Anda di halaman 1dari 76

PERJODOHAN DALAM NOVEL KATRESNAN

KARYA SOERATMAN SASTRADIHARDJA

SKRIPSI

Diajukan dalam Rangka Penyelesaian Studi Strata I


untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan

oleh

Nama : Sulastri Manda Aprida

NIM : 2601412064

Program Studi : Pendidikan Bahasa dan Satra Jawa

Jurusan : Bahasa dan Sastra Jawa

FAKULTAS BAHASA DAN SENI


UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2018

i
PERSETUJUAN PEMBIMBING

Skripsi dengan judul Perjodohan dalam Novel Katresnan Karya

Soeratman Sastradihardja telah disetujui oleh pembimbing untuk diajukan ke

sidang panitia Ujian Skripsi

Semarang, Agustus 2018

Pembimbing I, Pembimbing II,

Yusro Edy Nugroho, S.S.,M.Hum Drs. Hardyanto, M.Pd.


NIP 196512251994021001 NIP 195811151988031002

ii
PENGESAHAN KELULUSAN
Skripsi yang berjudul Perjodohan dalam Novel Katresnan karya
Soeratman Sastradihardja telah dipertahankan di hadapan sidang Panitia Ujian
Skripsi Jurusan Bahasa dan Sastra Jawa, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas
Negeri Semarang

pada hari : Selasa

tanggal : 4 September 2018

Panitia Ujian Skripsi

Ketua
Dr. Syahrul Syah Sinaga, M.Hum.
NIP 196408041991021001

Sekretaris
Ucik Fuadhiyah, S.Pd., M.Pd.
NIP 198401062008122000

Penguji I
Widodo, S.S., M.Hum.
NIP 198204042012011000

Penguji II
Drs. Hardyanto, M.Pd.
NIP 195811151988031002

Penguji III
Yusro Edy Nugroho, S.S., M.Hum.
NIP 196512251994021001

Mengetahui
Dekan Fakultas Bahasa dan Seni

Prof. Dr. Agus Nuryatin, M.Hum.


NIP 196008031989011001

iii
PERNYATAAN

Saya menyatakan bahwa yang tertulis dalam skripsi berjudul Perjodohan

dalam Novel Katresnan Karya Soeratman Sastradihardja benar-benar hasil karya

saya, bukan jiplakan dari karya orang lain, baik sebagian maupun seluruhnya.

Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip atau

dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.

Semarang, September2018

Peneliti

Sulastri Manda Aprida

NIM 2601412064

iv
MOTO DAN PERSEMBAHAN

MOTO

Semua permasalahan itu sama, hanya saja kita melihat dan mengambil jalan

keluar yang berbeda antar setiap individunya.

PERSEMBAHAN

Skripsi berjudul Perjodohan dalam

Novel Katresnan Karya Soeratman

Sastradihardja kupersembahkan

kepada:

1) Bapak dan Ibu saya, yang telah

memberikan dukungan berupa

moril maupun materi serta doa

tiada henti untuk kesuksesan saya.

2) Almamater yang saya banggakan.

v
PRAKATA

Puji syukur kepada Allah Swt., atas limpahan rahmat dan karunia-Nya,

sehingga skripsi yang berjudul Perjodohan dalam Novel Katresnan Karya

Soeratman Sastradihardja dapat terselesaikan dengan baik. Penulis menyadari

sepenuhnya bahwa tanpa adanya bantuan dari semua pihak, penulisan skripsi ini

tidak akan pernah selesai. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih

kepada:

1. Yusro Edy Nugroho, S.S., M.Hum., sebagai pembimbing I yang telah

berkenan memberikan bimbingan serta pengarahan kepada penulis selama

penyusunan skripsi ini.

2. Drs. Hardyanto, M.Pd. sebagai pembimbing II, yang juga telah berkenan

memberikan bimbingan bimbingan serta pengarahan kepada penulis

selama penyusunan skripsi ini.

3. Widodo, S.S., M. Hum sebagai penguji yang telah memberikan kritik dan

saran yang membangun demi kesempurnaan skripsi ini.

4. Rektor Universitas Negeri Semarang sebagai pimpinan tertinggi di

Universitas tempat penulis menuntu ilmu.

5. Dekan Fakultas Bahasa dan Seni yang telah memberikan izin kepada

penulis dalam menyelesaikan skripsi.

6. Ketua Jurusan Bahasa dan Sastra Jawa yang telah memberikan izin kepada

penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

vi
7. Bapak dan Ibu Dosen Jurusan Bahasa dan Sastra Jawa yang telah

memberikan perkuliahan dan pelajaran yang tiada nilai harganya; jasa

kalian akan selalu terpatri di hati.

8. Bapak dan Ibu, yang telah mendidik dan mengasuh saya dari kecil hingga

sekarang ini.

9. Diding Rosyadi yang menjadi sumber semangatku.

10. Sahabatku tercinta Dewi Anggraeni yang selalu memberikan dukungan

dan masukan.

Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi peneliti dan

pembaca. Terima kasih.

Semarang, September 2018

Sulastri Manda Aprida

NIM 2601412064

vii
ABSTRAK

Aprida, Sulastri Manda. 2018. Perjodohan Dalam Novel Katresnan Karya


Soeratman Sastradihardja. Skripsi. Jurusan Bahasa dan Sastra Jawa,
Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang. Pembimbing I:
Yusro Edy Nugroho, S.S., M.Hum, Pembimbing II: Drs. Hardyanto, M.Pd.
Kata kunci: Perjodohan, Novel, Sosiologi Sastra.
Katresnan adalah novel berbahasa Jawa karya Soeratman Sastradihardja
yang mengangkat tema tentang perempuan Jawa yang tidak boleh memilih sendiri
pasangan hidupnya. Untuk itu novel Katresnan diteliti mengenai (1) perjodohan
dalam novel Jawa Katresnan karya Soeratman Sastradihardja?, (2) perbandingan
perjodohan yang terdapat dalam novel Katresnan dengan yang terdapat dalam
novel sezamannya?
Penelitian ini menggunakan pendekatan sosiologi sastra menurut Ian Watt.
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah peristiwa perjodohan yang
terdapat dalam novel Katresnan. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini
menggunakan teknik satuan naratif. Teknik analisis data menggunakan teknik
deskriptif analisis. Dari data tersebut kemudian dianalisis menggunakan teori
sosiologi sastra menurut Ian Watt untuk mengungkap perjodohan yang terdapat
dalam novel dan perbandingan perjodohan yang terdapat dalam novel dengan
yang ada di novel sezaman.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perjodohan dalam novel ini
terjadi karena pemikiran adat lama yaitu, bibit, bebet, bobot, paksaan dari orang
tua, penolakan oleh tokoh-tokoh utama yaitu Mursiati dan Sutrisna, peran orang
tua dalam menentukan jodoh, serta alasan orang tua untuk mendapatkan jodoh
yang terbaik. Perjodohan dalam novel Katresnan dengan perjodohan yang
terdapat dalam masyarakat yaitu dalam novel tokoh Mursiati dan Sutrisna
menolak untuk dijodohkan sehingga terjadi konflik. Novel Katresnan lebih maju
pada zamannya karena pengarang cenderung ingin membela kaum muda.
Terjadinya pemberontakan dalam hal perjodohan yang terdapat dalam novel
Katresnan membuktikan bahwa pengarang menginginkan semangat baru dengan
membela kaum muda dan menjunjung derajat seorang perempuan. Pengarang
ingin para wanita memiliki hak yang sama dengan laki-laki yaitu bebas memilih
pasangan hidupnya sendiri.
Berdasarkan penelitian novel Katresnan, saran peneliti untuk sastrawan,
novel Katresnan dapat dijadikan sebagai salah satu penceritaan bagi generasi
muda mengenai peristiwa perjodohan yang terjadi pada zaman tersebut. Peneliti
lain juga dapat melakukan penelitian lebih lanjut mengenai novel Katresnan
dengan teori-teori yang lain untuk mencari unsur lain dalam novel Katresnan
karena masih sedikit penelitian yang meneliti novel tersebut.

viii
SARI

Aprida, Sulastri Manda. 2018. Perjodohan Dalam Novel Katresnan Karya


Soeratman Sastradihardja. Skripsi. Jurusan Bahasa dan Sastra Jawa,
Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang. Pembimbing I:
Yusro Edy Nugroho, S.S., M.Hum, Pembimbing II: Drs. Hardyanto, M.Pd.
Tembung pangrunut: Jejodhoan, Novel, Sosiologi sastra.
Katresnan salah sawijine novel Jawa anggitane Soeratman Sastradihardja
sing nduweni tema babagan wanita Jawa sing ora oleh milih pasangan uripe
dhewe. Mula novel Katresnan diteliti ing bab (1) jejodhoan ing novel Katresnan
anggitane Soeratman Sastradihardja? (2) telandhingane jejodhoan ing novel
Katresnan karo jejodhoan novel ing jamane?
Panaliten iki migunakake pendhekatan sosiologi sastra miturut Ian Watt.
Metodhe panaliten kang digunakake yaiku metodhe dheskriptif analisis. Dhata
kang digunakake ing panaliten iki yaiku masalah jejodhoan sing ana ing novel
Katresnan. Teknik pangumpule dhata ing panaliten iki migunakake teknik satuan
naratif. Teknik analisis dhata nggunakake metodhe deskriptif analisis. Saka dhata
kuwi banjur dianalisis nganggo teori sosiologi sastra miturut Ian Watt kanggo
mangerteni kepriye jejodhoan ing novel Katresnan anggitane Soeratman
Sastradihardja lan kepriye telandhingane jejodhoan ing novel karo jejodhoan
novel ing jamane.
Asil saka panaliten nuduhake jejodhoan sing ditemokake ing novel
kedadean saka pemikiran tradisional lawas yaiku amarga bibit, bebet, bobot,
paksaan saka wong tuwa, penolakan saka tokoh-tokoh utama yaiku Mursiati lan
Sutrisna, peran saka wong tuwa nemtokake pasangan, jejodhoan amarga wong
tuwa kepengin sing paling apik kanggo anake. Wujud jejodhoan antarane ing
novel Katresnan karo jejodhoan ing masyarakat yaiku tokoh novel Mursiati lan
Sutrisna nolak dijodhohake saengga ndadekake konflik. Novel Katresnan luwih
maju saka jamane amarga pengarang cenderung pengin bela kaum muda.
Pemberontakan sajroning jejodhoan sing ana ing novel Katresnan mbuktikake
menawa pengarang kepengin semangat anyar kanggo bela kaum muda lan
ngangkat drajate wanita. Pengarang kepengin supaya para wanita nduweni hak
sing padha karo priya yaiku bebas anggone milih pasangan uripe dhewe.
Adhedhasar panaliten novel Katresnan, saran panaliti kanggo
sastrawan, novel Katresnan bisa didadekake salah sawijining bahan crita kanggo
generasi muda ngenani prastawa jejodhoan ing jaman semana. Peneliti liya uga
bisa neliti novel Katresnan kanthi teori-teori liyane kanggo nggoleki unsur liya
kang ana ing novel Katresnan amarga durung akeh penelitian kang neliti novel
Katresnan.

ix
DAFTAR ISI

JUDUL ................................................................................................................................ i

PERSETUJUAN PEMBIMBING....................................................................................... ii

PERNYATAAN.................................................................................................................. iii

MOTO DAN PERSEMBAHAN ........................................................................................ iv

PRAKATA .......................................................................................................................... v

ABSTRAK .......................................................................................................................... vii

SARI.................................................................................................................................... viii

DAFTAR ISI ....................................................................................................................... ix

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang .............................................................................................................. 1


1.2 Rumusan Masalah ......................................................................................................... 6
1.3 Tujuan Penelitian .......................................................................................................... 6
1.4 Manfaat Penelitian ........................................................................................................ 7

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORETIS ......................................... 8

2.1 Kajian Pustaka............................................................................................................... 8


2.2 Landasan Teoretis ......................................................................................................... 14
2.2.1 Teori Mimesis ...................................................................................................... 14
2.2.2 Sosiologi Sastra .................................................................................................... 17
2.2.3 Sastra Sebagai Cermin Masyarakat...................................................................... 21
2.2.4 Hubungan Orang Tua dengan Anak..................................................................... 22
2.2.5 Perjodohan ........................................................................................................... 24
2.2.5.1 Peran Orang Tua dalam Menentukan Calon Menantu .............................. 28
2.3 Kerangka Berpikir ......................................................................................................... 32

BAB III METODE PENELITIAN ..................................................................................... 34

x
3.1 Pendekatan Penelitian ................................................................................................... 34
3.2 Data dan Sumber Data .................................................................................................. 35
3.3 Sasaran Penelitian ......................................................................................................... 35
3.4 Teknik Pengumpulan Data ............................................................................................ 35
3.5 Teknik Analisis Data ..................................................................................................... 36

BAB IV Perjodohan Dalam Novel Katresnan Karya Soeratman Sastradihadjo


Serta Perbandingan Perjodohan Dalam Novel Dengan ..................................................... 37
4.1 Perjodohan dalam Novel Katresnan Karya Soeratman Sastradihadjo .......................... 38
4.1.1 Perjodohan Karena Pemikiran Adat Lama..................................................... 38
4.1.2 Perjodohan Berdasarkan Bibit, Bebet, Bobot ................................................. 41
4.1.3 Perjodohan Karena Paksaan Orang Tua......................................................... 44
4.1.4 Penolakan Mursiati ........................................................................................ 49
4.1.5 Penolakan Sutisna .......................................................................................... 52
4.1.6 Peran Orang Tua dalam Perjodohan Mursiati ................................................ 55
4.1.7 Perjodohan Karena Orang Tua Ingin yang Terbaik ....................................... 57
4.2 Perbandingan Novel Katresnan dengan Peristiwa Perjodohan dalam novel
sezamannya ......................................................................................................................... 60
4.2.1 Perjodohan dalam Novel Katresnan dengan Perjodohan dalam novel
Serat Rijanta................................................................................................... 60
4.2.2 Perjodohan dalam Novel Katresnan dengan Perjodohan dalam novel
Sri Kuning ...................................................................................................... 62
4.2.3 Perjodohan dalam Novel Katresnan dengan Perjodohan dalam novel
Siti Nurbaya ................................................................................................... 64

BAB V SIMPULAN DAN SARAN ................................................................................... 66

5.1 Simpulan ....................................................................................................................... 66


5.2 Saran.............................................................................................................................. 67

DAFTAR PUSTAKA

xi
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Karya sastra erat kaitannya dengan kehidupan dan masyarakat. Karya

sastra merupakan pikiran dari seorang pengarang. Antara seorang pengarang satu

dengan pengarang lain dalam menampilkan karyanya akan berdeda-beda, sebab

mereka mempunyai ciri khas yang berbeda. Meskipun terdapat perbedaan di

antara pengarang yang satu dengan yang lain tetapi permasalahannya yang

dibahas hampir sama, yaitu berbicara tentang kehidupan. Hal ini sesuai dengan

pendapat Wallek dan Warren (diindoneisakan oleh Budianta, 1995:109) yang

mengatakan bahwa sastra menyajikan kehidupan yang sebagian besar terdiri dari

kenyataan sosial, walaupun karya sastra juga meniru alam dan dunia subjektif

manusia.

Sebuah karya sastra merupakan replika kehidupan yang memuat peristiwa

nyata. Replika karya sastra tersebut dituangkan dalam bentuk fiksi, baik berupa

cerpen, novel, puisi maupun drama. Persoalan yang ditulis dalam karya sastra

oleh pengarang umumnya tidak terlepas dari pengalaman kehidupan nyata sehari-

hari. Oleh sebab itu, seorang pengarang sering mengangkat cerita nyata di

masyarakat ke dalam karya sastra seperti cerpen maupun novel.

Damono (1979:7) mengungkapkan bahwa seperti halnya sosiologi, sastra

berurusan dengan manusia dalam masyarakat. Usaha manusia untuk

menyelesaikan diri dan usahanya untuk merubah masyarakat itu. Hubungan

manusia dengan keluarganya, lingkungannya, politik, negara, dan sebagainya.

1
2

Sosiologi sastra adalah penelitian yang terfokus pada masalah manusia.

Karena sastra sering mengungkapkan perjuangan umat manusia dalam

menentukan masa depannya, berdasarkan imajinasi, perasaan, dan intuisi. dari

pendapat ini, tampak bahwa perjuangan panjang hidup manusia akan selalu

mewarnai teks sastra. Dalam perjalanan panjang tersebut, menurut (Goldmann

dalam Endraswara, 2013:79) memiliki tiga ciri dasar, yaitu: (1) kecenderungan

manusia untuk mengadaptasikan dirinya terhadap lingkungan, dengan demikian ia

dapat berwatak rasional dan signifikan di dalam korelasinya dengan lingkungan,

(2) kecenderungan pada koherensi dalam proses penstrukturan yang global, dan

(3) dengan sendirinya ia mempunyai sifat dinamik serta kecenderungan untuk

merubah struktur walaupun manusia menjadi bagian struktur tersebut.

