Anda di halaman 1dari 15

IIMAJI DAN GERAK DALAM SUPERFISIALITAS FILM

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Penulisan

Banyaknya film yang beredar dewasa ini sudah cukup menggambarkan film sudah

menjadi sebuah barang yang tak asing lagi. Banyak cara untuk memperoleh film belakangan ini,

dengan cara pergi ke bioskop, menonton di televisi, atau melalui situs-situs internet. Film

semakin menjaringi kehidupan manusia. Manusia seakan hidup di dalam bayang-bayang semu

film. Ya, kita kadang sering bertindak atau merujuk pada suatu adegan di film. Dengan merujuk

memperlihatkan bahawa sekiranya film dapat memberi suatu kesan pada diri penonton. Tidak

melulu soal makna. Maka, tak heran bahwa film memiliki realitanya sendiri yang terkadang

bercampur aduk dengan realita harian yang kita alami.

Film sebagai sebuah bentuk karya seni merupakan hasil refleksi dari realita, sehingga

menjadi sebuah karya tak main-main karena merepresentasikan sebuah kenyataan yang ada

dibaliknya. Melalui superfisialitas dalam filmlah sebuah film mampu disuguhkan di depan mata

dan dapat dinikmati. Tetapi yang menjadi pertanyaan apakah semua film dapat dinikmati?

Bukankah menikmati adalah proses untuk memaknai? Tulisan ini justru menyoroti mengenai

bagaimana sebuah film menjadi memiliki makna bagi yang menonton. Apakah benar selama ini

yang dibicarakan bahwa film yang bagus, dalam, dsb hanya berdasar pada ide cerita yang

canggih saja, atau perlu juga bekerjasama dengan superfisialitas yang canggih juga? Apakah

melalui sebuah film pemahaman akan makna realitas dapat tercapai? Pertanyaan-pertanyaan

tersebutlah yang banyak digeluti dalam dunia perfilman.


Dewasa ini film sudah menjadi sebuah barang yang tak bisa dilepaskan begitu saja, dan

karenanya juga tidak bisa begitu saja sebuah film menjadi amat seadanya, sehingga amat

menyedihkan, bahkan untuk menonontonnya. Film bagaimanapun merupakan karya seni dimana

di dalamnya terdapat proses refleksi, melalui tulisan ini berusaha memberikan pemahaman

bagaimana seorang penonton, menjadi seorang penonton yang kritis dalam arti memahami

kesuluruhan film sebagai sesuatu yang bermakna, sejauh menjadi peristiwa. Dan juga memberi

semangat bagi para sineas untuk menyajikan film sebagai sebuah peristiwa. Peristiwa yang

direfleksikan.

BAB II

FILM: IMAJI DAN GERAK

2.1. Pengertian Film

Dalam buku Untuk Apa Seni?, I. Bambang Sugiharto memberikan definisi mengenai film

sebagai sebuah seni yang memainkan imaji dan memainkan teknologi layar,1 yang akan menjadi

pembahasan dalam tulisan ini yaitu imaji dan teknologi film. Kedua hal tersebut akan saling

terkait satu dengan lainnya sebagai sebuah jalinan yang tak terpisahkan. Dimana kedua hal itulah

yang di dalam film mampu membawa seorang penonton meredefinisi dirinya sebagai satu bagian

dalam adegan. Menjadikan penonton dan film sebagai sebuah peristiwa. Dimana sebuah

peristiwa adalah pengandaian dimana terjadi ke-real-an saat itu. Saat itulah film memampukan

dirinya sendiri untuk membawa kesadaran penonton bahwa ia adalah bagian dari film itu juga.

1
Bambang Sugiharto (ed.), Untuk Apa Seni?, (Bandung: Matahari, 2013), 308-309
Singkat kata film memampukan penonton tersadar akan realita dalam film sebagain refleksi

nyata dari realita yang dihadapi.

2.2 Imaji dalam Film

Imaji merupakan hal yang tak asing dengan dunia ini. Semua hal menampak melalui

imaji. Imaji seakan sebagai sebuah perantara untuk mencapai gagasan. Sebuah bentuk yang unik,

karena imaji selain akumulasi dari sebuah gagasan, dalam hal ini imajinasi, selain itu juga

membawa manusia kembali pada daya kreatif manusia untuk merekonstruksi ulang gagasan

secara real dalam imajinasi. Di dalam film sebuah imaji menjadi bagian penting yang tak dapat

terpisahkan. Tanpa imaji film bukanlah sebuah seni yang memainkan imaji pada sebuah layar.

