Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Paru-paru adalah organ yang berbentuk kerucut dengan apeks (puncak) di atas dan
muncul sedikit lebih tinggi daripada klavikula di dalam leher. Paru-paru ada dua,
merupakan alat pernapasan utama. Paru-paru mengisi rongga dada. Terletak di sebelah
kanan dan kiri dan di tengah dipisahkan oleh jantung berserta pembuluh darah besarnya
dan struktur lainnya yang terletak di dalam mediastinum.

Pulmonary edema adalah istilah yang digunakan ketika edema terjadi di paru-paru.
Edema paru merupakan kondisi yang disebabkan oleh kelebihan cairan di paru-paru.

Menurut penelitian pada tahun 1994, secara keseluruhan terdapat 74,4 juta
penderita edema paru di dunia. Di Inggris sekitar 2,1 juta penderita edema paru yang perlu
pengobatan dan pengawasan secara komprehensif. Di Amerika serikat diperkirakan 5,5
juta penduduk menderita Edema. Di Jerman 6 juta penduduk. Ini merupakan angka yang
cukup besar yang perlu mendapat perhatian dari perawat di dalam merawat klien edema
paru secara komprehensif bio psiko sosial dan spiritual.

Penyakit Edema paru pertama kali di Indonesia ditemukan pada tahun 1971. Sejak
itu penyakit tersebut menyebar ke berbagai daerah, sehingga sampai tahun 1980 seluruh
propinsi di Indonesia. Sejak pertama kali ditemukan, jumlah kasus menunjukkan
kecenderungan meningkat baik dalam jumlah maupun luas wilayah. Di Indonesia insiden
terbesar terjadi pada 1998, dengan Incidence Rate (IR) = 35,19 per 100.000 penduduk dan
CFR = 2%. Pada tahun 1999 IR menurun tajam sebesar 10,17%, namun tahun-tahun
berikutnya IR cenderung meningkat yaitu 15,99 (tahun 2000); 21,66 (tahun 2001); 19,24
(tahun 2002); dan 23,87 (tahun 2003).

Dari uraian di atas, maka kami rasa perlu dilakukan pemahaman lebih dalam guna
mengetahui bagaimana sebenarnya proses patofisiologi edema paru hingga bagaimana
cara menangani pasien dengan edema paru sebagai perawat berdasar pada diagnosa –
diagnosa keperawatan yang muncul akibat edema paru.

Edema paru yang diakibatkan oleh kegagalan jantung menimbulkan peningkatan


tekanan vena kapiler – kapiler pulmonal. Peningkatan tekanan pulmonal ini melebihi

1
tekanan intavaskular osmotik. Oleh karena itu, cairan plasma dari kapiler dan venula dapat
masuk ke dalam alveoli melalui membran alveolar kapilar. Dari alveoli, cairan dapat
dengan cepat memasuki bronkiale, dan bronki pasien dapat tenggelam dalam cairan ini

Edema paru terjadi oleh karena adanya aliran cairan dari darah ke ruang intersisial
paru yang selanjutnya ke alveoli paru, melebihi aliran cairan kembali ke darah atau
melalui saluran limfatik.

Dari uraian di atas, maka penulis rasa perlu dilakukan pemahaman lebih dalam
guna mengetahui bagaimana sebenarnya proses patofisiologi edema paru hingga
bagaimana cara menangani pasien dengan edema paru sebagai perawat berdasar pada
diagnosa – diagnosa keperawatan yang muncul akibat edema paru.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan Edema Pru?


2. Bagaimana etiologi Edema Paru?
3. Bagaimana patofisiologi Edema Paru?
4. Apa klasifikasi Edema Paru?
5. Bagaimana manifestasi Edema Paru?
6. Bagaimana asuhan keperawatan pada pasien dengan Edema Paru?

1.3 Tujuan

1. Pembaca dapat mengetahui pengertian Edema Paru.


2. Pembaca dapat mengetahui etiologi Edema Paru.
3. Pembaca dapat mengetahui patofisiologi Edema Paru.
4. Pembaca dapat mengetahui klasifikasi Edema Paru.
5. Pembaca dapat mengetahui manifestasi Edema Paru.
6. Pembaca dapat mengetahui asuhan keperawatan pada pasien dengan Edema Paru.

2
BAB II

TINJAUAN MEDIS

2.1 Pengertian

Edema paru merupakan suatu keadaan terkumpulnya cairan patologi di


ekstravaskular dalam paru. Kelainan ini disebabkan oleh dua keadaan, yaitu :

1. Peningkatan tekanan hidrostatis.


2. Peningkatan permeabilitas kapiler paru.
(Arif Muttaqin, 2008)

Edema paru akut adalah suatu keadaan darurat medis yang diakibatkan oleh
kegagalan berat ventrikel kiri. Selain kegagalan berat ventrikel kiri, edema paru ‘akut
dapat pula diakibatkan oleh :

1. Inhalasi gas yang memberi rangsangan, seperti karbon monoksida.


2. Overdosis obat barbiturat atau opiat.
3. Pemberian cairan infus, pl;asma, transfusi darah yang terlalu cepat.

Edema paru yang diakibatkan oleh kegagalan jantung menimbulkan peningkatan


tekanan vena kapiler – kapiler pulmonal. Peningkatan tekanan pulmonal ini melebihi
tekanan intavaskular osmotik. Oleh karena itu, cairan plasma dari kapiler dan venula dapat
masuk ke dalam alveoli melalui membran alveolar kapilar. Dari alveoli, cairan dapat
dengan cepat memasuki bronkiale, dan bronki pasien dapat tenggelam dalam cairan ini.

Edema paru adalah penimbunan kelebihan cairan diruang ekstrakuler paru.


Akumulasi ini dapat berangsur lambat, seperti pada pasien dengan gagal ginjal yang tak
disadari, atau mendadak, seperti pasien pada pasien gagal ventrikel kiri setelah infark
miokardium akut. Edema paru paling sering bermanisfestasi sebagai dispnea. Dispnea
adalah pernafasan yang dirasakan oleh pasien sebagai rasa tidak nyaman atau
menimbulkan kecemasan dan tidak sepadan dengan tingkat aktivitas sebelumnya. Pasien
mula-mula mengalami dispnea hanya ketika berolahraga tetapi kemudian dapat
berkembang menjadi dispnea saat istirahat. Pada kasus berat, edema paru dapat disertai
oleh cairan edema di sputum dan menyebabkan gagal nafas akut.

Edema paru adalah penumpukan abnormal cairan didalam paru – paru, baik dalam
spasium interstisial atau dalam alveoli. Cairan bocor melalui dinding kapilar, merembes ke

3
jalan napas dan menimbulkan dispnea hebat. Penyakit ini merupakan kondisi yang
mengancam jiwa yang membutuhkan perhatian segera. Edema paru non kordiak telah
menjadi yang luas: menghirup toksik, takar lajak obat, dan edema paru neurogenik.
Penyebab umum edema pulmonal adalah penyakit jantung, y,i., hipertensif arterosklerotik,
valvular, miopatik. Jika tindakan yang tepat segera di lakukan, serangan dapat dihentikan
dan pasien dapat bertahan terhadap komplikasi ini.

Edema, pada umumnya berarti pembengkakan, ini secara khas terjadi ketika cairan
dari bagian dalam pembuluh-pembuluh darah merembes keluar pembuluh darah kedalam
jaringan –jaringan sekelilingnya, menyebabkan pembengkakan. Ini dapat terjadi karena
terlalu banyak tekanan dalam pembuluh- pembuluh darah atau tidak ada cukup protein-
protein dalam aliran darah untuk menahan cairan dalam plasma ( bagian dari darah yang
tidak mengandung segala sel-sel darah ).

Pulmonary edema adalah istilah yang digunakan ketika edema terjadi di paru-paru.
area yang langsung diluar pembuluh-pembuluh darah kecil pada paru-paru ditempati oleh
kantong-kantong udara yang sangat kecil yang disebut alveoli. Ini adalah dimana oksigen
dari udara diambil oleh darah yang melaluinya, dan karbon dioksida dalam darah
dikeluarkan kedalam alveoli untuk dihembuskan keluar. Alveoli normalnya mempunyai
dinding yang sangat tipis yang mengizinkan pertukaran udara ini , dan cairan biasanya
dijatuhkan dari alveoli kecuali dinding-dinding ini kehilangan integritasnya.

