Yustinus Kristianto - Imaji Dan Gerak Dalam Superfisialitas Film PDF
Yustinus Kristianto - Imaji Dan Gerak Dalam Superfisialitas Film PDF
BAB I
PENDAHULUAN
Banyaknya film yang beredar dewasa ini sudah cukup menggambarkan film sudah
menjadi sebuah barang yang tak asing lagi. Banyak cara untuk memperoleh film belakangan ini,
dengan cara pergi ke bioskop, menonton di televisi, atau melalui situs-situs internet. Film
semakin menjaringi kehidupan manusia. Manusia seakan hidup di dalam bayang-bayang semu
film. Ya, kita kadang sering bertindak atau merujuk pada suatu adegan di film. Dengan merujuk
memperlihatkan bahawa sekiranya film dapat memberi suatu kesan pada diri penonton. Tidak
melulu soal makna. Maka, tak heran bahwa film memiliki realitanya sendiri yang terkadang
Film sebagai sebuah bentuk karya seni merupakan hasil refleksi dari realita, sehingga
menjadi sebuah karya tak main-main karena merepresentasikan sebuah kenyataan yang ada
dibaliknya. Melalui superfisialitas dalam filmlah sebuah film mampu disuguhkan di depan mata
dan dapat dinikmati. Tetapi yang menjadi pertanyaan apakah semua film dapat dinikmati?
Bukankah menikmati adalah proses untuk memaknai? Tulisan ini justru menyoroti mengenai
bagaimana sebuah film menjadi memiliki makna bagi yang menonton. Apakah benar selama ini
yang dibicarakan bahwa film yang bagus, dalam, dsb hanya berdasar pada ide cerita yang
canggih saja, atau perlu juga bekerjasama dengan superfisialitas yang canggih juga? Apakah
melalui sebuah film pemahaman akan makna realitas dapat tercapai? Pertanyaan-pertanyaan
karenanya juga tidak bisa begitu saja sebuah film menjadi amat seadanya, sehingga amat
menyedihkan, bahkan untuk menonontonnya. Film bagaimanapun merupakan karya seni dimana
di dalamnya terdapat proses refleksi, melalui tulisan ini berusaha memberikan pemahaman
bagaimana seorang penonton, menjadi seorang penonton yang kritis dalam arti memahami
kesuluruhan film sebagai sesuatu yang bermakna, sejauh menjadi peristiwa. Dan juga memberi
semangat bagi para sineas untuk menyajikan film sebagai sebuah peristiwa. Peristiwa yang
direfleksikan.
BAB II
Dalam buku Untuk Apa Seni?, I. Bambang Sugiharto memberikan definisi mengenai film
sebagai sebuah seni yang memainkan imaji dan memainkan teknologi layar,1 yang akan menjadi
pembahasan dalam tulisan ini yaitu imaji dan teknologi film. Kedua hal tersebut akan saling
terkait satu dengan lainnya sebagai sebuah jalinan yang tak terpisahkan. Dimana kedua hal itulah
yang di dalam film mampu membawa seorang penonton meredefinisi dirinya sebagai satu bagian
dalam adegan. Menjadikan penonton dan film sebagai sebuah peristiwa. Dimana sebuah
peristiwa adalah pengandaian dimana terjadi ke-real-an saat itu. Saat itulah film memampukan
dirinya sendiri untuk membawa kesadaran penonton bahwa ia adalah bagian dari film itu juga.
1
Bambang Sugiharto (ed.), Untuk Apa Seni?, (Bandung: Matahari, 2013), 308-309
Singkat kata film memampukan penonton tersadar akan realita dalam film sebagain refleksi
Imaji merupakan hal yang tak asing dengan dunia ini. Semua hal menampak melalui
imaji. Imaji seakan sebagai sebuah perantara untuk mencapai gagasan. Sebuah bentuk yang unik,
karena imaji selain akumulasi dari sebuah gagasan, dalam hal ini imajinasi, selain itu juga
membawa manusia kembali pada daya kreatif manusia untuk merekonstruksi ulang gagasan
secara real dalam imajinasi. Di dalam film sebuah imaji menjadi bagian penting yang tak dapat
terpisahkan. Tanpa imaji film bukanlah sebuah seni yang memainkan imaji pada sebuah layar.
