Anda di halaman 1dari 29

MAKALAH

PERMASALAHAN KEHALALAN DAN KEAMANAN OBAT

DI JAWA BARAT

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sains Farmasi Islam


Dosen pengampu : Yani Lukmayani, S.Si., Apt., M.Si.

Disusun oleh:

1. Assyifa Nur Annisa (10060321025)


2. Dela Kurniasih (10060321003)
3. Devina Amalia Fitri (10060321048)
4. Dila Andriani (10060321046)
5. Fadilatul Jannah (10060321006)
6. Ghina Dany Fauziyyah (10060321005)
7. Irma Oktarina (10060321037)
8. Nazwa Aliifah F (10060321047)
9. Rania Zain (10060321004)
10. Salma Nisrina Nur (10060321011)
11. Wega (10060321045)

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG

BANDUNG
2021 M/1442 H
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur Penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan

hidayah-Nya Penyusun dapat menyelesaikan makalah tentang permasalahan kehalalan yang

ada di jawa barat ini.

Tujuan dari makalah ini adalah diharapkan agar mahasiswa tau tentang sebagaimana

pemerintah khususnya MUI dalam menangani produk halal yang ada di indonesia ini

khususnya di jawa barat.

Akhir kata, penulis mohon maaf kepada semua pihak apabila ada kesalahan dan

kekurangan selama penulisan makalah ini.

Bandung, Oktober 2021

Penulis
PERAN LEMBAGA MUI DALAM MENGEMBANGKAN DAN
MEMAJUKAN PRODUK HALAL
ABSTRAK

Dengan adanya globalisasi,sertifikat dan labelisasi halal baru dilakukan sebagian produk
kecil seperti produk makanan,minuman,obat-obatan,kosmetik dan produk lainnya yang
beredar di masyarakat.Majelis Ulama Indonesia melalui LPPOM MUI dan Komisi Fatwa
telah berusaha semaksimal mungkin untuk memberikan jaminan produk halal khususnya bagi
orang muslim melalui sertifikasi kehalalan yang bertujuan untuk memberikan kepastian
kehalalan suatu produk.
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Manusia sebagai makhluk hidup individu dan sosial mempunyai kebutuhan yang tidak
terbatas.Untuk itu setiap manusia mempunyai kebutuhan-kebutuhannya masing-masing yang
diperlukan.Kebutuhan manusia terdiri dari sandang,pangan,papan.Pangan merupakan
kebutuhan yang paling utama bagi manusia karena itu pemenuhannya menjadi hak asasi
setiap individu manusia.

Di era globalisasi ini,perkembangan perekonomian terutama di bidang perindustrian


dan perdagangan sekarang telah menghasilkan berbagai bentuk barang ataupun
jasa.Perdagangan bebas dan Masyarakat Ekonomi Asia (MEA) ini berdampak sangat cepat
dan meningkatnya perederan produk makanan,minuman,obat-obatan,kosmetik dan lain
sebagainya baik yang import maupun lokal.Produk yang beredar di kalangan masyarakat
belum tentu terjamin dan memberi rasa aman,nyaman,tentram dan layak di konsumsi bagi
masyarakat,Khususnya masyarakat muslim,Karena dalam islam diwajibkan untuk
mengkonsumsi makanan dan minuman yang Halal yang sudah ditentukan sesuai syariat
islam.

Dalam Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945 pasal 29 ayat (2) berbunyi,”Negara
menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan
beribadah menurut agama dan kepercayaannya itu.”Untuk menjamin setiap penduduk yang
memeluk agamanya,negara berkewajiban untuk memberikan perlindungan dan jaminan
tentang kehalalan produk yang dikonsumsi dan yang aman digunakan.

Jaminan kehalalan menjadi sangat penting saat ini mengingat tentang kemajuan
teknologi dan pengetahuan di bidang pangan, obat-obatan, dan kosmetik yang berkembang
pesat. Jaminan mengenai produk halal dilakukan sesuai dengan asas perlindungan, keadilan,
kepastian hukum, efektifitas, efisiensi, serta profesionalitas. Jaminan penyelenggaraan produk
halal bertujuan memberikan kenyamanan, keamanan, keselamatan, dan kepastian
ketersediaan produk halal bagi masyarakat yang mengkonsumsi.
Menurut pasal 1 angka 5 peraturan pemerintah No.69 Tahun 1999 tentang Label dan
Iklan pangan yaitu:

“Pangan halal adalah pangan yang tidak mengandung unsur atau bahan yang haram atau
dilarang untuk dikonsumsi umat islam,baik yang menyangkut bahan baku pangan,bahan
tambahan,bahan bantu dan bahan penolong lainnya termasuk bahan pangan yang diolah
melalui proses rekayasa genetika dan iradiasi pangan dan yang pengelolaannya dilakukan
sesuai dengan ktentuan hukum agama islam.”

Allah SWT telah menerangkan mengenai makanan haram dan makanan halal secara jelas di
Al Quran surat Al Maidah ayat 3. Allah SWT berfirman agar manusia tidak memakan
bangkai, darah, daging babi, daging hewan yang disembelih bukan atas nama Allah.

َّ ‫ّللا به َوال ُمنخَنقَةُ َوال َموقُوذَة ُ َوال ُمت ََردِّ َيةُ َوالنَّطي َحةُ َو َمآ ا َ َك َل ال‬
‫سبُ ُع ا ََّل‬ ٰ ‫علَيكُ ُم ال َميتَةُ َوالدَّ ُم َولَح ُم الخنزير َو َمآ اُه َّل لغَير‬
َ ‫ُح ِّر َمت‬
‫س الَّذينَ َكف َُروا من دينكُم فَ َل ت َخشَوهُم َواخشَون‬ َ ‫صب َواَن ت َست َقس ُموا باَلَز ََلم ٰذلكُم فسق اَليَو َم يَ ِٕى‬
ُ ُّ‫علَى الن‬ َ ‫َما ذَ َّكيتُم َو َما ذُب َح‬
َ‫ّللا‬ َ ‫علَيكُم نع َمتي َو َرضيتُ لَكُ ُم اَلس َل َم دينًا فَ َمن اضطُ َّر في َمخ َم‬
ٰ ‫صة غَي َر ُمت َ َجانف َِّلثم فَا َّن‬ َ ُ‫اَليَو َم اَك َملتُ لَكُم دينَكُم َواَت َممت‬
‫غفُور َّرحيم‬
َ

Latin: ḥurrimat 'alaikumul-maitatu wad-damu wa laḥmul-khinzīri wa mā uhilla ligairillāhi


bihī wal-munkhaniqatu wal-mauqụżatu wal-mutaraddiyatu wan-naṭīḥatu wa mā akalas-sabu'u
illā mā żakkaitum, wa mā żubiḥa 'alan-nuṣubi wa an tastaqsimụ bil-azlām, żālikum fisq, al-
yauma ya`isallażīna kafarụ min dīnikum fa lā takhsyauhum wakhsyaụn, al-yauma akmaltu
lakum dīnakum wa atmamtu 'alaikum ni'matī wa raḍītu lakumul-islāma dīnā, fa maniḍṭurra fī
makhmaṣatin gaira mutajānifil li`iṡmin fa innallāha gafụrur raḥīm

Artinya: “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, dan (daging) hewan
yang disembelih bukan atas (nama) Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang
ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu sembelih. Dan
(diharamkan pula) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan pula) mengundi nasib
dengan azlam (anak panah), (karena) itu suatu perbuatan fasik. Pada hari ini orang-orang
kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada
mereka, tetapi takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu,
dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridai Islam sebagai agamamu.
Tetapi barangsiapa terpaksa karena lapar, bukan karena ingin berbuat dosa, maka sungguh,
Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.”

