Oleh Kelompok 8:
1. PUTRI NUR ANISA (P17440213043)
2. QURROTU A’YUNIN (P17440213049)
3. TRI TANAYA KENAKA (P17440213050)
4. MARSEKAL ORION TORAYA PIRADE (P17440214053)
5. MUHAMMAD DIMAS AFFANDI (P17440214061)
6. SYNDIKA RAYA ANGGRARETA (P17440214062)
7. ABDUL HADI PURNAMA (P17440214068)
8. TIARA WAHYU ARIANTI (P17440214069)
9. GALUH NISAULKHOIRIYAH FATHAH (P17440214073)
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Mahakuasa karena telah memberikan kesempatan
pada penulis untuk menyelesaikan makalah ini. Atas rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “Hari Lahir Pancasila” tepat waktu.
Makalah “Hari Lahir Pancasila” disusun guna memenuhi tugas dosen pada Mata
Kuliah Pancasila di Poltekkes Kemenkes Malang. Selain itu, penulis juga berharap agar
makalah ini dapat menambah wawasan bagi pembaca tentang “Lahirnya Pancasila”.
Penulis mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya kepada Bapak Roedy Susanto,
S.T., M.Sos. selaku dosen mata kuliah. Tugas yang telah diberikan ini dapat menambah
pengetahuan dan wawasan terkait bidang yang ditekuni penulis. Penulis juga mengucapkan
terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu proses penyusunan makalah ini.
Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik
dan saran yang membangun akan penulis terima demi kesempurnaan makalah ini.
Penulis
Daftar Isi
JUDUL …………………………………………………………………...…………………. i
A. Kolonialisme Belanda
Sejarah Pancasila tidak bisa dipisahkan dari kisah perjuangan bangsa Indonesia
mengusir kolonialisme dan mendirikan Negara merdeka bernama Republik Indonesia.
Sejarah resmi yang diajarkan di SD menyebut Indonesia dijajah 350 tahun atau tiga
setengah Abad lamanya. Tetapi angka ini masih kontroversi. Sebab, Belanda dengan nama
VOC baru muncul pada 1602 (343 tahun). Sementara ada yang mengatakan, VOC itu hanya
kongsi dagang, belum mewakili Belanda. VOC bubar tahun 1799. Artinya, Belanda secara
resmi mengambil-alih Indonesia pada 1800-an. Tetapi, terlepas dari kontroversi itu, Belanda
menjajah Indonesia cukup lama. Salah satu penyebabnya adalah keberhasilan Belanda
menjalankan politik pecah-belah atau devide et impera.
Sejak kemunculan VOC di Indonesia, hingga berganti nama menjadi Hindia-Belanda,
perlawanan bangsa Indonesia tidak pernah terhenti sama sekali. Aceh baru takluk pada 1904,
sedangkan Bali dikuasai Belanda tahun 1906. Memang, perlawanan sejak kedatangan VOC
hingga 1906 itu mengalami kekalahan. Ada beberapa penyebab: pertama, perlawanan itu
dilakukan terpecah-pecah, sendiri-sendiri, di masing-masing daerah; dan kedua, semangat
perlawanan itu masih didorong sentimen yang bersifat primordial, seperti semangat
mempertahankan daerah, tradisi dan agama.
Baru setelah memasuki abad ke-20 muncul semangat perlawanan baru, yaitu
kebangsaan Indonesia atau nasionalisme Indonesia. Alat perlawanannya pun sudah sangat
modern, yaitu organisasi. Dimulai dari gagasan-gagasan Kartini, Tirto Adhisuryo (pendiri
Sarekat Priayi tahun 1906 dan Sarekat Dagang Islamiyah/SDI tahun 1909), hingga pendirian
Boedi Oetomo.
Sejak saat itu mulai muncul kesadaran baru tentang bangsa (Nation), bahwa manusia
yang mendiami kepulauan Nusantara punya kesamaan nasib, kesamaan kehendak untuk
bersatu, dan punya kesamaan cita-cita (menjadi bangsa Merdeka yang adil dan makmur).