Sementara dalam teori sosial yang diungkapkan oleh Comte didasarkan

pada tingkat perkembangan intelektual manusia sehingga terbangun teori tiga

tahap perkembangan, yaitu tahap teologis, metafisis, dan positif. Dalam kerangka

teori yang demikian sastra dapat dipahami sekaligus sebagai representasi dari

perkembangan intelektual dan sekaligus organisasi sosial di atas. Sebagaimana

lembaga-lembaga sosial lainnya, sastra merupakan aktivitas seni bahasa yang

dibingkai oleh tingkat perkembangan intelektual yang hidup pada zamannya.

Hubungan antara sastra dengan lembaga-lembaga sosial yang lain dapat disebut

homolog, yaitu sama-sama merepresentasikan tingkat perkembangan intelektual

yang menjadi bingkai dari keseluruhan organisasi sosial yang melingkunginya

(Faruk 2013:52).
3

Salah satu masalah sosial yang paling menonjol dalam novel Katresnan

karya Soeratman Sastradihardja ini tentang masalah antara generasi muda dengan

generasi tua, yaitu tentang problema perjodohan. Melalui novel “Katresnan”

karya Soeratman Sastradihardja memotret masyarakat Jawa pada zaman dahulu

dan dinamikanya. Soeratman Sastradihardja menggambarkan kondisi sosial

masyarakat Jawa yang melarang perempuan untuk memilih jodohnya sendiri.

Persoalan pemilihan jodoh dan campur tangan orang tua dalam pernikahan

anaknya terdapat pada novel terbitan Balai Pustaka abad 19. Ada novel Siti

Nurbaya yang ditulis oleh Marah Roesli. Menceritakan seorang gadis yang

akhirnya terpaksa kawin dengan Datuk Maringgih, seorang saudagar kaya yang

berusia jauh lebih tua daripadanya. Lalu ada novel Serat Riyanta yang ditulis oleh

R.B. Soelardi. Diceritakan Raden Mas Riyanta yang sudah berusia 20 tahun

belum memiliki pasangan hidup. Hal ini menyebabkan ibu dari Raden Mas

Riyanta khawatir dan ingin menjodohkan Raden Mas Riyanta dengan Srini.

Perjodohan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia secara singkat

dijelaskan berasal dari kata jodoh yang berarti orang yang cocok menjadi suami

atau istri. Mesti adanya kecocokan sehingga bisa menjalin sebuah hubungan

rumah tangga. Pengertian lain menurut perjodohan terjadi karena telah tiba

masanya seseorang dalam sebuah keluarga untuk berumah tangga, jika waktu itu

telah tiba maka barulah para kerabat, serta orang tua berusaha membuka mata

lebar-lebar yang bertujuan untuk mencari siapa yang pantas untuk menjadikan

istri atau suami yang kira-kira cocok bagi anak mereka (Wicaksono, 2015:1).
4

Konteks perjodohan yang diangkat dalam novel Jawa Katresnan karya

Soeratman Sastradihardja khususnya dalam masyarakat yang tinggal di daerah

Jawa masih bisa ditemui. Untuk hal ini orang Jawa pada umumnya atau orang

Jawa tengah pada khususnya mempunyai patokan (ukuran) dalam memilih jodoh

yang ideal. Patokan tersebut ialah bibit, bebet, bobot (Surjanto dkk, 1987:61).

Yang dimaksud dengan bibit adalah penilaian seseorang ditinjau dari sudut

keturunan. Siapakah yang menurunkan orang yang akan menjadi pilihan tersebut.

Misalnya: Apakah dia berasal dari kalangan bawahan. Apakah di antara keluarga

dari pilihan tersebut ada yang mempunyai penyakit keturunan atau tidak. Apakah

calon tersebut dari keluarga yang baik-baik, atau dari keluarga yang tidak baik,

misalnya saja ayahnya suka kawin, orang tuanya suka menipu dan sebagainya.

Kalau ini terjadi, maka akan disingkirkan dalam menentukan jodoh. Dilihat dari

bibitnya, orang tua Mursiati lebih memilih anak mantri untuk menjadi calon

menantunya. Yang dimaksud bebet adalah penilaian seseorang berdasarkan

pergaulannya. Artinya dengan siapakah calon pilihan tersebut biasa bergaul.

Apakah orang tersebut biasa bergaul dengan orang baik atau orang yang

mempunyai reputasi yang kurang baik, seperti bergaul dengan peminum, pemadat,

pemadon, dan sebagainya. Dilihat dari bebetnya, orang tua Mursiati mengenal

anak mantri tersebut karena keluarga dekat. Sedangkan yang dimaksud bobot

adalah penilaian terhadap orang berdasarkan tinjauan keduniawian. Misalnya:

Apakah calon pilihan tersebut mempunyai pangkat/kedudukan yang tinggi atau

rendah, kaya atau miskin. Cantik atau tidak dan sebagainya. Bagi orang laki-laki

bobot ini lebih diutamakan, sebab jaman dahulu pada umumnya istri itu tidak
5

bekerja. Supaya kebutuhan rumah tangga tercukupi, maka suami harus

mempunyai pangkat yang tinggi atau pandai mencari nafkah. Dilihat dari

bobotnya, anak mantri tersebut bekerja sebagai klerk di kantor pos Surabaya

dengan upah 150 rupiah.

Inti permasalahan yang terdapat dalam novel ini adalah pertikaian

(perbedaan atau pemahaman) antara Mursiati dengan orang tuanya yang

menimbulkan konflik di mana salah satunya menerapkan paham pemikiran adat

lama sedangkan yang satunya lagi menerapkan paham pemikiran adat baru atau

berpikir secara modern. Diceritakan orang tua Mursiati yang masih menggunakan

adat kuna, ingin menjodohkan Mursiati dengan seorang anak mantri. Tetapi tokoh

Mursiati dengan pemikiran adat barunya menentang dan ingin menentukan sendiri

jodohnya sesuai dengan hati nuraninya. Perjodohan terjadi karena masyarakat

terutama para orang tua yang menjodohkan anaknya secara umum belum dapat

menerima masyarakat luar, mereka terbiasa dengan perjodohan antara keluarga

yang terdekat.

Keistimewaan perjodohan dalam novel Katresnan ini menggambarkan

tokoh Mursiati yang berpendidikan serta sangat kuat dan berjalan mengikuti

alurnya sendiri. Ia dengan tegas menolak perjodohan yang dilakukan oleh orang

tuanya dan berani mengutarakan maksud hati dengan bahasa yang halus ketika

menolak keinginan orang tuanya. Sementara itu Mursiati sudah memiliki calon

sendiri yang bernama Sutrisna, teman yang sudah lama dikenalnya ketika masih

bersekolah di HIS. Penolakan inilah yang akhirnya menimbulkan perdebatan-

perdebatan yang terjadi antara orang tua Mursiati dengan Mursiati. Perjodohan
6

demikianlah yang menarik bagi bahan cerita setiap novel. Menarik pula untuk

diteliti dari masalah perjodohan maupun hal yang menjadikan perdebatan.

Perselisihan pemahaman yang terjadi tidak menjadi halangan bagi Mursiati untuk

mengejar sebuah kesepakatan yang dinamai perjodohan. Kenekatan Mursiati

dengan sutrisna dalam memperjuangkan cinta mereka menjadi ironi romantis

yang indah. Selain itu, penelitian yang meneliti novel Katresnan belum banyak

ditemukan. Hal inilah yang melatar belakangi penulis sebagai dasar untuk

menganalisa sebuah permasalahan perjodohan dalam novel Katresnan karya

Soeratman Sastradihardja.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, rumusan

masalah penelitian ini sebagai berikut.

1) Perjodohan dalam novel Jawa Katresnan karya Soeratman Sastradihardja?

2) Perbandingan perjodohan yang terdapat dalam novel Katresnan dengan

yang terdapat dalam novel sejamannya?

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dilakukannya penelitian ini adalah.

1) Mengungkap masalah perjodohan novel Jawa Katresnan karya Soeratman

Sastradihardja.

2) Mengungkap perbandingan perjodohan yang terdapat dalam novel

Katresnan dengan yang terdapat dalam novel sejamannya?


7

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah manfaat secara praktis

dan secara teoritis. Manfaat praktis yaitu manfaat berdasarkan pada praktik.

Secara praktis manfaat dari penelitian ini yaitu diharapkan dapat menambah bahan

bacaan serta referensi untuk penelitian-penelitian selanjutnya.

Manfaat teoritis adalah manfaat yang berdasarkan pada teori, yaitu

pendapat yang dikemukakan sebagai suatu keterangan mengenai suatu hal atau

peristiwa. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam pengembangan ilmu

pengetahuan dalam karya sastra khususnya novel terlebih lagi dalam teori-teori

sosiologi sastra dan mimesis yang tertuang dalam novel bertemakan konflik

keluarga seperti perjodohan.


BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORETIS

2.1 Kajian Pustaka

Kajian pustaka digunakan untuk mengetahui relevansi penelitian yang

sudah dilakukan berkaitan dengan persamaan dan perbedaan antara penelitian

terdahulu dengan penelitian ini yaitu perjodohan dalam novel Katresnan kajian

sosiologi sastra. Beberapa penelitian yang relevan dengan penelitian ini, antara

lain dilakukan oleh Nugraheni (2015), Wicaksono (2015), Hidayat (2012),

Wahyudi (2010), Muhadi (2015), dan Zulfiana (2016).

Nugraheni (2015) dalam skripsinya yang berjudul “Tokoh Mursiati Dalam

Novel Katresnan Karya Soeratman Sastradihardja”. Penelitian ini mengandung

permasalahan yaitu, 1) Bagaimanakah karakter tokoh wanita dalam novel

Katresnan karya Soeratman sastradihardja dalam aspek fisik, psikologi, dan

kedudukan sosial, 2) bagaimanakah pandangan pengarang terhadap pembelaan

wanita melalui novel Katresnan karya Soeratman sastradihardja.

Penelitian ini menggunakan pendekatan objektif dan deskriptif kualitatif.

Hasil penelitian ini adalah gambaran sosok ideal tokoh wanita Jawa yang

digambarkan pada diri Mursiati. Hasil dari penelitian ini juga memuat pandangan

pengarang terhadap pembelaan wanita dalam novel melalui novel Katresnan yaitu

feminisme liberal. Feminisme liberal digambarkan melalui penggambaran

karakter tokoh wanita yang terdapat dalam novel Katresnan, yaitu Mursiati dan

8
9

Sundari. Feminisme liberal tersebut ditunjukkan dengan adanya gerakan wanita

yang berpendidikan tinggi, pintar, tanggung jawab, mandiri, keras kepala,

bertekad kuat, berani menyampaikan pendapat, dan berani berkata tidak.

Perbedaan dari penelitian Nugraheni dengan penelitian ini adalah teori

yang digunakan. Penelitian Nugraheni menggunakan teori feminisme sedangkan

penelitian ini menggunakan teori sosiologi sastra. Adapun persamaannya adalah

sama-sama mengkaji novel ‘Katresnan’ Karya Soeratman sastradihardja.

Wicaksono (2015) dalam skripsinya yang berjudul “Masalah Perjodohan

Dalam Novel Memang Jodoh Karya Marah Rusli”. Hasil penelitian menunjukan

adanya permasalahan perjodohan. Masalah perjodohan di antaranya adalah

perkawinan ideal dan perkawinan pantang. Di samping itu, masalah perjodohan

ini dipicu karena adanya penentangan kaum muda terpelajar yang cenderung

mendukung pemikiran barat. Upaya penentangan kaum muda terhadap adat

adalah melakukan perkawinan pantang yakni menikah dengan masyarakat di luar

sukunya. Objek penelitian ini adalah tentang tema-tema masalah perjodohan

sebagaimana yang terjadi pada novel pada zaman Balai Pustaka. Pengaruh barat

dan kemerdekaan individual melawan sistem adat lantas dideskripsikan Marah

Rusli dalam novel Memang Jodoh. Penelitian bertujuan untuk menjawab

pertanyaan tentang: 1) struktur novel; 2) Bagaimana masalah perjodohan yang

digambarkan dalam novel; 3) Bagaimana pententangan masalah perjodohan yang

muncul dalam novel tersebut. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif

menggunakan metode deskriptif analisis dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta

disusul dengan analisis.


10

Perbedaan dari penelitian Wicaksono dengan penelitian ini adalah

penelitian Wicaksono membahas tentang masalah perjodohan pada masyarakat

Minangkabau, sedangkan pada penelitian ini membahas masalah perjodohan pada

masyarakat Jawa. Adapun persamaan dari penelitian Wicaksono dengan

penelitian ini adalah sama-sama membahas tentang masalah perjodohan.

Hidayat (2012) dalam jurnal yang berjudul “Perjodohan Dalam naskah

“Randai Puti Manih Talongsong” Karya Wisran Hadi: Tinjauan Sosiologi sastra”.

Persoalan yang terjadi dalam naskah randai Puti Manih Talongsong di mana

timbul persoalan dan perdebatan antara calon yang akan dijodohkan dengan Puti

Manih Talongsong yang diakibatkan oleh kultur budaya yang berbeda di mana

Palimo Parang Usai bukan berasal dari Minang, melainkan dari Jawa. Perbedatan

budaya tersebut karena apabila seseorang yang di luar Minang dianggap tidak

sesuai dan tidak sepadan dengan adat yang berlaku di Minangkabau.

Penelitian ini menggunakan teori sosiologi sastra. Sosiologi sastra adalah

salah satu teori yang dalam pendekatannya mempertimbangkan segi-segi

kemasyarakatan, yaitu sejauh mana karya sastra dapat mencerminkan kehidupan

masyarakat setidak-tidaknya gambaran tentang diri pribadi seseorang. Kemudian

dihubungkan dengan analisis struktur yang meliputi tokoh dan penokohan, latar

dan tema. Analisis struktur digunakan sebagai tahap awal untuk menganalisis

karakter tokoh, latar dan alur yang membangun cerita itu sendiri. Metode yang

digunakan adalah metode kualitatif.

Perbedaan antara penelitian Hidayat dengan penelitian ini adalah objek

penelitiannya. Apabila penelitian Hidayat menggunakan objek naskah randai Puti


11

Manih Talongsong sebagai objek penelitiannya, penelitian ini menggunakan novel

Jawa sebagai objek penelitian. Persamaan penelitian Hari Hidayat dengan

penelitian ini adalah sama-sama mengkaji tentang perjodohan yang ada dalam

karya sastra.

Wahyudi (2010) dalam jurnal internasional yang berjudul “A Case Study

On Matchmaking Discourse (Javanese And Islamic Perspectives)”. Jurnal ini

membahas perjodohan yang menjadi salah satu fenomena unik dalam masyarakat

Indonesia, terutama dalam budaya Jawa. Dikatakan unik karena itu tidak selalu

terjadi dalam segala situasi. Pertimbangan agama, rasa malu di antara kedua belah

pihak atau salah satu dari mereka (baik laki-laki atau perempuan), adalah faktor

untuk melengkapi satu sama lain. Perjodohan biasanya dilakukan baik laki-laki

dan perempuan untuk memulai sebuah hubungan serius. Dalam kasus perspektif

Jawa, faktor seperti profesi, kekayaan, agama dan pendidikan dianggap sebagai

status dari Individu Jawa. Dalam artikel ini, akan lebih difokuskan pada identitas

etnis Jawa dan Wacana Islam dan kurangnya pembahasan bahasa gender dalam

proses hubungan perjodohan. Perbedaan yang mendasar dari penelitian yang

berjudul “A Case Study On Matchmaking Discourse (Javanese And Islamic

Perspectives)” adalah dalam penelitian tersebut perjodohan disangkutpautkan

dengan agama, sementara dalam penelitian ini tidak ada agama yang

disangkutpautkan. Persamaan yang mendasar dari penelitian yang berjudul “Studi

Kasus Pada Wacana Perjodohan (Jawa Dan Perspektif Islam)” adalah sama-sama

dalam satu lingkup budaya Jawa.


12

Muhadi (2015) dalam jurnalnya yang berjudul “Tradisi Perjodohan Dalam

Komunitas Pesantren (Studi Pada Keluarga Kyai Pondok Buntet Pesantren)”.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tradisi perjodohan yang dilakukan

keluarga Pondok Buntet dan faktor apa saja yang menjadi alasan para keluarga

Kyai Pondok Buntet Pesantren menjodohkan anak-anaknya. Penelitian ini

menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan metode riset kepustakaan (library

reseach) dan riset lapangan (field reseach). Hasil penelitian ini menunjukan

bahwa kebiasaan menjodohkan anak-anaknya di kalangan keluarga Kyai Pondok

Buntet Pesantren sudah menjadi tradisi turun temurun hingga saat ini. Perjodohan

adalah pernikahan yang semi pemaksaan, yang mana menurut Kompilasi Hukum

Islam dalam Pasal 16 ayat (1) dan ayat (2) menyatakan bahwa perkawinan harus

didasarkan atas persetujuan calon mempelai. Perjodohan menjadi momok di

masyarakat, bahwa pernikahan melalui perjodohan tidak akan harmonis dan

langgeng karena terdapat unsur pemaksaan. Tetapi perjodohan di keluarga

pesantren khususnya di keluarga Buntet Pesantren menggunakan konsep

perkawinan endogami dengan cara ditawarkan tanpa ada pemaksaan. Selain itu,

walaupun keluarga kyai melangsungkan pernikahan melalui perjodohan, mereka

tetap harmonis dan menciptakan keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah.

