Anda di halaman 1dari 11

Bahas ringer prosedural dan eval + kesimpulan : tarisa

Pembahasan

Pada praktikum percobaan kali ini dilakukan pembuatan sediaan infus,


menurut Farmakope Edisi IV (1995: 10) Infus adalah sediaan parenteral volume
besar merupakan sediaan cair steril yang mengandung obat yang dikemas dalam
wadah 100 ml atau lebih dan ditujukan untuk manusia. Infus adalah larutan infus
dosis tunggal untuk intravena dan dikemas dalam wadah lebih dari 100 ml.

Menurut Ansel (1998) sediaan infus memiliki kelebihan / keuntungan dari sediaan
lainnya yaitu:

1. Obat memiliki onset (mula kerja) yang cepat


2. Efek obat dapat diramalkan dengan pasti
3. Bioavabilitas obat dalam tractus gastrointestinalis dapat dihindarkan 4. Obat
dapat diberikan kepada penderita sakit keras atau dalam keadaan koma

5. Kerusakan obat dalam tractus gastrointestinal dapat dihindarkan.

Selain kelebihan / keuntungan, sediaan infus memiliki kekurangan/ kerugian.


Menurut Ansel (1998) sediaan infus memiliki kekurangan/ kerugian dari sediaan
lainnya yaitu:

1. Rasa nyeri saat disuntikan apalagi jika harus diberikan berulang kali
2. Memberikan efek fisiologis pada penderita yang takut akan suntik
3. Kekeliruan pemberian obat atau dosis hamper tidak mungkin diperbaiki
terutama sesudah pemberian intravena

4. Obat hanya dapat diberikan kepada penderita dirumah sakit atau ditempat
praktek dokter oleh perawat yang sudah kompeten

5. Harganya lebih mahal dari bentuk sediaan non steril lainnya dikarenakan
ketatnya persyaratan yang harus dipenuhi (steril, bebas pyrogen, jernih, praktis
dan bebas partikel.
Pada pembuatan sediaan infus berdasarkan Farmakope IV ada beberapa
persyaratan yang harus dipenuhi diantaranya:
1. Sediaan steril berupa larutan atau emulsi
2. Bebas pirogen
3. Sedapat mungkin dibuat isotonis dan isohidris terhadap darah.
4. Infus intravena tidak mengandung bakterisida dan zat dapar.
5. Larutan untuk infus intravena harus jernih dan praktis bebas partikel.
6. Volume netto/volume terukur tidak kurang dari nilai yang ada pada etiket
sediaan.

7. Memenuhi persyaratan lain yang tertera pada infus (Dirjen POM, 1995).
Kecuali dinyatakan lain, syarat infus meliputi:
- Keseragaman volume
- Keseragaman bobot
- Pirogenitas
- Sterilitas
- Penyimpanan dalam wadah dosis tunggal
- Penandaan: etiket menyatakan konsentrasi mosmol total dalam satuan
mosmol/L (Dirjen POM, 1995).

Tujuan dari pembuatan sediaan infus untuk pemberian cairan obat dalam
jumlah besar dengan rute intravena sehingga obat dapat terdistribusi dengan cepat
keseluruh tubuh agar tercapai efek terapeutik yang diinginkan. Dimana kecepatan
infus dapat dikendalikan untuk menjaga kadar obat yang diperlukan dalam darah
melalui pompa kecepatan pemberian obat dapat disesuaikan dengan cara
mengontrol kecepatan pemberian obat secara tepat sesuai kebutuhan yang
digunakan untuk memenuhi kebutuhan cairan serta menyeimbangkan elektrolit
sebagai tindakan pengobatan dan pemberian nutrisi pada pasien.
Pada praktikum percobaan kali ini dibuat sebanyak dua sediaan infus
diantaranya sediaan infus Ringer Laktat serta infus sediaan infus Dextrose.
Sebelum dilakukan pembuatan sediaan, dilakukan terlebih dahulu studi
preformulasi. Studi preformulasi adalah suatu tahapan sebelum formulasi dimana
dilakukan pencarian informasi mengenai berbagai sifat dan karakteristik bahan
aktif ataupun bahan tambahan yang nantinya akan penting untuk melakukan
penyusunan formula. Proses preformulasi bertujuan untuk menghasilkan
informasi yang berguna bagi formulator dalam mengembangkan bentuk sediaan
yang stabil dan ketersediaan hayati yang dapat di produksi dalam skala besar
(Murtini dan Yeri, 2018: 45).
8.1 Infus Ringer Laktat