Imaji pada titik ini amat penting dalam sebuah film, tidak boleh tidak.

Melalui imajilah sebuah gagasan mau disampaikan melalui sebuah film. Film pertama-

tama berusaha menyampaikan gagasan melalui sebuah imaji, bukan pada kemampuan men-story

telling-kan, dengan gambaran yang amat poetic sekaligus simbolik.2 Maka, banyak film seperti

Samsara karya Ron Fricker, The Fall karya Tarshem Singh, Pillow Book karya Peter Greenaway,

Mood Indigo karya Michael Gondry, menekankan gambaran poetik-simbolik sebagai sebuah alur

cerita. Imaji lah yang menceritakan, bukan pertama-tama alur cerita yang diverbalisasikan

melainkan imajilah yang membawa sampai pada gagasan dibalik imaji itu. Imaji memuat

keseluruhan yang ada di dalam film. Imaji-lah yang merangkai cerita itu terpilin menjadi satu

seperti sebuah kepangan, dimana di dalamnya terdapat ide cerita, teknis perfilman, penokohan,

dsb. Hal tersebut tak dapat dicacah belah menjadi perbagian, dan ketika hal itu dilakukan film

menjadi seperti onggokan buku yang berisi dialog, ataupun beribu-ribu frame foto saja.

2
Bambang Sugiharto (ed.), ibid, 309.
Manusia mampu untuk memahami sebuah film karena imaji yang disusun secara

berurutan. Runtutatan tersebut yang menurut Deleuze3 disebut sebagai sebuah ‘kumpulan imaji’.4

Kumpulan imaji tersebut akan dapat dipahami jika mengandaikan adanya gerakan. Gerakan

mengandaikan adanya waktu. Dapat dikatakan pula gerakan sama dengan waktu. 5 Dalam

kerangka pemikiran inilah film menciptakan realitanya sendiri terlepas dari apa yang

dibayangkan menyangkut realita dasar yang kita hidupi. Dalam artian film bukan seutuhnya

suatu replikasi atau mimesis dari realita harian yang kita hadapi, melainkan menciptakan realita

sendiri. Karena meletakan imaji-imaji dalam kerangka waktu dimana film dimulai dan berakhir

menyebabkan sebuah film mengada termasuk dengan seluruh realitasnya.6

Mengadanya film karena penonton memahami imaji-imaji tersebut bergerak. Gerak

tersebutlah yang menyadarkan seorang penonton sedang berada dalam tradisi, dimana itu

meliputi ruang dan waktu tertentu dan segala bentuk pemahaman yang dimiliki sebelumnya.

Gerak ini mengandaikan sebuah imaji bergerak secara otonom untuk membangun segala

realitasnya. Realitas mengandaikan di dalamnya ada sebuah gerakan sebagai suatu yang mampu

bergerak dan dapat memberikan sebuah perubahan kualitatif. Jika, sesuatu yang tak bergerak

nampak seakan bergerak hal tersebut merupakan bentuk dari ilusi 7. Film merupakan imaji yang

bergerak oleh karena itu ia menciptakan realitasnya sendiri. Maka, dapt dikatakan sudah tidak

3
Gilles Deleuze (18 Januari 1925-4 November 1995) merupakan seorang filsuf Perancis yang fokus pada metafisika
murni dan banyak memberi kerangka dalam filsafat ilmu pengetahuan dan juga seni. Deleuze dalam pembahasan
mengenai seni khususnya film dalam Cinema I dan II, ia membawa film dalam tatanan pembahasan filosofis.
http://plato.stanford.edu/entries/deleuze/
4
Bambang Sugiharto (ed.), ibid, 330
5
Gilles Deleuze, Cinema I: The Movement-Image, (Minneapolis: University of Minnesota, 1997), 58
6
Bdk dengan konsep pemahaman menurut Gadamer, ia menyatakan bahwa pemahaman manusia dibangun
dengan meletakan sesuatu di dalam tradisi yang terdapat diantara masa lalu dan kini dimana secara konstan
keduanya saling berfusi. Contemporary Hermeneutics, Josef Bleicher, Contemporary Hermeneutics: Hermeneutics
as method, philosophy and critique, (London: Routledge), 110
7
Diagram Bergson mengenai realitas, Gilles Deleuze, ibid, 9.
lagi tercampuri oleh maksud pembuat dan segala macam hal yang membubuhinya, seperti rumah

produksi mana, dibiayai oleh siapa, maksud sutradara, atau pemainnya siapa.

