Anda di halaman 1dari 35

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas yang paling banyak
dijumpai di antara tumor ganas THT di Indonesia. Karsinoma nasofaring
termasuk dalam 5 besar tumor ganas dengan frekuensi tertinggi bersama
dengan tumor ganas serviks, tumor payudara, tumor getah bening, dan tumor
kulit. Di daerah kepala leher karsinoma nasofaring merupakan keganasan
paling sering ditemukan (60%) diikuti tumor ganas hidung dan sinus
paranasal, laring, dan tumor ganas rongga mulut, tonsil, dan hipofaring.1
Karsinoma nasofaring adalah salah satu kanker kepala leher yang
bersifat sangat invasif dan sangat mudah bermetastasis (menyebar) dibanding
kanker kepala leher yang lain. Karsinoma nasofaring paling sering di fossa
Rosenmuller yang merupakan daerah transisional epitel kuboid berubah
menjadi epitel skuamosa. Karsinoma nasofaring dibagi menjadi 3 tipe
histopatologi berdasarkan klasifikasi WHO 1991, tipe-1 (karsinoma sel
skuamosa berkeratin) sekitar 10%, tipe-2 (karsinoma tidak berkeratin
berdiferensiasi) sekitar 15% dan tipe-3 (karsinoma tidak berkeratin tidak
berdiferensiasi), tipe yang ke-3 yang paling sering muncul (75%).
Meningkatnya angka kasus kejadian karsinoma nasofaring terjadi pada usia
40 sampai 50 tahun, tetapi dapat juga terjadi pada anak-anak dan usia remaja.
Angka perbandingan (rasio) laki-laki dan perempuan pada karsinoma
nasofaring adalah 2-3 :1.2, 3
Penanggulangan karsinoma nasofaring sampai saat ini masih
merupakan suatu problem, hal ini karena etiologi yang masih belum pasti,
gejala dini yang tidak khas serta letak nasofaring yang tersembunyi,dan tidak
mudah diperiksa oleh mereka yg bukan ahli sehingga diagnosis sering
terlambat, dengan ditemukannya metastasis pada leher sebagai gejala
pertama. Dengan makin terlambatnya diagnosis maka prognosis ( angka
bertahan hidup 5 tahun) semakin buruk.1
2

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Nasofaring


Nasofaring merupakan suatu ruangan yang berbentuk mirip kubus,
terletak dibelakang rongga hidung. Diatas tepi bebas palatum molle yang
berhubungan dengan rongga hidung dan ruang telinga melalui koana dan tuba
eustachius. Atap nasofaring dibentuk oleh dasar tengkorak, tempat keluar dan
masuknya saraf otak dan pembuluh darah. Dasar nasofaring dibentuk oleh
permukaan atas palatum molle. Dinding depan dibentuk oleh koana dan
septum nasi dibagian belakang. Bagian belakang berbatasan dengan ruang
retrofaring, fasia prevertebralis dan otot dinding faring. Pada dinding lateral
terdapat orifisium yang berbentuk segitiga, sebagai muara tuba eustachius
dengan batas superoposterior berupa tonjolan tulang rawan yang disebut torus
tubarius. Sedangkan kearah superior terdapat fossa rossenmuller atau resessus
lateral.4

Nasofaring diperdarahi oleh cabang arteri karotis eksterna, yaitu


faringeal asenden dan desenden serta cabang faringeal arteri sfenopalatina.
Darah vena dari pembuluh darah balik faring pada permukaan luar dinding
muskuler menuju pleksus pterigoid dan vena jugularis interna. Daerah
nasofaring dipersarafi oleh saraf sensoris yang terdiri dari nervus
glossofaringeus (N.IX) dan cabang maksila dari saraf trigeminus (N.V2),
3

yang menuju ke anterior nasofaring. Sistem limfatik daerah nasofaring terdiri


dari pembuluh getah bening yang saling menyilang dibagian tengah dan
menuju ke kelenjar Rouviere yang terletak pada bagian lateral ruang
retrofaring, selanjutnya menuju ke kelenjar limfa disepanjang vena jugularis
dan kelenjar limfa yang terletak dipermukaan superfisial. 4

2.2. Karsinoma Nasofaring


2.2.1. Definisi Karsinoma Nasofaring
Karsinoma nasofaring merupakan sebuah kanker yang bermula tumbuh
pada sel epitelial- batas permukaan badan internal dan external sel di daerah
nasofaring. Ada tiga tipe karsinoma nasofaring:5
a. Karsinoma sel skuamos keratinisasi.
b. Karsinoma berdiferensiasi non-keratinisasi.
c. Karsinoma tidak berdiferensiasi.
Karsinoma nasofaring merupakan penyakit keganasan (kanker) sel
yang terbentuk di jaringan nasofaring, yang merupakan bagian atas
pharynx (tengorokan), di belakang hidung. Pharynx merupakan sebuah
lembah yang berbentuk tabung dengan panjang 5 inchi dimulai dari
belakang hidung dan berakhir di atas trakea dan esofagus. Udara dan
makanan melawati pharynx. Karsinoma nasofaring paling sering
4

bermula pada sel skuamos yang melapisi nasofaring. Karsinoma


nasofaring adalah tumor ganas karsinoma berasal dari epitel nasofaring.
Biasanya tumor ganas ini tumbuh dari fossa rosenmuller dan dapat meluas
ke hidung, tenggorok, serta dasar tengkorak. 5

2.2.2. Epidemiologi
Seperti telah disebutkan dalam Bab Pendahuluan, karsinoma
nasofaring jarang sekali ditemukan di benua Eropa, Amerika, ataupun
Oseania, insidennya umumnya kurang dari 1/100.000 penduduk. Insiden di
beberapa negara Afrika agak tinggi, sekitar 5-10/100.000 penduduk. Namun
relatif sering ditemukan di berbagai Asia Tenggara dan China. Di RRC,
walaupun karsinoma nasofaring jauh lebih sering ditemukan daripada
berbagai daerah lain di dunia, mortalitas rata-rata nasional hanya
1,88/100.000, pada pria 2,49/100.000, dan pada wanita 1,27/100.000.6
Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas daerah leher yang
terbanyak ditemukan di Indonesia. Hampir 60% tumor ganas kepala dan
leher merupakan karsinoma nasofaring, kemudian diikuti oleh tumor ganas
hidung dan sinus paranasal (18%), larynx (16%), dan tumor ganas rongga
mulut, tonsil, hipofaring dalam presentase rendah. 6
Karsinoma nasofaring dapat terjadi pada segala usia, tapi umumnya
menyerang usia 30-60 tahun (menduduki 75-90%). Perbandingan proporsi
pria dan wanita adalah 2-3,8:1. Sebagian besar penderita karsinoma
nasofaring berumur diatas 20 tahun, dengan umur paling banyak antara 50-
70 tahun. Penelitian di Taipe menjumpai umur rata-rata penderita lebih
muda yaitu 25 tahun. Insiden karsinoma nasofaring meningkat setelah umur
20 tahun dan tidak ada lagi peningkatan insiden setelah umur 60 tahun. 6
Karsinoma nasofaring paling sering ditemukan pada laki-laki dengan
penyebab yang masih belum dapat diungkap secara pasti dan mungkin
berhubungan dengan adanya faktor genetika, kebiasaan hidup, pekerjaan,
dan lain-lain. 6
5

2.2.3. Etiologi
Terjadinya karsinoma nasofaring mungkin multifaktorial, proses
karsinogenesisnya mencakup banyak tahap. Faktor yang diduga terkait
dengan timbulnya karsinoma nasofaring adalah:5, 6, 7
1. Jenis Kelamin
Karsinoma nasofaring lebih sering terjadi pada pria daripada wanita dan
apa sebabnya belum dapat diungkapkan dengan pasti, mungkin ada
hubungannya dengan factor genetik, kebiasaan hidup, pekerjaan dan lain-
lain.
2. Ras
Kanker jenis ini lebih sering mempengaruhi orang-orang di Asia dan
Afrika Utara. Ras mongoloid merupakan factor dominan timbulnya kanker
nasofaring, sehingga kekerapan cukup tinggi pada penduduk Cina bagian
selatan, Hongkong, Vietnam, Thailand, Malaysia, Singapura dan
Indonesia. Pada orang eskimo diduga penyebabnya adalah karena mereka
memakan makanan yang diawetkan dalam musim dingin dengan
menggunakan bahan pengawet nitrosamine.
3. Umur
Kanker nasofaring dapat terjadi pada semua usia, tetapi paling sering
didiagnosis pada orang dewasa antara usia 30 tahun dan 50 tahun.
4. Makanan yang diawetkan
Bahan kimia yang dilepaskan dalam uap saat memasak makanan, seperti
ikan dan sayuran diawetkan, dapat masuk ke rongga hidung, meningkatkan
risiko karsinoma nasofaring. Kebiasaan makan makanan terlalu panas,
paparan bahan kimia ini pada usia dini, lebih dapat meningkatkan risiko.