Larutan Ringer Laktat untuk infus termasuk ke dalam golongan sediaan


parenteral, digunakan untuk ketidakseimbangan cairan dan elektrolit (BNF 58,
2018). Indikasi Infus Ringer Laktat. Menurut Mahadevan and Garmel (2012),
yaitu sebagai berikut:

a. Untuk memenuhi atau mencukupkan kebutuhan normal cairan dan


elektrolit atau melengkapi kekurangan atau kehilangan yang terus menerus
dikarenakan pasien mual atau muntah dan tidak dapat untuk mendapatkan
cairan elektrolit dalam jumlah yang cukup melalui mulut

b. Syok hipovolemik
c. Resusitasi cairan pada pasien luka bakar
d. Ringer laktat digunakan untuk mengembalikan keseimbangan cairan pada
pasien diare tingkat berat.

Mekanisme kerja ringer laktat berhubungan dengan osmolaritas


plasma, memperluas kompartemen ekstraseluler selama masa infusiensi
sirkulasi, dan mengembalikan natrium dan klorida yang hilang sehingga
cairan tetap tinggal di dalam intravascular.

Infus Ringer adalah larutan steril Natrium klorida, Kalium klorida, dan
Kalsium klorida dalam air untuk obat suntik yang diberikan melalui intravena
tetes demi tetes dengan bantuan peralatan yang cocok. Larutan Ringer sering
digunakan untuk mengisi cairan yang hilang setelah kehilangan darah akibat
trauma, operasi atau cedera kebakaran. Hal yang pertama dilakukan dalam
membuat sediaan ini adalah mengecek apakah larutan ini isotonis atau tidak.
Pada pemberian intravenus dalam volume kecil, isotonis bukanlah suatu
syarat yang mutlak. Hal ini karena jumlah cairan tubuh jauh lebih besar
dibandingkan jumlah cairan yang dimasukkan sehingga terjadi pengenceran
yang cepat. Tetapi tidak demikian jika larutan intravenus volume besar yang
diberikan tidak isotonis. Jikalarutan hipertonis (tekanan osmotiknya lebih
besar daripada darah) maka dapat terjadi plasmolisis yaitu hilangnya air dari
sel darah sehingga sel darah akan mengkerut. Jika larutan hipotonis (tekanan
osmotik lebih kecil daripada darah) maka dapat terjadihemolisis yaitu
eritrosit akan pecah.

