Anda di halaman 1dari 42

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pergerakan okular diatur oleh enam otot ekstraokuler. Nervus cranial yang

mempersyarafinya adalah nervus III (okulomotorius), nervus IV (troklearis) dan

nervus VI (abdusens). Pergerakan bola mata bersifat konjugat yaitu keduanya

menuju arah yang sama dan pada saat yang bersamaan. Gerakan kojugat

horizontal melibatkan pergerakan simultan pada kedua mata dengan arah

berlawanan dari garis tengah; satu mata bergerak ke medial, sedangkan mata

lainnya bergerak ke arah lateral. Dengan demikian gerakan konjugat bergantung

pada ketepatan koordinasi persarafan kedua mata dan pada nuklei otot yang

menpersarafi gerakan mata pada kedua sisi. Hubungan saraf sentral yang

kompleks juga mempengaruhi terjadinya gerakan tersebut. Saraf yang

mempersarafi otot-otot mata juga berperan pada beberapa refleks yaitu

akomodasi, konvergensi, dan refleks cahaya pupil.1

Kelainan yang ditimbulkan pada parese nervus III,IV dan VI ini berupa

ptosis, strabismus, diplopia, nistagmus, penurunan akomodasi, penurunan reflek

cahaya yang bisa disebabkan oleh kongenital, trauma, aneurisma, diabetes dan

hipertensi serta neoplasma.2

Diagnosis ditegakkan melalui gejala klinis, pemeriksaan oftalmologi dan

pemeriksaan penunjang. Tatalaksana untuk pasien ini bisa dilakukan dengan terapi

medis ( terapi ambliopia dan prisma) atau dengan terapi bedah.3,4

1
1.2 Batasan Masalah

Penulisan referat ini membahas mengenai definisi, epidemiologi, anatomi,

radioanatomi, etiologi dan faktor risiko, patofisiologi, manifestasi klinis,

diagnosis, serta penatalaksanaan parese nervus III, IV dan VI.

1.3 Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui definisi,

epidemiologi, anatomi, radioanatomi, etiologi dan faktor risiko, patofisiologi,

manifestasi klinis, diagnosis, serta penatalaksanaan parese nervus III, IV dan VI.

1.4 Metode Penulisan

Metode yang dipakai adalah tinjauan kepustakaan dengan merujuk pada

berbagai literatur.

1.5 Manfaat Penulisan

Referat ini diharapkan akan bermanfaat dalam memberikan informasi dan

pengetahuan tentang parese nervus III, IV dan VI.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Neuroanatomi Nervus III, IV, VI

Tiga saraf kranial yang mempersarafi otot-otot mata: nervus okulomotorius

(N III), nervus trokhlearis (N IV), dan nervus abdusens (N VI). Nuklei nervus

okulomotorius dan nervus trokhlearis terletak di tegmentum mesensefali,

sedangkan nukleus nervus abdusens terletak di bagian tegmentum pontis di bagian

bawah dasar ventrikel keempat. 1

2.2.1 Nervus okulomotorius (N III)

Area nuklear nervus okulomotorius terletak di substansia grisea

periakuaduktus mesensefali, ventral dari akuaduktus, setinggi kolikulus

superior. Area ini memiliki dua komponen utama:

1. Nukleus parasimpatis yang terletak di medial, disebut nukleus Edinger-

Westphal, yang mempersarafi otot-otot intraokular (M. sfingter pupil dan

M. siliaris);

2. Kompleks yang lebih besar, disebut Kompleks nukleus okulomotorius,

yang terletak lebih lateral yang mempersarafi empat dari enam otot-otot

ekstraokular antara lain M. rektus superior, M. rektus inferior, M. rektus

medialis, M. obliqusinferior. Selain itu juga terdapat area nuklear kecil

untuk M. levator palpebra. M. Levator palpebrae dipersarafi secara

bilateral; M. rektus medialis, M. Rektus inferior dan M. obliqus inferior

dipersarafi secara ipsilateral; dan M. rektussuperior dipersarafi secara

kontralateral dengan dekusasio serabut-serabut yang terjadi pada ujung

3
kaudal dari kompleks ini. 1,5

Serabut radikular motorik yang keluar dari area nuklear ini berjalan ke

arah ventral bersama dengan serabut parasimpatis. Beberapa di antara

serabut-serabut tersebut menyilang garis tengah dan sebagian lagi tidak

menyilang (semua serabut untuk M. rektus superior menyilang garis tengah).

Kombinasi serabut motorik dan parasimpatis melewati nukleus ruber dan

akhirnya keluar dari batang otak di fosa interpedunkularis. 1,5

Fasikulus nervus okulomotorius pertama-tama berjalan ke arah

posterior diantara arteri serebelaris superior dan posterior, kemudian

menembus duramater, berjalan melewati sinus kavernosus, dan memasuki

rongga orbita melalui fisura orbitalis superior. Bagian parasimpatis saraf

membentuk cabang di sini dan berjalan ke gangglion siliar, tempat

berakhirnya serabut praganglionik dan sel-sel ganglion membentuk serabut

postganglionik pendek untuk mempersarafi otot-otot intraokular. 1,5

Gambar 1. Perjalanan nervus okulomotorius dilihat dari lateral (dari

fig.21.36, Kanski JJ, chapter 21, 6th Ed, 2006, p. 816)

Serabut motorik somatik nervus okulomotorius terbagi menjadi dua

cabang/divisi, cabang/divisi superior mempersarafi M. levator palpebra dan

4
M. Rektus superior, dan cabang/divisi inferior mempersarafi M.rekti medialis

dan inferior serta M. obliqus inferior. 1,5

Gambar 2 Perjalanan divisi superior dan inferior nervus okulomotorius

(dari http://www.rev.optom.com/handbook/ sect cc.htm.)