Adapun dalil lain yang menjelaskan tentang mengkonsumsi makanan haram (QS. Al-Baqarah
Ayat 168):

َ ‫شي ٰطن انَّه لَكُم‬


‫عدُو ُّمبين‬ َ ‫اس كُلُوا م َّما فى اَلَرض َح ٰل ًل‬
َّ ‫طيِّبًا ۖ َّو ََل تَتَّبعُوا ُخطُ ٰوت ال‬ ُ َّ‫ٰ ٰٓياَيُّ َها الن‬
168. Yang Artinya:”Wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang halal dan baik yang
terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh, setan itu
musuh yang nyata bagimu.”

Selain itu banyaknya produk yang masih belum bersertifikasi halal mengakibatkan konsumen
terutama konsumen muslim sulit untuk membedakan produk mana yang benar-benar aman
dan halal yang bisa dikonsumsi sesuai dengan syariat islam yang berlaku.Dari data yang
dimiliki oleh Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika (LLPOM MUI) tahun
2007,jumlah produk yang telah didaftarkan rata-rata dari perusahaan besar yang terkenal di
pasaran.Konsumen memiliki resiko yang sangat rentan dikarenakan sering dan mudah
terpengaruh oleh penawaran menarik yang tidak tahu asal usulnya.

Pada tahun 1999 telah lahir Undang-Undang terkait pelindungan konsumen yaitu UU
No,8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen yang disebut UUPK.UU ini bertujuan
untuk memberikan kepastian hukum kepada konsumen.Dalam undang-undang ini dijelaskan
mengenai tanggung jawab pelaku usaha yang tentunya hal ini diatur untuk memberikan
kepastian hukum serta melindungi hak para konsumen tersebut.Pelindungan konsumen ini
adalah jaminan yang seharusnya didapatkan oleh para konsumen terkait setiap produk yang
dibeli dari produsen atau pelaku usaha.

Sertifikasi halal dan label halal adalah dua hal yang berbeda ,karena sertifikasi halal
dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI),sedangkan label halal dikeluarkan oleh
Departemen Kesehatan Republik Indonesia apabila perusahaan tersebut telah mendapatkan
sertifikat halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) dengan kata lain bahwa label halal tidak
bisa didapatkan atau dikeluarkan tanpa adanya sertifikat halal.Adapun persyaratan terkait
memperoleh sertifikat halal yaitu:

1) Memahami persyaratan sertifikasi halal dan mengikuti pelatihan SJH


2) Menerapkan Sistem Jaminan Halal(SJH)
3) Menyiapkan dokumen sertifikasi halal
4) Melakukan pendaftaran sertifikasi halal
5) Melakukan monitoring dan pembayaran akad sertifikasi
6) Pelaksanaan audit
7) Melakukan monitoring pasca audit
8) Memperoleh sertifikat Halal
B.RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana perkembangan kehalalan yang ada di indonesia khusunya di jawa barat?


2. Apa dampak perkembangan di era globalisasi tentang obat-obatan halal di indonesia
khususnya di jawa barat?
3. Bagaimana memastikan dan memajukan terkait obat-obatan halal yang ada di jawa
barat?

C.TUJUAN

1. Memahami definisi terkait kehalalan produk


2. Mengetahui perkembangan kehalalan suatu obat-obatan khususnya di jawa barat
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Hukum Produk Halal

Menurut Syariat Islam, Landasan hukum produk halal sesuai Syariat Islam
antara lain terdapat dalam QS. Al-Baqarah: 168 artinya, Wahai manusia Makanlah
dari (makanan) yang halal dan baik yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu
mengikuti langkah-langkah setan, sungguh setan musuh yang nyata bagimu.orang-
orang yang beriman. QS. al –Baqarah: 172 artinya, Wahai orang orang yang beriman
makanlah dari rezeki yang baik yang Kami berikan kepada kamu dan bersyukurlah
kepada Allah, jika kamu hanya menyembah kepada-Nya. QS. Al-Baqarah:173
artinya Sesunguhnya Dia hanya mengharamkan atasmu bangkai, darah, daging babi
dan (daging) hewan yang disembelih dengan (menyebut nama) selain Allah.Tetapi
barang siapa terpaksa (memakannya) bukan karena menginginkannya dan tidak (pula)
melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sungguh Allalh Maha Pengampun.

Berdasarkan surat Al Baqarah tersebut di atas, Allah memerintahkan kepada


orang yang beriman untuk memakan makan yang halal dan mengharamkan bangkai,
darah, daging babi, daging hewan yang disembelih tidak menyebut nama Allah,
kecuali jika terpaksa dan tidak melampaui batas. Untuk menentukan produk makanan
dan minuman yang beredar dimasyarakat itu halal harus ada logo sertifikat halal yang
dikeluarkan oleh LPPOM MUI pada kemasannya.

Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan kehalalan


produk makanan dan minuman antara lain Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41
Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, Undang Undang Republik
Indonesia Nomor i8 Tahun 2012 tentang Pangan, Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 95 Tahun 2012 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner dan
Kesejahteraan Hewan, dan Keputusan

Mentri Pertanian No. 745/KPTS/TN.240/12/1992 tentang Persyaratan dan


Pemasukan daging dari luar negeri dan KEPMENAG No.518 Tahun 2001 tentang
Pemeriksaan dan Penetapan Pangan dan izin dari BPOM, Keputusan Menteri Agama
Nomor 519 Tahun 2001 dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan
Produk Halal.
Pasal 4 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999, konsumen berhak atas
kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/ atau jasa.

Keputusan Mentri Agama Nomor 519 tahun 2001, Pasal 1 menyatakan bahwa
Majelis Ulama Indonsia sebagai lembaga pelaksana pemeriksaan pangan yang
dinyatakan halal yang dikemas dan diperdagangkan di Indonesia.

Keputusan Menteri Pertanian Nomor 745/KPTS/TN.240/12/1992 tentang


Persyaratam dan Pengawasan Pemasukan daging dar luar Negeri yng diakomodasi
dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012, pasal 97 menyatakan, setiap orang
yang memproduksi pangan didalam negeri untuk diperdagangkan wajib
mencantumkan label pada kemasan termasuk label halal atu tanda halal bagi yang
dipersyaratkan. Pemasukan daging untuk konsumsi umum harus berdasarkan ternak
yang pemotongannya dilakukan menurut syariat Islam dan dinyatakan dalam sertifikat
halal.

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal lebih


memberi perlindungan dan kepastian hukum bagi konsumen mengkonsumsi produk
halal. Lima tahun setelah disahkan undang-undang ini semua produk yang beredar
dimasyarakat wajib mencantumkan sertifikat halal pada kemasannya dan sebaliknya
apabila produk terdiri dari bahan yang tidak halal berdasarkan Pasal 29 ayat (2)
pelaku usaha wajib mencantum pada kemasan produk tanda tidak halal, misalnya
gambar babi.