Para penjajah Eropa menyebut daerah jajahannya di Asia tenggara dengan sebutan Hindia
timur. Masing-masing wilayah di Hindia Timur ini disesuaikan dengan nama penjajahnya.
Hindia-Belanda untuk wilayah yang dikuasai oleh Belanda. Ada juga Hindia-Spanyol (Indias
Orientales Españolas), dan Hindia-British (jajahan Inggris).
B. Soekarno dan Pembuangan ke Ende
Pada 4 Juli 1927, Soekarno bersama mahasiswa lain yang tergabung dalam Studie
Club mendirikan Perserikatan Nasional Indonesia (PNI). Setahun kemudian berganti nama
menjadi Partai Nasional Indonesia (PNI). Soekarno dan PNI berjasa besar dalam
mempopulerkan nama Indonesia. Sejak awal PNI mengambil program politik cukup radikal:
memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Strategi perjuangannya pun radikal, yakni non-
kooperasi alias menolak bekerjasama dengan Belanda. PNI juga menggunakan massa actie
(massa aksi) sebagai senjata perjuangannya.
Jauh sebelum mendirikan PNI, Soekarno sudah gandrung bicara persatuan. Tidak ada
kemerdekaan tanpa persatuan nasional, kata dia. Tahun 1926, dia menulis risalah berjudul
“Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme”, yang menganjurkan persatuan di kalangan
pergerakan untuk mengusir Belanda. Desember 1929, karena politiknya yang radikal,
Sukarno ditangkap Belanda. Dia kemudian dijebloskan ke penjara Bantjeuj di Bandung, Jawa
Barat. Di dalam ruang penjara yang sempit, gelap, pesing dan pengap itu Soekarno menulis
pledoi yang terkenal, Indonesia Menggugat.
Soekarno keluar penjara tahun 1931 dan langsung kembali ke dunia pergerakan. Tak
lama kemudian, tepatnya 1933, dia menulis artikel yang keras, Mencapai Indonesia Merdeka,
yang mengantarkannya pada penjara dan pembuangan. Tahun 1933, Sukarno kembali
ditangkap, tetapi kali ini mengalami pembuangan. Dia dibuang ke Ende, Flores,
Nusatenggara timur. Istrinya, Inggit Garnasih, mertuanya (Ibu Amsi), dan anak angkatnya
bernama Ratna Djuami, ikut Soekarno ke pembuangan di Ende.
Di Ende, sifat pergerakan Soekarno tidak hilang. Selain mengorganisir kelompok
sandiwara bernama “Kalimutu”. Selama 4 tahun pembuangan di Ende, selama empat tahun
(14 Januari 1934 hingga 18 Oktober 1938), dia membuat 12 naskah sandiwara. Di ende pula,
di bawah naungan sebuah pohong sukun, Soekarno menemukan ilham tentang lima dasar
Indonesia merdeka kelak, atau Pancasila. Soekarno menyebutnya 5 butir mutiara. “Di pulau
Bunga yang sepi tidak berkawan aku telah menghabiskan waktu berjam-jam lamanya
merenungkan di bawah pohon kayu. Ketika itu datang ilham yang diturunkan oleh Tuhan
mengenai lima dasar falsafah hidup yang sekarang dikenal dengan Pancasila. Aku tidak
mengatakan, bahwa aku menciptakan Pancasila. Apa yang kukerjakan hanyalah menggali
tradisi kami jauh sampai ke dasarnya dan keluarlah aku dengan lima butir mutiara yang
indah,” kata Sukarno dalam buku otobiografinya, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat
Indonesia.
C. Sidang BPUPKI
Di awal 1945, tanda-tanda melemahnya kekuasaan fasisme Jepang mulai terlihat.
Untuk itu, pemerintah pendudukan Jepang mulai menjanjikan Kemerdekaan kepada
Indonesia. Tanggal tangga 29 April 1945, dibentuklah badan bernama Dokuritsu Junbi
Cosakai alias Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Badan
yang beranggotakan 59 orang ini didominasi oleh tokoh-tokoh pergerakan, termasuk Sukarno
dan Hatta. Tugas BPUPKI adalah merancang pembentukan negara Indonesia.