Zat aktif yang digunakan pada sediaan Infus Ringer Laktat yaitu
megandung zat aktif Natrium laktat, Natrium klorida, Kalium klorida, serta
Kalsium Klorida. Infus Ringer Laktat mengandung berbagai macam
elektrolit, sehingga digunakan untuk memenuhi kebutuhan elektrolit ataupun
cairan tubuh secara fisiologis. Ion natrium (Na +) dalam infus berupa natrium
klorida dapat digunakan untuk mengobati hiponatremia, karena kekurangan
ion tersebut dapat mencegah retensi air sehingga dapat menyebabkan
dehidrasi. NaCl digunakan sebagai larutan pengisotonis agar sediaan infus
setara dengan 0,9% larutan NaCl, dimana larutan tersebut mempunyai
tekanan osmosis yang sama dengan cairan tubuh Natrium klorida
ditambahkan sebagai pengatur tonisitas. Tonisitas adalah istilah lain untuk
osmolalitas efektif. Adapun larutan yang memiliki osmolalitas yang sama
efektifnya dengan cairan tubuh adalah larutan isotonis, contohnya adalah
normal salin-larutan Natrium klorida (NaCl) 0,9% (Murry, dkk, 2003: 87).
Hampir seluruh natrium yang terdapat di dalam tubuh akan tersimpan di
dalam soft body tissue dan cairan tubuh. Ion Na+ merupakan kation utama di
dalam cairan ektraselluar (ECF) dengan konsentrasi berkisar antara 135-145
mmol/L. Ion natrium juga akan berada pada cairan intrasellular (ICF) namun
dengan konsentrasi yang lebih kecil yaitu ± 3 mmol/L. Sebagai kation utama
dalam cairan ekstrasellular, natrium akan berfungsi untuk menjaga
keseimbangan cairan di dalam tubuh, menjaga aktifitas syaraf, kontraksi otot
dan juga akan berperan dalam proses absorbsi glukosa. Pada keadaan normal,
natrium bersama dengan pasangannya (terutama klorida, Cl) akan
memberikan kontribusi lebih dari 90% terhadap efektifitas osmolaritas di
dalam cairan ekstrasellular (Ignatavicius dan Walkman, 2006: 245).. Kalium
klorida (KCl), kalium merupakan kation (positif) yang terpenting
dalamcairan intraseluler dan sangat esensial untuk mengatur keseimbangan
asam-basa serta isotonis sel. Ion kalsium (Ca2+), bekerja membentuk tulang
dan gigi, berperan dalam proses penyembuhan luka pada rangsangan
neuromuskuler. Jumlah ion kalsium di bawah konsentrasi normal dapat
menyebabkan iritabilitas dan konvulsi. Kalsium yang dipakai dalam bentuk
CaCl2 yang lebih mudah larut dalam air.

Selain zat aktif terdapat pelarut/ pembawa, dan zat tambahan atau
eksipien untuk menstabilkan zat aktif yang terkandung di dalam sediaan infus
Ringer Laktat. Stabilitas sediaan farmasi merupakan hal yang penting dalam
penentuan kriteria aman atau tidaknya suatu sediaan untuk dapat dikonsumsi
dan agar dapat disimpan dalam waktu tertentu. Stabilitas sediaan dapat
diketahui dari ada tidaknya penurunan kadar zat aktif selama penyimpanan.
Ketidakstabilan sediaan dapat mengakibatkan terjadinya penurunan sampai
dengan hilangnya khasiat sediaan, sediaan dapat berubah menjadi toksik atau
terjadinya perubahan penampilan sediaan (Pertiwi Dea et al., 2020: 91).
Pembawa yang digunakan adalah aqua pro injection, dipilihnya aqua p.i
karena sifat kelarutannya zat aktif yang mudah larut dalam air. Air injeksi
dimurnikan dengan cara penyulingan dan memenuhi standar yang sesuai
dengan purified water (USP), dimaksudkan untuk pembuatan infus , infus
atau sediaan steril lainnya yang akan di sterilisasi akhir (Ansel, 1989: 407).
Aqua Pro Injection biasa digunakan sebagai pelarut bagi sediaan yang akan
dimasukkan kedalam tubuh melalui jalur pemberian parenteral yang
mencakup pemberian secara infus, injeksi (suntik) baik pada otot
(intramuskular), pembuluh darah (intravena), maupun jaringan bawah kulit
(subkutan), serta tetes mata. Hal ini dikarenakan sediaan yang diberikan
melalui rute tersebut harus dalam keadaan steril (bebas dari pengotor seperti
bakteri, pirogen/benda yang menyebabkan demam, virus, protozoa, serta
pengotor lainnya) serta memiliki rentang kadar keasaman yang sesuai dengan
tujuannya. Selain itu ditambahkan eksipien (zat tambahan) berupa Karbon
adsorben atau karbon aktif yang merupakan senyawa yang dapat
menghilangkan pirogen, pirogen adalah substansi yang dapat menyebabkan
demam. Hal tersebut sesuai dengan syarat pada sediaan infus yaitu harus
bebas pirogen, karena pada sediaan infus akan diberikan volume dengan
dosis yang besar dan akan terjadi pembuluh balik, jika terdapat kandungan
pirogen maka akan berdampak buruk pada pasien yaitu akan menyebabkan
demam. Maka dari itu untuk mengatasi hal tersebut, menurut literatur Dirjen
Pom (1979: 133) pada sediaan perlu ditambahkan karbon adsorben dengan
konsentrasi sebesar 0,1%. Pada sediaan infus tidak boleh mengandung bahan
pengawet, karena sediaan infus mengandung volume yang besar, jika
digunakan pengawet maka dibutuhkan pengawet dengan konsentrasi yang
besar, hal tersebut akan memberikan efek toksik yang mungkin disebabkan
oleh penggunaan pengawet tersebut.
Pada percobaan pembuatan infus ringer laktat dilakukan perhitungan
hasil dari jumlah perhitungan osmolaritas yang diperoleh yaitu 272,80 M
osmol/L. Diperoleh hasil yang didapatkan dari masing masing zat pada
sediaan infus ringer laktat yaitu natrium laktat diperoleh hasil sebesar 55,33
M osmol/L, natrium klorida diperoleh hasil sebesar 205,33 M osmol/L,
Kalium klorida diperoleh hasil sebesar 8,05 Mosmol/L, serta Kalsium klorida
diperoleh hasil sebesar 4,08 M osmol/L. Dari jumlah nilai zat osmolaritas
yang diperoleh dari keempat zat tersebut menghasilkan 272,80 M Osmol/L
yang artinya sediaan bersifat isotonis mengacu pada ketentuan yang telah
ditentukan Farmakope Indonesia dimana apabila nilai osmolaritasnya
berkisar sebesar antara 270 – 328 M Osmole/L berarti sediaan isotonis,
meskipun dalam jumlah perhitungan isotonisnya menghasilkan hasil yang
hipotonis, yaitu 0,8126%. Cairan infus terbagi menjadi tiga yaitu:
1. Cairan infus isotonik adalah cairan infus yang osmolaritas (tingkat
kepekatan) cairannya mendekati serum (bagian cair dari komponen
darah), sehingga terus berada di dalam pembuluh darah. Bermanfaat
pada pasien yang mengalami hipovolemi (kekurangan cairan tubuh,
sehingga tekanan darah terus menurun). Memiliki risiko terjadinya
overload (kelebihan cairan), khususnya pada penyakit gagal jantung
kongestif dan hipertensi. Contohnya adalah cairan Ringer-Laktat (RL),
dan normal saline atau larutan garam fisiologis (NaCl 0,9%).