Persamaan penelitian Muhadi dengan penelitian ini yaitu sama-sama

mengungkap masalah perjodohan. Sedangkan perbedaan penelitian Muhadi

dengan penelitian ini adalah teknik pengumpulan data. Apabila penelitian Muhadi

menggunakan teknik pengumpulan data dengan cara melakukan observasi dan

wawancara, sedangkan dalam penelitian ini menggunakan teknik satuan naratif.


13

Zulfiana (2016) dalam tesisnya yang berjudul “Perjodohan Paksa Anak

Gadis dalam Perspektif Hukum Islam (Studi Kasus di Desa Brokoh Kecamatan

Wonotunggal Kabupaten Batang)”. Permasalahan yang terdapat dalam penelitian

ini yaitu 1) bagaimana praktik perjodohan paksa anak gadis yang terjadi di Desa

Brokoh, Kecamatan Wonotunggal, Kabupaten Batang?, 2) bagaimana tinjauan

hukum Islam terhadap praktik perjodohan paksa anak gadis yang dilakukan oleh

masyarakat Desa Brokoh Kecamatan Wonotunggal Kabupaten Batang. Sumber

data penelitian ini ada data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh

langsung dari orang yang melangsungkan pernikahan karena perkawinan paksa,

yaitu suami, istri, wali atau pihak keluarga mempelai perempuan dan laki-laki

pelaku perjodohan paksa serta tokoh masyarakat setempat. Data sekunder

diperoleh dari hasil penelaahan kepustakaan yaitu dari beberapa buku, jurnal,

literatur yang berkaitan dengan pokok permasalahan yang dibahas. Teknik

pengumpulan data menggunakan observasi, wawancara, dan dokumentasi. Teknik

analisis data menggunakan teknik analisis deskriptif kualitatif.

Persamaan penelitian Zulfiana dengan penelitian ini yaitu sama-sama

mengungkap masalah perjodohan. Sedangkan perbedaan penelitian Zulfiana

dengan penelitian ini adalah teknik pengumpulan data. Apabila penelitian

Zulfiana menggunakan teknik pengumpulan data dengan cara melakukan

observasi, wawancara, dokumentasi. Sedangkan dalam penelitian ini

menggunakan teknik satuan naratif.

Beberapa kajian pustaka tersebut dapat disimpulkan bahwa penelitian

mengenai novel Katresnan tidak banyak dilakukan. Penelitian peneliti mengenai


14

perjodohan dalam novel Katresnan karya Soeratman Sastradihardja merupakan

upaya melengkapi penelitian-penelitian terdahulu.

2.2 Landasan Teoretis

Teori-teori yang menjadi dasar dalam penelitian ini yaitu, teori mimesis,

sosiologi sastra, karya sastra sebagai cermin kehidupan masyarakat, hubungan

orang tua dengan anak, dan perjodohan.

2.2.1 Teori Mimesis

Penganut teori mimesis pada prinsipnya menganggap karya seni sebagai

pencerminan, peniruan ataupun pembayangan realitas (Teeuw, 2003:184).

Sementara itu bagi Plato, mimesis terikat pada ide pendekatan, tidak

menghasilkan kopi yang sungguh-sungguh, lewat mimesis tataran yang lebih

tinggi hanya dapat disarankan. Dalam rangka ini, menurut Plato, mimesis atau

sarana artistik tidak mungkin mengacu langsung pada nilai-nilai yang ideal,

karena seni terpisah dari tataran Ada yang sungguh-sungguh oleh derajat dunia

kenyataan yang fenomenal. Seni hanya dapat meniru dan membayangkan hal-hal

yang ada dalam kenyataan yang tampak, jadi berdiri di bawah kenyataan itu

sendiri dalam hierarki. Wujud yang ideal tidak bisa terjelma langsung dalam karya

seni. Tetapi ini tidak berarti bahwa seni sama sekali kehilangan nilai. Sebab

walaupun seni terikat pada tataran yang lebih rendah dari kenyataan yang tampak,

namun seni yang sungguh-sungguh mencoba mengatasi kenyataan sehari-hari

(Teeuw, 1988:220).
15

Bagi Plato tidak ada pertentangan antara realisme dan idealisme dalam

seni: seni yang terbaik lewat mimesis, peneladanan kenyataan mengungkapkan

sesuatu makna hakiki kenyataan itu. Maka seni harus truthful, benar; dan seniman

harus bersifat modest, rendah hati; dia harus tahu bahwa lewat seni dia hanya

dapat mendekati yang ideal dari jauh dan serba salah. Dari segi ini kepandaian

seorang tukang malah dapat dinilai lebih tinggi dari seniman, sebab tukang yang

baik pada prinsipnya lebih efisien meniru ide yang mutlak dalam benda-benda

yang diciptakannya daripada seniman. Seniman hanya sekedar menghimbau

bukan rasio, nalar manusia, melainkan nafsu-nafsu dan emosinya yang menurut

Plato justru harus ditekan (Teeuw, 1988:221).

Pandangan tersebut kemudian ditentang oleh muridnya, Aristoteles.

Aristoteles memandang bahwa seni justru menyucikan jiwa manusia lewat proses

yang disebut katharsis, penyucian. Dengan menimbulkan kekhawatiran dan rasa

khas kasihan dalam hati kita karya seni memungkinkan kita membebaskan dari

dari nafsu yang rendah; karya seni mempunyai dampak tetapi lewat pemuasan

estetika keadaan jiwa dan budi manusia justru ditingkatkan, dia menjadi budiman

(Teeuw, 1988:222).

Aristoteles pun menolak pendapat Plato tentang filsafat ide Platao dan

sistem nilainya yang hirarkik justru menonjolkan aspek positif dari mimesis.

Penyair tidak meniru kenyataan, tidak mementaskan manusia yang nyata atau

peristiwa sebagaimana adanya. Seniman menciptakan dunianya sendiri, dengan

probability yang memaksa, dengan ketakterelakannya; apa yang terjadi dalam

ciptaan itu sekaligus oleh karena dunia itu merupakan kontraksi, perpaduan
16

berdasarkan unsur-unsur yang nyata, mencerahi segi dunia nyata tertentu. Jadi

bagi Aristoteles seniman lebih tinggi nilai karyanya daripada seorang tukang;

sebab oleh karya seniman pandangan, vision, penafsiran kenyataanlah yang

dominan dan kepandaiannya diabdikan pada interpretasi, pemberian makna pada

eksistensi manusia. Karya seni menurut Aristoteles menjadi sarana pengetahuan

yang khas, cara yang unik untuk membayangkan pemahaman tentang aspek atau

tahap situasi manusia yang tidak dapat diungkapkan dan dikomunikasikan dengan

jalan lain (Teeuw, 1988:222).

Teori mimesis memiliki anggapan dasar bahwa teks sastra pada dasarnya

merupakan wakil atau penggambaran dari realitas. Oleh sebab itu, untuk mampu

memahami realitas yang digambarkan dalam teks sastra, terlebih dulu harus

dimiliki pemahaman tentang realitas itu sendiri (Aminuddin, 2011:57). Karya

sastra, seperti halnya puisi, adalah semacam cermin yang menjadi perepresentasi

dari realitas itu sendiri. Begitulah pengertian mimesis menurut Plato yang dalam

perkembangan berikutnya sangat mempengaruhi pikiran dasar realisme di Rusia.

Pada sisi lain, Aristoteles berpendapat mimesis bukan sekadar tiruan, bukan

sekadar potret dari realitas, melainkan telah melalui kesadaran personal batin

pengarangnya. Oleh sebab itu, realitas yang dipaparkan pun telah mengandung

nilai-nilai yang bersifat transendental, yakni memiliki nilai-nilai yang mengatasi

realitas itu sendiri, sekaligus bersifat universal (Aminuddin, 2013:115).

Mimesis dalam pengisahan cerita, merupakan paparan cerita yang

diemban oleh tokoh pelaku tertentu, terjadi di suatu tempat dan waktu tertentu

seperti halnya kenyataan terjadinya peristiwa dalam kehidupan sehari-hari, maka


17

terdapatlah pengisahan yang berkembang dari ilusi pengarang tanpa diikat oleh

pelaku, tempat, dan waktu. Mimesis adalah penciptaan yang semata-mata

bertumpu pada realitas yang ada atau mewujud di luar diri pengarang

(Aminuddin, 2013:115).

Dalam puisi Jawa Kuno, khususnya dalam kakawin, aspek mimesis,

peneladanan alam oleh penyair kuat sekali: penyair sebagian besar mencari ilham

dalam keindahan alam, dan dia biasa berkelana, lelengon, menelusuri keindahan

ini; bagian yang paling puitis dalam kakawin terutama diisi dengan evokasi

keindahan alam dalam arti yang luas. Walaupun latar belakang di sini agak

berlainan dengan puitik Abad Pertengahan dan Arab: dalam puisi Jawa Kuno

disamakan dengan unio mystica, persatuan antara manusia dan Tuhan lewat

keindahan, manunggal kawula-gusti (Teeuw, 1988:223).

2.2.2 Sosiologi Sastra

Menurut Wellek dan Warren (1995:110), hubungan sastra yang erat

kaitannya dengan masyarakat. Sastra adalah ungkapan perasaan masyarakat.

Sastra mencerminkan dan mengekspresikan pengalaman dan pandangan tentang

hidup. Tetapi tidak benar kalau dikatakan bahwa pengarang mengekspresikan

kehidupan secara keseluruhan, atau kehidupan zaman tertentu secara kongkret dan

menyeluruh.

Sosiologi sebagai suatu pendekatan terhadap karya sastra yang masih

mempertimbangkan karya sastra dan segi-segi sosial. Pendekatan sosiologi sastra

diklasifikasikan sebagai berikut. Pertama adalah sosiologi pengarang, profesi


18

pengarang, dan institusi sastra. Masalah yang berkaitan dengan sosiologi

pengarang adalah dasar ekonomi produksi sastra, latar belakang sosial, status

pengarang dan ideologi pengarang yang terlihat dari berbagai kegiatan pengarang

di luar karya sastra. Yang kedua adalah sosiologi karya sastra yang memasalahkan

karya sastra itu sendiri dan yang berkaitan dengan masalah sosial. Yang terakhir

adalah sosiologi sastra yang memasalahkan pembaca dan dampak sosial karya

sastra. Sejauh mana sastra ditentukan atau tergantung dari latar sosial, perubahan

dan perkembangan sosial, adalah pertanyaan yang termasuk dalam ketiga jenis

permasalahan di atas: sosiologi pengarang, isi karya sastra yang bersifat sosial,

dan dampak sastra terhadap masyarakat.

Ian Watt dalam esainya yang berjudul “Literature an Society” (Damono,

1978:3) membicarakan tentang hubungan timbal balik antara sastrawan, sastra,

dan masyarakat. Pertama, konteks sosial pengarang. Ini ada hubungannya dengan

posisi sosial sastrawan dalam masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat

pembaca. Dalam pokok ini termasuk juga faktor-faktor sosial yang bisa

mempengaruhi si pengarang sebagai perseorangan di samping mempengaruhi isi

karya sastranya. Yang terutama harus diteliti adalah (a) bagaimana si pengarang

mendapatkan mata pencahariannya; apakah ia menerima bantuan dari pengayom

(patron), atau dari masyarakat langsung, atau dari kerja rangkap, (b)

profesionalisme dalam kepengarangan; sejauh mana pengarang itu menganggap

pekerjaannya sebagai suatu profesi, dan (c) masyarakat apa yang dituju oleh

pengarang; hubungan antara pengarang dan masyarakat dalam hal ini sangat
19

penting, sebab sering didapati bahwa macam masyarakat yang dituju itu

menentukan bentuk dan isi karya sastra.

Kedua, sastra sebagai cermin masyarakat: sampai sejauh mana sastra dapat

dianggap sebagai mencerminkan keadaan masyarakat. pengertian “cermin” di sini

sangat kabur, dan oleh karenanya banyak disalahtafsirkan dan disalahgunakan.

Yang terutama mendapat perhatian adalah: (a) sastra mungkin tidak dapat

dikatakan mencerminkan masyarakat pada waktu ia ditulis, sebab banyak ciri-ciri

masyarakat yang ditampilkan dalam karya sastra itu sudah tidak berlaku lagi pada

waktu ia ditulis. (b) sifat “lain dari yang lain” seorang pengarang sering

mempengaruhi pemilihan dan penampilan fakta-fakta sosial dalam karyanya. (c)

genre sastra sering merupakan sikap sosial suatu kelompok tertentu, dan bukan

sikap sosial seluruh masyarakat. (d) sastra yang berusaha untuk menampilkan

keadaan masyarakat secermat-cermatnya mungkin saja tidak bisa dipercaya

sebagai cermin masyarakat. Demikian juga sebaliknya, karya yang sama sekali

tidak dimaksudkan untuk menggambarkan masyarakat secara teliti barangkali

masih dapat dipergunakan sebagai bahan untuk mengetahui keadaan masyarakat.

Pandangan sosial pengarang harus diperhitungkan apabila kita menilai karya

sastra sebagai cermin masyarakat.

Ketiga, fungsi sosial sastra. Ada pertanyaan-pertanyaan seperti “sampai

berapa jauh nilai sastra berkaitan dengan nilai sosial?” dan “sampai berapa jauh

nilai sastra dipengaruhi nilai sosial?”. Dalam hubungan ini, ada tiga hal yang

harus diperhatikan: (a) sudut pandangan ekstrim kaum Romantik yang

menganggap bahwa sastra sama derajatnya dengan karya pendeta atau nabi.
20

Karena itu, sastra berfungsi sebagai pembaruan dan perombak, (b) sastra sebagai

penghibur saja, dan (c) sastra harus mengajarkan sesuatu dengan cara menghibur.

Wolff (dalam Faruk, 2013:4), mengatakan bahwa sosiologi kesenian dan

kesusastraan merupakan suatu disiplin yang tanpa bentuk, tidak terdefinisikan

dengan baik, terdiri dari sejumlah studi empiris dan berbagai percobaan pada teori

yang agak lebih general, yang masing-masing hanya mempunyai kesamaan dalam

hal bahwa semuanya berurusan dengan hubungan antara seni/kesusastraan dan

masyarakat. Maka, ada sosiologi sastra yang menyelidiki dasar sosial

kepengarangan seperti yang dilakukan Laurenson, ada sosiologi tentang produksi

dan distribusi karya kesusastraan seperti yang dilakukan oleh Escarpit,

kesusastraan dalam masyarakat primitif seperti yang dilakukan oleh Radin dan

Leach, hubungan antara nilai-nilai yang diekspresikan karya seni dengan

masyarakat seperti yang dilakukan oleh Albrecht, serta data historis yang

berhubungan dengan kesusastraan dan masyarakat seperti yang dilakukan oleh

Goldmann, Lowenthal, Watt, dan Webb. Wolff sendiri menawarkan sosiologi

verstehen atau fenomenologis yang sasarannya adalah level “makna” dari karya

sastra.

Hal penting dalam sosiologi sastra adalah konsep cermin (mirror). Dalam

kaitan ini, sastra dianggap sebagai mimesis (tiruan) masyarakat. Kendati

demikian, sastra tetap diakui sebagai sebuah ilusi atau khayalan dari kenyataan.

Dari sini, tentu sastra tidak akan semata-mata menyodorkan fakta secara mentah.

Sastra bukan hanya sekadar copy kenyataan, melainkan kenyataan yang telah
21

ditafsirkan. Kenyataan tersebut bukan jiplakan yang kasar, melainkan sebuah

refleksi halus dan estetis.

2.2.3 Sastra Sebagai Cermin Masyarakat

Wellek dan Warren (1995:110) mengemukakan hubungan sastra yang erat

kaitannya dengan masyarakat. Sastra adalah ungkapan perasaan masyarakat.

Sastra mencerminkan dan mengekspresikan kehidupan pengarang, sastra tak bisa

tidak mengekspresikan pengalaman dan pandangan tentang hidup. Meskipun

demikian, tidak benar bila dikatakan bahwa pengarang secara konkret dan

menyeluruh mengekspresikan perasaannya.