5. Genetik
Kerentanan terhadap karsinoma nasofaring pada kelompok masyarakat
tertentu relatif lebih menonjol dan memiliki agregasi familial. Analisis
korelasi menunjukkan gen HLA (human leukocyte antigen) dan gen
pengkode enzim sitokrom p4502E (CYP2E1) kemungkinan adalah gen
kerentanan terhadap karsinoma nasofaring, mereka berkaitan dengan
sebagian besar karsinoma nasofaring. gen kerentanan terhadap kanker
6

nasofaring, Mereka berkaitan dengan timbulnya sebagian besar kanker


nasofaring. Tahun 2002, RS Kanker Universitas Zhongshan memakai 382
buah petanda mikrosatelit polimorfisme 22 helai autosom genom manusia.
Dengan melakukan pemeriksaan genom total terhadap keluarga insiden
tinggi kanker nasofaring berdialek Guangzhou di propinsi Guangdong, gen
kerentanan nasofaring ditetapkan berlokasi di 4p1511-q12.

Memiliki anggota keluarga dengan karsinoma nasofaring meningkatkan


risiko penyakit. Pengaruh genetik terhadap karsinoma nasofaring sedang
dalam pembuktian dengan mempelajari cell mediated immunity dari virus
EB dan tumor associated antigens pada karsinoma nasofaring.
6. Lingkungan
Faktor lingkungan yang berpengaruh adalah iritasi oleh bahan kimia,
asap sejenis kayu tertentu. Penelitian akhir-akhir ini menemukan zat-zat
berikut berkaitan dengan timbulnya karsinoma nasofaring yaitu golongan
Nitrosamin,diantaranya dimetilnitrosamin dan dietilnitrosamin, hidrokarbon
aromatic dan unsur renik, diantaranya nikel sulfat.
a. Kerentanan genetik
Walaupun karsinoma nasofaring bukan tumor genetik, kerentanan
terhadap kanker nasofaring pada kelompok masyarakat tertentu relatif
menonjol ras yang banyak sekali menderitanya adalah bangsa China dan
memiliki fenomena agregasi familial. Anggota keluarga yang menderita
karsinoma nasofaring cendrung juga menderita karsinoma nasofaring.
Penyebab karsinoma nasofaring ini belum diketahui apakah karsinoma
nasofaring dikarenakan oleh gen yang diwariskan. Faktor lingkungan yang
mempengaruhi ( seperti diet makanan yang sama atau tinggal di lingkungan
yang sama), atau beberapa kombinasi diantarnya juga ikut mendukung
timbulnya karsinoma nasofaring. Analisis korelasi menunjukkan gen
(Human Leukocyte Antigen) HLA dan gen pengode enzime sitokorm
p4502E (CYP2EI) kemungkinan adalah gen kerentanan terhadap kanker
nasofaring, Mereka berkaitan dengan timbulnya sebagian besar kanker
nasofaring. Tahun 2002, RS Kanker Universitas Zhongshan memakai 382
7

buah petanda mikrosatelit polimorfisme 22 helai autosom genom manusia.


Dengan melakukan pemeriksaan genom total terhadap keluarga insiden
tinggi kanker nasofaring berdialek Guangzhou di propinsi Guangdong, gen
kerentanan nasofaring ditetapkan berlokasi di 4p1511-q12.
b. Epstein-Barr Virus
EBV adalah suatu virus yang sangat erat kaitannya dengan timbulnya
karsinoma nasofaring. Virus ini memiliki protein, yang diperkirakan
memengaruhi DNA sel sehingga mengalami mutasi, khususnya
protooncogen menjadi oncogen.
c. Faktor ligkungan dan diet
Faktor lingkungan yang berpengaruh adalah iritasi oleh bahan kimia,
termasuk asap sejenis kayu tertentu, kebiasaan memasak dengan bahan atau
bumbu masak tertentu, dan kebiasaan makan makanan terlalu panas.
Terdapat hubungan antara kadar nikel dalam air minum dan makanan
dengan mortalitas karsinoma nasofaring, sedangkan adanya hubungan
dengan keganasan lain tidak jelas. Tingginya kadar nitrosamin diantaranya
dimetilnitrosamin dan dietilnitrosamin yang ada di dalam kandungan ikan
asin Guangzhou juga berhubungan.
Orang-orang yang tinggal di Asia, Afrika bagian Utara, dan wilayah Artik
dengan karsinoma nasofairng mempunyai kebiasaan makan makanan seperti
ikan dan daging yang tinggi kadar garamnya. Sebaliknya, beberapa studi
menyatakan bahwa diet tinggi buah dan sayur mungkin menurunkan resiko
karsinoma nasofaring.
d. Faktor pekerjaan
Faktor yang juga ikut berpengaruh adalah pekerjaan yang banyak
berhubungan dengan debu nikel, debu kayu (pada industri mebel atau
penggergajian kayu), atau pekerjaan pembuat sepatu. Atau zat yang sering
kontak dengan zat yang dianggap karsinogen adalah antara lain:
Benzopyrene, Bensoanthracene, gas kimia, asap industri, dan asap kayu.
e. Radang kronis daerah nasofaring
Dianggap dengan adanya peradangan, mukosa nasofaring menjadi lebih
rentan terhadap karsinogen lingkungan.
8

2.2.4. Patologi
Patologi pada KNF dapat ditinjau secara makroskopis dan mikroskopis.
Makroskopis Secara makroskopis, pertumbuhan KNF dibedakan menjadi 3
bentuk:6
a. Ulseratif
Biasanya berupa lesi kecil disertai jaringan nekrotik. Terbanyak dijumpai di
dinding posterior nasofaring atau fossa Rossenmuller yang lebih dalam dan
sebagian kecil dinding lateral. Tipe ini sering tumbuh progresif infiltatif, meluas
pada bagian lateral, atap nasofaring dan tulang basis kranium. Lesi ini juga sering
merusak foramen laserum dan meluas pada fossa serebralis media melibatkan
beberapa saraf kranial (II.III,IV,V,VI) yang menimbulkan kelainan neurologik.

b. Nodular
Biasanya berbentuk anggur atau polipoid tanpa adanya ulserasi tetapi kadang-
kadang terjadi ulserasi kecil. Lesi terbanyak muncul di area tuba eustachius
sehingga menyebabkan sumbatan tuba. Tumor dapat meluas pada retrospenoidal
dan tumbuh disekitar saraf kranial namun tidak menimbulkan gangguan
neurologik. Pada stadium lanjut tumor dapat meluas pada fossa serebralis media
dan merusak basis kranium atau meluas ke daerah orbita melalui fossa orbitalis
inferior dan dapat menginvasi sinus maksilaris melalui tulang ethmoid.

c. Eksofitik
Biasanya non-ulseratif, tumbuh pada satu sisi nasofaring, kadang-kadang
bertangkai dan permukaan licin. Tumor muncul dari bagian atap, mengisi kavum
nasi dan menimbulkan penyumbatan hidung. Tumor ini mudah nekrosis dan
berdarah sehingga menyebabkan epistaksis. Tumor bentuk ini cepat mencapai
sinus maksilaris dan rongga orbita sehingga menyebabkan eksoftalmus unilateral.
Tipe ini jarang melibatkan saraf kranial.
2. Mikroskopis
a. Perubahan pra keganasan
Perubahan ini merupakan sebagai kondisi dari jaringan atau organ yang tumbuh
menjadi ganas secara perlahan. Penelitian yang dilakukan Teoh (1957)
9

mendapatkan bahwa metaplasia skuamosa merupakan keadaan yang paling


bermakna untuk terjadinya KNF. Dari penelitian Li dan Chen (1976) ditemukan
juga adanya hiperplasia dari sel-sel nasofaring yang berkembang kearah
keganasan. Dari berbagai penelitian diatas menyokong bahwa metaplasia dan
hyperplasia nasofaring merupakan perubahan pra keganasan dari karsinoma
nasofaring.
b. Perubahan patologik pada mukosa nasofaring
Reaksi radang
Radang akut dan kronis sering dijumpai pada mukosa nasofaring. Bentuk
perubahan ini biasanya dihubungkan dengan tukak mukosa yang mengandung
sejumlah leukosit PMN, sel plasma dan eosinofil. Pada peradangan kronis akan
dijumpai limfosit dan jaringan fibrosis. Ada anggapan yang menyatakan bahwa
terdapat hubungan antara proses regenerasi pada ulserasi epitel nasofaring dengan
perubahan metaplasia dan displasia dari epitel tersebut.

