Anda di halaman 1dari 40

FATWA MUI DALAM MENDUKUNG

PELAKSANAAN PROGRAM IMUNISASI


DI JAWA TENGAH


PROF. DR. H. AHMAD ROFIQ, MA.


NIP. 19590714 1986031004
Pembina Utama, IV/e.
Wakil Ketua Umum MUI Jawa Tengah, Direktur

Dipresentasikan pada acara Pertemuan Advokasi dan Sosialisasi Vaccsine Baru


IPV bagi Kasi yang Membidangi Imunisasi Dinas Kesehatan, Ketua Muslimat/
Fatayat, dan Ketua Aisy iyah Kabupaten/Kota se-Jawa Tengah
Semarang, Hotel Noorman, 17-19 Agustus 2016
‫ﺑﺴﻢ ﺍاﻟﻠﻪﮫ ﺍاﻟﺮﺣﻤﻦ ﺍاﻟﺮﺣﻴﯿﻢ‬

BEROBAT HARUS
MENGGUNAKAN SARANA
YANG HALAL

BEROBAT DENGAN YANG HALAL

◻ Dalam fiqih Islam, berobat harus menggunakan


barang yang halal. Ditegaskan, Allah tidak
menjadikan obat pada barang yang haram.
◻ Untuk menghasilkan produk halal, di samping
bahannya (dzat) harus halal, proses produksinya,
pengolahan – atau sembelihannya – dan
packingnya, juga terjaga dari kontaminasi bahan
haram dan/atau najis.
◻ Bahkan dalam setiap tahapan ada ekspedisinya
guna kontrol dan pengendalian kehalalan barang,
tidak tercapur bahan tambahan/olahan yang
haram.
Dasar Normatif

‫َاء َد َوا ًء فَتَدَا َو ْوا َو َال تَدَا َو ْوا ِبحَ َرام ٍ )رواه أبو‬ٍ ‫ن اهللََّ أَنْزَ َل الدَّا َء َوال َّد َوا َء َوجَ ع ََل لِ ُك ِّل د‬
َّ ِ‫إ‬ ◻

(‫داوود عن أبي الدرداء‬


“Allah telah menurunkan penyakit dan obat, serta menjadikan obat bagi setiap ◻
penyakit; maka, berobatlah dan janganlah berobat dengan benda yang
haram.” (HR. Abu Daud dari Abu Darda).”
َ ‫شفَا َء ُك ْم ِفيمَ ا حَ َّر َم‬
‫ع َليْ ُك ْم‬ ِ ‫ن اهللََّ َل ْم يَجْ ع َْل‬ َّ ِ‫إ‬ ◻

“Allah tidakmenjadikan obatmu pada sesuatu yang diharamkan atasmu” ◻

َ ‫ن َكا‬
‫ن‬ َ ‫ن فَمَ اتَتْ فَ َق‬
ْ ِ‫ال إ‬ ٍ ْ‫سم‬َ ‫ع ْن فَأ ْ َر ٍة َو َق َعتْ ِفي‬ َ ‫ع َلي ِْه َو‬
َ ‫س َّل َم‬ َ َُّ‫ص َّلى اهلل‬ ُ ‫س‬
َ َِّ‫ول اهلل‬ ُ ‫س ِئ َل َر‬ ُ ◻

‫َائعًا فَ َال تَأ ْ ُك ُلوهُ )رواه أحمد عن‬ ِ ‫نم‬ َ ‫ن َكا‬ْ ِ‫خذُوهَا َومَا حَ وْ َلهَا َو ُك ُلوا مَا ب َِقيَ َو إ‬ ُ َ‫امدًا ف‬ ِ َ‫ج‬
(‫أبي هريرة‬
“Rasulullah SAW ditanya tentang tikus yang jatuh ke dalam keju. Beliau SAW ◻
menjawab: ”Jika keju itu keras (padat), buanglah tikus itu dan keju sekitarnya,
dan makanlah (sisa) keju tersebut; namun jika keju itu cair, maka janganlah kamu
memakannya” (HR. Ahmad dari Abu Hurairah).
‫نهى رسول اهلل صلى اهلل عليه وسلم عن الدواء الخبيث‬ ◻

Rasulullah saw melarang berobat dengan obat yang kotor ◻


Prinsip Pengobatan Halal
◻ Pada prinsipnya pengobatan harus dilakukan dengan
barang yang halal.
◻ Penggunaan barang halal tidak terbatas pada
dzatnya, melainkan juga di dalam proses produksinya.
◻ Barang yang halal, jika diproduksi dengan melalui
proses yang tidak benar secara fikih, misalnya
menggunakan bahan baku atau bahan penolong
yang haram/najis maka hukumnya tetap haram
sepanjang belum dilakukan penyucian secara syar'i.
◻ Hal ini berlaku umum, baik bagi makanan, minuman,
maupun obat-obatan yang kepentingannya untuk
dikonsumsi.
RUMUS HALAL
BARANG/DZAT PROSES, PRODUKSI, STATUS
PACKAGING

