SKRIPSI
oleh
NIM : 2601412064
i
PERSETUJUAN PEMBIMBING
ii
PENGESAHAN KELULUSAN
Skripsi yang berjudul Perjodohan dalam Novel Katresnan karya
Soeratman Sastradihardja telah dipertahankan di hadapan sidang Panitia Ujian
Skripsi Jurusan Bahasa dan Sastra Jawa, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas
Negeri Semarang
Ketua
Dr. Syahrul Syah Sinaga, M.Hum.
NIP 196408041991021001
Sekretaris
Ucik Fuadhiyah, S.Pd., M.Pd.
NIP 198401062008122000
Penguji I
Widodo, S.S., M.Hum.
NIP 198204042012011000
Penguji II
Drs. Hardyanto, M.Pd.
NIP 195811151988031002
Penguji III
Yusro Edy Nugroho, S.S., M.Hum.
NIP 196512251994021001
Mengetahui
Dekan Fakultas Bahasa dan Seni
iii
PERNYATAAN
saya, bukan jiplakan dari karya orang lain, baik sebagian maupun seluruhnya.
Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip atau
Semarang, September2018
Peneliti
NIM 2601412064
iv
MOTO DAN PERSEMBAHAN
MOTO
Semua permasalahan itu sama, hanya saja kita melihat dan mengambil jalan
PERSEMBAHAN
Sastradihardja kupersembahkan
kepada:
v
PRAKATA
Puji syukur kepada Allah Swt., atas limpahan rahmat dan karunia-Nya,
sepenuhnya bahwa tanpa adanya bantuan dari semua pihak, penulisan skripsi ini
tidak akan pernah selesai. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih
kepada:
2. Drs. Hardyanto, M.Pd. sebagai pembimbing II, yang juga telah berkenan
3. Widodo, S.S., M. Hum sebagai penguji yang telah memberikan kritik dan
5. Dekan Fakultas Bahasa dan Seni yang telah memberikan izin kepada
6. Ketua Jurusan Bahasa dan Sastra Jawa yang telah memberikan izin kepada
vi
7. Bapak dan Ibu Dosen Jurusan Bahasa dan Sastra Jawa yang telah
8. Bapak dan Ibu, yang telah mendidik dan mengasuh saya dari kecil hingga
sekarang ini.
dan masukan.
NIM 2601412064
vii
ABSTRAK
viii
SARI
ix
DAFTAR ISI
JUDUL ................................................................................................................................ i
PERSETUJUAN PEMBIMBING....................................................................................... ii
PERNYATAAN.................................................................................................................. iii
PRAKATA .......................................................................................................................... v
SARI.................................................................................................................................... viii
x
3.1 Pendekatan Penelitian ................................................................................................... 34
3.2 Data dan Sumber Data .................................................................................................. 35
3.3 Sasaran Penelitian ......................................................................................................... 35
3.4 Teknik Pengumpulan Data ............................................................................................ 35
3.5 Teknik Analisis Data ..................................................................................................... 36
DAFTAR PUSTAKA
xi
BAB I
PENDAHULUAN
sastra merupakan pikiran dari seorang pengarang. Antara seorang pengarang satu
antara pengarang yang satu dengan yang lain tetapi permasalahannya yang
dibahas hampir sama, yaitu berbicara tentang kehidupan. Hal ini sesuai dengan
mengatakan bahwa sastra menyajikan kehidupan yang sebagian besar terdiri dari
kenyataan sosial, walaupun karya sastra juga meniru alam dan dunia subjektif
manusia.
nyata. Replika karya sastra tersebut dituangkan dalam bentuk fiksi, baik berupa
cerpen, novel, puisi maupun drama. Persoalan yang ditulis dalam karya sastra
oleh pengarang umumnya tidak terlepas dari pengalaman kehidupan nyata sehari-
hari. Oleh sebab itu, seorang pengarang sering mengangkat cerita nyata di
1
2
pendapat ini, tampak bahwa perjuangan panjang hidup manusia akan selalu
dalam Endraswara, 2013:79) memiliki tiga ciri dasar, yaitu: (1) kecenderungan
(2) kecenderungan pada koherensi dalam proses penstrukturan yang global, dan
tahap perkembangan, yaitu tahap teologis, metafisis, dan positif. Dalam kerangka
teori yang demikian sastra dapat dipahami sekaligus sebagai representasi dari
Hubungan antara sastra dengan lembaga-lembaga sosial yang lain dapat disebut
(Faruk 2013:52).
3
Salah satu masalah sosial yang paling menonjol dalam novel Katresnan
karya Soeratman Sastradihardja ini tentang masalah antara generasi muda dengan
Persoalan pemilihan jodoh dan campur tangan orang tua dalam pernikahan
anaknya terdapat pada novel terbitan Balai Pustaka abad 19. Ada novel Siti
Nurbaya yang ditulis oleh Marah Roesli. Menceritakan seorang gadis yang
akhirnya terpaksa kawin dengan Datuk Maringgih, seorang saudagar kaya yang
berusia jauh lebih tua daripadanya. Lalu ada novel Serat Riyanta yang ditulis oleh
R.B. Soelardi. Diceritakan Raden Mas Riyanta yang sudah berusia 20 tahun
belum memiliki pasangan hidup. Hal ini menyebabkan ibu dari Raden Mas
Riyanta khawatir dan ingin menjodohkan Raden Mas Riyanta dengan Srini.
dijelaskan berasal dari kata jodoh yang berarti orang yang cocok menjadi suami
atau istri. Mesti adanya kecocokan sehingga bisa menjalin sebuah hubungan
rumah tangga. Pengertian lain menurut perjodohan terjadi karena telah tiba
masanya seseorang dalam sebuah keluarga untuk berumah tangga, jika waktu itu
telah tiba maka barulah para kerabat, serta orang tua berusaha membuka mata
lebar-lebar yang bertujuan untuk mencari siapa yang pantas untuk menjadikan
istri atau suami yang kira-kira cocok bagi anak mereka (Wicaksono, 2015:1).
4
Jawa masih bisa ditemui. Untuk hal ini orang Jawa pada umumnya atau orang
Jawa tengah pada khususnya mempunyai patokan (ukuran) dalam memilih jodoh
yang ideal. Patokan tersebut ialah bibit, bebet, bobot (Surjanto dkk, 1987:61).
Yang dimaksud dengan bibit adalah penilaian seseorang ditinjau dari sudut
keturunan. Siapakah yang menurunkan orang yang akan menjadi pilihan tersebut.
Misalnya: Apakah dia berasal dari kalangan bawahan. Apakah di antara keluarga
dari pilihan tersebut ada yang mempunyai penyakit keturunan atau tidak. Apakah
calon tersebut dari keluarga yang baik-baik, atau dari keluarga yang tidak baik,
misalnya saja ayahnya suka kawin, orang tuanya suka menipu dan sebagainya.