Edema paru adalah akumulasi cairan di paru-paru secara tiba-tiba akibat


peningkatan tekanan intravaskuler. Edema paru terjadi oleh karena adanya aliran cairan
dari darah ke ruang intersisisal paru yang selanjutnya ke alveoli paru , melebihi aliran
cairan kembali ke darah atau melalui saluran limfatik.

Edema paru merupakan kondisi yang disebabkan oleh kelebihan cairan di paru-
paru. cairan ini terkumpul dalam kantung-kantung udara di paru-paru banyak, sehingga
sulit untuk bernapas. Dalam kebanyakan kasus , masalah jantung menyebabkan edema
paru. tapi cairan dapat menumpuk karena alasan lain , termasuk pneumonia , paparan
terhadap racun tertentu dan obat-obatan, dan olahraga atau hidup pada ketinggian tinggi

4
2.2 Tanda dan gejala

1. Gelisah
2. Dispnea berat
3. Pucat
4. Batuk produktif dengan banyak sputum yang berbuih dan sedikit bercampur darah
5. Mengi
6. Sianosis
7. Takikardia

2.3 Etiologi

Edema paru adalah masalah umum yang berkaitan dengan beragam kondisi medis.
Karena beragamnya kausa, ada baiknya jika pembahasan edema paru dikaitkan dengan
prinsip-prinsip fisiologis yang mendasarinya.

Peningkatan tekanan transmural kapiler paru

1. Meningkatnya tekanan atrium kiri


2. Gagal ventrikel kiri, akut atau kronik
3. Stenosis katup mitral
4. Hipertensi vena pulmonalis
5. Penyakit veno-oklusif paru
6. Meningkatnya volume darah kapiler
7. Ekspansi volume iatrogenik
8. Gagal ginjal kronik
9. Berkurangnya tekanan osmotik koloid plasma
10. Hipoalbuminemia: sindrom nefrotik, gagal hati

Peningkatan permeabilitas endotel kapiler paru

1. Toksin darah : bakteremia, pankreatitis akut


2. pneumonia infeksi
3. Koagulasi intravuskular diseminata
4. Trauma non-toraks disertai oleh hipotensi (“shockk lung”)
5. Edema paru karena berada di ketinggian
6. Ssetelah bedah-pintas kardipulmonal

5
Peningkatan permeabilitas epitel alveolus

1. Toksin inhalan : oksigen, fosgen, klorin, asap


2. Aspirasi isi lambung yang asam
3. Tenggelam atau nyaris tenggelam
4. Deplesi surfaktan melalui ventilasi mekanis tekanan-positif dengan volume alun
napas yang tinggi

Berkurangnya pembersihan limfe

1. Reseksi paru (lobektomi) disertai pengambilan sampel kelenjar getah bening


regional
2. Penyebaran karsinoma secara limfogen
3. Setelah transplantasi paru

Mekanisme tidak jelas

1. Edema paru neurogenik


2. Kelebihan dosis narkotik
3. Transfusi berulang

Penyebab edema dapat dikelompokkan menjadi empat kategori umum :

a. Penurunan konsentrasi protein plasma menyebabkan penurunan tekanan osmotic


plasma. Penurunan ini menyebabkan filtrasi cairan yang keluar dari pembuluh lebih
tinggi, sementara jumlah cairan yang direabsorpsi kurang dari normal. Dengan
demikian terdapat cairan tambahan yang tertinggal di ruang-ruang interstisium.
Edema yang disebabkan oleh penurunan konsentrasi protein plasma dapat terjadi
melalui beberapa cara yaitu, pengeluaran berlebihan protein plasma di urin akibat
penyakit ginjal, penurunan sintesis protein plasma akibat penyakit hati (hati
mensintesis hampir semua protein plasma), makanan yang kurang mengandung
protein, atau pengeluaran protein akibat luka bakar yang luas.
b. Peningkatan permeabilitas dinding kapiler menyebabkan protein plasma yang keluar
dari kapiler ke cairan intertisium disekitarnya lebih banyak. Sebagai contoh, melalui
pelebaran pori-pori kapiler yang dicetuskan oleh histamin pada cedera jaringan atau
reaksi alergi. Terjadi penurunan tekanan osmotik koloid plasma yang menurunkan
kearah dalam sementara peningkatan tekanan osmotik koloid cairan interstisium yang

6
disebabkan oleh kelebihan protein di cairan interstisium meningkatkan tekanan kearah
luar. Ketidakseimbangan ini ikut berperan menimbulkan edema lokal yang berkaitan
dengan cedera (misalnya lepuh) dan respon alergi (misalnya biduran).
c. Peningkatan tekanan vena, misalnya darah terbendung di vena, akan disertai
peningkatan tekanan darah kapiler, karena kapiler mengalirkan isinya kedalam vena.
Peningkatan tekanan kearah dinding kapiler ini terutama berperan pada edema yang
terjadi pada gagal jantung kongestif. Edema regional juga dapat terjadi karena
restriksi lokal aliran balik vena. Salah satu contoh adalah pembengkakan di tungkai
dan kaki yang sering terjadi pada masa kehamilan. Uterus yang membesar menekan
vena-vena besar yang mengalirkan darah dari ekstremitas bawah pada saat vena-vena
tersebut masuk ke rongga abdomen. Pembendungan darah di vena ini menyebabkan
kaki yang mendorong terjadinya edema regional di ekstremitas bawah.
d. Penyumbatan pembuluh limfe menimbulkan edema, karena kelebihan cairan yang
difiltrasi keluar tertahan di cairan interstisium dan tidak dapat dikembalikan kedarah
melalui sistem limfe.

2.4 Patofisiologi

Pemahaman tentang mekanisme ini memerlukan tinjauan mengenai pembentukan


dan reabsorpsi cairan paru serta struktur ultra paru. Ruangan alveolar dipisahkan dari
intertisium paru, terutama oleh sel epitel alveoli tipe I, yang pada kondisi normal
membentuk suatu bariel relatif nonpermeabel terhadap aliran cairan dari intersium ke
rongga-rongga udara (spaces). Fraksi yang besar ruang interstisial dibentuk oleh kapiler
paru yang dindingnya terdiri atas satu lapis sel endotelium di atas jalinan kolagen dari
jaringan elastis, fibrolas, sel fagosit, dan beberapa sel lain. Faktor penentu yang penting
dalam pembentukan cairan dalam ekstravaskuler adalah perbedaan tekanan hidrostasis dan
onkotik dalam lumen kapiler dan ruang interstisial, serta permeabilitas sel endotelium
terhadap air, zat terlarut (solut), dan molekul besar seperti protein plasma (Aryanto,1994).

Ciri perubahan ini pada edema paru adalah terjadinya peningkatan aliran limfatik.
Perubahan ini karena saluran limfatik terjalin dalam jaringan ikat longgar yang
mengelilingi artiola paru dan saluran pernafasan yang kecil. Pembengkakan saluran
limfatik ini akan berdampak pada struktur disekitarnya dan mengibatkan terjadinya
perubahan tekanan pada struktur tersebut. Salah satu akibatnya adalah adanya obstruksi
pada saluran pernafasan kecil yang telah dibuktikan sebagai perubahan fisiologis dini pada

7
klien dengan gagal jantung kiri. Mengingat lesi ini tidak merata disaluran paru, maka
timbul perubahan dalam distribusi ventilasi dan perfusi yang kemudian menyebabkan
terjadinya hipoksemia ringan. Terkenanya arteriola kecil juga menyebabkan gambaran
radiologis dini pada gagal jantung kiri, yaitu retribusi aliran darah dari basis ke aspek paru
pada klien dengan posisi tegak.

Jika terbentuknya cairan interstisial melebihi kapasitas sistem limfatik, maka


terjadilah edema dinding alveolar. Pada fase ini komplians paru berkurang. Hal ini
meyebabkan terjadinya tapiknea yang mungkin merupakan tanda klinis awal. Pada klien
dengan edema paru, ketidakseimbangan antara ventilasi dan aliran darah menyebabkan
hipoksemia memburuk. Meskipun demikian, ekskresi karbondioksida tidak tergantung dan
klien akan menunjukkan keadaan hiperventilasi dengan alkalosis respiratorik.

Selain hal yang telah disebutkan diatas, gangguan difusi juga ikut berperan. Dan
pada fase ini mungkin terjadi peningkatan pintas kanan ke kiri melalui alveoli yang tidak
mengalami ventilasi. Pada fase alveoli penuh dengan cairan, semua gambaran menjadi
lebih berat dan konplians akan menurun dengan nyata (Nowak, 2004). Alveoli terisi air
dan pada saat yang sama aliran darah kedaerah tersebut tetap berlangsung, maka pintas
kanan dan kiri aliran darah akan menjadi lebih berat dan akan menyebabkan hipoksemia
yang rentan terhadap peningkatan konsentrasi oksigen yang diinspirasi. Kecuali pada
keadaan yang berat, hiperventilasi dan alkalosis respiratorik akan tetap berlangsung.