HALAL HALAL HALAL

HALAL HARAM HARAM

HARAM HALAL HARAM

HARAM HARAM HARAM


BEBERAPA FATWA DAN
KEPUTUSAN MUI TENTANG
IMUNISASI DAN YANG TERKAIT


(1) Fatwa tentang Makanan dan Minuman yang
Bercampur dengan Barang Haram/Najis (1 Juni 1980)

1. Setiap makanan dan minuman yang jelas bercampur


dengan barang haram/najis hukumnya haram.
2. Setiap makanan dan minuman yang diragukan
bercampur dengan barang haram/najis hendaknya
ditinggalkan.
3. Adanya makanan dan minuman yang diragukan
bercampur dengan barang haram/najis hendaklah
Majelis Ulama Indonesia meminta kepada instansi
yang bersangkutan memeriksanya di laboratorium
untuk dapat ditentukan hukumnya.
(2) PENGGUNAAN ORGAN TUBUH, ARI-ARI, dan AIR SENI MANUSIA BAGI
KEPENTINGAN OBAT-OBATAN DAN KOSMETIKA Tahun 2000

◻ Dalam fatwa ini, yang dimaksud dengan


a. penggunaan obat-obatan adalah mengkonsumsinya sebagai pengobatan dan bukan
menggunakan obat pada bagian luar tubuh;
b. penggunaan air seni adalah meminumnya sebagai obat;
c. penggunaan kosmetika adalah memakai alat kosmetika pada bagian luar tubuh
dengan tujuan perawatan tubuh atau kulit agar tetap --atau menjadi-- baik dan indah;
d. dharurat adalah kondisi-kondisi keterdesakan yang bila tidak dilakukan akan dapat
mengancam eksistensi jiwa manusia.
◻ Penggunaan obat-obatan yang mengandung atau berasal dari bagian organ manusia (juz'ul-
insan) hukumnya adalah haram.
◻ Penggunaan air seni manusia untuk pengobatan, seperti disebut pada butir 1.b hukumnya
adalah haram.
◻ Penggunaan kosmetika yang mengandung atau berasal dari bagian organ manusia hukumnya
adalah haram.
◻ Hal-hal tersebut pada butir 2, 3, dan 4 di atas boleh dilakukan dalam keadaan dharurat
syar’iyah.
◻ Menghimbau kepada semua pihak agar tidak memproduksi atau menggunakan obat-obatan
atau kosmetika yang mengandung unsur bagian organ manusia, atau berobat dengan air seni
manusia.
(3) FATWA TENTANG PENGGUNAAN VAKSIN POLIO
KHUSUS (IPV) Tahun 2002

1. Pada dasarnya, penggunaan obat-


obatan, termasuk vaksin, yang berasal
dari --atau mengandung-- benda najis
ataupun benda terkena najis adalah
haram.
2. Pemberian vaksin IPV kepada anak-anak
yang menderita immunocompromise, pada
saat ini, dibolehkan, sepanjang belum
ada IPV jenis lain yang suci dan halal.
(4) PENGGUNAAN VAKSIN POLIO ORAL (OPV)
Tahun 2005

◻ Pada dasarnya, penggunaan obat-obatan,


termasuk vaksin, yang berasal dari --atau
mengandung-- benda najis ataupun benda
terkena najis adalah haram.
◻ Pemberian vaksin OPV kepada seluruh balita,
pada saat ini, dibolehkan, sepanjang belum
ada OPV jenis lain yang produksinya
menggunakan media dan proses yang sesuai
dengan syariat Islam.
Rekomendasi Fatwa
◻ Pemerintah hendaknya mengupayakan secara maksimal,
bersama WHO dan negara-negara Islam dan/atau
berpenduduk muslim, agar memproduksi vaksin polio yang
sesuai dengan syariat Islam.
◻ Ada alasan mengapa status hukum menggunakan vaksin
bisa boleh dan tidak boleh? Dalam bahasa fiqih, ada
alasan (‘illat) hukum. Sebagaimana dalam kaidah:
◻ ‫الحكم يدور مع علته وجودا وعدما‬
◻ “hukum itu berjalan/beredar beserta alasan (argumentasi)
hukumnya, adanya atau tidak adanya”.
(5) Standardisasi Fatwa Halal (Bab Media
Pertumbuhan) Tahun 2003

