Anda di halaman 1dari 15

Kump Cara mengapresiasi puisi

APRESIASI PUISI

       Seperti bentuk karya sastra lain, puisi mempunyai ciri-ciri khusus. Pada
umumnya penyair mengungkapkan gagasan dalam kalimat yang relatif pendek-
pendek serta padat, ditulis berderet-deret ke bawah (dalam bentuk bait-bait), dan
tidak jarang menggunakan kata-kata/kalimat yang bersifat konotatif.
       Kalimat yang pendek-pendek dan padat, ditambah makna konotasi yang
sering terdapat pada puisi, menyebabkan isi puisi seringkali sulit dipahami.  Oleh
karena itu diperlukan langkah-langkah sebagai berikut untuk mengapresiasi puisi,
terutama pada puisi yang tergolong ‘sulit’ :
1.     Membaca puisi berulang kali
2.     Melakukan pemenggalan dengan membubuhkan :
     - Garis miring tunggal ( / ) jika di tempat tersebut diperlukan tanda baca koma.
     - Dua garis miring ( // ) mewakili tanda baca titik, yaitu jika makna atau pengertian
kalimat sudah tercapai.
3.   Melakukan parafrase dengan menyisipkan atau menambahkan kata-kata yang
dapat memperjelas maksud kalimat dalam puisi.
4.   Menentukan makna kata/kalimat yang konotatif (jika ada).
5.   Menceritakan kembali isi puisi dengan kata-kata sendiri dalam bentuk prosa.

       Berbekal hasil kerja tahapan-tahapan di atas, unsur intrinsik puisi seperti


tema, amanat/ pesan, feeling, dan tone dapat digali dengan lebih mudah. Berikut
ini diberikan sebuah contoh langkah-langkah menganalisis puisi.

MATA PISAU
(Sapardi Djoko Damono)

Mata pisau itu tak berkejap menatapmu;


kau yang baru saja mengasahnya
berpikir : ia tajam untuk mengiris apel
yang tersedia di atas meja
sehabis makan malam
ia berkilat ketika terbayang olehnya urat lehermu
Tahap I :   Membaca puisi di atas berulang kali (lakukanlah!)

Tahap II     :   Melakukan pemenggalan

MATA PISAU
(Sapardi Djoko Damono)

Mata pisau itu / tak berkejap menatapmu;//


kau yang baru saja mengasahnya /
berpikir : // ia tajam untuk mengiris apel /
yang tersedia di atas meja /
sehabis makan malam //
ia berkilat / ketika terbayang olehnya urat lehermu //

Tahap III    :   Melakukan parafrase

MATA PISAU
(Sapardi Djoko Damono)

Mata pisau itu / tak berkejap menatapmu;//


(sehingga) kau yang baru saja mengasahnya /
berpikir : // (bahwa) ia (pisau itu) tajam untuk mengiris apel /
yang (sudah) tersedia di atas meja /
(Hal) (itu) (akan) (kau) (lakukan) sehabis makan malam //
ia (pisau itu) berkilat / ketika terbayang olehnya urat lehermu //

Tahap IV   :   Menentukan makna konotatif kata/kalimat

pisau   : sesuatu yang memiliki dua sisi, bisa dimanfaatkan untuk hal-hal yang positif,
bisa  pula disalahgunakan sehingga menghasilkan sesuatu yang buruk, jahat, dan
mengerikan.
apel       :  sesuatu yang baik dan bermanfaat.
terbayang olehnya urat lehermu   :  Sesuatu yang mengerikan.
Tahap V    :   Menceritakan kembali isi puisi
       Berdasarkan hasil analisis tahap I – IV di atas, maka isi puisi dapat disimpulkan
sebagai berikut :
       Seseorang terobsesi oleh kilauan mata pisau. Ia bermaksud akan
menggunakannya nanti malam untuk mengiris apel. Sayang, sebelum hal itu
terlaksana, tiba-tiba terlintas bayangan yang mengerikan. Dalam hati ia bertanya-
tanya, apa jadinya jika mata pisau itu dipakai untuk mengiris urat leher!
       Dari pemahaman terhadap isi puisi tersebut, pembaca disadarkan bahwa
tajamnya   pisau memang dapat digunakan untuk sesuatu yang positif (contohnya
mengiris apel),  namun dapat juga dimanfaatkan untuk hal yang negatif dan
mengerikan (digambarkan  mengiris urat leher).