Hiperplasia
Hiperplasia yang sering terlihat pada lapisan sel mukosa kelenjar dan salurannya
maupun pada jaringan limfoid. Hiperplasia kelenjar sering dihubungkan dengan
proses radang. Sedang hiperplasia jaringan limfoid dapat terjadi dengan atau
tanpa proses radang.

Metaplasia
Sering terlihat metaplasia pada epitel kolumnar nasofaring berupa perubahan
kearah epitel skuamosa bertingkat.

Neoplasia
Liang (1962) menemukan bahwa neoplasia mulai tumbuh di bagian basal lapisan
sel epitel. Lapisan basal ini yang mulanya sangat kecil akan bertambah besar,
jumlah sel bertambah banyak dan bentuknya akan menjadi bulat atau pleomorfik.
10

2.2.5. Patogenesis
Kanker nasofaring merupakan tumor ganas yang diasosiasikan dengan virus
EBV (Epstein-Barr virus). Telah ditemukan bahwa perkembangan kanker
nasofaring salah satunya dipengaruhi faktor risiko yang sudah sering
dikemukakan yaitu kenaikan titer antibody anti-EBV yang konsisten. Akan tetapi,
mekanisme molekuler dan hubungan patofisiologis dari karsinogenesis terkait
EBV masih belum sepenuhnya jelas.9 Selain itu, meski kanker nasofaring
seringkali diasosiasikan dengan EBV, EBV tidak mengubah sel-sel epitel
nasofaring menjadi sel-sel klon yang proliferative, meski ia dapat
mentransformasi sel B primer. Agar terbentuk kanker nasofaring, mula-
muladibutuhkan infeksi laten dan litik EBV yang diduga disokong oleh perubahan
genetik yang dapat diidentifikasi pada epitel nasofaring premalignan. Setelah itu
infeksi laten dan litik terjadi dan menghasilkan produk-produk tertentu, barulah
ekspansi klonal dan transformasi sel epitel nasofaring premalignan menjadi sel
kanker. Selain faktor genetik, faktor lingkungan berupa konsumsi karsinogen
dalam diet pada masa kanak-kanak juga dapat mengakibatkan akumulasi dari lesi
genetik dan peningkatan risiko kanker nasofaring. Selain diet, faktor-faktor
lainnya adalah pajanan zat-zat kimia pada pekerjaan, misalnya formaldehida dan
debu kayu yang mengakibatkan inflamasi kronis di nasofaring.10
Seperti yang telah dijelaskan, setelah faktor genetik dan lingkungan
merangsang perubahan pada epitel nasofaring, virus EBV memperparah keadaan
epitel tersebut. Virus EBV menginfeksi sel nasofaring secara laten. Virus ini
kemudian memasuki fase infeksi litik yang produktif. Tumor nasofaring diketahui
mengekspresikan tiga protein yang dikode EBV, RNA kecil dan mikroRNA.
Protein-protein yang diekspresikan di antaranya adalah EBNA1, LMP1, dan
LMP2. Dalam perkembangannya, diduga LMP1 memiliki peran sentral. LMP1
disekresi melalui eksosom dan masuk ke dalam sel-sel yang tidak terinfeksi EBV
melalui endositosis. LMP1 juga mempengaruhi lingkungan di sekeliling tumor.
LMP1 merupakan onkogen primer yang dapat meniru fungsi salah satu reseptor
TNF, yakni CD40. Akibatnya, ia dapat menginisiasi beberapa pathway
persinyalan yang merangsang perubahan fenotip dan morfologi sel epitel. LMP 1
juga mengakibatkan peningkatan EMT (epithelial-mesenchymal transition). Pada
11

proses EMT, sel-sel karsinoma akan menurunkan penanda epitel tertentu dan
meningkatkan penanda mesenkim tertentu sehingga menimbulkan perkembangan
fenotip promigratori yang penting dalam metastasis. Oleh karena itu, LMP1 juga
berperan dalam menimbulkan sifat metastasis dari kanker nasofaring. Peningkatan
EMT oleh LMP1 ini diikuti dengan ekspresi penanda sel punca kanker/sel
progenitor kanker serta pemberian sifat-sifat mirip sel punca/sel progenitor kepada
sel.9
Protein-protein lainnya serta ekspresi RNA virus juga memiliki peranan
dalam karsinogenesis kanker nasofaring, contohnya LMP2 yang mempertahankan
latensi virus. Peran-peran protein dan RNA serta proses patogenesis kanker
nasofaring terangkum dalam berikut.9

Gambar 1. Patogenesis KNF

2.2.6. Histopatologi
Klasifikasi gambaran histopatologi yang direkomendasikan oleh Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO), dibagi atas 3 tipe, yaitu :8
1. Karsinoma sel skuamosa (KSS) berkeratinisasi (Keratinizing Squamous Cell
Carcinoma) Tipe ini dapat dibagi lagi menjadi diferensiasi baik, sedang dan
buruk.
12

2. Karsinoma non-keratinisasi (Nonkeratinizing Carcinoma) Pada tipe ini


dijumpai adanya diferensiasi, tetapi tidak ada diferensiasi sel skuamosa tanpa
jembatan intersel. Pada umumnya batas sel cukup jelas.
3. Karsinoma tidak berdiferensiasi (Undifferentiated Carcinoma)
Pada tipe ini sel tumor secara individu memperlihatkan inti yang vesikuler,
berbentuk oval atau bulat dengan nukleoli yang jelas. Pada umumnya batas sel
tidak terlihat dengan jelas. Terdapat kesamaan antara tipe II dan III sehingga
selanjutnya disarankan pembagian stadium KNF terbaru hanya dibagi atas 2 tipe,
yaitu:8
1. KSS berkeratinisasi (Keratinizing Squamous Cell Carcinoma).
2. Karsinoma non-keratinisasi (Non-keratinizing Carcinoma).
Tipe ini dapat dibagi lagi menjadi berdiferensiasi dan tidak berdiferensiasi.

Histologi Nasofaring
Permukaan nasofaring berbenjol-benjol, karena dibawah epitel terdapat
banyak jaringan limfosid, sehingga berbentuk seperti lipatan atau kripta.
Hubungan antara epitel dengan jaringan limfosid ini sangat erat, sehingga sering
disebut ” Limfoepitel ”, Bloom dan Fawcett membagi mukosa nasofaring atas
empat macam epitel :8
1. Epitel selapis torak bersilia ” Simple Columnar Cilated Epithelium ”
2. Epitel torak berlapis “ Stratified Columnar Epithelium“.
3. Epitel torak berlapis bersilia “Stratified Columnar Ciliated Epithelium“.
4. Epitel torak berlapis semu bersilia “ Pseudo-Stratifed Columnar Ciliated
Epithelium ”

Mengenai distribusi epitel ini, masih belum ada kesepakatan diantara para
ahli. 60 % persen dari mukosa nasofaring dilapisi oleh epitel berlapis gepeng “
Stratified Squamous Epithelium “, dan 80 % dari dinding posterior nasofaring
dilapisi oleh epitel ini, sedangkan pada dinding lateral dan depan dilapisi oleh
epitel transisional, yang merupakan epitel peralihan antara epitel berlapis gepeng
dan torak bersilia. Epitel berlapis gepeng ini umumnya dilapisi keratin, kecuali
pada kripta yang dalam. Dipandang dari sudut embriologi, tempat pertemuan atau
13

peralihan dua macam epitel adalah tempat yang subur untuk tumbuhnya suatu
karsinoma. Di sekitar koana dan atap terdiri dari epitel torak bersilia, sedangkan
dinding lateral diliputi oleh epitel skuamosa dan epitel torak bersilia. Jaringan
limfoid terdapat didinding lateral, terutama disekitar muara tuba eustachius,
dinding posterior dan atap nasofaring. Jaringan limfoid di nasofaring ini
merupakan lengkung atas cincin Waldeyer.