Film berdiri otonom untuk menyatakan dirinya, hal tersebut karena film mengadakan

dirinya melalui gerakan. Gerakan-gerakan dalam film adalah gerakan yang real karena

menempatkannya di dalam tradisi. Selain itu imaji yang ada di dalamnya bergerak sendiri, dan

mengerjakan dirinya sendiri sehingga mampu menampak. Tanpa gerakan kita akan sulit

memahami film, karena tidak ada bedanya dengan sebuah komik. Terkadang memang dapat

ditemui sebuah komik bergaya amat filmis, seperti seluruh karya Urasawa Naoki 8. Walaupun

juga ditemukan jeda dalam komik yang terlihat melalui garis antar kolom komik, hanya saja

gerak dalam film dan komik berbeda dari cara mengadanya film yang terlihat melalui media

teknologi yang memampukan imaji tersaji dalam layar. Medialah yang amat membedakan dalam

kedua karya seni tersebut. Tetapi yang perlu dicatat gerak menjadi unsur yang amat penting dari

sebuah film.

2.3. Kualitas-kualitas dalam Film

Film yang merupakan kumpulan imaji yang dapat kita lihat secara kuantitatif dapat

menimbulkan efek-efek kualitatif.9 Efek-efek kualitatif ini didapat oleh penonton yang menafsir.

Hal tersebut didapat melalui rangkaian-rangkain gambar yang mengerjakan aksi dan reaksi yang

tersusun dan berulang. Secara sederhana gambar pertama beraksi menimbulkan reaksi pada

gambar berikutnya, begitu seterusnya. Hal tersebut terjadi di dalam dirinya sendiri, terlepas dari

8
Urasawa Naoki (2 Januari 1960) adalah seorang mangaka (pembuat manga) yang berhasil membawa hawa baru
dalam dunia manga dengan gaya khas, cerita yang dalam dan guratan gambar semi-realisnya. Ia juga memperoleh
penghargaan dari Shogakukan Manga Award sebanyak tiga kali, Tezuka Osamu dua kali, dan Kodansha Manga
Award sekali. http://en.wikipedia.org/wiki/Naoki_Urasawa
9
Bambang Sugiharto (ed.), ibid, 330
siapa yang mengerjakan film tersebut atau segala hal yang dikenakan pada film itu.10 Dengan

begitu dengan sendirinya dapat dikatakan film mengerjakan segala bentuk kualitas tersebut di

dalam dirinya melalui imaji-imaji yang bergerak.

Kualitas-kualitas yang terjadi di dalam film tersebut, menurut Deleuze terlihat dalam tiga

bentuk rangkaian, yaitu aksi-imaji, afeksi-imaji, dan persepsi-imaji.11 Afeksi-imaji adalah close-

up, close-up adalah wajah.12 Deleuze berusaha menjelaskan bahwa upaya close-up tersebut

dalam usaha menampakan ke luar sebuah situasi mental-dalam.13 Close-up dalam arti ini

menyangkut segala bentuk lain dari wajah, seperti tangan, kaki, pisau, darah, dsb. Wajah menjadi

unsur pertama yang langsung nampak ke permukaan dalam memahami sebuah kondisi mental-

dalam. Sedangkan gerakan lain selain wajah, seperti tangan, kaki, pisau, darah, dsb merupakan

gerakan-mikro intensif sebagai bagian dari wajah pula. Wajah adalah bagaian tubuh, bagian

tubuh yang lainlah yang merepresentasikan wajah, sehingga di dalam gerakan tersebut dapat pula

menimbulkan sebuah bentuk afeksi yang mempengaruhi mental-dalam seorang penonton.

Wahana close-up wajah di dalam film inilah yang mampu membawa berbagai macam kualitas-

kualitas yang dirasakan penonton, dari sedih ke marah, dsb.