Secara radiologisakan tampak gambaran infiltrat alveolar yang tersebar di seluruh


paru, terutama di daerah parahiral dan basal. Ketika klien dalam keadaan sadar, dia akan
tampak mengalami sesak napas hebat dan ditandai dengan takipnea, takikardi, serta
sianosis bila pernapasannya tidak dibantu. Keadaan ini biasanya disebut sebagai Adult
Respiratory Distress Syndrom (ARDS).

a. Distensi vena jugularis, peningkatan tekanan vena sentral.


b. Peningkatan tekanan darah, denyut nadi penuh, kuat.
c. Melambatnya waktu pengosongan vena-vena tangan.
d. Edema perifer dan periorbita.
e. Asites, perfusi pleura, edema paru akut (dispnea, takipnea, ronki basah di seluruh
lapangan paru).
f. Penambahan berat badan secara cepat : penambahan 2% = kelebihan ringan,
penambahan 5% = kelebihan sedang, penambahan 8% = kelebihan berat.

8
Deskripsi Proses Patofisiologis dan Tanda Klinis
Edema paru  Penyebab terbanyak odema paru adalah gagal jantung kiri.
kardiogenik
 Secara ringkas yang terpenting adalah membedakan apakah edema paru
terjadi karena kardiogenik atau karena ARDS.
 Pemeriksaan klinis, laboratoris, dan radiologis bisa saja mirip pada
kedua keadaan tersebut. Sering kali diagnosis dapat ditegakkan setelah
mengukur pulmonaru copillary wedge pressure (PCWP).
 Edema paru kardiogenik amat jarang terjadi pada klien yang memiliki
ukuran jantung normal, kecuali pada infark miokard akut. Efusi pleura
jarang terjadi pada ARDS: jika ada, hal ini menandakan adanya
peningkatan tekanan kapiler paru.
Sindrome  Peningkatan tekanan kapiler paru dan edema paru dapat terjadi pada
kognitife vena
klien dengan kelebihan cairan intravaskuler dengan ukuran jantung
normal. Ekspensi intravaskular tidak perlu terlalu besar untuk
terjadinya kongesti vena, karena vasokonstriksi sistemik dapat
menyebabkan pergeseran volume darah ke dalam sirkulasi sentral.
 Sindrom ini sering terjadi pada klien yang mendapat cairan kristaloid
atau darah intravena dalam jumlah besar, terutama pada klien dengan
gangguan fungi ginjal.
 Pemberian kortikosteroid menyebabkan gangguan kongesti vena lebih
lanjut. Sindrom kongesti vena (fluid overload) ini sering terjadi pada
klien dengan trauma yang luas dan mendapat intake (infusan) cairan
dalam jumlah besar untuk menopang sirkulasi.
 Pada fase penyembuhan, terjadilah edema paru.
 Kongesti vena dan ARDS dapat dibedakan dengan PCWP yang normal
pada ARDS. Kongesti vena dapat dibedakan dari gagal jantung kiri
dengan memeriksa nilai curah jantung yang normal dan hasil analisis
gas darah (AGD) yang normal pada kongesti vena.
Edema paru  Keadaan ini terjadi pada klien dengan gangguan sistem saraf pusat dan
neurogenik
pasca-iktal (post-ictal).
 Diduga dasar mekanisme edema paru neurogenik adalah adanya
rangsangan hipotalamus yang menyebabkan rangsangan pada sistem
adrenergik, yang kemudian menyebabkan pengerasan volume darah

9
dari sirkulasi sistemik ke sirkulasi pulmunal dan penuaan komplians
ventrikel kiri.
 Edema paru neurogeniksering terjadi pada klien trauma kepala, tapi
juga dapat berhubungan drngan peningkatan tekanan intrakranial
karena berbagai sebab, dan klien yang berusia muda. Pada klien dengan
trauma kepala, edema paru dapat terjadi dalam waktu yang singkat.
Mekanisme neurogenik mungkin dapat menjelaskan terjadinya edema
paru pada klien pemakai heroin.
Edema paru  Edema paru akan terjadi pada orang normal yang naik sampai
karena
kehilangan ketinggian 2700 m (9000 kaki) tanpa faktor presipitasi. Keadaan yang
tempat meskipun jarang tapi cukup serius ini dapat terjadi pada orang yng
mendaki untuk pertama kali, namun lebih sering pada mereka yang
sudah beraklimitasi yang terlalu lama tinggal di tempat yang lebih
rendah.
 Penyebab keadaan ini tidak diketahui.
 Diduga mekanismenya adalah hipoksia karena ketinggian
menyebabkan hipertensi pulmunal. Gejala edema paru karena
ketinggian terjadi 6-36 jam setelah tiba di tempat yang tinggi. Latihan
yang berlebihan lebih memungkinkan timbulnya keadaan ini. Keluhan
awala adalah batuk kering, sesak napas, dan sakit atau perasaan
tertekan di daerah substernal.
Insufisiensi  Penyebab insufisiensi paru pascatrauma belum diketahui. Meskipun
paru
pascaptrauma penelitian histologi menekankan adanya fibrin dan mikroemboli
trombosit dalam vaskularisasi paru. Hal yang perlu ditekankan disini
adalah Insufisiensi paru pascaptrauma dapat timbul tanpa harus ada
trauma paru.
Aspirasi cairan  Aspirasi cairan lambung dapat menyebabkan ARDS.
Lambung
 Hasil eksperimen pada binatang menunjukkan adanya hubungan antara
berat ringannya keadaan dengan pH asam lambung dan volume cairan
yang diaspirasi. Asam lambung dengan pH 2,5 hanya menyebabkan
peningkatan sementara. Asam lambung akan menyebar di dalam paru
dalam beberapa detik saja dan jaringan paru akan terdapar (buffered)
dalam beberapa menit.

10
 Pada keadaan yang berat dapat terjadi hipotensi yang mungkin
disebabkan oleh penurunan refleks curah jantung melalui saraf vagus.
Sepsis  Septikimia karena hasil gram negatif infeksi ekstrapulmonal
merupakan faktor penyebab penting edema paru karena peningkatan
permeabilitas kapiler paru. Edema paru difus dapat terjadi tanpa
multiplikasi aktif mikroorganisme dalam paru.
 Edema paru adalah gambaran yang sering dijumpai pada syok sepsis.
Hal ini jelas tidak berhubungan dengan hipotensi saja, karena hal ini
juga dapat timbul pada klien dengan sepsis tanpa syok.
 Sepsis sering ditemukan pada klien yang diduga menderita insufisiensi
paru pascatrauma sehingga diperkirakan sebagai faktor penyebab
kecuali pada luka bakar, lesi intrakranial, atau kontusio paru.
Pneumonia  Pemeriksaan histologi dan elektron mikroskop edema paru pada infeksi
paru menunjukkan perubahan yang sama dengan edema paru karena
peningkatan permeabilitas kapiler paru.
 Virus yang sering menyebabkan gagal napas karena edema paru
hanyalah virus influenza dan virus vaeicella.
Overdosis  Penyebab edema paru karena keadaan ini tidak diketahui. Diuga ada
heroin
(narkotika) lebih dari satu mekanisme yang menyebabkan terjadinya edema paru.
 Pada beberapa klien, edema paru terjadi sangat cepat sehingga klien
meninggal dengan jarum suntik masih tertanam dalam vena. Pada klien
ini penyebab edema paru mungkin bersifat neurogenik.
 Pada klien lain gejala edema paru baru timbul kemudian. Disini
peningkatan permeabilitas kapiler paru lebih mungkin menjadi
penyebab edema paru. Mediator peningkatan permeabilitas kapiler paru
tidak diketahui. Pengukuran konsentrasi morfin dalam darah dan
jaringan menyokong konsep reaksi toksik yang berhubungan dengan
dosis.
Inhalasi asap  Sekarang jelas bahwa inhalasi asap tanpa luka bakar termis juga
dan luka bakar
saluran menjadi penyebab kematian utama.
pernapasan  Luka bakar pada saluran pernapasan diduga disebabkan energi panas
(termal). Luas luka bakar amat bervariasi dan ada tidaknya luka bakar
di bagian muka (fasial) tidak berhubungan dengan keterlibatan saluran