2.2.7. Gejala Klinik


Gejala kanker nasofaring dapat dibagi menjadi 4 kelompok, yaitu gejala
nasofaring sendiri, gejala telinga, gejala mata dan saraf, serta metastasis atau
gejala dileher. Gejala nasofaring dapat berupa epistaksis ringan atau sumbatan
hidung, untuk itu nasofaring harus diperiksa secara cermat, kalau perlu dengan
nasofaringoskop, karena sering gejala belum ada sedangkan tumor sudah
tumbuh ata tumor tidak tampak karena masih terdapat dibawah mukosa
(creeping tumor).
Gangguan pada telinga merupakan gejala dini karena tempat asal tumor
dekat muara tuba Eustachius (fosa Rosenmuller). Gangguan dapat berupa
tinnitus, rasa tidak nyaman di telinga sampai rasa nyeri di telinga (otalgia).
Tidak jarang pasien dengan gangguan pendengaran ini baru kemudian disadari
bahwa penyebabnya adalah karsinoma nasofaring.
Karena nasofaring berhubungan dekat dengan rongga tengkorak melalui
beberapa lobang, maka gangguan beberapa saraf otak dapat terjadi sebagai
gejala lanjut karsinoma ini. Penjalaran melalui foramen laserum akan
mengenai saraf otak ke III, IV, VI dan dapat pula ke V, sehingga tak jarang
gejala diploplia yang membawa pasien terlebih dahulu ke dokter mata.
Neuralgia trigeminal merupakan gejala yang sering ditemukan oleh ahli saraf
jika belum terdapat keluhan lain yang berarti.
Proses karsinoma yang lanjut akan mengenai saraf otak ke IX, X, XI dan
XII jika penjalaran melalui foramen jugulare, yaitu suatu tempat yang relative
jauh dari nasofaring. Gangguan ini sering disebut sindrom Jackson. Bila sudah
mengenai selurih saraf otak disebut sindrom unilateral. Dapat pula disertai
14

dengan destruksi tulang tengkorak dan bila sudah terjadi demikian, biasanya
prognosisnya buruk.
Metastasis ke kelenjar leher dalam bentuk benjolan di leher yang
mendorong pasien untuk berobat, karena sebelumnya tidak terdapat keluhan
lain. Suatu kelainan nasofaring yang disebut lesi hiperplastik nasofaring atau
LHN telah diteliti di Cina yaitu 3 bentuk yang mencurigakan pada nasofaring,
seperti pembesaran adenoid pada orang dewasa, pembesaran nodul dan
mukosistis berat pada daerah nasofaring. Kelainan ini bila diikuti bertahun-
tahun kemudian akan menjadi karsinoma nasofaring.

Gejala Dini
Karena KNF bukanlah penyakit yang dapat disembuhkan, maka diagnosis
dan pengobatan yang sedini mungkin memegang peranan penting untuk
mengetahui gejala dini KNF dimana tumor masih terbatas di rongga nasofaring.9,
10

Gejala telinga :
1. Sumbatan tuba eutachius / kataralis. Pasien mengeluh rasa penuh di telinga,
rasa berdengung kadang-kadang disertai dengan gangguan pendengaran. Gejala
ini merupakan gejala yang sangat dini.
2. Radang telinga tengah sampai perforasi membrane timpani. Keadaan ini
merupakan kelainan lanjutan yang terjadi akibat penyumbatan muara tuba, dimana
rongga telinga tengah akan terisi cairan. Cairan yang diproduksi makin lama
makin banyak, sehingga akhirnya terjadi perforasi membran timpani dengan
akibat gangguan pendengaran.

Gejala Hidung:
1. Epistaksis
Dinding tumor biasanya rapuh sehingga oleh rangsangan dan sentuhan dapat
terjadi perdarahan hidung atau epistaksis. Keluarnya darah ini biasanya berulang-
ulang, jumlahnya sedikit dan seringkali bercampur dengan ingus, sehingga
berwarna kemerahan.
2. Sumbatan hidung
15

Sumbatan hidung yang menetap terjadi akibat pertumbuhan tumor ke dalam


rongga hidung dan menutupi koana. Gejala menyerupai pilek kronis, kadang-
kadang disertai dengan gangguan penciuman dan adanya ingus kental. Gejala
telinga dan hidung ini bukan merupakan gejala yang khas untuk penyakit ini,
karena juga dijumpai pada infeksi biasa, misalnya pilek kronis, sinusitis dan
lainlainnya. Epistaksis juga sering terjadi pada anak yang sedang menderita
radang. Hal ini menyebabkan keganasan nasofaring sering tidak terdeteksi pada
stadium dini.

Gejala lanjut
1. Pembesaran kelenjar limfe leher.
Tidak semua benjolan leher menandakan penyakit ini. Yang khas jika
timbulnya di daerah samping leher, 3-5 cm di bawah daun telinga dan tidak nyeri.
Benjolan biasanya berada di level II-III dan tidak dirasakan nyeri, karenanya
sering diabaikan oleh pasien. Sel-sel kanker dapat berkembang terus, menembus
kelenjar dan mengenai otot di bawahnya. Kelenjarnya menjadi lekat pada otot dan
sulit digerakan. Keadaan ini merupakan gejala yang lebih lanjut. Pembesaran
kelenjar limfe leher merupakan gejala utama yang mendorong pasien datang ke
dokter.

2. Gejala akibat perluasan tumor ke jaringan sekitar


Karena nasofaring berhubungan dengan rongga tengkorak melalui beberapa
lubang, maka gangguan beberapa saraf otak dapat terjadi , seperti penjalaran
tumor melalui foramen laserum akan mengenai saraf otak ke III, IV, VI dan dapat
juga mengenai saraf otak ke-V, sehingga dapat terjadi penglihatan ganda
(diplopia).
Proses karsinoma nasofaring yang lanjut akan mengenai saraf otak ke IX, X,
XI, dan XII jika penjalaran melalui foramen jugulare, yaitu suatu tempat yang
relatif jauh dari nasofaring. Gangguan ini sering disebut dengan sindrom Jackson.
Bila sudah mengenai seluruh saraf otak disebut sindrom unilateral. Dapat juga
disertai dengan destruksi tulang tengkorak dan bila sudah terjadi demikian,
biasanya prognosisnya buruk.
16

3. Gejala akibat metastasis


Sel-sel kanker dapat ikut bersama aliran limfe atau darah, mengenai organ
tubuh yang letaknya jauh dari nasofaring, hal ini yang disebut metastasis jauh.
Yang sering ialah pada tulang, hati dan paru. Jika ini terjadi menandakan suatu
stadium dengan prognosis sangat buruk.

2.2.8. Pemeriksaan penunjang


1. Pemeriksaan radiologi konvensional.
Pada foto tengkorak potongan anteroposterior dan lateral, serta posisi waters
tampak jaringan lunak di daerah nasofaring. Pada foto dasar tengkorak ditemukan
destruksi atau erosi tulang daerah fossa serebri media.5

2. Pemeriksaan tomografi, CT Scan nasofaring.


Merupakan pemeriksaan yang paling dipercaya untuk menetapkan stadium tumor
dan perluasan tumor. Pada stadium dini terlihat asimetri dari resessus lateralis,
torus tubarius dan dinding posterior nasofaring. 5

3. Scan tulang dan foto torak untuk mengetahui ada tidaknya metastasis jauh.
4. Pemeriksaan serologi, berupa pemeriksaan titer antibodi terhadap virus Epstein-
Barr ( EBV ) yaitu lg A anti VCA (Viral Capsid Antigen) dan lg A anti EA.(Early
Antigen)

5. Pemeriksaan aspirasi jarum halus (FNAB), bila tumor primer di nasofaring


belum jelas dengan pembesaran kelenjar leher yang diduga akibat metastasis
karsinoma nasofaring.