Kalau ini terjadi, maka akan disingkirkan dalam menentukan jodoh. Dilihat dari
bibitnya, orang tua Mursiati lebih memilih anak mantri untuk menjadi calon
Apakah orang tersebut biasa bergaul dengan orang baik atau orang yang
mempunyai reputasi yang kurang baik, seperti bergaul dengan peminum, pemadat,
pemadon, dan sebagainya. Dilihat dari bebetnya, orang tua Mursiati mengenal
anak mantri tersebut karena keluarga dekat. Sedangkan yang dimaksud bobot
rendah, kaya atau miskin. Cantik atau tidak dan sebagainya. Bagi orang laki-laki
bobot ini lebih diutamakan, sebab jaman dahulu pada umumnya istri itu tidak
5
mempunyai pangkat yang tinggi atau pandai mencari nafkah. Dilihat dari
bobotnya, anak mantri tersebut bekerja sebagai klerk di kantor pos Surabaya
lama sedangkan yang satunya lagi menerapkan paham pemikiran adat baru atau
berpikir secara modern. Diceritakan orang tua Mursiati yang masih menggunakan
adat kuna, ingin menjodohkan Mursiati dengan seorang anak mantri. Tetapi tokoh
Mursiati dengan pemikiran adat barunya menentang dan ingin menentukan sendiri
terutama para orang tua yang menjodohkan anaknya secara umum belum dapat
yang terdekat.
tokoh Mursiati yang berpendidikan serta sangat kuat dan berjalan mengikuti
alurnya sendiri. Ia dengan tegas menolak perjodohan yang dilakukan oleh orang
tuanya dan berani mengutarakan maksud hati dengan bahasa yang halus ketika
menolak keinginan orang tuanya. Sementara itu Mursiati sudah memiliki calon
sendiri yang bernama Sutrisna, teman yang sudah lama dikenalnya ketika masih
perdebatan yang terjadi antara orang tua Mursiati dengan Mursiati. Perjodohan
6
demikianlah yang menarik bagi bahan cerita setiap novel. Menarik pula untuk
Perselisihan pemahaman yang terjadi tidak menjadi halangan bagi Mursiati untuk
yang indah. Selain itu, penelitian yang meneliti novel Katresnan belum banyak
ditemukan. Hal inilah yang melatar belakangi penulis sebagai dasar untuk
Soeratman Sastradihardja.
Sastradihardja.
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah manfaat secara praktis
dan secara teoritis. Manfaat praktis yaitu manfaat berdasarkan pada praktik.
Secara praktis manfaat dari penelitian ini yaitu diharapkan dapat menambah bahan
pendapat yang dikemukakan sebagai suatu keterangan mengenai suatu hal atau
pengetahuan dalam karya sastra khususnya novel terlebih lagi dalam teori-teori
sosiologi sastra dan mimesis yang tertuang dalam novel bertemakan konflik
terdahulu dengan penelitian ini yaitu perjodohan dalam novel Katresnan kajian
sosiologi sastra. Beberapa penelitian yang relevan dengan penelitian ini, antara
Hasil penelitian ini adalah gambaran sosok ideal tokoh wanita Jawa yang
digambarkan pada diri Mursiati. Hasil dari penelitian ini juga memuat pandangan
pengarang terhadap pembelaan wanita dalam novel melalui novel Katresnan yaitu
karakter tokoh wanita yang terdapat dalam novel Katresnan, yaitu Mursiati dan
8
9
Dalam Novel Memang Jodoh Karya Marah Rusli”. Hasil penelitian menunjukan
ini dipicu karena adanya penentangan kaum muda terpelajar yang cenderung
sebagaimana yang terjadi pada novel pada zaman Balai Pustaka. Pengaruh barat
“Randai Puti Manih Talongsong” Karya Wisran Hadi: Tinjauan Sosiologi sastra”.
Persoalan yang terjadi dalam naskah randai Puti Manih Talongsong di mana
timbul persoalan dan perdebatan antara calon yang akan dijodohkan dengan Puti
Manih Talongsong yang diakibatkan oleh kultur budaya yang berbeda di mana
Palimo Parang Usai bukan berasal dari Minang, melainkan dari Jawa. Perbedatan
budaya tersebut karena apabila seseorang yang di luar Minang dianggap tidak
dihubungkan dengan analisis struktur yang meliputi tokoh dan penokohan, latar
dan tema. Analisis struktur digunakan sebagai tahap awal untuk menganalisis
karakter tokoh, latar dan alur yang membangun cerita itu sendiri. Metode yang
penelitian ini adalah sama-sama mengkaji tentang perjodohan yang ada dalam
karya sastra.
membahas perjodohan yang menjadi salah satu fenomena unik dalam masyarakat
Indonesia, terutama dalam budaya Jawa. Dikatakan unik karena itu tidak selalu
terjadi dalam segala situasi. Pertimbangan agama, rasa malu di antara kedua belah
pihak atau salah satu dari mereka (baik laki-laki atau perempuan), adalah faktor
untuk melengkapi satu sama lain. Perjodohan biasanya dilakukan baik laki-laki
dan perempuan untuk memulai sebuah hubungan serius. Dalam kasus perspektif
Jawa, faktor seperti profesi, kekayaan, agama dan pendidikan dianggap sebagai
status dari Individu Jawa. Dalam artikel ini, akan lebih difokuskan pada identitas
etnis Jawa dan Wacana Islam dan kurangnya pembahasan bahasa gender dalam
dengan agama, sementara dalam penelitian ini tidak ada agama yang
Kasus Pada Wacana Perjodohan (Jawa Dan Perspektif Islam)” adalah sama-sama
keluarga Pondok Buntet dan faktor apa saja yang menjadi alasan para keluarga
reseach) dan riset lapangan (field reseach). Hasil penelitian ini menunjukan
Buntet Pesantren sudah menjadi tradisi turun temurun hingga saat ini. Perjodohan
adalah pernikahan yang semi pemaksaan, yang mana menurut Kompilasi Hukum
Islam dalam Pasal 16 ayat (1) dan ayat (2) menyatakan bahwa perkawinan harus
perkawinan endogami dengan cara ditawarkan tanpa ada pemaksaan. Selain itu,
dengan penelitian ini adalah teknik pengumpulan data. Apabila penelitian Muhadi
Gadis dalam Perspektif Hukum Islam (Studi Kasus di Desa Brokoh Kecamatan
ini yaitu 1) bagaimana praktik perjodohan paksa anak gadis yang terjadi di Desa
hukum Islam terhadap praktik perjodohan paksa anak gadis yang dilakukan oleh
data penelitian ini ada data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh
yaitu suami, istri, wali atau pihak keluarga mempelai perempuan dan laki-laki
diperoleh dari hasil penelaahan kepustakaan yaitu dari beberapa buku, jurnal,
Teori-teori yang menjadi dasar dalam penelitian ini yaitu, teori mimesis,
Sementara itu bagi Plato, mimesis terikat pada ide pendekatan, tidak
tinggi hanya dapat disarankan. Dalam rangka ini, menurut Plato, mimesis atau
sarana artistik tidak mungkin mengacu langsung pada nilai-nilai yang ideal,
karena seni terpisah dari tataran Ada yang sungguh-sungguh oleh derajat dunia
kenyataan yang fenomenal. Seni hanya dapat meniru dan membayangkan hal-hal
yang ada dalam kenyataan yang tampak, jadi berdiri di bawah kenyataan itu
sendiri dalam hierarki. Wujud yang ideal tidak bisa terjelma langsung dalam karya
seni. Tetapi ini tidak berarti bahwa seni sama sekali kehilangan nilai. Sebab
walaupun seni terikat pada tataran yang lebih rendah dari kenyataan yang tampak,
(Teeuw, 1988:220).
15
Bagi Plato tidak ada pertentangan antara realisme dan idealisme dalam
sesuatu makna hakiki kenyataan itu. Maka seni harus truthful, benar; dan seniman
harus bersifat modest, rendah hati; dia harus tahu bahwa lewat seni dia hanya
dapat mendekati yang ideal dari jauh dan serba salah. Dari segi ini kepandaian
seorang tukang malah dapat dinilai lebih tinggi dari seniman, sebab tukang yang
baik pada prinsipnya lebih efisien meniru ide yang mutlak dalam benda-benda
bukan rasio, nalar manusia, melainkan nafsu-nafsu dan emosinya yang menurut
Aristoteles memandang bahwa seni justru menyucikan jiwa manusia lewat proses
khas kasihan dalam hati kita karya seni memungkinkan kita membebaskan dari
dari nafsu yang rendah; karya seni mempunyai dampak tetapi lewat pemuasan
estetika keadaan jiwa dan budi manusia justru ditingkatkan, dia menjadi budiman
(Teeuw, 1988:222).