Aksi-Imaji adalah sebuah bentuk gerak motor-sensorik yang dirancang dan dilakukan

oleh tokoh pemeran dalam konteks dunia-cerita yang diperankan.14 Dalam hal ini setiap fragmen,

pebicaraan, rangsangan dalam film saling berkorelasi menimbulkan kualitas-kualitas yang dapat

10
Gilles Deleuze, op cit, 58-59.
11
Gilles Deleuze, ibid, 60.
12
Gilles Deleuze, ibid, 87.
13
Bambang Sugiharto, ibid, 330.
14
Bambang Sugiharto, ibid.
dilihat dalam kerangka “situasi ke aksi” yang disebut large-form dan juga dapat dilihat dalam

kerangka “aksi ke situasi” yang disebut small-form.15

Persepsi-Imaji adalah bagaimana sebuah kesan sejauh dipersepsi oleh orang, dimana

batas antara subjek dan objek dalam film bukan semata-mata pada hal tersebut saja. Persepsi

yang diambil ini tergantung dengan bagaimana film ini ditampakkan, melalui berbagai caranya.

Deleuze menjelaskan mengenai persepsi subjektif adalah suatu imaji di mana imaji-imaji yang

bervariasi tersebut ada dalam kaitannya dengan imaji yang utama dan istimewa. Seseorang

mengambil sebagaian dari imaji di film tersebut sebagai bagian yang penting. Sedangkan

persepsi objektif adalah dimana suatu imaji yang bervariasi tersebut saling berelasi satu dengan

lainnya, di dalam seluruh keseluruhan film. Melihat film dalam keseluruhan imaji-imaji yang

ditampilkan di dalamnya yaitu teks dan konteksnya.16

Di dalam persepsi-imaji ini suatu persepsi sangat tergantung dari apa yang

dipersepsikan oleh film. Sebuah superfisialitas dalam film sangat dibutuhkan untuk memberikan

kualitas-kualitas yang dialami dalam film. Superfisialitas dalam film dapat kita lihat dalam

bentuk framing, CGI (Computer-Generated Imagery), montase, dsb. Kesadaran terhadap hal-hal

tersebutlah yang dibutuhkan dalam mempersepsi imaji yang ditampakkan dalam sebuah film.

Oleh karena itu kita dapat melihat peran kamera yang begitu penting dalam film, Delueze

menyebutnya sebagai kesadaran-kamera (camera-consciousness).17

BAB III

SUPERFISIALITAS FILM

15
Gilles Deleuze, ibid, 141-161.
16
Bdk. Gilles Deleuze, ibid, 76.
17
Bambang Sugiharto, ibid, 330.
3.1. Superfisialitas Film

Persepsi-Imaji merupakan bentuk rangkaian kualitas dalam film yang memiliki proses

yang cukup besar dalam memberikan kualitas dalam diri penonton. Imaji yang dipersepsi sangat

bergantung pada segala bentuk superfisialitas yang ada di dalam film. Semua pandangan dan

daya kita mempersepsi diarahkan pertama-tama oleh teknik-teknik dalam film, singkatnya adalah

sebuah bentuk superfisialitas di dalam film. Tapi, superfisialitas sering dianggap sebuah

bentukan atau cerminan dari kedangkalan berpikir, dan tidak mencerminkan hakikat dari yang

nampak secara indrawi18. Apakah betul demikian?

Diskursus mengenai sebuah film terkadang amat memfokuskan pada titik yang

substansial, yaitu bagian inti cerita, dan superfisialitas hanya sebagai tempelan saja yang

memperkuat. Hal tersebut sering sekali menjadi kecenderungan banyak orang untuk

mengesampingkan hal-hal yang terlihat teknis di dalam film, tetapi perlu diingit dalam

“kedangkalan” superfisialitas tersebutlah seorang dimampukan untuk melihat kedalaman sebuah

cerita yang ada di dalam film tersebut. Sebuah film tidak dimungkinkan ditonton tanpa bantuan

dari superfisialitas di dalam film, seperti framing, teknik CGI, editing, teknik penyutradaraan,

dialog, akting, dsb. Terkadang dalam sebuah diskursus film kita terlalu berlebihan untuk

berusaha mencari titik terdalam sebuah film (hal ini berlaku dalam kencederungan setiap karya

seni, dan filsafat)19. Sesungguhnya yang pertama kita hadapi dalam sebuah film adalah hal-hal

yang amat permukaan seperti dalam menonton kita memperhatikan bagaimana setiap sutradara

film memiliki ciri khas dalam filmnya, seperti Wes Anderson yang selalu menggunakan warna-

warna cerah dengan menggunakan teknik framing yang simetris, tampak seperti album foto; J.J.