6. Pemeriksaan darah tepi, fungsi hati, ginjal untuk mendeteksi adanya metastasis.

2.2.9. Diagnosis
Diagnosis KNF dapat ditegakkan berdasarkan hasil biopsi. Pemeriksaan CT-
scan daerah kepala dan leher dapat mengetahui tumor primer dan arah
perluasannya. Pemeriksaan serologi lg A anti EA dan lg A anti VCA (Viral
17

Capsid Agent) untuk infeksi EBV telah menunjukkan kemajuan dalam mendeteksi
karsinoma nasofaring. Diagnosa pasti ditegakkan dengan melakukan biopsy
nasofaring. Pasien yang kooperatif dengan massa yang jelas dapat dilakukan
biopsi dengan anestesi lokal, nasoendoskop kaku, dan biopsi forsep panjang.
Biopsi nasofaring dapat dilakukan dengan 2 cara dari hidung atau dari mulut.
Biopsi melalui hidung dilakukan tanpa melihat jelas tumornya (blind biopsy).
Cunam biopsi dimasukkan melalui rongga hidung menyulusuri konka media ke
nasofaring kemudian cunam diarahkan ke lateral dan dilakukan biopsi. Biopsi
melalui mulut dengan memakai bantuan kateter nelaton yang dimasukkan melalui
hidung dan ujung keteter yang berada dalam mulut ditarik keluar dan diklem
bersama-sama ujung keteter yang di hidung. Demikian juga dengan keteter yang
dihidung disebelahnya, sehingga palatum mole tertarik ke atas. Kemudian dengan
kaca laring dilihat daerah nasofaring. Biopsi dilakukan dengan melihat tumor
melalui kaca tersebut atau memakai nasofaringoskop yang dimasukkan melalui
mulut, massa tumor akan terlihat lebih jelas. Biopsi tumor nasofaring umumnya
dilakukan dengan anestesi topikal dengan xylocain 10%. Bila dengan cara ini
masih belum didapatkan hasil yang memuaskan maka dilakukan pengerokan
dengan kuret daerah lateral nasofaring dalam narkose.9, 10
Stadium Tumor
Klasifikasi TNM berdasarkan AJCC (American Joint Committee On
cancer, Edisi 7, 2010)
Tumor Primer (T)
TX : tumor tidak dapat dinilai
T0 : tidak terdapat tumor primer
Tis : karsinoma in situ
T1 : tumor terbatas pada nasofaring, atau tumor meluas ke orofaring
dan atau rongga hidung tanpa perluasan ke parafaringeal
T2 : Tumor dengan perluasan ke parafaringeal
T3 : Tumor melibatkan struktur tulang dari basis kranii dan atau sinus
paranasal
18

T4 : Tumor dengan peluasan intracranial dan atau keterlibatan saraf


kranial, hipofaring, orbita atau dengan perluasan ke fossa
infratemporal / masticator space
KGB Regional (N)
Nx : KGB regional tidak dapat dinilai
N0 : Tidak terdapat metastasis ke KGB regional
N1 : Metastasis unilateral di KGB, 6 cm atau kurang di atas fossa
supraklavikula
N2 : Metastasis bilateral di KGB, 6 cm atau kurang dalam dimensi
terbesar di atas fossa supraklavikula
N3 : Metastasis KGB, ukuran > 6 cm
N3a : Ukuran > 6 cm
N3b : Perluasan ke fossa supraklavikula
Metastasis Jauh (M)
MX : metastasis jauh tidak dapat dinilai
M0 : tidak terdapat metastasis jauh
M1 : terdapat metastasis jauh

Berdasarkan TNM tersebut, stadium dapat dibagi menjadi:


 Stadium I : T1 N0 M0
 Stadium II : T2 N0 M0
 Stadium III : T3 N0 M0
T1, T2, T3, N1 M0
 Stadium IV : T4 N0, N1 M0
T1 – T4 N2,N3 M0
T1 – T4 N0 – N3 M1

2.2.10. Penatalaksanaan
Stadium I : Radioterapi
Stadium II-III : Kemoradiasi
Stadium IV dengan N <6cm: Kemoradiasi
Stadium V dengan N >6cm : Kemoterapi dosis penuh dilanjutkan kemoradiasi
19

1. Radioterapi
Sampai saat ini radioterapi masih memegang peranan penting dalam
penatalaksanaan KNF. Modalitas utama untuk KNF adalah radioterapi dengan
atau tanpa kemoterapi. Radioterapi adalah metode pengobatan penyakit maligna
dengan menggunakan sinar peng-ion, bertujuan untuk mematikan sel-sel tumor
sebanyak mungkin dan memelihara jaringan sehat disekitar tumor agar tidak
menderita kerusakan terlalu berat. Karsinoma nasofaring bersifat radioresponsif
sehingga radioterapi tetap merupakan terapi terpenting. Jumlah radiasi untuk
keberhasilan melakukan radioterapi adalah 5.000 sampai 7.000 cGy.11, 12
Radioterapi dilakukan dengan radiasi eksterna, dapat menggunakan pesawat
kobal (Co60 ) atau dengan akselerator linier ( linier Accelerator atau linac).
Radiasi ini ditujukan pada kanker primer didaerah nasofaring dan ruang
parafaringeal serta pada daerah aliran getah bening leher atas, bawah serta
klavikula. Radiasi daerah getah bening ini tetap dilakukan sebagai tindakan
preventif sekalipun tidak dijumpai pembesaran kelenjar.
Dosis radiasi pada limfonodi leher tergantung pada ukuran sebelum
kemoterapi diberikan. Pada limfonodi yang tidak teraba diberikan radiasi sebesar
5000 cGy, <2 cm diberikan 6600 cGy, antara 2-4 cm diberikan 7000 cGy dan bila
lebih dari 4 cm diberikan dosis 7380 cGy, diberikan dalam 41 fraksi 5,5 minggu.
Dosis radiasi umumnya berkisar antara 6000 – 7000 rad, dalam waktu 6 – 7
minggu dengan periode istirahat 2 – 3 minggu 11, 12
Hasil pengobatan yang dinyatakan dalam angka respons terhadap penyinaran
sangat tergantung pada stadium tumor. Makin lanjut stadium tumor, makin
berkurang responsnya. Untuk stadium I dan II, diperoleh respons komplit 80% -
100% dengan terapi radiasi. Sedangkan stadium III dan IV, ditemukan angka
kegagalan respons lokal dan metastasis jauh yang tinggi, yaitu 50% - 80%. Angka
ketahanan hidup penderita KNF dipengaruhi beberapa faktor diantaranya yang
terpenting adalah stadium penyakit. Pasien KNF stadium III-IV yang hanya
diterapi dengan radiasi, angka harapan hidup 5 tahun (5 years survival rate)
kurang dari 25 %, dan pada pasien yang telah mengalami metastase ke limfonodi
regional, maka angka tersebut turun sampai 1-2%.11, 12
20

Komplikasi radioterapi dapat berupa :


a) Komplikasi dini
Biasanya terjadi selama atau beberapa minggu setelah radioterapi, seperti :
- Xerostomia - Mual-muntah
- Mukositis (nyeri telan, mulut kering, dan hilangnya cita rasa) kadang
diperparah dengan infeksi jamur pada mukosa lidah dan palatum
- Anoreksi
- Xerostamia (kekeringan mukosa mulut akibat disfungsi kelenjar parotis
yang terkena radiasi)
- Eritema

b) Komplikasi lanjut
Biasanya terjadi setelah 1 tahun pemberian radioterapi, seperti :
- Kontraktur
- Penurunan pendengaran
- Gangguan pertumbuhan

2. Kemoterapi
Secara definisi kemoterapi adalah segolongan obat-obatan yang dapat
menghambat pertumbuhan kanker atau bahkan membunuh sel kanker. Obat-obat
anti kanker dapat digunakan sebagian terapi tunggal (active single agents), tetapi
pada umumnya berupa kombinasi karena dapat lebih meningkatkan potensi
sitotoksik terhadap sel kanker. Selain itu sel – sel yang resisten terhadap salah satu
obat mungkin sensitive terhadap obat lainnya. Dosis obat sitostatika dapat
dikurangi sehingga efek samping menurun. Beberapa regimen kemoterapi yang
antara lain cisplatin, 5-Fluorouracil , methotrexate, paclitaxel dan docetaxel.
Tujuan kemoterapi untuk menyembuhkan pasien dari penyakit tumor ganas.
Kemoterapi bisa digunakan untuk mengatasi tumor secara lokal dan juga untuk
mengatasi sel tumor apabila ada metastasis jauh. 11, 12

Pemberian kemoterapi terbagi dalam 3 kategori : 11, 12


1. Kemoterapi adjuvan
21

Pemberian kemoterapi diberikan setelah pasien dilakukan radioterapi.