Aristoteles pun menolak pendapat Plato tentang filsafat ide Platao dan
sistem nilainya yang hirarkik justru menonjolkan aspek positif dari mimesis.
Penyair tidak meniru kenyataan, tidak mementaskan manusia yang nyata atau
ciptaan itu sekaligus oleh karena dunia itu merupakan kontraksi, perpaduan
16
berdasarkan unsur-unsur yang nyata, mencerahi segi dunia nyata tertentu. Jadi
bagi Aristoteles seniman lebih tinggi nilai karyanya daripada seorang tukang;
yang khas, cara yang unik untuk membayangkan pemahaman tentang aspek atau
tahap situasi manusia yang tidak dapat diungkapkan dan dikomunikasikan dengan
Teori mimesis memiliki anggapan dasar bahwa teks sastra pada dasarnya
merupakan wakil atau penggambaran dari realitas. Oleh sebab itu, untuk mampu
memahami realitas yang digambarkan dalam teks sastra, terlebih dulu harus
sastra, seperti halnya puisi, adalah semacam cermin yang menjadi perepresentasi
dari realitas itu sendiri. Begitulah pengertian mimesis menurut Plato yang dalam
Pada sisi lain, Aristoteles berpendapat mimesis bukan sekadar tiruan, bukan
sekadar potret dari realitas, melainkan telah melalui kesadaran personal batin
pengarangnya. Oleh sebab itu, realitas yang dipaparkan pun telah mengandung
diemban oleh tokoh pelaku tertentu, terjadi di suatu tempat dan waktu tertentu
terdapatlah pengisahan yang berkembang dari ilusi pengarang tanpa diikat oleh
bertumpu pada realitas yang ada atau mewujud di luar diri pengarang
(Aminuddin, 2013:115).
peneladanan alam oleh penyair kuat sekali: penyair sebagian besar mencari ilham
dalam keindahan alam, dan dia biasa berkelana, lelengon, menelusuri keindahan
ini; bagian yang paling puitis dalam kakawin terutama diisi dengan evokasi
keindahan alam dalam arti yang luas. Walaupun latar belakang di sini agak
berlainan dengan puitik Abad Pertengahan dan Arab: dalam puisi Jawa Kuno
disamakan dengan unio mystica, persatuan antara manusia dan Tuhan lewat
kehidupan secara keseluruhan, atau kehidupan zaman tertentu secara kongkret dan
menyeluruh.
pengarang adalah dasar ekonomi produksi sastra, latar belakang sosial, status
pengarang dan ideologi pengarang yang terlihat dari berbagai kegiatan pengarang
di luar karya sastra. Yang kedua adalah sosiologi karya sastra yang memasalahkan
karya sastra itu sendiri dan yang berkaitan dengan masalah sosial. Yang terakhir
adalah sosiologi sastra yang memasalahkan pembaca dan dampak sosial karya
sastra. Sejauh mana sastra ditentukan atau tergantung dari latar sosial, perubahan
dan perkembangan sosial, adalah pertanyaan yang termasuk dalam ketiga jenis
permasalahan di atas: sosiologi pengarang, isi karya sastra yang bersifat sosial,
dan masyarakat. Pertama, konteks sosial pengarang. Ini ada hubungannya dengan
pembaca. Dalam pokok ini termasuk juga faktor-faktor sosial yang bisa
karya sastranya. Yang terutama harus diteliti adalah (a) bagaimana si pengarang
(patron), atau dari masyarakat langsung, atau dari kerja rangkap, (b)
pekerjaannya sebagai suatu profesi, dan (c) masyarakat apa yang dituju oleh
pengarang; hubungan antara pengarang dan masyarakat dalam hal ini sangat
19
penting, sebab sering didapati bahwa macam masyarakat yang dituju itu
Kedua, sastra sebagai cermin masyarakat: sampai sejauh mana sastra dapat
Yang terutama mendapat perhatian adalah: (a) sastra mungkin tidak dapat
masyarakat yang ditampilkan dalam karya sastra itu sudah tidak berlaku lagi pada
waktu ia ditulis. (b) sifat “lain dari yang lain” seorang pengarang sering
genre sastra sering merupakan sikap sosial suatu kelompok tertentu, dan bukan
sikap sosial seluruh masyarakat. (d) sastra yang berusaha untuk menampilkan
sebagai cermin masyarakat. Demikian juga sebaliknya, karya yang sama sekali
berapa jauh nilai sastra berkaitan dengan nilai sosial?” dan “sampai berapa jauh
nilai sastra dipengaruhi nilai sosial?”. Dalam hubungan ini, ada tiga hal yang
menganggap bahwa sastra sama derajatnya dengan karya pendeta atau nabi.
20
Karena itu, sastra berfungsi sebagai pembaruan dan perombak, (b) sastra sebagai
penghibur saja, dan (c) sastra harus mengajarkan sesuatu dengan cara menghibur.
dengan baik, terdiri dari sejumlah studi empiris dan berbagai percobaan pada teori
yang agak lebih general, yang masing-masing hanya mempunyai kesamaan dalam
kesusastraan dalam masyarakat primitif seperti yang dilakukan oleh Radin dan
masyarakat seperti yang dilakukan oleh Albrecht, serta data historis yang
verstehen atau fenomenologis yang sasarannya adalah level “makna” dari karya
sastra.
Hal penting dalam sosiologi sastra adalah konsep cermin (mirror). Dalam
demikian, sastra tetap diakui sebagai sebuah ilusi atau khayalan dari kenyataan.
Dari sini, tentu sastra tidak akan semata-mata menyodorkan fakta secara mentah.
Sastra bukan hanya sekadar copy kenyataan, melainkan kenyataan yang telah
21
demikian, tidak benar bila dikatakan bahwa pengarang secara konkret dan
ini terutama harus mendapat perhatian adalah: (1) Sastra mungkin tidak dapat
dikatakan mencerminkan masyarakat pada waktu ia ditulis, (2) Sifat ‘lain dari
penampilan fakta-fakta sosial dalam karyanya, (3) Genre sastra merupakan sikap
sosial seluruh kelompok tertentu, dan bukan sikap sosial seluruh masyarakat, (4)
saja kabar karena masyarakat yang sebenarnya tidak sama dengan masyarakat
pengarang. Oleh karena itu, cermin di sini menjadi refleksivitas masyarakat yang
digambarkan pengarang, bukan berarti kenyataan dalam karya sastra sama dengan
Kawin dan menjadi orang tua adalah suatu kenyataan alam dan suatu
sebagai aneh dan tidak Jawa. Perkawinan menandai berakhirnya tugas orang tua.
merupakan tanggung jawab terakhir dari orang tua (Mulder, 1985:36). Secara
terlebih dahulu di mana orang tua berusaha mendapatkan pasangan yang cocok
bagi anak-anak mereka. Kebiasaan ini, sekalipun belum sepenuhnya hilang, telah
sangat memudar pada zaman orang tua yang ditelaah. Namun demikian,
23
dan desakan mereka untuk mempunyai suara dalam pemilihan seorang pasangan
yang layak dan sesuai sering kali masih menentukan bagi pilihan anak-anak
sosial dan ekonomi, anak-anak selalu tetap tergantung pada restu orang tua kalau
mempunyai catatan cukup banyak mengenai kasus dari anak-anak yang menunda
perkawinannya sampai mereka cukup tua untuk merasa bebas dari pengawasan
orang tua (tiga puluh lima tahun atau lebih). Kemudian mereka menempuh
jalannya sendiri, kebanyakan sering kali kawin dengan “orang-orang asing”, yaitu
orang-orang bukan Jawa, seperti misalnya orang-orang dari luar Pulau Jawa, atau
cenderung untuk mereda ketika cucu-cucu lahir dan ketika perkawinan terbukti
mantap.