11
pernapasan.
 Inhalasi asap dapat terjadi tanpa luka bakar tubuh yang nyata dan jelas
merupakan suatu perlukaan (injury) kimia. Jenis kerusakan saluran
pernapasan bergantung pada jenis bahan yang terbakar dan zat kimia
yang terkandung di dalam asap yang ditimbulkan.
Inhalasi bahan  Edema paru dilaporkan disebabkan akibat inhalasi bahan kimia toksik
kimia toksik
dapat menyebabkan lesi paru seperti yang disebutkan oleh inhalasi
asap.
 Edema paru dilaporkan dapat disebabkan oleh paparan terhadap fosgen,
klorin, oksida nitrogen, ozon, sulfur dioksida, oksida metalik, uap
asam, dam uap bahan kimia kompleks lainnya.
Toksisitas  Oksigen dalam konsentrasi tinggi ternyata bersifat toksik terhadap
oksigen
paru. Terdapat variasi yang menonjol tentang saat timbulnya perubahan
fungsi paru dengan periode laten antar 24-72 jam setelah paparan
terhadap oksigen 100 %.
 Lesi yang ditimbulkan dari segi histologi mirip dengan edema paru
yang disebabkan oleh peningkatan permeabilitas kapiler paru. Di
bawah mikroskop elektron, perubahan awal yang terjadi adalah
penebalan ruang intertisial oleh cairan edema yang berisi serat fibrin,
leukosit, trombosit, dan makrofag. Ini terjadi sebelum tampak
kerusakan sel endotel dengan perlukaan yang lebih berat sel-sel ini
tampak dalam berbagai tingkatan kerusakan.
 Pada saat ini teori radikal bebas (free-radical theiory) menunjukkan
bahwa edema paru pada klien dengan hipoksia disebabkan oleh
metabolit reaktif dan oksigen molekular.
Neor Drowing  Edema paru dapat terjadi pada mereka yang selamat dari tenggelam di
air tawar atau air laut. Autopsi korban yang tidak bisa diselamatkan
menunjukkan adanya perubahan patologi paru yang sama dengan
perubahan pada edema paru karena sebab lain.
 Studi mikroskopik elektron pada binatang percobaan menunjukkan
bahwa perubahan penting yang terjadi saat tenggelam di air tawar
adalah perubahan osmotik yang ditandai dengan disrupsi selular berat,
pembengkakan mitokondria, dan destruksi endotelial. Pada tenggelam

12
dengan air laut, strutur paru masih dipertahankan, tapi terjadi formasi
vakuola, diskontinuitas deretan sel alveolar (alveolar lining cells), dan
pembengkakan sel.
 Pada saat tenggelam, korban biasanya mengaspirasi sejumlah air. Air
tawar bersifat hipotonis, sedangkan air laut adalah hipertonis relatif
terhadap darah. Perbedaan dua sifat air itulah yang menyebabkan
terjadinya pergerakan cairan melalui membrab alveolar kapiler ke
dalam darah atau ke dalam paru. Resultan perubahan konsentrasi
elektroklit dalam darah sebanding dengan volume cairan yang
diaspirasi.
Emboli lemak  Mekanisme terjadinya emboli lemak sampai saat ini masih belum jelas.
Lemak netral yang mengemboli paru jelas berasal dari lemak sumsung
tulang belakang yang dilepaskan oleh tenaga mekanis. Mungkin
sebagian lemak netral dihidrolisis menjadi asam lemak bebas oleh
lipoprotein lipase dalam paru dan kerusakan utama pada paru
disebabkan oleh asam lemak bebas.
 Kerusakan paru terjadi melalui hipertensi pulmunal yang disebabkan
oleh embolisasi dan trombositopenia yang diinduksi oleh lemak yang
bersirkulasi atau koogulasi dan lisis fibrin dalam paru.
 Emboli lemak banyak ditemukan pada kasus fraktur tulang panjang,
terutama femur atau tibia.
Uremia  Edema paru sering terjadi pada klien gagal ginjal. Pada banyak klien
ditemukan juga pada kasus gagal jantung kiri sebagai akibat kombinasi
anemia, hipertensi, aterosklerosis, dan klasifikasi vaskuler.
 Pada beberapa klien, peningkatan volume intravaskuler dan plasma
dapat menyebabkan sindrom kongesti vena tanpa adanya penyakit atau
kelainan miokard. Walaupun demikian, edema paru dapat pula terjadi
pada klien dengan tkanan kapiler paru yang normal, dan edema paru
akan hilang setelah dianalisis meskipun didapatkan keseimbangan
cairan yang positif. Keadaan ini menunjukkan adanya pneuminitis
uremik pada beberapa klien karena peningkatan permeabilitas paru.
 Gambaran histologi paru pada klien tersebut serupa dengan yang
ditemukan pada edema paru akibat peningkatan permeabilitas kapiler

13
paru karena sebab lain.
Pankreatitis  Meskipun banyak faktor yang amat mungkin menyebabkan edema paru
pada klien dengan pankreatitis, namun pada 5-25% diduga
penyebabnya adalah ARDS.
 Tingginya komsentrasi protein cairan edema menyokong diagnosis ini.
 Pelepasan zat-zat seperti tripsin, fosfolipase A, dan kalikrein selama
pankreatitis diduga mendasari mekanisme terjadinya edema paru.

Semua pembuluh darah bocor. Pada manusia dewasa, kebocoran dari sirkulasi paru
membentuk kurang dari 0,01% aliran darah paru, atau filtrasi basal sekitar 15mLjam. Dua
pertiga lairan ini terbemtuk melalui endotel kapiler paru menuju ruang interstisium
perikapiler. (gambar 9-26).

Hal ini adalah satu dari duaruang ekstravaskuler diparu-ruang interstisium dan
ruang udara- yang mengandung alaveolus dan saluran napas penghubung. Kedua ruang
ini dilindungi oleh sawar yang berbeda. Endotel kapiler paru mencegah ekstravansi
kedalam ruang interstisium sementara epitel alveolus melapisi ruang udara dan
melindunginya dari gerakan bebas cairan. Cairan edema tidak mudah memasuki ruang
alveolus karena epitel alveolus hampir tidak permeable terhadap protein. Sawar protein
ini menghasilkan gradien osmotik kuat yang mendorong akumulasi cairan di
interstisium.

Jumlah cairan yang menembus endotel kapiler paru ditentukan oleh luas jaringan
kapiler, permeabilitas dinding pembuluh darah, dan tekannan netto yang mendorongnya
menembus dinding (tekanan transmural atau pendorong). Tekanan transmural
mencerminkan keseimbangan antara gaya-gaya hidrostatik yang cenderung
memindahkan cairan keluar kapiler dan gaya osmotik koloid netto yang cenderung
menahannya. Ketidakseimbangan satu atau lebih dari keempat faktor ini- permeabilitas
kapiler endotel, permeabilitas epitel alveolus, tekanan hidrostatik, dan tekanan osmotik
koloid- berada dibalik hampir semua gambaran klinis edema paru.

Secara ringkas , keempat faktor ini dikelompokkan menjadi dua jenis edema paru:
kardiogenik, yang menunjukkan edema akibat peningkatan netto tekanan transmural
(hidrostatik atau osmotik); dan non-kardiogenik, yang menunjukkan edema yang terjadi
akibat peningkatan permeabilitas. Grup pertama merupakan proses mekanis, dan yang

14
kedua terutama merupakan proses peradangan. Namun, berkaitan erat: edema paru
terjadi jika tekanan kapiler tertentu. Contohnya, jika terjadi kerusakan endotel kapiler,
peningkatan ringan tekanan transmueal pembentukan edema yang mencolok. Demikian
juga, jika sawar epitel alveolus rusak, bahkan viltrasi basal melalui endotel yang utuh
sudah dapat membuat alveolus dipenuhi cairan.