Imaji pada titik ini amat penting dalam sebuah film, tidak boleh tidak.
Melalui imajilah sebuah gagasan mau disampaikan melalui sebuah film. Film pertama-
tama berusaha menyampaikan gagasan melalui sebuah imaji, bukan pada kemampuan men-story
telling-kan, dengan gambaran yang amat poetic sekaligus simbolik.2 Maka, banyak film seperti
Samsara karya Ron Fricker, The Fall karya Tarshem Singh, Pillow Book karya Peter Greenaway,
Mood Indigo karya Michael Gondry, menekankan gambaran poetik-simbolik sebagai sebuah alur
cerita. Imaji lah yang menceritakan, bukan pertama-tama alur cerita yang diverbalisasikan
melainkan imajilah yang membawa sampai pada gagasan dibalik imaji itu. Imaji memuat
keseluruhan yang ada di dalam film. Imaji-lah yang merangkai cerita itu terpilin menjadi satu
seperti sebuah kepangan, dimana di dalamnya terdapat ide cerita, teknis perfilman, penokohan,
dsb. Hal tersebut tak dapat dicacah belah menjadi perbagian, dan ketika hal itu dilakukan film
menjadi seperti onggokan buku yang berisi dialog, ataupun beribu-ribu frame foto saja.
2
Bambang Sugiharto (ed.), ibid, 309.
Manusia mampu untuk memahami sebuah film karena imaji yang disusun secara
berurutan. Runtutatan tersebut yang menurut Deleuze3 disebut sebagai sebuah ‘kumpulan imaji’.4
Kumpulan imaji tersebut akan dapat dipahami jika mengandaikan adanya gerakan. Gerakan
mengandaikan adanya waktu. Dapat dikatakan pula gerakan sama dengan waktu. 5 Dalam
kerangka pemikiran inilah film menciptakan realitanya sendiri terlepas dari apa yang
dibayangkan menyangkut realita dasar yang kita hidupi. Dalam artian film bukan seutuhnya
suatu replikasi atau mimesis dari realita harian yang kita hadapi, melainkan menciptakan realita
sendiri. Karena meletakan imaji-imaji dalam kerangka waktu dimana film dimulai dan berakhir
tersebutlah yang menyadarkan seorang penonton sedang berada dalam tradisi, dimana itu
meliputi ruang dan waktu tertentu dan segala bentuk pemahaman yang dimiliki sebelumnya.
Gerak ini mengandaikan sebuah imaji bergerak secara otonom untuk membangun segala
realitasnya. Realitas mengandaikan di dalamnya ada sebuah gerakan sebagai suatu yang mampu
bergerak dan dapat memberikan sebuah perubahan kualitatif. Jika, sesuatu yang tak bergerak
nampak seakan bergerak hal tersebut merupakan bentuk dari ilusi 7. Film merupakan imaji yang
bergerak oleh karena itu ia menciptakan realitasnya sendiri. Maka, dapt dikatakan sudah tidak
3
Gilles Deleuze (18 Januari 1925-4 November 1995) merupakan seorang filsuf Perancis yang fokus pada metafisika
murni dan banyak memberi kerangka dalam filsafat ilmu pengetahuan dan juga seni. Deleuze dalam pembahasan
mengenai seni khususnya film dalam Cinema I dan II, ia membawa film dalam tatanan pembahasan filosofis.
http://plato.stanford.edu/entries/deleuze/
4
Bambang Sugiharto (ed.), ibid, 330
5
Gilles Deleuze, Cinema I: The Movement-Image, (Minneapolis: University of Minnesota, 1997), 58
6
Bdk dengan konsep pemahaman menurut Gadamer, ia menyatakan bahwa pemahaman manusia dibangun
dengan meletakan sesuatu di dalam tradisi yang terdapat diantara masa lalu dan kini dimana secara konstan
keduanya saling berfusi. Contemporary Hermeneutics, Josef Bleicher, Contemporary Hermeneutics: Hermeneutics
as method, philosophy and critique, (London: Routledge), 110
7
Diagram Bergson mengenai realitas, Gilles Deleuze, ibid, 9.
lagi tercampuri oleh maksud pembuat dan segala macam hal yang membubuhinya, seperti rumah
produksi mana, dibiayai oleh siapa, maksud sutradara, atau pemainnya siapa.
Film berdiri otonom untuk menyatakan dirinya, hal tersebut karena film mengadakan
dirinya melalui gerakan. Gerakan-gerakan dalam film adalah gerakan yang real karena
menempatkannya di dalam tradisi. Selain itu imaji yang ada di dalamnya bergerak sendiri, dan
mengerjakan dirinya sendiri sehingga mampu menampak. Tanpa gerakan kita akan sulit
memahami film, karena tidak ada bedanya dengan sebuah komik. Terkadang memang dapat
ditemui sebuah komik bergaya amat filmis, seperti seluruh karya Urasawa Naoki 8. Walaupun
juga ditemukan jeda dalam komik yang terlihat melalui garis antar kolom komik, hanya saja
gerak dalam film dan komik berbeda dari cara mengadanya film yang terlihat melalui media
teknologi yang memampukan imaji tersaji dalam layar. Medialah yang amat membedakan dalam
kedua karya seni tersebut. Tetapi yang perlu dicatat gerak menjadi unsur yang amat penting dari
sebuah film.
Film yang merupakan kumpulan imaji yang dapat kita lihat secara kuantitatif dapat
menimbulkan efek-efek kualitatif.9 Efek-efek kualitatif ini didapat oleh penonton yang menafsir.
Hal tersebut didapat melalui rangkaian-rangkain gambar yang mengerjakan aksi dan reaksi yang
tersusun dan berulang. Secara sederhana gambar pertama beraksi menimbulkan reaksi pada
gambar berikutnya, begitu seterusnya. Hal tersebut terjadi di dalam dirinya sendiri, terlepas dari
8
Urasawa Naoki (2 Januari 1960) adalah seorang mangaka (pembuat manga) yang berhasil membawa hawa baru
dalam dunia manga dengan gaya khas, cerita yang dalam dan guratan gambar semi-realisnya. Ia juga memperoleh
penghargaan dari Shogakukan Manga Award sebanyak tiga kali, Tezuka Osamu dua kali, dan Kodansha Manga
Award sekali. http://en.wikipedia.org/wiki/Naoki_Urasawa
9
Bambang Sugiharto (ed.), ibid, 330
siapa yang mengerjakan film tersebut atau segala hal yang dikenakan pada film itu.10 Dengan
begitu dengan sendirinya dapat dikatakan film mengerjakan segala bentuk kualitas tersebut di
Kualitas-kualitas yang terjadi di dalam film tersebut, menurut Deleuze terlihat dalam tiga
bentuk rangkaian, yaitu aksi-imaji, afeksi-imaji, dan persepsi-imaji.11 Afeksi-imaji adalah close-
up, close-up adalah wajah.12 Deleuze berusaha menjelaskan bahwa upaya close-up tersebut
dalam usaha menampakan ke luar sebuah situasi mental-dalam.13 Close-up dalam arti ini
menyangkut segala bentuk lain dari wajah, seperti tangan, kaki, pisau, darah, dsb. Wajah menjadi
unsur pertama yang langsung nampak ke permukaan dalam memahami sebuah kondisi mental-
dalam. Sedangkan gerakan lain selain wajah, seperti tangan, kaki, pisau, darah, dsb merupakan
gerakan-mikro intensif sebagai bagian dari wajah pula. Wajah adalah bagaian tubuh, bagian
tubuh yang lainlah yang merepresentasikan wajah, sehingga di dalam gerakan tersebut dapat pula
Wahana close-up wajah di dalam film inilah yang mampu membawa berbagai macam kualitas-
Aksi-Imaji adalah sebuah bentuk gerak motor-sensorik yang dirancang dan dilakukan
oleh tokoh pemeran dalam konteks dunia-cerita yang diperankan.14 Dalam hal ini setiap fragmen,
pebicaraan, rangsangan dalam film saling berkorelasi menimbulkan kualitas-kualitas yang dapat
10
Gilles Deleuze, op cit, 58-59.
11
Gilles Deleuze, ibid, 60.
12
Gilles Deleuze, ibid, 87.
13
Bambang Sugiharto, ibid, 330.
14
Bambang Sugiharto, ibid.
dilihat dalam kerangka “situasi ke aksi” yang disebut large-form dan juga dapat dilihat dalam
Persepsi-Imaji adalah bagaimana sebuah kesan sejauh dipersepsi oleh orang, dimana
batas antara subjek dan objek dalam film bukan semata-mata pada hal tersebut saja. Persepsi
yang diambil ini tergantung dengan bagaimana film ini ditampakkan, melalui berbagai caranya.
Deleuze menjelaskan mengenai persepsi subjektif adalah suatu imaji di mana imaji-imaji yang
bervariasi tersebut ada dalam kaitannya dengan imaji yang utama dan istimewa. Seseorang
mengambil sebagaian dari imaji di film tersebut sebagai bagian yang penting. Sedangkan
persepsi objektif adalah dimana suatu imaji yang bervariasi tersebut saling berelasi satu dengan
lainnya, di dalam seluruh keseluruhan film. Melihat film dalam keseluruhan imaji-imaji yang
Di dalam persepsi-imaji ini suatu persepsi sangat tergantung dari apa yang
dipersepsikan oleh film. Sebuah superfisialitas dalam film sangat dibutuhkan untuk memberikan
kualitas-kualitas yang dialami dalam film. Superfisialitas dalam film dapat kita lihat dalam
bentuk framing, CGI (Computer-Generated Imagery), montase, dsb. Kesadaran terhadap hal-hal
tersebutlah yang dibutuhkan dalam mempersepsi imaji yang ditampakkan dalam sebuah film.
Oleh karena itu kita dapat melihat peran kamera yang begitu penting dalam film, Delueze
BAB III
SUPERFISIALITAS FILM
15
Gilles Deleuze, ibid, 141-161.
16
Bdk. Gilles Deleuze, ibid, 76.
17
Bambang Sugiharto, ibid, 330.
3.1. Superfisialitas Film
Persepsi-Imaji merupakan bentuk rangkaian kualitas dalam film yang memiliki proses
yang cukup besar dalam memberikan kualitas dalam diri penonton. Imaji yang dipersepsi sangat
bergantung pada segala bentuk superfisialitas yang ada di dalam film. Semua pandangan dan
daya kita mempersepsi diarahkan pertama-tama oleh teknik-teknik dalam film, singkatnya adalah
sebuah bentuk superfisialitas di dalam film. Tapi, superfisialitas sering dianggap sebuah
bentukan atau cerminan dari kedangkalan berpikir, dan tidak mencerminkan hakikat dari yang
Diskursus mengenai sebuah film terkadang amat memfokuskan pada titik yang
substansial, yaitu bagian inti cerita, dan superfisialitas hanya sebagai tempelan saja yang
memperkuat. Hal tersebut sering sekali menjadi kecenderungan banyak orang untuk
mengesampingkan hal-hal yang terlihat teknis di dalam film, tetapi perlu diingit dalam
cerita yang ada di dalam film tersebut. Sebuah film tidak dimungkinkan ditonton tanpa bantuan
dari superfisialitas di dalam film, seperti framing, teknik CGI, editing, teknik penyutradaraan,
dialog, akting, dsb. Terkadang dalam sebuah diskursus film kita terlalu berlebihan untuk
berusaha mencari titik terdalam sebuah film (hal ini berlaku dalam kencederungan setiap karya
seni, dan filsafat)19. Sesungguhnya yang pertama kita hadapi dalam sebuah film adalah hal-hal
yang amat permukaan seperti dalam menonton kita memperhatikan bagaimana setiap sutradara
film memiliki ciri khas dalam filmnya, seperti Wes Anderson yang selalu menggunakan warna-
warna cerah dengan menggunakan teknik framing yang simetris, tampak seperti album foto; J.J.
18
Bdk. H. Tedjoworo, Imaji dan Imajinasi (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2001), 134.
19
H. Tedjoworo, ibid.
Abrams, untuk menonton filmnya sebuah flare dari cahaya apapun di dalam filmnya itu sudah
amat merepresentasikanny. Berbeda dengan Kim Ki Duk yang terlihat dengan framing yang
kasar dan terkesan hanya membantu sebuah cerita yang kuat, cerita yang khas menceritakan
tentang realita hidup perempuan Korea Selatan; Quentin Tarantino yang di dalam filmnya
banyak bersimbah darah, dan teknik penceritaannya yang selalu unik dengan alur acaknya; dsb.
mencolok dan hal tersebutlah yang pertama. Film tidak serta-merta ide cerita saja. Film itu
keseluruhan dari segala bentuk yang menyusunnya yang terdapat di dalamnya, hal yang amat
mudah untuk menenmukannya, yaitu di dalam credit title. Di dalamnya kita dapat menemui,
sutradara, penulis cerita, produser, aktor, penata kamera, penata suara, komposer, penata cahaya,
Superfisialitas dalam film justru menjadi langkah awal untuk mengetahui seberapa
canggih atau dalamnya sebuah film tersebut, dalam arti penggunaan segala bentuk teknis tersebut
mendukung keseluruhan film atau malah mengurangi esensi dari film tersebut. Film tidak hanya
bisa dianggap bagus, indah, dalam atau lain sebagainya hanya dari segi teknis saja
(superfisialitas) melainkan juga keterpaduan antara keseluruhan hal yang mendukung film
tersebut. Film bagaimanapun juga memerlukan keterkaitan antara superfisialitas dengan cerita di
dalam film tersebut. Sebuah teknik yang dipilih, terkadang yang menjadi ciri khas seorang
sutradara, setidaknya memiliki makna tersendiri dari film tersebut. Makna terebut muncul karena
cerita itu berdiri sendiri. Hal tersebut dapat terlihat di dalam film Arirang20 karya Kim Ki Duk,
Kim Ki Duk sebagai aktor mengatakan sebuah spesifikasi kamera dan kualitas gambar yang
kasar tidaklah menjadi masalah, karena kamera hanyalah cara untuk menyampaikan isi. Mata
kamera menjadi memiliki makna sejauh ia berkaitan dengan cerita. Kim Ki Duk melalui film
Arirang menggambarkan bagaimana film tersebut yang menurutnya sebuah drama menjadi
sangat dramatik, karena kekasaran teknik pengambilan gambar dan alat yang diigunakannya,
walaupun film tersebut mengisahkan tentang Kim Ki Duk sendiri, makna film tersebut ada
terlepas dari Kim Ki Duk seorang sutradara. Sebuah film bagaimanapun merupakan sebuah
bentuk superfisialitas dimana hal tersebut tertangkap secara kasat mata melalui imaji. Imaji yang
tertangkap tersebut tidak semudah itu menjadi gamblang di dalam film. Sebuah objek yang
diletakkan di dalam sebuah imaji, menjadi memiliki makna yang langsung dan tidak langsung.
Makna yang langsung terlihat sejauh hal tersebut menampak, seperti sebuah gelas akan nampak
sebagai gelas begitu saja. Sedang makna tidak langsung itu dimana sebuah imaji seperti sebuah
bentuk pedagogi, maksudnya sebuah objek yang kita lihat tidak sekedar apa yang kita lihat tetapi
sebuah makna dimana itu terkait dengan apa yang tersajikan di dalam film. Sebagai contoh, di
dalam film Badai Pasti Berlalu (1977) karya Teguh Karya22 diperlihatkan bahwa sebuah arang
20
Arirang merupakan film dokumenter karya Kim Ki Duk yang memenangkan penghargaan Un Certain Regard
Cannes Film Festival 2011, merupakan otobiografi dramatik dari seorang sutradara Korea Selatan bernama Kim Ki
Duk. Film ini disutradarai, diperankan, diedit, dishot sendiri tanpa bantuan orang lain. Film ini mengishakan
mengenai seorang sutradara yang ditinggalkan oleh reakan-rekan kerjanya.
http://en.wikipedia.org/wiki/Arirang
21
Gilles Deleuze, ibid, 12-13.
22
Steve Liem Tjoan Hok (lebih dikenal dengan nama Teguh Karya; lahir di Pandeglang, Jawa Barat, 22 September
1937 meninggal di Jakarta, 11 Desember 2001 pada umur 64 tahun) adalah seorang sutradara film
lendaris Indonesia. Teguh Karya adalah pemimpin Teater Populer sejak berdirinya tahun 1968. Ia enam kali
menjadi Sutradara Terbaik dalam Festival Film Indonesia. Film-filmnya melahirkan banyak aktor dan aktris
terkemuka Indonesia seperti Slamet Rahardjo, Christine Hakim, dan Alex Komang.
yang patah dan tambang yang putus, tidak serta merta sebagai apa yang terlihat, melainkan
menampakkan sebuah emosi Siska yang kecewa karena cintanya dijadikan bahan taruhan oleh
Kita tidak dapat memisahkan cerita dan teknis film, karena bagaimanapun di dalam film
imaji dibutuhkan, dan hal tersebut dimampukan hanya melalui teknis. Kameralah yang menjadi
mata kita. Persepsi kamera merupakan persepsi kita. Mata kamera sama dengan framing dalam
film. Framing menurut Deleuze merupakan sebuah sistem tertutup yang terdiri dari apapun yang
tersajikan di dalam sebuah imaji- set-set, karakter, dan properti-properti.24 Framing ini lah yang
mampu menempatkan sebuah objek dalam imaji. Kesadaran akan imaji yang bergerak sangat
dipengaruhi oleh framing. Selain itu kesadaran akan imaji tersebut didukung juga oleh shot dan
cutting (montase). Menurut Deleuze sendiri bahwa sebuah cutting merupakan kesinambungan
dari sebuah shot dan shot merupakan kesinambungan dari gerak yang dimungkinkan dalam suatu
sistem yang tertutup25. Sebuah sitem yang tertutup itu merupakan kesuluruhan proses pembuatan
film. Proses montase dan shot merupakan satu kesatuan yang cukup sulit untuk dipisahkan. Jadi,
Shot dalam fotografi dengan film berbeda. Hal tersebut terletak pada bagaimana shot
dalam fotografi seperti sebuah cetakan dimana berusaha mencetak atau mereplikasi kenyataan
pada titik waktu tertentu dan tak bergerak. Singkat kata membekukan waktu. Sedangkan proses
shot dalam film sesungguhnya berbeda dalam kesinambungan hasil shot tersebut yang
http://id.wikipedia.org/wiki/Teguh_Karya
23
Gilles Deleuze, ibid, 12.
24
Gilles Deleuze, ibid.
