembentuk tanah:
pasir, lanau (debu), dan lempung. Tanah pasiran didominasi oleh pasir,
tanah lempungan didominasi oleh lempung. Tanah dengan komposisi
pasir, lanau, dan lempung yang seimbang dikenal sebagai geluh (loam).

23
2. NUTRISI TANAH

Zat-zat organik yang kedapatan di dalam tanah itu berasal dari


pasir penguraian sisa-sisa tanaman dan hewan. Tanah yang berupa pasir
sedikit benar bahan organicnya, sedang tanah pertanian yang biasa ad
mengandung kira-kira 25% bahan organic. Didalam bahan organic inilah
terdapat kegiatan-kegiatan bakteri, jamur dan organism-organiame lainnya
yang berjasa sekali dalam siklus peribahan zat –zat alam. Di daerah tropic,
dimana kehidupan mikroorganisme aktif sekali, sisa-sisa bahan organic
cepat sekali berubah menjadi zat-zat anorganik, sehingga jarang kita dpati
humus yang cukup tebal. Air yang kita dapati di dlaam tanah itu
mengandung segala macam bahan yang terdpat di dalam tanah itu,
sehingga tepatlah kalau kita katakana, bahwa air tanah bukan air biasa lagi,
melainkan suatu larutan tanah.

Tanah yang terdiri atas partikel-partikel besar kurang dapat


menahan air daripada tanah yang partikel-partikel lebih halus. Kita
membedakan adanya air yang tidak bebas, karena terikat secara kimia pada
suatu partikel (air kimia), kita kenal air mengelilingi suatu partikel
(airhigroskopik), dan kita kenal juga air yang mengisi sela-sela diantara
partikel (air kapiler).

Seperti halnya dengan sebagian air, maka udara mengisi rongga-


rongga yang ada di sela-sela partikel. Makin besar partikelpartikelnya,
makin banyak udara di sela-selanay. Inilah sebabnya maka tanah liat
apalagi yang basah benar karena air kapiler tidak mempunyai ventilasi
sama sekali. Tanah di mana rongga antara partikel itu ada yang besar-besar
dan ada pula yang kecil-kecil, itulah tanah yang paling baik untuk akar
tanaman. Rongga yang besar memberikan ventilasi yang cukup, sedang
rongga-rongga yang kecil dapat menahan air banyak-banyak.

3. PROSES PEMBENTUKAN TANAH


Tanah terbentuk melalui proses pelapukan baik terhadap batuan
organik maupun batuan anorganik. Ada beberapa jenis pelapukan,

24
diantaranya adalah pelapukan fisik ( mekanis) pelapukan kimia dan
pelapukan biologis .
 Pelapukan Fisik (Mekanis)
Pelapukan fisik meliputi fragmentasi batuan (bedrock) menjadi
butiran-butiran dan akhirnya menjadi tanah. Contoh proses ini adalah
disebabkan oleh pembekuan air diwaktu dini ( malam hari atau saat
hujan) dan mencair nya air saat panas siang hari. Pertumbuhan alar
tanaman juga menyebabkan terjadinya fragmentasi batuan di bawah
tanah.
 Pelapuan Kimia
Pelapukan kimia meliputi penghancuran secara kimiawi bahan-
bahan mineral dari batuan akibat fragmentasi batuan akibat reaksi air
dan udara pada batuan. Larutnya batu kapau oleh air merupakan salah
satu contoh pelapukan ini. Yang ,membentuk sebuah stalaktit yang
menggantung pada lubang gua, atau terbentuknya dolina ( cekungan )
dan sungai dabawah tanah.

 Pelapukan Biologis
Pelapukan ini berupa penghancuran yang dilakukan binatang,
seperti rayap, cacing dan tikus.

4. GEJALA KERUSAKAN TANAH ATAU GANGGUAN PADA TANAH


Kerusakan tanah dapat terjadi karena hilangnya unsure hara
walaupun tidak terjadi perpindahan secara fisik. Gejala kerusakan tersebut
dipengaruhi oleh kegiatan manusia misalnya, kegiatan kehutanan, adanya
penebangan pohon secara besar-besaran, kegiatn pertambangan , kegiatan
pertanian yang meluipakan kaidah konserpasi tanah, pengolahan lahan
yang kurang tepat, kurangnya pengetahuan dan pengolahan lahan.
Kegiatan kehutanan selama ini telah memberikan pengaruh
negative dari tingkat kerusakan yang sangat rendah hingga tinggi.
Akaibatnya, hutan dapat berubah menjadi padang rumput. Hutan
cenderung rusak dan tandus serta ekosistem hutan rusak dengan kategori

25
serius dan parah. Hal tersebut merupakan akibat kegiatan kehutanan
seperti : penebangan secara lair ( forest-loging) dan land clearing.
Penenbangan hutan secara liar dapat menurunkan kwalitas sumber daya
tahan tanah. Ketika hujan turun, air hujan akan mengikis permukaan tanah.
Jika hal tersubut terjadi terus , kesuburan tanah akan menurun. Adanya
pepohonan membantu mengurang erosi tanah akibat air hujan .