Gambar 9-27 stadium-stadium dalam akumulasi cairan edema paru.terdapat tiga


kolom yang mewakili tiga gambaran anatomis akumulasi progresif cairan edema paru.
Dari kiri kekanan, kolom-kolom mencerminkan potongan melintang berkas
bronkovaskuler yang memperlihatkan jaringan ikat longgar yang mengelilingi dinding
bronkus dan arteri pulmonalis, potongan melintang alveolus yang terfiksasi dalam inflasi,
dan potongan melintang kapiler paru. Stadium pertama adalah akumulasi cairan dibagian
tepi ruang interstisium perikapiler. Terbatasnya cairan edema disatu sisi kapiler paru
menghasilkan pertukaran gas yang lebih baik dibandingkan pada akumulasi yang simetri.
Jika pembentukan cairan edema melebihi kemampuan pembuluh limfe untuk
membersihkannya, hal ini akan meregangkan interstisium peribronkovaskular. Pada
stadium ini, alveolus belum dibanjiri oleh cairan edema tetapi terisi sebagaian
membentuk gambaran bulan sabit. Stadium ketiga adalah terisinya alveolus oleh cairan.
Perhatikan bahwa masing-masing dipenuhi sepenuhnya atau terisi minimal(terbentuk
bulan sabit) pola ini terjadi karena edema alveolus mengganggu surfaktan dan, diatas
ambang tertentu, terjadi peninggkatan gaya-gaya permukaan yang sangat meninggkatkan
tekannan transmural dan menyebabkan banjir. (Dimodifikasi diproduksi ulang dengan

15
izin, dari Nunn JF: Nunn’s Applied Respiratory Physiologi, 4th ed. Butterworth-
Heinemann, 1933).

Beberapa mekanisme membantu pembersihan ultrafiltrat dan mencegah


akumulasinya sebagai edema paru. Meskipun tidak terdapat pembuluh limfe di septum
alveolus, terdapat pembuluh-pembuluh limfe “juksta-alveolus” di ruang perikapiler yang
normalnya membersihkan semua ultrafiltrat. Interstisium perikapiler berhubungan
dengan intertisium perivaskular dan peribronkus. Tekanan interstisium di tempat tersebut
negatif dibandingkan dengan interstisium perikapiler sehingga cairan edema mengalir ke
arah sentral, dengan menjauhi ruangan-ruangan udara. Pada akhirnya, interstisium
pervaskuler dan peribronkus bekerja sebagai reservoar atau cairan edema. Interstisium
ini dapat menampung sekitar 500 ml cairan dengan hanya sedikit peningkatan tekanan
hidrolik interstisium. Karena cairan edema ini mengandung protein lebih sedikit
dibandingkan darah, terdapat keseimbangan osmotik yang mendorong resorpsi cairan
dari interstisium ke aliran darah. Hal ini adalah cara utama resorpsi cairan dari bagian-
bagian pengumpul ini. Interstisium perivaskuler dan peribronkus juga berhubungan
dengan septum antarlobusdan pleura viseral. Ketika terjadi edema paru, terjadi
peningkatan aliran darah dari interstisium ke ruang pelura tempat keberadaan pembuluh
limfe parietal yang sangat efesien dalam melakukan pembersihan. Efusi pleura yang
dijumpai pada pasien dengan peningkatan tekanan vena paru mencerminkan reservoar
lain untuk cairan edema, reservoar yang lebih sedikit mengganggu fungsi respirasi
dibandingkan jika cairan sebanyak tersebut berada di parenkin paru. Akhirnya, terdapat
bukti bahwa cairan edema dapat mengalir disepanjang interstisium menuju mediastinum
dan diserap oleh pembuluh limfe disana.

Pada suatu tahap kritis (yang belum dapat dipastikan) setelah interstisium
peribronkus dan perivaskuler terisi, peningkatan tekanan hidrostatik interstisium
menyebabkan caran edema mengalir masuk keruang alveolus. Jalur menuju ruang
alveolus masih belum diketahui.

Pada kasus edema paru kardiogenik, peningkatan tekanan transmular mungkin


terjadi akibat peningkatan tekanan vena paru (menyebabkan peningkatan tekanan
hidrostatik kapiler), peningkatan tegangan permukaan alveolus (sehingga menurunkan
tekanan hidrostatk intertisium), atau penurunan tekanan osmotik koloid kapiler. Jika laju
ultranfiltrasi meningkat melebihi kapasitas pembuluh limfe perikapiler untuk
membersihkannya, akumulasi cairan interstisium akan terjadi. Jika laju pembentukan ini

16
berlanjut melebihi bersihan pembuluh limfe, alveolus akan “kebanjiran”. Karena
merupakan ultrafitrat plasma, cairan edema pada edema paru kardiogenik pada awalnya
mengandung sedikit protein, umumnya kurang dari 60% kandungan protein plasma
pasien.

Edema paru non-kardiogenik (peningkatan permeabilitas) kadang-kadang secara


klinis disebut sebagai sindrom distre/gawat napas akut (acute respiratory distress
syndrome, ARDS).Cairan alveolus menumpuk akibat hilangnya integritas epitel alveolus
sehingga zat terlarut dan molekul besar seperti albumin memasuki ruang alveolus.
Perubahan-perubahan ini mungkin terjadi akibat jejas langsung epitel alveolus oleh toksin
inhalan atau infeksi paru, atau terjadi setelah jejas primer pada endotel kapiler oleh toksin
dalam darah. Hal ini berbeda dari edema paru kardiogenik, yaitu baik epitel alveolus
maupun endotel kapiler biasanya utuh. Karena terganggunya sawar epitel, cairan edema
akibat peningkatan permeabilitas ini memiliki kandungan protein yang tinggi, umumnya
lebih dari 70% kandungan protein plasma. Kemungkinan penyebab sangat banyak dan
berkaitan dengan beragam entitas klinis (Tabel 9-6). Penyebab mengapa sedemikian
banyak penyakit berbeda dikelompokkan bersama dalam sindrom ini adalah bahwa
penyakit-penyakit tersebut semua memperlihatkan jejas epitel alveolus dan kerusakan
surfaktan paru, yang menyebabkan perubahan khas pada mekanika dan fungsi paru.

Pada cedera inhalasi, seperti yang ditimbulkan oleh gas mustard selama Perang
Dunia I, terjadi jejas kimiawi langsung pada epitel alveolus yang merusak sawar selular
yang biasanya ketatini. Adanya cairan berprotein tinggi di alveolus, terutama adanya
fibrinogen dan produk penguraian fibrinogen, menginaktifkan surfaktan paru, yang
menyebabkan peningkatan drastic tegangan permukaan. Hal ini menyebabkan
berkurangnya compliance paru dan instabilitas alveolus sehingga terbentuk daerah-daerah
atelectasis. Peningkatan tegangan permukaan menurunkan tekanan hidrostatik interstisium
dan mendorong aliran cairan dalam alveolus. Kerusakan lapisan surfaktan dapat
meningkatkan kerentanan terhadap infeksi.

Faktor-faktor dalam darah dapat bekerja langsung pada endotel kapiler atau
mempengaruhinya melalui berbagai mediator imunologis. Contoh umum adalah
bacteremia Gram-negatif. Endotoksin bakteri tidak secara langsung merusak endotel;
endotoksin ini menyebabkan neutrophil dan makrofag melekat pada permukaan endotel
dan membebaskan beragam mediator peradangan seperti leukotriene, tromboksan, dan
prostaglandin sertaradikal-radikaloksigen yang menyebabkan cedera oksidatif. Baik

17
makrofag maupun neutrophil dapat mengeluarkan enzim proteolitik yang memperparah
kerusakan. Makrofag alveolus jug ada patter stimulasi. Zat-zat vasoaktif dapat
menyebabkan vasoaktif dapat menyebabkan vasokonstriksi hebat di paru sehingga terjadi
kegagalan kapiler.

Patologi edema paru akibat peningkatan permeabilitas menecerminkan perubahan-


perubahan ini. Paru tampak jelas edematosa dan berat. Permukaan tampak keunguan, dan
keluar cairan hemoragik jika permukaan pleura dipotong. Secara mikroskopis, terjadi
sebukan septum antaralveolus dan interstisium oleh sel radang dan eritrosit. Pneumosit
tipe I mengalami kerusakan, dan menyebabkan awar alveolus yang terbuka. Dengan
ketiadaan epitel alveolus, terbentuk membran hialin. Membran ini merupakan lembaran
material merah muda berprotein yang dibentuk oleh protein plasma, fibrin dan koagulasi
debris sel. Fibrosis terjadi pada sebagian kasus. Pemulihan sempurna yang disertai
regenerasi epitel alveolus dari pneumosit tipe II dapat terjadi.