◻ Mikroba yang tumbuh dan berasal dari media pertumbuhan yang


suci dan halal adalah halal dan mikroba yang tumbuh dan
berasal dari media pertumbuhan yang najis dan haram adalah
haram.
◻ Produk mikrobial yang langsung dikonsumsi yang menggunakan
bahan-bahan yang haram dan najis dalam media
pertumbuhannya, baik pada skala penyegaran, skala pilot plant,
dan tahap produksi, hukumnya haram.
◻ Produk mikrobial yang digunakan untuk membantu proses
memproduksi produk lain yang langsung dikonsumsi dan
menggunakan bahan-bahan haram dan najis dalam media
pertumbuhannya, hukumnya haram.
◻ Produk konsumsi yang menggunakan produk mikrobial harus
ditelusuri kehalalannya sampai pada tahap proses penyegaran
mikroba.
(6) PENGGUNAAN MIKROBA DAN PRODUK MIKROBIAL
DALAM PRODUK PANGAN (2010)

1. Mikroba pada dasarnya halal selama tidak membahayakan dan tidak


terkena barang najis.
2. Mikroba yang tumbuh pada media pertumbuhan yang suci hukumnya halal.
3. Mikroba yang tumbuh pada media pertumbuhan yang najis, apabila dapat
dipisahkan antara mikroba dan medianya maka hukumnya halal setelah
disucikan.
4. Produk mikrobial dari mikroba yang tumbuh pada media pertumbuhan yang
suci hukumnya halal.
5. Produk mikrobial dari mikroba yang tumbuh pada media pertumbuhan yang
najis, apabila dapat dipisahkan antara mikroba dan medianya maka
hukumnya halal setelah disucikan.
6. Mikroba dan produk mikrobial dari mikroba yang memanfaatkan unsur babi
sebagai media pertumbuhan hukumnya haram.
7. Mikroba dan produk mikrobial dari mikroba yang tumbuh pada media
pertumbuhan yang terkena najis kemudian disucikan secara syar'i (tathhir
syar'an), hukumnya halal.
(7) FATWA Tentang OBAT DAN PENGOBATAN 

Nomor : 30 Tahun 2013

1. Islam mensyariatkan pengobatan karena ia bagian


dari perlindungan dan perawatan kesehatan sebagai
ikhtiyar manusia yang merupakan bagian dari upaya
menjaga Al-Dharuriyat Al-Khams.
2. Dalam ikhtiar mencari kesembuhan wajib
menggunakan metode pengobatan yang tidak
melanggar syariat.
3. Obat yang digunakan untuk kepentingan pengobatan
wajib menggunakan bahan yang suci dan halal.
4. Penggunaan bahan najis atau haram dalam obat-
obatan hukumnya haram.
Lanjutan...
5. Penggunaan obat yang berbahan najis atau haram untuk
pengobatan hukumnya haram kecuali memenuhi syarat sebagai
berikut:
• digunakan pada kondisi keterpaksaan (al-dlarurat), yaitu kondisi
keterpaksaan yang apabila tidak dilakukan dapat mengancam
jiwa manusia, atau kondisi keterdesakan yang setara dengan
kondisi darurat (al-hajat allati tanzilu manzilah al-dlarurat), yaitu
kondisi keterdesakan yang apabila tidak dilakukan maka akan
dapat mengancam eksistensi jiwa manusia di kemudian hari;
• belum ditemukan bahan yang halal dan suci; dan
• adanya rekomendasi paramedis yang kompeten dan terpercaya
bahwa tidak ada obat yang halal.
6. Penggunaan obat yang berbahan najis atau haram untuk
pengobatan luar hukumnya boleh dengan syarat dilakukan
pensucian.
Rekomendasi Fatwa
1. Meminta kepada Pemerintah untuk menjamin ketersediaan
obat-obatan yang suci dan halal sebagai bentuk perlindungan
terhadap keyakinan keagamaan, di antaranya dengan
menyusun regulasi dengan menjadikan fatwa ini sebagai
pedoman.
2. Menghimbau kepada pelaku usaha dan pihak-pihak terkait
untuk memperhatikan unsur kehalalan obat dan tidak serta-
merta menganalogikan penggunaan obat sebagai kondisi
darurat.
3. LPPOM diminta untuk tidak mensertifikasi halal obat-obatan
yang berbahan haram dan najis.
4. Menghimbau kepada masyarakat agar dalam pengobatan
senantiasa menggunakan obat yang suci dan halal.
(8) HASIL IJTIMA ULAMA KOMISI FATWA SE-
INDONESIA 2015
1. Imunisasi pada dasarnya dibolehkan sebagai bentuk ikhtiyar untuk mencegah
terjadinya suatu penyakit tertentu.
2. Imunisasi sebagai wujud terapi pencegahan penyakit, wajib menggunakan vaksin
yang halal dan suci.
3. Penggunaan vaksin imunisasi yang berbahan haram dan/atau najis hukumnya
haram.
4. Imunisasi dengan vaksin yang haram dan/atau najis dibolehkan dengan syarat
sebagai berikut:
1. digunakan pada kondisi keterpaksaan (al-dlarurat), yaitu kondisi keterpaksaan
yang apabila tidak dilakukan dapat mengancam jiwa manusia, atau kondisi
keterdesakan yang setara dengan kondisi darurat (al-hajat tanzilu manzilah al-
dlarurat), yaitu kondisi keterdesakan yang apabila tidak dilakukan maka akan
dapat mengancam kelangsungan hidup seseorang secara wajar;
2. belum ditemukan bahan yang halal dan suci; dan