       Dengan memperhatikan hasil kerja tahap 1 hingga 5, dapat dikemukakan


unsur-unsur intrinsik puisi “Mata Pisau” sebagai berikut :

No. Definisi “Mata Pisau”

Sesuatu hal dapat digunakan  untuk


Tema     :  Gagasan utama kebaikan (bersifat positif), tetapi
1 penulis sering juga disalahgunakan untuk hal-
                 yang dituangkan hal yang bersifat negatif. Contoh :
dalam anggota tubuh, kecerdasan, ilmu dan
                 karangannya. teknologi, kekuasaan dll.

Amanat  :  Pesan moral yang Hendaknya kita memanfaatkan segala


2 ingin   hal yang kita miliki untuk tujuan
                 disampaikan positif supaya hidup kita punya makna
penulis
                 melalui
karangannya

Feeling   :  Perasaan/sikap  Penyair tidak setuju pada tindakan


3                   penyair terhadap seseorang yang memanfaatkan
                  pokok sesuatu yang dimiliki untuk tujuan-
persoalan  yang tujuan negatif.
                 dikemukakan dalam
                 puisi.  

Nada      : Tone yang dipakai  Nada puisi “Mata Pisau” cenderung


4                  penulis  datar, tidak nampak luapan emosi
                 dalam penyairnya.
mengungkapkan
                 pokok pikiran.

       Kecuali keempat point di atas, perlu diperhatikan juga citraan (image)


dan gaya bahasa yang terdapat dalam puisi. 

I.     PENGERTIAN PUISI

Struktur dan ragam puisi sebagai hasil karya kreatif terus-menerus


berubah. Hal ini nampak apabila kita mengkaji ciri-ciri puisi pada zaman tertentu
yang ternyata berbeda dari ke-khas-an puisi pada zaman yang lain. Di masa
lampau misalnya, penciptaan puisi harus memenuhi ketentuan jumlah baris,
ketentuan rima dan persyaratan lain. Itulah sebabnya Wirjosoedarmo
mendefinisikan puisi sebagai karangan terikat. Definisi tersebut tentu saja tidak
tepat lagi untuk masa sekarang karena saat ini penyair sudah lebih bebas dan
tidak harus tunduk pada persyaratan-persyaratan tertentu. Hal ini mengakibatkan
pembaca tidak dapat lagi membedakan antara puisi dengan prosa hanya dengan
melihat bentuk visualnya. Misalnya sajak Sapardi Djoko Damono dan cerpen Eddy
D. Iskandar berikut ini :
 
AIR SELOKAN

“Air yang di selokan itu mengalir dari rumah sakit,” katamu pada suatu
hari Minggu pagi. Waktu itu kau berjalan-jalan bersama istrimu yang sedang
mengandung – ia hampir muntah karena bau sengit itu.
Dulu di selokan itu mengalir pula air yang digunakan untuk
memandikanmu waktu kau lahir : campur darah dan amis baunya.
Kabarnya tadi sore mereka sibuk memandikan mayat di kamar mati.
+
Senja ini ketika dua orang anak sedang berak di tepi selokan itu, salah
seorang tiba-tiba berdiri dan menuding sesuatu : “Hore, ada nyawa lagi terapung-
apung di air itu – alangkah indahnya!” Tapi kau tak mungkin lagi menyaksikan
yang berkilau-kilauan hanyut di permukaan air yang anyir baunya itu, sayang
sekali.

(Sapardi Djoko Damono – Perahu Kertas, 1983 : 18)

NAH

Nah, karena suatu hal, maafkan Bapak datang terlambat. Nah, mudah-
mudahan kalian memaklumi akan kesibukan Bapak. Nah, tentang pembangunan
masjid ini yang dibiayai oleh kalian bersama, itu sangat besar pahalanya. Nah,
Tuhan pasti akan menurunkan rahmat yang berlimpah ruah. Nah, dengan
berdirinya masjid ini, mereka yang melupakan Tuhan, semoga cepat tobat. Nah,
sekianlah sambutan Bapak sebagai sesepuh.