B. Dasar – dasar Hukum labelisasi Halal


1. Asas-Asas Hukum Islam
a. Asas keadilan merupakan asas yang sangat penting dalam hukum
Islam. Demikian pentingnya, sehingga ia dapat disebut sebagai asas
semua asas hukum Islam. Di dalam Al-Qur’an, keadilan disebut lebih
dari 1000 (seribu) kali, terbanyak setelah Allah dan ilmu pengetahuan;
b. Asas kepastian hukum menyatakan bahwa tidak ada satu perbuatan pun
dapat dihukum kecuali atas kekuatan dan ketentuan hukum atau
peraturan perundang-undangan yang ada dan berlaku untuk perbuatan
itu. Asas ini sangat penting dalam ajaran hukum Islam;
c. Asas kemanfaatan adalah asas yang mengiringi asas keadilan dan
kepastian hukum. Dalam melaksanakan asas keadilan dan kepastian
hukum, seyogianya dipertimbangkan asas kemanfaatannya, baik bagi
yang bersangkutan sendiri maupun bagi kepentingan masyarakat.
2. Al-Qur’an

Dalam islam umat muslim diwajibkan mengkonsumsi makanan dan


minuman yang halal, karena setiap makanan dan minuman yang kita konsumsi
akan mendarah daging dalam tubuh dan menjadi sumber energi yang penting
untuk kehidupan. Konsep Islam tentang makanan halal sudah tercantum dalam
Al-Quran Salah satu ayat yang berbicara tentang makanan halal adalah
Konsep Islam tentang makanan halal sudah tercantum dalam Al-Qur’an Salah
satu ayat yang berbicara tentang makanan halal adalah QS. Al-Baqarah: 168
yang artinya:

”Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang
terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah
syaitan; karena Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata
bagimu.”

Selain itu telah tercantum juga dalam QS. Al-Maidah: 88 yang artinya:

“Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah
rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu
beriman kepada-Nya.”

Kehalalan sebagai parameter utama dalam proses pemilihan produk.


Ketidakinginan masyarakat muslim untuk mengonsumsi produk-produk haram
akan meningkatkan kejelian dalam proses pemilihan produk. Memastikan
makanan dikonsumsi halal menjadi tanggung jawab bagi setiap umat muslim.
Hal ini sesuai dengan QS. An-Nahl: 114 yang artinya:

“Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezki yang telah diberikan
Allah kepadamu; dan syukurilah nikmat Allah jika kamu hanya
kepada-Nya saja menyembah.”

Ayat tersebut menjelaskan bahwa terdapat dua pokok yang terpenting,


yaitu halal dan baik. Yang halal ialah yang tidak dilarang oleh agama.
Kemudian disebut pula makanan yang baik yaitu diterima oleh selera, yang
tidak menjijikkan.
C. Proses Pemberian Sertifikat Halal

Sebelum berlakunya UU No. 33 Tahun 2014, Tanda kehalalan suatu produk


berdasarkan sertifikat halal yang dikeluarkan oleh LPPOM MUI. Sertifikat halal
adalah surat keterangan yang dikeluarkan oleh MUI Pusat atau Propinsi tentang
halalnya suatu produk makanan, minuman, obat-obatan dan kosmetika yang
diproduksi oleh suatu perusahaan setelah diteliti dan dinyatakan halal oleh LPPOM
MUI.

Pelaku usaha sebelum mengajukan sertifikat halal harus mempersiapkan


Sistim Jaminan Halal yang merujuk kepada Buku Panduan Penyusunan Sistem
Jaminan Halal yang dikeluarkam oleh LP-POM MUI. LPPOM MUI mengangkat
seorang atau Tim Auditor halal Internal yang bertanggung jawab dalam menjamin
pelaksanaan produk halal. Menanda tangani kesedian untuk diinspeksi secara
mendadak tanpa pemberitahuan sebelumnnya oleh LPPOM MUI. membuat laporan
berkala setiap 6 bulan tentang pelaksanaan Sistem Jaminan Halal.

Produsen mengajukan permohonan sertifikat halal ke sekretariat LPPOM MUI


dengan mengisi formulir, mendaftarkan seluruh produk yang diproduksi termasuk
lokasi produksi, pabrik pengemasan dan tempat makan, bagi Restoran dan catering
mndaftarkan seluruh menu yang dijual, gerai, dapur serta gudang. Bagi Rumah
Potong Hewan Produsen harus mendaftarkan seluruh tempat penyembelihan.

Setiap pemohon yang mengajukan permohonan sertifikat halal bagi


produknya, harus mengisi borang tersebut yang berisi informasi tentang data
perusahaan, jenis dan nama produk serta bahan –bahan yang digunakan. Borang yang
sudah diisi beserta dokumen pendukungnnya dikembalikan ke sekretariat. LPPOM
MUI memeriksa kelengkapannya dan bila belum memadai perusahaan harus
melengkapi sesuai dengan ketentuan. LPPOM MUI melakukan audit Tim auditor
melakukan pemeriksaan/audit kelokasi produsen dan pada saat audit, perusahaan
harus dalam keadaan memproduksi produk yang disertifikasi.

Hasil pemeriksaan/audit dan hasil laboratorium (bila diperlukan) dievaluasi


dalam rapat auditor LPPOM MUI. Hasil audit yang belum memenuhi persyaratan
diberitahukan kepada perusahaan. Jika telah memenuhi persyaratan, auditor akan
membuat laporan hasil audit guna diajukan pada sidang Komisi Fatwa MUI. Sidang
Komisi Fatwa MUI dapat menolak laporan hasil audit, jika dianggap belum
memenuhi semua persyaratan dan hasilnya akan disampaikan kepada produsen
pemohon sertifikasi halal. Sertifikat halal dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia
setelah ditetapkan status kehalalanya oleh Komisi Fatwa MUI.Sertifikat halal berlaku
selama 2 (dua) tahun sejak tanggal penetapan fatwa. Dewasa ini permohonan
sertifikat halal dapat dilakukan secara on line melalui webside MUI.

Proses pemberian sertifikat halal berdasarkan Undang-Undang Nomor 33


Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, berdasarkan pasal 29 bahwa permohonan
sertifikat halal diajukan oleh pelaku usaha secara tertulis kepada Badan
Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH). Permohonan sertifikat halal harus
dilengkapi dengan dokumen data pelaku Pemeriksaan halal dilakukan oleh Badan
Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH). Untuk melakukan pemeriksanaan
halal BPJPH menetapkan Lembaga Produk Halal (LPH) yang bertugas melakukan
pemeriksaan halaldan/atau pengujian kehalalan produk (Pasal 30 ayat 1). Pasal 31
mengatur, pemeriksaan dan/ atau Pengujian kehalalan produk dilakukan oleh auditor
halal dilokasi usaha pada saat proses produksi, apabila terdapat bahan yang diragukan
kehalalannya dapat dilakukan pengujian di laboratorium.

Pada saat pemeriksaan oleh auditor halal, pelaku usaha berkewajiban


memberikan informasi hal-hal yang diperlukan kepada auditor halal. Setelah (LPH)
selesai melaksanakan tugasnya melakukan pemeriksaan halal selanjutnya LPH
menyelarahkan hasilnya ke BP JPH dan kemudian BPJPH menyerahkannya kepada
MUI untuk memperoleh menetapkan kehalalan Produk (Pasal 32). Untuk
menentukan apakah produk itu halal atau tidak MUI melakukan sidang Fatwa Halal
(Pasal 33). Sidang Fatwa MUI diikuti oleh pakar, unsur kementrian/lembaga dan atau
instansi terkait. Sidang fatwa memutuskan kehalalan produk paling lama 30 hari sejak
MUI menerima hasil pemeriksaan atau pengajuan dari BPJPH. Keputusan penetapan
halal ditanda tangani oleh MUI selanjutnya diserahkan kepada BPJPH untuk
menerbitkan sertifikat halal.