5. adanya rekomendasi tenaga medis yang kompeten dan terpercaya bahwa tidak
ada vaksin yang halal.
REKOMENDASI IJTIMA’ ULAMA
◻ Pemerintah wajib menjamin pemeliharaan kesehatan
masyarakat, baik melalui pendekatan promotif,
preventif, kuratif, maupun rehabilitatif.
◻ Pemerintah wajib menjamin ketersediaan vaksin
halal untuk kepentingan imunisasi bagi masyarakat.
◻ Pemerintah harus segera mengimplementasikan
keharusan sertifikasi halal seluruh obat
sebagaimana diamanahkan oleh Undang-Undang
Jaminan Produk Halal.
FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA Nomor : 04 Tahun
2016 Tentang IMUNISASI

Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) setelah: Menimbang :


a. bahwa ajaran Islam sangat mendorong umatnya untuk
senantiasa menjaga kesehatan, yang dalam prakteknya dapat
dilakukan melalui upaya preventif agar tidak terkena penyakit
dan berobat manakala sakit agar diperoleh kesehatan
kembali, yaitu dengan imunisasi;
b. bahwa imunisasi, sebagai salah satu tindakan medis untuk
mencegah terjangkitnya penyakit tertentu, bermanfaat untuk
mencegah penyakit berat, kecacatan dan kematian;
c. bahwa ada penolakan sebagian masyarakat terhadap
imunisasi, baik karena pemahaman keagamaan bahwa praktek
imunisasi dianggap mendahului takdir maupun karena vaksin
yang digunakan diragukan kehalalannya;
d. bahwa atas dasar pertimbangan di atas, maka dipandang
perlu menetapkan fatwa tentang imunisasi untuk digunakan
sebagai pedoman.
Lanjutan…
◻ Mengingat : 1. Firman Allah SWT, antara lain:
◻ 195 : (2) ‫من أحيا الناس فكأنما أحيا الناس جميعا البقرة‬
“Barang siapa yang menghidupkan seseorang, maka dia
bagaikan menghidupkan manusia semuanya”. QS. Al-Maidah
[5]: 32
… ‫وال تلقوا بأيديكم الى التهلكة‬
Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam
kebinasaan… QS Al-Baqarah [2]: 195
‫◻ ياأيها الناس كلوا مما في األرض حالال طيبا وال تتبعوا خطوات الشيطان إنه‬
168 :(2) ‫لكم عدو مبني البقرة‬
Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa ◻
yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah
syaitan, karena sesungguhnya ia bagimu adalah musuh yang
nyata”. (QS. Al-Baqarah (2): 168).
Lanjutan…

◻ ‫وليخش الذين لو تركوا من خلفهم ذرية ضعافا خافوا عليهم فليتقوا اهلل وليقولوا قوال‬
9 : (4) ‫سديدا النساء‬
◻ “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya
meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang
mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu
hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka
mengucapkan perkataan yang benar. (QS. Al-Nisa: 9)”.
◻ ‫إنما حرم عليكم امليتة والدم ولحم الخنزير وما أهل لغير اهلل فمن اضطر غير باغ وال‬
173 : (2) ‫عاد فال إثم عليه إن اهلل غفور رحيم البقرة‬
◻ “Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah,
daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama)
selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa
(memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula)
melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS. Al-Baqarah [2]:
173)”.
Lanjutan…
◻ Hadis-hadis Nabi SAW, antara lain:
◻ ‫عن أبي هريرة عن النبي قال إن اهلل ال ينزل داء اال ينزل دواء رواه‬
‫البخاري‬
◻ Dari Abu Hurairah RA, dari Nabi SAW: Sesungguhnya
Allah tidak menurunkan suatu penyakit kecuali menurunkan
(pula) obatnya”. (HR. al-Bukhari).
◻ ‫تداووا فإن اهلل ال ينزل داء اال ينزل دواء اال الهرم رواه أبو داود‬
‫والترمذي والنسائي وابن ماجة‬
◻ “Berobatlah, karena Allah tidak menjadikan penyakit
kecuali menjadikan pula obatnya, kecuali satu penyakit
yaitu pikun (tua)”. HR. Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i dan
Ibnu Majah.
Lanjutan…
‫◻ عن أبي الدرداء قال قال رسول اهلل صلى اهلل عليه وسلم إن اهلل أنزل الداء‬
‫والدواء وجعل لكل داء دواء فتداووا وال تداووا بحرام رواه أبو داود‬
Dari Abu Darda’, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: ◻
Sesungguhnya Allah telah menurunkan penyakit dan obat bagi
setiap penyakit, maka berobatlah dan janganlah berobat
dengan yang haram”. (HR. Abu Dawud)
‫◻ عن أنس بن مالك قال قدم أناس من عكل او عرينة فاجتووا املدينة فأمرهم‬
‫النبي صلى اهلل عليه وسلم بلقاح وأن يشربوا من ابوالها والبانها رواه‬
‫البخاري‬
Dari Sahabat Anas bin Malik RA: Sekelompok orang ‘Ukl atau ◻
Urainah datang ke kota Madinah dan tidak cocok dengan
udaranya (sehingga mereka jatuh sakit), maka Nabi SAW
memerintahkan agar mereka mencari unta perah dan (agar
mereka) meminum air kencing dan susu unta tersebut”. (HR. al-
Bukhari)
Lanjutan...
‫عن الن عباس رضي اهلل عنه قال قال رسول اهلل صلى اهلل عليه وسلم ال ضرر وال‬ ◻