(Nah, ternyata ucapan suka lain dengan tindakan. Nah, ia sendiri ternyata
suka kepada uang kotor dan perempuan.  Nah, bukankah ia termasuk melupakan
Tuhan? Nah, ketahuan kedoknya).
[….]
(Eddy D. Iskandar – Horison, Th. IX, Juni 1976 : 185)

Bentuk visual kedua contoh di atas sama, padahal Sapardi Djoko Damono
memaksudkan karyanya sebagai puisi, sedangkan Eddy D.Iskandar memaksudkan
karangannya sebagai cerita pendek (prosa). Dengan demikian mendefinisikan
puisi berdasarkan bentuk visualnya saja, pada masa sekarang tidak relevan lagi.
Karena sulitnya mendefinisikan pengertian puisi, A.
Teeuw dan Culler menyerahkan pada penilaian pembaca. Menurut mereka
pembacalah yang paling berhak menentukan suatu karya termasuk prosa atau
puisi (Teeuw, 1983 : 6; Culler, 1977 : 138). Pendapat demikian meskipun
nampaknya menyelesaikan masalah, namun untuk study keilmuan tentu sangat
membingungkan karena tidak ada standar yang pasti.
Kecuali A. Teeuw dan Culler, banyak ahli sastra dan sastrawan, khususnya
penyair romantik Inggris, yang berusaha memberikan definisi. Berikut ini adalah
beberapa pendapat mereka :
·              Altenbernd (1970 : 2), mendefinisikan puisi sebagai the interpretive
dramatization of experience in metrical language (pendramaan pengalaman yang
bersifat penafsiran dalam bahasa bermetrum). Meskipun mengandung
kebenaran, namun definisi tersebut tak bisa sepenuhnya diterapkan di Indonesia
karena pada umumnya puisi Indonesia tidak memakai metrum sebagai dasar. Jika
yang dimaksud metrical adalah ‘berirama’, maka definisi Altenbernd memang bisa
diterima, tetapi memiliki kelemahan karena prosa pun ada yang berirama. Sebut
misalnya cerpen-cerpen Danarto yang menggunakan kekuatan irama untuk
menambah keindahan karyanya.
·              Samuel Taylor Coleridge berpendapat bahwa puisi adalah kata-kata terindah
dalam susunan yang terindah, sehingga nampak seimbang, simetris, dan memiliki
hubungan yang erat antara satu unsur dengan unsur lainnya.
·              Carlyle mengemukakan bahwa puisi adalah pemikiran yang bersifat musikal,
kata-katanya disusun sedemikian rupa, sehingga menonjolkan rangkaian bunyi
yang merdu seperti musik.
·              Wordsworth memberi pernyataan bahwa puisi adalah ungkapan perasaan
yang imajinatif atau perasaan yang diangankan.
·              Dunton berpendapat bahwa puisi merupakan pemikiran manusia secara
konkret dan artistik (selaras, simetris, pilihan kata tepat), bahasanya penuh
perasaan dan berirama seperti musik(pergantian bunyi kata-katanya berturut-
turut secara teratur).
·              Shelley mengatakan bahwa puisi adalah rekaman detik-detik yang paling indah
dalam hidup manusia, misalnya hal-hal yang mengesankan dan menimbulkan
keharuan, kebahagiaan, kegembiraan, kesedihan dan lain-lain.
            Dengan meramu pendapat-pendapat di atas, kita dapat
mendefinisikan  puisi sebagai berikut :

     Puisi adalah salah satu bentuk karya sastra yang mengekspresikan secara
padat
     pemikiran dan perasaan penyairnya, digubah dalam wujud dan bahasa yang
paling 
     berkesan.
Setelah kita definisikan apa itu puisi, selanjutnya kita dapat
mengungkapkan perbedaan antara puisi dan prosa sebagai berikut :

PUISI PROSA

Merupakan aktivitas jiwa yang Merupakan aktivitas


1 menangkap kesan-kesan, menyebarkan (men-dispersi-kan) i
kemudian kesan-kesan tersebut de/gagasan dalam bentuk uraian,
dipadatkan (di-kondensasi-kan) d bahkan kadang-kadang sampai
an dipusatkan. merenik.

Merupakan pencurahan jiwa yang Merupakan pengungkapan


bersifat liris (emosional) dan gagasan yang bersifat epis atau
2 ekspresif. naratif.

Seringkali isi dan kalimat- Pada umumnya bermakna


kalimatnya bermakna konotasi. denotasi, walaupun memang ada
3 beberapa karya yang isinya
konotasi.