18
Bdk. H. Tedjoworo, Imaji dan Imajinasi (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2001), 134.
19
H. Tedjoworo, ibid.
Abrams, untuk menonton filmnya sebuah flare dari cahaya apapun di dalam filmnya itu sudah

amat merepresentasikanny. Berbeda dengan Kim Ki Duk yang terlihat dengan framing yang

kasar dan terkesan hanya membantu sebuah cerita yang kuat, cerita yang khas menceritakan

tentang realita hidup perempuan Korea Selatan; Quentin Tarantino yang di dalam filmnya

banyak bersimbah darah, dan teknik penceritaannya yang selalu unik dengan alur acaknya; dsb.

Contoh-contoh tersebut setidaknya memperlihatkan bagaimana sebuah superfisialitas amat

mencolok dan hal tersebutlah yang pertama. Film tidak serta-merta ide cerita saja. Film itu

keseluruhan dari segala bentuk yang menyusunnya yang terdapat di dalamnya, hal yang amat

mudah untuk menenmukannya, yaitu di dalam credit title. Di dalamnya kita dapat menemui,

sutradara, penulis cerita, produser, aktor, penata kamera, penata suara, komposer, penata cahaya,

penata rias, penata tempat, penyunting gambar, dsb.

Superfisialitas dalam film justru menjadi langkah awal untuk mengetahui seberapa

canggih atau dalamnya sebuah film tersebut, dalam arti penggunaan segala bentuk teknis tersebut

mendukung keseluruhan film atau malah mengurangi esensi dari film tersebut. Film tidak hanya

bisa dianggap bagus, indah, dalam atau lain sebagainya hanya dari segi teknis saja

(superfisialitas) melainkan juga keterpaduan antara keseluruhan hal yang mendukung film

tersebut. Film bagaimanapun juga memerlukan keterkaitan antara superfisialitas dengan cerita di

dalam film tersebut. Sebuah teknik yang dipilih, terkadang yang menjadi ciri khas seorang

sutradara, setidaknya memiliki makna tersendiri dari film tersebut. Makna terebut muncul karena

keterkaitan dengan cerita yang dibawakan.


Keterkaitan tersebutlah yang memunculkan sebuah makna, bukan karena teknis atau

cerita itu berdiri sendiri. Hal tersebut dapat terlihat di dalam film Arirang20 karya Kim Ki Duk,

Kim Ki Duk sebagai aktor mengatakan sebuah spesifikasi kamera dan kualitas gambar yang

kasar tidaklah menjadi masalah, karena kamera hanyalah cara untuk menyampaikan isi. Mata

kamera menjadi memiliki makna sejauh ia berkaitan dengan cerita. Kim Ki Duk melalui film

Arirang menggambarkan bagaimana film tersebut yang menurutnya sebuah drama menjadi

sangat dramatik, karena kekasaran teknik pengambilan gambar dan alat yang diigunakannya,

walaupun film tersebut mengisahkan tentang Kim Ki Duk sendiri, makna film tersebut ada

terlepas dari Kim Ki Duk seorang sutradara. Sebuah film bagaimanapun merupakan sebuah

bentuk superfisialitas dimana hal tersebut tertangkap secara kasat mata melalui imaji. Imaji yang

tertangkap tersebut tidak semudah itu menjadi gamblang di dalam film. Sebuah objek yang

diletakkan di dalam sebuah imaji, menjadi memiliki makna yang langsung dan tidak langsung.