‫ضرار رواه أحمد و مالك وابن ماجة‬


Dari Ibnu Abbas RA, ia berkata: “Rasulullah SAW bersabda: Tidak ◻
boleh membahayakan/merugikan orang lain dan tidak boleh (pula)
membalas bahaya (kerugian yang ditimbulkan oleh orang lain) dengan
bahaya (perbuatan yang merugikannya).” (HR. Ahmad, Malik, dan Ibn
Majah)
‫عن حبيب بن أبي ثابت قال سمعت إبراهيم بن سعد قال سمعت أسامة ِ بن زيد‬ ◻

(‫يحدث سعدا عن النبي صلى اهلل عليه وسلم قال َ منها) "رواه البخاري‬
Dari Habib bin Abi Tsabit ia berkata: Saya mendengar Ibrahim bin ◻
Sa'd berkata: Saya mendengar Usamah bin Zaid berbincang dengan
Sa'd tentang apa yang didengar dari nabi saw bahwa beliau
bersabda: "Bila kalian mendengar ada wabah penyakit di suatu
daerah maka jangan masuk ke daerah wabah tersebut. Dan bila
wabah tersebut telah terjadi di suatu daerah sedang kalian berada di
situ, maka jangan keluar dari daerah tersebut". (HR. Bukhari)
Lanjutan…
‫ نعم يا عباد‬:‫عن أسامة بن شريك قال قالت األعراب يا رسول اهلل صلى اهلل عليه وسلم أال نتداوى قال‬ ◻

‫اهلل تداووا فإن اهلل لم يضع إال وضع له شفاء أو قال دواء قال أبو عيسى وهذا حديث حسن صحيح‬
Dari Usâmah Ibnu Syarîk (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Beberapa orang Arab ◻
pedalaman bertanya: Wahai Rasulullah, haruskan kami berobat? Rasulullah
menjawab: Ya. Wahai hamba-hamba Allah, berobatlah, sesungguhnya Allah tidak
membuat penyakit melainkan membuat pula penyembuh untuknya [atau ia
mengatakan: obat] … … … (Abû Isa alTirmidzi, perawi hadis: … dan ini adalah
hadis hasan sahih).
‫قال أبو سلمة بن عبد الرحمن سمعت أبا هريرة عن النبي صلى اهلل عليه وسلم قال ال توردوا املمرض‬ ◻

‫على املصح رواه البخاري‬


Abu Salamah bin ‘Abd al-Rahman berkata: Aku mendengar Abu Hurairah (yang ◻
meriwayatkan) dari Nabi saw (bahwa beliau bersabda): “Janganlah kalian
mendatangkan orang yang sakit kepada orang yang sehat” ... (HR. al- Bukhari).
‫عن أبي الدرداء قال قال رسول اهلل صلى اهلل عليه وسلم إن اهلل أنزل الداء والدواء وجعل لكل داء دواء‬ ◻