Tujuannya untuk mengatasi kemungkinan metastasis jauh dan meningkatkan
kontrol lokal. Terapi adjuvan tidak dapat diberikan begitu saja tetapi memiliki
indikasi yaitu bila setelah mendapat terapi utamanya yang maksimal ternyata:
-Kanker masih ada, dimana biopsi masih positif.
-Kemungkinan besar kanker masih ada, meskipun tidak ada bukti secara
makroskopis.
-Pada tumor dengan derajat keganasan tinggi. (oleh karena tingginya resiko
kekambuhan dan metastasis jauh).
2. Kemoterapi neoadjuvan
Pemberian kemoterapi adjuvant yang dimaksud adalah pemberian sitostatika
lebih awal yang dilanjutkan pemberian radiasi. Maksud dan tujuan pemberian
kemoterapi neoadjuvan untuk mengecilkan tumor yang sensitif sehingga setelah
tumor mengecil akan lebih mudah ditangani dengan radiasi.
Kemoterapi neoadjuvan telah banyak dipakai dalam penatalaksanaan kanker
kepala dan leher. Alasan utama penggunaan kemoterapi neoadjuvan pada awal
perjalanan penyakit adalah untuk menurunkan beban sel tumor sistemik pada saat
terdapat sel tumor yang resisten. Vaskularisasi intak sehingga perjalanan ke
daerah tumor lebih baik. Terapi bedah dan radioterapi sepertinya akan memberi
hasil yang lebih baik jika diberikan pada tumor berukuran lebih kecil. Teori ini
dapat disingkirkan karena akan terjadi peningkatan efek samping, durasinya, dan
beban biaya perawatan yang meningkat. Dan yang lebih penting, sel yang
bertahan setelah kemoterapi akan menjadi lebih tidak respon setelah dilakukan
radioterapi sesudahnya. Alasan praktis penggunaan kemoterapi adjuvan adalah
usaha untuk meningkatkan kemungkinan preservasi organ dan kesembuhan.
Regimen kemoterapi yang diberikan cisplatin 100 mg/m2 dengan kecepatan
infus 15- 20 menit perhari yang diberikan dalam 1 hari dan 5-FU 1000
mg/m2/hari secara intra vena, diulang setiap 21 hari. Sebelum pemberian
Cisplatin diawali dengan hidrasi berupa 1.000 mL saline 0,9% natrium. Manitol
40 g diberikan bersamaan dengan cisplatin infus. Setelah pemberian cisplatin,
dilakukan pemberian 2.000 mL 0,9% natrium garam mengandung 40 mEq kalium
klorida. Pasien diberikan antimuntah sebagai profilaksis yang terdiri dari 5-
22

hydroxytryptamine-3 reseptor antagonis ditambah 20 mg deksametason.


Berdasarkan penelitian pemberian neoadjuvan kemoterapi dalam 2-3 siklus yang
diberikan setiap 3 minggu dengan syarat bila adanya respon terhadap kemoterapi.
3. Kemoterapi concurrent
Kemoterapi diberikan bersamaan dengan radiasi. Umumnya dosis kemoterapi
yang diberikan lebih rendah. Biasanya sebagai radiosensitizer. Kemoterapi
sebagai terapi tambahan pada KNF ternyata dapat meningkatkan hasil terapi
terutama pada stadium lanjut atau pada keadaan relaps. Hasil penelitian
menggunakan kombinasi cisplatin radioterapi pada kanker kepala dan leher
termasuk KNF, menunjukkan hasil yang memuaskan. Cisplatin dapat bertindak
sebagai agen sitotoksik dan radiation sensitizer. Jadwal optimal cisplatin masih
belum dapat dipastikan, namun pemakaian seharihari dengan dosis rendah,
pemakaian 1 kali seminggu dengan dosis menengah, atau 1 kali 3 minggu dengan
dosis tinggi telah banyak digunakan. Agen kemoterapi telah digunakan pada
pasien dengan rekarens lokal dan metastatik jauh. Agen yang telah dipakai yaitu
metothrexat, bleomycin, 5 FU, cisplatin dan carboplatin merupakan agen yang
paling efektif dengan respon berkisar 15-31%. Agen aktif yang lebih baru
meliputi paklitaxel dan gemcitibine.

3. Operasi
Tindakan operasi pada penderita KNF berupa diseksi leher radikal dan
nasofaringektomi. Diseksi leher dilakukan jika masih terdapat sisa kelenjar paska
radiasi atau adanya kekambuhan kelenjar dengan syarat bahwa tumor primer
sudah dinyatakan bersih yang dibuktikan melalui pemeriksaan radiologi.
Nasofaringektomi merupakan suatu operasi paliatif yang dilakukan pada kasus-
kasus yang kambuh atau adanya residu pada nasofaring yang tidak berhasil
diterapi dengan cara lain. 11, 12

4. Imunoterapi
Dengan diketahuinya kemungkinan penyebab dari KNF adalah EBV, maka
pada penderita karsinoma nasofaring dapat diberikan imunoterapi. 11, 12
23

2.2.11. Prognosis
Prognosis diperburuk oleh beberapa faktor seperti:1
- Stadium yang lebih lanjut.
- Usia lebih dari 40 tahun
- Laki-laki dari pada perempuan
- Adanya pembesaran kelenjar leher
- Adanya kelumpuhan saraf otak dan adanya kerusakan tulang tengkorak
- Adanya metastasis jauh.
24

BAB III
LAPORAN KASUS

I. Identitas Pasien
Nama : Ny. A
Umur : 45 tahun
Agama : Islam
Jenis kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Jalan Kh. Azari, Lr. Kedukan, RT 20/RW 03 Kelurahan
Sula
Tanggal datang : Selasa, 14 Agustus 2018
No.RM : 39.86.27

II. Anamnesis
Keluhan Utama :
Penurunan pendengaran
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke poliklinik THT RSUD Palembang Bari dengan keluhan
gangguan penurunan pendengaran pada telinga kanan sejak 1 tahun yang lalu.
Riwayat trauma kepala (-), tinggal di tempat penuh kebisingan disangkal,
konsumsi obat-obatan ototoksik disangkal. Sebelumnya os pernah berobat ke
poli THT dan dikatan mengalami penurunan pendengaran karena faktor usia.
Pada 4 tahun yang lalu os berobat ke poli Penyakit Dalam dengan keluhan
benjolan di leher kanan sebesar telur ayam, keras, nyeri (+), susah menelan (-),
penurunan berat badan (-). Os didiagnosis dengan Limfadenitis TB dengan
pemeriksaan penunjang FNAB. Os diberikan terapi OAT selama 9 bulan
namun benjolan tidak mengecil dan semakin membesar. Kemudian Os berobat
ke Poli Bedah dan didiagnosis dokter dengan Kanker Nasofaring. Os dirujuk ke
RSMH untuk melakukan Radioterapi. Kemudian Os datang ke poli THT
dengan keluhan rasa mengganjal pada saat menelan, nyeri saat menelan (+),
25

suara parau (+), serta penurunan pendengaran pada telinga kanan. Os juga
pernah mengeluhksn mimisan. Lalu Os disarankan dokter untuk melakukan
tindakan operasi. Os datang ke poli THT lagi dengan keluhan benjolan sebesar
kelereng pada rahang bawah kanan dan didiagnosis dokter menderita kanker
nasofaring yang berulang. Kemudian os disarankan untuk dilakukan
pengangkatan benjolan dan melakukan radioterapi.

Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat asma, alergi, hipertensi, dan diabetes mellitus pada pasien disangkal.

Riwayat Pengobatan
Menkonsumsi OAT selama 9 bulan pada 4 tahun yang lalu

Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada keluhan yang serupa dalam riwayat keluarga

III. Pemeriksaan Fisik


 Status generalis
 Keadaan umum : Baik
 Kesadaran : Compos Mentis
 Vital Sign :
Tekanan Darah : 120/80 mmHg
Nadi : 82 x/menit
Pernapasan : 22 x/menit
Suhu : 36,6C

 Status lokalis
 Telinga
Bagian Telinga Telinga kanan Telinga kiri
Deformitas (-), hiperemis Deformitas (-), hiperemis
Aurikula
(-), edema (-) (-), edema (-)
Daerah preaurikula Hiperemis (-), edema (-), Hiperemis (-), edema (-),
26

fistula (-), abses (-), nyeri fistula (-), abses (-), nyeri
tekan tragus (-) tekan tragus (-)
Hiperemis (-), edema (-), Hiperemis (-), edema (-),
Daerah
fistula (-), abses (-), nyeri fistula (-), abses (-), nyeri
retroaurikula
tekan (-) tekan (-)
Serumen (+), edema (-), Serumen (+), edema (-),
Meatus akustikus hiperemis (-), furunkel (-), hiperemis (-), furunkel (-),
otorea (-) sekret (-), otorea (-).
Retraksi (-), bulging (-), Retraksi (-), buldging (-),
perforasi (-), cone of light perforasi (-), cone of light
Membran timpani
(+), mengarah kearah (+), mengarah ke arah
jarum jam 5, Injeksi (+) jarum jam 7, Injeksi (-)
Kesan :
- Telinga kiri dalam batas normal
- Telinga kanan dalam batas normal

 Hidung

Pemeriksaan Hidung Hidung Kanan Hidung Kiri


Hidung Luar Bentuk (N), Inflamasi (-), nyeri Bentuk (N), Inflamasi (-), nyeri
tekan (-), deformitas (-). tekan (-), deformitas (-).