terhadap keinginan dan petunjuknya. Tentu saja mereka tidak hanya mengharap
agar anak-anak mereka mendapatkan jodoh yang serasi, tetapi juga agar anak-
anak mereka dihormati dan memperoleh sukses dalam kehidupan. Seorang anak
harus mencapai kedudukan dan layak dengan kehormatan dan penerimannya yang
pangkat anak-anaknya, untuk mana mereka telah berkorban, mereka juga berharap
Patut dicela bagi seorang laki-laki yang tidak kawin, dan bagi seorang
perempuan lebih buruk lagi dan dipandang sebagai aib keluarga. Menjadi perawan
tua, yaitu sebutan yang diberikan kepada seorang perempuan muda yang telah
berumur dua puluh tahun lebih dan belum kawin, menimbulkan keprihatinan bagi
dirinya sendiri maupun orang tuanya. Bagi seorang gadis pendidikan tinggi sering
sebagaimana dinyatakan oleh seorang mahasiswi yang pintar dan agak berambisi.
pengawasan dan keprihatinan orang tua. Selama seseorang masih belum kawin, ia
2.2.5 Perjodohan
dijelaskan berasal dari kata jodoh yang berarti orang yang cocok menjadi suami
atau istri. Mesti adanya kecocokan sehingga bisa menjalin sebuah hubungan
rumah tangga. Pengertian lain menurut perjodohan terjadi karena telah tiba
masanya seseorang dalam sebuah keluarga untuk berumah tangga, jika waktu itu
telah tiba maka barulah para kerabat, serta orang tua berusaha membuka mata
lebar-lebar yang bertujuan untuk mencari siapa yang pantas untuk menjadikan
25
istri atau suami yang kira-kira cocok bagi anak mereka. Bila calon tersebut telah
diterima atau tidak dipihak calon yang sudah mereka tentukan (Wicaksono, 2015:1).
hidup bermasyarakat. Ada pepatah yang berbunyi “Homo Sacra est Homoni”
yang artinya bahwa perkawinan adalah melakukan tugas suci antara pria dan
wanita, maka perlu adanya macam pertimbangan. Hal ini untuk menjaga adanya
calon pasangan yang bersangkutan. Namun demikian orang tua perlu memberi
nasehat dan petunjuk kepada putra-putrinya dalam mencari dan menentukan jodoh
agar tidak salah pilih. Pada umumnya orang tua menginginkan agar putra-putrinya
kebahagian.
Bagi orang tua perjaka dan orang tua gadis bila mencari dan menetukan
jodoh memberi pedoman yang dinamakan “Triaji”, yaitu “Bibit, Bebet, dan
cukup relevan dalam era modern, hanya penerapannya perlu disesuaikan dengan
26
perkembangan. Yang dimaksud dengan bibit, bebet, dan bobot diuraikan di bawah
ini:
1) Bibit, yaitu menyangkut faktor keturunan, apakah sang perjaka atau gadis
dari keturunan keluarga yang baik atau tidak, biasanya keluarga yang baik
akan menurunkan keluarga dan anak yang baik juga dan sebaliknya.
anggapan itu berangsur-angsur mulai hilang. Hal ini dapat dibaca dalam
tentang jalinan cinta antara Daryatmi yang masih keturunan darah biru
bernama Paryatmo. Namun Paryatmo anak petani yang maju dan cerdas
keluarga yang baik. Pengertian rasional pada era baru 2000 pengertian
bibit milenium mempunyi arti yang lebih luas yaitu menyangkut akhlak,
moral yang mengarah pada kesehatan rohani dan jasmani dari orang tua.
2) Bebet, yang menyangkut perilaku atau budi pekerti dari calon menantu.
anak pejabat tinggi tetapi kelakuannya jelek, anak orang kaya tetapi kejam
27
dan sifatnya negatif. Bebet yang baik bila anak itu berperilaku sopan-
santun, rendah hati, berakhlak dan bermoral tinggi, jadi mengenai bebet
dalam era baru, namun makna yang terkandung dalam ungkapan bibit, bebet, dan
bobot masih cukup memadai. Peran orang tua memberi bekal pedoman “Triaji”
Di samping itu masih perlu adanya beberapa unsur yang juga perlu
dipertimbangkan tentang:
1) Jangkeping Warni, artinya memiliki wajah atau paras cantik jelita atau
lengkap untuk sang gadis dan untuk sang perjaka memiliki wajah tampan
dan bagus.
2) Rahayu ing manah, artinya berhati mulia atau jujur, setia, baik hati, hemat,
teliti, suka memaafkan, suka memberi dan hal-hal lain yang positif.
waktu yaitu periode yang pertama adalah periode sekitar tahun 1925 dan periode
Periode kira-kira sekitar tahun 1925-an, pada zaman itu ada istilah “Gudel
Nyusu Kebo” artinya, Gudel adalah anak kerbau, sedangkan kebo yaitu kerbau.
Jadi arti Gudel nyusu kebo adalah sesuatu yang sudah wajar, artinya yang
terkandung dalam ungkapan itu, adalah bahwa anak dalam mencari dan
menentukan jodoh harus menurut kehendak orang tua. Dengan kata lain peranan
orang tua sangat dominan, sedangkan sang perjaka dan sang gadis tidak bebas
untuk menentukan jodohnya. Dalam menentukan calon menantu atau jodoh bagi
putra-putrinya tidak terlepas dari landasan pokok yaitu bibit, bebet, dan bobot.
Yang aktif dan agresif mencarikan jodoh buat putra-putrinya adalah orang tua
sedangkan sang perjaka dan sang gadis tinggal menurut dan menerima saja.
biasanya minta bantuan orang lain, karena kalau orang tua sendiri yang
mencarikan jodoh agaknya kurang etis. Kadang-kadang orang tua sang perjaka
telah melihat seorang gadis berwajah lumayan atau cantik dan dari keluarga baik-
baik. Orang tua yang bersangkutan dapat mengetahui bahwa gadis itu dari
keluarga baik-baik karena ada hubungan bisnis atau mungkin teman kantor dan
lain-lain hal. Orang tua yang diminta bantuan tersebut untuk daerah Kudus
29
adalah seorang yang sudah setengah umur pandai merakit kata-kata dalam
berbicara, luwes, sopan-santun dan banyak pengalamannya. Bapak atau Ibu yang
diambil dari saudara dekat atau teman akrab sudah seperti keluarga sehingga
paham betul tentang keadaan orang tua sang perjaka. Setelah ditemukan seorang
gadis yang sekiranya sudah cocok dengan keinginan orang tua untuk dijodohkan
dengan anak perjakanya terutama sang ibu, maka orang tua perjaka segera
mengutus Congkok. Sang Congkok datang ke rumah orang tua gadis untuk
antara pihak keluarga perjaka dengan keluarga sang gadis dalam rangka
“nontoni”. Nontoni artinya sang perjaka ada kesempatan untuk melihat (nonton)
secara langsung sang gadis yang diinginkan orang tuanya. Pada waktu yang telah
dijanjikan, maka perjaka dengan diantar oleh keluarganya datang ke rumah orang
tua gadis.
keluarga sang gadis di ruang tamu, maka sang gadis mendapat tugas dari sang ibu,
mengantar hidangan untuk para tamu. Pada saat sang gadis menyajikan hidangan
30
itulah sang perjaka dan keluarganya ada kesempatan untuk “nonton” yaitu melihat
dari dekat. Dengan sekejab mata saja sang perjaka sudah dapat menarik
kesimpulan yaitu cocok dan tidaknya sang gadis menjadi jodohnya sang perjaka.