BPUPKI memulai sidang pertamanya tanggal 29 Mei 1945. Sidang pertama ini
berlangsung hingga tanggal 1 Juni 1945. Dalam sidang pertama ini, berbagai tokoh berpidato
tentang negara Indonesia, seperti Mohammad Yamin, Soepomo, dan Hatta. Namun, dari
semua tokoh yang berpidato, tak satupun yang menyinggung dan menjawab pertanyaan
Ketua BPUPKI, dr. Radjiman Wediodiningrat: "Jika Indonesia merdeka, di atas dasar apa
negara ini akan kita dirikan?"
Baru pada saat giliran Soekarno, yang berpidato pada tanggal 1 Juni 1945, pertanyaan
itu terjawab. Soekarno berpidato tentang arti penting Philosofische grondslag (filosofi dasar)
dan Weltanschauung (pandangan hidup) bagi sebuah negara yang merdeka. Sukarno juga
menguraikan lima nilai dasar filosofis tersebut, yakni kebangsaan, kemanusiaan, demokrasi
atau mufakat, keadilan sosial dan percaya pada Tuhan Yang Maha Esa. Sukarno kemudian
menamai lima nilai filosofi dasar itu dengan nama Pantja-Sila atau Pancasila.
Pidato Soekarno mendapat tepuk-tangan bergemuruh dari peserta sidang. Usulannya
disetujui. Untuk mematangkan rumusan Sukarno itu, dibentuklah Panitia Sembilan yang
diketuai oleh Soekarno sendiri. Panitia Sembilan inilah yang mengubah sedikit urutan
rumusan Soekarno: Ketuhanan pindah ke sila pertama, dan ditambahi kata-kata “dengan
kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Rumusan ini disebut
Piagam Djakarta. Karena itu, Soekarno boleh dikatakan sebagai penemu dari Pancasila.
Tetapi dia sendiri menolak istilah “penemu” itu. Menurutnya, lima nilai dasar itu sudah ada
dan hidup di bumi Indonesia jauh sebelum kolonialisme datang. Hanya sempat terkubur oleh
kolonialisme. Soekarno hanya menggalinya kembali. Maka ada istilah: Sukarno penggali
Pancasila.
Pancasila ditetapkan sebagai Dasar Negara pada tanggal 18 Agustus 1945, dengan
mengubah bunyi sila pertama Piagam Djakarta, menjadi: Ketuhanan Yang Maha Esa,
Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, dan Keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia. Tahun 1947, Departemen Penerangan Republik Indonesia (RI)
mempublikasikan pidato Bung Karno tanggal 1 Juni 1945 dengan nama Lahirnya Pancasila.
Kata pengantar buku tersebut ditulis oleh Ketua BPUPKI, Radjiman Wedyodiningrat,
menyebut bahwa pidato Bung Karno tanggal 1 Juni 1945 sebagai hari Lahirnya Pancasila.
Sedangkan peringatan 1 Juni sebagai Hari Lahirnya Pancasila baru dimulai secara resmi
ditahun 1964.
• Nilai sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Notonagoro menyebutkan bahwa
hakikat manusia adalah mono pluralis. Manusia terdiri dari unsur- unsur: Jiwa-nya,
makhluk individu-musyawarah, pribadi berdiri sendiri- makhluk Tuhan, dalam
perwujudannya berupa nilai-nilai hidup, kenyataan termasuk kebenaran, keindahan,
dan kebaikan. Dari sini dapat dirumuskan bahwa nilai-nilai sila kedua ini adalah nilai
hormat kepada orang lain, walau beda keyakinannya. Penerapan nilai Pancasila sila
kedua dapat dilakukan dengan cara menerapkan rasa toleransi antar sesama, saling
menghormati dan menghargai, dan selalu bersikap adil kepada semua orang.