Apabila dalam sidang fatwa halal, menyatakan produk halal, maka BPJPH
menerbitkan sertifikat halal dalam waktu paling 7 hari sejak keputusan halal dari
MUI. Sebaliknya apabila dalam sidang fatwa halal MUI menyatakan produk tidak
halal, maka BPJPH mengembalikan permohonan sertifikat halal kepada pelaku usaha
disertai dengan alasan. Selanjunya BPJPH harus mempublikasikan penerbitan
sertifikat halal (pasal 34).

Pelaku usaha yang telah memperoleh sertifikat halal dari BPJPH, wajib
mencantumkan label halal pada kemasan produk, bagian tertentu atau tempat tertentu
pada produk yang mudah dilihat, dibaca serta tidak mudah dihapus, dilepas dan
dirusak (Pasal 38 dan 39). Pelaku usaha yang tidak mencantumkan label halal sesuai
ketentuan pasal 38 dan 39 dikenai sanksi adminstratif berupa teguran lisan, peringatan
tertulis, pencabutan sertifikat halal.

Sertifikat halal berlaku selama 4 tahun sejak sertifikat diterbitkan oleh BPJPH,
kecuali terdapat perubahan komposisi. Pelaku usaha wajib memperpanjang sertifikat
halal paling 3 bulan sebelum masa berlaku sertifikat halal berakhir. Biaya sertifikat
halal ditanggung oleh pelaku usaha, untuk pelaku usaha mikro dan kecil biaya
sertifikasi dapat difasilitasi oleh pihak lain (Pasal 42).

Berdasarkan Pasal 66, sejak berlaku UUJPH, peraturan yang mengatur tentang
JPH masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan UU JPH. Kewajiban
sertifikat halal bagi produk yang diperdagangkan di wilayah Indonesia mulai berlaku
5 tahun sejak undang-undang ini diundangkan ( Pasal 67). Berarti pada tahun 2019
semua produk yang beredar di masyarakat sudah harus bersertifikat halal.

D. Perkembangan kehalalan yang ada di Indonesia


Kesehatan merupakan unsur penting dalam kehidupan manusia. The United
Nations Development Programme (UNDP) mengklasifiksikan kesehatan sebagai
salah satu dimensi dalam pengukuran indeks pembangunan manusia (Klasen 2018),
seperti Human Development Index (HDI), Gender Development Index (GDI), Gender
Inequality Index (GII), dan Multidimensional Poverty Index (MPI). Tingkat kesehatan
masyarakat salah satunya ditentukan oleh kualitas layanan kesehatan yang ditunjang
oleh berbagai asuhan, termasuk asuhan kefarmasian. Praktik kefarmasian yang semula
berfokus pada pegelolaan obat sebagai komoditi menjadi pelayanan yang
komprehensif yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup dari pasien yang
dikenal dengan asuhan kefarmasian (Depkes 2004). Pada Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009 dijelaskan bahwa pekerjaan kefarmasian
dilakukan berdasarkan pada nilai ilmiah, keadilan, kemanusiaan, keseimbangan, dan
perlindungan serta keselamatan pasien atau masyarakat yang berkaitan dengan
sediaan farmasi yang memenuhi standar dan persyaratan keamanan, mutu, dan
kemanfaatan.
Pada sisi lain, Indonesia merupakan negara yang memiliki penduduk dengan
mayoritas beragama Islam, dengan 87,21 persen dari 237.641.326 penduduk memeluk
agama Islam (Kemenag 2017). Hal ini berimplikasi pada konsumsi sediaan farmasi,
khususnya konsumsi obat-obatan. Penggunaan obat dalam upaya peningkatan kualitas
kesehatan tidak cukup sekedar menjamin keamanan, mutu, dan khasiat, akan tetapi
juga harus tersedia jaminan halal. Terminologi halal merupakan bagian yang penting
dan fundamental, karena merupakan kewajiban (syariat) yang harus dipatuhi oleh
setiap umat Islam. Hal ini sebagaimana termaktub dalam Qs Albaqarah [2]:168, yakni
firman Tuhan, “Wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang halal dan baik yang
terdapat di bumi...” Pelanggaran kewajiban (syariat) dengan mengkonsumsi produk
nonhalal, dipercaya oleh umat Islam sebagai kesalahan besar yang akan berefek
negatif pada kehidupan di dunia maupun kehidupan sesudah mati. “Tidaklah tumbuh
daging dari makanan haram kecuali neraka lebih utama untuknya” (perkataan Nabi
Muhammad yang dinarasikan oleh Ahmad dalam Al Musnad).
Kemenag (2013) menyatakan bahwa pada 2008 - 2009, World Halal Forum
melakukan survey terhadap kesadaran umat Islam Indonesia terkait kehalalan suatu
produk. Hasil survey menggambarkan bahwa kesadaran halal terhadap daging dan
produk olahannya sebesar 94-98 persen, makanan olahan sebesar 40-64 persen, obat-
obatan sebesar 24-30 persen, serta kosmetik dan produk perawatan diri sebesar 18-22
persen. Berdasarkan kondisi itu, Pusat Penelitian dan Pengembabangan (Puslitbang)
Kehidupan Keagamaan kemudian menyelenggarakan survey terkait Perilaku
Komunitas Muslim Perkotaan dalam Mengonsumsi Produk Halal pada 2013. Survey
dilakukan di 7 provinsi di Indonesia yaitu: DKI Jakarta, Jawa Barat, Kepulauan Riau,
Jawa Tengah, Bali, Jawa Timur dan Sulawesi Utara. Pemilihan ketujuh provinsi ini
berdasarkan faktor dominan budaya dan dominasi industri. Hasil survey menyatakan
bahwa perilaku responden yang bekaitan dengan kesadaran untuk mengonsumsi
produk halal berada pada level tinggi dengan nilai indeks perilaku sebesar 3,84
(dalam skala 5). Dijelaskan bahwa 73 persen responden yang memeriksa label halal
sebelum melakukan keputusan pembelian terhadap suatu produk. Kondisi tersebut
didukung oleh laporan State of the Global Islamic Economy (GIE) Report 2018/19
yang menyatakan bahwa masyarakat Indonesia telah menghabiskan uang sebesar US
$ 218,8 miliar pada 2017 untuk mengkonsumsi produk halal. Hal ini berarti terjadi
peningkatan konsumsi produk halal sebesar sebesar 19,2 persen jika dibandingkan
dengan dari tahun sebelumnya.
Perlindungan konsumen atas ketersediaan produk halal di Indonesia dijamin
oleh Undang- Undang (UU) Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal
(JPH). Pasal 67 UU JPH menyatakan bahwa, pelaku usaha wajib melakukan
sertifikasi selambat-lambatnya 17 Oktober 2019 sebagaimana ketentuan. Namun
demikian, implementasi dari undang-Undang JPH hingga kini masih belum berjalan
secara sempurna karena kendala problem birokratis. Maura Linda Sitanggang
(Direktur Jenderal Bina Kefarmasian) menyatakan bahwa formulasi sebuah obat
begitu komplek, dan Kementerian (Kesehatan) belum siap untuk melihat apakah ada
unsur halal atau haram pada sebuah obat (Tempo, 6 Desember 2013). Pernyataan
tersebut didasarkan pada realitas bahwa berdasarkan data Kementerian Perindustrian
tahun 2014, nilai impor bahan baku industri farmasi mencapai 90 persen. Negara-
negara pengimpor merupakan negara mayoritas nonmuslim, yakni Cina (60%), India
(30%), dan sisanya dari Eropa dengan nilai kurang lebih sebesar US $ 1.3 milyar
(Sitanggang 2016). Secara umum, kondisi sediaan farmasi halal masih belum sejalan
dengan peningkatan permintaan atas produk halal di Indonesia. Indikator GIE
(2018/2019) memberikan indeks sebesar 44 untuk negara Indonesia. Dengan
demikian, Indonesia tidak berada pada 10 besar negara konsumen Halal
Pharmaceuticals and Cosmetics. Secara khusus, keberadaan layanan sediaan farmasi
yang halal tidak bisa dilepaskan dari peran apoteker. Hal ini berakaitan erat dengan
persepsi apoteker atas konsep halal pada sua tu sediaan farmasi yang meliputi obat,
bahan obat, obat tradisional dan kosmetika. Berdasarkan kondisi tersebut di atas,
maka perlu diselenggarakan kajian terkait persepsi apoteker terkait labelisasi halal
pada sediaan farmasi. Label merupakan alat penyampaian informasi tentang produk
yang tercantum pada kemasan. Sedangkan kehalalan adalah sebagai parameter utama
dalam hal preferensi atas suatu produk.
III. PEMBAHASAN