2.2.2 Nervus trokhlearis (N IV)

Nukleus trokhlearis terletak pada bagian anterior substansia grisea

yang mengelilingi akueduktus serebri di mesensefalon. Nukleus ini terletak di

inferior nukleus okulomotorius setinggi kolikulus inferior.Setelah

meninggalkan nukleus, serabut-serabut saraf berjalan ke posterior di

sekeliling substansia grisea sentralis untuk mencapai permukaan posterior

mesensefalon.6

Nervus trokhlearis adalah satu satunya saraf otak yang meninggalkan

batang otak dari permukaan dorsalnya. Nervus trokhlearis merupakan saraf

otak yang terkecil. Juluran inti berkumpul dan menjadi berkas yang dikenal

sebagai radiks nervus trokhlearis. Berkas ini menuju sedikit ke kaudal untuk

kemudian membelok ke dorsal dan ke rostral, lalu melingkari sedikit

aquductus sylvii dan menyilang garis tengah di velum medulare anterior dan

5
akhirnya keluar dari permukaan dorsal mesencephalon bagian kaudal di sisi

kontra lateral terhadap intinya, tepat kaudal terhadap kolikulus inferior. 6

Selanjutnya nervus trokhlearis melingkari brakhium pontis untuk

turun sampai ke pedunkulus serebri dan menuju ke rostal sampai tingkat

prosesus klinoides posterior. Di situ ia menembus durameter dan masuk ke

dalam dinding lateral sinus kavernosus. Disini ia berjalan dibawah nervus

okulomotorius. Didekat fisura orbitalis superior ia keluar dari dinding lateral

sinus kavernosus dan kemudian memasuki ruang orbita melalui fisura

orbitalis superior. Serabut serabutnya berakhir di otot oblikus superior kontra

lateral terhadap intinya. Nervus trokhlearis mengurus gerakan depresi bola

mata, terutama pada sikap bola mata yang beradduksi. Dalam melaksanakan

depresi bola mata itu, ia mengakibatkan sedikit abduksi bola mata, sehingga

bola mata memutar ke bawah dan sedikit ke temporal. 4,6

Serabut afferent untuk propioseptif dari M.oblikus superior dibawa

melalui nervus trokhlearis, selanjutnya ke cabang ophtalmik nervus

trigeminus lalu ke akar sensory nervus trigeminus yang berhubungan dengan

inti nervus trokhlearis.4,6

6
Gambar 3. Nervus IV Trokhlearis

Gambar 4. Perjalanan nervus III, IV, dan VI

2.2.3 Nervus abdusens (N VI)

Nukleus N.VI
Nukleus N VI terdiri dari sekumpulan motor neuron khusus yang

terletak didasar ven IV, dibawah kolikus fasialis di tegmentum paramedian

kaudral pons. Fasikulus N. fasialis melingkar puncak nukleus N.VI dan

membentuk genu N.fasialisdan fasikulus longitudinal medial berjalan di sisi

medialnya. Nukleus N.VI terdiri darimotor neuron dan interneuron yang

memproyeksikan jaras ke subnukleus rektusmedial kontralateral, guna

gerakan konjugasi. Oleh karena itu kerusakan di tingkatNukleus N.VI selalu

mengakibatkan Gaze palsy dan bukan abducen palsy. Keadaanpatologis di

pons seperti infark, glioma, tumor serebelum dan syndroma

WernickeKorsakof (alkholic encephalopati) dapat menyebabkan kelainan di

tingkat ini.1,5

7
Fasikulus N.VI
Fasikulus N.VI melewati aspek ventromedial nukleus dan berjalan ke

arahventrolateral keluar batang otak pada pertemuan pontomeduler tepat di

lateraltonjolan piramidal. Suatu parese N VI terisolasi dapat terjadi karena

lesi di fasikulusini, tetapi lesi lebih sering terjadi bersamaan dengan gejala

neurologi lain karenaterlibatnya struktur sekitarnya. Jika kerusakan fasikulus

terjadi di dorasal pons, akanterjadi sindroma Foville. Jika terjadi kerusakan

fasikulus di ventral pons, yang terjadiadalah sindroma Millard-Gubler.

Hampir semua sindroma ini terjadi karena penyakitvaskuler batang otak pada

orang tua. Tumor dan penyakit demyelinisasi kadang- kadangjuga dapat

mengakibatkan kelainan di fasikulus ini. 1,5


Saraf tepi N.VI (Segmen basalis/subarakhnoid)
Setelah melewati batang otak, N.VI berjalan ke atas sepanjang klivus,

lewatdi antara pons dan arteri serebeli anterior inferior sebelum menembus

durameter. Didalam sisterna basalis prepontin saraf ini sering tertekan oleh

tumor basiler sepertitumor cerebropontine angle (akustik neurinoma), dan

karsinoma nasofaring, kadang- kadang oleh chordoma basiler. Tempat asal

tumor tersering adalah klivus diantara keduaN.VI, sehingga parese N.VI

sering merupakan gejala utama.


Peningkatan tekanan intrakranial (tumor atau pseudotumor) dapat

juga menyebabkan parese N.VI karena terjadi penekanan batang otak

kebawah yang meregang segmen subarakhnoid N.VI antara titik keluar dari

batang otak dan perlengketan dura klivus, ini biasanya bersamaan dengan

nyeri kepala dan papiledem. 1,5


Saraf tepi N.VI (Segmen Petrosus)
N.VI melewati durameter ke klivus di bawah prosesus posterior, 1 cm

di bawahpuncak tulang petrosus. Kemudian melalui sinus inferior melewati

8
bagian bawahligamen petrolinoid (Dorello canal). Pada tempat ini N.VI

sering terganggu olehtrauma dengan fraktur os. Temporal. Petrositis atau

trombosis sinus petrosus inferiorsepsis dapat menyebabkan nyeri fasial

dengan parese N.VI (sindroma Gardenigo). 1,5


Saraf tepi N.VI (segmen sinus kavernosus dan orbita)
Di sinus kavernosus, N VI berjalan ke depan bersama dengan N.III,

N.IVmenuju ke orbita melewati fisura orbitalis superior. Saraf III dan IV

relatif terlindungidi dalam dinding kavernosus, N.VI berjalan di tengah-

tengah sinus sehingga pekaterhadap kerusakan di sinus. N.VI bergabung

sebentar dengan cabang simpatis daripleksus parakotis kemudian bergabung

dengan cabang dari V V 1 yang menuju ke dilator iris. 1,5

2.2 Aspek Motorik Otot-Otot Ektraokular

Posisi mata ditentukan oleh keseimbangan yang dicapai oleh tarikan keenam

otot ekstraokular. Mata berada dalam posisi memandang primer sewaktu kepala

dan mata terletak sejajar dengan bidang yang dilihat. Untuk menggerakkan mata

ke arah pandangan yang lain, otot agonis menarik mata ke arah tersebut dan otot

antagonis melemas. Bidang kerja suatu otot adalah arah pandangan bagi otot itu

untuk mengeluarkan daya kontraksinya yang terkuat sebagai suatu agonis,

misalnya M.rektus lateralis mengalami kontraksi terkuat pada waktu melakukan

abduksi mata. 7

Tabel 1. Fungsi otot mata

Otot Kerja primer Kerja sekunder Inervasi


Rektus lateralis Abduksi - N. VI
Rektus medialis Aduksi - N. III
Rektus superior Elevasi Aduksi, intorsi N. III
Rektus inferior Depresi Aduksi, ekstorsi N. III
Obliq superior Intorsi Depresi, abduksi N. IV
Obliq inferior Ekstorsi Elevasi, abduksi N. III

9
Otot rektus medialis dan lateralis masing-masing menyebabkan aduksi dan

abduksi mata, dengan efek ringan pada elevasi atau torsi. Otot rektus vertikalis

dan obliqus memiliki fungsi rotasi vertikal dan torsional. Secara umum, otot-otot

rektus vertikalis merupakan elevator dan depresor utama untuk mata, dan otot

obliqus terutama berperan dalam gerakan torsional. Efek vertikal otot rektus

superior dan inferior lebih besar apabila mata dalam keadaan abduksi. Efek

vertikal otot obliqus lebih besar apabila mata dalam keadaan aduksi.7

2.2.1 Otot-otot sinergistik dan antagonistik (Hukum Sherrington)

Otot-otot sinergistik adalah otot-otot yang memiliki bidang kerja yang

sama. Dengan demikian untuk tatapan vertikal, otot rektus superior dan

obliqus inferior bersinergi menggerakan mata ke atas. Otot-otot yang

sinergistik untuk suatu fungsi mungkin antagonistik untuk fungsi lain.

Misalnya, otot rektus superior dan obliqus inferior adalah antagonis untuk

torsi, karena rektus superior menyebabkan intorsi dan obliqus inferior

menyebabkan ekstorsi. Otot-otot ekstraokular, seperti otot rangka,

memperlihatkan persarafan timbal balik otot-otot antagonistik.

Dengan demikian, pada dekstroversi, otot rektus medialis kanan dan

lateralis kiri mengalami inhibisi sementara otot lateralis kanan dan rektus

medialis kiri terstimulasi. 7

2.2.2 Otot pasangan searah (Hukum Hering)

Agar gerakan kedua mata berada dalam arah yang sama, otot-otot

agonis harus menerima persarafan yang setara (Hukum Hering). Pasangan

otot agonis dengan kerja primer yang sama disebut pasangan searah. Otot

10
rektus lateralis kanan dan rektus medialis kiri adalah pasangan searah untuk

menatap ke kanan. Otot rektus inferior kanan dan obliqus superior kiri adalah

pasangan searah untuk memandang kebawah dan ke kanan. 6

Tabel 2. Otot-otot pasangan searah dalam posisi menatap/melirik utama

Mata ke atas dan ke kanan RSR dan LIO


Mata ke atas dan ke kiri LSR dan RIO
Mata ke kanan RLR dan LMR
Mata ke kiri LLR dan RMR
Mata ke bawah dan kanan RIR dan LSO
Mata ke bawah dan kiri LIR dan RSO

2.3 Kelumpuhan Nervus III


2.3.1 Definisi
Kelumpuhan Nervus III didapat adalah penyakit pada mata akibat

kerusakan nervus kranilais III. Kelumpuhan dapat menyebabkan disfungsi otot

ekstraokuler somatik ( otot rectus superior, inferior, dan medial, oblique

inferior, dan levator palpebra superior), dan disfungsi otot otonom ( otot

sfingter pupil dan siliarisis).8


2.3.2 Etiologi
Terdapat banyak etiologi kelumpuhan nervus III antara lain :

Kongenital, terjadi kelumpuhan pada otot-otot ekstraokular dan kadang

disertai ptosis. Tidak terdapat internal oftalmoplegia.