Rinoskopi Anterior
Vestibulum N N
Dasar kavum nasi media Bentuk (N), mukosa pucat. Bentuk (N), mukosa pucat.
Meatus nasi media Mukosa merah media (+), Mukosa merah media (+),
lapang, edema (-), sekret (-), lapang, edema (-), sekret (-),
massa (-) massa (-)
Meatus nasi inferior Mukosa merah muda (+), Mukosa merah media (+),
lapang, edema (-), sekret (-), lapang, edema (-), sekret (-),
massa (-) massa (-)
Konka nasi inferior Mukosa edema (-), eutrofi, Mukosa edema (-), eutrofi,
27

berwarna pucat, sekret (-), berwarna pucat, sekret (-),


massa (-) massa (-)
Septum nasi Deviasi (-), benda asing (-), Deviasi (-), benda asing (-),
perdarahan (-). perdarahan (-).

 Mulut Dan Orofaring


Bagian Kelainan Keterangan
Mukosa mulut hiperemis (-), massa (-)
Lidah

Mulut Palatum molle Tenang, simetris, Hiperemis (-)


Gigi geligi Caries (-)
Uvula Simetris
Halitosis (-)
Mukosa Tenang
Besar T1 – T1
Kripta : Normal - Normal
Detritus : (-/-)
Tonsil
Perlengketan (-/-)

Mukosa Hiperemis (-), edema (-), massa (-),


Faring
granul (-), ulkus (-)

 Maksilofasial
Bentuk : Simetris
Nyeri tekan: -

 Leher
Kelenjar getah bening : Tidak teraba pembesaran KGB
28

Massa: Tidak ada


 FNAB
Tanggal 25 Januari 2014:
Makroskopik : nodul di regio coli lateral dextra, ukuran 1 x 1 cm, mobile
Mikroskopik: sediaan sitologi FNAB pada regio coli lateral dextra, populasi
sel banyak, terdiri dari sel-sel limfoid berbgai tingkat perkembangan, sel
epiteloit tersebar satu-satu, nekrosis perkijuan minimal, sel radang PMN, sel
plasma, sel makrofag, massa amorf basofilik, dengan latar belakang sel RBC.
Tak dijumpai sel-sel ganas pada sediaan ini.
Kesan; Limfadenitis Kronik Granulomatous ec suspect Tuberculosis pada
regio coli lateral dextra

IV. DIAGNOSIS
Ca Nasopharynx

V. PENGELOLAAN DAN TERAPI


Penatalaksanaan untuk karsinoma nasofaring adalah radioterapi
dengan atau tanpa kemoterapi. Pengobatan pilihan terhadap tumor ganas
nasofaring adalah radiasi, karena kebanyakan tumor ini tipe anaplastik yang
bersifat radiosensitif. Radioterapi dilakukan dengan radiasi eksterna, dapat
menggunakan pesawat kobal (Co60 ) atau dengan akselerator linier ( linier
Accelerator atau linac). Radiasi ini ditujukan pada kanker primer didaerah
nasofaring dan ruang parafaringeal serta pada daerah aliran getah bening
leher atas, bawah serta klavikula. Radiasi daerah getah bening ini tetap
dilakukan sebagai tindakan preventif sekalipun tidak dijumpai pembesaran
kelenjar.

VII. PROGNOSIS
Quo ad vitam : Dubia ad bonam
Quo ad functionam : Dubia ad bonam
29

BAB IV
PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik yang dilakukan,


ditegakkan diagnosis kerja karsinoma nasofaring. Hasil anamnesis yang
mendukung adalah Pasien datang ke poliklinik THT RSUD Palembang Bari
dengan keluhan gangguan penurunan pendengaran pada telinga kanan sejak 1
tahun yang lalu. Riwayat trauma kepala (-), tinggal di tempat penuh kebisingan
disangkal, konsumsi obat-obatan ototoksik disangkal. Sebelumnya os pernah
berobat ke poli THT dan dikatan mengalami penurunan pendengaran karena
faktor usia. Pada 4 tahun yang lalu os berobat ke poli Penyakit Dalam dengan
keluhan benjolan di leher kanan sebesar telur ayam, keras, nyeri (+), susah
menelan (-), penurunan berat badan (-). Os didiagnosis dengan Limfadenitis
TB dengan pemeriksaan penunjang FNAB. Os diberikan terapi OAT selama 9
bulan namun benjolan tidak mengecil dan semakin membesar. Kemudian Os
berobat ke Poli Bedah dan didiagnosis dokter dengan Kanker Nasofaring. Os
dirujuk ke RSMH untuk melakukan Radioterapi. Kemudian Os datang ke poli
THT dengan keluhan rasa mengganjal pada saat menelan, nyeri saat menelan
(+), suara parau (+), serta penurunan pendengaran pada telinga kanan. Os juga
pernah mengeluhkan mimisan. Lalu Os disarankan dokter untuk melakukan
tindakan operasi. Os datang ke poli THT lagi dengan keluhan benjolan sebesar
kelereng pada rahang bawah kanan dan didiagnosis dokter menderita kanker
nasofaring yang berulang. Kemudian os disarankan untuk dilakukan
pengangkatan benjolan dan melakukan radioterapi.
Berdasarkan teori, gejala kanker nasofaring dapat dibagi menjadi 4
kelompok, yaitu gejala nasofaring sendiri, gejala telinga, gejala mata dan saraf,
serta metastasis atau gejala dileher. Gejala nasofaring dapat berupa epistaksis
ringan atau sumbatan hidung, untuk itu nasofaring harus diperiksa secara
cermat, kalau perlu dengan nasofaringoskop, karena sering gejala belum ada
sedangkan tumor sudah tumbuh atau tumor tidak tampak karena masih terdapat
dibawah mukosa (creeping tumor).
30

Pada kasus ini terdapat gejala nasofaring yaitu terdapat keluhan rasa
mengganjal pada saat menelan, nyeri saat saat menelan, serta ada mimisan.
Adapun gejala telinga yaitu pasien mengeluhkan terjadi penurunan
pendengaran pada telinga kanan. Sudah terdapat metastasis yaitu benjolan pada
rahang bawah kanan yang sebelumnya benjolan tersebut muncul pada leher
kanan.
Pada pemeriksaan FNAB ditemukan Makroskopik : nodul di regio coli
lateral dextra, ukuran 1 x 1 cm, mobile Mikroskopik: sediaan sitologi FNAB
pada regio coli lateral dextra, populasi sel banyak, terdiri dari sel-sel limfoid
berbgai tingkat perkembangan, sel epiteloit tersebar satu-satu, nekrosis
perkijuan minimal, sel radang PMN, sel plasma, sel makrofag, massa amorf
basofilik, dengan latar belakang sel RBC. Tak dijumpai sel-sel ganas pada
sediaan ini. Kesan; Limfadenitis Kronik Granulomatous ec suspect
Tuberculosis pada regio coli lateral dextra.
Berdasarkan teori Biopsi tumor perlu dilakukan untuk menegakkan
diagnosis karsinoma nasofaring. Patologi pada KNF dapat ditinjau secara
makroskopis dan mikroskopis. Makroskopis Secara makroskopis, pertumbuhan
KNF dibedakan menjadi 3 bentuk yaitu Ulseratif yang biasanya berupa lesi
kecil disertai jaringan nekrotik. Nodular,, Biasanya berbentuk anggur atau
polipoid tanpa adanya ulserasi tetapi kadang-kadang terjadi ulserasi kecil.
Eksofitik, Biasanya non-ulseratif, tumbuh pada satu sisi nasofaring, kadang-
kadang bertangkai dan permukaan licin.
Mikroskopis biasa terdapat perubahan Perubahan pra keganasan.
Perubahan ini merupakan sebagai kondisi dari jaringan atau organ yang
tumbuh menjadi ganas secara perlahan. Dari penelitian Li dan Chen (1976)
ditemukan adanya hiperplasia dari sel-sel nasofaring yang berkembang kearah
keganasan. Perubahan patologik pada mukosa nasofaring seperti Reaksi
radang, Hiperplasia pada lapisan sel mukosa kelenjar dan salurannya maupun
pada jaringan limfoid. Hiperplasia kelenjar sering dihubungkan dengan proses
radang, Metaplasia pada epitel kolumnar nasofaring berupa perubahan kearah
epitel skuamosa bertingkat dan Neoplasia.
31