Sejauh mana sastra dianggap sebagai mencerminkan keadaan

masyarakatnya. Kata “cermin” di sini dapat menimbulkan gambaran yang kabur,

dan oleh karenanya sering disalahtafsirkan dan disalahgunakan. Dalam hubungan

ini terutama harus mendapat perhatian adalah: (1) Sastra mungkin tidak dapat

dikatakan mencerminkan masyarakat pada waktu ia ditulis, (2) Sifat ‘lain dari

yang lain” seorang pengarang/sastrawan sering mempengaruhi pemilihan dan

penampilan fakta-fakta sosial dalam karyanya, (3) Genre sastra merupakan sikap

sosial seluruh kelompok tertentu, dan bukan sikap sosial seluruh masyarakat, (4)

Sastra yang berusaha menampilkan keadaan masyarakat yang secermat-cermatnya

mungkin sebagai cermin masyarakat. Demikian juga sebaliknya, karya sastra

sama sekali tidak dimaksudkan untuk menggambarkan masyarakat secara teliti

barangkali masih dapat dipercaya sebagai bahan untuk mengetahui keadaan


22

masyarakat. Pandangan sosial sastrawan harus dipertimbangkan apabila sastra

akan dinilai sebagai cermin masyarakat (Jabrohim, 2015:219).

Sastra sebagai cermin masyarakat, berkaitan dengan sampai sejauh mana

sastra dapat dianggap mencerminkan keadaan masyarakat. Konsep “cermin” tentu

saja kabar karena masyarakat yang sebenarnya tidak sama dengan masyarakat

yang digambarkan dalam sastra karena adanya intervensi pandangan dunia

pengarang. Oleh karena itu, cermin di sini menjadi refleksivitas masyarakat yang

digambarkan pengarang, bukan berarti kenyataan dalam karya sastra sama dengan

kenyataan dalam masyarakat. Dengan demikian, sastra sebagai cermin masyarakat

berarti sastra yang merefleksivitaskan masyarakat atau merepresentasikan

semangat zamannya (Ian Watt dalam Kurniawan; 2012:11).

2.2.4 Hubungan Orang tua Dengan Anak

Kawin dan menjadi orang tua adalah suatu kenyataan alam dan suatu

kewajiban terhadap tatanan kehidupan. Tidak mengikuti tugas ini dianggap

sebagai aneh dan tidak Jawa. Perkawinan menandai berakhirnya tugas orang tua.

Perkawinan berarti melepaskan anak untuk menempuh jalannya sendiri dan

merupakan tanggung jawab terakhir dari orang tua (Mulder, 1985:36). Secara

logis dahulu perkawinan-perkawinan pertama merupakan urusan yang diatur

terlebih dahulu di mana orang tua berusaha mendapatkan pasangan yang cocok

bagi anak-anak mereka. Kebiasaan ini, sekalipun belum sepenuhnya hilang, telah

sangat memudar pada zaman orang tua yang ditelaah. Namun demikian,
23

persetujuan orang tua terhadap perkawinan tetap merupakan kebutuhan utama,

dan desakan mereka untuk mempunyai suara dalam pemilihan seorang pasangan

yang layak dan sesuai sering kali masih menentukan bagi pilihan anak-anak

mereka. Pada akhirnya, betapa pun mantapnya menurut ukuran keberhasilan

sosial dan ekonomi, anak-anak selalu tetap tergantung pada restu orang tua kalau

mereka mengharapkan suatu eksistensi yang slamet.

Pandangan-pandangan ini berlanjut sampai kini. Mula-mula sekali saya

mempunyai catatan cukup banyak mengenai kasus dari anak-anak yang menunda

perkawinannya sampai mereka cukup tua untuk merasa bebas dari pengawasan

orang tua (tiga puluh lima tahun atau lebih). Kemudian mereka menempuh

jalannya sendiri, kebanyakan sering kali kawin dengan “orang-orang asing”, yaitu

orang-orang bukan Jawa, seperti misalnya orang-orang dari luar Pulau Jawa, atau

dari keturutan Cina atau Belanda. Sebagaimana dapat diharapkan, pilihan

kontroversial semacam itu merupakan tema yang selalu mendapat tempat di

cerita-cerita novel Indonesia. Pertikaian-pertikaian yang kemudian timbul

cenderung untuk mereda ketika cucu-cucu lahir dan ketika perkawinan terbukti

mantap.

Kepuasan orang tua nampak dinyatakan oleh kepatuhan anak-anak mereka

terhadap keinginan dan petunjuknya. Tentu saja mereka tidak hanya mengharap

agar anak-anak mereka mendapatkan jodoh yang serasi, tetapi juga agar anak-

anak mereka dihormati dan memperoleh sukses dalam kehidupan. Seorang anak

harus mencapai kedudukan dan layak dengan kehormatan dan penerimannya yang

tertentu. Sekalipun peka untuk memajukan statusnya lewat perkawinan dan


24

pangkat anak-anaknya, untuk mana mereka telah berkorban, mereka juga berharap

bahwa keberhasilan mereka akan terhormat dan tidak kontroversial.

Patut dicela bagi seorang laki-laki yang tidak kawin, dan bagi seorang

perempuan lebih buruk lagi dan dipandang sebagai aib keluarga. Menjadi perawan

tua, yaitu sebutan yang diberikan kepada seorang perempuan muda yang telah

berumur dua puluh tahun lebih dan belum kawin, menimbulkan keprihatinan bagi

dirinya sendiri maupun orang tuanya. Bagi seorang gadis pendidikan tinggi sering

kali dipandang sebagai suatu hambatan untuk mendapatkan suami, atau

sebagaimana dinyatakan oleh seorang mahasiswi yang pintar dan agak berambisi.

Perkawinan adalah kegiatan yang membebaskan seorang anak dari

pengawasan dan keprihatinan orang tua. Selama seseorang masih belum kawin, ia

belum memantapkan dirinya sebagai seorang yang berhak atas penghargaan

sepenuhnya dari masyarakat.

2.2.5 Perjodohan

Perjodohan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia secara singkat

dijelaskan berasal dari kata jodoh yang berarti orang yang cocok menjadi suami

atau istri. Mesti adanya kecocokan sehingga bisa menjalin sebuah hubungan

rumah tangga. Pengertian lain menurut perjodohan terjadi karena telah tiba

masanya seseorang dalam sebuah keluarga untuk berumah tangga, jika waktu itu

telah tiba maka barulah para kerabat, serta orang tua berusaha membuka mata

lebar-lebar yang bertujuan untuk mencari siapa yang pantas untuk menjadikan
25

istri atau suami yang kira-kira cocok bagi anak mereka. Bila calon tersebut telah

ditemukan, barulah para keluarga atau kerabat memperbincangkan calon yang

sedang diincar tersebut, serta melakukan pendekatan untuk mengetahui apakah

diterima atau tidak dipihak calon yang sudah mereka tentukan (Wicaksono, 2015:1).

Perkawinan merupakan langkah awal yang menentukan dalam proses

membantu keluarga bahagia dan harmonis. Di samping itu perkawinan bagi

pasangan muda-mudi adalah melakukan pengintegrasian manusia dalam tatanan

hidup bermasyarakat. Ada pepatah yang berbunyi “Homo Sacra est Homoni”

yang artinya bahwa perkawinan adalah melakukan tugas suci antara pria dan

wanita, maka perlu adanya macam pertimbangan. Hal ini untuk menjaga adanya

penyesalan di kemudian hari (Bratawidjaja 2006:3).

Zaman sekarang dalam mencari dan menentukan jodoh ditentukan oleh

calon pasangan yang bersangkutan. Namun demikian orang tua perlu memberi

nasehat dan petunjuk kepada putra-putrinya dalam mencari dan menentukan jodoh

agar tidak salah pilih. Pada umumnya orang tua menginginkan agar putra-putrinya

mendapatkan jodoh yang serasi agar dalam membangun keluarga mendapatkan

kebahagian.

Bagi orang tua perjaka dan orang tua gadis bila mencari dan menetukan

jodoh memberi pedoman yang dinamakan “Triaji”, yaitu “Bibit, Bebet, dan

Bobot”. Meskipun pedoman tersebut merupakan warisan kuno, namun masih

cukup relevan dalam era modern, hanya penerapannya perlu disesuaikan dengan
26

perkembangan. Yang dimaksud dengan bibit, bebet, dan bobot diuraikan di bawah

ini:

1) Bibit, yaitu menyangkut faktor keturunan, apakah sang perjaka atau gadis

dari keturunan keluarga yang baik atau tidak, biasanya keluarga yang baik

akan menurunkan keluarga dan anak yang baik juga dan sebaliknya.

Sebelum pada zaman tahun 1950-an yang dimaksud dengan keturunan

yang baik adalah keturunan ningrat atau pejabat pemerintah. Namun

anggapan itu berangsur-angsur mulai hilang. Hal ini dapat dibaca dalam

buku “Adat Istiadat Jawa” karangan Drs. Marbangun Harjowirogo. Isinya

tentang jalinan cinta antara Daryatmi yang masih keturunan darah biru

(ningrat) mendapatkan calon suami dari Wonogiri, anak seorang petani

bernama Paryatmo. Namun Paryatmo anak petani yang maju dan cerdas

karena kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada Jogyakarta.

Dra. Daryatmi putri dari seorang Asisten Wedana di Serengan Surakarta,

sedangkan Paryatmo putra Bapak-Ibu Karyasentika seorang petani yang

berhasil dan berpandangan maju sehingga Paryatmo berhasil mendapat

gelar dokter. Paryatmo dapat dikategorikan bibitnya dari keturunan

keluarga yang baik. Pengertian rasional pada era baru 2000 pengertian

bibit milenium mempunyi arti yang lebih luas yaitu menyangkut akhlak,

moral yang mengarah pada kesehatan rohani dan jasmani dari orang tua.

2) Bebet, yang menyangkut perilaku atau budi pekerti dari calon menantu.

Adakalanya orang pintar tetapi budi pekertinya amoral dan adakalanya

anak pejabat tinggi tetapi kelakuannya jelek, anak orang kaya tetapi kejam
27

dan sifatnya negatif. Bebet yang baik bila anak itu berperilaku sopan-

santun, rendah hati, berakhlak dan bermoral tinggi, jadi mengenai bebet

perlu juga dipertimbangkan.

3) Bobot, yaitu menyangkut kepribadian sang calon menantu termasuk

pendidikan, sudah mempunyai pekerjaan tetap, memiliki masa depan yang

baik atau tidak, penampilannya, watak serta kepribadiannya di masa

mendatang bila kelak berkeluarga.

Meskipun ada pergeseran-pergeseran nilai-nilai budaya dan adat istiadat

dalam era baru, namun makna yang terkandung dalam ungkapan bibit, bebet, dan

bobot masih cukup memadai. Peran orang tua memberi bekal pedoman “Triaji”

dalam mencari dan menentukan jodoh hanyalah “Tut Wuri Handayani”.

Di samping itu masih perlu adanya beberapa unsur yang juga perlu

dipertimbangkan tentang:

1) Jangkeping Warni, artinya memiliki wajah atau paras cantik jelita atau

lengkap untuk sang gadis dan untuk sang perjaka memiliki wajah tampan

dan bagus.

2) Rahayu ing manah, artinya berhati mulia atau jujur, setia, baik hati, hemat,

teliti, suka memaafkan, suka memberi dan hal-hal lain yang positif.

3) Wasis, artinya cepat tanggap, peka terhadap lingkungan dan dapat

memahami perasaan orang lain.

4) Mangertosi unggah-ungguh, artinya mengerti sopan santun, mampu

menahan emosi, mengendalikan diri, saling menghormati.


28

2.2.5.1 Peran Orang tua dalam Menentukan Calon Menantu

Menurut Bratawidjaja (2006:5) mengenai peran orang tua dalam

menentukan calon menantu terdapat dua pendapat yang berbeda berdasarkan

waktu yaitu periode yang pertama adalah periode sekitar tahun 1925 dan periode

sekitar tahun 2000. Masing-masing diuraikan di bawah ini.

Periode kira-kira sekitar tahun 1925-an, pada zaman itu ada istilah “Gudel

Nyusu Kebo” artinya, Gudel adalah anak kerbau, sedangkan kebo yaitu kerbau.

Jadi arti Gudel nyusu kebo adalah sesuatu yang sudah wajar, artinya yang

terkandung dalam ungkapan itu, adalah bahwa anak dalam mencari dan

menentukan jodoh harus menurut kehendak orang tua. Dengan kata lain peranan

orang tua sangat dominan, sedangkan sang perjaka dan sang gadis tidak bebas

untuk menentukan jodohnya. Dalam menentukan calon menantu atau jodoh bagi

putra-putrinya tidak terlepas dari landasan pokok yaitu bibit, bebet, dan bobot.

Yang aktif dan agresif mencarikan jodoh buat putra-putrinya adalah orang tua

sedangkan sang perjaka dan sang gadis tinggal menurut dan menerima saja.

Mencari calon menantu dalam bahasa Jawa disebut “milang-miling” dan

biasanya minta bantuan orang lain, karena kalau orang tua sendiri yang

mencarikan jodoh agaknya kurang etis. Kadang-kadang orang tua sang perjaka

telah melihat seorang gadis berwajah lumayan atau cantik dan dari keluarga baik-

baik. Orang tua yang bersangkutan dapat mengetahui bahwa gadis itu dari

keluarga baik-baik karena ada hubungan bisnis atau mungkin teman kantor dan

lain-lain hal. Orang tua yang diminta bantuan tersebut untuk daerah Kudus
29

dinamakan “Jomblang”. Untuk daerah Surakarta dinamakan “Congkok” dan

untuk daerah Kedu dan Jogyakarta dinamakan “Banjarwaru”.

Peranan Jomblang, Congkok ataupun Banjarwaru boleh dilakukan oleh

seorang Bapak maupun Ibu. Biasanya Jomblang, Congkok ataupun Banjarwaru

adalah seorang yang sudah setengah umur pandai merakit kata-kata dalam

berbicara, luwes, sopan-santun dan banyak pengalamannya. Bapak atau Ibu yang

dimintai bantuan untuk menjadi Jomblang, Congkok atau Banjarwaru biasanya

diambil dari saudara dekat atau teman akrab sudah seperti keluarga sehingga

paham betul tentang keadaan orang tua sang perjaka. Setelah ditemukan seorang

gadis yang sekiranya sudah cocok dengan keinginan orang tua untuk dijodohkan

dengan anak perjakanya terutama sang ibu, maka orang tua perjaka segera

mengutus Congkok. Sang Congkok datang ke rumah orang tua gadis untuk

membuat janji temu dengan keluarga sang gadis.

Hari, tanggal, dan waktu yang tersedia untuk mengadakan pertemuan

antara pihak keluarga perjaka dengan keluarga sang gadis dalam rangka

“nontoni”. Nontoni artinya sang perjaka ada kesempatan untuk melihat (nonton)

secara langsung sang gadis yang diinginkan orang tuanya. Pada waktu yang telah

dijanjikan, maka perjaka dengan diantar oleh keluarganya datang ke rumah orang

tua gadis.

Pada saat keluarga perjaka ngobrol atau berbincang-bincang dengan

keluarga sang gadis di ruang tamu, maka sang gadis mendapat tugas dari sang ibu,

mengantar hidangan untuk para tamu. Pada saat sang gadis menyajikan hidangan
30

itulah sang perjaka dan keluarganya ada kesempatan untuk “nonton” yaitu melihat

dari dekat. Dengan sekejab mata saja sang perjaka sudah dapat menarik

kesimpulan yaitu cocok dan tidaknya sang gadis menjadi jodohnya sang perjaka.

Dalam hal ini orang tua dan keluarga sang perjaka ikut memberi komentar cocok

atau tidak. Sehabis menghidangkan jamuan, sang gadis tidak muncul lagi, dan

akan muncul lagi pada saat para tamu dan sang perjaka minta pamit untuk pulang

ke rumah.

Setelah pihak keluarga perjaka kembali ke rumah maka langkah

selanjutnya ialah mengadakan pertemuan keluarga untuk berunding. Dalam

perundingan tersebut intinya mengambil keputusan setuju atau tidak. Apabila ada

persetujuan artinya cocok semua maka langkah berikutnya adalah melamar sang

gadis yang sudah ditontoni. Pihak keluarga sang gadis pun mengadakan

perundingan untuk membicarakan atas kedatangan keluarga sang perjaka.

Biasanya pihak keluarga sang gadis berharap adanya kecocokan dari pihak

keluarga sang perjaka. Bila harapan ini menjadi kenyataan maka pihak keluarga

sang gadis bersiap-siap untuk menerima lamaran.