Trauma, dapat berupa trauma saat kelahiran ataupun akibat kecelakaan.

Namun, terkenannya nervus okulomotorius lebih kecil kemungkinannya

dibandingkan nervus abdusens.



Aneurisma, biasanya mengenai arteri komunikans posterior atau arteri karotis

interna pars supraklinoid. Kelumpuhan nervus okulomotorius dapat terjadi

11
sebagian ataupun total dan biasanya disertai dengan nyeri hebat di sekitar

mata. Apabila aneurisma terjadi pada arteri karotis interna pars

infraklinoid maka kelumpuhan nervus okulomotorius biasanya didahului

oleh kelumpuhan nervus abdusens.



Diabetes dan hipertensi, kelumpuhan nervus okulomotorius disebabkan

oleharteriosklerosis.

Neoplasma, kerusakan pada nervus okulomotorius dapat terjadi akibat invasi

neoplasma pada nukleus nervus okulomotorius atau akibat kerusakan di

sepanjang perjalanan N III mulai dari fasikulus nervus okulomotorius

sampai ke terminalnya di orbita (misalnya akibat tumor nasofaring, tumor

kelenjar hipofisis, meningioma).3

Penyebab parese nervus okulomotorius pada orang dewasa berbeda

dengan anak-anak. Berikut ini berbagai macam penyebab parese nervus

okulomotorius pada orang dewasa dan anak-anak.

Penyebab parese nervus okulomotorius pada orang dewasa:

 Aneurimsa

 Penyakit vaskuler

 Trauma

 Sifilis

 Neoplasma

Penyebab parese nervus okulomotorius pada anak-anak:

 Kongenital

 Aneurisma

 Neoplasma

12
 Trauma

 Inflamasi

Migren oftalmoplegia, yaitu suatu sindroma yang jarang ditemukan

dimana biasanya onsetnya pada masa anak. Kelumpuhan saraf otak pada

pasien dengan migren oftalmoplegia biasanya berkembang sebagai fase

meredanya nyeri kepala, meskipun hal itu mungkin terjadinya kapan saja

dalam hubungannya dengan fase-fase nyerinya. Onset dari ptosis pada

beberapa pasien ini merupakan sinyal bahwa nyeri kepalanya sedang akan

menghilang. Kelemahan otot ekstra okuler cenderung akan lebih lama pada

tiap episodenya, dan pada beberapa orang terjadi parese okulomotor yang

permanen.9

2.3.3 Patogenesis
Manifestasi kelumpuhan nervus III bergantung pada area jalur nervus

III yang terkena. Pada beberapa kasus, lokasi lesi dapat dengan jelas

diketahui, dan beberapa kasus lain hanya


Otak tengah (nucleusdiperkirakan
N III) lokasi dimana

terjadinya lesi nervus III.8 Fasikulus NIII


2.3.4 Patofisiologi
Fossa Interpenducular
Untuk memahami patofisiologi kelumpuhan nervus III, hal yang
Sisterna Subarachnoid ( tentorial 8incisura)
terpenting adalah memahami jalur
Pupilnervus IIIsuperfisial
di aspek berjalan. nervus

Cilvus ( dari lateral ke posterior prosessus klinoid)

Diantara a. cerebellar superior dan a. cerebellar posterior

Tentorium cerebri

Sinus cavernosus (diatas nervus IV)

Fissura Orbital Superior ( dibagi menjadi divisi superior


dan inferior, puppilary fiber berjalan dengan divisi inferior

Anulus Zin
13
 Divisi Superior : SR dan levator palpebara superior
 Divisi Inferior : rectus medial dan lateral, dan
oblique inferior, motor root ganglion siliaris
1. Lesi pada nekleus oculomotorius ( Otak tegah)

Pada lesi tingkat ini biasanya terjadi defek binlateral. Hal ini

dapat dijelaskan berdasarkan antomi nukleus N III. Nukleus dibagi

menjadi subnuklei berdasarkan area yang dipersarafi. Tiap m.rectus

superior dipersarafi oleh subnukleus N III kontralateral, lesi N III pada

tingkat nukleus akan menghasilkan kelumpuhan di kontralateral m. rectus

superior. Kedua m. levator palpebra superior dipersarafi oleh satu

subnuklei (central caudal nucleus) , sehingga lesi pada tingkat nuklei ini

akan menghasilkan ptosis bilateral. Pasien dengan kerusakan kompleks

nukleus N III tidak terjadi dilatasi pupil ipsilateral, tetapi saat terlibat, hal

ini mengindikasikan kerusakan di dorsal rostral. Kebanyakan lesi tingkat

ini disebabkan iskemia, biasanya berasal dari emboli atau oklusi

trombosis yang kecil pada cabang dorsal perforantes arteri basilaris di

area mesencephalic.8

14
2. Lesi pada fasikulus N III ( meninggalkan nukleus N III)

Lesi pada tingkat ini dapat menghasilkan kelumpuhan komplit

atau inkomplit. Selama ini lesi tingkat ini tidak dapat dibedakan dengan

lesi diluar otak tengah lainnya. Ketika lesi ini berdekatan atau berbatasan

dengan nukelus N III di otak tengah, hal ini dapat menghasilkan beberapa

manifestasi yang telah digambarkan berdasarkan manifestasi neurologis

lainnya. Lesi pada pendikulus cerebeli superior ( Nothnagel’s Syndrome)

menghasilkan kelumpuhan N III ipsilateral dan ataksia cerebelum. Lesi

pada Red Nucleus (Benedikt’s Syndrom) dikarakteristikan dengan

kelumpuhan N III ipsilateral dan pergerakan involunter kontralateral.

Lesi pada pedikulus cerebri (Weber’s Syndrome) kelumpuhan N III

ipsilateral dan hemiplegia kontralateral. Penting untuk mengingat bahwa

lesi dapat dapat menghasilkan kombinasi temuan berdasarkan derajat lesi

yang terjadi. Sebagai tambahan meskipun N III terpisah menjadi ramii

superior dan inferior di fisurra orbita anterior, terkadang lesi pada

fasikulus dapat menhasilkan disfungsi divisi superior atau inferior

terisolasi. Penyebab tersering lesi tingkat ini adalah iskemi, trauma, dan

jarang proses demielinisasi.8

3. Lesi pada ruang Subarakhnoid

Ruang subarakhnoid didefinisikan sebagai area berjalannnya N III

diantara permukaan ventral otak tengah sampai tempat masuknya nervus

di sinus cavernosus, dikenal juga sebagai fossa interpeduncular.

Kerusakan N III pada area ini menhasilkan gambaran klinis yang

bervariasi. Kelumpuhan N III dengan dilatasi pupil terfiksir, penting

15
untuk mengingat bahwa serat pupil terletak di perifer dan menerima lebih

banyak aliran darah kontralateral di bandingkan trunkus utama pada

saraf. Oleh sebab itu N III pada tingkat ini rentan terhadap kompresi

(aneurisma). Penyebab tersering adalah aneurisma arteri komunikata

posterior. Hal ini merupakan kegawatdaruratan. Kelumpuhan N III tanpa

melibatkan pupil, seperti yang sudah disebutkan diatas bahwa serat pupil

terletak di perifer dan menerima lebih banyak aliran darah kontralateral di

bandingkan trunkus utama pada saraf, sehingga lesi pada tingkat ini

kurang rentan terhadap iskemia. Oleh sebab itu pada kebanyakan kasus

pasien memiliki riwayat diabetes melitus, hipertensi, dan aterosklerosis.

Meskipun demikian kompresi massa atau aneurisma juga dapat menjadi

penyebab. Ketika perjalanan sampai ke sinus cavernosus, N III

beristirahat di pinggir tentorium cerebeli. Pada pinggir unkus terdapat

tentorium, karena hal tersebut peningkatan tekanan intrakanial pada

bagian otak ini menyebabkan herniasi yang menghasilkan pergeseran

otak tengah yang mengkompresi N III ipsilateral. Hal ini menyebabkan

oftalmoplegia dan midriasis ipsilateral. Penyebab tersering herniasi unkal

adalah perdarahan intrakranial.8

4. Lesi di dalam sinus cavernosus dan fissura orbita superior

Lesi pada zona ini dapat menghasilkan kelumpuhan N III

terisolasi, tetapi lesi ini sering dihubungkan dengan disfungsi nervus

kranialis lain. Membedakan antara lesi di sinus cavernosus dengan fissura

orbitalis superior menjadi sangat menantang dan kadang beberapa

kepustakaan menggambarkan hal ini sebagai sindrom supercavernosus.