A. Perkembangan Kehalalan Suatu Obat di Jawa Barat

Sertifikat halal adalah fatwa MUI secara tertulis menyatakan kehalalan suatu produk
sesuai dengan syariat Islam. Pemberian sertifikat halal pada pangan, obat-obatan dan
kosmetika untuk melindungi konsumen muslim terhadap produk yang tidak halal. Sertifikat
halal merupakan hak konsumen muslim yang harus mendapat perlindungan dari negara.
Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 mengatur tentang hak-hak konsumen.
Pasal 4 huruf a menyatakan hak konsumen atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan
dalam mengkonsumsi barang atau jasa. Berkaitan dengan Pasal 4 huruf a tersebut konsumen
muslim berhak atas produk yang memberi rasan aman, nyaman dan tenteram. Oleh sebab itu
pelaku usaha dalam memperdagangkan suatu produk agar memberi rasa aman, nyaman dan
tenteram, maka pelaku usaha berkewajiban mengajukan permohonan sertifikat halal melalui
LPOM MUI untuk mendapat sertifikat halal dan kemudian mencantumkan logo halalnya
pada produk.
Selanjutnya Pasal 4 angka C Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen menyatakan, “ konsumen berhak atas informasi yang benar, jelas
dan jujur mengenai kondisi barang atau jasa”. Merujuk pada Pasal 4 huruf C tersebut untuk
melindungi konsumen muslim terhadap produk yang tidak halal, pelaku usaha dalam
memproduksi barang atau jasa untuk diperdagangkan berkewajiban untuk memberikan
informasi yang jelas dan jujur bahwa produk yang diperdagangkan tersebut adalah produk
halal dengan mencantumkan logo sertifikat halal MUI. Tujuan Logo sertifikat halal MUI
adalah memberi perlindungan dan kepastian hukum hak-hak konsumen muslim terhadap
produk yang tidak halal. Mencegah konsumen muslim mengkonsumsi produk yang tidak
halal.

Menyangkut perlindungan konsumen terhadap produk halal, berdasarkan Surat


Keputusan Menteri Pertanian yang menentukan, bahwa pemasukan daging untuk dikonsumsi
umum atau diperdagangkan harus berasal dari ternak yang pemotongannya dilakukan
menurut syariat Islam dan dinyatakan dalam sertifikat halal. Pengeculian terhadap ketentuan
tersebut hanya berlaku bagi daging impor yang berupa daging babi untuk keperluan khusus
terbatas, serta daging untuk pakan hewan yang dinyatakan secara tertulis oleh pemilik atau
pemakai. Keputusan Menteri Pertanian yang diakomodasi dalam Undang-Undang Nomor 18
Tahun 2012 tentang Pangan Pasal 57 menyatakan;

1) Setiap orang yang memproduksi pangan di dalam negeri untuk diperdagangkan wajib
mencantumkan label didalam dan/atau pada kemasan pangan.

2) Setiap orang yang mengimpor pangan untuk dperdagangkan wajib mencantumkan label
didalam atau pada kemasan pangan.

3) Pencantuman label didalam atau pada kemasan pangan sebagaimana yang dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) ditulis atau dicetak dengan mengunakan bahasa Indonesia paling
sedikit memuat, nama produk, daftar bahan yang digunakan, berat bersih, nama dan
alamat pihak yang memproduksi atau mengimpor, halal bagi yang dipersyaratkan, tanggal
dan kode produksi, tanggal, bulan dan tahun kadaluarsa, nomor izin bagi bahan yang
diolah da asal usul bahan pangan tertentu.

Merujuk pada Keputusan Menteri Pertanian tersebut diatas dapat disimpulkan, bahwa
pelaku usaha berkewajiban mencantumkan logo halal pada kemasan produk pangan yang
diperdagangkan di wilayah Indonesia, tujuannya adalah untuk melindungi dan memberi
kepastian hukum hak-hak konsumen muslim terhadap produk yang halal. Pasal 30 ayat (2)
Undang-undang Pangan huruf, pada penjelasannya disebutkan bahwa keterangan halal suatu
produk sangat penting bagi msyarakat Indonesia yang mayoritas memeluk agam Islam.
Berdasarkan Undang-Undang pangan kewajiban pelaku usaha untuk mencantumkan logo
halal yang diperoleh melalui LPPOM MUI sebelum produk diperdagangkan, tujuannya
adalah untuk melindungi dan memberi kepastian hukum hak-hak konsumen terhadap produk
yang tidak halal. Logo halal memberi manfaat kepada Konsumen muslim, karena terhindar
dari produk yang tidak halal. Importir daging yang berasal dari luar negeri, disamping harus
dijaga, bahwa daging itu harus sehat dan halal untuk melindungi konsumen muslim terhadap
produk yang tidak halal, memberi ketenteraman bagi konsumen muslim, untuk
mewujudkannya hal tersebut diperlukan pemotongan ternak yang dilakukan menurut syariat
Islam yang dinyatakan dalam sertifikat halal.

Tujuan pencantuman logo halal pada produk makanan dan minuman adalah untuk
melindungi konsumen hak-hak konsumen muslimin terhadap produk yang tidak halal.
Memberikan kepastian hukum kepada konsumen muslim bahwa produk makanan dan
minuman tersebut benar-benar halal sesuai yang disyariatkan oleh Hukum Islam. Konsumen
muslim tidak akan ragu-ragu membeli produk makanan dan minuman, karena pada kemasan
produk makanan dan minuman tercantum logo halal dan mencegah konsumen muslim
terhadap produk yang tidak halaJika produk makanan dan minuman tidak halal sesuai
Undang-Undang

Produk Jaminan Halal, pelaku usaha berkewajiban untuk memberikan tanda pada
produk makanan dan minuman tersebut tidak halal. Tanda dapat dalam bentuk gambar,
seperti kalau di Bali di tempat makanan dan minuman yang mengandung unsur babi terdapat
gambar babi. Ini berarti pelaku usahanya jujur, karenan dalam undang-undang perlindungan
konsumen pelaku usaha berkewajiban untuk memberikan informasi mengenai komposisi
pada produk makanan dan minuman. Selayaknya pelaku usaha di Indonesia yang
memperdagangkan produk makanan dan minuman memberikan informasi yang jelas, jujur
mengenai komposisi, kehalalan produk makanan dan minuman yang diperdagangkan untuk
melindungi hak-hak konsumen muslim terhadap produk yang tidak halal.