Dalam hal ini orang tua dan keluarga sang perjaka ikut memberi komentar cocok
atau tidak. Sehabis menghidangkan jamuan, sang gadis tidak muncul lagi, dan
akan muncul lagi pada saat para tamu dan sang perjaka minta pamit untuk pulang
ke rumah.
perundingan tersebut intinya mengambil keputusan setuju atau tidak. Apabila ada
persetujuan artinya cocok semua maka langkah berikutnya adalah melamar sang
gadis yang sudah ditontoni. Pihak keluarga sang gadis pun mengadakan
Biasanya pihak keluarga sang gadis berharap adanya kecocokan dari pihak
keluarga sang perjaka. Bila harapan ini menjadi kenyataan maka pihak keluarga
Berbeda dengan era tahun 1925-an, pada zaman era baru 2000-an
“Gudel Nyusu Kebo” seperti yang diuraikan. Sekarang sudah berbalik 180%
pepatahnya menjadi “Kebo Nyusu Gudel”, maknanya orang tua hanya mengikuti
kemauan sang anak saja. Peranan orang sudah bergeser ke arah “Tut wuri
handayani” saja. Sang perjaka dan sang gadis bebas dalam menentukan jodohnya
31
menentukan jodoh yaitu bibit, bebet, dan bobot masih memegang peranan
karena mungkin juga sang perjaka atau sang gadis dari keluarga yang kurang baik,
namun ternyata budi pekertinya baik. Hal ini perlu adanya kecermatan yang
dalam masyarakat Jawa yang berbunyi “Tunggak Jarak Mrajak, Tunggak Jati
Mati artinya orang-orang yang tidak mempunyai pangkat atau kekayaan, tetapi
mendidik putra-putrinya menjadi orang baik misalnya lulus sarjana dan bekerja
denga mendapat posisi yang baik, sebaliknya orang berpangkat atau pejabat
lain. Dengan ungkapan itu maka mengenai faktor “bibit” memang masih dapat
dipertimbangkan.
Zaman sekarang peranan orang tua tidak terlalu dominan. Hal ini
dikarenakan pemilihan dan menentukan jodoh adalah sang perjaka dan gadis
sendiri, sebab yang akan menjalani hidup berumah tangga bukan orang tua
melainkan sang perjaka dan sang gadis sendiri. Meskipun peranan orang tua tidak
lagi mendominasi, tetapi masih mempunyai pengaruh yang kuat yaitu doa dan
restu orang tua pada waktu sang perjaka dan sang gadis akan menikah. Di
samping itu masih diperlukan untuk memberi pertimbangan dan pandangan agar
tidak salah pilih. Fungsi orang tua dalam hal “Tut wuri handayani” sekedar
membantu sang perjaka dan sang gadis dalam menentukan pilihan untuk
32
memdapatkan jodoh yang baik. Bagaimana juga peran orang tua masih cukup
penting baik pada zaman dulu maupun sekarang. Bedanya kalau zaman sekarang
perjaka dan gadis bebas memilih dan menetukan jodohnya, sedang zaman dulu
Mursiati, wanita yang berpikiran maju dan menolak untuk dijodohkan oleh orang
tuanya dengan pria dewasa, anak dari seorang mantri dari Tulungagung. Mursiati
sudah menetapkan pilihan hatinya sendiri yaitu Sutrisna, teman yang sudah lama
sastra. Objek pada penelitian ini adalah perjodohan dalam novel Jawa Katresnan
dalam novel dengan yang terdapat dalam masyarakat. Teori yang digunakan
dalam penelitian ini adalah teori sosiologi sastra. Teknik pengumpulan data
menggunakan metode satuan naratif. Metode satuan naratif yaitu metode yang
deskriptif analisis.
33
METODE PENELITIAN
sosiologi sastra. Pendekatan sosiologi sastra merupakan hubungan sastra yang erat
tentang perjodohan yang dikemas secara menarik dalam novel Katresnan yang
dapat dikaji dengan pendekatan sosiologi sastra dengan kondisi masyarakat dalam
novel.
pendekatan sosiologi sastra dari Ian Watt yang menitikberatkan pada sastra
sastra Ian Watt dilakukan dengan cara mengaitkan isi serta hal-hal yang tersirat
34
35
yang dialami tokoh, maupun yang terdapat dalam alur, latar, dan penokohan yang
Sumber data penelitian ini yaitu teks novel Jawa Katresnan karya
naratif. Teknik satuan naratif dilakukan dengan cara membaca novel kemudian
antaranya adalah novel Jawa Katresnan serta novel sezaman untuk mencari
36
perbandingan perjodohan yang terdapat dalam novel dengan yang terdapat dalam
analisis. Melalui metode deskriptif analisis, data yang diperoleh dideskripsikan sesuai
NOVEL SEZAMAN
dan mencerminkan suatu kondisi sosial pada saat itu. Permasalahan sosial yang
ada dalam novel Katresnan yaitu perjodohan. Nama-nama tokoh dalam novel
Bapak dari Mursiati, Ibu dari Mursiati, Ibu dari Sutrisna. Tokoh dalam novel
difokuskan pada kasus perjodohan yang dialami oleh tokoh Mursiati. Perjodohan
yang terdapat dalam novel dengan perjodohan yang terdapat dalam dalam novel
sezamannya.
37
38
keduanya dijodohkan oleh orang tua masing-masing. Mursiati adalah anak dari
seorang guru yang mempunyai pemikiran adat baru dan menentang perjodohan
yang sering terjadi pada zaman itu. Mursiati yang lulus dari sekolah HIS dilarang
melanjutkan sekolah karena alasan anak perempuan yang sudah besar untuk tetap
tinggal di dalam rumah saja. Tetapi Mursiati dengan pemikiran adat baru menolak
dan ingin tetap melanjutkan sekolah ke MULO. Sedangkan Sutrisna adalah teman
Mursiati saat bersekolah di HIS. Mereka berteman akrab sudah saling suka saat
pada zaman tersebut. Perempuan pada zaman tersebut dilarang untuk bersekolah
sangat menentang adat perjodohan tersebut. Seperti pada kutipan novel Katresnan
‘“Kandhamu iku uga bener, ananging kowe rak iya wis weruh
dhewe, yen wong tuwaku isih ngenggoni adat kuna. Upama arep
njodhokake anake, kudu digolekake dhewe.’“ (Katresnan hal 26)
‘“Omonganmu memang benar, tapi kamu kan sudah tau sendiri,
kalau orang tuaku masih menggunakan adat kuna. Kalau mau
menjodohkan anaknya, harus dicarikan sendiri.’“
39
adat kuna. Pemikiran adat kuna tersebut umumnya dianut oleh orang tua pada
zaman tersebut yaitu melarang anak perempuan untuk memilih jodohnya sendiri
dan orang tua yang memilihkan calon suami untuk anaknya. Perbedaan antara
anak perempuan dengan anak laki-laki sangat ketara. Anak perempuan harus
patuh dan mau dijodohkan oleh orang tuanya. Seperti pada kutipan tersebut.
‘“Apa yen bocah wadon ora wenang milih bojo, bareng bocah
lanang diwenangake. Yagene kok dibeda-beda? Yen mangkono ora
adil banget. Nyata menawa wong wadon isih dikiwakake. Pancen
ing jaman kuna mangkono. Anak lanang padha disekolahake,
bareng anak wadon metu menyang palataran bae ora kena. Ujare
dipingit. Semono mau yen wis umur rolas taun mandhuwur.
Ananging ing jaman kamajuan beda banget. Wong tuwa
panganggepe marang anake lanang lan wadon ora kena dibeda-
beda banget.’“ (Katresnan hal 26)
‘”Teka kowe bisa celathu mangkono iku, apa kira-kira mesthi
bakal ngugemi tembungmu dhewe? Apa bakal ora gelem diomah-
omahake yen ora nocogi karepmu? Bokmanawa kowe iku duwe
mitra raket.’” (Katresnan hal 27)
‘”Wis masthi bae. Aku ora bakal gelem diolehake bocah liyane.