Berbeda dengan era tahun 1925-an, pada zaman era baru 2000-an

memiliki kecenderungan bahwa perkembangan zaman membawa pengaruh

adanya pergeseran nilai-nilai tata kehidupan. Bila zaman dulu pepatahnya :

“Gudel Nyusu Kebo” seperti yang diuraikan. Sekarang sudah berbalik 180%

pepatahnya menjadi “Kebo Nyusu Gudel”, maknanya orang tua hanya mengikuti

kemauan sang anak saja. Peranan orang sudah bergeser ke arah “Tut wuri

handayani” saja. Sang perjaka dan sang gadis bebas dalam menentukan jodohnya
31

sedangkan orang tuanya merestui. Namun demikian prinsip-prinsip dalam

menentukan jodoh yaitu bibit, bebet, dan bobot masih memegang peranan

penting. Sementara yang berpendapat bahwa bibit masih dapat dipertimbangkan,

karena mungkin juga sang perjaka atau sang gadis dari keluarga yang kurang baik,

namun ternyata budi pekertinya baik. Hal ini perlu adanya kecermatan yang

sungguh-sungguh sehingga tidak ada penyesalan di kemudian hari. Ada pepatah

dalam masyarakat Jawa yang berbunyi “Tunggak Jarak Mrajak, Tunggak Jati

Mati artinya orang-orang yang tidak mempunyai pangkat atau kekayaan, tetapi

mendidik putra-putrinya menjadi orang baik misalnya lulus sarjana dan bekerja

denga mendapat posisi yang baik, sebaliknya orang berpangkat atau pejabat

tinggi, tokoh masyarakat, orang kaya tetapi mendidik putra-putrinya tidak

berhasil, akhirnya putra-putrinya mentalnya rusak sehingga menyusahkan orang

lain. Dengan ungkapan itu maka mengenai faktor “bibit” memang masih dapat

dipertimbangkan.

Zaman sekarang peranan orang tua tidak terlalu dominan. Hal ini

dikarenakan pemilihan dan menentukan jodoh adalah sang perjaka dan gadis

sendiri, sebab yang akan menjalani hidup berumah tangga bukan orang tua

melainkan sang perjaka dan sang gadis sendiri. Meskipun peranan orang tua tidak

lagi mendominasi, tetapi masih mempunyai pengaruh yang kuat yaitu doa dan

restu orang tua pada waktu sang perjaka dan sang gadis akan menikah. Di

samping itu masih diperlukan untuk memberi pertimbangan dan pandangan agar

tidak salah pilih. Fungsi orang tua dalam hal “Tut wuri handayani” sekedar

membantu sang perjaka dan sang gadis dalam menentukan pilihan untuk
32

memdapatkan jodoh yang baik. Bagaimana juga peran orang tua masih cukup

penting baik pada zaman dulu maupun sekarang. Bedanya kalau zaman sekarang

perjaka dan gadis bebas memilih dan menetukan jodohnya, sedang zaman dulu

hanya menerima saja.

2.3 Kerangka Berpikir

Perjodohan dalam novel Katresnan menarik untuk diteliti, karena novel

Katresnan menggambarkan kondisi sosial masyarakat Jawa yang melarang

perempuan untuk memilih jodohnya sendiri. Novel ini menggambarkan tentang

Mursiati, wanita yang berpikiran maju dan menolak untuk dijodohkan oleh orang

tuanya dengan pria dewasa, anak dari seorang mantri dari Tulungagung. Mursiati

sudah menetapkan pilihan hatinya sendiri yaitu Sutrisna, teman yang sudah lama

dikenalnya. Pendekatan pada penelitian ini menggunakan pendekatan sosiologi

sastra. Objek pada penelitian ini adalah perjodohan dalam novel Jawa Katresnan

karya Soeratman Sastradihardja dan perbandingan perjodohan yang terdapat

dalam novel dengan yang terdapat dalam masyarakat. Teori yang digunakan

dalam penelitian ini adalah teori sosiologi sastra. Teknik pengumpulan data

menggunakan metode satuan naratif. Metode satuan naratif yaitu metode yang

dilakukan dengan cara membaca novel kemudian mencatat satuan-satuan naratif

yang mengandung masalah perjodohan. Teknik analisis data menggunakan teknik

deskriptif analisis.
33

BAGAN KERANGKA BERPIKIR

Novel Katresnan karya


Soeratman Sastradihardja
memuat masalah perjodohan

Satuan - satuan naratif dalam


novel Katresnan

Persoalan perjodohan dalam


novel Katresnan
dideskripsikan dengan teori
sosiologi sastra

Analisis sosiologi sastra tentang perjodohan dalam novel Katresnan


karya Soeratman Sastradihardja
BAB III

METODE PENELITIAN

Metode penelitian digunakan untuk memecahkan masalah sebagai

kegiatan pengumpulan, pengolahan, dan penyajian data dilakukan secara

sistematis, dan objektif. Konsep-konsep yang digunakan dalam penelitian ini

mencakup pendekatan, data dan sumber data, sasaran penelitian, teknik

pengumpulan data, dan teknik analisis data.

3.1 Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan

sosiologi sastra. Pendekatan sosiologi sastra merupakan hubungan sastra yang erat

kaitannya dengan masyarakat (Wellek dan Warren, 1995:110). Novel Katresnan

merupakan potret masyarakat Jawa yang menceritakan masalah sosial yaitu

tentang perjodohan yang dikemas secara menarik dalam novel Katresnan yang

dapat dikaji dengan pendekatan sosiologi sastra dengan kondisi masyarakat dalam

novel.

Pendekatan sosiologi sastra yang digunakan dalam skripsi ini adalah

pendekatan sosiologi sastra dari Ian Watt yang menitikberatkan pada sastra

sebagai cermin masyarakat. Pengkajian isi novel Katresnan dengan sosiologi

sastra Ian Watt dilakukan dengan cara mengaitkan isi serta hal-hal yang tersirat

dengan perjodohan yang ada dalam masyarakat pada zamannya.

34
35

3.2 Data dan Sumber Data

Data dalam penelitian ini adalah persoalan perjodohan dalam peristiwa

yang dialami tokoh, maupun yang terdapat dalam alur, latar, dan penokohan yang

diduga mengandung masalah perjodohan.

Sumber data penelitian ini yaitu teks novel Jawa Katresnan karya

Soeratman Sastradihardja yang diterbitkan pada tahun 1923 dengan tebal 89

halaman dan beberapa novel sezaman yang bertemakan perjodohan untuk

menggambarkan perbandingan perjodohan yang terdapat dalam novel Katresnan

dengan yang terdapat dalam novel sezamannya.

3.3 Sasaran Penelitian

Sasaran dalam penelitian ini adalah satuan-satuan cerita yang memuat

masalah perjodohan. Perjodohan yang terdapat dalam novel Jawa Katresnan

karya Soeratman Sastradihardja dan perbandingan perjodohan yang terdapat

dalam novel dengan yang terdapat dalam novel sezamannya.

3.4 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah teknik satuan

naratif. Teknik satuan naratif dilakukan dengan cara membaca novel kemudian

mencatat data yang berkaitan dengan masalah perjodohan. Selanjutnya menelaah

studi pustaka yang relevan dan membandingkan dengan objek penelitian. Di

antaranya adalah novel Jawa Katresnan serta novel sezaman untuk mencari
36

perbandingan perjodohan yang terdapat dalam novel dengan yang terdapat dalam

novel pada zamannya.

3.5 Teknik Analisis Data

Teknik yang digunakan dalam menganalisis data menggunakan metode deskriptif

analisis. Melalui metode deskriptif analisis, data yang diperoleh dideskripsikan sesuai

dengan tujuan penelitian.

Data dalam novel Katresnan yang dikumpulkan akan dianalisis

berdasarkan teori sosiologi sastra. Analisis dilakukan dalam beberapa langkah

yaitu 1) mengidentifikasi satuan-satuan naratif, 2) mengidentifikasi masalah

perjodohan yang terdapat dalam novel sezaman, 3) men+ganalisis dengan teori

sosiologi sastra, 4) membandingkan masalah perjodohan yang terdapat dalam

novel Katresnan dengan yang terdapat dalam novel pada zamannya.


BAB IV

PERJODOHAN DALAM NOVEL KATRESNAN KARYA

SOERATMAN SASTRADIHARDJA SERTA PERBANDINGAN

PERJODOHAN DALAM NOVEL DENGAN PERJODOHAN DALAM

NOVEL SEZAMAN

Dalam kajian sosiologi sastra, sastra tidak dapat dipisahkan dengan

masyarakat. Sastra menampilkan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri

adalah kenyataan sosial yang terjadi dalam masyarakat. Dalam kehidupan

masyarakat terdapat berbagai persoalan sosial yang mempengaruhi karya sastra

dan mencerminkan suatu kondisi sosial pada saat itu. Permasalahan sosial yang

ada dalam novel Katresnan yaitu perjodohan. Nama-nama tokoh dalam novel

Katresnan karya Soeratman Sastradihardja adalah Mursiati, Sutrisna, Sundari,

Bapak dari Mursiati, Ibu dari Mursiati, Ibu dari Sutrisna. Tokoh dalam novel

Katresnan karya Soeratman Sastradihardja yang di jodohkan oleh kedua

orangtuanya adalah Mursiati dan Sutrisna. Pembahasan dalam bab IV lebih

difokuskan pada kasus perjodohan yang dialami oleh tokoh Mursiati. Perjodohan

pada novel Katresnan karya Soeratman Sastradihardja dianalisis dengan

menggunakan teori sosiologi sastra. Cakupan permasalahan yang dikaji meliputi

perjodohan yang terdapat dalam novel Katresnan dan perbandingan perjodohan

yang terdapat dalam novel dengan perjodohan yang terdapat dalam dalam novel

sezamannya.

37
38

4.1 Perjodohan dalam Novel Katresnan Karya Soeratman Sastradihardja

Novel Katresnan terdiri dari tokoh perempuan dan laki-laki yang

dijodohkan. Dalam novel tersebut pengarang menceritakan tentang tokoh

perempuan bernama Mursiati dan Sutrisna yang ditentang hubunganya karena

keduanya dijodohkan oleh orang tua masing-masing. Mursiati adalah anak dari

seorang guru yang mempunyai pemikiran adat baru dan menentang perjodohan

yang sering terjadi pada zaman itu. Mursiati yang lulus dari sekolah HIS dilarang

melanjutkan sekolah karena alasan anak perempuan yang sudah besar untuk tetap

tinggal di dalam rumah saja. Tetapi Mursiati dengan pemikiran adat baru menolak

dan ingin tetap melanjutkan sekolah ke MULO. Sedangkan Sutrisna adalah teman

Mursiati saat bersekolah di HIS. Mereka berteman akrab sudah saling suka saat

bersekolah di HIS. Sutrisna bekerja sebagai onderopzichter water staat di

Bandung dengan gaji 150 rupiah.

4.1.1 Perjodohan Karena Pemikiran Adat Lama

Perjodohan yang dialami oleh Mursiati merupakan gambaran masyarakat

pada zaman tersebut. Perempuan pada zaman tersebut dilarang untuk bersekolah

tinggi-tinggi, dilarang untuk memilih jodohnya sendiri. Mursiati dan Sundari

sangat menentang adat perjodohan tersebut. Seperti pada kutipan novel Katresnan

karya Soeratman Sastradihardja berikut.

‘“Kandhamu iku uga bener, ananging kowe rak iya wis weruh
dhewe, yen wong tuwaku isih ngenggoni adat kuna. Upama arep
njodhokake anake, kudu digolekake dhewe.’“ (Katresnan hal 26)
‘“Omonganmu memang benar, tapi kamu kan sudah tau sendiri,
kalau orang tuaku masih menggunakan adat kuna. Kalau mau
menjodohkan anaknya, harus dicarikan sendiri.’“
39

Kutipan di atas menunjukan bahwa orang tua Mursiati masih menganut

adat kuna. Pemikiran adat kuna tersebut umumnya dianut oleh orang tua pada

zaman tersebut yaitu melarang anak perempuan untuk memilih jodohnya sendiri

dan orang tua yang memilihkan calon suami untuk anaknya. Perbedaan antara

anak perempuan dengan anak laki-laki sangat ketara. Anak perempuan harus

patuh dan mau dijodohkan oleh orang tuanya. Seperti pada kutipan tersebut.

‘“Apa yen bocah wadon ora wenang milih bojo, bareng bocah
lanang diwenangake. Yagene kok dibeda-beda? Yen mangkono ora
adil banget. Nyata menawa wong wadon isih dikiwakake. Pancen
ing jaman kuna mangkono. Anak lanang padha disekolahake,
bareng anak wadon metu menyang palataran bae ora kena. Ujare
dipingit. Semono mau yen wis umur rolas taun mandhuwur.
Ananging ing jaman kamajuan beda banget. Wong tuwa
panganggepe marang anake lanang lan wadon ora kena dibeda-
beda banget.’“ (Katresnan hal 26)
‘”Teka kowe bisa celathu mangkono iku, apa kira-kira mesthi
bakal ngugemi tembungmu dhewe? Apa bakal ora gelem diomah-
omahake yen ora nocogi karepmu? Bokmanawa kowe iku duwe
mitra raket.’” (Katresnan hal 27)
‘”Wis masthi bae. Aku ora bakal gelem diolehake bocah liyane.
Bocah iku uga mangkono. Ya ben bapak lan ibu ora nglilani.
Waton aku ora gelem ngladeni bocah liyane rak uwis. Mangsa
dipatenana utawa ditundhunga minggat ya ora. Ora yen wong
tuwa tega marang anak. Wekasan amasthi nuruti panjaluke.
Watone mantep.’” (Katresnan hal 27)

‘”Apa kalau anak perempuan tidak boleh memilih suami,


sedangkan anak laki-laki diperbolehkan. Kenapa kok dibeda-
dibeda? Kalau seperti itu tidak adil sekali. Nyata kalau anak
perempuan masih dikesampingkan. Memang pada zaman dulu
seperti itu. Anak laki-laki disekolahkan, sedangkan anak
perempuan keluar ke halaman rumah pun tidak boleh. Katanya
dipinggit. Begitulah kalau sudah berumur dua belas ke atas. Tetapi
di zaman kemajuan berbeda sekali. Orang tua beranggapan
terhadap anak laki-laki dan perempuan tidak boleh dibeda-beda
sekali.’“
‘”Kamu bisa berbicara seperti itu, apa kira-kira kamu akan
memegang teguh ucapanmu sendiri? Apa kamu tidak mau
40

dinikahkan jika tidak sesuai dengan keinginanmu? Mungkin saja


kamu punya teman dekat.’”
‘”Iya tentu saja. Saya tidak mau dijodohkan dengan orang lain.
Orang itu juga harus begitu. Ya terserah kalau bapak ibu tidak
merestui. Yang penting saya tidak mau meladeni orang itu.
Dibunuh atau diusir pergi ya tidak. Tidak mungkin orang tua tega
kepada anak. Akhirnya pasti menuruti keinginannya. Yang penting
mantap.’”

Bukan hanya Mursiati, Sundari yang merupakan teman dari Mursiati

ketika bersekolah di MULO jelas menentang dan merasa tidak adil serta merasa

dibedakan karena harus menerima pilihan suami yang dipilihkan oleh orang tua

karena Sundari terlahir sebagai seorang perempuan, sedangkan pada kaum laki-

laki diperbolehkan untuk memilih sendiri. Sundari yang merasa dirinya

bersekolah ingin seperti kaum laki-laki yaitu bebas memilih sendiri suaminya.

Kegigihan Mursiati yang ingin terus bersekolah dan berpikiran maju mendapat

pujian dari para Priyayi. Seperti pada kutipan di bawah ini.

‘”.... Para priyayi kang maju marang kawruh, ngalem banget


ndeleng lelakone Mur mau, anake wadon padha dituladhakake,
malah akeh kang celathu mangkene, “Mbok wong wadon Jawa
kabeh nduweni engetan lan tekad kaya Mur, malah saya akeh kang
ngluwihi semono. Ananging, mungguh kanggone jaman saiki, kaya
mangkono wae wis ngarah apa.’” (Katresnan hal 48)
‘”.... Para priyayi yang berpikiran maju, memuji sekali melihat
perjuangan Mur, anak perempuanya dididik seperti itu, malah
banyak yang berbicara seperti ini, “jika semua perempuan Jawa
memiliki pengetahuan dan tekad seperti Mur, pasti semakin lama
semakin banyak yang melebihi itu. Tetapi, untuk jaman sekarang,
seperti itu saja dikira apa.’”

Para priyayi memberikan banyak pujian kepada Mursiati karena

kegigihan dalam menentang adat lama tersebut. Anak perempuan yang menentang

adat lama tersebut akan dipandang tidak baik oleh masyarakat awam. Karena

zaman itu anak perempuan ketika sudah beranjak dewasa dan memasuki tahap
41

perjodohan mereka akan dipingit dan patuh kepada orang tua untuk urusan

perjodohan. Tetapi Mursiati tidak mau menuruti apa yang kebanyakan terjadi

pada anak perempuan pada umumnya dan terus ingin bersekolah. Para priyayi

berharap semakin banyak anak perempuan yang mengikuti kegigihan Mursiati.

4.1.2 Perjodohan Berdasarkan Bibit, Bebet dan Bobot

Bibit, bebet, dan bobot adalah filosofi Jawa yang berkaitan dengan kriteria

mencari jodoh atau pasangan hidup. Filosofi ini dipakai untuk memperoleh

gambaran tentang kriteria calon jodoh. Berkenaan dengan pasangan hidup, orang

Jawa sangat berhati-hati dalam mencari siapa yang akan bersanding sebagai

pasangannya dalam mengarungi bahtera kehidupan.