Dimensi kemanusiaan yang mencakup dalam sila kedua ini secara ringkas
dapat disebutkan bahwa sikap saling menghormati terhadap keyakinan
sesama, hormat kepada martabat manusia, adanya komitmen moral terhadap
eksistensi bangsa ini, serta terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
• Nilai sila Persatuan Indonesia mengandung hubungan hidup bersama yang secara
alamiah manusia sebagai bawaan individu mempunyai persamaan dan perbedaan
dengan manusia lainnya. Sila persatuan dapat diterapkan dengan cara menghidupkan
perbedaan-perbedaan yang mengandung daya tarik ke arah kerja sama dan saling
bantu membantu sehingga terbangun kerukunan hidup gotong royong. Bangsa
Indonesia yang mempunyai sikap gotong royong, suka bekerja sama
menggambarkan betapa sila persatuan memberi ruang yang leluasa untuk
mempertahankan nilai kebangsaan Indonesia. Perilaku bekerja sama yang bersifat
gotong royong ini telah lama dilakoni oleh orang-orang pedesaan.
• Nilai-nilai sila Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan. Kerakyatan Indonesia adalah demokrasi yang dipimpin
oleh hikmat kebijaksanaan dan mufakat. Kerakyatan timbul karena adanya kesadaran
bahwa manusia mempunyai harkat dan martabat yang sama, terutama
sebagai Makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Dalam sila keempat, dapat kita
terapkan di lingkungan masyarakat dengan cara saling memuliakan dan menghargai
manusia, tidak saling menghina apalagi membinasakan, jujur pada saat pemilu.
• Nilai-nilai sila kelima yaitu tentang Keadilan. Secara singkat, sila ini
mengandung makna adanya suatu tata masyarakat yang adil dan makmur, sejahtera
lahiriah batiniah. Setiap manusia wajib bertindak, bersikap secara adil, karena
keadilan sosial dapat tercapai apabila tiap individu bertindak dan mengembangkan
sikap adil terhadap sesama. Akulturasi nilai keadilan ini mendasari diri pada nilai-
nilai keadilan yaitu: keadilan yang berlaku bagi sesama warga masyarakat yaitu antara
pribadi dengan pribadi yang sama martabatnya, atas dasar prestasi masing-masing.
Penerapan nilai sila kelima ini dapat dilakukan dengan cara mengedepankan
sikap adil terhadap masyarakat keseluruhan, serta taat kepada masyarakat atau
negara sesuai dengan hukum untuk mewujudkan kesejahteraan bersama.
BAB III
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Pancasila merupakan dasar Negara, dan juga menjadi falsafah hidup bangsa Indonesia
sejak dahulu. Pancasila juga diperuntukkan kepada Negara, masyarakat, dan pribadi bangsa
Indonesia. Sila-sila pancasila itu tidak terlepas satu sama lain melainkan satu kesatuan yang
bulat, baik dalam fungsi dan kedudukannya sebagai dasar Negara maupun sebagai falsafah
hidup bangsa. Pengertian dari kata “kesatuan bulat” dari pancasila ini ialah berarti bahwa sila
yang satu meliputi dan menjiwai sila-sila yang lain. Sila-sila pancasila itu tidak statis, akan
tetapi dinamis, dengan gerakan-gerakannya yang positif dan serasi, karena ketatanegaraan
akan selalu berkaitan dengan tata negara. Karena tata begara merupakan pengatur kehidupan
bernegara yang menyangkut sifat, bentuk, tugas negara, dan pemerintahannya. Karena
banyak peristiwa-peristiwa penting yang terjadi yaitu seperti krisis-krisis yang menimpa
bangsa-bangsa dan negara, sebagai reaksi terhadap gejolak kehidupan bangsa tampak
menonjol satu atau beberapa sila saja. Dari kalimat diatas telah diketahui bahwa pancasila
sangat berperan untuk keutuhan negara. Dengan kelima sila tersebut kehidupan masyarakat
akan lebih terarah.
4.2 Saran
Demikianlah yang dapat kami sampaikan mengenai materi yang menjadi bahasan dalam
makalah ini, tentunya banyak kekurangan dan kelemahan kerena terbatasnya pengetahuan,
kurangnya rujukan atau referensi yang kami peroleh hubungannya dengan makalah ini.
Penulis banyak berharap kepada para pembaca memberikan kritik dan saran yang
membangun kepada kami demi sempurnanya makalah ini. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi penulis dan para pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
Gesmi, Irwan dan Yun Hendri. 2018. Pendidikan Pancasila. Ponorogo: Uwais Inspirasi
Indonesia