II.   ANALISIS PUISI BERDASARKAN STRATA NORMA

Puisi merupakan karya sastra yang memiliki struktur yang sangat


kompleks yang terdiri dari beberapa strata (lapis) norma. Masing-masing norma
menimbulkan lapis norma di bawahnya, yang dijelaskan oleh Rene Wellek sebagai
berikut :
Lapis norma pertama adalah lapis bunyi (sound stratum). Bila orang
membaca puisi, maka yang terdengar adalah serangkaian bunyi yang dibatasi jeda
pendek, agak panjang, dan panjang.
Lapis pertama yang berupa bunyi tersebut mendasari timbulnya lapis
kedua, yaitu lapis arti (units of meaning), karena bunyi-bunyi yang ada pada puisi
bukanlah bunyi tanpa arti. Bunyi-bunyi itu disusun sedemikian rupa menjadi
satuan kata, frase, kalimat, dan bait yang menimbulkan makna yang dapat
dipahami oleh pembaca.
Rangkaian satuan-satuan arti tersebut menimbulkan lapis ketiga berupa
unsur intrinsik dan ekstrinsik puisi, misalnya latar, pelaku, lukisan-lukisan, objek-
objek yang dikemukakan, makna implisit, sifat-sifat metafisis, dunia pengarang
dan sebagainya.
Untuk menjelaskan penerapan analisis strata norma tersebut berikut
diberikan sebuah contoh.

CINTAKU JAUH DI PULAU


(Chairil Anwar)

Cintaku jauh di pulau,


gadis manis, sekarang iseng sendiri

Perahu melancar, bulan memancar,


di leher kukalungkan ole-ole buat si pacar
Angin membantu, laut terang, tapi terasa
aku tidak ‘kan sampai padanya

Di air yang terang, di angin mendayu,


di perasaan penghabisan segala melaju
Ajal bertahta, sambil berkata :
“Tujukan perahu ke pangkuanku saja.”

Amboi! Jalan sudah bertahun kutempuh!


Perahu yang bersama ‘kan merapuh!
Mengapa ajal memanggil dulu
sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?!

Manisku jauh di pulau


kalau ‘ku mati, dia mati iseng sendiri

1.  Analisis lapis pertama (bunyi/sound stratum)


Pembahasan lapis bunyi hanyalah ditujukan pada bunyi-bunyi yang
bersifat “istimewa” atau khusus, yaitu bunyi-bunyi yang dipergunakan untuk
mendapatkan efek puitis atau nilai seni. Misalnya pada baris pertama puisi di atas
ada asonansi a  dan u;   di baris kedua ada aliterasi s  (gadis  manis sekarang
iseng sendiri). Demikian juga pada bait kedua ada asonansi a  (melancar –
memancar – si pacar – terang – terasa); dan ada pula aliterasi l  dan r (melancar
–  bulan memancar – laut  terang – tapi terasa).
Kecuali asonansi dan aliterasi, terdapat pula rima teratur yang digarap
dengan sangat mengesankan oleh Chairil Anwar. Bait 1 dan bait terakhir
mempunyai rima yang sama (a b), yang nampaknya mengapit bait-bait di
antaranya yang berpola rima   a a – bb. Rima konsonan memancar – si
pacar dipertentangkan dengan rima terasa – padanya  yang merupakan bunyi
vokal. Rima kutempuh – merapuh (konsonan) dipertentangkan dengan rima
vokal dulu – cintaku.        
Rima yang berupa asonansi dan aliterasi pada puisi di atas berfungsi
sebagai lambang rasa (klanksymboliek) sehingga menambah keindahan puisi dan
memberi nilai rasa tertentu.

     Asonansi Pengulangan bunyi vokal pada sebuah baris yang sama.

Pengulangan bunyi konsonan dari kata-kata yang


     Aliterasi berurutan.
Sajak/rima awal.