2. Cairan infus hipertonik adalah cairan yang osmolaritasnya lebih tinggi


dibandingkan serum, sehingga menarik cairan dan elektrolit dari jaringan
dan sel ke dalam pembuluh darah. Mampu menstabilkan tekanan darah,
meningkatkan produksi urin, dan mengurangi edema (bengkak).
Penggunaannya kontradiktif dengan cairan hipotonik. Misalnya Dextrose
5%, NaCl 45% hipertonik, Dextrose 5%+Ringer-Lactate, Dextrose 5%
+NaCl 0,9%, produk darah (darah), dan albumin.

3. Cairan infus hipotonik adalah cairan infus yang osmolaritasnya lebih


rendah dibandingkan serum (konsentrasi ion Na+ lebih rendah
dibandingkan serum), sehingga larut dalam serum, dan menurunkan
osmolaritas serum. Mka cairan “ditarik” dari dalam pembuluh darah
keluar ke jaringan sekitarnya (prinsip cairan berpindah dari osmolaritas
rendah ke osmolaritas tinggi), sampai akhirnya mengisi sel-sel yang
dituju. Digunakan pada keadaan sel yang mengalami dehidrasi, misalnya
pada pasien cuci darah (dialisis) dalam terapi diuretik, juga pada pasien
hiperglikemia (kadar gula darah tinggi) dengan ketoasidosis diabetik.
Komplikasi yang membahayakan adalah perpindahan tiba-tiba cairan
dari dalam pembuluh darah ke sel, menyebabkan kolaps kardiovaskular
dan peningkatan tekanan intrakranial (dalam otak) pada beberapa orang.
Contohnya adalah NaCl 45% dan Dekstrosa 2,5%.