Namun masih banyak ditemukan produk makanan dan minuman yang beredar
dimasyarakat belum mencantumkan logo halal atau logo halal masih diragukan
kebenarannya. Produk yang tidak ada logo halalnya belum tentu haram, begitu juga produk
yang ada logo halalnya belum tentu juga halal, karena tidak tertutup kemungkinan produknya
tidak halal. Dalam Hukum Islam yang dikatakan halal tidak hanya zatnya, tapi juga mulai
dari proses produksi dari hulu sampai hilir harus terbebas dari zat zat yang diharmkan oleh
syariat Islam. Penyimpanan produk yang halal tidak boleh berdekatan dengan produk yang
halal, artinya tempat penyimpanan produk halal harus terpisah dengan produk yang tidak
halal. Begitu juga alat yang dipakai untuk memproses produk halal tidak boleh dipakai
bersama dengan produk yang tidak halal. Sertifikat halal tidak hanya memberi manfaat
perlindungan hukum hak - hak konsumen muslim terhadap produk yang tidak hala, tapi juga
meningkatkan nilai jual produk pelaku usaha, karena konsumen tidak akan ragu lagi untuk
membeli produk yang diperdagangkan pelaku usaha. Logo sertifikat halal memberikan
kepastian hukum kepada konsumen muslim bahwa produk tersebut halal sesuai syariat Islam.
B. SERTIFIKASI HALAL

Berdasarkan data dari Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika


(LPPOM) Majelis Ulama Indonesia (MUI), dari sekitar 18 ribu produk obat-obatan yang
diproduksi oleh perusahaan farmasi di Indonesia, yang sudah bersertifikasi halal hingga saat
ini baru sekitar 22 item. “22 obat tersebut masing-masing 2 vaksin, beberapa obat gosok,
aroma terapi dan obat terbuat dari cacing dan sisanya belum,” Menurut sebagian orang obat-
obatan yang sudah bersitifikasi halal oleh produsennya tersebut lebih karena perusahaan yang
bersangkutan secara sukarela untuk mensertifikasikan produknya.

Namun itu dulu sifatnya sukarela, tapi sekarang setelah diundangkan, berdasarkan
Undang-undang 33 Nomor 33 tahun 2014 tentang “ Jaminan Produk Halal ”, nantinya semua
produk farmasi dalam hal ini obat-obatan harus berertifikasi. Masih sedikitnya produsen yang
mensertifikatkan produknya karena sebagian besar bahan yang digunakan merupakan import,
sehingga kalau produknya ingin mendapatkan sertifikasi halal butuh biaya tambahan. Alasan
pada umumnya mengatakan bahan baku 95% impor, sehingga kita tidak tahu status
kehalalannya, jadi kalau ingin halal perlu melacak kehalalannya ke produsennya memerlukan
tambahan biaya dan waktu.

1). Prinsip Halal

Saat ini, produk yang disajikan di pasaran diolah sedemikian rupa agar menjadi produk yang
mudah dikonsumsi. Selain itu, penampilan produk juga dirancang untuk menggugah selera
konsumen, bertahan segar dengan warna, aroma, rasa, dan tekstur yang di inginkan. Campur
tangan teknologi dan kompleksitas bahan menjadi hal yang tak terhindarkan. Perlu fatwa
halal melalui proses sertifikasi halal untuk memperjelas status hukum halal dan haram produk
yang masih syubhat. Hal ini disampaikan oleh Wakil Direktur LPPOM MUI, Ir. Muti
Arintawati, M.Si. dalam webinar Membangun Kepercayaan Konsumen dengan Sertifikasi
Halal sebagai Kesiapan Memasuki Pasar 4.0 yang diselenggarakan oleh Belanjaukm.com
beberapa waktu lalu. “ Tak dapat dipungkiri, produk masa kini tak terlepas dari campur
tangan teknologi sehingga sulit untuk mengidentifikasi kehalalannya. Karena itu, perlu pihak
ketiga untuk memastikan produk bisa dijamin kehalalannya. LPPOM MUI hadir untuk
memenuhi hal ini ”.
Utamanya ada tiga hal yang menjadi prinsip dalam sertifikasi halal produk
diantaranya :

1. Sertifikasi halal memastikan semua bahan yang digunakan dalam proses produksi
memenuhi persyaratan halal.
2. Sertifikasi halal memastikan tidak adanya kontaminasi bahan haram/najis terhadap produk,
baik berasal dari peralatan produksi, pekerja, maupun lingkungan produksi. Prinsip kedua
ini penting untuk diperhatikan. Karena meskipun seluruh bahan sudah halal, namun
ternyata menggunakan peralatan yang dipakai bersama dengan produk non halal, maka
ada kemungkinan bahan terkontaminasi najis atau bahan non halal. Sekalipun tidak kasat
mata. Jika ditinjau lebih lanjut bahwa kontaminasi bisa bersumber dari karyawan,
utamanya ketika pelaku usaha mempekerjakan seorang nonmuslim. Ada kemungkinan
pekerja memegang bahan-bahan yang tidak halal sebelum mengolah produk.

3. Sertifikasi halal memastikan proses produksi halal dapat berjalan berkesinambungan.


Untuk mewujudkannya, LPPOM MUI memiliki Sistem Jaminan Halal (SJH) untuk
mengatur bahan, proses produksi, produk, sumber daya manusia, dan prosedur sesuai
dengan persyaratan LPPOM MUI. Jangan sampai produk halal hanya pada saat diaudit
untuk mendapatkan sertifikat halal saja. Perusahaan wajib menerapkan SJH dengan baik
agar produk yang dihasilkan dapat terjaga kehalalannya. Begitu mendapatkan sertifikat
halal, pelaku usaha punya kewajiban untuk mempertahankan proses sertifikasi halalnya.