‫فتداووا وال تداووا بحرام رواه أبو داود‬


Dari Abu ad-Dardâ’ (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Rasulullah saw telah ◻
bersabda: Sesungguhnya Allah menurunkan penyakit dan obatnya, dan memberikan
obat untuk tiap-tiap penyakit. Oleh karena itu berobatlah kamu, tetapi jangan
berobat dengan yang haram (HR. Abû Dâwud).
Lanjutan…
‫ سألت رسول اهلل صلى اهلل عليه وسلم‬:‫◻ عن أبي خزامة عن أبيه قال‬
‫فقلت يا رسول اهلل أرأيت رقى نسترقيها ودواء نتداوى به وتقاة نتقيها‬
‫هل تزد من قدر اهلل شيئا قال هي من قدر اهلل قال أبو عيسى هذا‬
‫حديث حسن صحيح رواه الترمذي‬
Dari Abu Khuzamah, dari ayahnya (diriwayatkan bahwa) ◻
ia berkata: Aku bertanya kepada Rasulullah saw, katakau:
Wahai Rasulullah, apa pendapatmu tentang rukiah yang
kami gunakan sebagai obat, dan obat-obatan yang kami
gunakan sebagai penyembuh penyakit dan penangkal
yang kami gunakan sebagai pemelihara badan, apakah
berarti kami menolak taqdir Allah?, (Nabi) berkata: hal itu
adalah taqdir Allah” (HR. al-Tirmidzi).
Lanjutan…
◻ Kaidah-Kaidah fiqh:
◻ ‫األمر بالشيء أمر بوسائله‬
◻ “Perintah terhadap sesuatu juga berarti perintah untuk melaksanakan
sarananya”
◻ ‫ما الَ يتم الواجب إالَ به فهو واجب‬
◻ “Perbuatan yang hanya dengan perbuatan itu suatu perintah wajib
menjadi sempurna maka perbuatan tersebut hukumnya wajib”.
◻ ‫الدفع أولى من الرفع‬
◻ “Mencegah lebih utama dari pada menghilangkan“
◻ ‫الضرر يدفع بقدر اإلمكان‬
◻ Dharar (bahaya) harus dicegah sedapat mungkin.
◻ ‫الضرر يزال‬
◻ Dharar (bahaya) harus dihilangkan.”
Lanjutan…
‫الحاجة تنزل منزلة الضرورة‬ ◻

Kondisi hajah menempati kondisi darurat. ◻

‫الضرورات تبيح املحظورات‬ ◻

Darurat membolehkan hal-hal yang dilarang. ◻

‫ما أبيح للضرورة يتقدر بقدرها‬ ◻

Sesuatu yang dibolehkan karena darurat dibatasi sesuai kadar ◻


(kebutuhan)-nya.”
Memperhatikan : 1. Pendapat Imam Al-‘Izz ibn ‘Abd Al-Salam dalam ◻
Kitab “Qawa’id Al-Ahkam” :
‫جازالتداوى بالنجاسات إذا لم يجد طاهرا مقامها ألن مصلحة العافية والسالمة‬ ◻