Hal ini karena memilih pasangan hidup yang ideal adalah salah satu

bagian terpenting dalam perjalanan hidup seseorang yang ingin berumah tangga

dan berketurunan. Sebab kesalahan memilih pasangan yang dinikahi dapat

berdampak buruk pada kualitas hidup pribadi, anak, dan keluarga di masa depan.

Kata pepatah ‘“Malapetaka besar yang dialami oleh seseorang adalah ketika ia

salah memilih siapa yang menjadi pasangan hidupnya.’“

Dalam novel Katresnan diceritakan bahwa Mursiati dan Sutrisna teman

sejak mereka masih bersekolah di HIS. Mereka bertemu kembali setelah Mursiati

masih bersekolah di MULO. Selama itu mereka sudah memiliki perasaan satu

sama lain. Akan tetapi, orang tua Mursiati sangat pemilih dalam menentukan

calon menantunya. Berikut percakapan antara Mursiati dengan bapaknya.

‘“Sing kira-kira daktampani yaiku putrane Mas Mantri ing


Tulungagung, kang saiki dadi klerk ing kantor pos Surabaya. Iku
42

dhek biyen iya sekolah MULO kaya dene kowe. Bayare saiki wis
satus seket rupiyah.’“ (Katresnan hal 49)
‘“Yang sekiranya bapak terima yaitu anaknya Mantri dari
Tulungagung, yang sekarang jadi klerkdi kantor pos surabaya.
Anaknya dulu iya sekolah di MULO sama seperti kamu.
Penghasilannya sekarang sudah 150 rupiah.’“

Calon yang ingin dijodohkan dengan Mursiati adalah seorang anak Mantri

dari Tulungagung yang sekarang bekerja di kantor pos Surabaya dengan gaji 150

rupiah. Orang tua Mursiati sangat menyukai calon menantunya. Selain dari

pekerjaannya, calon menantunya ini juga berasal dari keluarga yang masih

memiliki ikatan saudara. Orang Jawa zaman dahulu, dalam memilih calon

menantunya lebih memilih keluarga yang masih memiliki ikatan saudara

ketimbang keluarga yang tidak memiliki ikatan saudara. Hal itu dikarenakan

apabila masih memiliki ikatan saudara, sudah jelas antara bibit, bebet, dan

bobotnya.

Selain mengetahui keluarganya, hal lain dalam menentukan calon menantu

adalah mengetahui bagaimana perilakunya, pendidikan, pekerjaan, maupun

wataknya. Seperti percakapan orang tua Mursiati yang sedang membahas lamaran

Sutrisna dalam kutipan berikut ini.

‘“Iya, karo maneh wong bocah iku ora ana gandhengane babar
pisan karo kene, tegese ora ana ambu-ambune sadulur. Mangka
karepku, sabisa-bisa golek sing isih sanak dhewe.’“
‘“Aku uga mangkono. Ananging, mungguh kahanane bocah iku
dhek biyen, nalika ana sekolahan apa iya becik?’“
Anake lanang, kang dadi arsitek ana ing Ngayogya, kang lagi
mbeneri ana ngomah sarta uga milu ngrungokake, mangsuli
pitakone bapakne, ‘“Menawi sinaunipun majeng, boten kether.”'
43

‘“Lah mungguh wateke, apa duwe kasenengan kang ora patut,


kaya ta main, dhemen dolan bengi lan sapepadhane?’“
‘”Menawi prakawis punika sapamireng kula, boten. Malah kula
mireng kabar, yen gething sanget dhateng dolanan kertu
sasaminipun, punapa malih dhateng tiyang estri ingkang kluyuran
dalu-dalu turut margi. Inggih boten sengit dhateng tetiyang
ingkang remen main utawi karoyalan sanesipun; ingkang
dipunsingkiri punika lampahipun ingkang awon. Cekakipun lare
punika tebih kaliyan lampah maksiyat.’”
‘”Ananging, bocahe semu rada anggak, rak iya ta?’”
‘”O,boten, Bapak. Ketingalipun pancen leres mekaten, punapa
malih menawi ingkang dereng tepang, mesthi mastani anggak,
ananging sayektosipun boten. Yen sampun kempal kumraket
sanget. Ingkang murugaken ketingal anggak punika rak tandang-
tandukipun utawi lampahipun, awit pancen sampun bektan. Tiyang
ingkang anggak punika limrahipun tiyang ingkang ngleneng,
rumaosipun boten wonten ingkang nandhingi ing sadayanipun,
boten purun kempal kaliyan ngandhapipun, ladak ing pangucap
lan sasaminipun.’” (Katresnan hal 53)

‘“Iya, apalagi anak itu tidak ada hubungan sama sekali dengan
kita, tidak ada hubungan saudara. Oleh karena itu, keinginanku
kalau bisa cari yang masih ada hubungan saudara dengan kita.’“
‘“Aku juga begitu. Tetapi, keadaan anak itu zaman dahulu ketika di
sekolah apa iya baik?’“
Anak laki-lakinya, yang menjadi arsitek di Yogya, yang sedang
kebetulan ada di rumah juga ikut mendengarkan, menjawab
pertanyaan ayahnya, ‘“kalau sekolahnya rajin, tidak malas.’”
‘“Lha dengan melihat wataknya, apa punya kebiasaan yang tidak
baik, seperti main (judi) suka main malam dan sebagainya?’“
‘” Kalau masalah itu setahu saya, tidak. Malah saya mendengar
kabar, kalau benci sekali dengan bermain kartu dan sebagainya,
apalagi dengan anak perempuan yang suka keluyuran malam-
malam di jalan. Juga bukanya benci dengan orang-orang yang suka
berjudi atau kesenangan lainya, yang dijauhinya adalah perbuatan
yang buruk. Intinya anak itu jauh dari perbuatan maksiat.’”
‘”Tetapi, anaknya itu agak sombong, iya kan?’”
‘”O, tidak bapak. Kelihatanya memang seperti itu, apalagi kalau
belum kenal, pasti dikira sombong, tetapi sebenanrnya tidak. Kalau
sudah bersama akrab sekali. Yang membuat terlihat sombong
44

bukan sikapnya, karena memang sudah seperti itu. Orang yang


sombong itu merasa tidak ada yang bisa menandingi dalam segala
hal, tidak mau berkumpul dengan orang yang dibawahnya. Sinis
dalam berbicara dan sebagainya.’”
4.1.3 Perjodohan Karena Paksaan Orang Tua

Kepuasan orang tua nampak dinyatakan oleh kepatuhan anak-anak mereka

terhadap keinginan dan perintahnya. Tentu saja mereka tidak hanya

mengharapkan agar anak-anaknya kelak mendapatkan jodoh yang serasi, tetapi

juga agar anak-anak mereka dihormati dan mendapatkan kesuksesan dalam

kehidupan. Mereka kerap menjodohkan anaknya dengan seseorang yang dianggap

pantas mendampingi anak mereka. Orang tua yang memiliki anak dalam usia

matang tentu tidak akan membiarkan anaknya memilih jodoh yang sembarangan

dalam arti tidak sesuai dengan keinginan orang tua.

Kecenderungan yang menyebabkan orang tua mengatur jodoh anak bisa

bervariasi dari segi budaya. Salah satunya yaitu seorang anak perempuan yang

sudah siap menikah biasanya berumur 15 tahun. Seperti pada kutipan berikut.

‘”.... Mulane kowe dakundang mulih banget-banget, sajatine


mangkene. Kowe rak iya wis rumangsa dhewe, yen wis gedhe sarta
wis wayahe ngladeni wong lanang. Saka panjalukku, kowe
nyopota.’”
Ibune nyambungi,‘”Iya ta Ndhuk, tekan samono rak wis tutug
anggonmu nyambut gawe.’”
‘”Awit satemene wis akeh banget kang nakokake marang
awakmu.’”
‘”Bapak utawi Ibu, menawi kula kadhawuhan enggal-enggal
ngladosi tiyang jaler dereng kajeng, awit ing wekdal punika umur
kula saweg wolulas taun. Dados dereng wancinipun.’”
45

Ibune celathu,‘“Wong wolulas taun kok durung wayahe. Gek


mesthine yen wis umur pira? Saka panimbangku, umur semono iku
wis ketuwan, awit lumrahe umur limalas utawa nembelas.’“
‘”Saking kajeng kula menawi sampun umur kalih dasa, Ibu.
Sapunika ugi ndherek kapacangake, ananging mugi kaparingan
priksa, sinten larenipun jaler punika?’”(Katresnan hal 49)

‘”Makanya kamu bapak suruh pulang secepatnya, karena begini.


Kamu kan sudah merasa, kalau kamu sudah besar dan sudah
waktunya mengurusi laki-laki. Bapak minta kamu keluar dari
pekerjaanmu.’”
Ibunya menambahkan, ‘”iya sudah ndhuk, sampai di situ saja kamu
bekerja.’”
‘”Karena sebenarnya sudah banyak sekali yang menanyakan
kamu.’”
‘”Bapak atau ibu, kalau saya disuruh cepat-cepat menikah saya
belum bisa, karena umur saya masih delapan belas tahun. Jadi
belum waktunya.’”
‘”Delapan belas tahun kok belum waktunya. Harusnya kalau
sudah umur berapa? Dari pandanganku, umur delapan belas tahun
itu sudah terlalu tua, karena umumnya umur lima belas atau enam
belas tahun.’”
‘”Saya bersedia kalau sudah umur dua puluh, Ibu. Begitu juga jika
dijodohkan, tetapi saya ingin tahu siapa laki-laki tersebut?

Kutipan di atas menujukkan bahwa seorang anak perempuan harusnya

menikah di usia lima belas atau enam belas tahun. Apabila sudah melebihi umur

tersebut, seorang perempuan akan dianggap terlalu tua untuk menikah.

Orang tua Mursiati meminta Mursiati untuk segera keluar dari pekerjaanya

di Madiun karena sudah banyak orang yang melamar Mur sampai-sampai orang

tua Mursiati bingung untuk menerimanya. Karena merasa umur Mursiati sudah

cukup untuk menikah, orang tua Mursiati memaksa Mur untuk keluar dari

pekerjaan. Tetapi Mursiati masih senang sekali untuk bekerja sehingga ia tidak

mau keluar dari pekerjaan.


46

Paksaan dari orang tua untuk menerima pilihan dari orang tua adalah

gambaran masyarakat pada abad 19. Orang tua pada saat itu memaksakan anaknya

untuk menikah dikarenakan untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.

Pada masa itu, anak cenderung menurut pada keinginan orang tua tanpa

perlawanan. Tetapi Mursiati tidak takut untuk mengutarakan penolakannya

terhadap aturan yang ada di lingkungan masyarakat yaitu kebiasaan para orang tua

menjodohkan anaknya.

Menolak untuk dijodohkan adalah salah satu hal yang wajar, tetapi

penolakan tersebut hendaknya disampaikan dengan cara yang baik dan bijak. Jika

diungkapkan dengan agresif tentu dapat mengakibatkan konflik antara orang tua

dan anak. Sikap yang ditunjukan Mursiati ketika mendengar orang tuanya yang

ingin menjodohkan dirinya dengan seorang anak mantri dari Tulungagung yaitu

Mursiati menolak dengan bahasa yang halus dan masih menghormati orang

tuanya. Seperti pada kutipan berikut.

‘“O Bapak, bok sampun enggal-enggal nampeni panglamar, awit


dereng kantenan bilih nocogi manah kula. Punapa malih menawi
kula dereng nate sumerep dhateng larenipun wau, menggah warni
utawi watak-watakipun.’“ (Katresnan hal 50)
Ibune celathu,‘”Lo, aja kaya mangkono, awit bocah wadon iku
weruhe mung kudu manut. Sing wajib milihake rak wong tuwa.
Anggere wong tuwa wis padha dhemen, ya wis.’“
‘”Inggih sapinten dukanipun Bapak tuwin Ibu, kula matur, bilih
saking pangraosipun manah, kula boten saged dherek karsanipun
Bapak.’”
‘”Lo yagene, apa kowe wis weruh marang bocah iku, teka bisa
mesthekake yen ora seneng?’”
‘”Inggih dereng, saleresipun namung saking dereng remen
ngladosi tiyang jaler.’”
‘”Sanajan mangkono, rak durung bisa masthekake, ora arep
tegese nampik.’”
47

‘“O Bapak, kenapa kok cepat-cepat menerima lamaran, belum


tentu hati saya cocok. Apalagi kalau saya belum pernah melihat
anaknya, baik wajahnya atau pun sifatnya.’“
Ibu berkata,‘”Lo, jangan seperti itu, karena anak perempuan itu
hanya bisa patuh. Yang wajib memilih yaitu orang tua. Kalau
orang tuanya sudah saling suka, ya sudah.’”
‘”Seberapa marahnya bapak dan ibu, saya bilang, dari perasaan
saya, saya tidak bisa menuruti keinginan bapak.’”
‘”Lo kenapa, apa kamu sudah pernah melihat anak itu, sudah bisa
memastikan kalau tidak suka?’”
‘”Iya belum, sebenarnya hanya belum mau meladeni laki-laki.’”
‘”Meskipun begitu kan belum bisa memastikan, bukanya
menolak.’”

Mursiati belum pernah melihat orang yang akan dijodohkan dengannya.

Butuh waktu untuk lebih dulu mengenal. Tetapi orang tuanya sangat

menginginkan supaya Mursiati mau dijodohkan dengan anak mantri dari

Tulungagung. Orang tua Mursiati terkesan memojokan Mursiati dengan

mengancam mereka akan malu kepada masyarakat sekitar apabila mursiati

menolak dijodohkan dengan pilihan orangtuanya yang masih bersaudara, karena

orangtua Mursiati sudah menerima lamaran dari seseorang yang masih bersaudara

tanpa adanya persetujuan dari Mursiati sendiri. Berkali-kali orangtua Mursiati

meminta Mur untuk keluar dari pekerjaanya, sehingga orangtuanya terpaksa

pulang pergi ke Madiun untuk menjemput Mursiati.

‘”.... Sanajan bapakne meksa ngajak mulih, nanging Mur tansaya


semaya. Bareng perlune wis rampung, bapakne bali mulih
menyang Panaraga. Ana ing omah nyaritakake kabeh celathune
Mur marang bojone. Ibune uga susah ngrasakake. Ananging
kepriye maneh, sanajan Mur ora gelem, saka karepe wong tuwane
meksa arek dipeksa, amarga rembug wis kebacut digawe dadi.’”
‘”... Saya suwe, dina tempuking gawe saya cedhak, ananging
angger anake dikirimi layang dikon mulih, wangsulane durung
bisa. Bapakne nganti kepeksa marani maneh karo ibune menyang
Madiun. Satekane ing kono, anake uga disrengeni akeh-akeh.
48

Cekake gelem ora gelem, Mur bakal dikon nglakoni karepe wong
tuwane, jalaran wirang banget upama mbalekake rembug kang
saka Tulungagung.’”

‘”.... Meskipun ayahnya memaksa pulang, tetapi Mur terus


mengelak. Sesudah keperluannya selesai, bapaknya pulang ke
Panaraga. Di rumah bapaknya menceritakan semua obrolannya
dengan Mur kepada istrinya. Ibunya juga merasa susah. Tetapi
bagaimana lagi, walaupun Mur tidak mau, dari keinginan orang
tuanya kekeh akan dipaksa, karena lamaran sudah terlanjur dibuat
jadi.”’
‘”.... Semakin lama hari perjodohanya semakin dekat, tetapi setiap
kali anaknya (Mur) dikirimi surat disuruh pulang, jawabanya belum
bisa. Bapaknya sampai terpaksa mendatanginya lagi bersama
ibunya ke Madiun. Sesampainya di situ, Mur dimarahi habis-
habisan. Intinya mau tidak mau, Mur akan tetap dipaksa menuruti
keinginan orang tuanya karena malu sekali jika membatalkan
perjodohan dari Tulungagung.’”
Dari kutipan di atas menunjukan bahwa bagaimana orang tua memiliki

kekuasaan dalam menentukan pasangan untuk anak mereka. Orang tua Mur sudah

terlanjur menerima lamaran dari Tulungagung dan akan membuat malu keluarga

jika lamaran tersebut dibatalkan.

4.1.4 Penolakan Mursiati

Zaman sekarang dalam mencari dan menentukan jodoh ditentukan oleh

calon pasangan yang bersangkutan. Namun demikian orang tua perlu memberi

nasehat dan petunjuk kepada putra-putrinya dalam mencari dan menentukan jodoh

agar tidak salah pilih. Pada umumnya orang tua menginginkan agar putra-putrinya

mendapatkan jodoh yang serasi agar dalam membangun keluarga mendapatkan

kebahagian. Berbeda dengan pemikiran orang tua Mursiati yang masih

menggunakan adat jaman dahulu dengan menjodohkan anaknya untuk masa


49

depan yang lebih baik, tetapi pemikiran Mursiati bertolak belakang dengan

orangtuanya, mursiati menganggap bahwa perjodohan yang dipaksa hanya akan

memjadikan rumah tangga tidak harmonis. Seperti beberapa kutipan percakapan

Mursiati dengan bapaknya di bawah ini.