2). Aturan Lengkap untuk Memperoleh Izin Edar Obat dan Makanan dari BPOM

Publik kembali diriuhkan soal obat ivermectin yang disebut-sebut bisa sebagai obat
Covid-19. Belakangan BPOM menegaskan belum memberikan izin edar ivermectin sebagai
obat covid-19. Status Ivermectin adalah obat cacing dan harus berdasarkan resep dokter.
Setiap obat dan produk makanan dan minuman yang dijual di pasar harus terdaftar dan
mendapat izin edar dari Badan Pengawas Obat dan Makanan. Lalu bagaimana cara
mendaftarkan produk makanan maupun obat-obatan ke BPOM untuk mendapatkan izin edar
tersebut?. Yang perlu diketahui, aturan soal izin edar dari BPOM ini tidak saja berlaku untuk
perusahaan farmasi yang memproduksi obat secara massal, tapi juga berlaku untuk usaha
skala kecil dan rumahan bila ingin menjangkau pasar yang lebih luas. Selain wajib
mengantongi izin usaha seperti Sertifikat Penyuluhan atau SP dan sertifikat produksi pangan
produksi industri rumah tangga atau SPP - PIRT, IE dari BPOM juga diperlukan jika
pembisnis makanan, minuman maupun obat - obatan yang ingin merambah pasar yang lebih
luas. Perlu diketahui bahwa produsen makanan, minuman maupun obat-obatan yang ingin
memasarkan produknya secara luas wajib memiliki IE yang dikeluarkan BPOM. Izin dari
BPOM ini berdasarkan Peraturan Kepala Badan POM nomor 27 tahun 2017 tentang
Pendaftaran Makanan Olahan sebagai jaminan kepada konsumen bahwa produk yang dijual
layak dan aman untuk dikonsumsi.
Keuntungan mengantongi IE dari BPOM adalah apabila produk dari usaha makanan,
minuman atau obat saat diteliti Badan POM terindikasi berbahaya untuk dikonsumsi, maka
produsen dapat segera memperbaikinya. Jika produsen menjual produknya ke pasar luas
tanpa mengantongi izin dari BPOM, apabila produk ternyata diketahui mengandung bahan
yang membahayakan konsumen, maka produsen harus bersiap - siap berurusan dengan pihak
yang berwajib. Dengan mengantongi izin edar dari BPOM, selain meyakinkan konsumen
akan keamanan produk, kita juga tidak perlu khawatir jika terjadi hal yang tidak di inginkan
yang disebabkan oleh produk yang kita pasarkan.

Ada beberapa langkah yang harus ditempuh untuk mendapatkan izin edar dari BPOM
diantaranya sebagai berikut :

1. Hal pertama sebelum melakukan pendaftaran produk ke BPOM adalah, siapkan terlebih
dahulu produk beserta dokumen yang diperlukan. Untuk produk yang didatangkan dari
luar negeri alias dengan kode produk ML dari BPOM, yang perlu disiapkan adalah:

a. Salinan sertifikat dari Kementerian Kesehatan atau health certificate dari negara asal.

b. Hasil uji laboratorium negara asal.

c. Label berwarna.

d. Contoh produk minimal tiga buah,

e. Daftar komposisi dan spesifikasi bahan baku produk.

f. Kopi surat izin usaha perdagangan atau SIUP, dan

g. Angka pengenal importir umum atau API-U.


Sementara untuk produk yang dibuat di dalam negeri dengan kode MD, yang perlu
dipersiapkan selain izin prinsip dan SIUP adalah;

a. Lampiran hasil uji laboratorium.

b. Label berwarna atau hak paten.

c. Contoh produk yang akan diuji sebanyak tiga buah.

2. Daftarkan badan usaha ke BPOM terlebih dahulu sebelum mendaftarkan produk yang akan
diuji untuk mendapatkan IE. Pendaftaran badan usaha bisa dilakukan secara daring dengan
mengakses laman pendaftaran e-bpom di http://e-bpom.pom.go.id/. Adapun cara daftarnya
yaitu:

a. Setelah laman tersebut ditampilkan, klik “Registrasi Baru”

b. Setelah form pendaftaran ditampilkan isi sesuai dengan data yang dibutuhkan seperti
Data Perusahaan, Data Penanggung Jawab serta Data Login Anda.

c. Masukkan data pemeriksaan sarana oleh balai atau PSB yang dimiliki pabrik lokal
dengan mengunggah file dokumen yang disyaratkan seperti data produk, spesifikasi
bahan baku produk, data hasil analisa laboratorium, data informasi nilai gizi atau ING,
dan data klaim produk.

d. Setelah itu tunggu hasil pemeriksaan, apakah permohonan registrasi perusahaan


disetujui atau ditolak oleh petugas BPOM.

e. Hasil pemeriksaan akan disampaikan via surel, jadi pastikan bahwa email yang
didaftarkan merupakan alamat yang valid.

Selain via daring, kita juga dapat secara langsung mendatangi BPOM Pusat maupun
Balai Besar POM di daerah masing - masing. Adapun kelengkapan yang perlu disiapkan
adalah:

a. Salinan dokumen seperti data produk.

b. Spesifikasi bahan baku produk.

c. Data hasil analisa laboratorium.

d. Data informasi nilai gizi atau ING, dan


e. Data klaim produk.

Masukkan syarat-syarat tersebut dan selanjutnya akan dilakukan proses


verifikasi. Jika dinyatakan lulus verifikasi yang ditandai dengan terbitnya Surat
Persetujuan Pendaftaran atau SPP, nantinya Anda akan diminta melakukan pembayaran
sesuai dengan Surat Perintah Bayar atau SPB sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak
atau PNBP. Adapun biaya yang perlu dikeluarkan untuk mendaftarkan produk tersebut
ke BPOM tergantung asal produk tersebut, jika produk tersebut dari dalam negeri untuk
registrasinya sekitar Rp 100 ribu per produk yang akan diajukan. Sementara untuk jasa
notifikasi kosmetika dari luar ASEAN akan dikenai biaya Rp 1,5 juta per produk dan
jika dari dalam ASEAN sebesar Rp 500 ribu per produk. Bagi yang ingin melakukan
perpanjangan maupun registrasi ulang yang biasanya berlaku setiap lima tahun sekali,
kita akan dikenai biaya Rp 1 juta per produk untuk kategori usaha kecil obat tradisional.
Sementara untuk sertifikasi Cara Pembuatan Kosmetika yang Baik atau CPKB, akan
dikenakan biaya Rp 5 juta per sertifikatnya..

3. Selanjutnya bukti pembayaran tersebut kemudian diunggah ke laman e-bpom dengan


melakukan login terlebih dulu. Bukti pembayaran itu kemudian akan diverifikasi bersama
data permohonan registrasi produk dan rancangan label produk.

Perlu diketahui sebelum mendaftarkan produk kepada BPOM, untuk mendapatkan


Izin Edar dari BPOM, membutuhkan waktu yang lama lantaran harus melewati sejumlah
tahapan dengan proses panjang dan memerlukan uji klinis. Hal ini dilakukan untuk
memastikan bahwa bahan dan produk yang akan dijual aman untuk dikonsumsi atau
dipakai masyarakat.
IV. PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Seiring waktu berjalan, apa yang diperiksa badan MUI itu tidak hanya sekedar
makanan dan minuman, akan tetapi produk - produk lain seperti pakaian, detergen,
alat masak, bahkan hingga barang elektronik. Semua barang baku yang ada di
Indonesia proses produksinya sudah memenuhi syarat dan halal dari MUI, jika
tidak halal maka di wadah - wadah makanan ataupun minuman tidak ada cap halal
dari MUI. Jumlah produk yang bersetifikat halal MUI setiap tahunnya mengalami
peningkatan grafik, artinya setiap tahunnya semakin banyak produk yang telah
bersertifikat halal MUI.

Peraturan Presiden mengenai Jaminan Produk Halal ( PP JPH ) yang


ditandatangani presiden, mengatur setiap produk yang masuk, beredar,
diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal, kecuali produk yang
memang berasal dari bahan yang halal. PP itu merupakan turunan Undang-Undang
No. 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal yaitu :

a. Makanan, minuman, dan obat,


b. Kosmetik,
c. Produk kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetik,
d. Barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh masyarakat.
e. Di Jawa Barat, bersama MUI telah memfasilitasi sertifikat halal bagi produk
pangan, farmasi dan kosmetik yang jumlahnya sejak tahun 2010 s.d. 2016
sudah mencapai 11.572 sertifikat, itu belum termasuk yang telah di fasilitasi
oleh pemerintah kabupaten dan kota.
f. Setiap tahunnya, Jawa Barat terus memfasilitasi sertifikat halal baik pangan,
obat, kosmetik bahkan wisatapun di Jawa Barat sudah ada yang dinyatakan
halal.