Makna yang langsung terlihat sejauh hal tersebut menampak, seperti sebuah gelas akan nampak

sebagai gelas begitu saja. Sedang makna tidak langsung itu dimana sebuah imaji seperti sebuah

bentuk pedagogi, maksudnya sebuah objek yang kita lihat tidak sekedar apa yang kita lihat tetapi

menampak (memberikan sebuah informasi)21. Informasi Visual tersebut bagaimanapun memiliki

sebuah makna dimana itu terkait dengan apa yang tersajikan di dalam film. Sebagai contoh, di

dalam film Badai Pasti Berlalu (1977) karya Teguh Karya22 diperlihatkan bahwa sebuah arang

20
Arirang merupakan film dokumenter karya Kim Ki Duk yang memenangkan penghargaan Un Certain Regard
Cannes Film Festival 2011, merupakan otobiografi dramatik dari seorang sutradara Korea Selatan bernama Kim Ki
Duk. Film ini disutradarai, diperankan, diedit, dishot sendiri tanpa bantuan orang lain. Film ini mengishakan
mengenai seorang sutradara yang ditinggalkan oleh reakan-rekan kerjanya.
http://en.wikipedia.org/wiki/Arirang
21
Gilles Deleuze, ibid, 12-13.
22
Steve Liem Tjoan Hok (lebih dikenal dengan nama Teguh Karya; lahir di Pandeglang, Jawa Barat, 22 September
1937 meninggal di Jakarta, 11 Desember 2001 pada umur 64 tahun) adalah seorang sutradara film
lendaris Indonesia. Teguh Karya adalah pemimpin Teater Populer sejak berdirinya tahun 1968. Ia enam kali
menjadi Sutradara Terbaik dalam Festival Film Indonesia. Film-filmnya melahirkan banyak aktor dan aktris
terkemuka Indonesia seperti Slamet Rahardjo, Christine Hakim, dan Alex Komang.
yang patah dan tambang yang putus, tidak serta merta sebagai apa yang terlihat, melainkan

menampakkan sebuah emosi Siska yang kecewa karena cintanya dijadikan bahan taruhan oleh

Leo. Hal tersebut dimungkinkan melalui framing, shot dan montase.23

3.2. Framing, Shot dan Montase

Kita tidak dapat memisahkan cerita dan teknis film, karena bagaimanapun di dalam film

imaji dibutuhkan, dan hal tersebut dimampukan hanya melalui teknis. Kameralah yang menjadi

mata kita. Persepsi kamera merupakan persepsi kita. Mata kamera sama dengan framing dalam

film. Framing menurut Deleuze merupakan sebuah sistem tertutup yang terdiri dari apapun yang

tersajikan di dalam sebuah imaji- set-set, karakter, dan properti-properti.24 Framing ini lah yang

mampu menempatkan sebuah objek dalam imaji. Kesadaran akan imaji yang bergerak sangat

dipengaruhi oleh framing. Selain itu kesadaran akan imaji tersebut didukung juga oleh shot dan

cutting (montase). Menurut Deleuze sendiri bahwa sebuah cutting merupakan kesinambungan

dari sebuah shot dan shot merupakan kesinambungan dari gerak yang dimungkinkan dalam suatu

sistem yang tertutup25. Sebuah sitem yang tertutup itu merupakan kesuluruhan proses pembuatan

film. Proses montase dan shot merupakan satu kesatuan yang cukup sulit untuk dipisahkan. Jadi,

ketika berbicara mengenai montase juga berbicara mengenai shot pula.

Shot dalam fotografi dengan film berbeda. Hal tersebut terletak pada bagaimana shot

dalam fotografi seperti sebuah cetakan dimana berusaha mencetak atau mereplikasi kenyataan

pada titik waktu tertentu dan tak bergerak. Singkat kata membekukan waktu. Sedangkan proses

shot dalam film sesungguhnya berbeda dalam kesinambungan hasil shot tersebut yang

http://id.wikipedia.org/wiki/Teguh_Karya
23
Gilles Deleuze, ibid, 12.
24
Gilles Deleuze, ibid.
25
Gilles Deleuze, ibid, 18.
memungkinkan gambar terlihat bergerak. Memang terlihat paradoks dimana keduanya

sesungguhnya membekukan waktu tetapi dalam film imaji disusun berurutan sehingga memiliki

gerak.26

Melalui mata kameralah sebuah framing menjadi memiliki makna dimana persepsi

penonton di arahkan pada suatu imaji yang disuguhkan tersebut. Keseluruhan imaji tersebut

memungkinkan banyak penafsirian. Penafsiran terletak karena adanya sebuah bentuk kesadaran

akan makna. Tetapi perlu disadari bahwa kesadaran akan sebuah realitas dalam film bukan