‫أكمل من مصلحة اجتناب النجاسة‬


Boleh berobat dengan benda-benda najis jika belum menemukan ◻
benda suci yang dapat menggantikannya, karena mashlahat
kesehatan dan keselematan lebih diutamakan daripada mashlahat
menjauhi benda najis”.
Lanjutan…
◻ Pendapat Imam al-Nawawi dalam Kitab Al-Majmu’ (9/55) :
◻ ‫قال اصحابنا وإنما يجوز التداوى بالنجاسة إذا لم يجد طاهرا مقامها فإن وجده حرمت النجاسات بال‬
‫ إن اهلل لم يجعل شفاءكم فيما حرم عليكم فهو حرام عند وجود غيره وليس‬: ‫خالف وعليه يحمل حديث‬
‫حراما اذا لم يجد غيره قال أصحابنا وإنما يجوز اذا كان املتداوي عارفا بالطب يعرف أنه ال يقوم غير‬
‫هذا مقامه أو أخبر بذلك‬
◻ Sahabat-sahabat kami (Pengikut Madzhab Syafi’i) berpendapat : Sesungguhnya
berobat dengan menggunakan benda najis dibolehkan apabila belum menemukan
benda suci yang dapat menggantikannya, apabila telah didapatkan – obat dengan
benda yang suci – maka haram hukumnya berobat dengan benda-benda najis. Inilah
maksud dari hadist “ Sesungguhnya Allah tidak menjadikan kesehatan kalian pada
sesuatu yang diharamkan atas kalian “, maka berobat dengan benda najis menjadi
haram apabila ada obat alternatif yang tidak mengandung najis dan tidak haram
apabila belum menemukan selain benda najis tersebut. Sahabatsahabat kami
(Pengikut Madzhab Syafi’i) berpendapat : Dibolehkannya berobat dengan benda najis
apabila para ahli kesehatan –farmakologi- menyatakan bahwa belum ada obat
kecuali dengan benda najis itu, atau obat – dengan benda najis itu –
direkomendasikan oleh dokter muslim”.
◻ ‫والتداوى بالنجس جائز عند فقد الطاهر الذى يقوم مقامه‬
◻ “Berobat dengan benda najis adalah boleh ketika belum ada benda suci yang dapat
menggantikannya”. (Muhammad al-Khathib al-Syarbanini, Mughni al-Muhtaj, Bedirut:
Dar al-Fikr, t.th., juz 1, hlm. 79).
Lanjutan…
◻ 4. Imam Syihabuddin al-Ramli dalam Kita Nihayatul Muhtaj juz 1
halaman 243 berpendapat:
◻ ‫وأما )أمره صلى اهلل عليه وسلم العرنيني بشرب أبوال اإلبل( فكان للتداوي وهو جائز‬
‫بصرف النجاسة غير الخمرة‬
◻ Adapun perintah nabi saw kepada suku uraniyyin untuk meminum air
kencing unta.. itu untuk kepentingan berobat, maka ini dibolehkan
sekalipun ia najis, kecuali khamr”
◻ 5. Fatwa MUI tentang penggunaan vaksin polio khusus (IPV) Tahun
2002 dan Fatwa MUI tentang penggunaan vaksin polio oral (OPV)
Tahun 2005;
◻ 6. Fatwa MUI Nomor 30 Tahun 2013 tentang obat dan pengobatan.
◻ 7. Keputusan Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia Tahun 2015
yang diselenggarakan di Pesantren At-Tauhidiyah Tegal yang terkait
dengan imunisasi;
Lanjutan…
◻ 8. Arahan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada acara Halaqah
Penyelenggaraan Imunisasi Halal dan hasil-hasilnya yang diselenggarakan
Kementerian Kesehatan RI dan Komisi Fatwa MUI di Bogor pada 22 Januari
2016;
◻ 9. Presentasi narasumber dalam Halaqah Penyelenggaraan Imunisasi Halal,
dari Direktur Surveilense dan Karantina Kesehatan Kementerian Kesehatan RI
tentang Kebijakan Program Imunisasi Nasional yang intinya program imunisasi
nasional dimaksudnya untuk mencegah penyakit tertentu; Ahli Imunisasi Anak
dari IDAI (Ikatan Dokter Anak Indonesia) Dr. dr. Sujatmiko, SpA(K) tentang
Penyakit yang Dapat Dicegah oleh Imunisasi, Ketua Komisi Fatwa MUI Prof. Dr.
H. Hasanudin AF tentang Imunisasi dan Pencegahan Penyakit dalam Perspektif
Hukum Islam, Sekretaris Komisi Fatwa MUI Dr. HM. Asrorun Ni’am Sholeh, MA
tentang Beberapa Keputusan MUI tentang Imunisasi, Direktur PT. Biofarma
tentang Penyiapan Vaksin Halal untuk Imunisasi, serta Direktur LPPOM MUI
tentang Pelaksanaan Sertifikasi Halal Produk Vaksin dan Obatobatan;
◻ 10. Pendapat, saran, dan masukan yang berkembang dalam Sidang Komisi
Fatwa pada Rapat Pleno Komisi Fatwa pada tanggal 23 Januari 2016.
Lanjutan…
◻ Dengan bertawakal kepada Allah SWT
◻ MEMUTUSKAN
◻ Menetapkan : FATWA TENTANG IMUNISASI
◻ Pertama : Ketentuan Umum
◻ Dalam fatwa ini, yang dimaksud dengan:
1. Imunisasi adalah suatu proses untuk meningkatkan sistem kekebalan tubuh
terhadap penyakit tertentu dengan cara memasukkan vaksin.
2. Vaksin adalah produk biologi yang berisi antigen berupa mikroorganisme
yang sudah mati atau masih hidup tetapi dilemahkan, masih utuh atau
bagiannya, atau berupa toksin mikroorganisme yang telah diolah menjadi
toksoid atau protein rekombinan, yang ditambahkan dengan zat lain, yang
bila diberikan kepada seseorang akan menimbulkan kekebalan spesifik
secara aktif terhadap penyakit tertentu.
3. al-Dlarurat adalah kondisi keterpaksaan yang apabila tidak diimunisasi
dapat mengancam jiwa manusia.
4. al-Hajat adalah kondisi keterdesakan yang apabila tidak diimunisasi maka
akan dapat menyebabkan penyakit berat atau kecacatan pada seseorang.
Lanjutan…
◻ Kedua : Ketentuan Hukum:
1. Imunisasi pada dasarnya dibolehkan (mubah) sebagai bentuk ikhtiar untuk
mewujudkan kekebalan tubuh (imunitas) dan mencegah terjadinya suatu penyakit
tertentu.
2. Vaksin untuk imunisasi wajib menggunakan vaksin yang halal dan suci.
3. Penggunaan vaksin imunisasi yang berbahan haram dan/atau najis hukumnya
haram.
4. Imunisasi dengan vaksin yang haram dan/atau najis tidak dibolehkan kecuali:
a. digunakan pada kondisi al-dlarurat atau al-hajat;
b. belum ditemukan bahan vaksin yang halal dan suci; dan
c. adanya keterangan tenaga medis yang kompeten dan dipercaya bahwa tidak
ada vaksin yang halal.
5. Dalam hal jika seseorang yang tidak diimunisasi akan menyebabkan kematian,
penyakit berat, atau kecacatan permanen yang mengancam jiwa, berdasarkan
pertimbangan ahli yang kompeten dan dipercaya, maka imunisasi hukumnya wajib.
6. Imunisasi tidak boleh dilakukan jika berdasarkan pertimbangan ahli yang kompeten
dan dipercaya, menimbulkan dampak yang membahayakan (dlarar).
Lanjutan…
Rekomendasi :
1. Pemerintah wajib menjamin pemeliharaan kesehatan masyarakat, baik
melalui pendekatan promotif, preventif, kuratif, maupun rehabilitatif.
2. Pemerintah wajib menjamin ketersediaan vaksin halal untuk kepentingan
imunisasi bagi masyarakat.
3. Pemerintah wajib segera mengimplementasikan keharusan sertifikasi halal
seluruh vaksin, termasuk meminta produsen untuk segera mengajukan
sertifikasi produk vaksin.
4. Produsen vaksin wajib mengupayakan produksi vaksin yang halal.
5. Produsen vaksin wajib mensertifikasi halal produk vaksin sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan.
6. Pemerintah bersama tokoh agama dan masyarakat wajib melakukan
sosialisasi pelaksanaan imunisasi.
7. Orang tua dan masyarakat wajib berpartisipasi menjaga kesehatan,
termasuk dengan memberikan dukungan pelaksanaan imunisasi.
Vaksin
(Produk/Benda) Bahan Baku