Bocah iku uga mangkono. Ya ben bapak lan ibu ora nglilani.
Waton aku ora gelem ngladeni bocah liyane rak uwis. Mangsa
dipatenana utawa ditundhunga minggat ya ora. Ora yen wong
tuwa tega marang anak. Wekasan amasthi nuruti panjaluke.
Watone mantep.’” (Katresnan hal 27)
ketika bersekolah di MULO jelas menentang dan merasa tidak adil serta merasa
dibedakan karena harus menerima pilihan suami yang dipilihkan oleh orang tua
karena Sundari terlahir sebagai seorang perempuan, sedangkan pada kaum laki-
bersekolah ingin seperti kaum laki-laki yaitu bebas memilih sendiri suaminya.
Kegigihan Mursiati yang ingin terus bersekolah dan berpikiran maju mendapat
kegigihan dalam menentang adat lama tersebut. Anak perempuan yang menentang
adat lama tersebut akan dipandang tidak baik oleh masyarakat awam. Karena
zaman itu anak perempuan ketika sudah beranjak dewasa dan memasuki tahap
41
perjodohan mereka akan dipingit dan patuh kepada orang tua untuk urusan
perjodohan. Tetapi Mursiati tidak mau menuruti apa yang kebanyakan terjadi
pada anak perempuan pada umumnya dan terus ingin bersekolah. Para priyayi
Bibit, bebet, dan bobot adalah filosofi Jawa yang berkaitan dengan kriteria
mencari jodoh atau pasangan hidup. Filosofi ini dipakai untuk memperoleh
gambaran tentang kriteria calon jodoh. Berkenaan dengan pasangan hidup, orang
Jawa sangat berhati-hati dalam mencari siapa yang akan bersanding sebagai
Hal ini karena memilih pasangan hidup yang ideal adalah salah satu
bagian terpenting dalam perjalanan hidup seseorang yang ingin berumah tangga
berdampak buruk pada kualitas hidup pribadi, anak, dan keluarga di masa depan.
Kata pepatah ‘“Malapetaka besar yang dialami oleh seseorang adalah ketika ia
sejak mereka masih bersekolah di HIS. Mereka bertemu kembali setelah Mursiati
masih bersekolah di MULO. Selama itu mereka sudah memiliki perasaan satu
sama lain. Akan tetapi, orang tua Mursiati sangat pemilih dalam menentukan
dhek biyen iya sekolah MULO kaya dene kowe. Bayare saiki wis
satus seket rupiyah.’“ (Katresnan hal 49)
‘“Yang sekiranya bapak terima yaitu anaknya Mantri dari
Tulungagung, yang sekarang jadi klerkdi kantor pos surabaya.
Anaknya dulu iya sekolah di MULO sama seperti kamu.
Penghasilannya sekarang sudah 150 rupiah.’“
Calon yang ingin dijodohkan dengan Mursiati adalah seorang anak Mantri
dari Tulungagung yang sekarang bekerja di kantor pos Surabaya dengan gaji 150
rupiah. Orang tua Mursiati sangat menyukai calon menantunya. Selain dari
pekerjaannya, calon menantunya ini juga berasal dari keluarga yang masih
memiliki ikatan saudara. Orang Jawa zaman dahulu, dalam memilih calon
ketimbang keluarga yang tidak memiliki ikatan saudara. Hal itu dikarenakan
apabila masih memiliki ikatan saudara, sudah jelas antara bibit, bebet, dan
bobotnya.
wataknya. Seperti percakapan orang tua Mursiati yang sedang membahas lamaran
‘“Iya, karo maneh wong bocah iku ora ana gandhengane babar
pisan karo kene, tegese ora ana ambu-ambune sadulur. Mangka
karepku, sabisa-bisa golek sing isih sanak dhewe.’“
‘“Aku uga mangkono. Ananging, mungguh kahanane bocah iku
dhek biyen, nalika ana sekolahan apa iya becik?’“
Anake lanang, kang dadi arsitek ana ing Ngayogya, kang lagi
mbeneri ana ngomah sarta uga milu ngrungokake, mangsuli
pitakone bapakne, ‘“Menawi sinaunipun majeng, boten kether.”'
43
‘“Iya, apalagi anak itu tidak ada hubungan sama sekali dengan
kita, tidak ada hubungan saudara. Oleh karena itu, keinginanku
kalau bisa cari yang masih ada hubungan saudara dengan kita.’“
‘“Aku juga begitu. Tetapi, keadaan anak itu zaman dahulu ketika di
sekolah apa iya baik?’“
Anak laki-lakinya, yang menjadi arsitek di Yogya, yang sedang
kebetulan ada di rumah juga ikut mendengarkan, menjawab
pertanyaan ayahnya, ‘“kalau sekolahnya rajin, tidak malas.’”
‘“Lha dengan melihat wataknya, apa punya kebiasaan yang tidak
baik, seperti main (judi) suka main malam dan sebagainya?’“
‘” Kalau masalah itu setahu saya, tidak. Malah saya mendengar
kabar, kalau benci sekali dengan bermain kartu dan sebagainya,
apalagi dengan anak perempuan yang suka keluyuran malam-
malam di jalan. Juga bukanya benci dengan orang-orang yang suka
berjudi atau kesenangan lainya, yang dijauhinya adalah perbuatan
yang buruk. Intinya anak itu jauh dari perbuatan maksiat.’”
‘”Tetapi, anaknya itu agak sombong, iya kan?’”
‘”O, tidak bapak. Kelihatanya memang seperti itu, apalagi kalau
belum kenal, pasti dikira sombong, tetapi sebenanrnya tidak. Kalau
sudah bersama akrab sekali. Yang membuat terlihat sombong
44
pantas mendampingi anak mereka. Orang tua yang memiliki anak dalam usia
matang tentu tidak akan membiarkan anaknya memilih jodoh yang sembarangan
bervariasi dari segi budaya. Salah satunya yaitu seorang anak perempuan yang
sudah siap menikah biasanya berumur 15 tahun. Seperti pada kutipan berikut.
menikah di usia lima belas atau enam belas tahun. Apabila sudah melebihi umur
Orang tua Mursiati meminta Mursiati untuk segera keluar dari pekerjaanya
di Madiun karena sudah banyak orang yang melamar Mur sampai-sampai orang
tua Mursiati bingung untuk menerimanya. Karena merasa umur Mursiati sudah
cukup untuk menikah, orang tua Mursiati memaksa Mur untuk keluar dari
pekerjaan. Tetapi Mursiati masih senang sekali untuk bekerja sehingga ia tidak
Paksaan dari orang tua untuk menerima pilihan dari orang tua adalah
gambaran masyarakat pada abad 19. Orang tua pada saat itu memaksakan anaknya
Pada masa itu, anak cenderung menurut pada keinginan orang tua tanpa
terhadap aturan yang ada di lingkungan masyarakat yaitu kebiasaan para orang tua
menjodohkan anaknya.