Metode pembuatan infus ringer laktat dilakukan dengan metode sterilisasi akhir dengan
autoklaf pada suhu 121 selama 15 menit. Untuk alat gelas yang bukan termasuk ke dalam alat
ukur presisi dilakukan sterilisasi dengan metode panas kering dengan menggunakan oven pada
suhu 160º-170ºC, sedangkan untuk alat gelas yang berfungsi sebagai alat ukur dan termasuk ke
dalam alat yang presisi disterilisasi dengan metode sterilisasi panas lembab dengan
menggunakan autoklaf pada suhu 121 selama 15 menit, lebih cocok menggunakan autoklaf
karena jika menggunakan pemanasan dengan oven akan mengakibatkan pemuaian pada bahan
kaca yang dapat menyebabkan pengukuran tidak akurat. Prinsip kerja dari autoklaf yaitu dengan
cara mendenaturasi protein penyusun tubuh mikroba sehingga dapat membunuh mikroba. Uap
jenuh pada suhu 121 mampu membunuh secara cepat semua bentuk vegetative
mikroorganisme dalam 1 atau 2 menit (James, 2008). Dan untuk bahan yang digunakan yaitu
Natrium laktat, Natrium klorida, Kalsium klorida dan Kalium klorida disterilisasi awal dengan
panas kering menggunakan oven 180 selama 4 jam karena berbentuk serbuk dan termostabil
selanjutnya sterilisasi akhir dengan metode panas lembab menggunakan autoklaf karena zat
tahan terhadap pemanasan dan dapat bercampur dengan air (Martindale, 1982 :640). Karbon
adsorben disterilisasi awal dengan menggunakan oven karena disterilisasi dalam bentuk serbuk
hablur dan sterilisasi akhir dengan autoklaf karena tahan terhadap pemanasan. Aqua pro
injection disterilisasi awal dan akhir dengan metode sterilisasi panas lembab menggunakan
autoklaf karena tahan terhadap pemanasan, terhadap penembusan uap air, dan kompatibel
dengan air. Selanjutnya bahan bahan ditimbang sesuai dengan perhitungan, lalu dilarutkan satu
persatu dengan aqua pro injeksi sesuai dengan perhitungan, kemudian ditampung di dalam gelas
kimia lalu di ad dengan aqua pro injeksi ad 500 ml. lalu ditambahkan carbo adsorben.
Penambahan karbon aktif bertujuan untuk menyerap atau menghilangkan pirogen, dan menarik
partikel-partikel kasar pada infus, melewati proses depirogenisasi, Konsentrasi karbon aktif
yang digunakan adalah 0,1% (Rowe, R. C, 2009). Lalu aqua pro injeksi digunakan sebagai
pelarut ataupun pembawa dalam infus ringer laktat karena zat aktif larut dalam air, dan Aqua
Pro Injetion sudah bebas pirogen dan telah di sterilisasi sehingga memenuhi syarat infus. Dan
Aqua Pro Injetion bersifat tidak toksik dan kompatibel dengan cairan tubuh. Tujuan dilakukan
depirogenasi yakni untuk menghilangkan pirogen dari sediaan yang ada dalam wadah atau
kemasan sediaan. Pirogen merupakan suatu agen penyebab terjadinya demam, karena sediaan
infus harus bebas pyrogen agar memenuhi salah satu syarat dari sediaan infus yakni harus bebas
pirogen (Lachman, L, 1993). Dengan mekanisme kerja yaitu karbon aktif akan mengadsorbsi
atau menyerap pirogen, mikroorganisme saat dipanaskan.
Pemanasan membantu agar proses adsorbi lebih cepat. Sehingga pada volume sediaan
ditambahkan 2% dan pada setiap zat dilebihkan 5%, hal ini agar menghindari kehilangan
saat proses depirogenisasi. Setelah itu disaring dengan vakum filter apparatus, agar
karbon aktif dan partikel kasar tersaring dari sediaan infus. Sediaan dilakukan sterilisasi
akhir dengan metode sterilisasi panas lembab menggunakan autoklaf dengan suhu 121°C
selama 15 menit. Hal ini karena stabilitaas sediaan tahan terhadap pemanasan dan
pembawanya merupakan air.