16
Gambaran yang terjadi adalah adalah kelumpuhan N III, IV, VI, dan

berhubungan dengan nervus trigeminal divisi maksilaris, yang

menyebabkan nyeri. Hal ini dapat disebabkan oleh lesi primer (invasi

langsung) atau lesi sekunder (lesi intrakranial/intraorbita yang

mengkompresi area ini). Penyebab tersering adalah tumor (meningioma).

Penyakit lain didalam sinus cavernosus dan fissura orbitalis superior

dengan ophtalmoplegia diikuti nyeri dikenal sebagai Sindrom Tolosa

Hunt. Penyakit ini digambarkan sebagai inflamasi grnulomatous

idiopatik. Ini merupakan diagnosis jika tumor, metastasi, dan aneurisma

dapat disingkirkan dengan neuroimaging. Meskipun tumor merupakan

penyebab tersering lesi pada zona ini, proses vaskuler juga dapat

menyebabkan kerusakan struktur didalamnya. Trombosis sinus

cavernosus, fistula karotid cavernosus, sifilis, vasculitis, dan atau

penyakit jaringan ikat autoimun ( Sistemik Lupus Eritematousus) dan

menyebabkan oftalmoplegia dengan nyeri yang merupakan ciri sindrom

sinus cavernosus.8

5. Lesi di dalam orbita

Lesi di dalam orbita dihubungkan dengan kehilangan penglihatan,

oftalmoplegia, dan proptosis. Oftalmoplegia N III dapat dihubungkan

dengan kelumpuhan N IV, VI. Penting diingat bahwa di orbita N III

terbagi menjadi divisi superior dan inferior. Hal ini dapat menyebabkan

kelumpuhan N III parsial. Etiologi tersering adalah trauma, massa,

inflamasi, dan atau proses infiltratif. 8

2.3.5 Gejala Klinis

17
Gangguan pada nervus okulomotorius dapat terjadi dimana saja

sepanjang perjalanan saraf tersebut. Lesi di nukleus nervus okulomotorius

mempengaruhi M. rekti medialis dan inferior ipsilateral, kedua M. Levator

palpebra, dan kedua M. rektus superior. Akan terjadi ptosis bilateral dan

pembatasan elevasi bilateral serta pembatasan aduksi dan depresi ipsilateral.

Dari fasikulus nervus okulomotorius di otak tengah ke terminalnya di orbita,

semua lesi lain menimbulkan lesi yang semata-mata ipsilateral. 2,3,4

Apabila lesi mengenai nervus okulomotorius di mana saja dari nukleus

(otak tengah) ke cabang perifer di orbita, maka mata akan berputar ke luar

karena otot rektus lateralis yang utuh dan sedikit depresi oleh otot obliqus

superior yang tidak terpengaruh. Mungkin dijumpai dilatasi pupil, hilangnya

akomodasi, dan ptosis kelopak mata atas, sering cukup berat sehingga pupil

tertutup. Mata mungkin hanya dapat digerakan ke lateral.2

Parese nervus okulomotorius dapat dibagi menjadi:



Kelumpuhan total nervus okulomotorius

Pada kelumpuhan total nervus okulomotorius, semua otot intraokular

dan semua otot ekstraokular yang dipersarafi oleh nervus okulomotorius

terkena, disertai dengan hilangnya refleks akomodasi dan refleks cahaya pupil.

Kerusakan dari serabut parasimpatis pada N III menyebabkan pupil midriasis,

juga terdapat ptosis karena M. levator palpebra ikut mengalami kelumpuhan.

Akibat lumpuhnya otot-otot ekstraokular yang dipersarafi oleh nervus

okulomotorius dan karena fungsi dari M. rektus lateral dan M. Obliqus

superior masih baik maka mata akan berdeviasi ke luar dan ke bawah. Deviasi

mata yang disebabkan oleh parese N III dapat digolongkan ke dalam

18
strabismus paralitik atau inkomitan. Pasien tidak mengalami diplopia karena

kelopak mata yang ptosis menutupi pupil.2

Ptosis komplit pada mata kiri

Paralisis obliq inferior kiri Paralisis rektus superior kiri

Paralisis rektus medial kiri Rektus lateral kiri normal

Paralisis rektus inferior kiri

19

Kelumpuhan parsial nervus okulomotorius

Pada kelumpuhan parsial nervus okulomotorius, paralisis otot-otot

intraokular dan ekstraokular dapat terjadi secara terpisah. 2



Eksternal oftalmoplegia

Kelumpuhan hanya terjadi pada otot-otot ekstraokular yang

dipersarafi oleh nervus okulomotorius. Mata akan berdeviasi ke luar dan ke

bawah, dan apabila ptosis tidak menutupi pupil maka pasien akan mengalami

diplopia. Untuk mengatasi diplopia, pasien akan mengatur posisi kepalanya

agar penglihatannya menjadi binokular, akibatnya akan terjadi postur

abnormal dari kepala pasien.3



Internal oftalmoplegia

Kelumpuhan hanya terjadi pada otot-otot intraokular sehingga yang

terjadi adalah hilangnya refleks akomodasi akibat paralisis M. siliaris dan

midriasis akibat paralisis M. sfingter pupil. Pasien tidak mengalami diplopia

karena tidak terjadi strabismus. Letak kelumpuhan vaskuler yang biasanya

disebabkan oleh diabetes melitus, migren, ataupun hipertensi sering terjadi di

daerah sinus kavernosus, tempat serat-serat pupil terletak perifer dan

mendapat banyak makanan dari vasa vasorum sehingga pada lesi-lesi iskemik

biasanya pupil tidak mengalami gangguan. Pada lesi-lesi kompresif, biasanya

aneurisma, serat-serat pupil terkena secara dini sehingga pupil mengalami

dilatasi. Dengan demikian, lesi iskemik dan lesi kompresif dapat dibedakan

secara klinis, karena pada lesi iskemik respon pupil umumnya normal,

sedangkan lesi kompresif menyebabkan pupil mengalami dilatasi dan fiksasi

total. Kurang dari 5% kelumpuhan nervus okulomotorius akibat lesi iskemik

20
berkaitan dengan kelumpuhan pupil total, dan hanya 15% terjadi kelumpuhan

pupil parsial. 3

2.3.6 Diagnosis

A. Anamnesis

Usia onset: ini merupakan faktor penting untuk prognosis jangka panjang.

Semakin dini onsetnya, semakin buruk prognosis untuk fungsi

penglihatan binokularnya.

Jenis onset: awitan dapat perlahan, mendadak, atau intermiten.


Jenis deviasi: ketidaksesuaian penjajaran terjadi di semua arah atau lebih

besar di posisi-posisi menatap tertentu, termasuk posisi primer untuk jauh

atau dekat.

Diplopia: pasien dewasa dengan strabismus paralitik / inkomitan akan

mengeluh melihat dobel (diplopia), kecuali bila disertai ptosis. Tetapi

apabila strabismus paralitik terjadi pada masa anak-anak keluhan melihat

dobel tidak ada karena terjadi supresi pada bayangan kedua yang

dilihatnya dan biasanya terjadi ambliopia. Keluhan diplopia dapat

membantu dalam menentukan otot ekstraokular mana yang mengalami

kelumpuhan. Pasien sebaiknya diminta untuk mendeskripsikan mengenai

arah bayangan yang dilihat dobel olehnya. Apabila bayangan yang dilihat

terpisah secara horizontal maka kemungkinan otot yang mengalami

kelumpuhan adalah otot rektus lateralis atau medialis. Apabila bayangan

yang dilihat terpisah secara vertikal atau miring (torsi) maka

kemungkinannya terdapat satu atau lebih otot rektus vertikalis atau olibqus

yang mengalami kelumpuhan. Variasi dari arah bayangan tersebut yang

21
dilihat dalam posisi menatap tertentu dapat memberikan gambaran yang

lebih jelas mengenai otot ekstraokular mana yang mengalami kelumpuhan.