Menolak untuk dijodohkan adalah salah satu hal yang wajar, tetapi
penolakan tersebut hendaknya disampaikan dengan cara yang baik dan bijak. Jika
diungkapkan dengan agresif tentu dapat mengakibatkan konflik antara orang tua
dan anak. Sikap yang ditunjukan Mursiati ketika mendengar orang tuanya yang
ingin menjodohkan dirinya dengan seorang anak mantri dari Tulungagung yaitu
Mursiati menolak dengan bahasa yang halus dan masih menghormati orang
Butuh waktu untuk lebih dulu mengenal. Tetapi orang tuanya sangat
orangtua Mursiati sudah menerima lamaran dari seseorang yang masih bersaudara
Cekake gelem ora gelem, Mur bakal dikon nglakoni karepe wong
tuwane, jalaran wirang banget upama mbalekake rembug kang
saka Tulungagung.’”
kekuasaan dalam menentukan pasangan untuk anak mereka. Orang tua Mur sudah
terlanjur menerima lamaran dari Tulungagung dan akan membuat malu keluarga
calon pasangan yang bersangkutan. Namun demikian orang tua perlu memberi
nasehat dan petunjuk kepada putra-putrinya dalam mencari dan menentukan jodoh
agar tidak salah pilih. Pada umumnya orang tua menginginkan agar putra-putrinya
depan yang lebih baik, tetapi pemikiran Mursiati bertolak belakang dengan
‘“Boten kadosa, Bapak. Kula rak sampun matur, bilih ing wekdal
punika dereng remen ngladosi tiyang jaler. Punapa malih kula
sampun gadhah panuwun, supados rembag ingkang saking
Tulungagung punika boten kadadosaken. Ing wasana semu-
semunipun sapunika sampun mateng sanget.’“ (Katresnan hal 60)
‘“Apa kowe kira-kira arep mbadal sing dadi prentahku lan karepe
ibumu?’“ (Katresnan hal 61)
‘“Inggih boten, bapak, ananging kados pundi pamurihipun tiyang
dipunpadosaken jodho? Punapa kapurih rukunipun punapa
crahipuin? Awit menawi kula yektos dipunroda peksa,
kaangsalaken lare ingkang kula boten remen, punika prasasat
dipunpurih boten rukunipun.’“ (Katresnan hal 61)
‘“Apa kowe nedya ora gelem temenan dakolehake bocah mau? Yen
mangkono kowe bakal gawe isine wong tuwa, amarga rembug iku
wis dakgawe dadi.’“ (Katresnan hal 61)
‘“Kula rak ugi sampun matur langkung rumiyin sampun enggal-
enggal anampeni panglamar, awit Katresnan boten kenging
dipunpeksa lan ugi boten kenging dipunpedhot.’“ (Katresnan hal
61)
‘“Bukan begitu bapak. Saya kan sudah bilang, waktu itu saya
belum mau ngladeni laki-laki. Apalagi saya sudah minta supaya
lamaran dari Tulungagung dibatalkan. Sehingga kelihatannya
sudah sangat matang.
‘“Apa kamu mau membangkang perintah bapak dan keinginan
ibumu?
‘“Tidak bapak, tetapi bagaimana perasaan orang yang dicarikan
jodoh? Apakah nantinya akan rukun? kalau saya dipaksa dan
dijodohkan dengan anak yang tidak saya suka, itu akan senantiasa
dicari ketidak rukunnya.
50
‘“Apa kamu serius tidak mau dijodohkan dengan anak tadi? Kalau
begitu kamu bisa menjadikan bapak dan ibu malu, karena lamaran
itu sudah jadi.
‘“Saya kan sudah bilang lebih dulu jangan cepat-cepat menerima
lamaran, karena cinta tidak bisa dipaksa dan juga tidak boleh
diputus.
tersebut sangat kuat karena Mursiati memiliki pilihan sendiri. Perjodohan yang
dilakukan orang tua untuk anak, hanyalah salah satu jalan untuk menikahkan
anaknya itu dengan seseorang yang dianggap tepat menurut mereka. Padahal tepat
menurut orang tua belum tentu tepat menurut sang anak. Seperti penggalan surat
‘“.... Sanajan anak mesthine manut wong tuwa, ewa samono yen
prakara iki, aku ora bisa manut. Ya sapira dukane wong tuwa, ora
dadi apa, watone aku ora nglakoni penggawe ala. Ora bakal sudi
ngladeni pamilihane wong tuwaku.’“(Katresnan hal 65)
‘“.... Walaupun anak seharusnya patuh kepada orang tua, kalau
masalah ini, saya tidak bisa patuh. Semarah-marahnya orang tua,
tidak apa-apa, yang penting saya tidak melakukan hal yang buruk.
Saya tidak akan menuruti kemauan dan pilihan orang tua.’“
Sikapnya yang tidak mau perduli dengan keinginan orang tuanya yang
bawah ini.
Penolakan yang dilakukan oleh Mursiati dalam hal ini adalah kasus
perjodohan yang dialami olehnya juga dilakukan oleh sang kekasih, yaitu
dengan orangtuanya yaitu pada Ibunya sendiri. Ibu Sutrisna mengharapkan agar
persaudaraan, bukan hanya itu saja Ibunya juga memastikan bahwa pilihannya
cukup bisa membaca dan menulis saja, karena kelak apabila istri atau menantu
‘“Lah bocah wadon wae anggere wis bisa maca lan nulis sawatara
rak wis cukup. Saya ora dhemen yen duwe mantu pinter-pinter
banget, awit mengko banjur sawiyah-wiyah marang wong
lanang.’“ (Katresnan hal 40)
‘“Yen panemuku, iya wis babag karo kowe. Apa maneh isih sanak.
Dadi kayamu ora keliya. Tur wong tuwane iya wis becik banget
karo saya, prasasat sadulur tunggal bapak biyung.’“ (Katresnan
hal 40)
‘“Lha anak perempuan kalau sudah bisa baca dan tulis kan sudah
cukup. Saya tidak suka kalau punya menantu yang terlalu pintar,
karena nanti bisa sewenang-wenang terhadap laki-laki.’“
‘“Kalau pendapatku, sudah cocok denganmu. Apa lagi masih
saudara. Jadi tidak akan keliru. Dan orang tuanya juga sangat baik
terhadap ibu, sebagai saudara tunggal bapak dan ibu.’“
tuanya, dengan beralasan bahwa perempuan yang dijodohkan belum nalar, apalagi
bahwa laki-laki dicarikan istri oleh orangtuanya akan menyebabkan kondisi yang
tidak akan rukun. Seperti kutipan dibawah ini menunjukan Sutrisna dengan tegas
rumah tangga, karena dalam masyarakat khususnya para orang tua cenderung
pada masa itu mengalami pertikaian karena alasan sepele. Seperti suami yang
tidak mencintai isterinya. Begitu pula isteri yang tidak mau melayani atau
54
menjalankan tugasnya sebagai seorang isteri. Oleh sebab itu, Sutrisna tidak mau
waktu yaitu periode yang pertama adalah periode sekitar tahun 1925 dan periode
sekitar tahun 2000. Dalam kaitannya dengan penelitian ini, peran orang tua dalam
perjodohan Mursiati berdasarkan waktu yaitu periode yang pertama, periode ini
adalah periode sekitar tahun 1925. Karena peranan orang tua lebih dominan,
Peran orang tua dalam menjodohkan anaknya sangat terlihat ketika orang
tua Mursiati memaksakan untuk menjodohkan Mursiati dengan calon yang sudah
dipilihkan. Walapun adanya penolakan dari Mursiati yang masih kukuh pada
ketika orang tua Mursiati berusaha susah payah sampai pergi ke daerah Madiun
Salah satu alasan perjodohan yang dilakukan oleh orang tua yaitu
ketakutan orang tua apabila anaknya mendapatkan pasangan yang tidak baik.