terletak hanya pada yang dalam saja seperti cerita yang disuguhkan ataupun teknis yang begitu

canggih, melainkan ada diantara keduanya (in between). Kesadaran tersebutlah yang membentuk

suatu pemahaman yang berada ditengah-tengah. Sebuah bentuk interstanding27. Dengan

pemahaman tersebut seorang penonton sesungguhnya menyadari bahwa ke-real-an sebuah film

ada dalam kesuluruhan film tersebut dan tak sertamerta dapat dipisahkan begitu saja. Dengan

pemahaman diantara (interstanding), sesungguhnya amat dimungkinkan penonton mengalami

seluruh realita dalam film sebagai cerminan atas realita yang kita hadapi sekarang, karena yang

disuguhkan merupakan imaji yang bergerak. Geraklah yang memampukan kita untuk mencerna

sebuah film sama seperti realita yang kita alami. Dengan pemahaman itu sebuah film dapat

menampakkan kualitasnya justru karena superfisialitas film memampukan sebuah imaji bergerak

dan tersaji sebagai sebuah peristiwa. Ketika film dialami sebagai sebuah peritiwa disitulah film

tersaji dengan real, artinya sebagai sesuatu yang terpahami. Disitulah saat dimana seluruh

kualitas film dapat menampak.

BAB IV

26
Gilles Deleuze, ibid, 24.
27
H. Tedjoworo, ibid, 136.
PENUTUP

1.1. Kesimpulan

Film yang dianggap sebagai sebuah proses kreatif tidak serta merta menjadi sebuah

wahana pemahaman yang sesungguhnya asing. Film dengan caranya amat memungkinkan kita

memahami realita yang kita jalani. Seluruh kelengkapan dalam film seperti sebuah kulit buah.

Kita dapat menentukkan apakah buah itu matang atau tidak justru karena apa yang tampak dari

kulitnya. Sebuah film justru yang merupakan sebuah bentuk superfisialitas justru

memperlihatkan bahwa mampu menjadi wahana untuk memahami realitas tersebut. Film yang

dalam justru memperlihatkan bagaimana sebuah realita yang kita hadapi itu seperti apa,

maksudnya ketika sebuah kualitas dalam diri manusia muncul dimana seorang menjadi amat

marah atau sedih, dll sesungguhnya film justru menjadi cara yang jitu untuk memahami realita

yang kita hadapi sekarang.

Mata kamera justru membawa kita pada kesadaran akan realita dalam film. Sebuah film

menjadi memiliki makna ketika dari kesadaran akan kamera tersebut membawa juga pada

interstanding. Interstanding tersebutlah yang memampukan penonton film untuk memahami

segala kesuluruhan yang menunjang film justru menampakkan realitanya. Melalui interstanding

itulah seorang penonton justru memiliki pemahaman bahwa pengalaman menonton sebagai

sebuah keseluruhan bentuk peristiwa. Peristiwa menonton merupakan peristiwa dimana mata

kamera seakan menjadi mata kita dan keseluruhan gerak yang kita tangkap dalam imaji bergerak

yang tersaji di dalam film adalah real. Dengan begitu penonton dapat mengalami juga kualitas

dalam film sebagai sebuah kualitas yang sama dimiliki dalam dirinya. Dengan begitu film

menjadi memiliki makna pada penonton pula setelah melalui proses mempersepsi. Makna di
dalam film sendiri tetap menjadi sebuah makna yang terlepas dari yang membuat film, justru

dengan interstanding makna tergali justru ketika berhadapan dengan penonton. Maksudnya jika

film mencapai sebuah peristiwa, pada titik itulah film bermakna.

DAFTAR PUSTAKA
Bleicher, Josef. Contemporary Hermeneutics: Hermeneutics as method, philosophy and critique.

London: Routledge. 1980.

Deleuze, Gilles. Cinema I: The Movement-Image. Minneapolis: University of Minnesota Press.

1997.

Sugiharto, Bambang (ed.). Untuk Apa Seni?. Bandung: Matahari. 2013.

Tedjoworo, H.. Imaji dan Imajinasi. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. 2001.

Sumber Internet:

http://en.wikipedia.org/wiki/Arirang

http://id.wikipedia.org/wiki/Teguh_Karya

http://plato.stanford.edu/entries/deleuze/

Anda mungkin juga menyukai