Misalnya, diplopia akan terlihat lebih jelas bila pasien melirik ke kanan

dan bayangan tersebut terpisah secara horizontal maka otot ekstraokular

yang mungkin terkena adalah otot rektus lateralis kanan atau rektus

medialis kiri. Hal ini sebaiknya dilakukan bersamaan dengan pemeriksaan

pergerakan bola mata. 3,4



Ketajaman penglihatan: baik atau menurun.


Riwayat penyakit: diabetes melitus, hipertensi, aneurisma, neoplasia, atau

trauma (trauma saat kelahiran ataupun trauma kepala akibat kecelakaan).

Riwayat penyakit ini penting dalam hal mencari faktor yang mendasari

atau faktor penyebab paresenya nervus okulomotor.

B. Pemeriksaan fisik

Inspeksi: inspeksi dapat memperlihatkan apakah strabismus yang terjadi

konstan atau intermiten, berpindah-pindah atau tidak, dan bervariasi atau

konstan. Adanya posisi kepala yang abnormal dan ptosis juga dapat

diketahui. Pada ptosis neurogenik jatuhnya kelopak mata atas dapat

unilateral, sedangkan pada ptosis miogenik biasanya bilateral.

Karakteristik dari ptosis unilateral adalah pasien berusaha untuk

meningkatkan fisura palpebra dengan cara merengut atau mengernyitkan

dahi (kontraksi dari otot frontalis). Ptosis kongenital biasanya mengenai

satu mata saja.



Pupil: ukuran, isokor/anisokor, refleks cahaya langsung dan tidak

langsung.

22

Hirschberg reflction test: memeriksa reflek cahaya pada kedua permukaan

kornea. Dengan tes ini adanya strabismus dapat dideteksi, setiap 1mm

penyimpangan sama dengan 15 dioptri prisma (70).



Ortofori: bila masing-masing refleks cahaya pada kornea berada di tengah-

tengah pupil.

Heterofori: bila salah satu refleks cahaya pada kornea tidak berada di

tengah-tengah pupil.

Pergerakan mata: memeriksa pergerakan mata pasien dengan meminta

pasien mengikuti pergerakan jari pemeriksa ke sembilan arah yaitu lurus

ke depan, 6 posisi kardinal (kanan, kanan atas, kanan bawah, kiri, kiri atas,

kiri bawah), keatas, dan ke bawah. Pada saat mata melakukan pergerakan

ke 6 posisi cardinal hanya satu otot saja yang bekerja, sedangkan saat mata

melihat ke atas atau kebawah beberapa otot bekerja bersamaan sehingga

sulit mengevaluasi kerja masing-masing otot. Oleh karena itu dalam

menilai kelumpuhan otot-otot ekstraokular, pergerakan mata ke 6 posisi

kardinal lebih bernilai diagnostik. Selain itu penting juga untuk menilai

kecepatan dari gerakan sakadik mata baik secara horizontal ataupun

vertikal. Pada gangguan atau kerusakan pada saraf yang mempersarafi

otot-otot ekstraokuler ataupun pada tingkat yang lebih tinggi lagi, dapat

terlihat pergerakan mata jauh lebih lambat dibandingkan matanormal.



Ketajaman penglihatan: masing-masing mata harus dievaluasi secara

tersendiri. Ketajaman penglihatan dapat dinilai dengan kartu Snellen atau

pada anak dapat dinilai dengan menggunakan “E” jungkir balik (Snellen)

atau gambar Allen.

23

Cover-uncover test: tes ini bertujuan untuk menentukan sudut deviasi atau

sudut strabismus. Sewaktu pemeriksa mengamati satu mata, di depan mata

yang lain ditaruh penutup untuk menghalangi pandangannya, kemudian

amati mata yang tidak ditutup apakah mata tersebut bergerak untuk

melakukan fiksasi atau tidak. Setelah itu buka penutup yang telah dipasang

dan perhatikan apakah mata yang telah dibuka penutupnya melakukan

fiksasi kembali atau tidak. Jika mata tersebut melakukan fiksasi maka

mata tersebut normal dan mata yang mengalami deviasi adalah mata

sebelahnya.

Hess screen: tes ini bertujuan untuk mengukur sudut deviasi/sudut

strabismus. Untuk tes ini di depan salah satu mata pasien dipakaikan kaca

berwarna merah dan kaca berwarna hijau pada mata lainnya. Kemudian

pasien diminta untuk memegang tongkat dengan lampu hijau dan diminta

untuk menunjuk cahaya merah yang terlihat pada layar dengan tongkat

tersebut. Dengan tes ini masing-masing mata dapat dinilai sehingga dapat

diukur arah dan sudut deviasinya. Penilaian dan pengukuran deviasi pada

strabismus paralitik/inkomitan adalah penting, tidak hanya untuk

mendiagnosa otot ekstraokular mana yang terkena tapi juga sebagai

patokan awal terhadap derajat kelumpuhan otot sehingga kemajuan pasien

dapat dievaluasi dengan baik.



Pemeriksaan sensorik: pemeriksaan ini bertujuan untuk menilai status

pengihatan binokular. Pemeriksaan tersebut adalah untuk stereopsis,

supresi, dan potensi fusi. Semua memerlukan dua sasaran terpisah untuk

masing-masing mata. 3,4

24
C. Pemeriksaan penunjang

 Imaging
 Angiografi
Angiografi (contoh nya CT angiografi, MR angiografi) sering

digunakan untuk menilai kelumpuhan akut pada nervus tiga.

Kombinasi dari CTA dan MRA digunakan untuk kasus yang susah

dijelaskan. Kateter angiografi digunakan pada kasus yang dicurigai

terjadi aneurisma.5
 MRI
MRI lebih sensitive daripada Ctscan untuk melihat lesi kecil pada

batang otak intraparenkim seperti infark, abses atau tumor. MRI juga

dapat menilai inflamasi meningen atau dural inflamasi. Terdapatnya

abnormal intensitas pada porsio intracavernosus menggambarkan

kelumpuhan nervus tiga yang diduga akibat infeksi herpes zoster.5


Penebalan >3mm menggambarkan adanya lesi infark pada midbrain

yang mengenai segmen intraparenkim pada pasien dengan onset akut.


 CT scan
CT scan lebih sensitive dari pada MRI untuk menilai adanya

perdarahan subarahnoid, kalsifikasi, dan dapat mendeteksi tumor serta

aneurisma yang besar. 5


 Lumbal pungsi
Tujuan utama lumbal pungsi adalah menilai darah pada cairan

serebrospinal, reaksi inflamasi, infiltrasi neoplasma atau infeksi. Darah

dari cairan spinal dengan kelumpuhan nervus biasanya berasal dari rupture

arteri komunikan superior akibat adanya aneurisma berry. Reaksi inflamasi

meningen mungkin bisa terjadi idiopatik atau di diagnosis berdasarkan

kultur bakteri, jamur, pemeriksaan serologi atau antigen spesifik (PCR).5


 Serebral angiografi

25
Angiografi serebral merupaka tes defenitif untuk menilai

anuerisma berry pada semua lokasi intracranial. Angiografi di indikasikan

pada pasien dengan kelumpuhan nervus tiga dan dilatasi pupil. Indikasi

pada pasien kurang dari 55 tahun terutama tanpa riwayat diabetes,

hipertensi atau keduanya.5


2.3.7 Tatalaksana

A. Terapi untuk strabismus

Pada dasarnya terapi pada strabismus paralitik/inkomitan adalah

dengan mengatasi faktor penyebab timbulnya parese nervus

okulomotorius. 2

B. Terapi ambliopia

Terapi ambliopia yang utama adalah oklusi. Mata yang baik ditutup

untuk merangsang mata yang mengalami ambliopia. Ada dua stadium

terapi ambliopia, yaitu:

- Stadium awal, terapi awal standar adalah penutupan terus menerus.

Bila ambliopianya tidak terlalu parah atau anak terlalu muda maka

diterapkan penutupan paruh waktu. Terapi oklusi dilanjtukan selama

ketajaman penglihatan membaik (kadang-kadang sampai setahun).