Misalnya apabila anaknya mendapatkan pasangan yang kurang mampu dari segi
ekonomi. Semua orang tua pasti menginginkan calon pasangan hidup yang terbaik
untuk anaknya. Begitu juga orang tua Mursiati dan Sutrisna. Orang tua Mursiati
Surabaya dengan gaji 150 rupiah menjadi pilihan orang tua Mursiati. Orang tua
setelah menikah. Selain itu orang tua juga tidak ingin anaknya nanti mendapatkan
mertua yang tidak menyayangi anaknya. Oleh karena itu orang tua Mursiati juga
yang menjodohkan dengan yang masih saudara sendiri sudah saling mengenal dan
sudah pasti dari keluarga yang baik-baik. Selain itu orang tua Mursiati sangat
khawatir karena Mursiati yang sudah dewasa belum mau menikah. Seperti kutipan
di bawah ini.
tetapi belum mau menikah. Karena anak perempuan pada zaman itu umumnya
menikah di usia lima belas atau enam belas tahun. Orang tua Mursiati takut
pandangan orang-orang akan berbeda karena Mursiati yang sudah menginjak usia
delapan belas tahun belum mau menikah. Orang tua Mursiati takut Mursiati akan
dalam novel dengan perjodohan yang terdapat dalam novel pada zamannya,
diantaranya, (1)Serat Rijanta, (2) Sri Kuning, dan (3) Siti Nurbaya.
Serat Rijanta
59
Raden Mas Riyanta dijodohkan oleh ibunya karena takut melakukan hal-hal yang
tidak baik di luar rumah karena kegemarannya melakukan perjalanan pada malam
hari sampai jarang pulang ke rumah. Selain itu karena umur Raden Mas Riyanta
sudah berumur dewasa untuk menikah tetapi belum mau menikah. Suatu hari
bernama Raden Mas Durjat. Tiba-tiba terjadi kebakaran dan bertemu dengan
sedang berlarian. Gadis tersebut bernama Srini, putri dari Dipati Pramayoga,
teman baik dari ayahnya. Paksaan dari ibunya membuat Raden Mas Riyanta pergi
dari rumah untuk mengembara. Ibunya sedih dan jatuh sakit memikirkan Riyanta.
Singkat cerita mendengar ibu dari Raden Mas Riyanta sedang sakit, Srini datang
menjenguk. Tak disangka mereka bertemu dan Raden Mas Riyanta terkejut bahwa
Srini adalah gadis yang akan dijodohkan dengannya. Raden Mas Riyanta yang
Perjodohan dalam novel Serat Riyanta terjadi karena umur Raden Mas
Riyanta sudah cukup dewasa untuk menikah tetapi belum mau menikah. Hal itu
menjadikan ibunya sangat khawatir takut melakukan hal yang tidak baik. Apalagi
Raden Mas Riyanta adalah anak keturunan ningrat. Perjodohan tersebut juga
terjadi karena keluarga mereka sudah saling mengenal. Menikahkan anak mereka
dengan keluarga yang masih memiliki ikatan saudara memang menjadi salah satu
kriteria untuk memilih calon pasangan yang terbaik karena apabila masih ada
ikatan saudara sudah jelas bibit, bebet, dan bobotnya dan sudah saling paham atau
adalah di dalam novel Katresnan tokoh utama yaitu Mursiati dan Sutrisna,
diutarakan dengan bahasa yang baik dan halus. Mursiati berani berbicara dengan
orang tuanya alasan mengapa ia tidak mau untuk dipaksa menikah dengan pilihan
orang tuanya. Sedangkan novel Serat Rijanta, Raden Mas Riyanta tidak berani
mengembara.
Sri Kuning
terkenal sebagai petani yang pelit. Oleh sebab itu hidupnya makmur dan kaya
Sri Kuning dengan lelaki yang setaraf menurut ukuran kekayaan dan kewibawaan
orang tuanya. Anak yang akan dijodohkan dengan Sri Kuning adalah Subagya.
Tetapi Sri Kuning tidak mau dijodohkan dengan Subagya karena sudah memiliki
kekasih bernama Sujana. Kisah cinta Sri Kuning dan Sujana terhalang oleh status
sosial keluarga mereka. Sujana berasal dari keluarga yang biasa-biasa saja. Sri
tersebut. Akhirnya perjodohan dengan Subagya pun batal. Tidak sampai di situ
kantor kawedanan. Karena pada masa itu merupakan anugerah langka bila
Kemudian Sri Kuning meminta bantuan dan perlingdungan kepada Kyai di desa
dengan Sujana. Ternyata kyai tersebut adalah kakek dari Sujana dan guru dari
pejabat desa. Akhirnya kyai itu berbicara dengan pejabat desa untuk merelakan
Sri Kuning dengan Sujana. Pejabat desa mengalah karena ia sangat menghormati
gurunya dan akan melamarkan Sri Kuning untuk Sujana. Orang tua Sri Kuning
tidak begitu saja langsung menerima lamaran Sujana. Pejabat desa berkata bahwa
ia akan menggantikan orang tua Sujana dan seketika itu orang tua Sri Kuning
Perjodohan dalam novel Sri Kuning terlihat bahwa paksaan orang tua Sri
Kuning yang ingin sekali menikahkan anaknya dengan seorang yang sederajat.
Orang tuanya menginginkan jodoh yang terbaik dan tidak ingin melihat hidup
anaknya nanti menjadi sengsara. Orang tua Sri Kuning tidak setuju dengan Sujana
karena Sujana tidak jelas bibit, bebet, dan bobotnya. Sujana adalah anak yatim
piatu dan berasal dari keluarga yang biasa-biasa saja. Pada zaman itu
mendidik anaknya jika anak tersebut menikah dengan seorang yang memiliki
sebagai orang yang hebat. Terlihat sekali pada orang tua Sri Kuning yang berkali-
kali ingin menjodohkan Sri Kuning dengan orang yang sederajat. Pada awalnya
62
orang tua Sri Kuning tetap tidak setuju karena alasannya ia tidak tau jika ia akan
menggantikan peran orang tua Sujana sebagai besan dari ayahnya Sri Kuning,
maka ia pun langsung setuju. Terlihat sekali bahwa orang tua Sri Kuning sangat
Siti Nurbaya
terlilit hutang dan jatuh miskin. Awalnya ia tidak bersedia menikah dengan Datuk
Maringgti karena ia adalah seorang yang sudah tua dan dangat keji. Selain itu ia
sudah punya kekasih bernama Samsul Bahri. Namun melihat ayahnya yang akan
dijumpai pada kalangan masyarakat pada zaman itu. Pihak perempuan merasa
yang menjadi korban. Berbeda dengan novel Katresnan, tokoh utamanya menolak
untuk menikah dengan pilihan orang tua apapun yang terjadi. Mursiati yang
berpikiran maju tidak ingin menikah dengan orang yang tidak ia inginkan karena
menerima perjodohan. bahwa tidak semua perintah orang tua harus dituruti
Dari beberapa novel di atas, novel Katresnan lebih maju dari zamannya
kaum muda dan menjunjung derajat seorang perempuan. Pengarang ingin supaya
para wanita memiliki hak yang sama dengan laki-laki yaitu bebas memilih
5.1 Simpulan
simpulan yang berkaitan dengan perjodohan yang terdapat dalam novel Katresnan
dan perbandingan perjodohan yang terdapat dalam novel dengan yang terdapat
1) Perjodohan dalam novel terjadi karena pemikiran adat lama yaitu, bibit,
bebet, bobot, paksaan dari orang tua, penolakan oleh tokoh utama yaitu
Mursiati dan Sutrisna, peran orang tua dalam menentukan jodoh, serta
2) Dalam novel Katresnan tokoh utama Mursiati dan Sutrisna sebagai anak
memiliki hak yang sama dengan laki-laki yaitu bebas memilih pasangan
hidupnya sendiri.
64
65
5.2 Saran
Katresnan dapat dijadikan sebagai salah satu penceritaan bagi generasi muda
mengenai peristiwa perjodohan yang terjadi pada zaman tersebut. Peneliti lain
juga dapat melakukan penelitian lebih lanjut mengenai novel Katresnan dengan
teori-teori yang lain untuk mencari unsur lain dalam novel Katresnan karena