Bab 3
Faktor-faktor Biotik dalam Interaksi Populasi
Faktor biotik adalah faktor hidup yang meliputi semua makhluk hidup
di bumi, baik tumbuhan maupun hewan. Dalam ekosistem, tumbuhan berperan
sebagai produsen, hewan berperan sebagai konsumen, dan mikroorganisme
berperan sebagai dekomposer. Faktor biotik juga meliputi tingkatan-tingkatan
organisme yang meliputi individu, populasi, komunitas, ekosistem, dan biosfer.
Tingkatan-tingkatan organisme makhluk hidup tersebut dalam ekosistem akan
saling berinteraksi, saling mempengaruhi membentuk suatu sistemyang
menunjukkan kesatuan. Dalam artian yang luas persaingan ditunjukan pada
interaksi antara dua organisme yang memperebutkan sesuatu yang sama.
Persaingan ini dapat terjadi antara indifidu yang sejenis ataupun antara individu
yang berbeda jenis.
Persaingan yang terjadi antara individu yang sejenis disebut dengan
persaingan intraspesifik sedangkan persaingan yang terjadi antara individu
yang berbeda jenisnya disebut sebagai persaingan interspesifik. Persaingan
yang terjadi antara organisme-organisme tersebut mempengaruhi pertumbuhan
dan hidupnya, dalam hal ini bersifat merugikan . Setiap organisme yang
berinteraksi akan di rugikan jika sumber daya alam menjadi terbatas
jumlahnya. Yang jadi penyebab terjadinya persaingan antara lain makanan atau
zat hara, sinar matahari, dan lain – lain
Faktor-fator intraspesifik merupakan mekanisme interaksi dari dalam
individu organisme yang turut mengendalikan kelimpahan populasi. Pada
hakikatnya mekanisme intraspesifik yang di maksud merupakan perubahan
biologi yang berlangsung dari waktu ke waktu. Persaingan intraspesifik di

26
gunakan untuk menggambarkan adanya persaingan antar individu-individu
tanaman yang sejenis.
 Kompetisi
Kompetisi adalah hubungan antara dua individu untuk memperebutkan
satu macam sumber daya, sehingga hubungan itu bersifat merugikan
bagi salah satu pihak. Kompetisi dapat terjadi antar individu dalam satu
populasi dan individu dari populasi lain yang berbeda.
Sumber daya yang diperebutkan dalam kompetisi ini dapat berupa
makanan, energi, tempat tinggal, bahkan pasangan kawin. Persingan
dalam hal sumber daya runga atau tempat tinggal terjadi jika terjadi
ledakan populasi sehingga hewan berdesak-desakan di suatu tempat
tertentu. Dalam kondisi ini hewan –hewan yang kuat mengusir hewan
lemah untuk pindah dari kelompoknya atau meninggalkan tepatnya.
 Kanibalisme
Kompetisi biasanya membawa serta hubungan kekanibalan.
Kanibalisme adalah sifat suatu hewan yang bertujuan untuk menyakiti
dan membunuh individu lain dalam suatu jenis organisme.
 Amensalisme
Amensalisme dalah hubungan antara dua jenis organisme, yang satu
menghambat atau merugikan yang lain, tetapi dirinya tidak mendapat
pengaruh apa-apa dari kehadiran jenis organisme yang di hambat atau
dirugikannya. Contoh hubungan seperti itu susah di cari pada
komunitas hewan. Namun Jakson (1979, dalam Begon, 1990)
menemukan hubungan amensalime ini pada jenis-jenis Bryozoa yang
hidup di bawah karang di pantai Jamaika. Ia menemukan bahwa di
antara 7 dari jenis kelompok Bryozoa yang saling bersaing persentase
kemenangan berkisar antara 50% (kompetisi simetris) sampai 100%
(amensalisme)

27
BAB 3
PEMBAHASAN

3.1 Kelebihan Buku


Adapun kelebihan dari kedua buku yang menjadi referensi yaitu :

1. Buku ini menjelaskan setiap isi bab dengan detail yang mudah untuk
dijelaskan, sehingga pembaca dapat dengan mudah memahami isi buku.
2. Terdapatnya gambar-gambar yang membuat pembaca tertarik untuk
memahami isi buku.
3. Spesifikasi buku dijelaskan dengan lengkap, sehingga memudahkan
pembaca untuk mereferensi buku ini kembali.
4. Sumber referensi yang digunakan jelas sehingga memudahkan pembaca
untuk melihat sumber dari penjelasan yang ada.

3.2 Kelemahan Buku


Kelemahan pada buku yang menjadi bahan critical book report yaitu :

1. Pada sistematika penulisan, terdapat beberapa tanda baca yang tidak sesuai
dengan fungsinya.
2. Terdapat kata-kata yang rancu atau susah untuk dipahami oleh pembaca.
3. Tidak adanya daftar istilah buku, yang memudahkan pembaca dalam
memahami setiap istilah-istilah yang terdapat dalam suatu buku.

28
BAB 4

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Adapun kesimpulan dari pengkritikan terhadap kedua buku ini yaitu :

1. Buku tersebut sudah menjelaskan secara detail setiap isi dari bab, sehingga
memudahkan pembaca untuk memahaminya.
2. Terdapat beberapa kesalahan penulisan pada buku menyebabkan buku
sedikit kurang menarik.
3. Identitas buku yang lengkap memberikan kemudahan kepada pembaca
yang ingin mereferensikan buku tersebut.
4. Secara keseluruhan buku, baik penulisan, isi dan materi yang terdapat pada
buku sudah bagus dan sangat baik untuk dijadikan referensi untuk belajar

4.2 Saran
Pada buku ini sebaiknya editor harus lebih teliti dalam mengedit kata-kata
atau penulisan yang salah, sehingga buku akan menjadi lebih sempurna.

29
DAFTAR PUSTAKA

Manurung,B. (2018). Ekologi Hewan. Unimed Press. Medan


Wirakusumah,S. (2003). Dasar-dasar Ekologi Bagi Populasi dan Komunitas. UI
Press. Jakarta

30

Anda mungkin juga menyukai