Penutupan sebaiknya tidak terus-menerus lebih dari 4 bulan apabila

tidak terdapat kemajuan.

- Stadium pemeliharaan, terdiri dari penutupan paruh waktu yang

dilanjutkan setelah fase perbaikan untuk mempertahankan penglihatan

terbaik melewati usia dimana ambliopianya kemungkinan besar

kambuh (sekitar usia 8 tahun).

26
 Prisma

Prisma menghasilkan pengarahan ulang garis penglihatan secara optis.

Unsur-unsur retina dibuat segaris untuk menghilangkan diplopia. Apabila

digunakan sebelum operasi, prisma dapat merangsang efek sensorik yang

akan timbul setelah tindakan bedah. Prisma dapat digunakan dengan

beberapa cara. Bentuk yang cukup nyaman adalah prisma plastik press-on

Fresnel. Alat optik ini bermanfaat diagnostik dan terapetik temporer.

 Terapi bedah

Tujuan terapi bedah adalah untuk mengeliminasi diplopia dalam

lapangan pandang yang normal, baik pada penglihatan jauh ataupun dekat.

Terapi bedah dapat ditunda selambat-lambatnya sampai satu tahun dengan

maksud memberi kesempatan untuk pemulihan dengan sendirinya. Terapi

bedah biasanya dilakukan bila penglihatan binokular tidak kunjung

membaik setelah otot-otot ekstraokular pulih, selambat-lambatnya sampai

6 bulan.

Prosedur yang digunakan yaitu reseksi dan resesi. Secara konseptual,

tindakan ini merupakan tindakan paling sederhana. Sebuah otot diperkuat

dengan suatu tindakan yang disebut reseksi. Otot dilepaskan dari mata,

diregangkan lebih panjang secara terukur, kemudian dijahit kembali ke

mata, biasanya di tempat insersi semula. Resesi adalah tindakan

perlemahan standar. Otot dilepas dari mata, dibebaskan dari perlekatan

fasia, dan dibiarkan mengalami retraksi. Otot tersebut dijahit kembali ke

mata pada jarak tertentu di belakang insersinya semula. 2

C. Terapi untuk ptosis

27
Pada ptosis kongenital yang menghalangi penglihatan mata, terapi

aksis visual harus dilakukan tanpa penundaan untuk mencegah

perkembangan ptosis menjadi ambliopia. Selain itu, perkembangan visual

dapat di monitor dan tindakan operasi dapat dilakukan pada usia

prasekolah, saat jaringannya masih berkembang sangat baik. Tindakan

operasi yang dilakukan berupa bedah retraksi dari kelopak mata atas, yang

sebaiknya dilakukan sesegera mungkin saat ditemukan adanya resiko

berkembangnya gangguan penglihatan akibat ptosis. Resiko dari keratopati

terpapar harus di jelaskan kepada pasien dan kemungkinan kelopak mata

dapat jatuh atau turun lagi jika masalah keratopati terpaparnya cukup

serius harus juga dijelaskan kepada pasien. Antibiotik dan lubrikan

diberikan saat pasca operasi sampai permukaan ocular menjadi terbiasa

dengan tinggi kelopak mata yang baru.2

2.4 Kelumpuhan Nervus IV

Lesi pada nervus trokhlearis secara tersendiri jarang terjadi, DM

merupakan penyebab utama, tetapi jika ditemukan parese nervus trokhlearis

secara tersendiri pada anak muda maka harus dipikirkan MS dini. Parese saraf ini

saja yang timbul pada dekade ke 4 dan 5, cenderung membaik spontan 2-6 bulan

kemudian, Grimson & Flaser melaporkan 6 kasus dengan parese N.IV sesudah

terserang Herpes Zoster ophtalmicus onsetnya timbul sesudah 2-4 mg dari erupsi

kulit.4,10

Pada anak-anak parese nervus trokhlearis bisa disebabkan oleh medullo

blastoma yang menginfiltrasi velum medullary superior menyebabkan parese

bilateral nervus trokhlearis, kelainan kongenital (unilateral atau bilateral),trauma

28
kepala dan encephalitis. Pada trauma operasi juga merupakan penyebab dari

parese unilateral atau bilateral parese saraf ini karena saraf ini cukup panjang

untuk parese ver trokhlearis. Sewaktu pasien melihat lurus ke depan, axis dari

mata yang paralisis akan sedikit lebih tinggi dari mata yang sehat dan sedikit

terputar keluar (extorsion), karena adanya tarikan dari M.rectus inferior yang

kerjanya tidak dihalangi oleh M.oblikus superior yang lemah. 4,10

Gambar 5. Kompensasi memiringkan kepala pada pasen dengan paralise otot

oblikus superior mata kanan (dikutip dari John Patten)

Gambar 6. Paralisis oblikus superior kanan (N.IV). Kesan diplopia terlihat pada 9

arah kardinal

29
Adanya kesan sedikit miring dan diplopia dari benda-benda yang dilihat

akan menyebabkan pasen memiringkan kepalanya kearah sisi yang sakit, dagu

kebawah dan kepala berputar ke bahu kontra lateral. Pada anak anak keadaan ini

sering dikelirukan dengan torticalis. Sering kali pasen mengalami kesulitan

menuruni tangga, karena anak tangga terlihat menjadi 2, diplopia juga terjadi

sewaktu membaca buku atau surat kabar. Diplopia timbul pada semua arah

pandangan kecuali jika melihat keatas. Sering kali salah diagnosa terjadi untuk

menetapkan sisi yang lumpuh karena, mata yang sehat akan melihat ke bawah

waktu pasen menetapkan pandangannya dengan menggunakan mata yang lumpuh.


4,10

Parese nervus trokhlearis bilateral sering kali merupakan komplikasi

trauma kepala, terutama di daerah vertex, pada keadaan ini terlihat jika pasen

diminta melihat ke satu sisi misalnya kanan maka terlihat mata kanan akan lebih

rendah dari mata kiri, karena adanya aksi yang berlebihan dari M.rectus

inferiormata kiri demikian sebaliknya. Lesi di nervus trokhlearis menghasilkan

kelumpuhan muskulus oblikus superior ipsilateral, sedangkan lesi nuklearis

disusul dengan kelumpuhan otot oblikus superior kontra lateral. 4,10

30
Gambar 7. Paralisis nervus trokhlearis kiri.

2.4.1 Etiologi

Tempat dimana saraf okuler sering mendapat gangguan perifer ialah

fisura orbitalis superior, sinus kavernosus dan didalam ruang orbita. Karena

proses patologik di tempat tempat tersebut,maka kelumpuhan nervus, nervus

abducens dan nervus trokhlearis sering ditemukan secara tergabung berupa

suatu sindroma.


Lesi di Fissura orbitalis superior dan orbita: 11

Lesi disini biasanya disebabkan oleh tumor:

a. Meningioma

b. Haemangioma

c. Gliomas

d. Retro orbital carcinoma



Lesi di sinus kavernosus

a. Sinus cavernosus trombosis, biasanya terjadi sebagai komplikasi dari

sepsis infeksi dari kulit muka atas atau dari sinus paranasal

b. Meningioma dari sphenoid wing

c. Chordoma pada basis sphenoid

d. Craniopharyngioma

e. Tumor intra sellar

f. Aneurisma arteri karotis interna di intra cavernosus

g. Aneurisma arteri komunikans posterior

h. Perluasan lobus temporal atau displacement yang menyebabkan saraf

31
teregang di tepi bebas tentorium cerebeli Karena dinding sinus kavernosus

melanjutkan dirinya ke lateral sebagai dura yang membungkus tulang yang

membentuk fisura orbitalis superior. Maka sindroma fisura orbitalis

superior dan sindroma sinus kavernosus pada intinya sama. Keduanya

mencakup kelumpuhan N3, N4, N6, N5 ke 1 dan 2 disertai proptosis dan

edema kelopak mata serta konjunctiva.