2.   Analisis lapis kedua (arti/units of meaning)

Dalam kegiatan menganalisis arti, kita berusaha memberi makna pada


bunyi, suku kata, kata, kelompok kata, kalimat, bait, dan pada akhirnya makna
seluruh puisi. Sebagai contoh, berikut ini adalah analisis makna per kalimat, per
bait dan akhirnya makna seluruh puisi ‘Cintaku Jauh di Pulau’.
Bait I Cintaku jauh di pulau  berarti kekasih tokoh aku berada di pulau
yang jauh. Gadis manis sekarang iseng sendiri artinya sang kekasih tersebut
adalah seorang gadis yang manis yang menghabiskan waktu  sendirian (iseng)
tanpa kehadiran tohoh aku.
Pada bait II, si tokoh aku menempuh perjalanan jauh dengan perahu
karena ingin menjumpai kekasihnya. Ketika itu cuaca sangat bagus, namun hati si
aku merasa gundah karena rasanya ia tak akan sampai pada kekasihnya.
Bait III menceritakan perasaan si aku yang semakin sedih karena
walaupun air terang, angin mendayu, tetapi  pada perasaannya ajal telah
memanggilnya (Ajal bertahta sambil berkata : “Tujukan perahu ke pangkuanku
saja”).
Bait IV menunjukkan si aku putus asa. Demi menjumpai kekasihnya ia
telah bertahun-tahun berlayar, bahkan perahu yang membawanya akan rusak,
namun ternyata kematian menghadang dan mengakhiri hidupnya sebelum ia
bertemu dengan kekasihnya.
Bait V merupakan kekhawatiran si tokoh aku tentang kekasihnya, bahwa
setelah ia meninggal, kekasihnya itupun akan mati juga dalam penantian yang sia-
sia.

Setelah kita menganalisis makna tiap bait, kita pun harus sampai pada
makna lambang yang diemban oleh puisi tersebut. Kekasih tokoh aku adalah
kiasan dari cita-cita si aku yang sukar dicapai. Untuk meraihnya si aku harus
mengarungi lautan yang melambangkan perjuangan. Sayang, usahanya tidak
berhasil karena kematian telah menjemputnya sebelum ia meraih cita-citanya.

3.   Analisis lapis ketiga (objek-objek, latar, pelaku, ‘dunia pengarang’ dan lain-lain)

Lapis arti menimbulkan lapis ketiga berupa objek-objek yang


dikemukakan, latar, pelaku, ‘dunia pengarang’, makna implisit, dan metafisis.
Pada puisi ‘Cintaku Jauh di Pulau’, objek yang dikemukakan adalah
cintaku, gadis manis, laut, pulau, perahu, angin, bulan, air laut, dan
ajal. Pelaku atau tokohnya adalah si aku , sedang latarnya di laut pada malam hari
yang cerah dan berangin.
Jika objek-objek, latar, dan pelaku yang dikemukakan dalam puisi
digabungkan, maka  akan menghasilkan ‘dunia pengarang’ atau isi puisi. Ini
merupakan dunia (cerita) yang diciptakan penyair di dalam puisinya.
Contoh, berdasarkan puisi ‘Cintaku Jauh di Pulau’ kita dapat menuliskan
‘dunia pengarang’ sebagai berikut :
Kekasih tokoh aku (gadis manis) berada di suatu tempat yang jauh.
Karena ingin menemuinya, pada suatu malam ketika bulan bersinar dan cuaca
bagus, si aku berangkat dengan perahu. Akan tetapi, walaupun keadaan sangat
baik untuk berlayar (laut terang, angin mendayu), namun si aku merasa ia tak
akan sampai pada kekasihnya itu. Pelayaran selama bertahun-tahun, bahkan
sampai perahunya akan rusak, nampaknya tidak akan membuahkan hasil karena
ajal lebih dulu datang. Ia membayangkan, setelah ia mati kekasihnya juga akan
mati dalam kesendirian.

Ada pula makna implisit yang walaupun tidak dinyatakan dalam puisi


namun dapat dipahami oleh pembaca. Misalnya kata ’gadis manis’ memberi
gambaran bahwa pacar si aku ini sangat menarik.
Dalam puisi tersebut terasa perasaan-perasaan si aku : senang, gelisah,
kecewa, dan putus asa.

Kecuali itu ada unsur metafisis yang menyebabkan pembaca


berkontemplasi. Dalam puisi di atas, unsur metafisis tersebut berupa ketragisan
hidup manusia, yaitu meskipun segala usaha telah dilakukan disertai sarana yang
cukup, bahkan segalanya berjalan lancar, namun manusia seringkali tak dapat
mencapai apa yang diidam-idamkannya karena maut telah menghadang lebih
dahulu. Dengan demikian, cita-cita yang hebat dan menggairahkan akan sia-sia
belaka.