Bahan Penolong
Proses Produksi

HUKUM
Hasil Akhir
Vaksin
Imunisasi
Regulasi/Peraturan dan
Ketentuan Negara

Fungsi dan Urgensi


Imunisasi
DUA KONDISI IMUNISASI
◻ Vaksin HALAL boleh mutlak
◻ Vaksin Haram/Najis/Mutanajjis (terkena najis)
• Jika ada vaksin lain yg halal tidak boleh mutlak
• Jika tidak ada vaksin alternatif, dan dikhawatirkan terjangkit
penyakit atau terjadi penyebaran boleh namun kondisional dan
temporal:
■ Kondisional bahwa kebolehan penggunaan vaksin haram
tersebut hanya pada kondisi mendesak untuk sangat dibutuhkan.
■ Temporal penggunaan vaksin haram tersebut dibolehkan –
karena darurat atau sangat membutuhkan -- hingga ditemukan
vaksin yang halal.
Di luar dua keadaan tersebut, tidak dibolehkan.
Dasar Hukum Kebolehan Berobat dengan Barang
Najis
ِ َّ‫ائزٌ ِعن ْ َد فَ ْق ِد الط‬
.‫اه ِر ا َّل ِذ ْي َي ُق ْو ُم َم َقا َم ُه‬ ِ ‫س َج‬
ِ ِ ‫َوالت َّ َدا ِوي ِبالنَّج‬ ◻

“Berobat dengan benda najis adalah boleh ketika belum ada benda suci
yang dapat menggantikannya” (Muhammad al-Khathib al-Syarbaini,
Mughni al-Muhtaj, [Bairut: Dar al-Fikr, t.th.], juz I, h. 79).

‫اف َي ِة‬
ِ ‫ص َل َح َة ا ْل َع‬ ِ َ‫ات إِذَا َل ْم َيج ِ ْد ط‬
ْ ‫ أل َ َّن َم‬،‫اه ًرا َي ُق ْو ُم َم َقا َم َها‬ ِ ‫اس‬ َ ‫َجازَ الت َّ َدا ِوي ِبالن َّ َج‬ ◻

.‫اس ِة‬
َ ‫اب الن َّ َج‬ ْ ‫ص َل َح ِة‬
ِ َ ‫اج ِتن‬ ْ ‫السالَ َم ِة أ َ ْك َم ُل ِم ْن َم‬
َّ ‫َو‬
“Boleh berobat dengan benda-benda najis jika belum menemukan
benda suci yang dapat menggantikan-nya, karena maslahat kesehatan
dan keselamatan lebih sempurna (lebih diutamakan) dari pada
maslahat menjauhi benda najis” (al-‘Izz bin ‘Abd al-Salam, Qawa’id al-
Ahkam fi Mashalih al-Anam, [Qahirah: Mathba’ah al-Istiqamah, t.th.),
juz I, h. 81).
Vaksin Halal: Kewajiban dan Tanggung Jawab
Kolektif, Pemerintah, dan Ilmuwan

◻ Penyediaan Vaksin Halal adalah salah satu langkah strategis


percepatan program imunisasi
◻ Penggunaan konsumsi halal, termasuk di dalamnya obat adalah
tuntutan agama yang merupakan hak warga negara dan dilindungi
oleh konstitusi
◻ Ketiadaan Vaksin Halal menjadi dosa sosial ilmuwan.
◻ Tanggung jawab kolektif: mewujudkan vaksin halal
◻ Hal ini menjadi tantangan sekaligus peluang bagi masyarakat
Indonesia untuk melakukan penelitian yang serius agar menemukan
vaksin meningitis yang halal.
◻ Para ilmuan dan Ulama harus melalukan ijtihad dan jihad keilmuan
untuk menemukannya.
◻ Untuk memenuhi kebutuhan umat Islam, maka wajib hukumnya bagi
para ilmuan untuk melakukan penelitian dan menemukan vaksin halal.
‫والحمد هلل رب العاملني‬

‫اهلل اعلم بالصواب‬


‫‪Terima Kasih....‬‬

Anda mungkin juga menyukai