2.5 Manifestasi Klinis

Secara umum manisfestasi klinis:

1. Serangan khas terjadi pada malam hari setelah berbaring selama beberapa jam dan
biasanya di dahului dengan rasa gelisah, ansietas, dan tidak dapat tiur.
2. Awitan sesak napas mendadak dan rasa asfikasia (seperti kehabisan napas), tangan
menjadi abu – abu.
3. Nadi cepat dan lemah, vena leher distensi.
4. Batuk hebat menyebabkan peningkatan jumlah sputum mukoid.
5. Dengan makin berkembangnya edema paru, ansietas berkembang menjadi
mendekati panik, pasien mulai bingung, kemudian stupor.
6. Napas menjadi bising dan basah, dapat mengalami asfiksia oleh cairan bersemu
darah dan berbusa ( dapat tenggelam oleh cairan sendiri).
7. napas yang cepat ( tachypnea ), kepeningan atau kelemahan.
8. Tingkat oksigen darah yang rendah ( hypoxia ).
9. suara paru yang abnormal , seperti rales atau crackles.

Edema paru kardiogenik dan non-kardiogenik menyebabkan penambahan air paru


ekstravaskular, dan keduanya dapat menyebabkan gagal napas. Karena patofisiologinya
berbeda, tidaklah mengherankan jika manifestasi klinis kedua sindrom ini sangat berbeda.

18
2.5.1 EDEMA PARU AKIBAT PENINGKATAN TEKANAN TRANSMURAL
(EDEMA PARU KARDIOGENIK)

Pada awalnya, peningkatan tekanan vena paru dapat tidak menimbulkan gejala.
Pasien mungkin hanya merasa dispnea ringan saat berolah raga atau batuk non-produktif
yang dirangsang oleh pengaktifan reseptor-reseptor iritan yang berhubungan dengan
serabut C. Ortopnea dan serangan-serangan dispnea malam hari yang terjadi ketika
berbaring menyebabkan, redistribusi darah atau cairan edema yang semula terkumpul di
tungkai sehingga meningkatkan volume darah toraks dan tekanan vena paru.

Tanda klinis dimulai dengan akumulasi cairan cairan interstisium. Pemeriksaan


fisik dapat mengungkapkan adanya bunyi jantung ketiga, tetapi pada edema interstisium
murni kelainan paru tidak ditemukan. Tanda yang paling dini umumnya adalah gambaran
radiografi yang memperlihatkan peningkatan kaliber pembuluh-pembuluh lobus atas
(‘’redistribusi vaskular paru”) dan akumulasi cairan di ruang perivaskular dan peribronkus
(“cuffing”). Radiografi juga dapat memperlihatkan garis Kerley B, yang mencerminkan
cairan di septum antarlobus. Daya compliance paru menurun, dan pasien mulai bernapas
lebih cepat dan dangkal untuk memperkecil peningkatan kerja napas. Dengan mulai
dibanjirnya alveolus oleh cairan edema, volume dan compliance paru semakin menurun.
Karena sebagian alveolus terisi cairan, terjadi peningkatan fraksi paru yang mendapat
perfusi tetapi kurang mendapat ventilasi. Pergeseran ke arah rasio V/Q yang rendah ini
menyebabkan peningkatan A-a ∆PQ2, jika bukan hipoksemia. PaCO2 tetap normal atau
rendah, yang mencerminkan peningkatan dorongan untuk bernapas. Pasien dapat
berkeringat dan sianotik. Sputum dapat memperlihatkan cairan edema yang berwarna
merah muda akibat perdarahan kapiler dan bebusa karena adanya protein. Auskultasi
mengungkapkan adanya ronki kasar inspiratorik terutama di basal, tempat dengan tekanan
hidrostatik yang pailng besar, tetapi mungkin juga di seluruh paru. Ronki halus dan mengi
(“asma kardiak”) dapat terdengar. Radiografi memperlihatkan daerah-daerah alveolus
yang dipenuhi cairan.

19
Gambar 9-27. Stadium-stadium dalam akumulasi cairan edema paru. Terdapat tiga kolom
yang mewakili tiga gambaran anatomis akumulasi progresif cairan edema paru. Dari kiri
kekanan, kolom-kolom mencerminkan potongan melintang berkas bronko vaskular yang
memperlihatkan jaringan ikat longgar yang mengelilingi dinding bronkus dan arteri
pulmonalis, potongan melintang alveolus yang terfiksasi dalam inflasi, dan potongan
melintang kapiler paru. Stadium pertama adalah akumulasi cairan di bagian tepi ruang inter
stisium perikapiler. Terbatasnya cairan edema di satu sisi kapiler paru menghasilkan
pertukaran gas yang lebih baik di bandingkan pada akumulasi yang simetris. Jika
pembentukan cairan edema melebihi kemampuan pembuluh limfe untuk membersihkannya,
hal ini akan meregangkan inter stisium peribronkovaskular. Pada stadium ini, alveolus belum
dibanjiri oleh cairan edema tetapi terisi sebagian membentuk gambaran bulan sabit. Stadium
ketiga adalah terisinya alveolus oleh cairan. Perhatikan bahwa masing-masing alveolus
dipenuhi sepenuhnya atau terisi minimal (berbentuk bulan sabit). Pola ini mungkin terjadi
karena edema alveolus mengganggu surfaktan dan, di atas ambang tertentu, terjadi
peningkatan gaya-gaya permukaan yang sangat meningkatkan tekanan transmural dan
menyebabkan banjir. (Dimodifikasi dan diproduksi ulang dengan izin, dari Nunn JF: Nunn’s
Applied Respiratory Physiology, 4th ed. Butterworth-Heinemann, 1993)

20
2.5.2 EDEMA PARU AKIBAT PENINGKATAN PERMEABILITAS (EDEMA PARU
NON-KARDIOGENIK)

Bentuk tersering edema paru akibat peningkatan permeabilitas adalah ARDS.


ARDS umunya adalah konsekuensi dari kondisi medis terpisah. Ragam gambaran klinis
mencakup semua diagnosis pada ICU dewasa. Bagaimanapun, terdapatgambaran-
gambaran klinis yang mencerminkan patofisiologi penyakit.

Setelah cedera awal (mis., episode bacteremia berat), umumnya timbul


periodestabilitas, yang mencerminkan waktu yang diperlukan untuk berbagai mediator
imunologis untuk ‘’menimbulkan kerusakan’’. Surfaktan menjadi tidak aktif sehingga
tegangan permukaan meningkat bermakna dan compliance paru menurun tajam. Selama
24-48 jam pertama setelah cedera awal, pasien dapat mengalami kesulitan bernapas yang
bermanifestasi sebagai dyspnea dan takipnea tetapi tanpa kelainan pada radiografitoraks.
Pada stadium awalini, peningkatan A-a ∆PQ2mencerminkan edema alveolus dan
ketidaksesuaian V/Q serta dikoreksi dengan meningkatkan FiO2 dan ventilasi minor.
Secara patologis, terjadi edema alveolus, perdarahan, dan atelektasis. Gambaran klinis
mungkin membaik, atau mungkin terjadi penurunan lebih lanjut compliance dan kerusakan
kapiler paru sehingga terbentuk bagian-bagian paru dengan pirau dan hipoksemia
refrakter. Gabungan peningkatan kerja bernapas dan hipoksemia berat umumnya
mengharuskan tindakan ventilasi mekanis. Namun, kekakuan paru meningkatkan ventilasi
non-homogen, dan terjadi peningkatan ventilasi didaerah-daerah yang kurang mendapat
perfusi. Tingginya tekanan yang dibutuhkan untuk memberi ventilasi kepasien dapat
menyebabkan alveolus normal teregang berlebihan dan mengurangi aliran darah kedaerah-
daerah dengan ventilasi yang memadai. Secarara diografis, terjadi “whiteout” paru yang
mencerminkan pengisian alveolus yang konfluen dan difus oleh cairan. Secara patologis,
terjadi peningkatan sel radang dan pembentukan membrane hialin. Angka kematian adalah
30-40%. Sebagian besar pasien meninggal akibat komplikasi dari penyaki tpenyebabnya.
Dari mereka yang bertahan hidup, sebagian besarakan pulih dengan fungsi paru yang
hamper normal, tetapi cukup banyak juga yang mengalami gangguan reaktif saluran napas
atau fibrosis pulmonal.

21
2.6 Pemeriksaan Diagnostik

1. Pemeriksaan laboratorium

Penurunan hematokrit, protein serum rendah, natrium serum normal, natrium urine
rendah (<10 mEq/24 jam).

2. Pemeriksaan radiologis

Pada foto thorak terdapat kavitas dengan dinding tebal dengan tanda-tanda
konsolidasi di sekelilingnya. Kavitas ini bisa multiple atau tunggal dengan ukuran 2-
20 cm.