ooo

III.      ANALISIS BERDASARKAN STRATA NORMA, SEMIOTIK, DAN FUNGSI ESTETIK

Menganalisis puisi tidak cukup berdasarkan strata norma saja. Agar


analisis lengkap dan mendalam, perlu menggabungkan analisis strata norma
dengan analisis semiotik dan fungsi estetik setiap unsur yang membangun puisi
tersebut.
Analisis semiotik memandang karya sastra, dalam hal ini puisi, sebagai
sistem tanda yang bermakna. Tiap-tiap fenomena (unsur puisi) diyakini
mempunyai makna atau arti, sehingga menganalisis puisi sampai menemukan
makna yang dimaksud merupakan suatu keharusan. Kecuali itu fungsi estetik
setiap unsur dalam puisi juga perlu dibahas.  
Menganalisis puisi berdasarkan strata norma yang dihubungkan dengan
semiotik dan fungsi estetik, pada umumnya menyangkut masalah bunyi dan kata.

1.  Bunyi

Dalam puisi bunyi bersifat estetik, merupakan unsur puisi untuk


mendapatkan keindahan dan tenaga ekspresif. Kecuali itu bunyi juga bertugas
memperdalam makna, menimbulkan suasana yang khusus, menimbulkan
perasaan tertentu, dan menimbulkan bayangan angan secara jelas.
Demikian pentingnya peranan bunyi dalam puisi, sehingga dalam
perjalanannya ada puisi-puisi yang sangat menonjolkan unsur bunyi. Misalnya saja
Sajak Hugo Bal yang diterjemahkan dengan judul ‘Ratapan Mati’, secara
keseluruhan hanya berupa rangkaian bunyi ‘kata-kata’ tanpa arti. Bahkan di
Indonesia pada masa lampau dikenal bentuk puisi mantera dan serapah yang
memanfaatkan kekuatan bunyi. Di masa modern ini, dipelopori Sutardji Calzoum
Bachri, muncul puisi-puisi yang menomorsatukan peranan bunyi. Dalam hal ini
bunyi-bunyi yang dipakai disusun sedemikian rupa, sehingga menimbulkan
daya evokasi  (daya kuat untuk membentuk pengertian). Contoh :

SEPISAUPI
(Sutardji Calzoum Bachri)

sepisau luka sepisau duri


sepikul dosa sepukau sepi
sepisau duka serisau diri
sepisau sepi sepisau nyanyi

sepisaupa sepisaupi
sepisapanya sepikau sepi
sepisaupa sepisaupi
sepikul diri keranjang duri

sepisaupa sepisaupi
sepisaupa sepisaupi
sepisaupa sepisaupi
sampai pisauNya kedalam nyanyi

Walaupun puisi di atas seolah-olah merupakan permainan bunyi belaka,


namun jika kita teliti, bunyi-bunyi yang dipakai oleh Sutardji ternyata diolah
dengan sangat baik, sehingga memiliki daya evokasi. 
Berikut ini dikemukakan fungsi bunyi dalam
mendukung suasana, perasaan, dan imaji pada puisi.

Vokal a, i, u, e, o
Efoni Konsonan bersuara b, d, g, j Suasana mesra, penuh
(euphony) : Bunyi liquida r, l kasih sayang, gembira,
bunyi yang Bunyi sengau m, n, ng, ny bahagia.
merdu dan Bunyi aspiran s, h
indah.

Kakofoni - Dominasi bunyi-bunyi k, p, Suasana kacau, tidak


(cacophony) : t, s. teratur, tidak
bunyi yang tidak - Rima puisi sangat tidak menyenangkan.
merdu, parau teratur

Vokal e, i - Perasaan riang, kasih,


Konsonan k, p, t, s, f suci
- imaji : kecil, ramping, 
  ringan, tinggi. 

Vokal a, o, u - Perasaan murung, sedih, 


Konsonan b, d, g, z, v, w   gundah, kecewa.
- imaji : bulat, berat,
besar,
  rendah.
2.   Kata