‘“Boten kadosa, Bapak. Kula rak sampun matur, bilih ing wekdal
punika dereng remen ngladosi tiyang jaler. Punapa malih kula
sampun gadhah panuwun, supados rembag ingkang saking
Tulungagung punika boten kadadosaken. Ing wasana semu-
semunipun sapunika sampun mateng sanget.’“ (Katresnan hal 60)
‘“Apa kowe kira-kira arep mbadal sing dadi prentahku lan karepe
ibumu?’“ (Katresnan hal 61)
‘“Inggih boten, bapak, ananging kados pundi pamurihipun tiyang
dipunpadosaken jodho? Punapa kapurih rukunipun punapa
crahipuin? Awit menawi kula yektos dipunroda peksa,
kaangsalaken lare ingkang kula boten remen, punika prasasat
dipunpurih boten rukunipun.’“ (Katresnan hal 61)
‘“Apa kowe nedya ora gelem temenan dakolehake bocah mau? Yen
mangkono kowe bakal gawe isine wong tuwa, amarga rembug iku
wis dakgawe dadi.’“ (Katresnan hal 61)
‘“Kula rak ugi sampun matur langkung rumiyin sampun enggal-
enggal anampeni panglamar, awit Katresnan boten kenging
dipunpeksa lan ugi boten kenging dipunpedhot.’“ (Katresnan hal
61)

‘“Bukan begitu bapak. Saya kan sudah bilang, waktu itu saya
belum mau ngladeni laki-laki. Apalagi saya sudah minta supaya
lamaran dari Tulungagung dibatalkan. Sehingga kelihatannya
sudah sangat matang.
‘“Apa kamu mau membangkang perintah bapak dan keinginan
ibumu?
‘“Tidak bapak, tetapi bagaimana perasaan orang yang dicarikan
jodoh? Apakah nantinya akan rukun? kalau saya dipaksa dan
dijodohkan dengan anak yang tidak saya suka, itu akan senantiasa
dicari ketidak rukunnya.
50

‘“Apa kamu serius tidak mau dijodohkan dengan anak tadi? Kalau
begitu kamu bisa menjadikan bapak dan ibu malu, karena lamaran
itu sudah jadi.
‘“Saya kan sudah bilang lebih dulu jangan cepat-cepat menerima
lamaran, karena cinta tidak bisa dipaksa dan juga tidak boleh
diputus.

Dari kutipan di atas terlihat Mursiati walaupun sedih tetapi tetap

menghormati orang tuanya. Kegigihan Mursiati untuk menolak perjodohan

tersebut sangat kuat karena Mursiati memiliki pilihan sendiri. Perjodohan yang

dilakukan orang tua untuk anak, hanyalah salah satu jalan untuk menikahkan

anaknya itu dengan seseorang yang dianggap tepat menurut mereka. Padahal tepat

menurut orang tua belum tentu tepat menurut sang anak. Seperti penggalan surat

Mursiati yang dikirimkan kepada Sutrisna.

‘“.... Sanajan anak mesthine manut wong tuwa, ewa samono yen
prakara iki, aku ora bisa manut. Ya sapira dukane wong tuwa, ora
dadi apa, watone aku ora nglakoni penggawe ala. Ora bakal sudi
ngladeni pamilihane wong tuwaku.’“(Katresnan hal 65)
‘“.... Walaupun anak seharusnya patuh kepada orang tua, kalau
masalah ini, saya tidak bisa patuh. Semarah-marahnya orang tua,
tidak apa-apa, yang penting saya tidak melakukan hal yang buruk.
Saya tidak akan menuruti kemauan dan pilihan orang tua.’“

Penolakan Mursiati tidak hanya diucapan, tetapi dengan sikap pula.

Sikapnya yang tidak mau perduli dengan keinginan orang tuanya yang

menginginkan untuk segera keluar dari pekerjaanya. Seperti pada kutipan di

bawah ini.

‘”.... Satekana ing omah, Mursiati rada disrengeni wong tuwane


jalaran diundang mulih ora teka-teka, dipurih nyopot ora gelem.
Antara sadina Mursiati bali maneh menyang Madiun. Wiwit nalika
iku nganti sataun ora gelem mulih, sanajan diundang utawa
51

diparani wong tuwane iya puguh, nganti anggone arep dadi


penganten karo bocah Tulungagung diwurungake.’” (Katresnan
hal 85)
‘”.... Sesampainya di rumah, Mursiati dimarahi orang tuanya
karena disuruh pulang tetapi tidak kunjung pulang, dipaksa keluar
tidak mau. Dihari yang sama Mursiati pergi lagi ke Madiun. Sejak
itu sampai setahun tidak mau pulang, walaupun disuruh pulang
atau dijemput orang tuanya tetapi ia kekeh, sampai-sampai
pernikahan dengan anak Tulungagung dibatalkan.’”
4.1.5 Penolakan Sutisna

Penolakan yang dilakukan oleh Mursiati dalam hal ini adalah kasus

perjodohan yang dialami olehnya juga dilakukan oleh sang kekasih, yaitu

Sutrisna. Penolakan tersebut dilakukan ketika dalam pembicaraan antara Sutrisna

dengan orangtuanya yaitu pada Ibunya sendiri. Ibu Sutrisna mengharapkan agar

putranya menikah dengan yang masih saudara, supaya mempersatukan

persaudaraan, bukan hanya itu saja Ibunya juga memastikan bahwa pilihannya

tersebut cocok dijadikan istri oleh Sutrisna. Seperti kutipan berikut

‘“Isih sanakmu dhewe. Yen kowe gelem, ngiras ngumpulake balung


pisah. Mungguh saya, wis seneng banget marang bocah iku.
Sapisan, anteng. Kapindho, iya sekolah, lan kaping telune,
mungguh pegaweyan kuwajibaning wong wadon uga wis mangerti
sathitihik-sathithik.’“ (Katresnan hal 39)

‘“Masih saudara sendiri. Kalau kamu mau, mempersatukan


persaudaraan. Menurut saya, sudah merasa cocok dengan anak
itu. Pertama, anaknya pendiam. Kedua, iya sekolah, dan ketiga,
sudah menjadi kewajibannya seorang perempuan mengetahui
sedikit-sedikit pekerjaannya.’“
Orang tua Sutrisna menekankan dengan berpendapat bahwa perempuan

cukup bisa membaca dan menulis saja, karena kelak apabila istri atau menantu

terlalu pintar bisa menyebabkan pembangkangan terhadap suami dan keluarga,

jelas pendapat orangtua Sutrisna terpapar pada kutipan di bawah ini.


52

‘“Lah bocah wadon wae anggere wis bisa maca lan nulis sawatara
rak wis cukup. Saya ora dhemen yen duwe mantu pinter-pinter
banget, awit mengko banjur sawiyah-wiyah marang wong
lanang.’“ (Katresnan hal 40)
‘“Yen panemuku, iya wis babag karo kowe. Apa maneh isih sanak.
Dadi kayamu ora keliya. Tur wong tuwane iya wis becik banget
karo saya, prasasat sadulur tunggal bapak biyung.’“ (Katresnan
hal 40)

‘“Lha anak perempuan kalau sudah bisa baca dan tulis kan sudah
cukup. Saya tidak suka kalau punya menantu yang terlalu pintar,
karena nanti bisa sewenang-wenang terhadap laki-laki.’“
‘“Kalau pendapatku, sudah cocok denganmu. Apa lagi masih
saudara. Jadi tidak akan keliru. Dan orang tuanya juga sangat baik
terhadap ibu, sebagai saudara tunggal bapak dan ibu.’“

Sutrisna dengan tegas menolak perjodohan yang dilakukan oleh orang

tuanya, dengan beralasan bahwa perempuan yang dijodohkan belum nalar, apalagi

dengan pendidikan hanya tamat kelas 4, sebagai laki-laki Sutrisna menuturkan

bahwa laki-laki dicarikan istri oleh orangtuanya akan menyebabkan kondisi yang

tidak akan rukun. Seperti kutipan dibawah ini menunjukan Sutrisna dengan tegas

menolak perjodohan yang akan dilakukan oleh ibunya.

‘“Menawi pancen sanak piyambak, kula boten purun yektos, Bu.


Kaliyan dereng kantenan, yen kula tresna dhateng lare punika, lan
larenipun dereng mesthi yen remen dhateng kula. Mangka kula
boten niyat rabi, yen boten nocogi manah kula piyambak sarta
larenipun estri boten tresna dhateng kula. Boten dados punapa
panjenengan kelajeng sae kaliyan tiyang sepuhipun, punika boten
magepokan babar pisan kaliyan badan kula.’“ (Katresnan hal 40)
‘“Ah wong golek bojo kok golek dhewe, kurang prayogane.’“
(Katresnan hal 40)
‘“Kula boten condhong sanget tiyang laki-rabi dipunpadosaken
dening tiyang sepuh punika, awit mesthi badhe njalari boten rukun.
Sanajan tiyang sepuhipun boten rila, ananging upami larenipun
adreng, rak inggih kelampahan.’“ (Katresnan hal 41)
‘“Sanajan pituuturing para sepuh, anak punika kedah manut,
ananging saka pamanggih kula, menawi prakawis laki-rabi boten
kenging anak kapeksa manut pamilihing tiyang sepuh, awit sanajan
53

tiyang sepuh cocog, dereng kantenan yen larenipun seneng.


Ingkang sampun asring kelampahan, yen lare estri gadhah sir
dhateng satunggaling jaler boten kedumugen, amargi kapeksa
kaangsalaken pamilihipun tiyang sepuh, lajeng boten tresna
dhateng larenipun jaker. Terkadhang dipunajak rembagan
kemawon boten purun, punaka malih ngladosi. Yen mekaten
larenipun jaler mesthi kemawon lajeng gela. Lah, dadosaken boten
atut. Upami saged atut sakedhap, ugi gampil dadosipin crah, awit
pancen sami boten gadhah Katresnan ingkang mantep.’“
(Katresnan hal 41)

‘“Kalau memang masih saudara sendiri, saya tidak mau,Bu. Kalian


belum mengetahuinya, kalau saya mencintai anak itu, belum tentu
anak itu juga mencintai saya. Padahal saya belum niat menikah
kalau tidak sesuai dengan hati saya dan ternyata anak perempuan
tersebut tidak mencintai saya. Tidak apa-apa jika ibu masih
berhubungan baik dengan orang tuanya, dan saya tidak memaksa
sama sekali.’“
‘“Ah kurang baik kalau mencari calon istri sendiri.’“
‘“Saya tidak setuju sekali jika laki-laki menikah tetapi dicarikan
oleh orang tua, karena pasti menyebabkan tidak rukun. walaupun
orang tua tidak rela, tapi kalau anaknya sudah berniat, pasti akan
kesampaian.’“
‘“Walaupun menurut orang tua, anak itu harus patuh, tetapi
pendapat saya kalau masalah menikah anak tidak boleh terpaksa
menuruti pilihan dari orang tua, walaupun orang tua cocok belum
tentu anaknya senang. Yang sudah sering terjadi, kalau anak
perempuan itu mempunyai rasa suka terhadap laki-laki lain dan
tidak keturutan, karena terpaksa untuk memilih laki-laki pilihan
orang tuanya yang tidak dicintainya. Terkadang diajak untuk
berembug saja tidak mau, apalagi meladeni. Tentu saja laki-laki
tersebut merasa menyesal dan menjadikan tidak rukun. Seumpama
bisa rukun hanya sebentar, bisa juga menjadi masalah, sebab
memang tidak mempunyai rasa cinta yang mendalam .’“
Perjodohan atas dasar paksaan akan menyebabkan ketidak rukunan dalam

rumah tangga, karena dalam masyarakat khususnya para orang tua cenderung

memaksakan kehendaknya atas perjodohan anaknya. Akibatnya banyak pasangan

pada masa itu mengalami pertikaian karena alasan sepele. Seperti suami yang

tidak mencintai isterinya. Begitu pula isteri yang tidak mau melayani atau
54

menjalankan tugasnya sebagai seorang isteri. Oleh sebab itu, Sutrisna tidak mau

dijodohkan dengan pilihan ibunya karena yang dicintainya adalah Mursiati.

4.1.6 Peran Orang Tua Dalam Perjodohan Mursiati

Menurut Bratawidjaja (2006:5) mengenai peran orang tua dalam

menentukan calon menantu terdapat dua pendapat yang berbeda berdasarkan

waktu yaitu periode yang pertama adalah periode sekitar tahun 1925 dan periode

sekitar tahun 2000. Dalam kaitannya dengan penelitian ini, peran orang tua dalam

perjodohan Mursiati berdasarkan waktu yaitu periode yang pertama, periode ini

adalah periode sekitar tahun 1925. Karena peranan orang tua lebih dominan,

sedangkan anak tidak bebas menentukan jodohnya

Peran orang tua dalam menjodohkan anaknya sangat terlihat ketika orang

tua Mursiati memaksakan untuk menjodohkan Mursiati dengan calon yang sudah

dipilihkan. Walapun adanya penolakan dari Mursiati yang masih kukuh pada

pendiriannya, untuk menolak dijodohkan. Dari penolakan Mursiati di sini, terlihat

ketika orang tua Mursiati berusaha susah payah sampai pergi ke daerah Madiun

(tempat Mursiati bekerja) untuk menjemput Mursiati pulang ke Panaraga. Seperti

yang terlihat pada kutipan narasi berikut ini.

‘“.... Bareng perlune wis rampung, bapakne bali mulih menyang


Panaraga. Ana ing omah nyaritakake kabeh celathune Mur
marang bojone. Ibune uga susah ngrasakake. Ananging kepriye
maneh, sanajan Mur ora gelem, saka karepe wong tuwane meksa
arep dipeksa, amarga rembug wis kebacut digawe dadi.’“
‘“.... Bapakne nganti kepeksa marani maneh karo Ibune menyang
Madiun. Satekane ing kono, anake uga disrengeni akeh-akeh.
Cekake gelem ora gelem, Mur bakal dikon nglakoni karepe wong
55

tuwane, jalaran wirang banget upama mbalekake rembug kang


saka Tulungagung.’“
‘“.... Sesudah keperluannya selesai, bapaknya pulang ke Panaraga.
Di rumah bapaknya menceritakan semua obrolannya dengan Mur
kepada istrinya. Ibunya juga merasa susah. Tetapi bagaimana lagi,
walaupun Mur tidak mau, dari keinginan orang tuanya kekeh akan
dipaksa, karena lamaran sudah terlanjur dibuat jadi.’“
‘“.... Sampai bapaknya terpaksa menyusul bersama ibunya ke
Madiun. Sesampainya di situ, anaknya (Mur) dimarahin habis-
habisan. Mau tidak mau, Mur akan disuruh melakukan keinginan
orang tuanya, karena akan menjadikan bahan perbincangan
seumpama lamaran tersebut dikembalikan ke Tulungagung.’“
Kegigihan orang tua Mursiati akhirnya pupus. Semakin lama bisa

menerima pilihan dari Mursiati. Seperti kutipan di bawah ini.

‘”.... Saking mantepe Mursiati marang Sutrisna, lawasing-lawas


wong tuwane mupus, awit mangerti yen sedyane anake ora
kaowahan. Kaya bakal agawe rusaking pamikire, upama ora
katurutana karepe. Kang mangkono mau wong tuwane nuli
nduweni welas marang anake, lan banjur nayogyani karepe bocah
sakloron.’”(Katresnan hal 86)
‘”.... Dayaning karukunan agawe santosaning wong jejodhoan lan
agawe resepe kang padha ndulu. Wong tuwa kang maune ora
rembug, ing saiki milu bungah, dene anake atut-runtut. Wekasan
duwe panemu, yen pamilihe bocah dhewe kerep luwih prayoga
kadadeyane tinimbang pangroda paksane wong tuwa.’”
‘”.... Karena mantapnya Mursiati kepada Sutrisna, lama- kelamaan
orang tuanya luluh, karena mengetahui jika anaknya tidak akan
berubah. Pikiran ini seperti rusak, apabila keinginannya tidak
dituruti. Hal seperti itu orang tuanya merasa kasihan dengan
anaknya, lalu menyetujui keinginan mereka berdua.’”
‘”.... Kuatnya kerukunan akan membuat jejodohan menjadi sentosa
dan membuat senang orang yang menjalaninya. Orang tua yang
mulanya tidak setuju, sekarang ikut senang, anaknya rukun.pada
awalnya, kalau pilihannya anak lebih baik daripada mengikuti
paksaan dari orang tua.’”
4.1.7 Perjodohan Karena Orang tua Ingin yang Terbaik
56

Salah satu alasan perjodohan yang dilakukan oleh orang tua yaitu

ketakutan orang tua apabila anaknya mendapatkan pasangan yang tidak baik.