2.7 Pemeriksaan Fisik

Sianosis sentral , sesak napas dengan bunyi napas seperti mukus berbuih. Ronchi
basah nyaring di basal paru kemudian memenuhi hampir seluruh lapangan paru , kadang
disertai ronchi kering dan ekspirasi yang memanjang akibat bronkospasme sehingga
disebut sebagai asma kardiale. Takikardi dengan s3 gallop. Murmur bila ada kelainan
kutup elektrokardiografi bisa sinus takikardi dengan hipertrofi atrium kiri atau fibrilasi
atrium , tergantung penyebab gagal jantung. Gambaran infark , hipertrofi , ventrikel kiri
atau aritmia bisa ditemukan.

2.8 Penatalaksanaan

Pada edema paru di tempat terjadinya peningkatan tekanan, dilakukan terapi


bertujuan untuk mengurangi tekanan hidrostatik yang menyebabkan edema tersebut.
Prinsip dasar pengelolaannya adalah tirah baring, oksigenasi yang adekuat, dan
pembatasan garam dalam diet. Obat-obatan yang dapat dipakai adalah kelompok
vasodilator, diuretik dan obat-obatan inotropik.

Tujuan terapi pada edema paru yang disebabkan oleh peningkatan permeabilitas
adalah untuk menghilangka faktor penyebab perlukaan paru, perbaikan keadaan umum
dan memberi kesempatan pada paru-paru untuk membaik, serta sejauh mungkin
mengurangi tekanan yang menyebabkan pergeseran cairan melalui barrier yang terluka.
Hal ini penting, karena terapi spesifik untuk perlukaan akut paru pada umumnya tidak ada

22
(kecuali bila penyebabnya adalah infeksi), dan terapi suportif merupakan satu-satunya
pilihan.

Sasaran penatalaksanaan medikal adalah untuk mengurangi volume total yang


bersrkulasi dan untuk memperbaiki pertukaran pernapasan.

1. Oksigenasi
1. Diberikan dalam konsentrasi yang adekuat untuk menghilangkan hipoksia dan
dispnea.
2. Oksigen dengan tekanan intermiten atau tekanan positif kontinu, jika tanda –
tanda hipoksia menatap.
3. Intubasi endotrakeal dan ventilasi mekanik, jika terjadi gagal napas.
4. Tekanan ekpirasi akhir positif (PEEP).
5. Gas darah arteri (GDA).

2. Farmakoterapi
1. Morfin : IV dalam dosis kecil untuk mengurangi ansietas dan dispnea:
merupakan kontraindikasi pada cedera vaskular serebral, penyakit pulmonal
kronis, atau syok kardiogenik. Siapkan selalu nalokson hidroklorida (narcan)
untuk depresi pernapasan luas.
2. Diuretik : furosemid (lasix) IV untuk membuat efek diuretik cepat.
3. Digitalis : unutk memperbaiki kekuatan kontraksi jantung: diberikan dengan
kewaspadaan tinggi pada pasien dngan MI akut.
4. Aminofilin: untuk mengi dan bronkospasme, drip IV kontinu dalam dosis
sesuai berat badan.

3. Perawatan suportif
1. Baringkan pasien tegak, dengan tungkai dan kaki dibawah, lebih baik bila kaki
terjuntai disamping tempat tidur, untuk membantu arus balik vena ke jantung.
2. Yakinkan pasien, gunakan sentuhan untuk memberikan kesan realitas yang
konkret.
3. Maksimalkan waktu kegiatan di tempat tidur.
4. Berikan informasi yang sering, sederhana, jelas tentang apa yang sdang
dilakukan untuk mengatasi kondisi dan apa makna respons terhadap
pengobatan.

23
2.9 Evaluasi diagnostik

Manifestasi klinis dan pemeriksaan hemodinamik.

2.10 Komplikasi

Kebanyakan komplikasi- komplikasi dari pulmonary edema mungkin timbul dari


komplikasi – komplikasi yang berhubungan dengan penyebab yang mendasarinya. Lebih
spesifik , pulmonary edema dapat menyebabkan pengoksigenan darah yang
dikompromikan secara parah oleh paru-paru. pengoksigenan yang buruk ( hypoxia ) dapat
secara potensial menjurus pada pengantaran oksigen yang berkurang ke organ-organ tubuh
yang berbeda, seperti otak.

2.11 Pencegahan

Dalam hal tindakan – tindakan pencegahan , tergantung pada penyebab dari


pulmonary edema , beberapa langkah- langkah dapat diambil. Pencegahan jangka panjang
dari penyakit jantung dan serangan – serangan jantung , kenaikan yang perlahan
ketinggian – ketinggian yang tinggi, atau penghindaran dari overdosis obat dapat
dipertimbangan sebagai pencegahan. Pada sisi lain , beberapa sebab-sebab mungkin tidak
sepenuhnya dapat dihindari atau dicegah, seperti AIDS yang disebabkan oleh infeksi atau
trauma yang berlimpahan.
Langkah tindakan pencegahan :
1. Kenali tahap dini, kapan tanda – tanda dan gejala – gejala yang ditunjukkan
merupakan tanda dan gejala kongesti pulmonal, y.i., auskultasi bidang paru – paru
pasien dengan penyakit jantung.
2. Baringkan pada posisi tegak dengan tungkai dan kaki lebih rendah.
3. Hilangkan stres emosional dan terlalu letih untuk mengurangi kelebihan beban
ventrikel kanan.
4. Berikan morfin untuk mengurangi ansietas, dispnea, dan preload.
5. Pendekatan batasan luas diarahkan pada prekursornya, kongesti pulmonal.
6. Lakukan tindakan untuk mencegah gagal jantung kongestif dan penyuluhan pasien
7. Nasihatkan untuk tidur dengan bagian kepala tempat tidur ditinggikan 25 cm (10
inci).
8. Tindakan bedah unutk menghilangkan atau meminimalkan defek vallvular yang
membatasi aliran darah kedalam dan keluar ventrikel.

24
BAB III

TINJAUAN KEPERAWATAN

3.1 Pengkajian keperawatan

1. Sistem integumen
Subyektif : -
Obyektif : kulit pucat, cyanosis, turgor menurun (akibat dehidrasi sekunder), banyak
keringat, suhu kulit meningkat, kemerahan
2. Sistem pulmonal
Subyektif : sesak nafas, dada tertekan, cengeng
Obyektif : pernafasan cuping hidung, hiperventilasi, batuk (produktif/non produktif),
sputum banyak, penggunaan otot bantu pernafasan, pernafasan diafragma dan perut
meningkat, laju pernafasan meningkat, terdengar stridor, ronchii pada lapang paru
3. Sistem cardiovaskular
Subyektif : sakit kepala
Obyektif : denyut nadi meningkat, pembuluh darah vasokonstriksi, kualitas darah
menurun, denyut jantung tidak teratur, suara jantung tambahan
4. Sistem neurosensori
Subyektif : gelisah, penurunan kesadaran, kejang
Obyektif : GCS menurun, refleks menurun/normal, letargi
5. Sistem musculoskeletal
Subyektif : lemah, cepat lelah
Obyektif : tonus otot menurun, nyeri otot/normal, retraksi paru dan penggunaan otot
aksesoris pernafasan
6. Sistem genitourinaria
Subyektif : -
Obyektif : produksi urine menurun/normal
7. Sistem digestif
Subyektif : mual, kadang muntah
Obyektif : konsistensi feses normal/diare
8. Studi laboratorik
Hb : menurun/normal

25
Analisa gas darah : acidosis respiratorik, penurunan kadar oksigen darah, kadar
karbon darah meningkat/normal
Elektrolit : natrium/kalsium menurun/normal

3.2 Diagnosis Keperawatan

1. Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d intubasi, ventilasi, proses penyakit, kelemahan
dan kelelahan
2. Gangguan pertukaran gas b.d sekresi tertahan, proses penyakit, atau pengesetan
ventilator tidak tepat
3. Gangguan komunikasi verbal b.d pemasangan selang endotrakeal
4. Resiko tinggi infeksi b.d pemasangan selang endotrakeal

3.3 Rencana Intervensi

Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d intubasi, ventilasi, proses penyakit
1. Tujuan : jalan nafas dapat dipertahankan kebersihannya
2. Kriteria evaluasi : suara nafas bersih, ronchii tidak terdengar pada seluruh lapang
paru.
Rencana Intervensi Rasional

Auskultasi bunyi nafas tiap 2-4 jam Beri bronkodilator

Lakukan hisap lendir bila ronchii terdengar Tekanan penghisapan tidak lebih 100-
200 mmHg. Hiperoksigenasi dengan 4-5
kali pernafasan dengan O2 100% dan
hiperinflasi dengan 1½ kali VT
menggunakan resusitasi manual atau
ventilator. Auskultasi bunyi nafas
setelah penghisapan.