2. Produk yang sudah bersertifikasi halal hingga pada saat ini baru sekitar 22 item.
“22 obat tersebut masing-masing 2 vaksin, beberapa obat gosok, aroma terapi dan
obat terbuat dari cacing dan sisanya belum. Dampaknya di era globalisasi ini
sangat besar khususnya orang islam karena kehalalan suatu produk itu nomor satu.
Dampak perkembangan dalam arti benturan / pengaruh kuat yang
mendatangkan akibat (baik negatif maupun positif) di era globalisasi sebagai proses
integrasi internasional yang terjadi karena pertukaran pandangan dunia, produk,
pemikiran dan aspek-aspek kebudayaan lainnya, dalam hal ini produk obat-obatan
halal sangat signifikan, karena :

a. Bagi Pemerintah dan Instansi / Lembaga terkait


-Pemenuhan hak-hak warganegara khususnya Muslim dengan memberi perlindungan
dan kepastian hukum hak-hak konsumen muslim terhadap produk yang tidak halal
dengan memenuhi amanah Undang-undang No. 33 tahun 2014 tentang Jaminan
Produk Halal dan dilaksanakan melalui Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun 2021
tentang Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal seperti yang disampaikan
oleh Menteri Agama RI Bapak Yaqut Cholil Qoumas bahwa : “Kewajiban
bersertifikat halal untuk obat-obatan, kosmetik dan barang gunaan mulai diberlakukan
seiring dimulainya tahap kedua kewajiban bersertifikat halal yakni 17 Oktober 2021
sampai dengan yang terdekat 17 Oktober 2026”.
-melindungi seluruh warganegara khususnya muslim dari kecurangan / kejahatan
internasional seperti : penyelundupan, penipuan dengan bahan yang tidak halal dll.
-dapat bersaing di kancah internasional khususnya negara-negara muslim atas produk
obat-obatan halal dan berkualitas seperti : ekspor obat-obatan ke Negara-negara
Timur Tengah dll.
b. Bagi Produsen
-memberikan jaminan kualitas produk halal khususnya konsumen Muslim mulai
bahan yang digunakan tidak boleh mengandung bahan yang berasal dari daging babi
atau hewan yang tidak disembelih dengan syariat islam, cara pengolahan sampai
pengemasan yang terjamin halal
-membangkitkan semangat bersaing guna menghasilkan produk halal yang
dibutuhkan
-memberi nilai lebih dari produk yang tidak halal
c. Bagi Konsumen
-menimbulkan ketenangan dalam mengkonsumsi obat-obatan yang telah dijamin
kehalalannya
-memberikan rasa aman dengan terjaminnya kualitas bahan dan cara pengolahan yang
halal
-memberikan kepastian hukum karena telah diundangkan dan dilaksanakan yang
tentunya tentunya ada sangsi hukum yang berat bagi pelanggar.
3. Ada beberapa cara untuk memastikan dan memajukan terkait obat-obatan halal
yang ada di jawa barat yaitu :
a. pendidikan
Pemerintah dan semua instansi lembaga terkait wajib memberikan pendidikan atau
penyuluhan kepada produsen dan konsumen tentang obat yang halal dan tidak halal.
b. pembinaan
Pemerintah dan instansi / lembaga terkait terus melakukan pembinaan langsung
kepada produsen, penjual dan konsumen untuk memproduksi dan menkonsumsi
obat-obatan yg halal, misal :
c. pelatihan
Untuk lebih meningkatkan kualitas produk dan mempunyai daya saing yang tinggi
khususnya dengan yang tidak halal maka menjadi kewajiban semua elemen
pemerintah dan masyarakat menyelenggarakan pelatihan seperti seminar, lokakarya,
workshop. Yang menjangkau semua lapisan masyarakat khususnya pengguna
muslim, harus digembar-gemborkan dengan signifikan akan obat-obatan yang harus
ber sertifikat halal
d. studi banding
Jika memungkinkan bisa dilakukan studi banding ke negara-negara muslim sebagai
produsen obat halal, atau perusahaan swasta sebagai produsen obat-obatan halal
seperti ke kimia farma
e. pendampingan
Semua elemen mulai pemerintah, instansi/lembaga terkait, ikut ambil peran
mendampingi produsen lain yang memerlukan tentang penggunaan bahan, cara
pengolahan, pemasaran yang halal, supaya lebih berhasil. Untuk konsumen peran
YLKI dan lembaga lain lebih berperan untuk menjamin penguatan atas pemakaian
obat-obatan halal
f. penegakkan hukum
Menjadi kewajiban pemerintah untuk melindungi warganya khususnya muslim atas
produk obat-obatan halal dengan menghukum seadil-adilnya dan seberat-beratnya
para pelaku kecurangan dan kejahatan produk, karena menyangkut keyakinan akan
ajaran agamanya.
B. Saran – saran

1. Konsumen muslim harus cerdas membeli produk makanan dan minuman harus melihat
logo halal pada kemasan, karena masih banyak produk makanan dan minuman beredar
dimasyarakat belum berlogo halal MUI atau logo Halal MUI diragukan kebenarannya.
Jika konsumen masih ragu kehalalan produk, cek pada webside MUI produk yang sudah
bersertifikat halal.

2. Pelaku usaha dalam memperdagangkan suatu produk harus beritikad baik tidak hanya
mengejar keuntungan tapi harus mengindahkan hak-hak konsumen termasuk hak-hak
konsumen muslim terhadap produk halal. Untuk mendapatkan sertifikat hal pelaku usaha
mengajukan permohonan sertifikat halal melalui LPPOM MUI.

3. Diperlukan sosialisasi Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Produk Jaminan


Halal oleh lembaga pemerintah yang terkait kepada pelaku usaha dan masyarakat, karena
berdasarkan undang-undang ini 5 tahun setelah berlakunya undang-undang ini semua
produk yang beredar dimasyarakat harus bersertifikat halal dan produk yang tidak halal
harus diberikan tanda tidak halal pada kemasan produk, sehingga dengan kehadiran
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 lebih memberi jaminan Perlindungan dan
kepastian hukum hak- hak konsumen muslim terhadap produk yang halal.
DAFTAR PUSTAKA

Keputusan Mentri Agama Republik Indonesia Nomor 519 tahun 2001 tanggal 30 November
2001 tentang Lembaga pelaksana Pemerintah Pangan Halal.

Jurnal LPPOM MUI.

Indonesia. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014


tentang Produk Jaminan Halal (PJH).

Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 745/KPTS/TN.240/12/1992 tentangPersyaratan


dan Pengawasan Pemasukan Daging dari Luar Negeri.

Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Rajagrafindo
Persada, 2015), hal. 80-81.

Mohammad Daud Ali, loc.cit 47 Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya,
Diponegoro, Bandung, 2005, hlm. 97. 48 Departemen Agama RI, Op.cit, hlm.122

Indonesia. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.

Indonesia. Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Shidarta. Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia. Jakarta: Grasindo, 2000.

Shidarta. Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia. Jakarta: Gramedia Widiasarana


Indonesia,2006.

Sidabolak, Janus. Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia. Bandung: PT Citra Aditya


Bakti,2014.

Sutedi, Adrian. Tanggung Jawab Produk Dalam Hukum Perlindungan Konsumen. Bogor:
Ghalia Indonesia, 2006.

Anda mungkin juga menyukai