Misalnya apabila anaknya mendapatkan pasangan yang kurang mampu dari segi

ekonomi. Semua orang tua pasti menginginkan calon pasangan hidup yang terbaik

untuk anaknya. Begitu juga orang tua Mursiati dan Sutrisna. Orang tua Mursiati

ingin Mursiati mendapatkan pasangan yang pekerjaan dan penghasilanya

mencukupi. Seperti kutipan di bawah ini.

‘“Sing kira-kira daktampani yaiku putrane Mas Mantri ing


Tulungagung, kang saiki dadi klerk ing kantor pos Surabaya. Iku
dhek biyen iya sekolah MULO kaya dene kowe. Bayare saiki wis
satus seket rupiyah.’“ (Katresnan hal 49)
‘“Yang sekiranya bapak terima yaitu anaknya Mantri dari
Tulungagung, yang sekarang jadi klerkdi kantor pos surabaya.
Anaknya dulu iya sekolah di MULO sama seperti kamu.
Penghasilannya sekarang sudah 150 rupiah.’“
Anak Mantri dari Tulungagung yang sekarang bekerja di kantor pos

Surabaya dengan gaji 150 rupiah menjadi pilihan orang tua Mursiati. Orang tua

Mursiati tidak ingin anaknya nanti kesusahan mengalami kesusahan ekonomi

setelah menikah. Selain itu orang tua juga tidak ingin anaknya nanti mendapatkan

mertua yang tidak menyayangi anaknya. Oleh karena itu orang tua Mursiati juga

mempertimbangkan anak mantri karena hubungan kekerabatan dari orang tua

masing-masing. Ibu sutrisna juga mempertimbangkan hubungan kekeraban

sebagai alasan untuk menjodohkan Sutrisna. Seperti kutipan di bawah ini.

‘“Isih sanakmu dhewe. Yen kowe gelem, ngiras ngumpulake


balung pisah. Mungguh saya, wis seneng banget marang bocah
iku. Sapisan, anteng. Kapindho, iya sekolah, lan kaping telune,
mungguh pegaweyan kuwajibaning wong wadon uga wis mangerti
sathitihik-sathithik.’“ (Katresnan hal 39)
57

‘“Masih saudara sendiri. Kalau kamu mau, mempersatukan


persaudaraan. Menurut saya, sudah merasa cocok dengan anak
itu. Pertama, anaknya pendiam. Kedua, iya sekolah, dan ketiga,
sudah menjadi kewajibannya seorang perempuan mengetahui
sedikit-sedikit pekerjaannya.’“
Orang tua Sutrisna menjodohkan Sutrisna dengan gadis yang orang tuanya

masih mempunyai kekerabatan dengan ibunya Sutrisna. Ini artinya seseorang

yang menjodohkan dengan yang masih saudara sendiri sudah saling mengenal dan

sudah pasti dari keluarga yang baik-baik. Selain itu orang tua Mursiati sangat

khawatir karena Mursiati yang sudah dewasa belum mau menikah. Seperti kutipan

di bawah ini.

‘”.... Mulane kowe dakundang mulih banget-banget, sajatine


mangkene. Kowe rak iya wis rumangsa dhewe, yen wis gedhe sarta
wis wayahe ngladeni wong lanang. Saka panjalukku, kowe
nyopota.’”
Ibune nyambungi,‘”Iya ta Ndhuk, tekan samono rak wis tutug
anggonmu nyambut gawe.’”
‘”Awit satemene wis akeh banget kang nakokake marang
awakmu.’”
‘”Bapak utawi Ibu, menawi kula kadhawuhan enggal-enggal
ngladosi tiyang jaler dereng kajeng, awit ing wekdal punika umur
kula saweg wolulas taun. Dados dereng wancinipun.’”
Ibune celathu,‘“Wong wolulas taun kok durung wayahe. Gek
mesthine yen wis umur pira? Saka panimbangku, umur semono iku
wis ketuwan, awit lumrahe umur limalas utawa nembelas.’“
‘”Saking kajeng kula menawi sampun umur kalih dasa, Ibu.
Sapunika ugi ndherek kapacangake, ananging mugi kaparingan
priksa, sinten larenipun jaler punika?’”(Katresnan hal 49)
‘”Makanya kamu bapak suruh pulang secepatnya, karena begini.
Kamu kan sudah merasa, kalau kamu sudah besar dan sudah
waktunya mengurusi laki-laki. Bapak minta kamu keluar dari
pekerjaanmu.’”
Ibunya menambahkan, ‘”iya sudah ndhuk, sampai di situ saja kamu
bekerja.’”
58

‘”Karena sebenarnya sudah banyak sekali yang menanyakan


kamu.’”
‘”Bapak atau ibu, kalau saya disuruh cepat-cepat menikah saya
belum bisa, karena umur saya masih delapan belas tahun. Jadi
belum waktunya.’”
‘”Delapan belas tahun kok belum waktunya. Harusnya kalau sudah
umur berapa? Dari pandanganku, umur delapan belas tahun itu
sudah terlalu tua, karena umumnya umur lima belas atau enam
belas tahun.’”
‘”Saya bersedia kalau sudah umur dua puluh, Ibu. Begitu juga jika
dijodohkan, tetapi saya ingin tahu siapa laki-laki tersebut?
Orang tua Mursiati mengkhawatirkan umur Mursiati yang sudah dewasa

tetapi belum mau menikah. Karena anak perempuan pada zaman itu umumnya

menikah di usia lima belas atau enam belas tahun. Orang tua Mursiati takut

pandangan orang-orang akan berbeda karena Mursiati yang sudah menginjak usia

delapan belas tahun belum mau menikah. Orang tua Mursiati takut Mursiati akan

menjadi prawan tua apabila tidak segera menikah.

4.2 Perbandingan Perjodohan Novel Katresnan dengan Perjodohan dalam

Karya Sastra Sezamannya

Pada pokok bahasan 4.2 tentang perbandingan perjodohan yang terdapat

dalam novel dengan perjodohan yang terdapat dalam novel pada zamannya,

peneliti an ini meneliti beberapa novel yang terakit dengan perjodohan

diantaranya, (1)Serat Rijanta, (2) Sri Kuning, dan (3) Siti Nurbaya.

4.2.1 Perjodohan dalam Novel Katresnan dengan Perjodohan dalam Novel

Serat Rijanta
59

Raden Mas Riyanta dijodohkan oleh ibunya karena takut melakukan hal-hal yang

tidak baik di luar rumah karena kegemarannya melakukan perjalanan pada malam

hari sampai jarang pulang ke rumah. Selain itu karena umur Raden Mas Riyanta

sudah berumur dewasa untuk menikah tetapi belum mau menikah. Suatu hari

Raden Mas Riyanta sedang berjalan-jalan di alun-alun bersama temannya

bernama Raden Mas Durjat. Tiba-tiba terjadi kebakaran dan bertemu dengan

gadis berusia 14 tahun tengah menangis di antara kerumunan orang-orang yang

sedang berlarian. Gadis tersebut bernama Srini, putri dari Dipati Pramayoga,

teman baik dari ayahnya. Paksaan dari ibunya membuat Raden Mas Riyanta pergi

dari rumah untuk mengembara. Ibunya sedih dan jatuh sakit memikirkan Riyanta.

Singkat cerita mendengar ibu dari Raden Mas Riyanta sedang sakit, Srini datang

menjenguk. Tak disangka mereka bertemu dan Raden Mas Riyanta terkejut bahwa

Srini adalah gadis yang akan dijodohkan dengannya. Raden Mas Riyanta yang

awalnya menolak untuk dijodohkan akhirnya mau menerima perjodohan tersebut.

Perjodohan dalam novel Serat Riyanta terjadi karena umur Raden Mas

Riyanta sudah cukup dewasa untuk menikah tetapi belum mau menikah. Hal itu

menjadikan ibunya sangat khawatir takut melakukan hal yang tidak baik. Apalagi

Raden Mas Riyanta adalah anak keturunan ningrat. Perjodohan tersebut juga

terjadi karena keluarga mereka sudah saling mengenal. Menikahkan anak mereka

dengan keluarga yang masih memiliki ikatan saudara memang menjadi salah satu

kriteria untuk memilih calon pasangan yang terbaik karena apabila masih ada

ikatan saudara sudah jelas bibit, bebet, dan bobotnya dan sudah saling paham atau

mengenal satu sama lain.


60

Perbedaan perjodohan antara novel Katresnan dengan novel Serat Rijanta

adalah di dalam novel Katresnan tokoh utama yaitu Mursiati dan Sutrisna,

keduanya bisa berhasil mengutarakan pendapat mereka tentang penolakan

perjodohan dengan sabar, tetap teguh menolak tetapi penolakan tersebut

diutarakan dengan bahasa yang baik dan halus. Mursiati berani berbicara dengan

orang tuanya alasan mengapa ia tidak mau untuk dipaksa menikah dengan pilihan

orang tuanya. Sedangkan novel Serat Rijanta, Raden Mas Riyanta tidak berani

mengutarakan pendapatnya mengenai perjodohan tersebut dan memilih untuk

mengembara.

4.2.2 Perjodohan dalam Novel Katresnan dengan Perjodohan dalam Novel

Sri Kuning

Seorang petani yang terkenal di desa Kuwaron bernama Surasentika. Ia

terkenal sebagai petani yang pelit. Oleh sebab itu hidupnya makmur dan kaya

raya. Surasentika mempunyai anak perempuan yang sangat cantik sehingga

banyak yang ingin meminangnya bernama Sri Kuning. Surasentika menjodohkan

Sri Kuning dengan lelaki yang setaraf menurut ukuran kekayaan dan kewibawaan

orang tuanya. Anak yang akan dijodohkan dengan Sri Kuning adalah Subagya.

Tetapi Sri Kuning tidak mau dijodohkan dengan Subagya karena sudah memiliki

kekasih bernama Sujana. Kisah cinta Sri Kuning dan Sujana terhalang oleh status

sosial keluarga mereka. Sujana berasal dari keluarga yang biasa-biasa saja. Sri

Kuning sudah mengutarakan kepada orang tuanya bahwa ia menolak perjodohan

tersebut. Akhirnya perjodohan dengan Subagya pun batal. Tidak sampai di situ

saja. Ayahnya berniat menjodohkan kembali dengan seorang priyayi, pejabat di


61

kantor kawedanan. Karena pada masa itu merupakan anugerah langka bila

seorang gadis desa dijadikan istri seorang priyayi.

Surasentika tetap kukuh ingin menjodohkan dengan seorang priyayi.

Kemudian Sri Kuning meminta bantuan dan perlingdungan kepada Kyai di desa

Karngdlima untuk berbicara kepana orang tuanya agar merestui hubungannya

dengan Sujana. Ternyata kyai tersebut adalah kakek dari Sujana dan guru dari

pejabat desa. Akhirnya kyai itu berbicara dengan pejabat desa untuk merelakan

Sri Kuning dengan Sujana. Pejabat desa mengalah karena ia sangat menghormati

gurunya dan akan melamarkan Sri Kuning untuk Sujana. Orang tua Sri Kuning

tidak begitu saja langsung menerima lamaran Sujana. Pejabat desa berkata bahwa

ia akan menggantikan orang tua Sujana dan seketika itu orang tua Sri Kuning

akhirnya merestui hubungan mereka.

Perjodohan dalam novel Sri Kuning terlihat bahwa paksaan orang tua Sri

Kuning yang ingin sekali menikahkan anaknya dengan seorang yang sederajat.

Orang tuanya menginginkan jodoh yang terbaik dan tidak ingin melihat hidup

anaknya nanti menjadi sengsara. Orang tua Sri Kuning tidak setuju dengan Sujana

karena Sujana tidak jelas bibit, bebet, dan bobotnya. Sujana adalah anak yatim

piatu dan berasal dari keluarga yang biasa-biasa saja. Pada zaman itu

menggambarkan bahwa masyarakat tersebut para orang tua telah berhasil

mendidik anaknya jika anak tersebut menikah dengan seorang yang memiliki

pangkat sehingga nantinya anaknya akan hidup berkecukupan dan dipandang

sebagai orang yang hebat. Terlihat sekali pada orang tua Sri Kuning yang berkali-

kali ingin menjodohkan Sri Kuning dengan orang yang sederajat. Pada awalnya
62

orang tua Sri Kuning tetap tidak setuju karena alasannya ia tidak tau jika ia akan

berbesan dengan siapa. Tetapi setelah pejabat desa tersebut bersedia

menggantikan peran orang tua Sujana sebagai besan dari ayahnya Sri Kuning,

maka ia pun langsung setuju. Terlihat sekali bahwa orang tua Sri Kuning sangat

memperhatikan bibit, bebet, dan bobotnya karena tidak ingin menikahkan

anaknya dengan orang sembarangan.

4.2.3 Perjodohan dalam Novel Katresnan dengan Perjodohan dalam Novel

Siti Nurbaya

Siti Nurbaya terpaksa menikah dengan Datuk Maringgit karena ayahnta

terlilit hutang dan jatuh miskin. Awalnya ia tidak bersedia menikah dengan Datuk

Maringgti karena ia adalah seorang yang sudah tua dan dangat keji. Selain itu ia

sudah punya kekasih bernama Samsul Bahri. Namun melihat ayahnya yang akan

dijebloskan ke penjara oleh kolonel Belanda, akhirnya ia terpaksa menikah

dengan Datuk Maringgit dan hidup dengan penderitaan.

Pengarang mengangkat tema perjodohan karena hal tersebut banyak

dijumpai pada kalangan masyarakat pada zaman itu. Pihak perempuan merasa

sangat dirugikan dalam hal perjodohan karena kebanyakan pihak perempuanlah

yang menjadi korban. Berbeda dengan novel Katresnan, tokoh utamanya menolak

untuk menikah dengan pilihan orang tua apapun yang terjadi. Mursiati yang

berpikiran maju tidak ingin menikah dengan orang yang tidak ia inginkan karena

akan menjadikan hidupnya tidak bahagia. Novel Katresnan menggambarkan

pemberontakan tokoh utama terhadap perlakuan orang tua yang memaksa


63

menerima perjodohan. bahwa tidak semua perintah orang tua harus dituruti

kecuali yang bermanfaat dan akan mendatangkan kebahagiaan.

Dari beberapa novel di atas, novel Katresnan lebih maju dari zamannya

karena pengarang cenderung ingin membela kaum muda. Terjadinya

pemberontakan dalam hal perjodohan yang terdapat dalam novel Katresnan

membuktikan bahwa pengarang menginginkan semangat baru dengan membela

kaum muda dan menjunjung derajat seorang perempuan. Pengarang ingin supaya

para wanita memiliki hak yang sama dengan laki-laki yaitu bebas memilih

pasangan hidupnya sendiri.


BAB V
PENUTUP

5.1 Simpulan

Berdasarkan penelitian terhadap novel Katresnan dapat dikemukan

simpulan yang berkaitan dengan perjodohan yang terdapat dalam novel Katresnan

dan perbandingan perjodohan yang terdapat dalam novel dengan yang terdapat

dalam masyarakat, sebagai berikut.

1) Perjodohan dalam novel terjadi karena pemikiran adat lama yaitu, bibit,

bebet, bobot, paksaan dari orang tua, penolakan oleh tokoh utama yaitu

Mursiati dan Sutrisna, peran orang tua dalam menentukan jodoh, serta

alasan orang tua untuk mendapatkan jodoh yang terbaik.

2) Dalam novel Katresnan tokoh utama Mursiati dan Sutrisna sebagai anak

yang akan dijodohkan memegang teguh pendiriannya untuk menolak

perjodohan tersebut sampai akhir sehingga terjadi konflik. Novel

Katresnan lebih maju pada zamannya karena pengarang cenderung ingin

membela kaum muda. Terjadinya pemberontakan dalam hal perjodohan

yang terdapat dalam novel Katresnan membuktikan bahwa pengarang

menginginkan semangat baru dengan membela kaum muda dan

menjunjung derajat seorang perempuan. Pengarang ingin para wanita

memiliki hak yang sama dengan laki-laki yaitu bebas memilih pasangan

hidupnya sendiri.

64
65

5.2 Saran

Penelitian skripsi dengan judul Perjodohan dalam Novel Katresnan karya

Soeratman Sastradihardja diharapkan dapat berguna untuk sastrawan. Novel

Katresnan dapat dijadikan sebagai salah satu penceritaan bagi generasi muda

mengenai peristiwa perjodohan yang terjadi pada zaman tersebut. Peneliti lain

juga dapat melakukan penelitian lebih lanjut mengenai novel Katresnan dengan

teori-teori yang lain untuk mencari unsur lain dalam novel Katresnan karena

masih sedikit penelitian yang meneliti novel tersebut.

Anda mungkin juga menyukai