Evaluasi Sediaan Infus Ringer Laktat.


Selanjutnya dilakukan evaluasi sediaan infus, yang bertujuan untuk
menilai apakah sediaan yang telah dibuat sudah memenuhi persyaratan yang
telah ditentukan.
1. Evaluasi Uji Organoleptik. Hasil yang didapatkan dari uji organoleptis pada
sediaan infus ringer laktat yaitu diperoleh cairan infus yang tidak berwarna
dan tidak berbau sehingga uji organoleptis ini telah memenuhi persyaratan
yang tertera pada litelatur data preformulasi zat.

2. Evaluasi Uji Penetapan pH. Hasil yang didapatkan dari uji penetapan pH
pada sediaan infus ringer laktat yaitu 6 dan kemudian dilakukan adujust pH
menjadi 7 . Menurut Dirjen POM, (1995) nilai pH dalam darah normal yaitu
7,35-7,45, sehingga sediaan infus ringer laktat memenuhi persyaratan uji
penetapan pH karena masuk kedalam rentang yang telah ditentukan pada
literatur, selain itu pada uji penetapan pH digunakan kertas indikator
universal atau pH meter.

3. Evaluasi Uji Kejernihan. Hasil yang didapatkan dari uji kejernihan pada
sediaan infus ringer laktat diperoleh hasil dimana sediaan dinyatakan jernih.
Uji kejernihan dengan melakukan pemeriksaan pada wadah-wadah kemasan
akhir secara visual. Persyaratan sediaan infus salah satunya yaitu Larutan
untuk infus intravena harus jernih dan praktis bebas partikel, sehingga
sediaan infus ringer laktat memenuhi persyaratan uji kejernihan.
Dari hasil evaluasi diatas dapat disimpulkan bahwa sediaan infus
Ringer Laktat telah memenuhi syarat yaitu isotonis, jernih atau bebas
partikulat, serta isohidris.

Kesimpulan
11.1 Infus Ringer laktat pada sediaan praktikum kali ini sudah memenuhi syarat
yaitu, sediaan tidak berwarna, tidak berbau, pH 7, jernih, tidak ada
partikulat, isotonis, isoosmosis dan isohidris.
Daftar pustaka
Ansel. (1989). Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi, Edisi Keempat. Jakarta: UI Press.
BNF. (2018). British National Formulary 76th Edition. BMJ Group and Rps Publishing
Volume 57.
Mahadevan SV, Garmel GM. (2005). An Introduction to Clinical Emergency
Medicine.Cambridge: Cambridge University Press.

Murray,Robert K,et al. 2003. Biokimia Harper ed. 25. Jakarta: EGC.
Ignatavicius, D., & Wolkman, M.L. (2006). Medical Surgical Nursing, Critical Thinking
for Collaborative Care, (5th ed). St. Louis: Missouri.

Pertiwi Dea et al. (2020). Pengaruh pH Terhadap Stabilitas Alpha Arbutin dalam Gel
Niosom. Majalah Farmaseutik. Vol. 16 No. 1: 91-100. ISSN-p : 1410-590x
ISSN-e : 2614-0063.

Dirjen POM. (1995). Farmakope Indonesia Edisi IV. Jakarta: Departemen Kesehatan
Republik Indonesia.
Dirjen POM. (1979). Farmakope Indonesia Edisi III. Jakarta: Departemen Kesehatan
Republik Indonesia.
James, J. (2008). Prinsip-Prinsip Sains Untuk Keperawatan (Indah Retno Wardhasi,
Penerjemah). Jakarta: Erlangga.

Martindale. (1892). The Extra Pharmacopeia 28 Th edition. London: The


Phatmaceutical Press.
Rowe, & C, R. (2009). Handbook of Pharmaceutical Exapients sixth Edition. London: The
Pharmaceutical Press.
Lachman, L. (1993). Teori dan Praktek Industri Farmasi II. Jakarta: Universitas Indonesia.

Murtini, G., dan Yeri. (2018). Teknologi sediaan Solid. Jakarta: Kementrian Kesehatan
Republik Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai