Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH PKN

“Filosofi Gedung MPR,Filosofi Tugu Monas Dan Makna


Burung Garuda”

DISUSUN OLEH :
 Muhammad As’ary
Kelas : X Ipa Unggulan 2
Asal sekolah :SMAN 4 Kota Bima

Pembimbing: Gamarwati S,pd

Tahun Ajaran: 2018/2019


Kata pengantar

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Panyayang, Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang
telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga
kami dapat menyelesaikan makalah PKN tentang “filosofi gedung MPR,filosofi
tugu Monas dan makna burung Garuda”
Makalah PKN ini telah saya susun dengan maksimal dan mendapatkan
bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan
makalah ini. Untuk itu saya menyampaikan banyak terima kasih kepada
semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.

Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh
karena itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari
pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ilmiah ini.

Akhir kata kami berharap semoga makalah PKN tentang” filosofi Gedung
MPR,Monas dan makna dari burung Garuda “ ini dapat memberikan manfaat
maupun inpirasi terhadap pembaca.

Kota Bima
Minggu 18 November 2018
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

KATA PENGANTAR……………………………………………….. i

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang………………………………………………………..

1.2 Rumusan Masalah………………………………………………….

1.3 Tujuan …………………………………………………………………..

1.4 Manfaat ………………………………………………………………..

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Gedung MPR……………………………………………………………………….

2.1.1 Filosofi Gedung MPR………………………………………………………..

2.1.2 Filosofi Tugu Monas………………………………………………..

2.1.3 Makna Burung Garuda……………………………………………….

BAB III PENUTUP

3.1Penutup ………………………………………………………………..

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Seperti kita ketahui bersama MPR hasil pemilihan umum Tahun


1999, menindaklanjuti tuntutan reformasi yang menghendaki perubahan
UUD 1945 dengan melakukan satu rangka¬ian perubahan konstitusi dalam
empat tahapan yang berkesinambungan, sejak Sidang Umum MPR Tahun
1999 sampai dengan Sidang Tahunan MPR Tahun 2002.
Perubahan UUD 1945 tersebut di¬lakukan MPR guna menyempurnakan
ketentuan fundamental ketatanegaraan Indonesia sebagai pedoman
utama dalam mengisi tuntutan reformasi dan memandu arah perjalanan
bangsa dan negara pada masa kini dan yang akan datang, dengan
harapan dapat berlaku untuk jangka waktu ke depan yang cukup panjang.
Selain itu, perubahan UUD 1945 tersebut juga dimaksudkan untuk
meneguhkan arah perjalanan bangsa dan negara Indonesia agar tetap
mengacu kepada cita-cita negara seba-gaimana tertuang dalam
Pembukaan UUD 1945, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban
dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan
sosial.

Pasca perubahan UUD 1945, maka ada 6 (enam) lembaga Negara


yang diberi¬kan kekuasaan secara langsung oleh konstitusi. 1Undang-
Undang Dasar merupakan hukum tertinggi dimana kedaulatan berada di
tangan rakyat dan dijalankan sep¬enuhnya menurut UUD. UUD
memberikan pembagian kekuasaan (separation of power) kepada 6
Lembaga Negara dengan kedudukan yang sama dan sejajar, yaitu
Presiden, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK), Mahkamah Agung (MA), dan Mahkamah Konstitusi (MK).
Dalam Bab I Pasal 1 Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indo¬nesia Tahun 1945 dinyatakan bahwa, “Kedaulatan berada di tangan
rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Dengan
rumusan itu dimaksudkan, bahwa kedaulatan itu pada hakekatnya tetap
melekat dan berada di tangan rakyat, dan Undang-Undang Dasar yang
mengatur pelaksanaannya.

Sebagian kedaulatan itu tetap dipegang dan dilaksanakan sendiri


oleh rakyat, yaitu dalam hal memilih Presiden dan Wakil Presiden, memilih
anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah, dan anggota Dewan Perwakilan Daerah.
Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Dasar itu, Undang-undang
kemudian juga menetapkan, rakyat tetap memegang kedaulatannya
secara langsung, yaitu dalam hal memilih Gubernur dan Wakil Gubernur,
memilih Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota. Untuk
selebihnya Undang-Undang Dasar menetapkan dibentuknya lembaga-
lembaga negara (DPR, MPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, Badan
Pemeriksa Keuangan, Mahkamah Agung, dan Mahkamah Konstitusi), dan
kepada masing-masing lembaga itu ditetapkan secara definitif fungsi dan
kewenangannya sesuai dengan posisi/kedudukannya. Lembaga-lembaga
negara itu berada dalam kedudukan yang setara. Antara lembaga yang
satu dengan yang lain dilaksanakan prinsip saling mengawasi dan saling
mengimbangi atau checks and balances.

1.2 RUMUSAN MASALAH


1. Apa itu gedung MPR
2. Apa itu tugu Monas
3. Apa itu burung garuda
4. Bagaimana Filosofi dari Gedung MPR
5. Bagaimana Filosofi dari Monas
6. Apa Makna Yang Terkandung Di Burung Garuda

1.3 TUJUAN
1. Untuk mengetahui sejarah dari Gedung MPR
2. Untuk mengetahui sejarah tugu Monas
3. Untuk mengetahui makna yang terkandung dari burung
Garuda

1.4 MANFAAT
Diharapkan makalah ini dapat menambah dan memperkaya
khasanah pengetahuan dan dapat memberikan manfaat bagi teman teman
dalam mengetahui Filosofi dari Gedung MPR ,sejarah pembangunan
Monas dan makna yang terkandung di dalam burung garuda
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 GEDUNG MPR

Pembangunan

Bertepatan dengan Perayaan Dasa Warsa Konferensi Asia-Afrika pada 19 April


1965 dipancangkanlah tiang pertama pembangunan proyek political venues di
Senayan Jakarta. Rancangan Soejoedi Wirjoatmodjo Dpl Ing ditetapkan dan
disahkan presiden pada 22 Februari 1965. Maketnya menampakkan seluruh
bangunan komplek dan rancangan aslinya tampak keseluruhan saat dipandang
dari Jembatan Semanggi.

Ketika pembangunannya dilanjutkan oleh pemerintah Orde Baru pimpinan


Presiden Soeharto, nuansa danau buatan tak tampak dan bangunan komplek
terlihat ketika melewati Jalan Gatot Subroto. Ruang Arkada di bawah tanah
ditiadakan dan luasnya menjadi 60 ha, dengan luas bangunan sekitar 80.000 m2.

Gedung

Komplek Parlemen terdiri dari Gedung Nusantara yang berbentuk kubah,


Nusantara I atau Lokawirasabha setinggi 100 meter dengan 24 lantai yang
mengalami kemiringan 7 derajat, Nusantara II, Nusantara III, Nusantara IV, dan
Nusantara V. Di tengah halaman terdapat air mancur dan "Elemen Elektrik".
Juga berdiri Gedung Sekretariat Jenderal dan sebuah Masjid. Atas amendemen
Undang-undang Dasar 1945 (UUD'45), dalam Komplek DPR/MPR telah berdiri
bangunan baru untuk kantor Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Lokasi

Kompleks Parlemen termasuk dalam wilayah Kelurahan Gelora, Kecamatan


Tanah Abang, Jakarta Pusat. Sebelah barat berbatasan dengan Jalan Gelora,
sebelah selatan dengan Kompleks Kantor Kementerian Pemuda dan Olahraga,
Kompleks Televisi Republik Indonesia (TVRI), dan Komplek Taman Ria Senayan,
di sebelah timur berbatasan dengan Jalan Gatot Subroto, dan Kompleks
Kementerian Kehutanan (Gedung Manggala Wanabakti) di sebelah utaranya.

2.1.1 Filosofi Gedung MPR

Atap gedung MPR-DPR selama ini dianggap banyak pihak tergolong


sangat unik dan mirip batok seekor kura-kura. Namun di balik itu semua, siapa
menyangka gagasan rancangan dari atap gedung MPR-DPR ini ternyata berawal
dari ketidaksengajaan.

Dalam buku "Gedung MPR-DPR RI Sejarah dan Perkembangannya" yang


ditulis oleh Budhi A Sukada, Yulius Pour, Hilmi Syatria dijelaskan bahwa Gedung
MPR-DPR dirancang oleh seorang arsitek terkemuka di Indonesia bernama
Soejoedi Wirjoatmodjo, yang ketika itu memenangkan sayembara desain
rancangan gedung MPR-DPR yang diadakan pada 1965.

BERITA TERKAIT +

Anggaran Gedung DPR Rp601 Miliar Belum Cair, "Pesta" IMF Diolok-olok

Gedung DPR Dikabarkan Miring, Menteri Basuki Punya Pandangan Lain

Jika Gedung DPR Miring 7 Derajat, Bisa Jadi Keajaiban Dunia ke-8
Awal mulanya, Soejoedi ketika itu merancang desain gedung MPR-DPR
bersama tim arsiteknya yang terdiri dari Ir Sutami selaku struktur engineer dan
Ir Nurpontjo selaku staf Soejoedi yang ditugaskan untuk membikin maket
bangunan. Dengan hanya mempunyai waktu kurang lebih dua minggu, mereka
pun terburu-buru merancang desain bangunan.

Ketika di penghujung tenggang waktu (deadline) sayembara, mereka


terkendala gedung bangunan utama yang belum beratap. Mereka berfikir,
sebenarnya ada beberapa alternatif bentuk atap. Adapun bentuk paling
sederhana dan sudah umum dipakai adalah bentuk dan struktur kubah beton.
Tergantung pilihan, apakah ingin berbentuk kubah murni, setengah bola atau
sebagian dari bola (tembereng bola).

Mengingat sudah tersisa hari esok dan sayembara desain rancangan


sudah harus diserahkan, dengan terpaksa Ir Nurpontjo yang ditugaskan
membuat maket bangunan, tetap merancang atap bangunan utama berbentuk
kubah murni. Dia menggunakan bahan maket plastik yang di-press di antara dua
kuali penggorengan kue serabi yang diisi air panas. Sayang, cara ini tidak
berhasil dengan baik karena selalu muncul keriput-keriput persis pada bagian
puncak kubah.

Pada waktu itu pula Soejoedi menghampirinya dan bertanya soal maket
tersebut. Bersamaan dengan datangnya Soejoedi, Nurpontjo yang ketika itu
sedang merasa putus asa, segera mengambil gergaji dan membelah dua hasil
cetakan maket tadi. Dengan harapan, jika kubah dibelah dua, maka akan ada
beberapa potongan lebih mulus, sehingga bisa digabung untuk menjadi kubah
utuh sempurna tanpa keriput.

Ketika Soejoedi melihat dua potongan maket tersebut di atas meja, dia
bereaksi dengan mengatakan bahwa hasil dua potongan maket tadi bagus dan
malah mengusulkan sebaiknya seperti itu saja atap yang digunakan. Bahkan, dia
berkata demikian sambil tangannya memegang dan mereka-reka bentuk yang
akan terjadi jika potongan-potongan hasil tadi disatukan. Lantas, segera dia
menanyakan terlebih dahulu kepada rekan kerja lainnya yakni Sutami.

Tak disangka, Sutami pun sangat sigap melakukan perhitungan dan


memberikan jawaban dalam waktu yang sangat singkat. Dia menjelaskan,
struktur ini bakal menghasilkan prinsip sama dengan membuat sayap (wing)
yang menempel pada badan pesawat terbang, memakai prinsip struktur
kantiver. Sutami malah bisa menjamin, dengan bentangan 100 meter pun, bentuk
dan struktur tersebut masih bisa dipertanggungjawabkan. Bagian yang akan
berfungsi sebagai badan pesawat terbang (fuselage) adalah dua busur beton
yang dibangun berdampingan dan nantinya bertemu pada satu titik puncak.

Struktur sepasang busur beton dengan satu titik temu tersebut kemudian
harus diteruskan masuk ke dalam bumi, untuk bisa menyalurkan beban. Struktur
semacam ini merupakan satu kesatuan yang sangat kokoh dan stabil, agar
nantinya bisa dibebani dengan sayap-sayap berukuran dua kali setengah kubah
beton. Penambahan tersebut juga bisa ikut membentuk atap bangunan utama
seperti sayap burung Garuda.

Pembangunan gedung DPR-MPR ini pun dibangun pada 1965 dan rampung
pada 1968. Alhasil, atap gedung tersebut hingga saat ini masih terlihat ikonik
dan kokoh setelah berusia lebih dari 48 tahun.

Bahan tulisan Keunikan Arsitektur Gedung MPR/DPR RI, diambil dari buku
Gedung MPR/DPR RI Sejarah dan Perkembangannya. Buku ditulis oleh: Budhi A.
Sukada, Yulius Pour, Hilmi Syatria. Foto: Ahkamul Hakim; Gregorius Antar. Buku
yang ditulis oleh beberapa penulis tersebut agar bahasanya mengalir dan enak
dibaca, di edit oleh Hilmi Syatria.

Ya…….., Gedung MPR/DPR tidak habis-babis dibahas orang, baik dari sisi
Rancangan maupun orang-orang yang beraktifitas didalamnya bahkan sisi ilmiah
rancangan gedung seperti konstruksi, tatacahaya, tatasuara dan tata udara
(yang dikenal dalam istilah Fisika Bangunan), mengenai Fisika Banguanan, baca
tulisan Fisika Banguan, bangunan-bangunan-apa-ituuu/ . Banyak hal yang
menarik bila dibaca dari tulisan yang terdapat dalam buku tersebut, kali ini yang
ditampilkan/dipilih adalah Keunikan Arsirtektur. Tujuannya, agar masyarakat
luas mengetahui awal ide rancangan bangun gedung. Buku tersebut saya
(Haslizen Hoesin) peroleh saat bersilaturahim kerumah Hilmi Syatria (editornya)
bulan Oktober 2012. Selamat membaca, semoga bermanfaat (Haslizen Hoesin).

 KeunikanArsitektur

Selera memang tidak bisa diperdebatkan, begitu juga dengan keindahan.


Apa yang indah bagi seseorang, belum tentu juga indah bagi orang lain. Tetapi,
meskipun keindahan sangat relative, ketika Soejoedi Wirjoatmojo Dipl. Ing.
merancang kawasan bangunan yang sekarang ini dinamakan gedung MPR/DPR,
dia tentu saja berusaha untuk menampilkan sebuah karya yang terbaik. Seperti
yang pernah dikemukakan, ketika Soejoedi harus merancang bangun political
venues untuk ikut dilombakan, dia melakukanya dengan tergesa-gesa.
Rancangan tersebut hanya dipersiapkan tidak lebih dari dua pekan. Bisa
dipahami mengapa Soejoedi terburu-buru, karena sebelumnya arsitek ini tak
berniat untuk mengikuti seyembara. Namun dengan mendadak Mentri Pekerjaan
Umum dan Tenaga menganjurkan untuk ikut.

Tidak mengherankan, karena dimintak dengan mendadak dan secara


kebetulan, bahkan mungkin sedang tidak memiliki persiapan dana. Soejoedi
terpaksa menjual mobil pribadinya untuk biaya awal pembuatan gambar dan
menyusun maket. Dalam situasi serba terburu-buru, ketika gambar dan
maketnya hampir selesai masih tersisa bangunan yang belum mempinyai
rancanagan atap. Suasana semakin menggelisahkan, karena bangunan yang
belum beratap tersebut justru ruang pertemuan utama, induk dari kawasasan
kompleks, yang harus dirancangnya.

Sebenarnya ada beberapa alternative bentuk atap. Bentuk paling


sederhana dan sudah umum dipakai adalah bentuk dan struktur kubah beton,
tergantung pilihan apakah murni, setengah bola atau sebagian dari bola
(tembereng bola). Sejak awal Ir Sutami, selaku Struktur engineer telah
memperingatkan tim arsitek, bahwa jika diputuskan untuk memakai atap kubah
murni bakal muncul masalah serius menyangkut perataan penyaluran beban
vertical ketiang-tiang penopang kubah. Satu saja diantara tiang tersebut
melorot, akan bisa menimbulkan akibat berantai, seluruh kubah bakal
mengalami keretakan, pecah dan akhirnya runtuh berantakan.

Sebagai konsekuensi logis jika rancangan atap memakai kubah murni,


seluruh ruang sidang utama harus diberi tambahan balok melingkar besar dan
tebal. Penambahan tersebut dipastikan menambah beban berat bagi bangunan
kubah. Disamping itu, secara arsitektural, balok melingkar ini akan menjadikan
kehadiran barisan tiang-tiang besar mengganggu pandangan dan membawa
dampak lanjutan, ikut mengganggu pembagian ruang-ruang sidang dilantai
dasar. Dalam berbagai diskusi, Sutami menunjukkan contoh berbagai bangunan
gagal karena memakai atap dengan struktur kubah murni.

Ketentuan batas akhir untuk memasukkan rancangan sayembara sudah


semakin mendekat. Sehingga dengan terpaksa Ir Nurpontjo, seorang staf
Soejoedi yang ditugaskan untuk membikin maket bangunan, tetap merancang
atap bangunan utama berbentuk kubah murni. Bahan maket plastic di press
diantara dua kuali penggorengan kue serabi yang diisi air panas. Sayang sekali,
cara ini tidak berhasil dengan baik karena selalu muncul keriput-keriput persis
pada bagian puncak kubah. Sambil setengah putus asa, Nurpontjo mengambil
gergaji hasil cetakan segera digergaji, hasil cetakan segera dibelah dua. Ia
berharap, kalau kubah dibelah seperti itu, akan ada beberapa potongan yang
minimal tidak kelihatan keriputnya, sehingga bisa digabung untuk menjadi kubah
utuh.

Dalam suasana kritis, karena esok hari adalah batas waktu penyerahan
sayembara, Soejoedi datang dan langsung bertanya pakai bahasa jawa “piye
dik, wes rampung” (bagaimana dik, sudah selesai). “Wah susah mas, tak grajine
di sik” (wah sulit mas, harus saya gergaji dulu), jawab Nurpontjo. Lalu arsitek
Soejoedi melihat dua potongan hasil cetakan yang terletak di atas meja. Tanpa
diduga dia malahan berkata: “Lha iki koq apik, apa ngene wae yo atape?” (Lha
ini kok malahan bagus, apa begini saja atapnya?). Soejoedi berkata demikian
sambil tangannya memegang dan mereka-reka bentuk yang akan terjadi jika
potongan-potongan hasil pencatakan dari kuali penggorengan surabi tersebut
disatukan, sebagai mana kubah murni terbelah dua yang bagian ujungnya
diangkat sedikit, lihat gambar. Kedua arsitek tersebut sama-sama berharap bisa
memanfaatkan rancangan bentuk baru ini, Soejoedi segera berujar: “….. tak
takon Tami sik” (… saya tanyakan kepada Tami lebih dahulu).kkkkkk

Sutami, sebagai seorang Ir Sipil dan ahli struktur, sangat sigap dalam
menjawab dan melakukan perhitungan. Hanya dalam waktu singkat, sesudah
langsung membuat berbagai sketsa, dia memberi jaminan: “tidak ada halangan
teknis, pokoknya bisa dikerjakan.” Ia menjelaskan, struktur yang akan dibuat ini
bakal menghasilakn prisip sama dengan membuat sayap (wing) yang menempel
pada badan pesawat terbang, memakai prinsip struktur kantiver. Sutami malah
bisa menjamin, dengan bentangan 100 meter pun, bentuk dan strktur tersebut
masih bisa dipertanggungjawabkan. Mengingat yang akan berfungsi sebagai
baban (fuselage) adalah dua busur beton yang dibangun berdampingan dan
nantinya bertemu pada satu titik puncak.

Struktur sepasang busur beton dengan satu titik temu tersebut kemudian
harus diteruskan masuk kedalam bumi, untuk bisa menyalurkan beban. Struktur
semacam ini merupakan satu kesatuan yang sangat kokoh dan stabil, untuk
nantinya bisa dibebani dengan sayap-sayap berukuran dua kali setengah kubah
beton. Penambahan tersebut juga bisa ikut membentuk atap bangunan utama
seperti sayap burung Garuda. Bentuk semacam ini meskipun sangat unik,
tenyata memang tidak pernah diciptakan. Gagasannya justru muncul tidak
sengaja. Rancangan Soejoedi dan kawan-kawannya unggul pada komposisi
massa. Dalam arti, antara bangunan yang satu dengan yang lain, bentuknya bisa
serasi, sekalipun masih tetap terkesan menonjolnya sebuah bangunan utama

2.2 Tugu Monumen nasional (MONAS)

Monumen Nasional atau yang populer disingkat dengan Monas atau Tugu
Monas adalah monumen peringatan setinggi 132 meter (433 kaki) yang didirikan
untuk mengenang perlawanan dan perjuangan rakyat Indonesia untuk merebut
kemerdekaan dari pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Pembangunan
monumen ini dimulai pada tanggal 17 Agustus 1961 di bawah perintah presiden
Sukarno, dan dibuka untuk umum pada tanggal 12 Juli 1975. Tugu ini dimahkotai
lidah api yang dilapisi lembaran emas yang melambangkan semangat
perjuangan yang menyala-nyala. Monumen Nasional terletak tepat di tengah
Lapangan Medan Merdeka, Jakarta Pusat.

 Sejarah

Setelah pusat pemerintahan Republik Indonesia kembali ke Jakarta


setelah sebelumnya berkedudukan di Yogyakarta pada tahun 1950 menyusul
pengakuan kedaulatan Republik Indonesia oleh pemerintah Belanda pada tahun
1949, Presiden Sukarno mulai merencanakan pembangunan sebuah monumen
nasional yang setara dengan Menara Eiffel di lapangan tepat di depan Istana
Merdeka. Pembangunan tugu Monas bertujuan mengenang dan melestarikan
perjuangan bangsa Indonesia pada masa revolusi kemerdekaan 1945, agar
terus membangkitkan inspirasi dan semangat patriotisme generasi penerus
bangsa.

Pada tanggal 17 Agustus 1954 sebuah komite nasional dibentuk dan


sayembara perancangan monumen nasional digelar pada tahun 1955. Terdapat
51 karya yang masuk, akan tetapi hanya satu karya yang dibuat oleh Frederich
Silaban yang memenuhi kriteria yang ditentukan komite, antara lain
menggambarkan karakter bangsa Indonesia dan dapat bertahan selama
berabad-abad. Sayembara kedua digelar pada tahun 1960 tetapi sekali lagi tak
satupun dari 136 peserta yang memenuhi kriteria. Ketua juri kemudian meminta
Silaban untuk menunjukkan rancangannya kepada Sukarno. Akan tetapi
Sukarno kurang menyukai rancangan itu dan ia menginginkan monumen itu
berbentuk lingga dan yoni. Silaban kemudian diminta merancang monumen
dengan tema seperti itu, akan tetapi rancangan yang diajukan Silaban terlalu
luar biasa sehingga biayanya sangat besar dan tidak mampu ditanggung oleh
anggaran negara, terlebih kondisi ekonomi saat itu cukup buruk. Silaban
menolak merancang bangunan yang lebih kecil, dan menyarankan
pembangunan ditunda hingga ekonomi Indonesia membaik. Sukarno kemudian
meminta arsitek R.M. Soedarsono untuk melanjutkan rancangan itu. Soedarsono
memasukkan angka 17, 8 dan 45, melambangkan 17 Agustus 1945 memulai
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, ke dalam rancangan monumen itu.[1][2][3]
Tugu Peringatan Nasional ini kemudian dibangun di areal seluas 80 hektare.
Tugu ini diarsiteki oleh Frederich Silaban dan R. M. Soedarsono, mulai dibangun
17 Agustus 1961.

 Pembangunan

Soekarno menginspeksi pembangunan Monas. Foto ini dibuat sekitar tahun


1963-1964.

Pembangunan terdiri atas tiga tahap. Tahap pertama, kurun 1961/1962 -


1964/1965 dimulai dengan dimulainya secara resmi pembangunan pada tanggal
17 Agustus 1961 dengan Sukarno secara seremonial menancapkan pasak beton
pertama. Total 284 pasak beton digunakan sebagai fondasi bangunan. Sebanyak
360 pasak bumi ditanamkan untuk fondasi museum sejarah nasional.
Keseluruhan pemancangan fondasi rampung pada bulan Maret 1962. Dinding
museum di dasar bangunan selesai pada bulan Oktober. Pembangunan obelisk
kemudian dimulai dan akhirnya rampung pada bulan Agustus 1963.
Pembangunan tahap kedua berlangsung pada kurun 1966 hingga 1968 akibat
terjadinya Gerakan 30 September sehingga tahap ini sempat tertunda. Tahap
akhir berlangsung pada tahun 1969-1976 dengan menambahkan diorama pada
museum sejarah. Meskipun pembangunan telah rampung, masalah masih saja
terjadi, antara lain kebocoran air yang menggenangi museum. Monumen secara
resmi dibuka untuk umum dan diresmikan pada tanggal 12 Juli 1975 oleh
Presiden Republik Indonesia Soeharto.[4][5] Lokasi pembangunan monumen ini
dikenal dengan nama Medan Merdeka. Lapangan Monas mengalami lima kali
penggantian nama yaitu Lapangan Gambir, Lapangan Ikada, Lapangan Merdeka,
Lapangan Monas, dan Taman Monas. Di sekeliling tugu terdapat taman, dua
buah kolam dan beberapa lapangan terbuka tempat berolahraga. Pada hari-hari
libur Medan Merdeka dipenuhi pengunjung yang berekreasi menikmati
pemandangan Tugu Monas dan melakukan berbagai aktivitas dalam taman.

 Rancang Bangun Monumen

Monumen Nasional dalam tahap pembangunan.

Rancang bangun Tugu Monas berdasarkan pada konsep pasangan universal


yang abadi; Lingga dan Yoni. Tugu obelisk yang menjulang tinggi adalah lingga
yang melambangkan laki-laki, elemen maskulin yang bersifat aktif dan positif,
serta melambangkan siang hari. Sementara pelataran cawan landasan obelisk
adalah Yoni yang melambangkan perempuan, elemen feminin yang pasif dan
negatif, serta melambangkan malam hari.[6] Lingga dan yoni merupakan
lambang kesuburan dan kesatuan harmonis yang saling melengkapi sedari masa
prasejarah Indonesia. Selain itu bentuk Tugu Monas juga dapat ditafsirkan
sebagai sepasang "alu" dan "Lesung", alat penumbuk padi yang didapati dalam
setiap rumah tangga petani tradisional Indonesia. Dengan demikian rancang
bangun Monas penuh dimensi khas budaya bangsa Indonesia. Monumen terdiri
atas 117,7 meter obelisk di atas landasan persegi setinggi 17 meter, pelataran
cawan. Monumen ini dilapisi dengan marmer Italia.
Kolam di Taman Medan Merdeka Utara berukuran 25 x 25 meter dirancang
sebagai bagian dari sistem pendingin udara sekaligus mempercantik
penampilan Taman Monas. Di dekatnya terdapat kolam air mancur dan patung
Pangeran Diponegoro yang sedang menunggang kudanya, terbuat dari
perunggu seberat 8 ton. Patung itu dibuat oleh pemahat Italia, Prof. Coberlato[7]
sebagai sumbangan oleh Konsul Jenderal Kehormatan, Dr. Mario, di Indonesia.
Pintu masuk Monas terdapat di taman Medan Merdeka Utara dekat patung
Pangeran Diponegoro. Pintu masuk melalui terowongan yang berada 3 m di
bawah taman dan jalan silang Monas inilah, pintu masuk pengunjung menuju
tugu Monas. Loket tiket berada di ujung terowongan. Ketika pengunjung naik
kembali ke permukaan tanah di sisi utara Monas, pengunjung dapat melanjutkan
berkeliling melihat relief sejarah perjuangan Indonesia; masuk ke dalam museum
sejarah nasional melalui pintu di sudut timur laut, atau langsung naik ke tengah
menuju ruang kemerdekaan atau lift menuju pelataran puncak monumen.

Relief Sejarah Indonesia

Relief timbul sejarah Indonesia menampilkan Gajah Mada dan sejarah


Majapahit

Pada tiap sudut halaman luar yang mengelilingi monumen terdapat relief
yang menggambarkan sejarah Indonesia. Relief ini bermula di sudut timur laut
dengan mengabadikan kejayaan Nusantara pada masa lampau; menampilkan
sejarah Singhasari dan Majapahit. Relief ini berlanjut secara kronologis searah
jarum jam menuju sudut tenggara, barat daya, dan barat laut. Secara kronologis
menggambarkan masa penjajahan Belanda, perlawanan rakyat Indonesia dan
pahlawan-pahlawan nasional Indonesia, terbentuknya organisasi modern yang
memperjuangkan Indonesia Merdeka pada awal abad ke-20, Sumpah Pemuda,
Pendudukan Jepang dan Perang Dunia II, proklamasi kemerdekaan Indonesia
disusul Revolusi dan Perang kemerdekaan Republik Indonesia, hingga mencapai
masa pembangunan Indonesia modern. Relief dan patung-patung ini dibuat dari
semen dengan kerangka pipa atau logam, namun beberapa patung dan arca
tampak tak terawat dan rusak akibat hujan serta cuaca tropis.

 Museum Sejarah Nasional

Pelajar memperhatikan diorama sejarah IndonesiaDi bagian dasar


monumen pada kedalaman 3 meter di bawah permukaan tanah, terdapat
Museum Sejarah Nasional Indonesia. Ruang besar museum sejarah perjuangan
nasional dengan ukuran luas 80 x 80 meter, dapat menampung pengunjung
sekitar 500 orang. Ruangan besar berlapis marmer ini terdapat 48 diorama pada
keempat sisinya dan 3 diorama di tengah, sehingga menjadi total 51 diorama.
Diorama ini menampilkan sejarah Indonesia sejak masa pra sejarah hingga masa
Orde Baru. Diorama ini dimula dari sudut timur laut bergerak searah jarum jam
menelusuri perjalanan sejarah Indonesia; mulai masa pra sejarah, masa
kemaharajaan kuno seperti Sriwijaya dan Majapahit, disusul masa penjajahan
bangsa Eropa yang disusul perlawanan para pahlawan nasional pra
kemerdekaan melawan VOC dan pemerintah Hindia Belanda. Diorama
berlangsung terus hingga masa pergerakan nasional Indonesia awal abad ke-20,
pendudukan Jepang, perang kemerdekaan dan masa revolusi, hingga masa
Orde Baru pada masa pemerintahan Suharto.

 Ruang Kemerdekaan

Ruang kemerdekaan

Di bagian dalam cawan monumen terdapat Ruang Kemerdekaan


berbentuk amphitheater. Ruangan ini dapat dicapai melalui tangga berputar di
dari pintu sisi utara dan selatan. Ruangan ini menyimpan simbol kenegaraan dan
kemerdekaan Republik Indonesia. Diantaranya naskah asli Proklamasi
Kemerdekaan Indonesia yang disimpan dalam kotak kaca di dalam gerbang
berlapis emas, lambang negara Indonesia, peta kepulauan Negara Kesatuan
Republik Indonesia berlapis emas, dan bendera merah putih, dan dinding yang
bertulis naskah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia.[1][8]. Di dalam
Ruang Kemerdekaan Monumen Nasional ini digunakan sebagai ruang tenang
untuk mengheningkan cipta dan bermeditasi mengenang hakikat kemerdekaan
dan perjuangan bangsa Indonesia. Naskah asli proklamasi kemerdekaan
Indonesia disimpan dalam kotak kaca dalam pintu gerbang berlapis emas. Pintu
mekanis ini terbuat dari perunggu seberat 4 ton berlapis emas dihiasi ukiran
bunga Wijaya Kusuma yang melambangkan keabadian, serta bunga Teratai yang
melambangkan kesucian. Pintu ini terletak pada dinding sisi barat tepat di
tengah ruangan dan berlapis marmer hitam. Pintu ini dikenal dengan nama
Gerbang Kemerdekaan yang secara mekanis akan membuka seraya
memperdengarkan lagu "Padamu Negeri" diikuti kemudian oleh rekaman suara
Sukarno tengah membacakan naskah proklamasi pada 17 Agustus 1945. Pada
sisi selatan terdapat patung Garuda Pancasila, lambang negara Indonesia
terbuat dari perunggu seberat 3,5 ton dan berlapis emas. Pada sisi timur
terdapat tulisan naskah proklamasi berhuruf perunggu, seharusnya sisi ini
menampilkan bendera yang paling suci dan dimuliakan Sang Saka Merah Putih,
yang aslinya dikibarkan pada tanggal 17 Agustus 1945. Akan tetapi karena
kondisinya sudah semakin tua dan rapuh, bendera suci ini tidak dipamerkan. Sisi
utara dinding marmer hitam ini menampilkan kepulauan Nusantara berlapis
emas, melambangkan lokasi Negara Kesatuan Republik Indonesia.

 Pelataran Puncak dan Api Kemerdekaan

Pelataran setinggi 115 meter tempat pengunjung dapat menikmati panorama


Jakarta dari ketinggian

Sebuah elevator (lift) pada pintu sisi selatan akan membawa pengunjung
menuju pelataran puncak berukuran 11 x 11 meter di ketinggian 115 meter dari
permukaan tanah. Lift ini berkapasitas 11 orang sekali angkut. Pelataran puncak
ini dapat menampung sekitar 50 orang, serta terdapat teropong untuk melihat
panorama Jakarta lebih dekat. Pada sekeliling badan elevator terdapat tangga
darurat yang terbuat dari besi. Dari pelataran puncak tugu Monas, pengunjung
dapat menikmati pemandangan seluruh penjuru kota Jakarta. Bila kondisi cuaca
cerah tanpa asap kabut, di arah ke selatan terlihat dari kejauhan Gunung Salak
di wilayah kabupaten Bogor, Jawa Barat, arah utara membentang laut lepas
dengan pulau-pulau kecil.

Di puncak Monumen Nasional terdapat cawan yang menopang nyala lampu


perunggu yang beratnya mencapai 14,5 ton dan dilapisi emas 35 Kilogram. Lidah
api atau obor ini berukuran tinggi 14 meter dan berdiameter 6 meter terdiri dari
77 bagian yang disatukan. Lidah api ini sebagai simbol semangat perjuangan
rakyat Indonesia yang ingin meraih kemerdekaan. Awalnya nyala api perunggu
ini dilapisi lembaran emas seberat 35 kilogram[1], akan tetapi untuk menyambut
perayaan setengah abad (50 tahun) kemerdekaan Indonesia pada tahun 1995,
lembaran emas ini dilapis ulang sehingga mencapai berat 50 kilogram lembaran
emas.[9] Puncak tugu berupa "Api Nan Tak Kunjung Padam" yang bermakna
agar Bangsa Indonesia senantiasa memiliki semangat yang menyala-nyala dalam
berjuang dan tidak pernah surut atau padam sepanjang masa. Pelataran cawan
memberikan pemandangan bagi pengunjung dari ketinggian 17 meter dari
permukaan tanah. Pelataran cawan dapat dicapai melalui elevator ketika turun
dari pelataran puncak, atau melalui tangga mencapai dasar cawan. Tinggi
pelataran cawan dari dasar 17 meter, sedangkan rentang tinggi antara ruang
museum sejarah ke dasar cawan adalah 8 m (3 meter di bawah tanah ditambah 5
meter tangga menuju dasar cawan). Luas pelataran yang berbentuk bujur
sangkar, berukuran 45 x 45 meter, semuanya merupakan pelestarian angka
keramat Proklamasi Kemerdekaan RI (17-8-1945).

2.2.1 Filosofi Tugu Monumen nasional (MONAS)

Apakah kalian pernah pergi ke Jakarta? Jika kalian pernah mengunjungi


ibukota ini tentunya kalian pernah melihat sebuah tugu yang sangat terkenal di
Jakarta yaitu Monas. Tahukah kalian filosofi dari bagunan tersebut? Mari kita
bahas...

Monumen Nasional atau yang populer disingkat dengan Monas atau Tugu
Monas adalah monumen peringatan setinggi 132 meter (433 kaki) yang didirikan
untuk mengenang perlawanan dan perjuangan rakyat Indonesia untuk merebut
kemerdekaan dari pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Pembangunan
monumen ini dimulai pada tanggal 17 Agustus 1961 di bawah perintah presiden
Sukarno, dan dibuka untuk umum pada tanggal 12 Juli 1975. Tugu ini dimahkotai
lidah api yang dilapisi lembaran emasyang melambangkan semangat perjuangan
yang menyala-nyala.

Monumen Nasional atau yang biasa kita sebut Monas adalah simbol ikonik
Kota Jakarta. Bukan hanya sekedar monumen biasa, Monas juga melambangkan
semangat perjuangan masyarakat Indonesia yang begitu besar.

Sejarah mengatakan, Ide dan gagasan awal pembangunan Monas muncul


setelah 9 tahun kemerdekaan diproklamirkan. Soekarno ingin Jakarta memiliki
sebuah Tugu yang mewakili kepribadian dan karakter Bangsa Indonesia,
sebagai lambang kekuatan rakyat.

Beberapa hari setelah HUT ke-9 RI, dibentuk Panitia Tugu Nasional yang
bertugas mengusahakan berdirinya Tugu Monas. Panitia ini dipimpin Sarwoko
Martokusumo, S Suhud selaku penulis, Sumali Prawirosudirdjo selaku
bendahara dan dibantu oleh empat orang anggota masing-masing Supeno, K K
Wiloto, E F Wenas, dan Sudiro.

Panitia itu bertugas menyiapkan segala sesuatu yang berhubungan


dengan pembangunan Monas, mencari biaya dari swadaya masyarakat. Setelah
itu, Sukarno membentuk panitia pembangunan Monas yang dinamakan ‘Tim Yuri’
yang diketuai langsung olehnya.

Dalam buku ‘Bung Karno Sang Arsitek’ karya arsitek Yuke Ardhiati,
Sukarno menggelar sebuah sayembara terbuka tentang desain sebuah tugu
yang akan dibangun di Jakarta pada 17 Februari 1955. Ada 51 arsitek yang
mengajukan rancangan, dan hanya satu yang dipilih, yakni karya Frederich
Silaban, meski sebenarnya desainnya dinilai tak memenuhi syarat bangunan
tugu.

Sayembara kembali dibuka pada 10-15 Mei 1960. Kali ini pesertanya
mencapai 222 orang dengan 136 desain bangunan. Sayang, tak ada satupun
yang memenuhi keinginan Sukarno. Waktu itu arsitek lulusan Technische
Hogeschool―kini Institut Teknologi Bandung―itu menginginkan bangunan tugu
yang mencerminkan revolusi serta kepribadian dan cita-cita rakyat Indonesia.

Tugu itu, haruslah memiliki syarat yakni bentuk tugu yang dibangun benar-
benar bisa menunjukan kepribadian bangsa Indonesia, bertiga dimensi, tidak
rata, tugu yang menjulang tinggi ke langit, dibuat dari beton dan besi serta batu
pualam yang tahan gempa, tahan kritikan zaman sedikitnya seribu tahun serta
dapat menghasilkan karya budaya yang menimbulkan semangat kepahlawanan.

“(Bangunan) yang mencerminkan hal yang bergerak, yang dinamis dalam


satu bentuk daripada materi yang mati,” kata Sukarno waktu itu, seperti dikutip
dalam buku Bung Karno Sang Arsitek karya Yuke Ardhiati.

Di hadapan peserta sayembara, Sukarno mengakui sulitnya mewujudkan ide itu


dalam bentuk desain bangunan. Akhirnya, rancangan yang pernah diajukan
Silaban diambil alih oleh Sukarno dan Raden Mas Soedarsono untuk
dimodifikasi. Hasilnya, jadilah Tugu Monumen Nasional atau Monas seperti yang
sekarang ini.

Tugu Monas mulai dibangun pada 17 Agustus 1961. Bangunan itu memiliki
ketinggian 132 meter dengan bentuk menyerupai modifikasi artefak Lingga dan
Yoni. Lingga merupakan simbol kejantanan seorang pria (phallus), dan Yoni
sebagai simbol perempuan atau kesuburan.

Sukarno mendapat inspirasi tersebut dari artefak yang ada di Candi Sukuh
di Karanganyar, Jawa Tengah. Dia menyebut Candi Sukuh merupakan salah satu
monumen yang dibangun pada zaman Hindu. “Pada waktu itu, monumen-
monumen itu pencerminan dari jiwa besar Indonesia,” ujar Sukarno dalam pidato
saat peletakan batu pertama pembangunan Masjid Istiqlal, 24 Agustus 1961.

Bicara soal filosofis, makna Lingga terkandung secara tersirat di dalam


Tugu Monas, dan makna Yoni lebih disisipkan dalam desain Gedung DPR.

Monas sebagai lambang lingga (phallus) melambangkan laki-laki atau


ayah. Itu sebabnya Monas dibangun di dekat Istana Merdeka. Si ayah
menggambarkan pihak eksekutif yang tempatnya ada di Istana Merdeka.

Kemudian Gedung DPR-RI, yang memiliki unsur-unsur bentuk Yoni atau


vagina dan labium yang dilambangkan sebagai ibu (secara politis, dia adalah
legislatif). Sang ibulah tempat melahirkan anak (Undang-Undang) setelah
bekerjasama dengan sang ayah (eksekutif) yang ada di Istana Merdeka.

Dalam “Tugu Nasional-Laporan Pembangunan” yang diterbitkan tahun


1978, disebutkan, selain lambang kesuburan pria dan perempuan, bentuk tugu
itu melambangkan alu dan cawan, alat penting yang dimiliki rakyat Indonesia,
khususnya di pedesaan. Bisa pula tugu dan cawan itu perlambang negatif-
positif, siang-malam, baik buruk dan dua sisi yang selalu abadi di dunia.
Arsitek Yuke Ardhiati menyebut karya-karya arsitektur Sukarno banyak
menonjolkan sisi keindonesiaan. “Tentunya keindonesiaan pada zamannya,”
ucapnya kepada detik beberapa waktu lalu. Di Tugu Monas, misalnya, semangat
perjuangan Indonesia yang tak pernah padam dilambangkan dalam simbol api di
puncaknya. Ternyata, selain seorang proklamator, Bung Karno juga seorang
seniman dan budayawan ulung.

2.3 BURUNG GARUDA

Lambang negara Indonesia adalah Garuda Pancasila dengan semboyan


Bhinneka Tunggal Ika. Lambang negara Indonesia berbentuk burung Garuda
yang kepalanya menoleh ke sebelah kanan (dari sudut pandang Garuda), perisai
berbentuk menyerupai jantung yang digantung dengan rantai pada leher
Garuda, dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang berarti “Berbeda-beda tetapi
tetap satu” ditulis di atas pita yang dicengkeram oleh Garuda. Lambang ini
dirancang oleh Sultan Hamid II dari Pontianak, yang kemudian disempurnakan
oleh Presiden Soekarno, dan diresmikan pemakaiannya sebagai lambang
negara pertama kali pada Sidang Kabinet Republik Indonesia Serikat tanggal 11
Februari 1950.

Lambang negara Garuda Pancasila diatur penggunaannya dalam


Peraturan Pemerintah No. 43/1958.[1]

Sejarah

Sultan Hamid II

Garuda, kendaraan (wahana) Wishnu tampil di berbagai candi kuno di


Indonesia, seperti Prambanan, Mendut, Sojiwan, Penataran, Belahan, Sukuh dan
Cetho dalam bentuk relief atau arca. Di Prambanan terdapat sebuah candi di
muka candi Wishnu yang dipersembahkan untuk Garuda, akan tetapi tidak
ditemukan arca Garuda di dalamnya. Di candi Siwa Prambanan terdapat relief
episode Ramayana yang menggambarkan keponakan Garuda yang juga bangsa
dewa burung, Jatayu, mencoba menyelamatkan Sinta dari cengkeraman
Rahwana. Arca anumerta Airlangga yang digambarkan sebagai Wishnu tengah
mengendarai Garuda dari Candi Belahan mungkin adalah arca Garuda Jawa
Kuno paling terkenal, kini arca ini disimpan di Museum Trowulan.

Garuda muncul dalam berbagai kisah, terutama di Jawa dan Bali. Dalam
banyak kisah Garuda melambangkan kebajikan, pengetahuan, kekuatan,
keberanian, kesetiaan, dan disiplin. Sebagai kendaraan Wishnu, Garuda juga
memiliki sifat Wishnu sebagai pemelihara dan penjaga tatanan alam semesta.
Dalam tradisi Bali, Garuda dimuliakan sebagai "Tuan segala makhluk yang dapat
terbang" dan "Raja agung para burung". Di Bali ia biasanya digambarkan
sebagai makhluk yang memiliki kepala, paruh, sayap, dan cakar elang, tetapi
memiliki tubuh dan lengan manusia. Biasanya digambarkan dalam ukiran yang
halus dan rumit dengan warna cerah keemasan, digambarkan dalam posisi
sebagai kendaraan Wishnu, atau dalam adegan pertempuran melawan Naga.
Posisi mulia Garuda dalam tradisi Indonesia sejak zaman kuno telah menjadikan
Garuda sebagai simbol nasional Indonesia, sebagai perwujudan ideologi
Pancasila. Garuda juga dipilih sebagai nama maskapai penerbangan nasional
Indonesia Garuda Indonesia. Selain Indonesia, Thailand juga menggunakan
Garuda sebagai lambang negara.

Setelah Perang Kemerdekaan Indonesia 1945–1949, disusul pengakuan


kedaulatan Indonesia oleh Belanda melalui Konferensi Meja Bundar pada tahun
1949, dirasakan perlunya Indonesia (saat itu Republik Indonesia Serikat)
memiliki lambang negara. Tanggal 10 Januari 1950 dibentuk Panitia Teknis
dengan nama Panitia Lencana Negara di bawah koordinator Menteri Negara
Zonder Porto Folio Sultan Hamid II dengan susunan panitia teknis Muhammad
Yamin sebagai ketua, Ki Hajar Dewantoro, M A Pellaupessy, Moh Natsir, dan RM
Ng Poerbatjaraka sebagai anggota. Panitia ini bertugas menyeleksi usulan
rancangan lambang negara untuk dipilih dan diajukan kepada pemerintah

Merujuk keterangan Bung Hatta dalam buku "Bung Hatta Menjawab" untuk
melaksanakan Keputusan Sidang Kabinet tersebut Menteri Priyono
melaksanakan sayembara. Terpilih dua rancangan lambang negara terbaik,
yaitu karya Sultan Hamid II dan karya M Yamin. Pada proses selanjutnya yang
diterima pemerintah dan DPR adalah rancangan Sultan Hamid II. Karya M. Yamin
ditolak karena menyertakan sinar-sinar matahari yang menampakkan pengaruh
Jepang.

Setelah rancangan terpilih, dialog intensif antara perancang (Sultan


Hamid II), Presiden RIS Soekarno dan Perdana Menteri Mohammad Hatta, terus
dilakukan untuk keperluan penyempurnaan rancangan itu. Mereka bertiga
sepakat mengganti pita yang dicengkeram Garuda, yang semula adalah pita
merah putih menjadi pita putih dengan menambahkan semboyan "Bhineka
Tunggal Ika".Tanggal 8 Februari 1950, rancangan lambang negara yang dibuat
Menteri Negara RIS, Sultan Hamid II diajukan kepada Presiden Soekarno.
Rancangan lambang negara tersebut mendapat masukan dari Partai Masyumi
untuk dipertimbangkan kembali, karena adanya keberatan terhadap gambar
burung Garuda dengan tangan dan bahu manusia yang memegang perisai dan
dianggap terlalu bersifat mitologis.[2]

Sultan Hamid II kembali mengajukan rancangan gambar lambang negara


yang telah disempurnakan berdasarkan aspirasi yang berkembang, sehingga
tercipta bentuk Rajawali-Garuda Pancasila. Disingkat Garuda Pancasila.
Presiden Soekarno kemudian menyerahkan rancangan tersebut kepada Kabinet
RIS melalui Moh Hatta sebagai perdana menteri. AG Pringgodigdo dalam
bukunya “Sekitar Pancasila” terbitan Dep Hankam, Pusat Sejarah ABRI
menyebutkan, rancangan lambang negara karya Sultan Hamid II akhirnya
diresmikan pemakaiannya dalam Sidang Kabinet RIS pada tanggal 11 Februari
1950.[3] Ketika itu gambar bentuk kepala Rajawali Garuda Pancasila masih
"gundul" dan tidak berjambul seperti bentuk sekarang ini. Presiden Soekarno
kemudian memperkenalkan untuk pertama kalinya lambang negara itu kepada
khalayak umum di Hotel Des Indes Jakarta pada 15 Februari 1950.

Soekarno terus memperbaiki bentuk Garuda Pancasila. Pada tanggal 20


Maret 1950 Soekarno memerintahkan pelukis istana, Dullah, melukis kembali
rancangan tersebut; setelah sebelumnya diperbaiki antara lain penambahan
"jambul" pada kepala Garuda Pancasila, serta mengubah posisi cakar kaki yang
mencengkram pita dari semula di belakang pita menjadi di depan pita, atas
masukan Presiden Soekarno. Dipercaya bahwa alasan Soekarno menambahkan
jambul karena kepala Garuda gundul dianggap terlalu mirip dengan Bald Eagle,
Lambang Amerika Serikat.[2] Untuk terakhir kalinya, Sultan Hamid II
menyelesaikan penyempurnaan bentuk final gambar lambang negara, yaitu
dengan menambah skala ukuran dan tata warna gambar lambang negara.
Rancangan Garuda Pancasila terakhir ini dibuatkan patung besar dari bahan
perunggu berlapis emas yang disimpan dalam Ruang Kemerdekaan Monumen
Nasional sebagai acuan, ditetapkan sebagai lambang negara Republik
Indonesia, dan desainnya tidak berubah hingga kini

2.3.1 MAKNA YANG TERKANDUNG DI DALAM BURUNG GARUDA

Burung garuda berwarna kuning emas mengepakkan sayapnya dengan


gagah menoleh ke kanan. Dalam tubuhnya mengemas kelima dasar dari
Pancasila. Di tengah tameng yang bermakna benteng ketahanan filosofis,
terbentang garis tebal yang bermakna garis khatulistiwa, yang merupakan
lambang geografis lokasi Indonesia. Kedua kakinya yang kokoh kekar
mencengkeram kuat semboyan bangsa Indonesia “Bhinneka Tunggal Ika” yang
berarti “Berbeda-beda, Namun Tetap Satu“.

Secara tegas bangsa Indonesia telah memilih burung garuda sebagai


lambang kebangsaannya yang besar, karena garuda adalah burung yang penuh
percaya diri, energik dan dinamis. Ia terbang menguasai angkasa dan
memantau keadaan sendiri, tak suka bergantung pada yang lain. Garuda yang
merupakan lambang pemberani dalam mempertahankan wilayah, tetapi dia pun
akan menghormati wilayah milik yang lain sekalipun wilayah itu milik burung
yang lebih kecil. Warna kuning emas melambangkan bangsa yang besar dan
berjiwa priyagung sejati.
Burung garuda yang juga punya sifat sangat setia pada kewajiban sesuai
dengan budaya bangsa yang dihayati secara turun temurun. Burung garuda pun
pantang mundur dan pantang menyerah. Legenda semacam ini juga diabadikan
sangat indah oleh nenek moyang bangsa Indonesia pada candi dan di berbagai
prasasti sejak abad ke-15.

Keberhasilan bangsa Indonesia dalam meraih cita-citanya menjadi negara


yang merdeka bersatu dan berdaulat pada tanggal 17 Agustus 1945, tertera
lengkap dalam lambang garuda. 17 helai bulu pada sayapnya yang membentang
gagah melambangkan tanggal 17 hari kemerdekaan Indonesia, 8 helai bulu pada
ekornya melambangkan bulan Agustus, dan ke-45 helai bulu pada lehernya
melambangkan tahun 1945 adalah tahun kemerdekaan Indonesia. Semua itu
memuat kemasan historis bangsa Indonesia sebagai titik puncak dari segala
perjuangan bangsa Indonesia untuk mendapatkan kemerdekaannya yang
panjang. Dengan demikian lambang burung garuda itu semakin gagah
mengemas lengkap empat arti visual sekaligus, yaitu makna filosofis, geografis,
sosiologis, dan historis.

Burung garuda merupakan mitos dalam mitologi Hindu dan Budha. Garuda
dalam mitos digambarkan sebagai makhluk separuh burung (sayap, paruh,
cakar) dan separuh manusia (tangan dan kaki). Lambang garuda diambil dari
penggambaran kendaraan Batara Wisnu yakni garudeya. Garudeya itu sendiri
dapat kita temui pada salah satu pahatan di Candi Kidal yang terletak di
Kabupaten Malang tepatnya: DesaRejokidal, Kecamatan Tumpang, Kabupaten
Malang, Jawa Timur

Garuda sebagai lambang negara menggambarkan kekuatan dan


kekuasaan dan warna emas melambangkan kejayaan, karena peran garuda
dalam cerita pewayangan Mahabharata dan Ramayana. Posisi kepala garuda
menengok lurus ke kanan.

Jumlah bulu melambangkan hari proklamasi kemerdekaan Indonesia (17


Agustus 1945), antara lain:

1.Jumlah bulu pada masing-masing sayap berjumlah 17

2.Jumlah bulu pada ekor berjumlah 8

3.Jumlah bulu di bawah perisai/pangkal ekor berjumlah 19

4.Jumlah bulu di leher berjumlah 45

Perisai

Perisai merupakan lambang pertahanan negara Indonesia. Gambar


perisai tersebut dibagi menjadi lima bagian: bagian latar belakang dibagi
menjadi empat dengan warna merah putih berselang seling (warna merah-putih
melambangkan warna bendera nasional Indonesia, merah berarti berani dan
putih berarti suci), dan sebuah perisai kecil miniatur dari perisai yang besar
berwarna hitam berada tepat di tengah-tengah. Garis lurus horizontal yang
membagi perisai tersebut menggambarkan garis khatulistiwa yang tepat
melintasi Indonesia di tengah-tengah.

Emblem

Setiap gambar emblem yang terdapat pada perisai berhubungan dengan


simbol dari sila Pancasila.

Bintang Tunggal
Sila ke-1: Ketuhanan Yang Maha Esa. Perisai hitam dengan sebuah bintang
emas berkepala lima menggambarkan agama-agama besar di Indonesia, Islam,
Kristen, Hindu, Buddha, dan juga ideologi sekuler sosialisme.

Rantai Emas

Sila ke-2: Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab. Rantai yang disusun atas
gelang-gelang kecil ini menandakan hubungan manusia satu dengan yang
lainnya yang saling membantu. Gelang yang lingkaran menggambarkan wanita,
gelang yang persegi menggambarkan pria.

Pohon Beringin

Sila ke-3: Persatuan Indonesia. Pohon beringin (Ficus benjamina) adalah


sebuah pohon Indonesia yang berakar tunjang – sebuah akar tunggal panjang
yang menunjang pohon yang besar tersebut dengan bertumbuh sangat dalam ke
dalam tanah. Ini menggambarkan kesatuan Indonesia. Pohon ini juga memiliki
banyak akar yang menggelantung dari ranting-rantingnya. Hal ini
menggambarkan Indonesia sebagai negara kesatuan namun memiliki berbagai
akar budaya yang berbeda-beda.

Kepala Banteng

Sila ke-4: Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam


Permusyawaratan/Perwakilan. Binatang banteng (Latin: Bos javanicus) atau
lembu liar adalah binatang sosial, sama halnya dengan manusia cetusan
Presiden Soekarno dimana pengambilan keputusan yang dilakukan bersama
(musyawarah), gotong royong, dan kekeluargaan merupakan nilai-nilai khas
bangsa Indonesia.

Padi Kapas

Sila ke-5: Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Padi dan kapas
(yang menggambarkan sandang dan pangan) merupakan kebutuhan pokok
setiap masyarakat Indonesia tanpa melihat status maupun kedudukannya. Hal ini
menggambarkan persamaan sosial dimana tidak adanya kesenjangan sosial
satu dengan yang lainnya, namun hal ini bukan berarti bahwa negara Indonesia
memakai ideologi komunisme.

Motto

Pita yang dicengkeram oleh burung garuda bertuliskan semboyan negara


Indonesia, yaitu Bhinneka Tunggal Ika. Bhinneka Tunggal Ika berasal dari
kalimat bahasa Jawa Kuno karangan Mpu Tantular yang berarti “Walaupun
berbeda-beda tetapi tetap satu” yang menggambarkan keadaan bangsa
Indonesia yang terdiri atas beraneka ragam suku, budaya, adat-istiadat,
kepercayaan, namun tetap adalah satu bangsa, bahasa, dan tanah air.
BAB III

PENUTUP

3.1 PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Dari Paparan atau penjelasan di atas, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa sesuai
dengan makalah “filosofi gedung MPR,filosofi tugu Monas dan makna burung Garuda”
penulis menyimpulkan bahwa bentuk dari tugu monas dan gedung mpr adalah
berbentuk alat vital manusia monas mengikuti bentuk dari alat vital pria dan gedung
MPR berbentuk alat vital wanita

3.2 Saran

Menyadari bahwa penulis masih jauh dari kata sempurna, kedepannya penulis akan lebih
fokus dan details dalam menjelaskan tentang makalah di atas dengan sumber – sumber
yang lebih banyak yang tentunga dapat di pertanggung jawabkan.

Untuk saran bisa berisi kritik atau saran terhadap penulisan juga bisa untuk menanggapi
terhadap kesimpulan dari bahasan makalah yang telah di jelaskan. Untuk bagian terakhir
dari makalah adalah daftar pustaka. Pada kesempatan lain akan saya jelaskan tentang
daftar pustaka makalah.

3.2 DAFTAR PUSTAKA

http://adit-rival.blogspot.com/2014/05/makalah-tentang-mpr.html

http://www.academia.edu/6583574/Makalah_dan_Laporan_Kunjungan_ke_D
PR_RI_Mata_Ku
https://id.wikipedia.org/wiki/Lambang_negara_Indonesialiah_Kebijakan_Publ
ik_dalam_Pendidikan_dan_Kinerja_Birokrasi_

https://id.wikipedia.org/wiki/Monumen_Nasional

https://oimamonoha.wordpress.com/2012/08/10/arti-dan-makna-lambang-
negara-indonesia-garuda-pancasila-2/

https://nasional.kompas.com/read/2016/11/04/11082261/ketua.mpr.minta.k
esekjenan.beri.izin.jika.ada.massa.demo.4.november.yang.menginap.di.dpr

https://www.kompasiana.com/annamaniac/57096541719373e407506827/fil
osofi-seksualitas-lingga-yoni-pada-bangunan-monas-dan-gedung-dpr-mpr

https://www.google.co.id/search?q=Gedung+mpr&oq=gedung+mpr&aqs=
chrome.0.69i59j69i60j0l4.1888j0j7&sourceid=chrome&ie=UTF-8
https://id.wikipedia.org/wiki/Kompleks_Parlemen_Republik_Indonesia

Anda mungkin juga menyukai