Monitor humidivier dan suhu ventilator Oksigen lembab merangsang


pengenceran sekret. Suhu ideal 35-
37,80 C

Monitor status hidrasi klien Mencegah sekresi kental

26
Monitor ventilator tekanan dinamis Peningkatan tekanan tiba-tiba mungkin
menunjukkan adanya perlengketan jalan
nafas

Beri Lavase cairan garam faali sesuai Memfasilitasi pembuangan sekret


indikasi
Beri fisioterapi dada sesuai indikasi Memfasilitasi pengenceran dan
pengeluaran sekret menuju bronkus
utama

Beri bronkodilator Memfasilitasi pengeluaran secret


menuju bronkus utama

Gangguan pertukaran gas b.d sekresi tertahan, proses penyakit, atau pengesetan
ventilator tidak tepat.
1 Tujuan : Pertukaran gas jaringan paru optimal.
2 Kriteria evaluasi : Gas Darah Arteri dalam keadaan normal.

Rencana tindakan Rasional

Periksa AGD 10-30 menit setelah AGD diperiksa sebagai evaluasi status
pengesetan ventilator atau setelah adanya pertukaran gas, menunjukkan konsentrasi
perubahan ventilator O2 & CO2 darah

Monitor AGD atau oksimetri selama Periode penyapihan rawan terhadap


periode penyapihan perubahan status oksigenasi

Kaji apakah posisi tertentu menimbulkan Dalam berbagai kondisi, ketidaknyamanan


ketidaknyamanan pernafasan dapat mempengaruhi klinis penderita

Monitor tanda hipoksia dan hiperkapnea Hipoksia dan hiperkapnea ditandai adanya
gelisah dan penurunan kesadaran, asidosis,
hiperventilasi, diaporesis dan keluhan sesak
meningkat.

27
Gangguan komunikasi verbal b.d pemasangan selang endotrakeal.

1. Tujuan : klien dan petugas kesehatan dapat berkomunikasi secara efektif selama
pemasangan selang endotrakeal.
2. Kriteria evaluasi : klien dan perawat menentukan dan menggunakanmetoda yang
tepat.

Rencana tindakan Rasional

Jelaskan lingkungan, semua prosedur, Mengurangi kebingungan klien dan


tujuan dan alat yang berhubungan dengan meminimalisasi adanya komunikasi yang
klien sulit antara klien dan perawat

Berikan bel atau papan catatan serta alat Sebagai media komunikasi anatara klien
tulis untuk komunikasi dan perawat

Ajukan pertanyaan tertutup Menghindari komunikasi tidak efektif

Yakinkan pasien bahwa suara akan kembali Mengurangi kecemasan yang mungkin
bila endotrakela dilepas timbul akibat kehilangan suara

Resiko tinggi infeksi b.d pemasangan selang endotrakeal.


1. Tujuan : klien tidak mengalami infeksi nosokomial.
2. Kriteria evaluasi : tidak terdapat tanda-tanda infeksi nosokomial.

Rencana tindakan Rasional

Evaluasi warna, jumlah, konsistensi dan Infeksi traktus respiratorius dapat


bau sputum tiap kali penghisapan mengakibatkan sputum bertambah
banyak, bau lebih menyengat, warna
berubah lebih gelap

Tampung spesimen untuk kultur dan Memastikan adanya kuman dalam


sensitivitas sesuai indikasi sputum/jalan nafas

28
Pertahankan teknis steril selama Mengurangiresiko infeksi nosokomial
penghisapan lendir

Ganti selang ventilator tiap 24-72 jam Mengurangi resiko infeksi nosokomial

Lakukan oral higiene Mengurangi resiko infeksi nosokomial

Palpasi sinus dan lihat membrana mukosa Prubahan membrana mukosa dan adanya
selama demam yang tidak diketahui sinusitis mungkin menjadi indikasi
sebabnya adanya infeksi pernafasan

Monitor tanda vital terhadap tanda infeksi Infeksi dapat dilihat dari tanda
umum/khusus organ

29
3.4 Pohon Masalah

30
31
BAB IV

KESIMPULAN dan SARAN

4.1 KESIMPULAN

Edema paru merupakan suatu keadaan terkumpulnya cairan patologi di


ekstravaskular dalam paru. Kelainan ini disebabkan oleh dua keadaan, yaitu Peningkatan
tekanan hidrostatis dan Peningkatan permeabilitas kapiler paru.

Edema paru adalah penumpukan abnormal cairan didalam paru – paru, baik dalam
spasium interstisial atau dalam alveoli. Cairan bocor melalui dinding kapilar, merembes ke
jalan napas dan menimbulkan dispnea hebat. Penyakit ini merupakan kondisi yang
mengancam jiwa yang membutuhkan perhatian segera. Edema paru non kordiak telah
menjadi yang luas: menghirup toksik, takar lajak obat, dan edema paru neurogenik.
Penyebab umum edema pulmonal adalah penyakit jantung, y,i., hipertensif arterosklerotik,
valvular, miopatik. Jika tindakan yang tepat segera di lakukan, serangan dapat dihentikan
dan pasien dapat bertahan terhadap komplikasi ini.

Penyebab edema dapat dikelompokkan menjadi empat kategori umum, 1.


Penurunan konsentrasi protein plasma menyebabkan penurunan tekanan osmotic plasma.
2. Peningkatan permeabilitas dinding kapiler menyebabkan protein plasma yang keluar
dari kapiler ke cairan intertisium disekitarnya lebih banyak. 3. Peningkatan tekanan vena,
misalnya darah terbendung di vena, akan disertai peningkatan tekanan darah kapiler,
karena kapiler mengalirkan isinya kedalam vena. 4. Penyumbatan pembuluh limfe
menimbulkan edema, karena kelebihan cairan yang difiltrasi keluar tertahan di cairan
interstisium dan tidak dapat dikembalikan kedarah melalui sistem limfe.

4.2 SARAN
Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini terdapat banyak
kekuranganya dan jauh dari kesempurnaan ,oleh karena itu kami mengharapkan saran dan
kritik agar kami dapat memperbaiki dimana letak kesalahan dan kekurangan dalam
menyusun makalah ini, demi tercapainya kesempurnaan penyusunan makalah.

32
DAFTAR PUSTAKA

Aha .2009 focused update : ACCF/AHA Guidelines for the diagnosis and management of
heart failure in adults. Circulation 2009,119:1977-2006

Alasdair et al. noninvasive in acute cardiogenic pulmonary edema. N engl J Med


2008;359:142-51

Baradero, Mary. 2008. Klien gangguan kardiovaskular: seri asuhan keperawatan. Jakarta:
EGC

Carpenito, Lynda Juall.2006. Diagnosa keperawatan. Jakarta : EGC

C. Baughman, Diane. 2000. Keperawatan Medikal Bedah: Buku Saku untuk Brunner. Jakarta:
EGC

Cremers et al. 2010. Chest X-Ray Heart Failure. The Radiology Assistant. (Online). Tersedia:
Http://www.radiologyassistant.nl/en/p4c132f36513d4/chest-x-ray-heart-
failure.html. (24 November 2012)

ESC. 2008. Guidelines for the Diagnosis and Treatment of Acute and Chronic Heart Failurre
2008. European Heart Journal (2008) 29, 2388-2442
doi:10.1093/eurheartj/ehn309

ESC. 2012. Guidelines for the Diagnosis and Treatment of Acute and Chronic Heart
Failurre 2012.

European Heart Journal (2012) 33,1787-1847 doi:10.1093/eurheartj/ehn104

33
Harun S dan Sally N. Edema Paru Akut. 2009. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S, editor. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 5th Ed. Jakarta:
Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. P. 1651-1653

J McPhee, Stephen. 2010. Patofisiologi Penyakit: Pengantar Menuju Kedokteran Klinis.


Jakarta: EGC

Muttaqin, A. 2008. Asuhan keperawatan dengan Gangguan Pernafasan. Jakarta: Salemba


Medika

Maria I. 2010. Penatalaksanaan Edema Paru pada Kasus VSD dan Sepsis VAP. Anastesia &
Critical Care. Vol 28 No.2 Mei 2010.52

Soemantri. 2011. Cardiogenic Pulmonary Edema. Naskah Lengkap PKB XXVI Ilmu
Penyakit Dalam 2011. FKUNAIR-RSUD. DR.Soetomo Surabaya, hal 113-19

34

Anda mungkin juga menyukai