Walaupun ada penyair yang menonjolkan bunyi dan mengabaikan


peranan kata dalam puisi ciptaannya (misalnya Sajak Hugo Bal), namun tidak
dapat dipungkiri bahwa kata sampai saat ini masih merupakan sarana yang sangat
penting dalam penciptaan puisi. Bagaimanapun juga, pada umumnya penyair
mencurahkan pengalaman jiwanya melalui kata-kata.
Dalam menganalisis puisi, perlu dibahas arti kata dan efek yang
ditimbulkannya, misalnya arti denotatif, arti konotatif, kosa kata, diksi, citraan,
faktor ketatabahasaan, sarana retorika, dan hal-hal yang berhubungan dengan
struktur kata atau kalimat puisi.
Kata-kata yang digunakan oleh penyair disebut Slamet Mulyana
sebagai kata berjiwa. Dalam kata berjiwa ini sudah dimasukkan unsur suasana,
perasaan-perasaan penyair, dan sikapnya terhadap sesuatu.
Nampaknya penyair mempergunakan bahasa yang berbeda dengan
bahasa sehari-hari. Ini terjadi karena puisi sebagai ungkapan jiwa. Penyair
menghendaki agar pembaca dapat turut merasakan dan mengalami seperti apa
yang dirasakan penyair. Misalnya saja sajak Toto Sudarto Bachtiar berikut ini :

PAHLAWAN TAK DIKENAL

Sepuluh tahun yang lalu dia terbaring


Tetapi bukan tidur, sayang
Sebuah lubang peluru bundar di dadanya
Senyum bekunya mau berkata, kita sedang perang

Dalam bait puisi tersebut, kata-kata yang dipergunakan menyiratkan


pancaran sikap sopan dan rasa hormat kepada pahlawan. Apabila dikatakan ia
mati tertembak, rasanya kurang hormat meskipun hakikatnya sama saja dengan
kalimat …dia terbaring, tetapi bukan tidur. Demikian juga diksi Sebuah lubang
peluru bundar di dadanya memberi gambaran tentang kematian yang indah dan
bersih. Padahal kenyataannya pastilah tidak seperti itu. Tentu ada darah yang
berlepotan, tidak tersenyum melainkan menyeringai kesakitan. Penyair
menggunakan pilihan kata tersebut sebagai ungkapan jiwanya yang menghargai
pengorbanan pahlawan. Kalimat Senyum bekunya mau berkata, kita sedang
perang  menyatakan keikhlasan sang pahlawan dalam membela tanah air sampai
titik darah penghabisan.
Untuk memaksimalkan kepuitisan karya, biasanya penyair memanfaatkan
kemampuannya dalam memilih kata setepat mungkin, memasukkan kata-
kata/kalimat yang konotatif dan mempergunakan gaya bahasa tertentu.   
Pilihan kata penyair sangat membantu imajinasi pembaca. Semakin
konkret kata-kata dalam puisi, semakin tepat citraan yang ditimbulkannya.
Misalnya pada salah satu bait puisi ‘Balada Penyaliban’ karya W.S. Rendra
tertulis Tiada mawar-mawar di jalanan / tiada daun-daun palma / domba putih
menyeret azab dan dera / merunduk oleh tugas teramat dicinta /  dst.
Kata menyeret merupakan gaya bahasa yang mengkonkretkan seolah-
olah ‘azab’ dan ‘dera’ dapat dilihat dan terasa berat. Hal itu memberi citraan
penglihatan dan perasaan yang sangat dalam. Pembaca seolah-olah melihat
sendiri jalanan yang kering tanpa tumbuhan dan sosok Yesus yang digambarkan
sebagai domba putih yang tertatih-tatih menyeret beban amat berat. Dengan
demikian, untuk ‘menghidupkan’ puisi, penyair dapat memanfaatkan gaya bahasa
(misalnya personifikasi, metafora, hiperbola dan lain-lain) dan pilihan kata yang
tepat. 
Ada puisi-puisi yang kosakatanya diambil dari bahasa sehari-hari. Hal
tersebut  memberikan efek gaya yang realistis. Sebaliknya, penggunaan kata-kata
indah memberi efek romantis.
Setelah menganalisis puisi tahap demi tahap, kita dapat menyimpulkan
tema puisi, amanat/pesan, sikap penyair (feeling) dan nada puisi (tone). Tema
adalah ide/ gagasan/pokok masalah yang disampaikan penyair melalui puisinya;
amanat/pesan adalah nilai-nilai yang terkandung dalam puisi yang dapat dipetik
oleh pembaca; sikap penyair adalah perasaan/sikap penyair terhadap tema yang
‘digarapnya’ dalam puisi (misalnya benci, kagum, antipati, simpati dan lain-lain);
nada adalah cara penyair mengemukakan sikapnya (misalnya marah, keras,
menyindir, putus asa, riang, penuh kekaguman dan sebagainya)

Anda mungkin juga menyukai