Lesi di area basiler

a. Meningitis basalis

b. Nasopharynx carcinoma

c. Meningovaskular syphilis

d. Aneurisma arteri basiler

e. Guillain-Barre Syndrome

f. Herpes zoster

g. Sarcoid

h. Frakture

Lesi di intinya

a. Vasculae disease (DM,hipertensi, atherosclerosis)

b. Multiple aklerosis

c. Pontine glioma

d. Kompresi extrinsik

e. Poliomyelitis

f. Werbicke encephalopaty

g. Kelainan kongenital

32
Lesi nuklearis di inti nervus trokhlearis yang ipsilateral menimbulkan

kelumpuhan otot oblikus superior kontralateral. Gejala tersebut jarang terjadi

secara tersendiri. Pada umunya lesi nuklearis trokhlearis merupakan bagian

dari lesi yang lebih luas, sehingga kelumpuhan otot oblikus superior menjadi

salah satu gejala dari sindroma ophtalmopegia internuklearis atau sindroma

fasikulus longitudinalis medialis pada tingkat medula oblongata (lesi yang

merusak FLM disebut lesi internuklearis, gejalanya disebut ophtalmoplegia

internuklearis). 11

Dari 172 kasus dengan parese nervus trokhlearis penyebabnya

ditemukan sebagai berikut:

1. Aneurisma 2%

2. Vascular disease 18%

3. Trauma 32 %

4. Neoplasma 4%

5. Tidak diketahui 36%

6. Campuran 8%

2.4.2 Gejala Klinis

Kelumpuhan nervus IV biasanya menyebabkan diplopia yang lebih

buruk pada saat melihat kebawah, karenanya pasien hampir selalu

mengeluhkan adanya diplopia (atau kecenderungan untuk menutup 1 mata)

ketika sedang membaca. Pada beberapa kasus, pemeriksaan pada mata yang

mengalami kelainan terdapat keterbatasan pada saat melihat kebawah pada

posisi adduksi, tapi disebagian besar kasus, motilitas mata cenderung normal.

Sehingga, cukup penting untuk dilakukan pemeriksaan cover- uncover test

33
atau test Maddox rod untuk menunjukkan hipertropia yang memburuk pada

saat melihat kebawah kontralateral. Head tilt (kepala miring)ipsilateral

biasanya meningkatkan vertikal srtabismus, oleh karena itu, pasien biasanya

memiringkan kepala mereka ke sisi berlawanan untuk menghindari diplopia.


Park- Bielschowsky 3- step test adalah pendekatan algoritma untuk

mengidentifikasi pola motilitas okular yang sesuai dengan disfungsi dari

pergerakan spesifik otot ekstaokular. 3 step tersebut adalah:

1. Temukan sisi yang hipertropia


2. Tentukan apakah hipertropia lebih besar saat melihat ke kanan atau ke kiri
3. Tentukan jika hipertopia lebih besar ke kanan atau kekiri saat kepala

dimiringkan
Kelumpuhan nervus IV bilateral harus selalu dipikirkan ketika

kelumpuhan unilateral didiagnosis, khususnya pasca trauma kepala.

Kelumpuhan nervus IV bilateral ditandai dengan adanya:


 crossed hipertropia (misalnya: mata kanan lebih tinggi saat melihat

kekiri, dan mata kiri lebih tinggi saat melihat kekanan)


 excyclotorsion 10 atau lebih
 strabismus dengan pola yang luas ( 25 D)

Kelumpuhan nervus IV biasanya berupa kelainan kongenital.

Adanya kelainan pada tendon oblik superior, kelainan pada bagian insersinya,

atau defek di troklear merupakan beberapa penyebab dari beberapa

kelumpuhan nervus IV. Demikian pula pada beberapa kasus yang dianggap

kelumpuhan nervus IV kongenital merupakan keadaan sekunde dari tumor

jinak (misalnya: schwannoma) dari nervus IV. Pasien biasanya asimptomatik

sampai 4 hingga 6 dekade kehidupannya, ketika amplitudo fusional mereka

berkurang dan diplopianya berkembang. Kebanyakan pasien masih

mempertahankan kondisi kronik head tilt. Kebiasaan head tilt dapat

dikonfirmasi dengan meninjau foto- foto lama pasien. Pasien dengan

34
kebiasaan tersbut pada penderita kelumpuhan nervus IV mempunyai range

fusional vertikal yang relatif besar (> 3 prisma dioptri).


Kelainan berupa paralisis nervus troklearis menyebabkan bola mata

tidak bisa bergerak ke bawah dan ke medial. Ketika pasien melihat lurus ke

depan atas, sumbu dari mata yang sakit lebih tinggi daripada mata yang lain.

Jika pasien melihat ke bawah dan ke medial, mata berotasi diplopia terjadi

pada setiap arah tatapan kecuali paralisis yang terbatas pada saraf troklearis

jarang terjadi dan sering disebabkan oleh trauma, biasanya karena jatuh pada

dahi atau verteks.


Penyebab terbanyak gangguan nervus IV adalah trauma kapitis.

Umumnya trauma kapitis ini melibatkan trauma kapitis yang hebat dan

disertai oleh kesadaran menurun. Selain itu, penyakit mikrovaskulopati yang

disebabkan oleh penyakit diabetes, aterosklerosis, atau hipertensi dapat

menyebabkan gangguan Nervus IV. Adanya tumor, aneurisma, multiple

sklerosis, atau cedera iatrogenik dapat menyebabkan gangguan Nervus IV

yang juga disertai dengan gangguan pada nervus kranialis yang lain. Selain

itu, pembedahan mata akibat katarak dapat menyebabkan gangguan Nervus

IV ini.
Disamping itu kelainan atau gangguan pada Nervus IV dapat

disebabkan oleh kelainan kongenital. Pasien dengan penyakit kongenital ini

mempunyai tendon atau oto oblikus superior yang abnormal sejak dari lahir.
Gejala klinis dari gangguan Nervus IV, yaitu:

a. Diplopia vertikal, torsio, atau oblikus.


Gejala diplopia ini bertambah buruk apabila melihat ke bawah dan

kontralateral daripada otot yang terlibat dengan gangguan tersebut.

35
b. Pasien sering membuat “ Head tilt” (posisi kepala yang miring)

berlawanan daripada sisi yang mengalami tersebut untuk mengurangi

diplopia yang dialaminya.4,11

2.4.3 Tatalaksana

Pasien yang mengalami deviasi dan diplopia yang sedikit disarankan

menggunakan prisma. Selain itu, Botolinum toksin dapat digunakan sebagai terapi

pada pasien yang mengalami gangguan Nervus IV. Botolinum toksin merupakan

agen neuromuskulur yang akan bereaksi pada presinaptik untuk memblokir

pelepasan neurotrasmitter dan menyebabkan kelemahan otot. Walaupun terapi

pertama menggunakan Botolinum toksinini kurang memberikan kesan, namun

penggunaannya adalah terbaik untuk memperbaiki deviasi yang masih ada setelah

pembedahan strabismus.12
Pada tahun 1970-an, Kappa memperkenalkan metode pembedahan untuk

gangguan pada otot oblikus superior. Untuk deviasi yang kurang daripada 15

dioptri prisma, pembedahan pada satu otot dapat dilakukan dengan cara jika tidak

terdapat overaction/ tarikan otot oblikus inferior yang berlebihan, maka otot

oblikus inferior dilemahkan dengan cara miektomi. Jika deviasi lebih dari 15

dioptri prisma, pembedahan yang melibatkan 2-3 otot akan dilakukan. Dua otot

yang perlu dibedah termasuk melemahkan otot oblikus inferior ipsilateral, begitu

juga dengan otot rektus superior ipsilateral, otot oblikus superior, atau otot rektus