25
Gilles Deleuze, ibid, 18.
memungkinkan gambar terlihat bergerak. Memang terlihat paradoks dimana keduanya
sesungguhnya membekukan waktu tetapi dalam film imaji disusun berurutan sehingga memiliki
gerak.26
Melalui mata kameralah sebuah framing menjadi memiliki makna dimana persepsi
penonton di arahkan pada suatu imaji yang disuguhkan tersebut. Keseluruhan imaji tersebut
memungkinkan banyak penafsirian. Penafsiran terletak karena adanya sebuah bentuk kesadaran
akan makna. Tetapi perlu disadari bahwa kesadaran akan sebuah realitas dalam film bukan
terletak hanya pada yang dalam saja seperti cerita yang disuguhkan ataupun teknis yang begitu
canggih, melainkan ada diantara keduanya (in between). Kesadaran tersebutlah yang membentuk
pemahaman tersebut seorang penonton sesungguhnya menyadari bahwa ke-real-an sebuah film
ada dalam kesuluruhan film tersebut dan tak sertamerta dapat dipisahkan begitu saja. Dengan
seluruh realita dalam film sebagai cerminan atas realita yang kita hadapi sekarang, karena yang
disuguhkan merupakan imaji yang bergerak. Geraklah yang memampukan kita untuk mencerna
sebuah film sama seperti realita yang kita alami. Dengan pemahaman itu sebuah film dapat
menampakkan kualitasnya justru karena superfisialitas film memampukan sebuah imaji bergerak
dan tersaji sebagai sebuah peristiwa. Ketika film dialami sebagai sebuah peritiwa disitulah film
tersaji dengan real, artinya sebagai sesuatu yang terpahami. Disitulah saat dimana seluruh
BAB IV
26
Gilles Deleuze, ibid, 24.
27
H. Tedjoworo, ibid, 136.
PENUTUP
1.1. Kesimpulan
Film yang dianggap sebagai sebuah proses kreatif tidak serta merta menjadi sebuah
wahana pemahaman yang sesungguhnya asing. Film dengan caranya amat memungkinkan kita
memahami realita yang kita jalani. Seluruh kelengkapan dalam film seperti sebuah kulit buah.
Kita dapat menentukkan apakah buah itu matang atau tidak justru karena apa yang tampak dari
kulitnya. Sebuah film justru yang merupakan sebuah bentuk superfisialitas justru
memperlihatkan bahwa mampu menjadi wahana untuk memahami realitas tersebut. Film yang
dalam justru memperlihatkan bagaimana sebuah realita yang kita hadapi itu seperti apa,
maksudnya ketika sebuah kualitas dalam diri manusia muncul dimana seorang menjadi amat
marah atau sedih, dll sesungguhnya film justru menjadi cara yang jitu untuk memahami realita
Mata kamera justru membawa kita pada kesadaran akan realita dalam film. Sebuah film
menjadi memiliki makna ketika dari kesadaran akan kamera tersebut membawa juga pada
segala kesuluruhan yang menunjang film justru menampakkan realitanya. Melalui interstanding
itulah seorang penonton justru memiliki pemahaman bahwa pengalaman menonton sebagai
sebuah keseluruhan bentuk peristiwa. Peristiwa menonton merupakan peristiwa dimana mata
kamera seakan menjadi mata kita dan keseluruhan gerak yang kita tangkap dalam imaji bergerak
yang tersaji di dalam film adalah real. Dengan begitu penonton dapat mengalami juga kualitas
dalam film sebagai sebuah kualitas yang sama dimiliki dalam dirinya. Dengan begitu film
menjadi memiliki makna pada penonton pula setelah melalui proses mempersepsi. Makna di
dalam film sendiri tetap menjadi sebuah makna yang terlepas dari yang membuat film, justru
dengan interstanding makna tergali justru ketika berhadapan dengan penonton. Maksudnya jika
DAFTAR PUSTAKA
Bleicher, Josef. Contemporary Hermeneutics: Hermeneutics as method, philosophy and critique.
1997.
Sumber Internet:
http://en.wikipedia.org/wiki/Arirang
http://id.wikipedia.org/wiki/Teguh_Karya
http://plato.stanford.edu/entries/deleuze/