Klasifikasi gambaran histopatologi yang direkomendasikan oleh


Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), dibagi atas 3 tipe, yaitu :
1. Karsinoma sel skuamosa (KSS) berkeratinisasi (Keratinizing Squamous Cell
Carcinoma) Tipe ini dapat dibagi lagi menjadi diferensiasi baik, sedang dan
buruk.
2. Karsinoma non-keratinisasi (Nonkeratinizing Carcinoma) Pada tipe ini
dijumpai adanya diferensiasi, tetapi tidak ada diferensiasi sel skuamosa tanpa
jembatan intersel. Pada umumnya batas sel cukup jelas.
3. Karsinoma tidak berdiferensiasi (Undifferentiated Carcinoma)
Pada pasien ini hasil dari FNAB menunjukan abhwa pasien ini menderita
limfadenitis TB kronik. Seharusnya dapat dilakukan pemeriksaan ulang dari
FNAB setelah dilakukan pemberian terapi OAT serta dapat dilakukan untuk
pemeriksaan penunjnag lainnya seperti pemeriksaan radiologi, CT Scan,
mapun serologi.
Pada Pemeriksaan radiologi konvensional foto tengkorak potongan
anteroposterior dan lateral, serta posisi waters tampak jaringan lunak di daerah
nasofaring. Pada foto dasar tengkorak ditemukan destruksi atau erosi tulang
daerah fossa serebri media. Pemeriksaan tomografi, CT Scan nasofaring
merupakan pemeriksaan yang paling dipercaya untuk menetapkan stadium
tumor dan perluasan tumor. Pada stadium dini terlihat asimetri dari resessus
lateralis, torus tubarius dan dinding posterior nasofaring. Scan tulang dan foto
torak untuk mengetahui ada tidaknya metastasis jauh serta Pemeriksaan
serologi, berupa pemeriksaan titer antibodi terhadap virus Epstein-Barr ( EBV )
yaitu lg A anti VCA (Viral Capsid Antigen) dan lg A anti EA.(Early Antigen).
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan, didapatkan bahwa tumor pada
pasien terdapat di nasofaring yang meluas ke orofaring tanpa perluasan ke
parafaringeal atau T1. Terdapat metastasis unilateral di KGB pada rahang
kanan bawah, dengan ukuran kurang dari 6 cm menandakan klasifikasi N1.
Serta tidak terdapat metastasis jauh atau klasifikasi M0. Berdasarkan hasil
tersebut, stadium karsinoma nasofaring pada pasien ini adalah T1/N1/M0 yang
diklasifikasikan sebagai stadium III.
32

Penatalaksanaan untuk karsinoma nasofaring adalah radioterapi dengan


atau tanpa kemoterapi. Sampai saat ini radioterapi masih memegang peranan
penting dalam penatalaksanaan KNF. Modalitas utama untuk KNF adalah
radioterapi dengan atau tanpa kemoterapi. Radioterapi adalah metode
pengobatan penyakit maligna dengan menggunakan sinar peng-ion, bertujuan
untuk mematikan sel-sel tumor sebanyak mungkin dan memelihara jaringan
sehat disekitar tumor agar tidak menderita kerusakan terlalu berat. Karsinoma
nasofaring bersifat radioresponsif sehingga radioterapi tetap merupakan terapi
terpenting. Dosis radiasi pada limfonodi dengan Dosis radiasi umumnya
berkisar antara 6000 – 7000 rad, dalam waktu 6 – 7 minggu dengan periode
istirahat 2 – 3 minggu. Kemoterapi, Tujuan kemoterapi untuk menyembuhkan
pasien dari penyakit tumor ganas. Kemoterapi bisa digunakan untuk mengatasi
tumor secara lokal dan juga untuk mengatasi sel tumor apabila ada metastasis
jauh. Beberapa regimen kemoterapi yang antara lain cisplatin, 5-Fluorouracil ,
methotrexate, paclitaxel dan docetaxel. Tindakan operasi pada penderita KNF
berupa diseksi leher radikal dan nasofaringektomi. Diseksi leher dilakukan jika
masih terdapat sisa kelenjar paska radiasi atau adanya kekambuhan kelenjar
dengan syarat bahwa tumor primer sudah dinyatakan bersih yang dibuktikan
melalui pemeriksaan radiologi.
33

BAB V
KESIMPULAN

Dari laporan kasus ini, dapat disimpulkan bahwa:


1. Diagnosis pada kasus ini sudah tepat. Diagnosis ini ditegakan berdasarkan
anamnesis pada pasien. Namun pada kasus ini tidak dilakukan pemeriksaan
penunjang lain selain FNAB. Pemeriksaan FNAB pada kasus ini tidak
menunjang tegaknya diagnosis Kanker Nasofaring
2. Penatalaksaan pada pasien ini sudah tepat yaitu, radioterapi untuk
mematikan sel-sel tumor sebanyak mungkin dan memelihara jaringan sehat
disekitar tumor agar tidak menderita kerusakan terlalu berat dan operasi
pengangkatan tumor.
34

DAFTAR PUSTAKA

1. Adham, M. Dan Rozein, A. 2007. Karsinoma Nasofaring, dalam Buku Ajar


Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher Edisi Keenam.
Jakarta: FKUI. Hal:182-187.
2. Munir M. Keganasan di bidang telinga hidung tenggorok. Dalam: Buku ajar
ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala leher, ed 6, Jakarta:Balai
Penerbit FKUI;2007. 162.
3. Ma J, Liu L, Tang L, Zong J, Lin A, Lu T, et al. Retropharyngeal lymphnode
metastasis in NPC: prognostic value and staging categories. Clin cancer Res
2007; 13(5).
4. M Abduh Firdaus; Jon Prijadi, Kemoterapi Neoadjuvan pada Karsinoma
Nasofaring, Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher
, Fakultas Kedokteran Universitas Andalas,
5. National Cancer Institute at the national institutes of health, 2011.
Nasopharyngeal Cancer Treatment (PDQ®). USA: National Cancer
Institute. Diunduh:
http://www.cancer.gov/cancertopics/pdq/treatment/nasopharyngeal/Patie
nt/All Pages/Print.
6. Roezin, A., dan Marlinda A. 2010. Karsinoma Nasofaring. dalam: Soepardi,
Efianty A., Nurbaiti I., Jenny B., dkk. 2010. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga-Hidung- Tenggorok Kepala Leher edisi keenam. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 182-187.
7. Desen, W., 2008. Buku ajar onkologi klinis edisi kedua. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 263-278.
8. World Health Organization. 2005. World Health Organization Classification
Head and Neck Tumours. Lyon: IARC Press. Available at:
www.iarc.fr/IARCPress/pdfs/index1.php accessed: 19 December 2011.
9. Vokes EE, Liebowitz DN, Weichselbaum RR. Nasopharyngeal carcinoma.
Lancet 1997; 350: 1087-1091.
35

10. Prasetyo A, Wiratno. Kanker kepala leher berdasarkan diagnosis patologi


anatomi di RSUP Dr. Kariadi tahun 2002 –2006. Prosiding Konas
Perhati- KL; 2007; Surabaya.
11. Asroel HA. Penatalaksanaan Radioterapi pada Karsinoma Nasofaring. USU
digital library 2002.
12. Lee N, Chan K. Benign & Malignant Lesions of The Nasopharynx. Current
Diagnosis and Treatment in Otolaryngology-Head and Neck Surgery. 2nd
ed. McGraw-Hill Co, Inc. 2008. p362-6.

Anda mungkin juga menyukai