inferior kontralateral.12

2.5 Kelumpuhan Nervus VI


2.5.1 Epidemiologi
Di Amerika Serikat, kelumpuhan saraf keenam jatuh ke dalam

kategori berikut: 3% -30% trauma, 0% -6% aneurisma, 0% -36% iskemik, 8%

-30% idiopatik, dan 10% -30% demielinasi / lain-lain. Saraf kranial keenam

36
adalah yang paling sering terkena saraf motorik okuler. Pada anak-anak, itu

adalah yang paling umum kedua setelah saraf keempat, dengan kejadian 2,5

kasus per 100.000 populasi.13


2.5.2 Definisi

Kelumpuhan nervus abdusen adalah kelumpuhan otot ekstraokular

tunggal yang paling sering terjadi. Abduksi berkurang atau tidak ada, terdapat

estropia pada posisi primer yang meningkat sewaktu mata melakukan fiksasi

jauh dan menangkap ke sisi yang terkena.14

2.5.3 Etiologi

Iskemia (arteriosclerosis, diabetes, migraine, dan hipertensi) adalah

penyebab tersering dijumpai. Peningkatan tekanan intrakranial dengan

kelumpuhan nervus abdusen sebagai tanda lokalisasi semu tumor intrakranial,

khususnya yang di dasar tengkorak, trauma, meningitis, fistula arteriovenosa

merupakan penyebab umum lainnya. 14

Infeksi dapat menimbulkan kelumpuhan nervus abdusen akibat

keterlibatan langsung seperti pada infeksi telinga tengah, iskemia, atau

meningitis. Malformasi Arnold Chiari (pergeseran tonsil cerebellum

kongenital kebawah) dapat menimbulkan kelumpuhan nervus abdusen akibat

traksi tetapi dapat pula menimbulkan estropia saat memandang jauh tanpa

disertai keterbatasan abduksi akibat disfungsi cerebellum. 14

2.5.4 Gejala Klinis

Pada kelumpuhan abdusen, estropianya secara khas lebih berat pada

jarak jauh dibanding jarak dekat dan lebih berat pada saat memandang ke sisi

yang terkena. Paresis otot rektus lateralis kanan menyebabkan estropia yang

37
menjadi lebih berat sewaktu memandang ke kanan dan apabila paresisnya

ringan, sedikit atau tidak terjadi deviasi sewaktu memandang ke kiri. Jika otot

rektus lateralis lumpuh total, mata yang mengalami tidak akan berabduksi

melewati garis tengah. Kelumpuhan nervus abdusen bilateral akan

menyebabkan estropia lebih berat pada pandangan kesamping dibanding

posisi primer. 14

Pada kasus paresis nervus abdusen yang disebabkan tekanan

intrakranial, gejala bisa sakit kepala, nyeri disekitar mata, mual, muntah. 10

2.5.5 Diagnosis

Pada anamnesis ditanyakan tentang onset dan gejala merupakan hal

yang penting terkait penyebab dari paresis nervus abdusen. Onset tiba-tiba

dapat disebabkan mikrovaskular. Semua pasien dengan paresis nervus

abdusen butuh pemeriksaan oftalmologi lengkap termasuk tajam penglihatan,

fungsi binocular, pemeriksaan strabismus pada jarak jauh dan dekat. 14

2.5.6 Tatalaksana

Tatalaksana tergantung dari penyebabnya. Tatalaksana diplopia yang

disebabkan paresis nervus abdusen bisa dilakukan prisma, oklusi, toxin

botulinum atau pembedahan. Kelumpuhan abdusen pada bayi dan anak dapat

menyebabkan amblyopia sehingga pasien harus diterapi dengan tepat

ambliopianya. Penyuntikan toksin botulinum tipe A ke otot rektus medialis

antagonis mungkin bermanfaat secara simptomatik tapi tampaknya tidak

mempengaruhi hasil akhir. Jika fungsi rektus laterlais pada kelumpuhan

parsial tidak membaik dalam 6 bulan maka penyuntikan toksin botulinum tipe

A ke otot rektus medialis dapat digunakan sebagai terapi jangka panjang yang

38
memungkinkan terjadinya fusi dan karenanya menghilangkan diplopia pada

pandangan lurus kedepan atau untuk mendukung terapi prisma. 14

Tindakan bedah pada otot rektus medialis, termasuk reseksi rektus

lateralis dan reseksi rektus medialis biasa dilakukan. Pada kelumpuhan total

yang gagal membaik dalam 6 bulan, diindikasikan transposisi secara bedah

insersio otot-otot rektus superior dan inferior ke insersio otot rektalis yang

terkadang dikombinasikan dengan jahitan fiksasi posterior pada tepi temporal

otot rektus vertikal. Toksin botulinum dapat digunakan sebagai tambahan jika

restriksi rektus medialisnya berat. 14

BAB III

39
KESIMPULAN

Pergerakan okular diatur oleh enam otot ekstraokuler. Nervus cranial yang

mempersyarafinya adalah nervus III (okulomotorius), nervus IV (troklearis) dan

nervus VI (abdusens).

Parese Nervus III (Okulomotorius) bisa menyebabkan ptosis (kongenital atau

didapat), dilatasi pupil, hilangnya akomodasi, hilangnya reflek cahaya pupil,

midriasis pupil, strabismus, diplopia. Parese nervus III biasanya disebabkan oleh

kongenital, trauma, aneurisma, dibetes dan hipertensi serta neoplasma.

Tatalaksana untuk parese nervus okulomotorius berupa terapi medis (ambliopia

dan prisma) dan terapi bedah.

Parese Nervus IV bisa menyebabkan diplopia vertikal, torsio, atau oblikus.

Biasanya disebabkan oleh trauma kapitis, penyakit diabetes, aterosklerosis,

hipertensi, tumor, aneurisma, multipel sclerosis, atau cedera iatrogenik.

Tatalaksana pasien ini bisa dengan pemberian Botulinum toksin dan dengan terapi

bedah.

Parese nervus VI bisa menyebabkan estropia dan deviasi. Biasanya

disebabkan oleh iskemia (arteriosclerosis, diabetes, migraine, dan hipertensi),

peningkatan tekanan intrakranial, infeksi. Tatalaksana bisa dilakukan dengan

prisma, oklusi, toxin botulinum atau pembedahan.

DAFTAR PUSTAKA

40
1. Fuller G., 2004. Cranial nerves III, IV, VI: Eye movements, In: Neurologic
Examination Made Easy, 3rd Edition, Churchill Livingstone: London.
2. Victor M, Ropper AH, 2007. Disorders of Ocular Movement and Pupillary
Function, In: Adam’s and Victor’s Manual of Neurology, 7 th Edition,
McGraw Hill: United States of America.
3. Lumbantoding SH, 2007. Saraf Otak. In: Neurologik Klinik Pemeriksaan
Fisik dan Mental Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; Jakarta. Hlm
21-86
4. Mardjono M, Priguna S, 2012. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta:Dian
Rakyat.
5. James Goodwin MD, 2016. Oculomotor Nerve Palsy. Diunduh dari URL:
http: www.emedicine.com/oph/topic183.html pada tanggal 10 April 2017.
6. Snell, Richard S, 2007. Neuroanatomi klinik Untuk Mahasiswa
Kedokteran. Edisi 5. Jakarta: EGC.
7. Ilvas, Sidarta, 2006. Anatomi dan Fisiologi Mata, In: Ilmu Penyakit Mata,
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta.
8. Colon-Acevado B, Feldman BH, Marcet MM, Abdullah Y, 2014. Acquired
Occulomotor Nerve Palsy. Diunduh dari URL: http:
www.eyewiki.aao.org/Acquired_Occulomor_Nerve_Palsy.html pada
tanggal 10 April 2017.

9. Newman, NM, 1992. Neuro ophthalmology a practical test. 1st ed.


Norwalk : Appleton & Lange,: 197-216
10. Prof. Dr. I. Gusti Ng. Gd. Ngoerah. Nervi Kranialis. Dalam: Dasar-Dasar
Ilmu Penyakit Saraf. Penerbit Universitas Airlangga. Surabaya. 1990: 103
– 130.
11. Cibis GW, Abdel Latief AA, Bron AJ, Chalam KV, Tripathy BJ et al.
BCSC : Fundamental and principles of opthalmology. Section 2. San
Francisco, USA : AAO, 2008-2009 ; 96-125.
12. Zafar A Sheik, MD. Trochlear Nerve Palsy. on line 2006, hal: 1-10,
available from URL: http: www.emedicine.com/oph/topic 697.html
13. Michael P Ehrenhaus, MD. Abducens Nerve Palsy. New York: May 17,
2016 Updated. Diunduh dari

41
http://emedicine.medscape.com/article/1198383-overview diakses
tanggal 18 April 2017
14. Vaughan and Asbury. 2009. Oftalmologi Umum. Ed 17. Jakarta; EGC.

42

Anda mungkin juga menyukai